Analisis Kandungan Nutrien (N, P) dan Pendugaan Status Kesuburan di Waduk Saguling, Jawa Barat

ANALISIS KANDUNGAN NUTRIEN (N, P) DAN
PENDUGAAN STATUS KESUBURAN DI WADUK
SAGULING, JAWA BARAT

DWI HARYANI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Analisis Kandungan
Nutrien (N, P) dan Pendugaan Status Kesuburan di Waduk Saguling, Jawa Barat”.
adalah benar hasil karya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber
data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013
Dwi Haryani
NIM C24090065

ABSTRAK
DWI HARYANI. Analisis Kandungan Nutrien (N, P) dan Pendugaan Status
Kesuburan Di Waduk Saguling, Jawa Barat. Dibimbing oleh SIGID HARIYADI
dan INNA PUSPA AYU.
Waduk Saguling adalah waduk buatan yang terbentuk dengan cara membendung
Sungai Citarum. Waduk tersebut memiliki fungsi utama sebagai PLTA serta
penunjang kegiatan perikanan keramba jaring apung (KJA). Beban masukan dari
Sungai Citarum dan KJA berpotensi meningkatkan status kesuburan melalui
eutrofikasi. Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2012 hingga bulan
Januari 2013. Pengambilan contoh dilaksanakan pada 3 stasiun di Waduk
Saguling (inlet, tengah, dan outlet). Parameter kualitas air yang diamati meliputi
parameter fisika, kimia, dan biologi. Analisis kandungan nutrien diperoleh melalui
analisis rasio N:P. Pendugaan status kesuburan diduga melalui metode TSI

(Carlson 1977). Analisis rasio N:P menunjukkan nilai 24,2 yang berarti faktor
pembatas di Waduk Saguling adalah P. Nilai TSI yang diperoleh menunjukkan
status kesuburan Waduk Saguling tergolong kategori hipertrofik tetapi kondisi di
lapang selama pengamatan tidak menunjukkan kriteria hipertrofik.
Kata kunci: nutrien, status kesuburan, Waduk Saguling
DWI HARYANI. Analysis of nutrient (N, P) and Estimating Trophic State In
Saguling Reservoir, West Java. Supervised by SIGID HARIYADI and INNA
PUSPA AYU.
Saguling Reservoir is man made lake that stem the flow of Citarum River. It has a
major function as a hydropower and fisheries activities supporting floating cage.
Nutrien input from Citarum River and KJA potentially increase the trophic state
of Saguling Reservoir. Research was conducted from November 2012 until
January 2013. Sampling was done in 3 stations of Saguling Resevoir (inlet,
middle, and outlet). Water quality parameters include physics, chemistry, and
biology was observed in this research. Nutrien concentration was analyzed from
N:P ratio. Trophic state was estimated from TSI. Ratio of N: P showed a value of
24.2 which means P is the limiting factor in Saguling Reservoir. The value of TSI
showed hypertrophic condition but characteristic of hypertrophic didn’t show
during observed in Saguling Reservoir.
Keyword: , nutrient, trophic state, Saguling Reservoir


ANALISIS KANDUNGAN NUTRIEN (N, P) DAN
PENDUGAAN STATUS KESUBURAN DI WADUK
SAGULING, JAWA BARAT

DWI HARYANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi: Analisis Kandungan Nutrien (N, P) dan Pendugaan Status

Kesuburan di Waduk Saguling, Jawa Barat
Nama
: Dwi Haryani
NIM
: C24090065

Disetujui oleh

igid Hariyadi, MSc.
Pembimbing I

Tanggal Lulus:

3-1 0 72 0 1 3

Inna Puspa Ayu, SPi, MSi
Pembimbing II

Judul Skripsi : Analisis Kandungan Nutrien (N, P) dan Pendugaan Status
Kesuburan di Waduk Saguling, Jawa Barat

Nama
: Dwi Haryani
NIM
: C24090065

Disetujui oleh

Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc.
Pembimbing I

Inna Puspa Ayu, SPi, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis
Kandungan Nutrien (N, P) dan Pendugaan Status Kesuburan di Waduk Saguling,
Jawa Barat”. ini dapat diselesaikan. Skripsi disusun dalam rangka memenuhi salah
satu syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen Manajemen Sumber Daya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, terutama
kepada :
1. Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc dan Inna Puspa Ayu, SPi, MSi selaku dosen
pembimbing.
2. Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc selaku dosen penguji.
3. Keluarga tercinta Ayahanda Sukarman, Ibunda Sri Lestari, kakak (Afrinia
Eka Sari) dan adik (Astri Ira Wati) serta Anma Hari Kusuma yang telah
memberikan dukungan dan kasih sayangnya.
4. Teman-teman Saguling (Ika, Rio, Eka, Kak Dwi) dan keluarga besar kang
Ali.
5. Keluarga besar Laboratorium Biomikro dan Produktivitas Lingkungan

MSP.
6. Teman-teman MSP 46, MSP 47, MSP 45, MSP 44, keluarga besar MSP,
teman-teman new Arini, dan teman-teman sweet home.
7. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini.
Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di
masa depan. Demikian skripsi ini disusun, semoga bermanfaat.

Bogor, Juli 2013
Dwi Haryani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .......................................................................................
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
PENDAHULUAN ......................................................................................
Latar Belakang ......................................................................................
Perumusan Masalah ...............................................................................
Tujuan ....................................................................................................
Manfaat ..................................................................................................
METODE ...................................................................................................

Tempat dan Waktu Penelitian ..............................................................
Metode Pengambilan Contoh .................................................................
Alat, Bahan, Metode Uji ........................................................................
Prosedur Analisis Data ..........................................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................
Kandungan Nutrien (N,P) di Waduk Saguling ......................................
Parameter Pendukung ............................................................................
Penentu Status Kesuburan Waduk Saguling. ........................................
Kesamaan Karakteristik Kualitas Air Antar Stasiun. ............................
Rekomendasi Pengelolaan .....................................................................
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................
Simpulan .................................................................................................
Saran ......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
LAMPIRAN ...............................................................................................

iv
v
vi
1

1
2
2
3
3
3
4
4
5
7
7
13
16
22
22
23
23
24
24
27


DAFTAR TABEL
1. Nama dan koordinat lokasi pengambilan contoh air data primer................ 4
2. Parameter (fisika,kimia,biologi) yang di uji................................................ 5
3. Rasio N:P pada setiap stasiun...................................................................... 13

DAFTAR GAMBAR
1. Bagan alir perumusan masalah................................................................... 2
2. Peta lokasi penelitian.................................................................................. 3
3. Kandungan nitrat-nitrogen pada stasiun pengamatan
di Waduk Saguling.................................................................................... 7
4. Kandungan nitrit-nitrogen pada stasiun pengamatan
di Waduk Saguling.................................................................................... 9
5. Kandungan amonia pada stasiun pengamatan
di Waduk Saguling.................................................................................... 10
6. Kandungan ortofosfat pada stasiun pengamatan
di Waduk Saguling.................................................................................... 12
7. Kandungan oksigen terlarut pada stasiun pengamatan
di Waduk Saguling.................................................................................... 14
8. Nilai ph pada setia stasiun pengamatan di Waduk Saguling...................... 15

9. Suhu pada stasiun pengamatan di waduk saguling..................................... 16
10. Nilai kecerahan pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling................ 17
11. Kandungan total P pada stasiun pengamatan........................................... 18
di Waduk Saguling
12. (a) kandungan klorofil-a pada stasiun pengamatan
di Waduk Saguling.................................................................................... 19
12. (b) trend kandungan klorofil-a selama pengambilan contoh
pada pengamatan november 2012-januari 2013................................. 19
13. Tingkat trofik pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling................... 21
14. Dendogram kesamaan karakteristik kualitas air antar stasiun................. 22
15. KJA dengan sistem double net ................................................................ 23

DAFTAR LAMPIRAN
1. Data sekunder kualitas air di Waduk Saguling dari PT. Indonesia Power
(pengamatan kwartal IV bulan Oktober 2008-2012).................................
2. Pengelompokkan status trofik (TSI) Robert Carlson’s (1977)..................
3. Data primer kualitas air di Waduk Saguling
(November 2012, Desember 2012, dan Januari 2013)..............................
4. Contoh perhitungan TSI stasiun 1.............................................................

27
28
30
32

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Waduk Saguling merupakan waduk yang terbentuk dengan cara
membendung Sungai Citarum. Waduk yang terletak di kabupaten Bandung Barat,
Jawa Barat ini telah beroperasi sejak tahun 1985 dan memiliki luas 5600 Ha
dengan ketinggian 645 m di bawah permukaan laut (Krismono dan Astuti 2006).
Waduk ini memiliki fungsi utama sebagai PLTA yang menyalurkan kebutuhan
listrik Jawa dan Bali. Selain itu waduk ini juga berfungsi untuk menunjang
beberapa kegiatan perikanan seperti kegiatan Keramba Jaring Apung (KJA).
Kegiatan KJA di Waduk Saguling dari tahun 1986-1996 terus mengalami
peningkatan. Berdasarkan data UPTD perikanan (2000) dalam Nuryanto (2001),
jumlah KJA pada tahun 1986 hanya 208 unit dan terus meningkat tajam hingga
4425 unit pada tahun 1996. Tahun 2010 jumlah KJA di Waduk Saguling sudah
mencapai 6980 unit (Machbub 2010). Peningkatan jumlah KJA di Waduk
Saguling akan menyebabkan subtansi seperti sisa pakan dan feses ikan yang
masuk ke perairan semakin besar. Selain menerima masukan dari KJA, Waduk
Saguling juga menerima masukan dari Sungai Citarum. Sungai Citarum
merupakan sungai yang menerima banyak masukan dari kegiatan di darat seperti
kegiatan industri.
Beban masukan dari Sungai Citarum dan KJA berpotensi meningkatkan
status kesuburan melalui eutrofikasi. Kesuburan perairan menggambarkan
kapasitas atau kemampuan perairan untuk menyediakan unsur hara yang sesuai
untuk kehidupan fitoplankton. Kesuburan perairan juga menggambarkan
akumulasi bahan organik di perairan (Widjaja 2009). Eutrofikasi atau sering
disebut pengkayaan unsur hara dalam perairan akan mengakibatkan perairan
menjadi subur. Eutrofikasi merupakan proses alami yang akan terjadi pada setiap
perairan tergenang namun dalam waktu tertentu. Seiring dengan meningkatnya
aktivitas masyarakat, maka akan memberikan masukan berupa unsur hara ke
badan air danau dan jika proses pulih diri (self purification) terlampaui maka akan
mempercepat proses eutrofikasi (Suryono et al. 2010).
Eutrofikasi yang terjadi terus-menerus dapat memberikan beberapa dampak
seperti pendangkalan, blooming algae, pesatnya pertumbuhan tumbuhan akuatik,
limiting nutrient, serta kondisi anoksik (UNEP 1999). Dampak penting yang
terjadi akibat eutrofikasi dapat mempercepat umur waduk sehingga pasokan listrik
untuk Jawa dan Bali akan berkurang.
Pentingnya mengetahui status kesuburan di Waduk Saguling agar dapat
diketahui seberapa besar pengaruh beban masukan ke waduk ini. Perlu adanya
pemantauan parameter kualitas air untuk mengetahui status kesuburan Waduk
Saguling. Saat ini ketersediaan data dan informasi mengenai Waduk Saguling
untuk setiap tahunnya masih belum cukup lengkap. Oleh sebab itu, penelitian ini
dilakukan untuk memperoleh data informasi untuk menunjang pengelolaan waduk
dan kegiatan perikanan.

2
Perumusan Masalah
Saat ini Waduk Saguling telah mengalami degradasi fungsi yang cukup
serius mulai dari penurunan kualitas dan kuantitas air akibat kegiatan
antropogenik. Berbagai substansi yang masuk ke Waduk Saguling akan
mempengaruhi keberadaan unsur hara pada waduk tersebut. Sumber unsur hara
dari dalam waduk berasal dari kegiatan keramba jaring apung (KJA), sedangkan
sumber unsur hara dari luar waduk berasal dari daerah aliran sungai dan tata guna
lahan seperti pertanian. Masukkan unsur hara ke Waduk Saguling akan
menyebabkan terjadinya eutrofikasi di waduk tersebut. Keberadaan unsur hara
dapat diketahui melalui kandungan N dan P yang ada di air. Selain itu, hasil dari
eutrofikasi dapat diketahui melalui kandungan klorofil-a, kecerahan, dan total P
(indeks trofik). Kandungan N dan P yang ada di air dapat menggambarkan adanya
masukan unsur hara ke badan air dan informasi kandungan klorofil-a terkait
dengan kecerahan dan total P dapat digunakan untuk menentukan status
kesuburan Waduk Saguling. Status kesuburan Waduk Saguling akan berdampak
pada ekosistem di waduk tersebut. Diagram alir perumusan masalah Waduk
Saguling yang ditunjukkan oleh Gambar 1.

Sumber unsur hara dari dalam
waduk
< Aktivitas KJA
Sumber unsur hara dari luar
waduk
< Daerah aliran sungai
0,2 mg/L penyebab
blooming (Effendi
2003)

Gambar 3 Kandungan nitrat-nitrogen pada stasiun pengamatan di Waduk
Saguling
Berdasarkan Gambar 3, rata-rata kandungan nitrat-nitrogen pada
pengamatan bulan November 2012-Januari 2013 (data primer) di stasiun 1
(Maroko) yang merupakan inlet dari Sungai Citarum adalah 0,276 ± 0,020 mg/L,
stasiun 2 (Cicadas) yang merupakan bagian tengah dan mendapat pengaruh dari
aktivitas KJA sebesar 0,327 ± 0,081 mg/L, dan stasiun 3 (DAM) yang merupakan
outlet Waduk Saguling sebesar 0,088 ± 0,038 mg/L. Kandungan nitrat-nitrogen
tertinggi berada pada stasiun 2 (Cicadas) dan terendah berada pada stasiun 3.

8
Tingginya kandungan nitrat-nitrogen di stasiun 2 dibandingkan kedua stasiun
lainnya diduga karena stasiun 2 merupakan daerah yang menerima banyak
masukan dari kegiatan keramba jaring apung. Pakan yang tidak dimakan akan
jatuh ke dasar perairan dan mengalami proses dekomposisi kemudian mengalami
proses mineralisasi hingga terbentuknya nutrien seperti nitrat-nitrogen. Selain itu
Kandungan oksigen terlarut pada stasiun 2 sebesar 4,80 ± 1,29 mg/L, sehingga
mendukung proses nitrifikasi oleh bakteri aerob (Effendi 2003). Rendahnya
kandungan nitrat-nitrogen di stasiun 3 dibandingkan kedua stasiun lainnya diduga
karena tingginya kandungan klorofil-a pada stasiun 3 (DAM) yang menjadi
penyebab rendahnya kandungan nitrat-nitrogen pada stasiun ini dibandingkan
stasiun lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan UNEP (1999) bahwa
fitoplankton dan makrofita akuatik dapat sangat efektif memanfaatkan nutrien
sehingga terjadi penurunan nutrien anorganik terlarut ke tingkat yang lebih
rendah.
Kandungan nitrat-nitrogen yang lebih dari 0,2 mg/L dapat mengakibatkan
terjadinya eutrofikasi (pengayaan) perairan, yang selanjutnya menstimulir
pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming) (Effendi 2003).
Berdasarkan kandungan nitrat-nitrogen di ketiga stasiun pada pengamatan bulan
November 2012-Januari 2013 (data primer) di Waduk Saguling, kandungan nitratnitrogen di stasiun 1 dan 2 lebih dari 0,2 mg/L. Kandungan nitrat-nitrogen di
stasiun 1 dan 2 yang melebihi 0,2 mg/L menggambarkan bahwa telah terjadi
eutrofikasi di stasiun tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Edmon et al.
(1993) dalam Chale (2004) bahwa nitrogen adalah nutrien pembatas untuk
produktivitas fitoplankton di danau, sehingga ketersediaan nutrien yang berlebih
dapat mendukung produktivitas fitoplankton. Namun kandungan nitrat-nitrogen
yang berlebih dapat menstimulir pertumbuhan alga sehingga dapat menyebabkan
blooming.
Waduk Saguling memiliki fungsi sebagai PLTA dan kegiatan perikanan
KJA sehingga berdasarkan baku mutu menurut PP No. 82 tahun 2001, kandungan
nitrat-nitrogen pada pengamatan November 2012-Januari 2013 (data primer) di
Waduk Saguling masih layak untuk PLTA dan kegiatan perikanan KJA karena
masih berada di bawah baku mutu yaitu di bawah 20 mg/L. Weiner (2008)
menyatakan bahwa kandungan nitrat-nitrogen atau nitrit-nitrogen lebih dari 1-2
mg/L mengindikasikan adanya pencemaran pupuk dari kegiatan pertanian.
Kandungan nitrat-nitrogen pada pengamatan November 2012-Januari 2013 di
ketiga stasiun berada di bawah 1-2 mg/L sehingga berdasarkan pernyataan Weiner
(2008), kandungan nitrat-nitrogen pada ketiga stasiun belum menggambarkan
adanya pencemaran pupuk dari kegiatan pertanian.
Berdasarkan pola grafik nitrat-nitrogen pada data saat sampling maupun
data sekunder memiliki kecenderungan pola yang sama, namun kisaran
kandungan nitrat-nitrogen pada pengamatan November 2012-Januari 2013 (data
primer) lebih kecil dibandingkan data sekunder pengamatan Oktober 2008Oktober 2012 (kwartal IV). Kandungan nitrat-nitrogen saat sampling yang lebih
kecil diduga karena tingginya curah hujan pada akhir tahun 2012 atau pada saat
sampling. Curah hujan di Bandung pada Oktober 2009 adalah 50 mm (Septiadi
dan Hadi 2011). Berdasarkan laporan sedimentasi PLTA Saguling tahun 2010,
curah hujan pada bulan Oktober adalah 17 mm. Secara umum rata-rata debit air
pertahun yang masuk ke Waduk Saguling dari tahun ke tahun berfluktuasi namun

9
masih dalam trend yang stabil. Fluktuasi debit rata-rata ini sangat bergantung dari
pengaruh musim tahunan. Berdasarkan hasil pengamatan Maulana (2012), curah
hujan selama periode 1992-2000 menunjukkan pola yang sama yaitu terjadi 2 kali
puncak hujan pada bulan maret dan november sehingga hal ini dapat memprediksi
debit air di Waduk saguling pada akhir tahun (Maulana 2012). Fluktuasi
parameter fisika, kimia, dan biologi seringkali terjadi musim hujan lebat dan
terjadi masuknya rezim presipitasi (Gerald dan Boavida 2005 dalam Gautam dan
Bhattarai 2008).
Nitrit-Nitrogen (NO2- - N)
Nitrit-nitrogen merupakan bentuk peralihan antara nitrat-nitrogen dan
amonia yang bersifat tidak stabil dan merupakan toksik bagi organisme perairan.
Keberadaan nitrit-nitrogen menggambarkan berlangsungnya proses biologis
perombakan bahan organik yang memiliki kadar oksigen sangat rendah (Effendi
2003). Hasil pengamatan kandungan nitrit-nitrogen pada setiap stasiun
pengamatan di Waduk Saguling dapat dilihat pada Gambar 4.

>0,05 mg/L bersifat
toksik (Moore 1991
dalam Effendi 2003)

Gambar 4 Kandungan nitrit-nitrogen pada stasiun pengamatan di Waduk
Saguling
Berdasarkan Gambar 4, rata-rata kandungan nitrit-nitrogen pada
pengamatan November 2012-Januari 2013 di stasiun 1 (Maroko) yang merupakan
inlet dari Sungai Citarum di Waduk Saguling adalah 0,073 ± 0,001 mg/L, stasiun
2 (Cicadas) yang merupakan bagian tengah dan mendapat pengaruh dari aktivitas
KJA sebesar 0,035 ± 0,004 mg/L, dan stasiun 3 (DAM) yang merupakan outlet
Waduk Saguling sebesar 0,083 ± 0,017mg/L. Kandungan nitrit-nitrogen tertinggi
berada pada stasiun 3, sedangkan kandungan nitrit-nitrogen terendah berada pada
stasiun 2. Tingginya kandungan nitrit-nitrogen di stasiun 3 dibandingkan kedua
stasiun lainnya diduga karena bentuk N pada stasiun 3 berada pada kondisi tidak
stabil atau berada pada tahap peralihan dari nirat menjadi amonia (denitrifikasi).
Hal ini didukung dengan rendahnya kandungan nitrat-nitrogen pada stasiun 3
dibandingkan kedua stasiun lainnya. Sedangkan rendahnya kandungan nitritnitrogen di stasiun 2 dibandingkan kedua stasiun lainnya diduga karena bentuk N
yang lebih dominan pada stasiun 2 adalah nitrat-nitrogen. Hal ini menunjukkan

10
bahwa kondisi di stasiun 2 masih mendukung terjadinya proses oksidasi dari NH3
menjadi NO2- kemudian menjadi NO3- (nitrifikasi).
Menurut Moore (1991) dalam Effendi (2003), kadar nitrit-nitrogen yang
lebih dari 0,05 mg/L dapat bersifat toksik bagi organisme perairan. Kandungan
nitrit-nitrogen di stasiun 1 dan 3 pada pengamatan November 2012-Januari 2013
lebih dari 0,05 mg/L, sehingga berdasarkan pernyataan Moore (1991) dalam
Effendi (2003) kandungan nitrit-nitrogen di stasiun 1 dan 3 dapat bersifat toksik
bagi organisme akuatik. Sedangkan di stasiun 2 pada pengamatan November
2012-Januari 2013 kandungan nitrit-nitrogen kurang dari 0,05 mg/L sehingga
kondisi di stasiun 2 tersebut masih baik untuk kegiatan perikanan. Weiner (2008)
menyatakan bahwa kandungan nitrat-nitrogen atau nitrit-nitrogen lebih dari 1-2
mg/L mengindikasikan adanya pencemaran pupuk dari kegiatan pertanian,
sehingga berdasarkan kandungan nitrit-nitrogen pada pengamatan November
2012-Januari 2013 belum mengindikasikan adanya pencemaran pupuk dari
kegiatan pertanian.
Berdasarkan pola grafik kandungan nitrit-nitrogen pada pengamatan
November 2012-Januari 2013 (data primer) dan grafik pada pengamatan Oktober
2008-Oktober 2012 (data sekunder) , stasiun 2 pada kedua grafik memiliki pola
berbeda. Stasiun 2 pada data primer memiliki kandungan nitrit-nitrogen lebih
kecil dibandingkan pada pengamatan Oktober 2008-Oktober 2012 (data
sekunder). Kandungan nitrit-nitrogen yang kecil pada stasiun 2 saat pengamatan
November 2012-Januari 2013 (data primer) dibandingkan grafik pada pengamatan
Oktober 2008-Oktober 2012 (data sekunder) diduga karena curah hujan saat
sampling lebih tinggi dibandingkan curah hujan biasanya.
Amonia (NH3)
Amonia merupakan bentuk nitrogen di perairan pada saat kondisi oksigen
rendah sehingga bersifat toksik bagi organisme perairan. Hasil pengamatan
kandungan amonia pada setiap stasiun pengamatan di Waduk Saguling dapat
dilihat dari Gambar 5.

Gambar 5 Kandungan amonia pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling

11
Berdasarkan Gambar 5, rata-rata kandungan amonia pada pengamatan
November 2012-Januari 2013 di stasiun 1 (Maroko) yang merupakan inlet dari
Sungai Citarum di Waduk Saguling adalah 0,286 ± 0,242 mg/L, stasiun 2
(Cicadas) yang merupakan bagian tengah dan mendapat pengaruh dari aktivitas
KJA sebesar 0,065 ± 0,049 mg/L, dan stasiun 3 (DAM) yang merupakan outlet
Waduk Saguling sebesar 0,109 ± 0,088 mg/L. Kandungan amonia tertinggi berada
pada stasiun 1, sedangkan kandungan amonia terendah berada pada stasiun 2.
Tingginya kandungan amonia di stasiun 1 (Maroko) dibandingkan kedua stasiun
lainnya diduga karena stasiun ini menerima masukan dari sungai Citarum seperti
limbah industri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) bahwa kadar
amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik
yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan (run off) pupuk
pertanian. Selain itu tingginya kandungan amonia pada stasiun 1 juga dapat
disebabkan rendahnya kandungan oksigen terlarut pada stasiun ini dibandingkan
stasiun lainnya yaitu sebesar 3,114 ± 0,437 mg/L. Sedangkan rendahnya
kandungan amonia pada stasiun 2 dibandingkan kedua stasiun lainnya diduga
karena kandungan oksigen dan kondisi di stasiun 2 masih mendukung terjadinya
nitrifikasi atau oksidasi dari bentuk amonia menjadi nitrat. Hal ini sesuai pada
pengamatan November 2012-Januari 2013 bahwa kandungan nitrat-nitrogen
tertinggi berada pada stasiun 2.
Menurut Weiner (2008), kandungan ammonia total untuk perikanan
sebaiknya kurang dari atau sama dengan 0,02 mg/L dan kandungan ammonia
bebas lebih dari 0,5 mg/L dapat menyebabkan toksik yang signifikan pada ikan.
Kandungan amonia bebas pada pengamatan November 2012-Januari 2013 masih
berada di bawah 0,5 mg/L sehingga dapat dikatakan kandungan amonia selama
pengamatan belum menyebabkan toksik yang signifikan pada ikan. Berdasarkan
hasil pengamatan sebelumnya, Tarigan dan Harsono (2004) menyatakan bahwa
kualitas air di Waduk Saguling untuk NH3 telah melebihi baku mutu sebagai
akibat dari masukkan dari anak-anak Sungai Cimahi yang membawa air limbah
dari sentra industri Leuwigajah yang relatif besar. Beban masukan N yang tinggi
diduga penyebab tingginya kandungan amonia pada setiap stasiun pengamatan
karena oksigen terlarut yang tersedia tidak cukup untuk mengoksidasi NH3
menjadi nitrat-nitrogen (nitrifikasi) di Waduk Saguling.
Berdasarkan grafik rata-rata kandungan amonia yang diperoleh dari data
sekunder tahun pengamatan kwartal IV (Oktober 2008-Oktober 2012), kandungan
amonia yang paling tinggi berada pada stasiun 3 (DAM). Menurut Weiner 2008,
peningkatan kandungan amonia dapat dipengaruhi oleh peningkatan pH sehingga
dapat dilihat bahwa rata-rata pH tahun 2008-2012 paling tinggi berada pada
stasiun 3. Pola grafik amonia pada data primer maupun data sekunder memiliki
pola yang berbeda. Kandungan amonia stasiun 1 dan 2 pada data sekunder terlihat
lebih kecil dari pada stasiun 1 dan 2 pada data primer, hal ini dapat disebabkan
karena jumlah KJA pada tahun 2008 hingga tahun 2011 tidak sebanyak jumlah
KJA pada tahun 2012 sehingga beban masukkan N pada tahun 2012-2013 lebih
tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2010 jumlah KJA di waduk
saguling sudah mencapai 6980 unit (Machbub 2010). Berdasarkan data jumlah
KJA pada tahun 2012 yang diperoleh dari dinas Kabupaten Bandung, jumlah KJA
yang ada di Waduk Saguling adalah 7261 unit.

12

Ortofosfat
Ortofosfat merupakan bentuk P yang paling sederhana dan
dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Menurut Effendi
sumber antropogenik fosfor adalah limbah industri dan domestik yakni
yang berasal dari detergen. Hasil pengamatan kandungan ortofosfat pada
stasiun pengamatan di Waduk Saguling dapat dilihat dari Gambar 6.

dapat
2003,
fosfor
setiap

Gambar 6 Kandungan ortofosfat pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling
Berdasarkan Gambar 6, rata-rata kandungan ortofosfat pada pengamatan
November 2012-Januari 2013 di stasiun 1 (Maroko) yang merupakan inlet dari
Sungai Citarum di Waduk Saguling adalah 0,059 ± 0,019 mg/L, stasiun 2
(Cicadas) yang merupakan bagian tengah dan mendapat pengaruh dari aktivitas
KJA sebesar 0,050 ± 0,023 mg/L, dan stasiun 3 (DAM) yang merupakan outlet
Waduk Saguling sebesar 0,037 ± 0,011 mg/L. Kandungan ortofosfat dan total P
tertinggi berada pada stasiun 1, sedangkan kandungan ortofosfat terendah
dibandingkan kedua stasiun lainnya adalah stasiun 3. Tingginya kandungan total P
di stasiun 1 disebabkan banyaknya masukkan dari sungai Citarum. Rendahnya
kandungan ortofosfat pada stasiun 3 dibandingkan stasiun lainnya diduga karena
kandungan klorofil-a di stasiun 3 lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya
sehingga pemanfaatan ortofosfat di stasiun ini lebih tinggi.
Kandungan ortofosfat jarang melebihi 0,1 mg/L meskipun pada perairan
yang memiliki tingkat eutrofikasi tinggi (Boyd 1979). Menurut Technical
Standard Publication (1982) dalam Bellinger dan Sigee (2010) kandungan
ortofosfat 0,035-0,1 mg/L termasuk perairan eutrofik, sedangkan lebih dari 0,1
mg/L termasuk perairan hipertrofik. Kandungan ortofosfat di setiap stasiun
berdasarkan hasil pengamatan pada November 2012-Januari 2013, menunjukkan
status perairan Waduk Saguling adalah eutrofik karena berada pada kisaran 0,0350,1 mg/L. Berdasarkan grafik rata-rata kandungan ortofosfat yang diperoleh dari
data sekuder pengamatan kwartal IV (Oktober 2008-Oktober 2012), kandungan
ortofosfat di setiap stasiun lebih dari 0,1 mg/L sehingga status perairan Waduk
Saguling pada tahun 2008-2012 adalah hipertrofik. Kandungan ortofosfat pada
data primer lebih kecil dibandingkan pada pengamatan sebelumnya. Kandungan
klorofil-a yang tinggi pada saat sampling diduga menjadi penyebab kecilnya

13
kandungan ortofosfat saat sampling karena ortofosfat yang ada pada badan
perairan dimanfaatkan fitoplankton untuk kelangsungan hidupnya. Selain itu
rendahnya kandungan ortofosfat pada data primer dibandingkan data sekunder
diduga ketersediaan oksigen terlarut pada tahun sebelumnya lebih tinggi
dibandingkan data primer atau data yang diperoleh pada saat sampling karena
ortofosfat terbentuk pada saat P berikatan dengan oksigen.
Rasio N:P
Rasio N:P adalah konsep limiting nutrient untuk menduga pertumbuhan alga
dengan mengetahui proporsi serta kuantitas nutrien di perairan. Proporsi unsur P
digambarkan melalui kandungan ortofosfat, sedangkan proporsi N digambarkan
melalui penjumlahan nitrat-nitrogen, nitrit-nitrogen, dan amonia. Hasil dari
perbandingan rasio N dan P pada setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Rasio N:P pada setiap stasiun
Stasiun
Maroko (St. 1)
Cicadas (St. 2)
DAM (St.3)
Rata-rata Stasiun 1, 2, dan 3

N:P
26,5
24,0
20,8
24,2

Tabel 3 menunjukkan rasio N:P pada stasiun 1, 2, dan 3 di Waduk Saguling
lebih dari 20, sehingga menurut Forsberg dan Ryding 1980 dalam Rast dan
Ryding 1989; Hecky et al.. 1991 dalam Chale 2004; dan Sakamoto 1966 dalam
Smith 1979 faktor pembatas di stasiun 1, 2, dan 3 adalah fosfor. Berdasarkan
beberapa hasil penelitian di Danau Biwa menunjukkan bahwa faktor pembatas
pertumbuhan fitoplakton adalah P (Ishida et al. 1982; Tezuka 1984, 1985; Seike et
al. 1996 dalam Urabe et al. 1999). Hal ini menunjukkan bahwa faktor pembatas di
perairan waduk atau danau adalah unsur P.
Parameter Pendukung
Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut diperairan dihasilkan dari fotosintesis, difusi dengan
udara, dan turbulensi. Kandungan oksigen terlarut akan mempengaruhi prosesproses kimia, fisika, dan biologis di perairan. Berikut adalah hasil pengukuran
kandungan oksigen terlarut pada setiap stasiun pengamatan. Hasil pengamatan
kandungan oksigen terlarut pada setiap stasiun pengamatan di Waduk Saguling
dapat dilihat dari Gambar 7.

14

Gambar 7 Kandungan oksigen terlarut pada stasiun pengamatan di Waduk
Saguling
Berdasarkan Gambar 7, kandungan oksigen terlarut rata-rata pada stasiun 1
(Maroko) yang merupakan inlet dari Sungai Citarum di Waduk Saguling adalah
3,11 ± 0,44 mg/L, stasiun 2 (Cicadas) yang merupakan bagian tengah dan
mendapat pengaruh dari aktivitas KJA sebesar 4,80 ± 1,29 mg/L, dan stasiun 3
(DAM) yang merupakan outlet Waduk Saguling sebesar 5,97 ± 1,83 mg/L.
Kandungan oksigen terendah berada pada stasiun 1. Tingginya tingkat kesuburan
pada stasiun 1, 2, dan 3 dapat menyebabkan deplesi oksigen akibat proses
respirasi oleh biota akuatik pada malam hari. Kandungan klorofil yang tinggi pada
stasiun 1, 2, dan 3 mendukung terjadinya deplesi oksigen pada malam hari.
Penyebab menurunnya kandungan oksigen terlarut adalah proses respirasi dan
dekomposisi (Welch 1952 dalam Ruttner 1960). Stasiun 1 merupakan stasiun
yang pertama kali menerima dampak antropogenik dari sungai Citarum sehingga
diduga banyaknya subtansi yang masuk akan mempengaruhi kelarutan oksigen di
stasiun ini.
Novotny dan Olem (1994) dalam Effendi (2003) menyatakan bahwa sumber
oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer dan
aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Ikan membutuhkan
sedikitnya 5-6 ppm untuk dapat tumbuh dan berkembang. Mereka akan berhenti
makan jika konsentrasi menurun sekitar 3-4 ppm dan akan mati pada DO 1 ppm.
Konsentrasi 7 ppm untuk periode spawning di perairan dingin, 6 ppm untuk biota
di perairan dingin, dan 5 ppm untuk biota di perairan hangat. Berdasarkan kualitas
air kandungan DO yang baik adalah 8 ppm, sedikit terpolusi 6,5-8 ppm, cukup
terpolusi 4,5-6,5 ppm, terpolusi berat 4-4,5 ppm, dan terpolusi sangat berat di
bawah 4 ppm (Weiner 2008). Berdasarkan grafik rata-rata kandungan oksigen
terlarut yang diperoleh dari data sekuder pengamatan kwartal IV (Oktober) tahun
2008-2012 serta hasil sampling, kandungan oksigen terlarut yang paling rendah
berada pada stasiun 1 (Maroko). Berdasarkan klasifikasi kualitas air menurut
Weiner 2008, stasiun 1 memiliki kandungan DO kurang dari 4 ppm sehingga
mengindikasikan stasiun 1 telah terpolusi sangat berat.

15
Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) dapat mempengaruhi toksisitas suatu senyawa
kimia. Senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan
yang memiliki pH rendah. Berikut adalah hasil pengukuran pH terlarut pada setiap
stasiun pengamatan. Hasil pengamatan pH pada setiap stasiun pengamatan di
Waduk Saguling dapat dilihat dari Gambar 8.

Gambar 8 Nilai pH pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling
Berdasarkan Gambar 8 yang merupakan hasil pengamatan nilai pH pada
pukul 07.00-09.00 WIB, pH rata-rata pada stasiun 1 (Maroko) yang merupakan
inlet dari Sungai Citarum di Waduk Saguling adalah 6,3 ± 0,3, stasiun 2
(Cicadas) yang merupakan bagian tengah dan mendapat pengaruh dari aktivitas
KJA sebesar 6 ± 0, dan stasiun 3 (DAM) yang merupakan outlet Waduk Saguling
sebesar 6,3 ± 0,6 mg/L. Berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 nilai pH di Waduk
Saguling masih baik untuk perikanan yaitu 6-9 dan 5-9 untuk PLTA. Menurut
Weiner (2008), pada suhu 25°C nilai pH kurang dari 7 bersifat asam, pH sama
dengan 7 bersifat netral, dan pH lebih dari 7 bersifat basa. Nilai pH pada stasiun 2
lebih rendah dibandingkan dengan stasiun 1 dan 3. Batas aman pH perairan untuk
kehidupan biota di dalamnya adalah 6,5-8 (Odum 1971). Nilai pH yang lebih
rendah pada stasiun 2 dibandingkan stasiun lainnya dapat disebabkan aktivitas di
KJA. Nilai pH yang rendah dipengaruhi oleh senyawa kimia lainnya seperti
senyawa nitrogen (Susana 2009). Ionisasi bentuk amonia, dimana pada saat pH
rendah toksik menjadi rendah dalam bentuk ammonium (Weiner 2008). Tingkat
kesuburan dan kandungan klorofil-a yang tinggi menyebabkan stasiun 3 (DAM)
memiliki nilai pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 1 dan 2.
Kandungan klorofil-a yang tinggi menunjukkan tingginya aktivitas fotosintesis
oleh fitoplankton sehingga menyebabkan tingginya konsumsi CO2. Berdasarkan
grafik rata-rata pH yang diperoleh dari data sekuder pengamatan kwartal IV
(Oktober) tahun 2008-2012 berada pada kisaran 7,3-8,3 (bersifat basa). pH yang
paling tinggi pada tahun 2008-2012 berada pada stasiun 3 (DAM). Toksisitas
amonia akan meningkat pada pH tinggi (Weiner 2008).

16
Suhu
Suhu sangat berperan dalam mengendalikan ekosistem perairan karena suhu
akan mempengaruhi proses metabolisme, kandungan oksigen terlarut serta proses
biologis dan kimia lainnya. Berikut adalah hasil pengukuran suhu pada setiap
stasiun pengamatan. Hasil pengamatan suhu pada setiap stasiun pengamatan di
Waduk Saguling dapat dilihat dari Gambar 9.

Gambar 9 Suhu pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling
Berdasarkan Gambar 9 yang merupakan hasil pengamatan pada pukul
07.00-10.00 WIB, suhu rata-rata pada stasiun 1 (Maroko) yang merupakan inlet
dari Sungai Citarum di Waduk Saguling adalah 28,3 ± 0,6 0C stasiun 2 (Cicadas)
yang merupakan bagian tengah dan mendapat pengaruh dari aktivitas KJA sebesar
27,3 ± 0,9 0C, dan stasiun 3 (DAM) yang merupakan outlet Waduk Saguling
sebesar 28,9 ± 0,7 0C. Menurut Utami 2006, Nugroho 2009, dan Widjaja 2009,
kisaran suhu rata-rata di Waduk Saguling antara 25,7-280C; 24,9-28,30C; dan 26,9
– 29,2 0C. Kisaran suhu di Waduk Cirata adalah 28,8 ± 1,5 (Sudrajat et al. 2010).
Kisaran suhu di Waduk Jatiluhur pada pukul 10.00–12.00 WIB berkisar 29-30°C
(Ekawati et al. 2010). Suhu pada stasiun 1,2, dan 3 masih mendukung kehidupan
beberapa algae seperti filum Chorophyta dan diatom (Haslam 1995 dalam Effendi
2003). Hal ini dapat di lihat dari tingginya kandungan klorofil-a pada setiap
stasiun. Berdasarkan grafik rata-rata suhu yang diperoleh dari data sekuder
pengamatan kwartal IV (Oktober) tahun 2008-2012, menunjukkan kisaran suhu di
Waduk saguling pada tahun 2008-2012 serta hasil sampling tidak berbeda dengan
kisaran suhu di Waduk Cirata dan Jatiluhur.
Penentu Status Kesuburan di Waduk Saguling
Kecerahan
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang dipengaruhi oleh
cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi. Berikut adalah
hasil pengukuran kecerahan pada setiap stasiun pengamatan. Hasil pengamatan

17
kecerahan pada setiap stasiun pengamatan di Waduk Saguling dapat dilihat pada
Gambar 10.

Hypertrophic 0,1 mg/L
(Wetzel 2001
dan OECD
1982)

Gambar 11 Kandungan total P pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling
Berdasarkan Gambar 6, kandungan total P rata-rata pada stasiun 1 (Maroko)
yang merupakan inlet dari Sungai Citarum di Waduk Saguling adalah 0,345 ±
0,081 mg/L, stasiun 2 (Cicadas) yang merupakan bagian tengah dan mendapat
pengaruh dari aktivitas KJA sebesar 0,107 ± 0,022 mg/L, dan stasiun 3 (DAM)
yang merupakan outlet Waduk Saguling sebesar 0,198 ± 0,123 mg/L. Tingginya
kandungan total P di stasiun 1 disebabkan banyaknya masukan dari sungai
Citarum. Menurut Effendi 2003, sumber antropogenik fosfor adalah limbah
industri dan domestik yakni fosfor yang berasal dari detergen.
Utami (2006) dan Widjaja (2009) menyatakan bahwa status kesuburan
Waduk Saguling berada pada pada tingkat eutrofik. Berdasarkan klasifikasi
perairan berdasarkan total P, Waduk Saguling termasuk perairan hipertrofik
karena kandungan total P pada stasiun 1, 2, dan 3 lebih dari 0,1 mg/L (Wetzel
2001 dan OECD 1982 dalam Ryding dan Rast 1989). Peningkatan status
kesuburan Waduk Saguling dari eutrofik menjadi hipertrofik dapat disebabkan
meningkatnya masukan dari sungai citarum, kegiatan KJA, serta kegiatan di darat
seperti pertanian. Pada tahun 2010 jumlah KJA di waduk saguling sudah
mencapai 6980 unit (Machbub 2010). Berdasarkan data jumlah KJA pada tahun
2012 yang diperoleh dari dinas Kabupaten Bandung, jumlah KJA yang ada di
Waduk Saguling adalah 7261 unit. Peningkatan jumlah KJA dapat meningkatkan
penyediaan unsur hara ke Waduk Saguling. Selain beban P yang berasal dari
kegiatan KJA, beban P yang ada di Waduk Saguling juga berasal dari kegiatan
yang ada di daratan seperti kegiatan pertanian. Secara umum, pengontrolan unsur
P dapat dilakukan dengan kontrol kegiatan pertanian serta melakukan pengolahan
air yang telah digunakan (Yenilmez dan Aksoy 2013).
Klorofil-a
Kandungan klorofil-a di perairan dapat menggambarkan kelimpahan
fitoplankton. Fitoplankton merupakan produsen primer yang berperan penting
dalam sirkulasi materi dan arus energi di ekosistem akuatik (Ariyadej et al. 2008).
Berikut adalah hasil pengukuran klorofil-a pada setiap stasiun pengamatan. Hasil
pengamatan kandungan klorofil-a pada setiap stasiun pengamatan di Waduk
Saguling dapat dilihat dari Gambar 12.

19
(a)

Hypertrophic
>25 μg/L
(OECD
1982)

(b)

Gamba