Analisis Kandungan Logam Berat Pb dan Cd pada Keong Tutut (Bellamya javanica v.d Bush 1844) di Waduk Saguling, Jawa Barat

ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT Pb DAN Cd
PADA KEONG TUTUT (Bellamya javanica v.d Bush 1844)
DI WADUK SAGULING, JAWA BARAT

NUR MAR ATUSHSHOLIHAH SIREGAR

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kandungan
Logam Berat Pb dan Cd pada Keong Tutut (Bellamya javanica v.d Bush 1844) di
Waduk Saguling, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor,

Mei 2013

Nur Mar Atushsholihah Siregar
NIM C24090001

ABSTRAK
NUR MAR ATUSHSHOLIHAH SIREGAR. Analisis Kandungan Logam Berat
Pb dan Cd pada Keong Tutut (Bellamya javanica v.d Bush 1844) di Waduk
Saguling, Jawa Barat. Dibimbing oleh DJAMAR T.F. LUMBAN BATU dan
AGUSTINUS M. SAMOSIR.
Waduk Saguling merupakan salah satu waduk yang menerima masukan air dari
sungai Citarum, dimana terdapat banyak industri yang membuang limbah. Limbah
tersebut diantaranya mengandung logam berat Pb dan Cd yang mencemari air,
sedimen maupun biota yang terdapat di dalam waduk. Pengamatan pada keong
tutut (Bellamya javanica v.d Bush 1844) diharapkan dapat memberikan informasi

mengenai tingkat pencemaran logam berat di waduk tersebut. Hasil penelitian ini
menunjukkan kandungan logam Pb dan Cd pada keong tutut masing-masing
sebesar 14.6554 mg/kg dan 1.1086 mg/kg. Kandungan logam tersebut telah
melebihi baku mutu yang ditetapkan oleh BSN-SNI 7387:2009. Indeks Faktor
Konsentrasi (IFK) menunjukkan bahwa keong tutut di waduk Saguling memiliki
daya akumulasi sedang. Hasil uji ANOVA juga menunjukkan adanya tingkat
akumulasi logam dan efek biologis meningkat dari daerah inlet ke daerah outlet.
Kata kunci: Keong tutut, Logam Berat Pb dan Cd, IFK, Waduk Saguling

ABSTRACT
NUR MAR ATUSHSHOLIHAH SIREGAR. Analysis Content of Heavy Metals
Pb and Cd of Tutut Snail (Bellamya javanica v. d Bush 1844) in Saguling
Reservoirs, West Java. Supervised by DJAMAR T.F. LUMBAN BATU and
AGUSTINUS M.. SAMOSIR.
Saguling reservoir is one of reservoirs that received input water from the Citarum
river, where there are so many industries events that throw the discharge. The
waste containing heavy metals Pb and Cd which contaminated water, sediment
and biota in the reservoir. The observation of tutut snails (Bellamya javanica v.d
Bush 1844) is expected provide an information on levels of heavy metal pollution
in that reservoir. The results of this research showed the content of heavy metal Pb

and Cd was 14.6554 mg/kg and 1.1086 mg/kg respectively. The content of heavy
metals was overed than BSN-SNI 7387:2009’s content. The Bioconcentration
Factors (BCF) showed that tutut snail in reservoirs Saguling has a moderately
accumulated. ANOVA test results also showed there are an accumulated level
from metals and biological effect increase from inlet to outlet of that reservoir.

Keywords: Tutut snail, Heavy metals Pb and Cd, BCF, Saguling reservoirs

ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT Pb DAN Cd
PADA KEONG TUTUT (Bellamya javanica v.d Bush 1844)
DI WADUK SAGULING, JAWA BARAT

NUR MAR ATUSHSHOLIHAH SIREGAR

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan


DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Analisis Kandungan Logam Berat Pb dan Cd pada Keong Tutut
(Bellamya javanica v.d Bush 1844) di Waduk Saguling, Jawa Barat
Nama
: Nur Mar Atushsholihah Siregar
NIM
: C24090001

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Djamar T.F. Lumban Batu, MAgr
Pembimbing I

Ir Agustinus M. Samosir, MPhil
Pembimbing II


Diketahui oleh

Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: 08 Mei 2013

PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas
rahmat dan karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Kandungan Logam Berat Pb dan Cd
pada Keong Tutut (Bellamya javanica v.d Bush 1844) di Waduk Saguling, Jawa
Barat. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan November 2012 sampai dengan
bulan Januari 2013.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Djamar T.F. Lumban Batu,
MAgr selaku pembimbing akademik dan pembimbing pertama, Ir Agustinus M.
Samosir, MPhil selaku pembimbing kedua, Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc
selaku penguji tamu dan Dr Ir Yunizar Ernawati, MS selaku wakil dari komisi
pendidikan S1 MSP, FPIK, IPB. Seluruh Staff Bagian PT. Indonesia Power yang

telah memberikan data penunjang penelitian. Seluruh staff Tata Usaha dan Civitas
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan IPB. Mas Gentha, Bang Aris,
Kang Ali beserta keluarga yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis
melakukan pengambilan sampel. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
ayah, bunda dan seluruh keluarga tercinta, rekan-rekan tim penelitian Saguling
(Dwi, Ai, Rio dan Eka), Tyas Dita Pramesthy, Devi, Gilang, MSP 46, dan temanteman lainnya atas segala bantuan, do’a dan dukungannya.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk berbagai pihak.

Bogor,

Mei 2013

Nur Mar Atushsholihah Siregar

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ii

DAFTAR GAMBAR


ii

DAFTAR LAMPIRAN

ii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
METODE
Lokasi dan Waktu
Penanganan dan Analisis Sampel Keong Tutut
Prosedur Analisis Data
Metode Deskriptif
Analisis Stastistik
Analisis Fisika Kimia Air
Efek pada Kondisi dan Pertumbuhan Keong Tutut

Indeks Faktor Konsentrasi (IFK)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kandungan logam berat Pb dalam keong tutut
Kandungan logam berat Cd dalam keong tutut
Indeks Faktor Konsentrasi (IFK)
Parameter Lingkungan
Hubungan Morfometrik
Parameter Pertumbuhan
Body Condition Index (BCI)
Regresi Linear Sederhana Panjang pada Logam Pb dan Cd
Rancangan Acak Faktorial (RAF)
Pembahasan
Kandungan Logam Pb dan Cd pada Keong Tutut
Kandungan Logam Pb dan Cd pada Air
Parameter Fisika dan Kimia Perairan
Kelompok Umur
Pertumbuhan
Body Condition Index (BCI)
Pengendalian Pencemaran

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

1
1
1
2
2
3
3
3
4
4
4
5
6
6
7
7

7
7
8
9
10
11
14
14
15
15
15
16
17
17
18
19
19
20
20
20


DAFTAR PUSTAKA

20

LAMPIRAN

23

RIWAYAT HIDUP

30

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.

Batas maksimum cemaran logam pada moluska
Nilai standar beberapa parameter fisika kimia air
Parameter pertumbuhan Von Bertalanffy (L∞, K, t0) B. javanica

4
5
13

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

Bagan alir perumusan masalah
Lokasi penelitian
Keong tutut (Bellamya javanica v.d Bush 1844)
Kandungan rata-rata logam Pb pada masing-masing stasiun
Kandungan rata-rata logam Cd pada masing-masing stasiun
Indeks faktor konsentrasi keong tutut pada logam Pb
Indeks faktor konsentrasi keong tutut pada logam Cd
Grafik perbandingan beberapa parameter lingkungan
Hubungan morfometri cangkang (a) Inlet (b) Tengah (c) Outlet
Kurva hubungan panjang dan bobot total keong tutut B. javanica
Pergeseran modus frekuensi panjang keong tutut B. javanica
Kurva pertumbuhan keong tutut (a) Inlet (b) Bagian tengah (c) Outlet
Nilai body condition index keong tutut pada setiap stasiun

2
3
4
7
8
8
8
9
11
11
12
13
14

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Beberapa alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian
Uji lanjut BNT menggunakan software SPSS 17.00
Tabel ANOVA hubungan panjang dengan konsentrasi Pb dan Cd
Tingkat korelasi nilai r
Model Ford Walford untuk analisis panjang B. javanica
Sebaran kelompok umur keong tutut B. javanica

24
25
26
27
28
29

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Waduk Saguling merupakan salah satu waduk buatan yang membendung
aliran Sungai Citarum, selain Waduk Jatiluhur dan Cirata. Waduk Saguling
terletak di Kabupaten Bandung Barat dan berada di posisi teratas, sehingga
menjadi pintu pertama bagi aliran Sungai Citarum. Awalnya bendungan ini hanya
direncanakan sebagai penghasil energi listrik. Namun, fungsi bendungan semakin
berkembang seperti untuk perikanan, agri-akuakultur, pariwisata, bahkan untuk
kebutuhan domestik seperti MCK.
Ditunjang oleh letaknya yang merupakan bagian dari DAS Citarum, Waduk
Saguling menampung berbagai jenis limbah yang terbawa aliran air Sungai
Citarum dan anak-anak sungainya. Komposisi senyawa di dalam limbah
tergantung dari sumber kegiatan yang terdapat di sepanjang DAS Citarum. Jenis
kegiatan di DAS Citarum Hulu yang potensial menimbulkan pencemaran air di
Waduk Saguling di antaranya adalah kegiatan perindustrian, pemukiman dan
pertanian. Masalah peningkatan beban pencemaran dan sedimentasi yang tinggi
ini menjadi masalah krusial Waduk Saguling beberapa tahun terakhir ini.
Kontaminasi dan bahan pencemar yang berasal dari limbah-limbah industri,
maupun rumah tangga, menyebabkan kualitas air yang kian menurun. Umumnya
air limbah industri mengandung logam berat karena dalam proses produksinya
banyak melibatkan bahan kimia, seperti industri kimia, industri cat dan industri
pupuk (Darmono 1995). Logam berat tersebut pada akhirnya akan berdampak
pada biota perairan di waduk Saguling diantaranya adalah keong tutut (Bellamya
javanica v.d Bush).
Masyarakat yang bermukim di sekitar waduk Saguling sering memanfaatkan
keong tutut (Bellamya javanica v.d Bush) sebagai pakan ternak dan juga untuk
dikonsumsi. Keong tutut banyak dijual hingga ke daerah lain seperti Bogor,
Bandung, dan wilayah Jawa Barat lainnya. Kajian toksikologi pada keong tutut
(Bellamya javanica v.d Bush) belum pernah dilakukan sebelumnya, padahal
hewan tersebut layak menjadi indikator biologis untuk mendeteksi tingkat
gangguan ekologis yang disebabkan oleh pencemaran logam berat. Penelitian ini
perlu dilakukan mengingat logam berat Pb dan Cd jika sudah terakumulasi di
dalam tubuh manusia akan sulit untuk didegradasi dan dapat menyebabkan efek
akut dan kronis.
Logam berat Pb dan Cd selain merupakan unsur runutan yang tidak esensial
bagi tumbuhan maupun hewan air, juga bersifat sangat beracun. Logam berat
tersebut memiliki sifat afinitas besar terhadap protein dan lipid pada tubuh hewan
air dan pada kadar relatif rendah dalam badan air akan mudah diabsorpsi dan
terakumulasi pada tubuh hewan air tersebut. Sehingga, perlu dikaji lebih lanjut
dalam keong tutut pada penelitian ini.

Perumusan Masalah
Kandungan logam berat dalam perairan secara alamiah berada dalam jumlah
yang relatif sedikit. Berbagai aktivitas manusia yang meliputi kegiatan rumah

2
tangga, kegiatan industri, pertanian, budidaya dan kegiatan lainnya akan
menghasilkan limbah yang akan masuk ke perairan waduk Saguling. Logam berat
(Pb dan Cd) akan cenderung mengalami peningkatan pada tubuh organisme air
dalam hal ini khususnya pada tutut (Bellamya javanica v.d Bush) seiring dengan
meningkatnya kadar logam berat di perairan. Hal ini disebabkan karena tutut
(Bellamya javanica v.d Bush) yang memiliki sifat sebagai “filter feeder” yang
menyaring makanan langsung dari air.
Logam berat sangat berbahaya jika terakumulasi pada tubuh makhluk hidup
terlebih lagi jika dikonsumsi oleh manusia. Oleh karena itu, dengan mengetahui
kandungan logam berat pada tutut (Bellamya javanica v.d Bush) diharapkan dapat
mewakili tingkat akumulasi logam berat pada organisme tersebut. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada skema perumusan masalah pada Gambar 1.
Aktivitas manusia
(Industri, Pertanian,
Domestik, Kegiatan
Budidaya)

Limbah logam berat
(Pb dan Cd)

Faktor alami (Hujan,
Sedimentasi & Erosi)

- Efek biologis pada keong tutut
(faktor kondisi, pertumbuhan &IFK)
- Efek morfometri

- Keong tutut
- Perairan waduk
saguling

Kandungan
Pb dan Cd
pada tutut

Gambar 1. Bagan alir perumusan masalah

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan logam berat Pb dan
Cd, efek morfometri dan pertumbuhan keong tutut (Bellamya javanica v.d Bush)
pada waduk Saguling sebagai bahan pertimbangan kelayakan untuk dikonsumsi
dan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam merumuskan kebijakan
pengelolaan kawasan waduk Saguling.

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa
informasi mengenai status mutu dengan menggunakan pendekatan biologi melalui
keong tutut (Bellamya javanica v.d Bush) sebagai bahan pangan dan bioindikator
serta sebagai pertimbangan untuk penentuan kebijakan pengelolaan yang
berkelanjutan.

3

METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Waduk Saguling yang berada di Kabupaten
Bandung Barat, Jawa Barat. Penelitian dilakukan selama 3 bulan dimulai dari
bulan November 2012 s.d Januari 2013. Pengambilan sampel sebanyak satu kali
setiap bulan pada tiga stasiun yang berbeda (Gambar 2). Ketiga stasiun terdiri dari
daerah Maroko (inlet), daerah Karanganyar (tengah) dan daerah DAM (outlet).
Analisis logam berat dilakukan di Laboratorium Pengujian, Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Analisis
kekeruhan dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan Perairan dan
proses persiapan biota dilakukan di Laboratorium Biologi Makro 1 (BIMA),
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 2. Lokasi penelitian
Penanganan dan Analisis Sampel Keong Tutut
Keong tutut yang telah diawetkan di dalam freezer didiamkan sebentar agar
tidak terlalu beku untuk dilakukan analisis. Kemudian dilakukan pengukuran
panjang, lebar dan tinggi (Gambar 3) pada setiap sampel keong tersebut dengan
menggunakan jangka sorong. Setelah dilakukan pengukuran terhadap morfologi
keong kemudian dilakukan penimbangan terhadap bobot total keong pada keong
sebelum dibedah. Keong yang telah ditimbang bobot totalnya kemudian dibedah
dan diambil seluruh dagingnya. Daging yang diambil kemudian ditimbang
kembali sebagai bobot basah.

4
P
a
n
j
a
n
g
Tinggi
Lebar
Gambar 3. Keong tutut (Bellamya javanica v.d Bush 1844)
Analisis logam berat Pb dan Cd memerlukan beberapa tahapan. Tahapan
yang diperlukan yaitu tahap destruksi, pembuatan larutan blanko, tahap preparasi
dan pembacaan nilai Pb, Cd dengan menggunakan AAS (Atomic Absorption
Spectrophotometer). Analisis logam Pb dan Cd menggunakan metode APHA ed.
21 th 3111 B. Prinsip kerja AAS menggunakan hukum Lambert-Beer yaitu
bertambah turunnya intensitas cahaya yang dipancarkan sebanding dengan
bertambahnya kepekatan dari media.

Prosedur Analisis Data
Metode Deskriptif
Kandungan logam berat dilakukan dengan mengukur kandungan logam
berat yang terdapat pada daging tutut dan dibandingkan dengan kandungan
maksimum logam berat dalam tubuh Moluska menurut baku mutu BSN (2009)
mengenai batas maksimum cemaran logam dalam produk pangan. Nilai baku
mutu dari masing-masing logam berat dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Batas maksimum cemaran logam pada Moluska
Jenis Logam Berat
Pb
Cd

Batas Maksimum
1.5 mg/ kg
1.0 mg/kg

Menurut BSN (2009) batas toleransi asupan dalam seminggu atau yang
disebut dengan PTWI (Provisional Tolerable Weekly Intake) untuk logam berat
Pb dan Cd masing-masing adalah sebesar 0.025 mg/kg bb dan 0.007 mg/kg bb.
Analisis Stastistik
Regresi Linear Sederhana
Regresi linear sederhana merupakan salah satu metode uji regresi yang dapat
dipakai sebagai alat inferensi stastistik untuk menentukan pengaruh sebuah
variable bebas terhadap variable terikat. Variabel bebas (y) yang digunakan adalah

5
panjang keong tutut dan variabel terikat (x) yang digunakan adalah kandungan
logam berat Pb dan Cd. Uji regresi linear sederhana ini menggunakan software
statistik SPSS 17.00. Model observasi yang digunakan adalah sebagai berikut:
Yi = β0 + β1Xi + ε i

; i = 1, 2, 3,…, n

Keterangan:
Yi
= Nilai peubah yang dipengaruhi ke-i
Xi
= Nilai peubah yang mempengaruhi ke-i
β0
= Intersept
β1
= Koefisien kemiringan
εi
= Galat percobaan ke-i
dengan menggunakan model dugaan sebagai berikut:
Y = b0 + bi x

atau

y = a + bx

Hipotesis:
H0
= panjang tidak mempengaruhi penyerapan logam berat (β = 0)
H1
= panjang mempengaruhi penyerapan logam berat (β ≠ 0)
Koefisien korelasi menggambarkan seberapa besar keeratan hubungan
variable x dan variable y dan dihitung dengan menggunakan rumus:

r=
Nilai r dapat menggambarkan hubungan antara panjang keong tutut dengan
konsentrasi logam pada daging. Selain itu, melalui panjang total juga dapat
diketahui sebaran kelompok umur dari keong tutut. Software yang digunakan
untuk mengetahui sebaran kelompok umur adalah FiSat II.
Pada rancangan percobaan digunakan rancangan acak lengkap kelompok
dua faktor (RAF) berfaktor 3x3 dengan tiga kali ulangan. Ada dua faktor yang
digunakan, faktor pertama yaitu bulan pengamatan dan faktor kedua yaitu stasiun
atau lokasi pengamatan. Uji RAF menggunakan software Ms. Excel 2007.
Analisis Fisika Kimia Air
Nilai-nilai parameter fisika dan kimia yang diukur akan dibandingkan
dengan baku mutu air menurut PP. RI No. 82 Tahun 2001 dan pustaka lain. Nilai
standar yang diukur dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai standar beberapa parameter fisika kimia air
Parameter
Kekeruhan
Suhu
pH
DO

Nilai Standar
30 NTU
27 ± 3 0C
6–9
3 – 6 mg/l

Sumber
Pescod (1973) in Retnowati (2003)
PP. RI No. 82 tahun 2001
PP. RI No. 82 tahun 2001
PP. RI No. 82 tahun 2001

6
Efek pada Kondisi dan Pertumbuhan Keong Tutut
Body Condition Index (BCI) merupakan suatu indeks yang menggambarkan
tingkat kesehatan atau kemontokan dari suatu jenis kerang-kerangan atau siput.
Perhitungan yang digunakan adalah menggunakan rumus sebagai berikut:
B I=

Be at otal
an ang otal

Laju pertumbuhan dapat diduga dengan menggunakan Model Von
Bertalanffy yaitu:
L(t) = L∞ x [1 – e (-k(t-t0))]
Keterangan:
L(t) = Ukuran ikan pada umur t tahun (mm)
L∞ = Panjang maksimum atau panjang asimtotik (mm)
k
= Koefisien pertumbuhan (bulan)
t0
= Umur hipotesis ikan pada panjang nol (bulan)
Model Von Bertalanffy dapat ditransformasi menjadi persamaan linear
berikut ini untuk mendapatkan parameter pertumbuhan k, L∞, dan t0:
L(t+Δt) = L∞ x [1 − e(-k x Δt)] + Lt x e(-k x Δt)
yang dapat disederhanakan menjadi persamaan berikut ini:
L(t+Δt) = a + b x L(t)
dengan a = L∞ x (1-b) sehingga L∞ = a/(1-b) sedangkan b = exp (-K x Δt)
sehingga k= -(1/Δt) x ln b.
Pendugaan umur keong pada waktu lahir (t0) dimaksudkan untuk
mendapatkan informasi mengenai keong yang juga disandingkan dengan
informasi puncak pemijahan. Nilai t0 dapat diperoleh melalui nilai k dan L∞ yang
diterapkan dalam persamaan Log10(-t0) = -0,3922-0,2752 log10 L∞-1,038 log10 k
(Pauly 1980 in Natan 2008).
Indeks Faktor Konsentrasi (IFK)
Analisis perbedaan kandungan logam berat pada tutut dilakukan untuk
mengetahui tingkat akumulasi yang terdapat pada tutut. Faktor Konsentrasi
(enrichment factor) adalah kemampuan organisme untuk mengakumulasi logam
berat yang didefinisikan sebagai perbandingan antara kadar logam berat dalam
tubuh organisme dengan kadar logam berat dalam lingkungan perairan.
I

=

ada Logam Be at ada oluska
ada Logam Be at dalam i

7
Menurut Van Esch (1977) in Suprapti (2008), terdapat 3 kategori nilai IFK,
yaitu sebagai berikut: (1) nilai lebih besar dari 1000 masuk dalam kategori sifat
akumulasi tinggi, (2) nilai IFK 100 s.d 1000 disebut sifat akumulatif sedang dan
(3) IFK kurang dari 100 dikategorikan dalam kelompok sifat akumulatif rendah.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil

Pb (mg/kg)

Kandungan logam berat Pb dalam keong tutut
Logam Pb merupakan logam yang bersifat tidak esensial dan beracun.
Logam ini tergolong kedalam logam yang keberadaannya di dalam tubuh manusia
maupun hewan masih belum diketahui manfaatnya, bahkan dapat bersifat toksik.
Pengambilan sampel dilakukan dengan tiga kali ulangan dan setiap ulangan terdiri
dari 40 ekor keong tutut. Gambar 4 merupakan grafik kandungan logam berat Pb
pada masing-masing stasiun pengamatan.
20.00
18.00
16.00
14.00
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00

Sampling 1
Sampling 2
Sampling 3
Rata-rata

INLET

TENGAH
Lokasi Pengamatan

OUTLET

Gambar 4. Kandungan rata-rata logam Pb pada masing-masing stasiun
Hasil pengamatan rata-rata logam berat Pb dalam daging keong tutut pada
stasiun 1 adalah 15,6222 ± 2,8024 mg/kg, pada stasiun 2 adalah 15,3489 ± 2,3419
mg/kg dan pada stasiun 3 adalah 12,9922 ± 0,8361 mg/kg.
Kandungan logam berat Cd dalam keong tutut
Kadmium bersumber dari buangan industri limbah pertambangan,
pengelasan logam dan pipa-pipa air. Kadmium didalam tubuh manusia dapat
menyebabkan tekanan darah tinggi, perusakan ginjal, perusakan jaringan testicular
dan sel-sel darah merah dan toksisitas bagi biota perairan. Hasil pengamatan
terhadap logam berat Cd dapat dilihat pada Gambar 5.

8
4.00
3.50
3.00
Cd (mg/kg)

2.50
Sampling 1
Sampling 2
Sampling 3
Rata-rata

2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
INLET

TENGAH
Lokasi Pengamatan

OUTLET

Gambar 5. Kandungan rata-rata logam Cd pada masing-masing stasiun
Hasil pengamatan rata-rata logam berat Cd dalam daging keong tutut pada
stasiun 1 sebesar 1,2977 ± 1,0316 mg/kg, pada stasiun 2 sebesar 1,8382 ± 0,9340
mg/kg dan pada stasiun 3 sebesar 0,1899 ± 0,1205 mg/kg.
Indeks Faktor Konsentrasi (IFK)
Indeks faktor konsentrasi merupakan indeks yang digunakan untuk
menentukan daya akumulasi logam berat pada biota dengan kandungan logam
berat di air. Berikut ini merupakan indeks faktor konsentrasi biota pada logam
berat Pb dan Cd yang akan ditampilkan pada Gambar 6 dan Gambar 7.
250.00

IFK

200.00
Sampling 1

150.00

Sampling 2

100.00

Sampling 3
50.00

Rata-rata

0.00
INLET

TENGAH
Lokasi Pengamatan

OUTLET

Gambar 6. Indeks faktor konsentrasi keong tutut pada logam Pb
1000.00

IFK

800.00
Sampling 1

600.00

Sampling 2

400.00

Sampling 3
200.00

Rata-rata

0.00
INLET

TENGAH
Lokasi Pengamatan

OUTLET

Gambar 7. Indeks faktor konsentrasi keong tutut pada logam Cd

9
Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa indeks faktor konsentrasi pada
logam berat Pb menunjukkan angka antara 100 hingga 1000. Hal ini
mengindikasikan bahwa keong tutut pada setiap sampling dan pada setiap stasiun
memiliki daya akumulasi logam sedang. Sedangkan pada Gambar 7 dapat dilihat
bahwa terdapat tiga stasiun yang memiliki nilai IFK dibawah 100, yaitu sampling
1 stasiun 3, sampling 2 stasiun 3 dan sampling 3 pada stasiun 1. Nilai IFK
dibawah 100 mengindikasikan bahwa daya akumulasi keong tutut pada stasiun
pengamatan tersebut tergolong rendah. Sedangkan pada stasiun lainnya memiliki
nilai IFK diatas 100. Hal ini mengindikasikan bahwa pada stasiun pengamatan
tersebut keong tutut memiliki daya akumulasi logam berat Cd yang tergolong
sedang.
Parameter Lingkungan
Pengamatan terhadap beberapa parameter lingkungan yang diukur berupa
suhu, pH, kekeruhan dan oksigen terlarut (dissolved oxygen). Masing-masing
pengamatan menggunakan tiga kali pengukuran disetiap stasiunnya. Parameter
lingkungan tersebut merupakan parameter yang berpengaruh penting terhadap
kelangsungan hidup keong tutut di perairan. Hal ini penting untuk diketahui
mengingat parameter lingkungan adalah parameter yang mengalami fluktuasi
secara harian. Kondisi beberapa parameter lingkungan tersebut divisualisasikan
pada Gambar 8.
30.5
30.0
29.0
pH

Suhu (°C)

29.5
28.5
28.0
27.5
27.0
26.5

6.80
6.70
6.60
6.50
6.40
6.30
6.20
6.10
6.00
5.90
5.80
5.70
5.60
INLET

20.00

7.00

17.50

6.00

15.00

5.00

12.50

DO (mg.L¯ ¹)

Kekeruhan (NTU)

INLET
TENGAH
OUTLET
Lokasi Pengamatan

10.00
7.50
5.00

TENGAH
OUTLET
Lokasi Pengamatan

4.00
3.00
2.00
1.00

2.50
0.00

0.00
INLET

TENGAH
OUTLET
Lokasi Pengamatan

INLET
TENGAH OUTLET
Lokasi Pengamatan

Gambar 8. Grafik perbandingan beberapa parameter lingkungan

10
Kisaran suhu yang diperoleh adalah 28-30,3oC. Pada stasiun 1 diperoleh
rata-rata suhu sebesar 29 ± 0oC, di stasiun 2 sebesar 29,6 ± 0,6939oC dan pada
stasiun 3 sebesar 28,7 ± 0,8819oC. Kisaran pH yang diperoleh adalah 6-6,5. Nilai
pH tertinggi terdapat di stasiun 3 sebesar 6,33 ± 0,2887, kemudian pada stasiun 1
sebesar 6,17 ± 0,2887 dan nilai pH terendah pada stasiun 2 yaitu sebesar 6,00 ±
0,2887. Kisaran kekeruhan yang diperoleh pada ketiga stasiun adalah berkisar
antara 2,28-10,72 NTU. Nilai kekeruhan tertinggi terdapat di stasiun 2 sebesar
12,95 ± 4,8338 NTU, kemudian pada stasiun 1 sebesar 5,52 ± 3,4279 NTU dan
nilai terendah pada stasiun 3 diperoleh nilai kekeruhan sebesar 4,00 ± 0,6002
NTU. Kandungan oksigen terlarut yang diperoleh pada ketiga stasiun berkisar
antara 2,02 – 6,56 mg/l. Nilai oksigen terlarut tertinggi terdapat di stasiun 3
sebesar 5,97 ± 0,53 mg/l, kemudian pada stasiun 2 sebesar 4,80 ± 0,67 mg/l dan
nilai terendah pada stasiun 1 diperoleh nilai sebesar 3,11 ± 1,02 mg/l.
Hubungan Morfometri
Hubungan morfometri merupakan hubungan yang mengaitkan antara faktor
morfologi yang berupa panjang, lebar dan bobot biota. Hubungan antar komponen
morfometri keong tutut divisualisasikan dalam bentuk grafik dan persamaan
regresi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui keterkaitan antara panjang dan lebar
keong tutut. Hubungan antara panjang cangkang dan lebar cangkang
divisualisasikan pada Gambar 9. Kedua komponen tersebut dapat didekati melalui
persamaan regresi y = a +bx. Pada stasiun 1 diperoleh persamaan y = 4,2815 +
0,55x, pada stasiun 2 nilai y = 5,3554 + 0,5007x dan pada stasiun 3 nilai y =
6,0777 + 0,593x.

Lebar cangkang (mm)

35.0
y = 4.2815 + 0.55x
R² = 0.6168

30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0.0

5.0

10.0

15.0
20.0
25.0
Panjang cangkang (mm)

30.0

35.0

40.0

30.0

35.0

40.0

(a)
Lebar cangkang (mm)

30.0

y = 5.3554 + 0.5007x
R² = 0.7574

25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0.0

5.0

10.0

15.0
20.0
25.0
Panjang cangkang (mm)

(b)

11

Lebar cangkang (mm)

35.0
30.0

y = 6.0777 + 0.593x
R² = 0.5516

25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0.0

5.0

10.0

15.0
20.0
Panjang cangkang (mm)

25.0

30.0

35.0

(c)
Gambar 9. Hubungan morfometri cangkang (a) Inlet (b) Tengah (c) Outlet
Hubungan panjang dan bobot dari hewan akuatik dimaksudkan untuk
menduga pola pertumbuhan. Pengukuran komponen morfometri dapat
mengestimasi hubungan tersebut dengan melihat penyebaran data panjang dan
bobot yang diperoleh. Pendugaan parameter b, koefisien hubungan panjang bobot
dapat dianalisis melalui power regression yang divisualisasikan melalui
transformasi linear.
Hubungan panjang dan bobot keong total digambarkan berdasarkan
persamaan W= 0,0001L3.0444 (L=panjang dan W=bobot total) dengan nilai
koefisien determinasi (R2) sebesar 0,7169. Uji t (t student) terhadap koefisien b
menunjukkan bahwa b = 3 (isometrik). Hasil tersebut sesuai dengan penerimaan
hipotesis nol (p = 0,05) yang berarti bahwa antara laju pertumbuhan panjang dan
bobot total keong tutut di perairan waduk Saguling adalah seimbang (Gambar 10).
12.00
10.00

W = 0.0001L3.0444
R² = 0.7169

Bobot (gram)

8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
0.00

5.00

10.00

15.00
20.00
25.00
Panjang (mm)

30.00

35.00

40.00

Gambar 10. Kurva hubungan panjang dan bobot total keong tutut B. Javanica
Parameter Pertumbuhan
Analisis kelompok umur digunakan untuk melihat pertumbuhan ukuran
kelompok panjang dari keong tutut. Indeks sparasi menggambarkan kualitas
pemisahan dua kelompok umur yang berdekatan. Apabila nilai indeks sparasi
kurang dari dua maka tidak mungkin dilakukan pemisahan kelompok umur karena
akan terjadi tumpang tindih dengan kedua kelompok umur tersebut (Sparre dan
Venema 1999). Gambar 11 merupakan grafik kelompok umur dari keseluruhan
sampel keong tutut yang diamati.

12

Gambar 11. Pergeseran modus frekuensi panjang keong tutut B. javanica
Hasil analisis terhadap parameter pertumbuhan keong tutut menggunakan
data frekuensi panjang yang diamati selama 3 bulan. Parameter pertumbuhan Von
Bertalanffy (k, L∞, t0) diduga dengan menggunakan model Ford Walford
(Lampiran 5) menunjukkan bahwa keong tutut di perairan Waduk Saguling
memiliki nilai k, L∞, t0 yang disajikan pada Tabel 3 dan kurva pertumbuhan Von
Bertalanffy pada Gambar 12.

13
Tabel 3. Parameter pertumbuhan Von Bertalanffy (L∞, K, t0) B. javanica
Keong tutut

Parameter Pertumbuhan
L∞ (mm)
25,6656
24,6682
26,5259

k (bulan)
1,2248
1,1202
1,4004

Inlet
Bagian tengah
Outlet

t0 (bulan)
-0,1344
-0,1491
-0,1159

30.0000
25.0000
20.0000
15.0000

Lt

Lt = 25,6656 [1-e -1,2248(t+0,1344]

Linf

10.0000
5.0000
0.0000
0

1

2

3

4

5

6

7

8

(a)
30.0000
25.0000
20.0000
Lt

15.0000

Lt = 24,6682[1-e -1,1202(t+0,1491)]

Linf

10.0000
5.0000
0.0000
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

(b)
30.0000
25.0000
20.0000
15.0000

Lt

Lt = 26,5259 [1-e -1,4004(t+0,1159)]

Linf

10.0000
5.0000
0.0000
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

(c)
Gambar 12. Kurva pertumbuhan keong tutut (a) Inlet (b) Bagian tengah (c) Outlet

14
Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy untuk pada daerah inlet adalah Lt=
25,6656 [1-e -1,2248(t+0,8126)], bagian tengah adalah Lt = 24,6682[1-e -1,1202(t+0,4833)]
dan outlet adalah Lt = 26,5259 [1-e -1,4004(t+0,1617)]. Koefisien pertumbuhan (k)
merupakan parameter yang menyatakan kecepatan pertumbuhan dalam mencapai
panjang asimtotiknya (L∞) dari pola pertumbuhan (Sparre dan Venema 1999).
Laju pertumbuhan keong tutut perbulannya berdasarkan pengukuran terhadap
panjang cangkang diperoleh hasil di stasiun 1 sebesar 1,2734 mm, stasiun 2
sebesar 2,0922 mm dan pada stasiun 3 sebesar 2,4483 mm.
Body Condition Index (BCI)
Nilai BCI disetiap stasiun berbeda-beda yang mengindikasikan bahwa nilai
kemontokan tutut disetiap stasiun juga berbeda-beda. Gambar 13 menggambarkan
nilai BCI disetiap stasiun pengamatan.
0.120
0.110

Rata-rata BCI

0.100
0.090

Sampling 1
Sampling 2
Sampling 3
Rata-rata

0.080
0.070
0.060
0.050
0.040
INLET

TENGAH
Stasiun Pengamatan

OUTLET

Gambar 13. Nilai body condition index keong tutut pada setiap stasiun
Nilai rata-rata BCI tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu sebesar 0,0922
gr/mm, kemudian stasiun 1 sebesar 0,0892 gr/mm dan nilai BCI terendah terdapat
pada stasiun 2 sebesar 0,0707 gr/mm. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
pencemaran yang paling tinggi terdapat pada stasiun 2.
Regresi Linear Sederhana Panjang dan Logam Pb dan Cd
Pada uji ANOVA (Analysis of Variance) terhadap logam Pb diperoleh nilai
F hit sebesar 49,6513 dan F significance sebesar 0,0000003 (Lampiran 3).
Berdasarkan hipotesis, dapat diketahui bahwa nilai F hit > F sig sehingga
memiliki kesimpulan tolak H0 (terima H1). Hal ini mengindikasikan bahwa
panjang cangkang keong tutut mempengaruhi penyerapan logam Pb. Hasil
koefisien determinasi (R2) yang didapat sebesar 0,6651 dan koefisien korelasi (r)
sebesar 0,8155. Sehingga hasil ini tergolong kedalam kategori tinggi (Lampiran 4).
Sedangkan pada uji ANOVA terhadap logam Cd diperoleh hasil nilai F hit
sebesar 19,5778 dan F significance sebesar 0,00018 (Lampiran 3). Sehingga,
dapat diketahui bahwa nilai F hit > F sig dan memiliki kesimpulan tolak H0
(terima H1). Hal ini mengindikasikan bahwa panjang cangkang keong tutut
mempengaruhi penyerapan logam Cd. Koefisien determinasi (R2) yang didapat

15
sebesar 0,4391 dan koefisien korelasi (r) sebesar 0,6627. Sehingga, hasil ini
tergolong kedalam kategori cukup tinggi (Lampiran 4).
Rancangan Acak Faktorial (RAF)
Rancangan ini menggunakan dua faktor, yaitu bulan pengamatan dan stasiun
pengamatan. Berdasarkan uji statistika pada logam Pb dengan selang kepercayaan
95% diketahui bahwa antara bulan pengamatan dan stasiun pengamatan tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang nyata terhadap konsentrasi logam Pb (p <
0,05). Pada logam Cd dengan menggunakan selang kepercayaan 94% perbedaan
stasiun pengamatan dan perbedaan bulan pengamatan menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata terhadap konsentrasi logam. Perbedaan bulan secara
signifikan terdapat pada setiap bulan pengamatan berdasarkan uji BNT (α = 0,06)
(Lampiran 2).
Pembahasan
Kandungan Logam Pb dan Cd pada Keong Tutut
. Logam Pb dan Cd termasuk kedalam logam berat yang sangat tidak
esensial bagi makhluk hidup. Keberadaannya dialam memberikan dampak buruk
bagi biota terutama biota air. Menurut Darmono (1995) logam berat di air diserap
oleh biota melalui insang dan saluran pencernaan. Jika hewan air tersebut tahan
terhadap kandungan logam yang tinggi, maka logam tersebut dapat tertimbun di
dalam jaringannya, terutama pada hati dan ginjal. Berdasarkan Gambar 4, rata-rata
kandungan logam Pb pada keong tutut di ketiga stasiun adalah sangat tinggi dan
sudah mengalami keadaan tidak layak konsumsi. Hal ini jelas sudah melewati
baku mutu maksimum cemaran logam pada Moluska yaitu sebesar 1,5 mg/kg.
Selain itu, kandungan logam Pb pada ketiga stasiun juga sudah melewati batas
toleransi PTWI (Provisional Tolerable Weekly Intake) sebesar 0,025 mg/kg bb.
Keong tutut pada stasiun 3 merupakan stasiun yang memiliki nilai kandungan
logam terkecil jika dibanding dengan dua stasiun lainnya. Hal ini diduga sebagai
akibat dari berkurangnya kandungan logam Pb di air karena telah banyak terserap
pada daging keong tutut yang berada pada dua stasiun sebelumnya.
Berdasarkan Gambar 5, rata-rata kandungan logam Cd di dalam daging tutut
pada ketiga stasiun pengamatan di bulan November s.d Desember tidak sebesar
kandungan pada logam Pb. Pada stasiun 1 dan stasiun 2 kandungan logam Cd
sudah melewati kadar baku mutu yang telah ditetapkan oleh BSN (2009) yaitu
sebesar 1,0 mg/kg dan kadar PTWI sebesar 0,07 mg/kg. Pada stasiun 3 yang lebih
dekat kearah pintu air keluar memiliki kandungan logam yang masih berada
dibawah baku mutu BSN (2009) sebesar 0,1899 mg/kg, namun telah melewati
kadar PTWI. Rendahnya kandungan logam Cd pada stasiun 3 diduga disebabkan
oleh letaknya yang jauh dari inlet (air masuk), sehingga logam Cd yang
terkandung di badan air telah banyak diasup oleh keong tutut yang berada pada
stasiun 1 (inlet) dan stasiun 2 (bagian tengah). Selain itu, keong tutut menyukai
perairan dangkal yang berdasar lumpur dan ditumbuhi tanaman air, dengan aliran
air yang lamban, seperti sawah, rawa-rawa, pinggir danau dan sungai kecil, serta
lebih menyukai perairan yang jernih dan bersih. (LIPI in Risjad 1996). Menurut
Patrick (2003) in Rumahlatu (2012) dibandingkan dengan jenis logam berat

16
lainnya, kadmium merupakan salah satu jenis logam berat yang memiliki
toksisitas yang tinggi, penyebaran yang luas serta memiliki waktu paruh
(biological life) yang panjang dalam tubuh organisme hidup yaitu sekitar 10-30
tahun karena tidak dapat didegradasi. Keracunan logam Cd dapat mengakibatkan
disfungsi ginjal, gangguan sistem syaraf maupun reproduksi, resiko karsinogenik
dan kanker prostat pada manusia (APHA 1992 in Azhar 2012).
Keberadaan logam Pb dan Cd yang tinggi diduga sebagai dampak dari
banyaknya limbah yang berasal dari DAS Citarum. Menurut Sastrawijaya (1991)
dari 40 industri yang terbukti mencemari DAS Citarum, 70% diantaranya adalah
industri tekstil, sisanya adalah industri logam, penyamakan kulit dan industriindustri lain. Selain itu limbah domestik dan limbah buangan KJA juga
berkontribusi pada peningkatan kadar logam Pb dan Cd. Menurut PT. Indonesia
Power sebagai pengelola waduk Saguling jumlah KJA pada tahun 2011 adalah
sebanyak 7261 unit KJA, jumlah ini meningkat dibanding dengan tahun
sebelumnya yang berjumlah 6980 unit KJA.
Logam-logam berat seperti Pb dan Cd di Waduk Saguling perlu diwaspadai
keberadaannya karena dapat mempengaruhi kehidupan biota sehingga
menyebabkan kematian. Pembuangan limbah industri secara terus menerus tidak
hanya dapat mencemari lingkungan perairan, tetapi juga dapat menyebabkan
terakumulasinya logam berat pada air, sedimen dan biota perairan. Menurut
Sunardi (2004) in Shindu (2005) keberadaan Pb didalam tubuh tidak dapat
dikeluarkan lagi sehingga semakin lama jumlahnya semakin meningkat dan
menumpuk di otak, saraf, jantung, hati dan ginjal yang pada akhirnya dapat
menimbulkan kerusakan jaringan yang ditempatinya. Logam kadmium masuk
kedalam freshwater dari sumber yang berasal dari industri. Kadmium yang
terkandung pada air sungai dan irigasi untuk pertanian akan mengalami
penumpukan pada sedimen dan lumpur. Sungai dapat mentransport kadmium
pada jarak sampai dengan 50 km dari sumbernya (Sudarmaji et.al 2006).
Pada logam Pb nilai rata-rata IFK cenderung lebih besar dibanding dengan
nilai IFK pada logam Cd diketiga stasiun pengamatan. Hal ini mengindikasikan
bahwa jenis logam Pb lebih banyak terdapat pada perairan sehingga mudah
terakumulasi pada daging keong tutut. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Hutagalung (1990) bahwa besar kecilnya nilai Indeks Faktor Konsentrasi (IFK)
tergantung pada jenis logam berat, organisme, lama pemaparan serta kondisi
lingkungan perairan.
Kandungan Logam Pb dan Cd pada Air
Data kandungan logam Pb dan Cd pada air diperoleh melalui data sekunder
dari PT. Indonesia Power tahun 2012. Kandungan logam diperoleh dari data
kuartal ketiga yaitu pada bulan Oktober s.d Januari 2013. Nilai logam Pb yang
diperoleh tidak terlalu tinggi dengan rata-rata sebesar 0,0783 mg/l. Nilai ini
melebihi kadar logam Pb pada keadaan alamiah yaitu sebesar 0,003 mg/l
(Darmono 1995). Menurut Effendi (2003) timbal (Pb) pada perairan ditemukan
dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Kelarutan timbal cukup rendah sehingga
kadar timbal di dalam air relatif sedikit. Rata-rata kandungan logam Cd di air
sebesar 0,003 mg/l. Nilai ini sesuai dengan kadar alamiah logam Cd di perairan
tawar. Menurut Saeni (1989) zat pencemar kadmium dalam air dapat berasal dari
buangan industri dan limbah pertambangan.

17
Parameter Fisika dan Kimia Perairan
Suhu, pH, kekeruhan merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi
proses penyerapan logam kedalam tubuh biota perairan. Nilai suhu yang diperoleh
pada ketiga stasiun cenderung stabil dan berkisar antara 28 – 30°C. Suhu ini tidak
mengalami fluktuasi yang berarti sehingga baik untuk proses metabolisme,
respirasi dan pertumbuhan keong tutut. Menurut Saeni (1989) suhu yang sangat
rendah menyebabkan proses biologi sangat lambat, sedangkan suhu yang sangat
tinggi dalam air merupakan hal yang fatal bagi kebanyakan organisme. Suhu
berbahaya bagi makrozoobenthos berkisar antara 35-40 oC (Welch 1952 in Purba
2006).
Nilai pH pada ketiga stasiun juga tidak mengalami perbedaan yang cukup
berarti berkisar antara 6-6,5. Nilai pH cenderung bersifat asam, hal ini disebabkan
karena pertambahan bahan-bahan organik yang kemudian membebaskan CO2 jika
mengurai (Sastrawijaya 1991). Keong tutut mampu bertahan hidup pada kisaran
pH tersebut karena biota ini memiliki tingkat toleransi yang cukup tinggi terhadap
pH asam. Toksisitas logam memperlihatkan peningkatan pada pH rendah
(Novotny dan Olem 1994 in Effendi 2003). Air limbah dan bahan buangan dari
kegiatan industri yang dibuang ke sungai akan mengubah pH air yang pada
akhirnya dapat mengganggu kehidupan organisme di dalam air (Wardhana 1995).
Nilai kekeruhan yang diperoleh memiliki rata-rata berkisar antara 5,52-12,95
NTU. Nilai ini cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai standar
kekeruhan di air (Tabel 2). Hal ini mendukung keong tutut untuk dapat tetap
bertahan hidup, karena menurut Effendi (2003) kekeruhan yang tinggi dapat
mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernafasan dan daya
lihat organisme akuatik, serta menghambat penetrasi cahaya ke dalam air.
Dissolve oxygen (DO) merupakan kandungan oksigen yang terlarut ke
dalam perairan. Nilai DO yang diperoleh memiliki rata-rata yang berkisar antara
3,11- 5,97 mg/l. Berdasarkan PP. RI No.82 tahun 2001 kisaran DO yang sesuai
untuk kegiatan perikanan berkisar antara 3-6 mg/l. Dengan demikian nilai DO
pada waduk Saguling masih memenuhi kriteria yang baik untuk perikanan.
Kelompok Umur
Analisis mengenai kelompok umur ditujukan untuk mengetahui ada berapa
kelompok umur pada sampel keong tutut yang diamati. Pada Gambar 11 dapat
dilihat bahwa pada ketiga stasiun menunjukkan adanya pergeseran modus. Pada
stasiun 2 dari sampling bulan November hingga bulan Desember. Sedangkan pada
stasiun 3 pergeseran modus panjang terjadi pada bulan November hingga
Desember. Pada bulan Januari di stasiun 3 mengalami pergeseran modus kearah
kiri. Hal ini mengindikasikan terjadinya rekruitmen atau penambahan individu
baru ke dalam populasi keong tutut di stasiun tersebut.
Berdasarkan Lampiran 6 diketahui bahwa indeks sparasi dari keseluruhan
stasiun bernilai 0 (kurang dari 2) atau n.a. Hal ini menandakan bahwa keong tutut
dikeseluruhan stasiun pengamatan memiliki kelompok umur hanya 1. Kelompok
umur yang seragam diduga karena individu keong tutut pada Waduk Saguling
memiliki daur hidup yang sangat singkat. Sehingga, individu ini dapat dengan
cepat berganti generasi dan kemudian mati.

18
Pertumbuhan
Panjang infinity atau panjang asimtot menunjukkan seberapa besar ukuran
cangkang yang dapat dicapai oleh suatu individu keong. Koefisien pertumbuhan
(k) merupakan faktor penting untuk mengetahui laju pertumbuhan keong
mencapai ukuran infinity. Sparre dan Venema (1999) in Natan (2008) menyatakan
bahwa umur t0 dinamakan juga sebagai parameter kondisi awal (the initial
condition parameter) yang menentukan titik dalam ukuran waktu ketika
(ikan/keong) memiliki panjang nol.
Panjang rata-rata keong tutut maksimum yang didapat perbulan di bagian
inlet sebesar 25,4250 mm. Sedangkan nilai L∞ adalah sebesar 25,6656 mm.
Panjang maksimum tersebut hampir mendekati nilai L infinity, dikarenakan nilai
koefisien pertumbuhan (k) yang cukup besar yaitu sebesar 1,2248. Namun
sebelum mencapai panjang infinity tersebut keong tutut sudah mengalami
kematian. Laju pertumbuhan rata-rata keong tutut pada stasiun inlet adalah
sebesar 1,2734 mm per bulan. Nilai ini tergolong cukup tinggi dikarenakan keong
tutut memiliki daur hidup yang cukup cepat yaitu berkisar 4 sampai 5 bulan.
Pada bagian tengah waduk keong tutut memiliki nilai panjang rata-rata
maksimum sebesar 24,1700 mm. Nilai L infinity yang didapat sebesar 24,6682
mm. Laju pertumbuhan rata-rata sebesar 2,0922 mm per bulan dan memiliki
koefisien pertumbuhan sebesar 1,1202. Keong tutut pada stasiun tengah hampir
memiliki nilai laju pertumbuhan yang sama dengan keong tutut pada stasiun inlet.
Hal ini dapat disebabkan karakteristik perairan dan beban pencemaran yang
dibawa oleh aliran air masih memiliki pengaruh yang cukup besar hingga ke
stasiun tengah.
Sedangkan pada stasiun outlet keong tutut memiliki panjang rata-rata
maksimum sebesar 26,2092 mm dan memiiliki nilai L infinity sebesar 26,5259
mm. Nilai koefisien pertumbuhan yang didapat sebesar 1,4004 dan memiliki laju
pertumbuhan rata-rata sebesar 2,4483 mm per bulan. Keong tutut pada stasiun
outlet memiliki nilai yang cukup besar dibanding dengan dua stasiun pengamatan
lainnya dari segi laju pertumbuhan, koefisien pertumbuhan dan juga panjang ratarata maksimum keong tutut yang didapat. Hal ini dimungkinkan karena kondisi air
pada stasiun outlet yang cenderung cukup bersih, jauh dari aktivitas KJA dan juga
memiliki beban cemaran yang tidak terlalu tinggi.
Nilai k berbeda antara satu jenis dengan jenis lainnya, bahkan perbedaan
tersebut dapat terjadi pada jenis yang sama dengan lokasi yang sama. Nilai
koefisien pertumbuhan k menunjukkan seberapa cepat suatu spesies mencapai
panjang atau berat infinity (Sparre dan Venema 1998 in Natan 2008). Semakin
cepat laju pertumbuhannya maka semakin cepat pula biota tersebut mendekati
panjang asimtotik dan semakin cepat pula biota tersebut mati. Menurut Sparre dan
Venema (1999), semakin rendah koefisien pertumbuhan maka semakin lama
waktu yang dibutuhkan oleh spesies tersebut untuk mendekati panjang asimtotik,
sebaliknya semakin tinggi koefisien pertumbuhan maka akan semakin cepat waktu
yang dibutuhkan untuk mendekati panjang asimtotik.
Nilai t0 diketiga stasiun memiliki kisaran yang tidak berbeda jauh. Nilai t0
(umur teoretis) dari keong tutut yang didapat pada stasiun 1 sebesar -0,1344 tahun,
stasiun 2 sebesar -0,1491 tahun dan stasiun 3 sebesar -0,1159 tahun. Umur
teoretis merupakan umur pada saat biota pertama sekali memiliki panjang sebesar

19
0 mm. Perbedaan umur teoretis dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, jenis
kelamin dan juga spesies.
Body Condition Index (BCI)
Nilai BCI merupakan gambaran tingkat kemontokan dari biota. Nilai ini
membandingkan antara nilai bobot total dengan panjang total. Nilai BCI = 1
merupakan nilai maksimum biota dikatakan sangat montok. Berdasarkan Gambar
13 dapat dilihat bahwa ketiga stasiun memiliki nilai rata-rata yang hampir sama,
berturut turut sebesar 0,0892 gr/mm, 0,0922 gr/mm dan 0,0707 gr/mm. Hal ini
menggambarkan bahwa tingkat kemontokan keong tutut di waduk Saguling
cenderung memiliki ukuran yang sama, tetapi tidak terlalu montok. Hal ini diduga
disebabkan karena banyaknya bahan pencemar yang terdapat di waduk Saguling,
sehingga keong tutut tidak dapat tumbuh dengan baik. Menurut Albrecht (2005),
kondisi tubuh biota merujuk kepada keadaan energiknya. Biota dalam kondisi
baik dianggap memiliki lebih banyak energi cadangan daripada binatang dalam
kondisi buruk. Selain itu pengkajian BCI sangat penting dikarenakan memiliki
korelasi terhadap parameter populasi dan kualitas habitat (Bancila 2010).
Pengendalian Pencemaran
Pengawasan terhadap bahan pencemar di waduk Saguling dapat dilakukan
dengan menetapkan strategi pengawasan sasaran. Menurut Connell dan Miller
(1995) pengawasan sasaran itu sendiri melingkupi pengaruh pencemar pada
ekosistem alamiah dan biota yang berhubungan pada ekosistem tersebut.
Pengawasan ini meliputi pengukuran kiwiawi dan fisika dalam berbagai lokasi
atau situasi, sebagai contoh, proses produksi, emisi ke lingkungan, keberadaan
dalam lingkungan, pada permukaan suatu sasaran dan di dalam makhluk hidup.
Upaya penanggulangan bahan pencemar seharusnya dimulai dari hulu
kemudian ke hilir. Pada bagian hulu pencemaran disebabkan oleh industri-industri
yang membuang limbahnya ke aliran sungai Citarum tanpa adanya treatment
untuk mengurangi toksisitas dari limbah. Seharusnya untuk setiap industri yang
akan membuang limbah ke perairan harus memiliki Instalasi Pengelolaan Air
Limbah (IPAL). Melakukan pengawasan terhadap pabrik penghasil limbah, serta
peran pemerintah dalam memberikan sanksi terhadap industri yang tidak memiliki
IPAL. Melakukan inspeksi mendadak untuk meninjau kinerja IPAL yang
digunakan oleh pihak industri
Perlunya peran beberapa stakeholder dalam pengelolaan Waduk Saguling.
Termasuk didalamnya pembatasan jumlah industri yang boleh beroperasi di
Kabupaten Bandung. Selain itu upaya monitoring terhadap logam berat di perairan
Waduk Saguling harus dilakukan secara terus-menerus. Pembatasan jumlah KJA
juga seharusnya dilakukan oleh Dinas Perikanan setempat guna mengurangi beban
masukan limbah dari KJA yang sangat besar. Pendirian unit KJA juga selayaknya
memiliki izin dari Dinas Perikanan dan diatur penggunaanya secara baik.

20

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Konsentrasi logam Pb dan Cd pada daging keong tutut di waduk Saguling
telah melewati baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah (1,5 mg/kg dan 1,0
mg/kg) dengan rata-rata sebesar 14,6554 mg/kg dan 1,1086 mg/kg. Sehingga
keong tutut yang berasal dari waduk Saguling sudah tidak layak untuk dikonsumsi.
Pencemaran tersebut diduga berasal dari pembuangan limbah dari industri tekstil,
industri logam, limbah domestik, limbah yang berasal dari KJA, dan juga
limpasan minyak. Analisis terhadap faktor kondisi, rasio pertambahan panjang
dan lebar serta laju pertumbuhan menunjukkan bahwa pada bagian inlet lebih
rendah dibanding bagian tengah dan bagian outlet dari waduk.

Saran
Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai spesies yang juga banyak
ditemukan di waduk Saguling seperti spesies keong mas dan juga perlu
diadakannya sosialisasi kepada masyarakat untuk memberikan pengertian
mengenai bahaya mengkonsumsi bahan pangan yang telah tercemar khususnya
oleh logam berat. Peran pemerintah, pelaku industri maupun masyarakat setempat
sangat diperlukan untuk keberlanjutan waduk Saguling di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
Albrecht ISH, Zinner B, Millar JS, Hickling GJ. 2005. Restituion of Mass-Size
Residuals: Validating Body Condition Indices. Journal of Ecology. 86
(01):155-163.
Azhar H, Widowati I & Suprijanto J. 2012. Studi Kandungan Logam Berat Pb, Cu,
Cd, Cr pada Kerang Simping (Amusium pleuronectes), Air dan Sedimen di
Perairan Wedung, Demak serta Analisis Maximum Tolerable Intake pada
Manusia. Journal of Marine Research. 01 (02):35-44.
Bancila RI, Hartel T, Plaiasu R, Smets J, Cogalniceanu. 2010. Comparing Three
Body Condition Indices in Amphibians: A case Study of Yellow-Bellied
Toad Bombina variegate. Journal of Amphibia-Reptilia 31: 558-562.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Batas Maksimum Cemaran Logam
Berat dalam Pangan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
Connel WD dan Miller GJ. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran.
Koestoer Y, penerjemah. Jakarta (ID): UI Pr. Terjemahan dari : Chemistry
and Ecotoxicology of Pollution. 520 p.
Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Penerbit
Universitas Indonesia. Jakarta.140p.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

21
Hutagalung HP. 1990. Pencemaran Laut oleh Logam Berat. Dalam Status
Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik Pemantauannya. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Oseanologi. LIPI: Jakarta.
Mrajita, CVP. 2010. Kandungan Logam Berat pada Beberapa Biota Kekerangan
di Kawasan Littoral Pulau Adonara (Kabupaten Flores Timur, Nusa
Tenggara Timur) dan Aplikasinya dalam Analisis Keamanan Konsumsi
Publik. Tesis. Program Magister Manajemen Sumberdaya Pantai.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Natan Y. 2008. Studi Ekologi dan Reproduksi Populasi Kerang Lumpur
Anadontia edentula pada Ekosistem Mangrove Teluk Ambon Bagian Dalam.
Thesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 179p.
[PP. RI] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82. 2001. Tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
[PT. IP] Perusahaan Terbuka Indoneisa Po