Analisis Pola Penyediaan Pakan dan Strategi Pengembangan Kecamatan Pati sebagai Sentra Produksi Ternak Sapi Potong Rakyat.

ABSTRACT
Pattern Analysis of The Feed Provision and Development Strategy in Pati
District as The Center of The Traditional Beef Cattle Production
Ainol Yakin , Sudarsono Jayadi, M. Agus Setiana
This research aimed to analyze the supply pattern of beef cattle feed and a
portrait of the potential subdistrict of Pati as beef cattle production center in Pati by
analyzing the internal factors (strengths and weaknesses) and external factors
(opportunities and threats) that exist in the area and then created a strategy for the
development of smallholder. This research will be carried out in 4 (four) villages in
the Pati district, Pati regency, Central Java, for one month, from 1 November to 30
November 2010. The method used in this research is descriptive method that
describes a situation based on factual data with survey techniques and direct
observation in the four villages were purposively selected, the village which has the
highest cattle in District of Pati. The observed variables in the data collection process
is a pattern of feed supply, as well as internal and external factors in the beef cattle
business people, which includes the capital, breed, maintenance, feed, animal health,
housing, labor resources, marketing, climate, government support, politics, and
demand (consumers).
Forage availability throughout the year and the high beef demand in the Pati
District is a major factor in the development of cattle production. It’s supported with
experienced and productive human resources, is a strength in development to meet

the demand for meat, especially in the District of Pati and national. However,
smallholder in the District of Pati is inseparable from a variety of problems in it’s
development. The low level of farmer education, limited capital, and traditional
maintenance and still a side business for raising cattle, were major cause of low
productivity of smallholder. High rate of imported cattle in Indonesia is a serious
threat to the development of smallholder, so that the products of the smallholder can
not compete on price and quality.
Optimization forage land and the formation of livestock in each village is an
alternative strategy in overcoming problems in the development of beef cattle in the
Pati District. Policies and programs of local governments in providing a knowledge
and information technology training, and supervision in the marketing and animal
health checks regularly, also some strategy that supports the traditional farm
development in this area.
Keywords : pattern of feed provision, smallholder, SWOT analysis

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertanian masih memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian
nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk atau tenaga kerja yang
hidup atau bekerja pada sektor pertanian atau produk nasional yang berasal dari

pertanian. Prioritas pembangunan di Indonesia diletakkan pada pembangunan bidang
ekonomi khususnya pada sektor pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan untuk
meningkatkan produksi pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan
industri dalam negeri, meningkatkan ekspor, meningkatkan pendapatan petani,
mendorong kesempatan kerja, dan mendorong pemerataan kesempatan berusaha
(Soekartawi, 1991).
Meningkatkan produksi daging merupakan salah satu upaya untuk
mewujudkan ketahanan pangan sekaligus memajukan tingkat kecerdasan sumber
daya manusia Indonesia. Daging sapi adalah sumber protein hewani yang
kontribusinya dalam memenuhi kebutuhan konsumen nasional sangat penting.
Program kecukupan daging 2014 memerlukan upaya terobosan yang efektif serta
dukungan yang memadai dari pemerintah dan masyarakat, khususnya yang bergerak
dibidang usaha sapi potong. Produktivitas yang rendah merupakan kendala
peningkatan produksi daging terutama pada usaha sapi potong rakyat. Keterbatasan
modal, kurang berwawasan agribisnis serta tatalaksana pemeliharaan yang masih
tradisional

merupakan

penyebab


rendahnya

produktivitas,

dengan

tingkat

pertumbuhan dibawah 0,5 kg/hari (Utomo et al., 1999).
Pembangunan peternakan telah mencatat beberapa keberhasilan antara lain
dalam pengembangan industri ayam ras, pengembangan industri feedlot sapi potong
dan sapi perah. Namun ketiga industri ini menggunakan bibit ternak asal impor,
sehingga rentan terhadap perubahan ekonomi global. Sementara pembangunan
komoditas ternak domestik tidak terlihat menggembirakan. Berbagai kelemahan
internal tidak kunjung mendapat perhatian dan perbaikan. Hampir semua jenis ternak
lokal diindikasikan mengalami pengurasan sehingga pertumbuhan populasi negatif.
Pada sisi lain, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi konsumsi hasil ternak dalam
negeri terus meningkat. Sebagian kebutuhan konsumsi telah diisi oleh hasil ternak
impor yang terus membesar. Sebagai contoh, kebutuhan daging sapi sebagai salah


satu sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya
kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan
penduduk dan meningkatnya daya beli masyarakat. Namun dalam pemenuhan
kebutuhan daging nasional, pemerintah belum mencapai swasembada daging sapi hal
ini justru berbanding terbalik dengan daging ayam yang sudah mencapai
swasembada daging.
Di Indonesia jenis ternak yang banyak dipelihara untuk memenuhi kebutuhan
daging adalah ternak sapi potong. Meskipun ternak sapi potong diusahakan
peningkatan, namun peningkatannya belum memperlihatkan kemajuan cukup
menggembirakan sehingga impor dari tahun ke tahun akan terus meningkat,
akibatnya peternakan rakyat yang diharapkan mengalami pertumbuhan dengan cepat
dan baik belum mampu dimanfaatkan secara optimal.
Jawa Tengah merupakan sentra penghasil ternak sapi potong terbesar kedua
di Indonesi setelah Jawa Timur. Berdasarkan data Ditjennak (2009), jumlah populasi
ternak sapi potong di Jawa Tengah pada tahun 2009 sebesar 1.529.991 ekor. Salah
satu kabupaten di JawaTengah yang menjadi sentra produksi ternak sapi potong
adalah Kabupaten Pati dengan jumlah populasi sebesar 71.906 ekor (BPS Kab. Pati,
2010), sehingga dapat dikatakan bahwa daerah Pati merupakan daerah yang cukup
potensial dan mempunyai potensi yang baik untuk pengembangan ternak sapi

potong.
Kecamatan Pati merupakan kecamatan kota yang ada di Kabupaten Pati yang
menghasilkan ternak sapi potong yang cukup besar, dimana sebagian besar usaha
ternak sapi potongnya masih merupakan jenis usaha rakyat (peternakan rakyat).
Sistem pemeliharaan sapi potongnya masih bersifat tradisional dan merupakan usaha
sambilan disamping sebagai petani di sawah. Tingkat pendidikan dan keterampilan
petani yang rendah berpengaruh terhadap tatalaksana pemeliharaan dan produksi
peternakan. Jika pemanfaatan akan potensi yang tersedia kurang, maka akan
menyebabkan produktivitas usaha ternak sapi potong akan menurun dan
menyebabkan penurunan produksi. Oleh karena itu perlu adanya pemanfaatan
potensi yang dimiliki daerah tersebut dan mengurangi kelemahan-kelemahan yang
ada. Penelitian mengenai analisis pola penyediaan pakan dan strategi pengembangan
Kecamatan Pati sebagai sentra produksi ternak sapi potong rakyat di Kabupaten Pati

perlu dilakukan guna menunjang peningkatan usaha ternak sapi potong di Kabupaten
Pati.
Tujuan
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola penyediaan
pakan ternak sapi potong, serta menganalisis faktor internal (kekuatan dan
kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) dalam pengembangan usaha

ternak sapi potong rakyat di Kecamatan Pati.

TINJAUAN PUSTAKA
Peternakan Rakyat
Peternakan rakyat masih memegang peranan sebagai aset terbesar dalam
pembangunan peternakan nasional, tetapi sampai saat ini tipologinya masih bersifat
sambilan (tradisional) yang dibatasi oleh usaha kecil, teknologi sederhana, dan
produknya berkualitas rendah (Soehadji, 1995). Menurut Aziz (1993), peternakan
rakyat mempunyai ciri-ciri, yaitu skala usahanya relatif kecil, merupakan usaha
rumah tangga, dilakukan sebagai usaha sampingan, menggunakan teknologi
sederhana sehingga produktivitas rendah dan mutu produk tidak seragam, serta
bersifat padat karya dan basis organisasi kekeluargaan.
Menurut Sudardjat dan Pambudy (2000), dalam peternakan rakyat sapi,
kerbau dan ternak lainnya dipelihara dengan cara-cara sederhana tradisional.
Sepanjang hari digembalakan di ladang sendiri atau di tanah gembalaan umum, di
tepi jalan, dan di pinggir sungai dimana banyak tumbuhan rumput. Kadang-kadang
dimandikan di sungai dan sore hari dibawa pulang dan dikandangkan di kandang
yang sederhana. Pekerjaan di dalam usaha ternak ini dilakukan oleh anggota
keluarga. Kebanyakan ternak yang sudah mencapai umur tertentu dijual. Disamping
untuk diperjual-belikan, ternak besar (sapi, kerbau) juga diambil manfaatnya sebagai

tenaga kerja atau disewakan kepada orang lain untuk mengerjakan sawah atau
ladang, Sedangkan kotorannya dimanfaatkan sebagi pupuk tanaman.
Strategi Pengembangan Usaha Ternak Sapi
Strategi merupakan rencana yang disatukan, luas dan terintegrasi yang
menghubungkan keunggulan strategis dengan tantangan lingkungan dan dirancang
untuk memastikan bahwa tujuan utama dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat
(Glueck dan Jauch, 1994). Esensi strategi merupakan keterpaduan dinamis faktor
eksternal dan faktor internal yang berisikan strategi. Strategi merupakan respon yang
secara terus-menerus atau adaptif terhadap peluang dan ancaman eksternal serta
kekuatan dan kelemahan internal (Rangkuti, 1997).
Manajemen strategi dapat didefinisikan sebagai seni dan pengetahuan untuk
merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi suatu keputusan sehingga
mampu mencapai tujuan obyektifnya. Proses manajemen strategi terdiri atas tiga
tahap yaitu perumusan strategi, implementasi strategi dan evaluasi strategi.

Perumusan strategi adalah mengenali peluang dan ancaman eksternal, menetapkan
kekuatan dan kelemahan internal dan memilih strategi tertentu untuk dilaksanakan.
Implementasi strategi sering disebut tahap tindakan manajemen strategi dengan
mengubah strategi yang telah dirumuskan menjadi suatu tindakan. Evaluasi strategi
adalah tahap akhir dari manajemen strategi dengan melakukan tiga macam aktivitas

mendasar untuk mengevaluasi strategi yaitu meninjau faktor-faktor eksternal dan
internal yang menjadi dasar strategi, mengukur prestasi dan mengambil tindakan
korektif (David, 2001).
Menurut Wahyudi (1996) tahap perumusan atau pembuatan strategi
merupakan tahap yang paling menantang dan menarik dalam proses manajemen
strategi. Inti pokok dari tahapan ini adalah menghubungkan suatu organisasi dengan
lingkungannya dan menciptakan strategi-strategi yang cocok untuk dilaksanakan.
Proses pembuatan strategi terdiri dari empat elemen sebagai berikut :
1. Identifikasi masalah-masalah strategis yang dihadapi meliputi lingkungan
eksternal dan internal.
2. Pengembangan alternatif-alternatif strategi yang ada dengan mempertimbangkan
strategi yang lain.
3. Evaluasi tiap alternatif strategi.
4. Penentuan atau pemilihan strategi terbaik dari berbagai alternatif yang tersedia.
Perumusan strategi digunakan alat formulasi yaitu analisis SWOT (StrengthsWeaknesses-Opportunities-Threats). Analisis SWOT adalah analisis identifikasi
berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi yang didasarkan pada
logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan dan ancaman (Hax dan Majluf, 1991).
Pengembangan usaha merupakan tujuan dari setiap pengusaha. Usaha yang
cukup menjanjikan untuk dikembangkan adalah usaha ternak sapi. Pengembangan ini

dilakukan karena masih banyak kesenjangan antara tingkat konsumsi daging dengan
tingkat produksi daging (Gunawan et al., 1998). Dengan meningkatnya kesadaran
masyarakat akan gizi yang baik, maka kecenderungan masyarakat untuk
mengkonsumsi daging (sumber protein) semakin besar dan pemerintah berupaya
untuk mencukupi kebutuhan daging tersebut.

Pengembangan ternak bertujuan untuk memenuhi permintaan daging daerah
atau menambah produksi daging untuk mencukupi kebutuhan daerah, untuk
menghidupkan kembali wilayah ekspor daging sapi sekaligus meningkatkan
perekonomian daerah (Rahardi et al., 1993). Dengan demikian dapat meningkatkan
pendapatan petani agar kehidupan dan kesejahteraannya lebih baik. Dalam upaya
pengembangan usaha ternak sapi diperlukan data-data yang mendukung usaha ternak
sapi tersebut. Dari data tersebut dapat dilakukan suatu analisis yang tepat untuk
menyusun strategi pengembangan yang baik.
Analisis SWOT
Dalam upaya pengembangan ternak sapi perlu melakukan identifikasi
terhadap usaha ternak sapi sehingga dapat dibuat suatu strategi pengembangan yang
baik. Upaya penyusunan strategi ini dilakukan melalui suatu analisis yang disebut
analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Oportunities, Threats).
Menurut Rangkuti (1997), analisis SWOT tak lain adalah melakukan

auditing agribisnis wilayah dengan menggunakan 2 faktor penilaian yakni
internal dan eksternal agribisnis. Faktor internal agribisnis terdiri atas kekuatan
atau Strengths (S), kelemahan atau Weaknesses (W) sedangkan faktor eksternal
terdiri atas peluang atau Opportunities (O) dan ancaman atau Threats (T). Faktor S
terdiri atas variabel-variabel internal

yang merupakan kemampuan yang

dikuasai dan dimiliki misalnya tingkat pendidikan, ketersediaan lahan dan air dan
sebagainya. Arah vektor adalah positif. Sedangkan faktor W adalah sama dengan
variabel S hanya arahnya negatif. Faktor O merupakan variabel-variabel yang
bersifat ekternal namun diperkirakan dapat dikuasai dan dimiliki dengan arah
vektor adalah positif. Sedangkan faktor T mempunyai variabel-variabel yang
sama dengan O hanya arah vektor negatif.
Analisis SWOT merupakan prosedur sistematis untuk mengidentifikasi
faktor-faktor keberhasilan kritis (Critical Succes Factors) yang dimiliki oleh
perusahaan, meliputi kekuatan dan kelemahan internalnya, dan peluang serta
ancaman yang bersifat eksternal. Dengan kata lain analisis SWOT digunakan untuk
mengidentifikasi dan menganalisis kekuatan dan kelemahan dari suatu usaha,
termasuk peluang dan ancaman yang dilihat sebagai informasi yang diperoleh dari

lingkungan eksternal.

Strengths (kekuatan) adalah keahlian dan sumber daya utama yang dimiliki
oleh suatu usaha, sedangkan weaknesses (kelemahan) menunjukkan kekurangan
suatu usaha dalam keahlian atau kompetensi tertentu. Oportunities (peluang)
merupakan situasi yang menguntungkan yang penting dalam lingkungan usaha,
sedangkan threats (ancaman) merupakan situasi yang tidak menguntungkan di
lingkungan usaha.
Analisis SWOT penting untuk mengembangkan suatu rencana yang dibuat
atau diambil dengan mempertimbangkan berbagai perbedaan faktor internal dan
eksternal, dan memaksimumkan potensi atau kemampuan dari kekuatan dan peluang
serta meminimalkan pengaruh dari kelemahan dan ancaman.
Penggunaan analisis SWOT dalam merumuskan strategi, yaitu berupaya
(memaksa) memadukan hasil analisis situasi di luar dan dan di dalam suatu usaha
(Anonimous, 1995). Teknik memaksa ini dimaksudkan untuk melihat keterkaitan
antara situasi/faktor tersebut, jadi penggunaan analisis SWOT tidak dimaksudkan
terutama untuk mengganti analisa-analisa yang lain. Sasaran utama analisis SWOT
adalah untuk mempertemukan faktor-faktor luar (oportunities dan threats) dengan
faktor-faktor dalam (strengths dan weaknesses).
Faktor-Faktor Internal Usaha Ternak Sapi Potong
Modal
Modal diartikan sebagai barang-barang bernilai ekonomi yang digunakan
untuk menghasilkan tambahan kekayaan atau untuk meningkatkan produksi
(Soehardjo dan patong, 1973). Modal digunakan untuk menghasilkan barang-barang
konsumsi atau jasa, atau untuk menghasilkan modal baru yang dapat digunakan
dalam proses produksi berikutnya. Menurut Mubyarto (1989), modal dalam
pengertian ekonomi adalah barang atau uang yang bersama–sama faktor produksi
tanah dan tenaga kerja menghasilkan barang-barang baru, yaitu dalam hal ini hasil
pertanian.
Modal dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu modal tetap (fixed capital)
dan modal tidak tetap (variable capital). Modal tetap dapat dipakai berkali-kali
dalam produksi, misalnya tanah, bangunan, dan alat pertanian. Modal tidak tetap
terpakai habis dalam satu kali proses produksi, seperti bibit, pupuk, obat-obatan,
bahan mentah, dan minyak (Soehardjo dan Patong, 1973). Modal tetap dalam usaha

peternakan adalah kandang dan peralatan-peralatan yang digunakan untuk eperluan
usahanya, seperti parang dan sabit untuk mengambil rumput. Sedangkan modal tidak
tetap untuk usaha ini adalah obat-obatan.
Teknologi (Panca Usaha Ternak)
Teknologi usahatani berarti bagaimana cara melakukan pekerjaan usahatani.
Didalamnya termasuk cara-cara bagimana petani menyebarkan benih, memelihara
tanaman dan memungut hasil serta memelihara ternak. Termasuk didalamnya benih,
pupuk pestisida, obat-obatan serta makanan ternak yang dipergunakan, perkakas, alat
dan sumber tenaga, berbagai kombinasi cabang usaha, agar tenaga petani dan
tanahnya dapat digunakan sebaik mungkin (Mosher, 1991).
Menurut Karafir (2002), teknologi biasanya tersirat dalam alat, bahan dan
cara atau metode. Selain itu teknologi berkaitan dengan kerja, upaya atau usaha
manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Teknologi tidak terkait dengan tujuan yang
ingin dicapai manusia tetapi dengan cara, upaya untuk mencapai tujuan. Teknologi
tertentu tersedia bagi kita dalam berbagai alternatif alat, bahan dan cara atau metode.
Untuk usaha peternakan, teknologi dilihat dari “Panca Usaha Ternak” yang
terdiri dari bibit, pemeliharaan, pakan ternak, kesehatan hewan, dan perkandangan.
Bibit
Bibit ternak, dari segi usaha peternakan sapi potong mempunyai arti penting
dalam mendukung keberhasilan usaha (Murtidjo,1990). Sedangkan dari segi
pemeliharaan sendiri, tujuan ternak sapi potong dikenal dua alternatif, yaitu:
 Usaha pemeliharaan sapi potong bibit bertujuan pengembangbiakan sapi potong.
Keuntungan yang diharapkan adalah hasil keturunannya.
 Usaha pemeliharaan sapi potong bakalan bertujuan memelihara sapi potong
dewasa, untuk selanjutnya digemukkan. Keuntungan yang diharapkan adalah hasil
penggemukkan.
Pada umumnya usaha peternak masih terbatas pada usaha mencari calon bibit
walaupun baru seadanya saja sehingga sapi yang mereka ternakkan pun berasal dari
bibit yang kurang baik yang diusahakan secara ekstensif atau semi ekstensif (Sugeng,
1999).
Sebagai peternak yang telah maju tentu akan memilih bibit yang berasal dari
sapi potong yang baik. Sehubungan dengan pemilihan bibit, peternak perlu

mengetahui kriteria pemilihan sapi dan pengukuran sapi. Pemilihan sapi sebagai
calon bibit pengganti ataupun calon penggemukkan sering dirasa sulit. Sebab pada
saat peternak melakukan pemilihan diperlukan pengetahuan kecakapan yang cukup,
serta kriteria dasar. Kriteria dasar tersebut meliputi bangsa dan sifat genetis, bentuk
luar, serta kesehatan. Pemilihan bibit berdasarkan penilaian bentuk luar akan
semakin sempurna atau meyakinkan bila dilanjutkan dengan pengukuran bagianbagian tertentu seperti panjang tubuh, lebar dan dalam dada, lingkar dada, dan
sebagainya. Sedangkan pengukuran bagian-bagian tubuh itu akan berhasil baik bila
ada persiapan, urutan, dan cara kerja yang benar. Bangsa sapi tropis yang sudah
cukup populer yang banyak terdapat di Indonesia dan merupakan jenis unggul
sampai saat ini ialah sapi bali, sapi madura, sapi ongole, dan sapi america brahman
(Sugeng, 1999).
Pemeliharaan
Pemeliharaan dan perawatan sapi, merupakan salah satu penunjang utama
sukses usaha ternak dalam mencapai keuntungan. Oleh karena itu diperlukan
penanganan menajemen yang baik (Murtidjo, 1990).
Usaha menjaga kelangsungan hidup ternak sapi yang sehat dan pertumbuhan
yang baik, kita harus memelihara dan merawat ternak sapi itu dengan baik. Dalam
hal ini, setiap peternak pasti sudah memiliki sasaran dan tujuan tertentu yang hendak
dicapai, misalnya menginginkan hasil akhir berupa daging atau karkas yang
persentase dan mutunya bagus (Sugeng, 1999).
Tahap-tahap perawatan semenjak baru lahir atau masih pedet hingga menjadi
sapi dewasa harus diperhitungkan. Untuk memperoleh sukses, peternak harus bisa
melewati setiap tahap pemeliharaan dengan selamat. Semua sapi yang diusahakan
harus bisa dicapai kondisi yang sehat. Sebab hanya sapi yang sehatlah yang bisa
mempertahankan kelangsungan pertumbuhan. Kesehatan sapi bisa dicapai dengan
tindakan higine, sanitasi lingkungan, vaksinasi, pemberian pakan, dan teknis yang
tepat.
Keberhasilan

tahap

pemeliharaan

sebelumnya

merupakan

pangkal

pemeliharaan berikutnya. Jadi usaha pemeliharaan pada umumnya selalu disesuaikan
dengan fase hidup sapi yang bersangkutan, mulai dari pedet, sapi muda, sapi dewasa
(finishing).

Pemeliharaan ternak sapi menyangkut pemberian pakan, pembersihan
kandang dan memberikan tilam, memandikan sapi, menimbang berat badan,
mengendalikan penyakit, memisahkan antara sapi betina dan jantan, dan
mengawinkan sapi. Untuk sapi-sapi di Indonesia bisa dikawinkan pada umur 2-2,5
tahun (AAK, 1991). Sebab pada saat itu kedewasaan tubuh sudah tercapai, sehingga
pada waktu terjadi kebuntingan tidak akan mengganggu induk yang bersangkutan.
Dalam hal pemeliharaan ini masih banyak peternak yang belum melakukan
pemeliharaan secara intesif.
Pakan Ternak
Makanan merupakan salah satu faktor penting di dalam usaha peternakan,
lebih-lebih terhadap tinggi rendahnya produksi (AAK, 1979). Makanan ternak sapi
potong dari sudut nutrisi merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk
menunjang kesehatan, pertumbuhan, dan reproduksi ternak. Makanan sangat esensial
bagi ternak sapi. Makanan yang baik akan menjadikan ternak sanggup menjalankan
fungsi proses dalam tubuh secara normal. Kebutuhan makanan akan meningkat
selama ternak masih dalam pertumbuhan berat tubuh pada saat kebuntingan
(Murtidjo, 1990).
Bahan pakan ternak sapi pada pokoknya bisa digolongkan menjadi 3 (tiga),
yaitu pakan hijauan, pakan penguat (konsentrat), dan pakan tambahan. Menurut
Sugeng (1999), pakan hijauan adalah bahan pakan yang berasal dari tanaman
ataupun tumbuhan berupa daun-daunan, terkadang termasuk batang, ranting, dan
bunga.
Hijauan sebagai bahan makanan ternak bisa diberikan dalam dua macam
bentuk, yakni hijauan segar dan hijauan kering. Hijauan segar ialah makanan yang
berasal dari hijauan yang diberikan dalam bentuk segar. Termasuk hijauan segar
adalah rumput segar, leguminosa segar dan silase. Hijauan kering ialah makanan
yang berasal dari hijauan yang sengaja dikeringkan (hay) ataupun jerami kering.
Sebagai makan ternak, hijauan memegang peranan sangat penting, sebab hijauan
mengandung hampir semua zat yang diperlukan ternak. Di Indonesia bahan makanan
hijauan memegang peranan istimewa, karena bahan tersebut diberikan dalam jumlah
yang besar.

Lahan pengembalaan merupakan sumber penyediaan hijauan yang lebih
ekonomis dan murah. Lahan pengembalaan merupakan tanaman hijauan yang secara
langsung bisa dimakan oleh ternak. Lahan pengembalaan tersebut bisa terdiri dari
rumput seluruhnya atau luguminosa saja, ataupun campuran, tetapi suatu lahan
rumput yang baik dan ekonomis ialah yang terdiri atas campuran dari rumput dan
leguminosa (AAK, 1983).
Pakan penguat adalah pakan yang berkonsentrasi tinggi dengan kadar serat
kasar yang relatif rendah dan mudah dicerna. Bahan pakan penguat ini meliputi
bahan makanan yang berasal dari biji-bijian seperti jagung giling, menir, bulgur,
hasil ikutan pertanian atau pabrik seperti dedak, katul, bungkil kelapa, tetes, dan
berbagai umbi (Sugeng, 1999).
Pakan tambahan bagi ternak sapi biasanya berupa vitamin, mineral, dan urea.
Pakan tambahan ini dibutuhkan oleh sapi yang dipelihara secara intensif, yang
hidupnya di dalam kandang terus-menerus. Pakan yang diberikan pada ternak sapi
pada dasarnya hanyalah berupa pakan hijauan, sedangkan untuk pakan tambahan
jarang atau bahkan tidak pernah diberikan.
Kesehatan Hewan
Keberhasilan peternakan sapi potong tidak hanya terletak pada usaha
pengembangan jumlah ternak yang dipelihara, namun juga pada perawatan dan
pengawasan sehingga kesehatan ternak sapi tetap terjaga. Perawatan dan pengobatan
pada ternak sapi memerlukan pertimbangan dari berbagai segi, baik dari segi
penyakit (ringan, tidak menular, atau menular) maupun dari segi ekonomis
(Murtidjo, 1990).
Penyakit yang sulit ditanggulangi atau disembuhkan, serta berbahaya bagi
ternak yang lain karena bisa menular, harus dijauhi. Dari segi ekonmis, bila biaya
pengobatan lebih tinggi daripada nilai ternaknya, maka lebih baik ternak sapi
tersebut dijual sebagai ternak potong, dengan catatan sapi tersebut tidak
membahayakan konsumen.
Menurut Sugeng (1999), penyakit menular sungguh merupakan ancaman bagi
para peternak. Walaupun penyakit menular tidak langsung mematikan, akan tetapi
bisa

merusak

kesehatan

ternak

sapi

secara

berkepanjangan,

pertumbuhan, dan bahkan menghentikan pertumbuhan sama sekali.

mengurangi

Dalam hal ini, peternak tidak dituntut harus tahu masalah-masalah kedokteran
hewan, akan tetapi mereka perlu ditumbuhkan minatnya dalam usaha pencegahan
dan pembasmian penyakit-penyakit yang biasa berjangkit di daerahnya sesuai
petunjuk dinas terkait. Sebab semuanya menyangkut kepentingan umum, bukan
kepentingan pribadi semata. Sehubungan dengan hal ini, peternak harus mengetahui
penyebab, gejala, dan akibat serangan berbagai macam penyakit, serta cara-cara
pencegahan dan pembasmiannya.
Perkandangan
Kandang sebagai tempat tinggal sapi pada sepanjang waktu harus
diperhatikan oleh peternak (Sugeng, 1999). Di dalam hal ini, peternak harus sadar
bahwa kehidupan ternak sapi sepenuhnya berada di bawah pengawasan manusia.
Segala kebutuhan ternak itu pun di bawah pengaturan dan tanggung jawab peternak
itu sendiri, sehingga perlindungan terhadap lingkungan yang mereka hadapi seperti
terik matahari, hujan, angin kencang, dan sebagainya yang menimpa ternak menjadi
pemikiran peternak. Oleh karena itu bangunan kandang sebagai salah satu faktor
lingkungan hidup ternak harus bisa memberikan jaminan hidup yang sehat dan
nyaman, sesuai dengan tuntutan hidup ternak tersebut. Jadi bangunan kandang
diupayakan pertama-tama untuk melindungi sapi terhadap gangguan luar yang
merugikan, baik terhadap sengatan terik matahari, kedinginan, kehujanan, dan tiupan
angin yang kencang.
Kandang harus dibuat dengan memperhatikan beberapa syarat teknis, antara
lain dibuat dari bahan yang berkualitas, luas kandang harus sesuai dengan jumlah
sapi, konstruksi lantai kandang harus dibuat dengan memperhatikan kemudahan
dalam melakukan pembersihan, memandikan, dan tidak licin, sinar matahari harus
bisa masuk secara langsung ke dalam kandang, sistem ventilasi udara harus
memungkinkan sirkulasi udara tidak terhambat, memperhatikan arah angin yang
dominan, dekat dengan sumber air, dan atap kandang sedapat mungkin dibuat dari
bahan-bahan yang ringan (Abidin, 2002).
Selain itu, kandang yang dibangun harus bisa menunjang peternak, baik dari
segi ekonomis maupun segi kemudahan dalam pelayanan. Dengan demikian
diharapkan bahwa dengan adanya kandang ini sapi tidak berkeliaran di sembarang
tempat dan kotorannya pun bisa dimanfaatkan seefisien mungkin.

Sumberdaya Tenaga Kerja
Faktor manusia sebagai tenaga pemelihara ternak adalah mempunyai peranan
yang sangat penting untuk keberhasilan usaha pengembangan ternak. Tenaga kerja
atan man power menurut Simanjuntak (1998) adalah kelompok penduduk dalam usia
kerja (working-age population). Secara praktis pengertian tenaga kerja dan bukan
tenaga kerja yang dibedakan hanya oleh batasan umur. Berdasarkan undang-undang
no. 25 tahun 1997 tentang ketenagakerjaan telah menetapkan batas usia kerja
menjadi 15 tahun, sehingga tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk yang
berumur 15 tahun atau lebih.
Mubyarto (1989) menyatakan bahwa faktor produksi pertanian terdiri lahan,
tenaga kerja, dan modal. Tenaga kerja dalam usaha tani merupakan faktor penting
khususnya tenaga kerja tani dan anggota keluarga, dimana tenaga kerja menjadi
unsur penentu terutama usaha tani komersil (Tohir, 1991). Tenaga kerja dalam usaha
tani sebagian besar berasal dari keluarga petani sendiri. Tenaga kerja yang berasal
dari luar keluarga dapat berupa tenaga kerja borongan atau harian tergantung pada
keperluan (Mubyarto, 1989).
Sama halnya dengan usaha peternakan, faktor tenaga kerja harus
diperhitungkan karena biaya tenaga kerja merupakan biaya produksi terbesar kedua
setelah biaya pakan yaitu 20-30% dari biaya produksi (Sudono et al., 2003). Menurut
Soewardi dan Suryahadi (1988), di daerah-daerah padat penduduk yang menjadi
kendala efektif peningkatan populasi ternak ruminansia adalah sumber daya lahan
sedangkan untuk daerah yang jarang penduduk yang berperan sebagai kendala efektif
adalah jumlah Kepala Keluarga (KK) pemelihara.
Pemasaran
Menurut Soekartawi (1991), aspek pemasaran memeang disadari bahwa
aspek ini adalah penting. Bila mekanisme pemsaran berjalan baik, maka semua pihak
yang terlibat akan diuntungkan. Oleh karen itu peranan lembaga pemasaran yang
biasanya terdiri dari produsen, tengkulak, pedagang pengumpul, broker, eksportir,
importir atau lainnya menjadi sangat penting. Lembaga pemasaran ini, khususnya
bagi negara berkembang, yang dicirikan oleh lemahnya pemasaran hasil pertanian
atau lemahnya kompetisi pasar yang sempurna, akan menentukan mekanisme pasar.

Limbong dan Sitorus (1987), mengatakan dalam pemasaran barang atau jasa
telibat beberapa badan mulai dari produsen, lembaga-lembaga perantara dan
konsumen. Karena jarak antara produsen yang menghasilkan barang atau jasa sering
berjauhan dengan konsomen, maka fungsi badan perantara sangat diharapkan
kehadirannya kehadirannya untuk menggerakkan barang-barang dan jasa-jasa
tersebut dari titik produksi ke titik konsumsi.
Produksi daging dari usaha sapi potong akan cepat maju apabila pemasaran
berjalan cukup pesat, baik dalam negeri maupun luar negeri sebagai bahan ekspor
(Sugeng,

1999).

Adanya

perkembangan

kota-kota

besar,

kemajuan

ilmu

pengetahuan, peningkatan taraf hidup rakyat, dan peningkatan pendidikan di negara
kita ini secara tidak langsung pula akan membawa pengaruh baik terhadap perubahan
menu makan yang banyak mengandung protein. Hal ini berarti kebutuhan atau
permintaan daging, khususnya daging sapi akan meningkat.
Dalam hal pemasaran perlu diperhatikan syarat-syarat sapi yang akan
dipotong dan perlakuannya seperti sapi harus dalam keadaan tenang, sapi telah
beristirahat cukup, sapi tidak boleh diberlakukan dengan kasar, dan sapi harus dalam
keadaan sehat dan gemuk (AAK, 1991). Hal ini dilakukan karena bagi para peternak
dan tukang potong (jagal) menghendaki sapi yang persentase hasil potongannya
bagus, yakni sapi yang memiliki ukuran atau porsi isi perut, kepala, cakar sedikit,
dagingnya halus, tidak banyak lemak, warnanya merah muda. Dalam hal pemasaran,
pemerintah berupaya untuk mengendalikan pemotongan sapi betina produktif untuk
mengurangi penurunan populasi.
Faktor-Faktor Eksternal Usaha Ternak Sapi Potong
Iklim
Iklim merupakan kombinasi fisis daripada lingkungan yang terdiri dari curah
hujan, kelembapan, penyinaran matahari, arus angin, tekanan udara dan lain-lain
(AKK, 1979). Iklim yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan ternak, terutama
curah hujan dan kelembapan, penyinaran matahari dan temperatur, serta tekanan
udara. Menurut Abidin (2002), pada umumnya sapi potong dapat tumbuh optimal di
daerah dengan kisaran suhu 10-27o C, dengan curah hujan 800-1500 mm/tahun, dan
kelembapan udara 60-80 %.

Dukungan Pemerintah
Peranan pemerintah dalam pengembangan usaha ternak sapi diperlukan agar
dapat meningkatkan produksi daging yang masih rendah untuk memenuhi
permintaan pasar. Beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah yang
mengatur kegiatan usaha peternakan harus dipatuhi jika suatu usaha pemerintah ingin
langgeng (Abidin, 2002).
Dukungan pemerintah dalam bidang petrnakan dapat berupa infrastruktur
(jalan raya, sarana transportasi, komunikasi, listrik untuk penerangan), penyuluhan,
kebijakan-kebijakan menyangkut peraturan-peraturan atau keputusan-keputusan yang
dibuat untuk meningkatkan kualitas bidang peternakan, dan dapat juga berupa
bantuan pemberian bibit sapi agar peternak mampu mengembangkan usahanya dan
meningkatkan pendapatan.
Permintaan (Konsumen)
Permintaan adalah jumlah barang/jasa yang ingin dibeli konsumen (Limbong
dan Sitorus, 1987). Jumlah yang ingin dibeli tidak selalu sama dengan jumlah yang
benar-benar dibeli konsumen. Jumlah yang ingin dibeli sering disebut permintaan
potensial, sedangkan jumlah yang benar-benar dibeli disebut permintaan riil atau
permintaan yang efektif. Jadi yang dimaksud dengan permintaan potensial adalah
permintaan yang belum diikuti daya beli, sedangkan yang dimaksud dengan
permintaan yang efektif adalah permintaan yang diikuti daya beli. Permintaan
potensial umumnya lebih besar dari permintaan yang efektif, tetapi dapat pula sama
besar.
Menurut Woran (1999), permintaan pada dasarnya adalah jumlah barang atau
jasa yang sanggup dibeli oleh konsumen pada tempat dan waktu tertentu dengan
harga yang berlaku. Permintaan suatu komoditi termasuk produk pertanian,
jumlahnya sangat tergantung pada kebutuhan konsumen sebagai pembeli atau
pengguna. Jadi, permintaan daging sapi berarti jumlah daging sapi yang sanggup
dibeli oleh konsumen pada tempat dan waktu tertentu dengan harga yang berlaku.

MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di 4 (empat) desa, yaitu Sidokerto, Panjunan,
Kutoharjo, dan Ngepungrojo, di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati, Jawa Tengah,
selama satu bulan yaitu dari tanggal 1 November sampai 30 November 2010.
Metode Pengumpulan Data dan Responden
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang
menggambarkan situasi atau keadaan berdasarkan data-data faktual dengan teknik
survei dan pengamatan langsung di empat desa yang dipilih secara sengaja
(purposive sampling), yakni desa yang memiliki ternak sapi potong tertinggi di
Kecamatan Pati. Responden pada penelitian ini adalah peternak sapi potong dari
empat desa terpilih di Kecamatan Pati tersebut. Setiap desa dipilih responden
sejumlah 15 kepala keluarga (KK) peternak sapi potong yang dilakukan secara acak
sederhana.
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari responden melalui teknik wawancara dan observasi langsung di
lapangan, menggunakan daftar pertanyaan (Quisioner), serta diperoleh dari
pengukuran dan observasi langsung terhadap jenis pakan yang digunakan dan jumlah
pakan yang diberikan pada ternak (menggunakan timbangan), serta kebersihan
kandang. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait, yaitu Dinas Pertanian
dan Peternakan, BPS Kabupaten Pati, Kantor Kecamatan Pati, serta kajian dari
sumber pustaka lainnya yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Variabel yang
diamati dalam proses pengumpulan data adalah pola penyediaan pakan, serta faktor
internal dan eksternal dalam usaha ternak sapi potong rakyat, yang meliputi modal,
bibit, pemeliharaan, pakan, kesehatan hewan, perkandangan, sumberdaya tenaga
kerja, pemasaran, iklim, dukungan pemerintah, dan permintaan (konsumen).

Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
SWOT. Analisis SWOT untuk pengembangan ternak sapi potong di Kecamatan Pati
mengacu pada tahapan analisis SWOT menurut Rangkuti (1997). Adapun tahapan
analisisnya disajikan pada Gambar 1.
Tahap pengumpulan data

Tahap identifikasi faktor internal dan eksternal

Analisis faktor internal

Analisis faktor eksternal

Matriks IFAS

Matriks EFAS

Tahap pemaduan data
Matriks Grand Strategy
Tahap pengambilan keputusan
(strategi usaha)
Gambar 1. Tahapan analisis SWOT
(Sumber: Rangkuti, 1997)

Tahap Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal
Tahap identifikasi faktor internal dan faktor eksternal dengan cara membuat
matriks IFAS (Internal Factor Analysis Strategy) dan matriks EFAS (External
Factor Analysis Strategy), dapat terlihat pada Tabel 1 dan 2. Matriks IFAS bertujuan
untuk mengetahui apakah kekuatan yang dimiliki lebih besar dari kelemahan,
sedangkan matriks EFAS bertujuan untuk mengetahui apakah usaha ternak sapi
potong rakyat tersebut mampu memanfaatkan peluang untuk menghadapi ancaman
yang ada.
Data kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dianalisis SWOT untuk
menentukan strategi pengembangan sapi potong di kecamatan Pati, berdasarkan
Rangkuti (1997) adalah sebagai berikut:

1. Matriks Faktor Strategi Internal
Setelah

faktor-faktor

strategis

internal

suatu

usaha

diidentifikasi

menggunakan tabel IFAS (Internal Strategic Factors Analysis Summary), kemudian
disusun untuk merumuskan strategis internal tersebut dalam kerangka Strength dan
Weaknesses suatu usaha. Tahapannya adalah:
a. Penentuan faktor-faktor yang menjadi kekuatan serta kelemahan perusahan
dalam kolom 1.
b. Pada kolom 2. pemberian bobot pada masing-masing dengan faktor tersebut
dengan skala mulai dari 1.0 (paling penting) sampai 0.0 (tidak penting)
berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap posisi strategis suatu
usaha. (semua bobot tersebut jumlahnya tidak boleh melebihi skor total 1.0).
c. Hitung rating (dalam kolom 3) untuk masing-masing faktor

dengan

memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor),
berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi suatu usaha yang
bersangkutan. Variabel yang bersifat positif (semua variabel yang masuk
kategori kekuatan) diberi nilai + 1 sampai dengan + 4 (sangat baik) dengan
membandingkannya dengan rata-rata industri atau dengan pesaing utama.
Variabel yang bersifat negatif, kebalikan. Contoh jika kelemahan perusahaan
besar sekali dibandingkan dengan rata-rata industri, nilai adalah 1, sedangkan
jika kelemahan perusahaan di bawah rata-rata nilai adalah 4.
d. Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh
faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk
masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4.0 (outstanding)
sampai dengan 1.0 (poor).

Tabel 1. Matriks IFAS
Keterangan
Kekuatan

Bobot

Skor

Nilai

0.0 -1.0

+1 sampai +4

Bobot x skor

0.0 -1.0

-1 sampai -4

Bobot x skor

a1
a2
an
Total
Kelemahan
b1
b2
bn
Total
2. Matriks Faktor Strategi Eksternal
Sebelum membuat matriks faktor strategi eksternal, ditentukan terlebih
dahulu faktor strategi eksternal (EFAS) sebagai berikut:
a. Penyusunan dalam kolom 1 ( 5 sampai dengan 10 peluang dan ancaman).
b. Pemberiaan bobot masing-masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1.0 (sangat
penting)

sampai

dengan

0.0

(tidak

penting).

Faktor-faktor

tersebut

kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap faktor-faktor strategis.
c. Perhitungan rating (dalam kolom 3) untuk masing-masing faktor dengan
memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor)
berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kondisi suatu usaha.
Pemberian nilai rating untuk faktor peluang bersifat positif (peluang yang
semakin besar diberi rating + 4, tetapi peluangnya kecil, diberi rating + 1).
Pemberian nilai rating ancaman kebalikkanya. Misalnya, jika nilai ancamannya
sangat besar, ratingnya adalah 1. Sebaliknya, jika nilai ancamannya sedikit
ratingnya 4.

d. Pengalian bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh
faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk
masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4.0 (Outstanding)
sampai dengan 1.0 (poor).
Tabel 2. Matriks EFAS
Keterangan
Peluang

Bobot

Skor

Nilai

0.0 -1.0

+1 sampai +4

Bobot x skor

0.0 -1.0

-1 sampai -4

Bobot x skor

c1
c2
cn
Total
Ancaman
d1
d2
dn
Total
Tahap Pemaduan Data
Tahap pemaduan data menggunakan matrik Grand Strategy. Matrik Grand
Srategy diperoleh dari total skor dari matriks IFAS dan EFAS yang bertujuan untuk
melihat posisi usaha ternak sapi potong rakyat berdasarkan empat kelompok strategi
yaitu strategi yang bersifat agresif, diversifikasi, turn around, dan defensif. Matrik
Grand Strategy disajikan pada Gambar 2.

Berbagai
Peluang

III
Turn Around

I
Agresif

Kelemahan
Internal

Kekuatan
Internal
IV
Defensif

II
Diversifikasi

Bebagai
Ancaman
Gambar 2. Matriks Grand Strategy
(Sumber: Rangkuti, 1997)

Keterangan:
Kuadran I

: Ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Perusahaan
tersebut

memiliki

peluang

dan

kekuatan

sehingga

dapat

memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan
dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan
agresif (Growth Oriented Strategy).
Kuadran II

: Meskipun menhadapi berbagai macam ancaman, perusahaan ini
masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus
diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan
peluang jangka panjang dengan cara diversifikasi.

Kuadran III

: Perusahaan menghadapi peluang pasar yang sangat besar, tetapi
dilain pihak, dia menghadapi kendala/kelemahan internal. Fokus
strategi perusahaan ini adalah meminimalkan masalah-masalah
internal perusahaan sehingga dapat merebut peluang pasar yang
lebih baik.

Kuadran IV

: Ini merupakan yang sangat tidak menguntungkan, perusahaan
tersebut menghadapi berbagai macam ancaman dan kelemahan
internal.

Tahap Perumusan Strategi
Setelah mengumpulkan semua informasi yang berpengaruh terhadap
kelangsungan usaha ternak sapi potong, tahap selanjutnya adalah memanfaatkan
semua informasi tersebut dalam model-model kuantitatif perumusan strategi. Alat
yang dipakai menyusun faktor-faktor strategis adalah Matrik SWOT, seperti yang
terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Matriks SWOT
IFAS STRENGTHS (S)

WEAKNESSES (W)

EFAS

 Tentukan 5-10 faktorfaktor kekuatan internal

 Tentukan 5-10 faktorfaktor kelemahan
internal

OPPORTUNITIES (O)

STRATEGI SO

STRATEGI WO

 Tentukan 5-10 faktorfaktor peluang
eksternal

Ciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan
untuk memanfaatkan
peluang

Ciptakan strategi yang
meminimalkan kelemahan
untuk memanfaatkan
peluang

THREATS (T)

STRATEGI ST

STRATEGI WT

 Tentukan 5-10 faktorfaktor ancaman
eksternal

Ciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan
untuk mengatasi ancaman

Ciptakan strategi yang
meminimalkan kelemahan
dan menghindari ancaman

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kabupaten Pati
Letak Geografis dan Luas Wilayah
Kabupaten Pati merupakan salah satu dari 35 daerah kabupaten/kota di Jawa
Tengah bagian timur, terletak diantara 1100, 50’ – 1110, 15’ bujur timur dan 60, 25’ –
70, 00’ lintang selatan, dengan batasan-batasan wilayahnya sebagai berikut:


Sebelah utara

: dibatasi wilayah Kab. Jepara dan Laut Jawa



Sebelah barat

: dibatasi wilayah Kab. Kudus dan Kab. Jepara



Sebelah selatan

: dibatasi wilayah Kab. Grobogan dan Kab. Blora



Sebelah timur

: dibatasi wilayah Kab. Rembang dan Laut Jawa

Kabupaten Pati terletak di daerah pantai utara pulau jawa dan di bagian timur
dari Propinsi Jawa Tengah. Secara administratif Kabupaten Pati mempunyai luas
wilayah 150.368 ha yang terdiri dari 58.448 ha lahan sawah dan 91.920 ha lahan
bukan sawah. Kabupaten Pati terdiri dari 21 kecamatan, 401 desa, 5 kelurahan, 1.106
dukuh serta 1.474 RW dari 7.524 RT. Jumlah desa dan luas wilayah pada kabupaten
Pati dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah Desa dan Luas Wilayah Tiap Kecamatan di Kabupaten Pati Tahun
2009

1

Sukolilo

16

7.253

Lahan
bukan
sawah
(ha)
8.621

2

Kayen

17

4.937

4.666

9.603

6,39

3

Tambakromo

18

2.947

4.300

7.247

4,82

4

Winong

30

4.202

5.792

9.994

6,65

5

Pucakwangi

20

5.023

7.260

12.283

8,17

6

Jaken

21

3.595

3.257

6.852

4,56

7

Batangan

18

2.082

2.879

4.961

3,30

8

Juwana

29

1.556

4.120

5.676

3,77

9

Jakenan

23

3.926

1.378

5.304

3,53

10

Pati

24/5

2.558

1.691

4.249

2,83

No

Kecamatan

Jumlah
Desa/
Kelurahan

Lahan
sawah
(ha)

Jumlah
(ha)

Persentase
(%)

15.874

10,56

11

Gabus

24

4.075

1.476

5.551

3,69

12

Margorejo

18

2.708

3.473

6.181

4,11

13

Gembong

11

823

5.907

6.730

4,48

14

Tlogowungu

15

1.829

7.617

9.446

6,28

15

Wedarijaksa

18

2.178

1.907

4.085

2,72

16

Trangkil

16

1.040

3.244

4.284

2,85

17

Margoryoso

22

1.210

4.815

6.025

4,01

18

Gunungwungkal

15

1.627

4.553

6.180

4,11

19

Cluwak

13

1.344

5.587

6.931

4,61

20

Tayu

21

2.138

2.621

4.759

3,16

21

Dukuhsati

12

2.063

6.096

8.159

5,43

Total

401/5

59.114

91.260

150.368

100

Sumber: BPS Kabupaten Pati 2010

Karakteristik Tanah dan Sistem Penggunaan Lahan
Kabupaten Pati terdiri atas berbagai macam jenis tanah, bagian utara terdiri
dari tanah Red Yellow, Latosol, Aluvial, Hidromer, dan Regosol. Sedangkan bagian
selatan terdiri dari tanah Aluvial, Hidromer, dan Gromosol. Rincian menurut
kecamatan sebagai berikut:


Batangan, Sukolilo, Gabus, dan Jakenan merupakan tanah Aluvial.



Cluwak, Gunungwungkal, dan Gembong merupakan tanah Latosol.



Juwana dan Margoyoso merupakan tanah Aluvial dan Red Yellow mediteran.



Pati dan Margorejo merupakan tanah Red Yellow mediteran, Latosol, Aluvial,
dan Hidromer.



Kayen dan Tambakromo merupakan tanah Aluvial dan Hidromer.



Pucakwangi dan Winong merupakan tanah Gromosol dan Hidromer.



Wedarijaksa merupakan tanah Red Yellow mediteran, Latosol, dan Regosol.



Tayu merupakan tanah Auvial, Red Yellow, dan Regosol.



Tlogowungu merupakan tanah Latosol dan Red Yellow mediteran.

Berdasarkan topografi, Kabupaten Pati terletak pada ketinggian 1-380 meter di atas
permukaan laut.
Kabupaten Pati mempunyai potensi utamanya pada sektor pertanian
berdasarkan penggunaan lahannya. Potensi pertanian cukup besar meliputi pertanian

tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan. Hal ini juga
ditunjang dengan iklim di daerah ini, dimana rata-rata curah hujan di kabupaten Pati
sebanyak 1.002 mm dengan 51 hari hujan, untuk keadaan hujan cukup, sedangkan
untuk temperatur berkisar dari 230-390C. Luas dan persentase Penggunaan lahan di
Kabupaten Pati dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Luas dan Persentase Penggunaan Lahan di Kabupaten Pati Tahun 2009
Penggunaan Tanah

Luas (ha)

Persentase (%)

59.114

39,38

1.1. Pengairan Teknis

17.799

11,86

1.2. Pengairan 1/2 Teknis

9.374

6,24

1.3. Pengairan Sederhana

7.215

4,81

1.4. Pengairan Desa / Non P.U.

1.980

1,32

1.5. Tadah Hujan

22.725

15,14

1.6. Pasang Surut

0

0,00

1.7. Lainnya

21

0,01

91.014

60,62

2.1. Rumah dan Pekarangan

27.077

18,04

2.2. Tegal

26.952

17,95

2

0,00

2.4. Hutan Rakyat

1.592

1,06

2.5. Hutan Negara

17.766

11,83

2.6. Perkebunan

2.464

1,64

2.7. Rawa-rawa

19

0,01

2.8. Tambak

10.544

7,02

2.9. Kolam

314

0,21

4.284

2,85

150.128

100,00

1. Lahan Sawah

2. Lahan Bukan Sawah

2.3. Padang Rumput

2.10. Tanah Lainnya
Jumlah
Sumber: BPS Kabupaten Pati 2010

Penggunaan lahan di Kabupaten Pati sebagian besar dimanfaatkan untuk
lahan pertanian. Komoditas dari pertanian tanaman pangan berupa padi, jagung,
ketela rambat, ketela pohon, kacang tanah, kedelai, kacang hijau, tebu, buah-buahan

serta tanaman sayuran. Jenis tanaman perkebunan didominasi dengan tanaman
kelapa, kopi, kapuk randu, dan cengkeh.
Potensi ternak sapi potong di Kabupaten Pati lebih besar dibanding sapi
perah, kerbau, kambing, domba, dan babi. Mengenai produksi telur baik dari jenis
ayam ras maupun buras, produksi ayam buras menempati urutan terbesar dibanding
ayam ras yaitu 12.836.294 butir di tahun 2009. Pohon jati merupakan komoditas
utama dari hasil kehutanan di Kabupaten Pati, yaitu salah satu produksi dari pohon
jati menghasilkan kayu bulat.
Gambaran Umum Kecamatan Pati
Letak Geografis dan Luas Wilayah
Kecamatan Pati merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Pati,
dan merupakan kota kabupaten bagi Kabupaten Pati. Kecamatan Pati yang terletak di
pusat Kabupaten Pati, dan menjadikan Kecamatan Pati sebagai pusat kegiatan dari
Kabupaten Pati, sebab pusat pemerintahan Kabupaten Pati berada di Kecamatan Pati.
Secara administratif, Kecamatan Pati berbatasan dengan:


Sebelah utara

: dibatasi Kec. Wedarijaksa



Sebelah barat

: dibatasi Kec. Margorejo dan Kec. Wedarijaksa



Sebelah selatan

: dibatasi Kec. Gabus



Sebelah timur

: dibatasi Kec. Juwana dan Kec. Jakenan

Secara administratif, kecamatan Pati mempunyai luas wilayah 4.249 ha yang
terdiri dari 2.558 ha lahan sawah dan 1.691 ha lahan bukan sawah. Kecamatan Pati
terdiri dari 5 kelurahan dan 24 desa yg berada pada ketinggian antara 5-23 meter di
atas permukaan laut.
Karakteristik Tanah dan Sistem Penggunaan Lahan
Kecamatan Pati terdiri dari berbagai macam jenis tanah, yaitu Yellow Red
mediteran, Latosol, Aluvial, dan Hidromer. Kecamatan Pati mempunyai potensi pada
sektor pertanian berdasarkan penggunaaan lahannya, hampir sebagian besar luas
wilayahnya merupakan lahan sawah. Potensi pertanian cukup besar meliputi
pertanian tanaman pangan, peternakan, dan perikanan. Hal ini juga ditunjang dengan
iklim di daerah ini, dimana rata-rata curah hujan di Kecamatan Pati sebanyak 994
mm dengan 64 hari hujan, untuk keadaan hujan cukup, sedangkan untuk temperatur

berkisar dari 240-390C. Berdasarkan curah hujan di wilayah Kabupaten Pati,
Kecamatan Pati memiliki tipe iklim (oldeman) D2. Luas dan persentase Penggunaan
lahan di Kabupaten Pati dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Luas dan Persentase Penggunaan Lahan di Kecamatan Pati Tahun 2009
Penggunaan Tanah

Luas (ha)

Persentase (%)

2.558

60,20

1.123

26,43

1.2. Pengairan 1/2 Teknis

773

18,19

1.3. Pengairan Sederhana

522

12,29

0

0,00

1.5. Tadah Hujan

140

3,29

1.6. Pasang Surut

0

0,00

1.7. Lainnya

0

0,00

1.691

39,80

1.421

33,44

2.2. Tegal

87

2,05

2.3. Padang Rumput

0

0,00

2.4. Hutan Rakyat

0

0,00

2.5. Hutan Negara

0

0,00

2.6. Perkebunan

0

0,00

2.7. Rawa-rawa

0

0,00

2.8. Tambak

0

0,00

2.9. Kolam

20

0,47

2.10. Tanah Lainnya

163

3,84

4.249

100,00

1. Lahan Sawah
1.1. Pengairan Teknis

1.4. Pengairan Desa / Non P.U.

2. Lahan Bukan Sawah
2.1. Rumah dan Pekarangan

Jumlah
Sumber: BPS Kabupaten Pati 2010

Suatu wilayah akan mempergunakan lahan yang dimilikinya dengan sebaikbaiknya, agar se