Analisis Nilai Tambah Usaha Ternak Sapi Potong (Studi Kasus: Desa Ara Condong, Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat)

(1)

ANALISIS NILAI TAMBAH USAHA TERNAK

SAPI POTONG

(Studi Kasus: Desa Ara Condong, Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat)

SKRIPSI

OLEH : RAFIKA ZAHARA

080304038 AGRIBISNIS

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

ANALISIS NILAI TAMBAH USAHA TERNAK

SAPI POTONG

(Studi Kasus: Desa Ara Condong, Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat)

SKRIPSI

OLEH : RAFIKA ZAHARA

080304038 AGRIBISNIS

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Gelar Sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

(Ir. Thomson Sebayang, MT.)

NIP. 195711151986011001 NIP. 196703031998022001 (Ir. Diana Chalil, M. Si., Ph. D)

DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

ABSTRAK

RAFIKA ZAHARA (080304038/AGRIBISNIS) dengan judul skripsi Analisis Nilai Tambah Usaha Ternak Sapi Potong (Studi Kasus: Desa Ara Condong, Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat). Penelitian ini dibimbing oleh Ir. Thomson Sebayang, MT. dan Ir. Diana Chalil, M. Si., Ph. D yang bertujuan untuk (1) Menganalisis besar nilai tambah yang diperoleh dari usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong berdasarkan perbandingan skala usaha di daerah penelitian, (2) Menganalisis tingkat keuntungan usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong berdasarkan perbandingan skala usaha di daerah penelitian, dan (3) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai tambah yang dihasilkan pada usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong di daerah penelitian.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ara Condong, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat. Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa daerah ini merupakan daerah yang memiliki populasi ternak sapi potong terbanyak di Kecamatan Stabat. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah Metode Stratified Random Sampling dengan pertimbangan bahwa penentuan sampel penelitian berdasarkan skala usaha kepemilikan sapi potong.

Dari hasil penelitian diperoleh : (1) Nilai tambah yang dihasilkan usaha pembibitan sapi potong skala usaha < 5 ekor sebesar Rp 18.644/kg, skala usaha 6-9 ekor sebesar Rp 29.208/kg, skala usaha > 10 ekor sebesar Rp 28.323/kg dan pada usaha penggemukan sapi potong skala usaha < 5 ekor sebesar Rp 10.826/kg, skala usaha 6-9 ekor sebesar Rp 16.701/kg dan skala usaha > 10 ekor sebesar Rp. 18.395/kg (2) Keuntungan yang diperoleh pada usaha pembibitan sapi potong selama 12 bulan pada skala usaha < 5 ekor sebesar Rp 9.507.930, skala usaha 6-9 ekor sebesar Rp 23.474.484, skala usaha > 10 ekor sebesar Rp 75.904.836 dan keuntungan yang diperoleh pada usaha penggemukan sapi potong selama 6 bulan pada skala usaha < 5 ekor sebesar Rp 6.084.416, skala usaha 6-9 ekor sebesar Rp 31.253.676, skala usaha > 10 ekor sebesar Rp 85.723.456 (3) berat badan indukan sapi, berat badan anakan sapi, dan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap nilai tambah usaha pembibitan sapi potong serta berat badan sapi penggemukan, berat badan anak/induk sapi, tenaga kerja dan pakan konsentrat berpengaruh nyata terhadap nilai tambah usaha penggemukan sapi potong.

Kata kunci : sapi potong, usaha pembibitan, usaha penggemukan, nilai tambah, keuntungan.


(4)

RIWAYAT HIDUP

RAFIKA ZAHARA lahir di Medan pada tanggal 17 Februari 1992, sebagai anak pertama dari dua bersaudara, seorang putri dari Ayahanda H. Sugiono, S. sos, dan Ibunda Hj. Nurhayati.

Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis adalah sebagai berikut :

1. Tahun 1997 masuk Sekolah Dasar di SD Swasta Al-Azhar Medan dan tamat pada tahun 2003.

2. Tahun 2003 masuk sekolah menengah pertama di SMP Swasta Al-Azhar jalur Akselerasi dan tamat pada tahun 2005.

3. Tahun 2005 masuk sekolah menengah atas di SMAN2 Medan dan tamat pada tahun 2008.

4. Tahun 2008 penulis diterima di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui jalur UMB-Mandiri.

Kegiatan yang pernah diikuti penulis adalah sebagai berikut:

1. Anggota Forum Silaturahmi Mahasiswa Muslim Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

2. Anggota Ikatan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultaas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

3. Bulan Juli 2012 melaksanakan Praktek Kerja Lapangan di Rawang Pasar V, Kecamatan Rawang Panca Arga, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara.

4. Bulan Maret 2013 penulis melaksanakan penelitian skripsi di Desa Ara Condong, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat, hidayah, serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ANALISIS NILAI TAMBAH USAHA TERNAK SAPI POTONG (Studi Kasus: Desa Ara Condong, Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat)”.

Skripsi ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat guna memperoleh gelar sarjana pertanian di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Penyelesaian skripsi ini tidak lepaas dari bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada:

1. Bapak Ir. Thomson Sebayang, MT. selaku ketua komisi pembimbing, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan serta saran dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

2. Ibu Ir. Diana Chalil, M.Si., Ph. D selaku anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan penulis bimbingan dan arahan serta saran dengan penuh kesabaran selama beberapa bulan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 3. Seluruh dosen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis serta

kepada seluruh Staf pengajar dan Pegawai yang ada di Departemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, USU.

4. Ayahanda tercinta H. Sugiono S.sos dan Ibunda tercinta Hj. Nurhayati serta kepada adik tercinta Muhammad Rizki Ichwan yang telah memberikan doa dan begitu banyak perhatian, cinta, kasih sayang serta dukungan baik moril maupun materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di waktu yang tepat.

5. Seluruh keluarga besar yang telah memberikan doa, dukungan dan semangat kepada saya selama penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu peternak sapi yang telah bersedia meluangkan waktunya sehingga penulis dapat memperoleh data guna menyempurnakan proses pengerjaan skripsi ini.


(6)

7. Bapak dan Ibu Staf Pemerintahan Desa Ara Condong Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat sebagai tempat penulis melakukan penelitian skripsi.

8. Teman-teman seperjuangan penulis di Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara angkatan 2008 khususnya Irma Yusnita SP, Lolisa Efa Matovani SP, Lailan Syafina SP, Sri Ardianti Pratiwi Srg SP, Giska Rizki Aulia SP, Sri Novi Bastian SP, Izzatul Dwina Mahsaiba SP, Rizki Utami SP, Arini Pebristya Duha SP, Tasnim Ahsanu Amala SP, Nessy Anali Utami SP, Deliane Savitri Pane SP, dll yang tidak bisa disebutkan satu persatu terima kasih atas dukungan dan semangat yang telah kalian berikan selama ini. Terima kasih kepada Muhammad Iqbal Azhar Hsb, SP yang selama ini dengan setia memberikan dukungan dan motivasi serta nasehat kepada penulis dan sahabat tersayang Dyah Mahastuti Retno Widarti, ST.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca untuk perbaikan skripsi ini di kemudian hari. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 2013 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Kegunaan Penelitian... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN... 7

2.1 Tinjauan Pustaka ... 7

2.2 Landasan Teori ... 12

2.3 Kerangka Pemikiran ... 13

2.4 Hipotesis ... 16

III. METODA PENELITIAN ... 17

3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 17

3.2 Metoda Penentuan Sampel ... 18

3.3 Metoda Pengumpulan Data ... 21

3.4 Metode Analisis Data ... 21

3.5 Defenisi dan Batasan Operasional ... 29

3.5.1 Defenisi ... 29

3.5.2 Batasan Operasional ... 31

IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK SAMPEL ... 32

4.1 Deskripsi Daerah Penelitian ... 32

4.1.1 Letak dan Keadaan Geografis ... 32

4.1.2 Keadaan Penduduk ... 32

4.1.3 Sarana dan Prasarana... 35


(8)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

5.1 Sistem Produksi Usaha Ternak Sapi Potong ... 46

5.1.1 Nilai Tambah Usaha Pembibitan Sapi Potong ... 47

5.1.2 Nilai Tambah Usaha Penggemukan Sapi Potong... 53

5.1.3 Perbandingan Nilai Tambah Usaha Pembibitan dan Penggemukan Usaha Ternak Sapi Potong... 60

5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tambah Usaha Pembibitan dan Penggemukan Sapi Potong... 73

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

Kesimpulan ... 76

Saran ... 77 DAFTAR PUSTAKA


(9)

ABSTRAK

RAFIKA ZAHARA (080304038/AGRIBISNIS) dengan judul skripsi Analisis Nilai Tambah Usaha Ternak Sapi Potong (Studi Kasus: Desa Ara Condong, Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat). Penelitian ini dibimbing oleh Ir. Thomson Sebayang, MT. dan Ir. Diana Chalil, M. Si., Ph. D yang bertujuan untuk (1) Menganalisis besar nilai tambah yang diperoleh dari usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong berdasarkan perbandingan skala usaha di daerah penelitian, (2) Menganalisis tingkat keuntungan usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong berdasarkan perbandingan skala usaha di daerah penelitian, dan (3) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai tambah yang dihasilkan pada usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong di daerah penelitian.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ara Condong, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat. Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa daerah ini merupakan daerah yang memiliki populasi ternak sapi potong terbanyak di Kecamatan Stabat. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah Metode Stratified Random Sampling dengan pertimbangan bahwa penentuan sampel penelitian berdasarkan skala usaha kepemilikan sapi potong.

Dari hasil penelitian diperoleh : (1) Nilai tambah yang dihasilkan usaha pembibitan sapi potong skala usaha < 5 ekor sebesar Rp 18.644/kg, skala usaha 6-9 ekor sebesar Rp 29.208/kg, skala usaha > 10 ekor sebesar Rp 28.323/kg dan pada usaha penggemukan sapi potong skala usaha < 5 ekor sebesar Rp 10.826/kg, skala usaha 6-9 ekor sebesar Rp 16.701/kg dan skala usaha > 10 ekor sebesar Rp. 18.395/kg (2) Keuntungan yang diperoleh pada usaha pembibitan sapi potong selama 12 bulan pada skala usaha < 5 ekor sebesar Rp 9.507.930, skala usaha 6-9 ekor sebesar Rp 23.474.484, skala usaha > 10 ekor sebesar Rp 75.904.836 dan keuntungan yang diperoleh pada usaha penggemukan sapi potong selama 6 bulan pada skala usaha < 5 ekor sebesar Rp 6.084.416, skala usaha 6-9 ekor sebesar Rp 31.253.676, skala usaha > 10 ekor sebesar Rp 85.723.456 (3) berat badan indukan sapi, berat badan anakan sapi, dan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap nilai tambah usaha pembibitan sapi potong serta berat badan sapi penggemukan, berat badan anak/induk sapi, tenaga kerja dan pakan konsentrat berpengaruh nyata terhadap nilai tambah usaha penggemukan sapi potong.

Kata kunci : sapi potong, usaha pembibitan, usaha penggemukan, nilai tambah, keuntungan.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berinvestasi dengan cara beternak sapi merupakan salah satu cara usaha yang relatif aman, karena sapi merupakan hewan yang tangguh tak mudah terkena penyakit, serta pertumbuhan badan yang cepat. Harga sapi potong dipasaran pun relatif stabil dan hasil panen mudah diserap pasar. Ada beberapa macam investasi yang berhubungan dengan peternakan sapi yang biasa dilakukan, yakni penggemukan sapi potong dan pembibitan sapi potong (Sujarwo, 2012).

Hasil atau nilai tambah dari usaha pembibitan sapi potong berupa pedet atau anak sapi yang unggul agar pada usaha penggemukan bibit bakalan tersebut dapat memberikan hasil pertambahan bobot berat badan sapi yang tinggi. Usaha pembibitan sapi potong sejauh ini memang kurang memberikan keuntungan yang memadai. Besarnya modal yang dibutuhkan untuk usaha pembibitan juga menjadi penyebab lain rendahnya minat pengusaha untuk investasi di usaha pembibitan sapi potong. Hal ini tidak sebanding dengan usaha penggemukan yang memberikan keuntungan berlipat ganda (Rianto dan Endang, 2011).

Yang dimaksud dengan usaha penggemukan yaitu suatu cara pemeliharaan dikandang secara terus – menerus dalam kurun waktu ± 6 bulan. Tujuan pemeliharaan sapi dengan cara ini adalah untuk meningkatkan atau menghasilkan daging yang relatif lebih cepat.


(11)

Penggemukan sapi merupakan salah satu peluang usaha yang paling mudah dilaksanakan, karena tak harus memiliki modal besar dan tak butuh keahlian khusus (Sujarwo, 2012).

Di Indonesia, telah banyak berkembang akhir-akhir ini berbagai usaha penggemukan sapi potong yang dilakukan oleh para feedlotters atau peternak kecil di Indonesia. Bagi peternak kecil, yang kebanyakan adalah petani di desa-desa, usaha penggemukan sapi ini merupakan alternatif yang bisa di lakukan untuk menambah pendapatan keluarga. Dengan lama penggemukan selama 6 bulan, akan dapat di peroleh hasil berupa nilai tambah berat badan sapi potong dengan kualitas dagingnya yang lebih baik (Bank Indonesia, 2012). Usaha penggemukan sapi potong memberikan keuntungan finansial jauh lebih besar dalam waktu lebih pendek, sehingga usaha penggemukan lebih menarik bagi investor dibanding usaha pembibitan (Hadi dan Ilham, 2000).

Sekjen Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Rochadi Tawaf, mengatakan bahwa saat ini pengusaha tidak lagi tertarik berinvestasi di budidaya sapi (on farm). Penyebabnya adalah nilai tambah yang diperoleh sangat kecil dan harus menanggung risiko yang cukup besar. Berbeda dengan peternakan di Australia yang dikelola dalam skala besar, usaha budidaya sapi di Tanah Air adalah usaha sampingan dengan skala kecil dan rumah tangga. Akibatnya, budidaya sapi di Indonesia tidak efisien dan nilai tambah yang diperoleh menjadi kecil (Zuhri, 2012). Usaha pembibitan sapi potong hingga skala usaha 2 – 5 ekor belum memberikan keuntungan, sedangkan untuk usaha penggemukan sapi potong pada skala 2 – 5 ekor sudah memberikan keuntungan bagi peternak (Riszqina dkk, 2011).


(12)

Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh peternak sapi tradisional adalah produktivitas ternak sapi yang rendah. Pemeliharaan sapi dengan sistem tradisional menyebabkan kurangnya peran peternak dalam mengatur perkembangbiakan ternaknya. Peran ternak ruminansia dalam masyarakat tani bukan sebagai komoditas utama (Haryanto, 2009).

Di Sumatera Utara sendiri, prospek pengembangan agribisnis peternakan cukup besar terutama agribisnis ternak potong ruminansia (hewan pemamah biak) khususnya sapi potong. Namun karena berbagai keterbatasan serta permasalahan yang dihadapi, prospek pengembangan tersebut sampai saat ini belum dapat diwujudkan secara optimal (BPP Sumut, 2009). Dikatakan Sumatera Utara memiliki prospek pengembangan agribisnis peternakan cukup besar karena jika dibandingkan dengan seluruh provinsi di pulau Sumatera, Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu yang memiliki populasi sapi potong tertinggi kedua pada tahun 2012 yaitu 590.451 ekorsedangkan Provinsi Lampung memiliki populasi sapi potong terbesar yaitu sebanyak 798.459 ekor. Populasi sapi potong di Sumatera Utara dan Lampung dapat dilihat dalam grafik dibawah ini:

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan, 2012

0 200000 400000 600000 800000 1000000

2008 2009 2010 2011 2012

Grafik 1.1 Perkembangan Populasi Sapi Potong di Provinsi Sumatera Utara dan Lampung


(13)

Di Sumatera Utara, Kabupaten Langkat merupakan daerah produsen sapi potong yang memiliki tingkat populasi tertinggi yaitu sebesar 126.293 ekor. Kabupaten Simalungun dan Deli Serdang menduduki peringkat ke 2 dan ke 3 yaitu sebesar 65.355 dan 44.268 ekor. Perkembangan populasi sapi potong di Kabupaten Langkat dapat dilihat pada grafik dibawah ini:

Sumber: Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Utara, 2012

Dari uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti Analisis Nilai Tambah Usaha Ternak Sapi Potong (Studi Kasus: Desa Ara Condong, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat).

1.2.Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu diteliti adalah :

1. Berapa besar nilai tambah yang diperoleh dari usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong berdasarkan perbandingan skala usaha di daerah penelitian?

2. Faktor – faktor apa yang mempengaruhi nilai tambah usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong di daerah penelitian?

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000

2005 2006 2007 2008 2009

Grafik 1.2. Perkembangan Populasi Sapi Potong Kabupaten Langkat, Simalungun dan Deli Serdang


(14)

1.3.Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis besar nilai tambah yang diperoleh dari usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong berdasarkan perbandingan skala usaha di daerah penelitian. 2. Untuk menganalisis faktor – faktor apa yang mempengaruhi nilai tambah usaha

pembibitan dan penggemukan sapi potong di daerah penelitian.

1.4.Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan informasi bagi peternak dalam melakukan usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong.

2. Bagi pemerintah diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong, serta sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan dan keputusan yang menyangkut usaha ternaksapi potong. 3. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak – pihak yang membutuhkan.


(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

. Tinjauan Pustaka

Tipologi usaha peternakan dibagi berdasarkan skala usaha dan kontribusinya terhadap pendapatan peternak, sehingga bisa diklasifikasikan ke dalam kelompok berikut:

1. Peternakan sebagai usaha sambilan untuk mencukupi kebutuhan sendiri dengan tingkat pendapatan dari usahaternaknya kurang dari 30%.

2. Peternakan sebagai cabang usaha, peternak mengusahakan pertanian campuran (mixed farming) dengan ternak sebagai cabang usaha, dengan tingkat pendapatan dari usahaternaknya 30-69,9% (semi komersil atau usaha terpadu).

3. Peternakan sebagai usaha pokok, dimana peternak mengusahakan ternak sebagai usaha pokok dan komoditi pertanian lainnya sebagai usaha sambilan, dengan tingkat pendapatan usahaternak 70-99,9%.

4. Peternakan sebagai usaha industri, dimana komoditas ternak diusahakan secara khusus (specialized farming) dengan tingkat pendapatan usahaternak 100%

(Saragih, 2000).

Usaha penggemukan sapi potong mendatangkan nilai tambah bagi para peternak karena harga penjualan sapi yang lebih mahal dibandingkan dengan harga penjualan sapi tanpa melalui proses penggemukan. Jumlah keuntungan yang akan diperoleh dari penjualan sapi yang digemukkan tergantung pada pertambahan bobot badan yang dicapai dalam proses penggemukan, lama penggemukan dan harga daging (Siregar, 2011).

Pemberian pakan sapi potong terdiri dari hijauan dan konsentrat dengan perbandingan yang tergantung pada ketersediaan pakan hijauan dan konsentrat.apabila hijauan lebih banyak maka hijauanlah yang lebih banyak diberikan. Sebaliknya, apabila pakan konsentrat mudah diperoleh, tersedia banyak dan harganya relatif murah maka pemberian


(16)

konsentratlah yang diperbanyak. Namun, adapula peternak yang hanya memberikan hijauan saja tanpa adanya pemberian konsentrat ataupun pakan lainnya (Siregar, 2011).

Pemberian konsentrat dalam penggemukan sapi potong pada usaha peternakan rakyat yakni hanya terdiri dari satu jenis dan paling banyak dua jenis bahan pakan saja. Misalnya, konsentrat itu hanya berupa dedak padi saja atau ampas tahu, atau hasil ikutan industri pertanian lainnya (Siregar, 2011).

Berdasarkan umur sapi bakalan dalam usaha pembibitan sapi potong dimulai dari umur 0– 8 bulan. Pemberian pakan ternak disesuaikan dengan umur, berat badan dan produksinya. Umumnya pada masa pertumbuhan dan produksi membutuhkan protein dan energi lebih banyak dibanding masa lainnya. Sapi yang sedang berproduksi disediakan pakan berdasarkan berat badan, produksi susu dan kandungan lemak susu. Pada anak sapi, kolostrum atau susu induk diberikan mulai umur dua hari sampai dengan 3,5 bulan. Sedangkan hijauan diberikan sejak umur dua minggu dengan cara sedikit demi sedikit ditambah (Sujarwo, 2012).

Berdasarkan umur sapi yang akan digemukkan, lama penggemukan dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1) untuk sapi bakalan dengan umur kurang dari 1 tahun, lama penggemukan berkisar antara 8 - 9 bulan, 2) untuk sapi bakalan umur 1−2 tahun, lama penggemukan 6 - 7 bulan, dan 3) untuk sapi bakalan umur 2 - 2,50 tahun, lama penggemukan 4 - 6 bulan (Sugeng, 2006).


(17)

Di daerah penelitian, peternak sudah memulai penjualan pedet setelah masa pra sapih atau sudah dapat dilepas dari indukan yaitu rata – rata pada umur 6 bulan. Sedangkan untuk usaha pembibitan sapi potong dipilih bibit sapi dengan umur 1 - 2 tahun, dimana pada umur tersebut sapi sudah siap untuk dikawinkan dan menghasilkan pedet atau anakan setelah menjalani masa kehamilan sekitar ± 9 bulan. Kemudian, hasil panen dari usaha pembibitan sapi potong yang berupa pedet atau anakan sapi dapat dijual mulai umur 6 bulan

(Fikar dan Ruhyadi, 2010).

Dalam hal pemilihan bibit dengan cara seleksi dan penyingkiran sapi – sapi yang kurang baik dari kelompok sapi yang dipelihara perlu dilakukan. Laju pertumbuhan sapi seperti apapun kerap kali tidak dihiraukan, dan yang terpenting bagi peternak ialah kelompok sapi yang dipelihara itu tetap bisa berkembang biak Sugeng (2000). Lebih lanjut Dinas Peternakan (1983) menyatakan, salah satu faktor keberhasilan beternak adalah keterampilan memilih bibit ternak.

Nilai tambah adalah produk dikurangi dengan nilai bahan baku dan bahan penunjang yang dipergunakan dalam proses produksi. Dengan kata lain, nilai tambah merupakan sejumlah nilai jasa (return) terhadap faktor produksi modal tetap, tenaga kerja, keterampilan dan manajemen (Suryana, 1990).

Nilai tambah dapat dilihat dari dua sisi yaitu nilai tambah untuk pengolahan dan nilai tambah untuk pemasaran. Nilai tambah untuk pengolahan dipengaruhi oleh faktor teknis yang meliputi kapasitas produksi, jumlah bahan baku, dan tenaga kerja, serta faktor pasar yang meliputi harga output, harga bahan baku, upah tenaga kerja dan harga bahan baku


(18)

lain selain bahan bakar dan tenaga kerja. Besarnya nilai tambah suatu hasil pertanian karena proses pengolahan adalah merupakan pengurangan biaya bahan baku dan input lainnya terhadap nilai produk yang dihasilkan, tidak termasuk tenaga kerja. Bisa dikatakan bahwa nilai tambah merupakan gambaran imbalan bagi tenaga kerja, modal dan manajemen

(Sudiyono dalam Budhisatyarini, 2008).

2.1.2. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dijadikan rujukan mengenai usaha pembibitan sapi potong dan penggemukan sapi bakalan adalah penelitian yang dilakukan oleh Riszqina, dkk (2011) dengan judul Analisis Pendapatan Peternak Sapi Potong Dan Sapi Bakalan Karapan Di Pulau Sapudi Kabupaten Sumenep. Dimana, hasil penelitian menyatakan bahwa rata-rata penerimaan per bulan peternak usaha pembibitan sapi potong lebih kecil dibanding peternak usaha penggemukan sapi potong. Penerimaan rata-rata per bulan peternak dengan usaha pembibitan berskala 2-3 ekor lebih kecil dibandingkan dengan penerimaan peternak yang berskala 4-6 ekor. Rata - rata keuntungan per bulan peternak sapi dengan usaha penggemukan yang berskala 4 - 6 ekor lebih besar dibanding yang berskala 2 - 3 ekor, tetapi peternak dengan usaha pembibitan sapi potong berskala 4 - 5 ekor mendapat kerugian lebih kecil dibandingkan yang berskala 2 - 3 ekor.

Penelitian lain yang dijadikan rujukan adalah penelitian yang dilakukan oleh Putria (2008) dengan judul Analisis Kelayakan Usaha Pengembangan Pembibitan (Breeding) Sapi Potong Pada PT Lembu Jantan Perkas (LJP), Serang, Propinsi Banten. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa pembibitan bertujuan peningkatkan mutu genetik dan nilai ekonomis


(19)

sapi potong serta menghasilkan bibit sapi yang memiliki kualitas unggul. Saat ini masih sedikit yang mengusahakan pembibitan sapi potong di Indonesia. Selama ini pihak swasta lebih tertarik menanamkan modalnya pada usaha penggemukkan dari pada usaha pembibitan. Hal ini disebabkan antara lain usaha penggemukkan memiliki resiko yang lebih kecil, perputaran modal lebih cepat, dan waktu pengembalian modal (payback period) lebih singkat dibanding usaha pembibitan, dimana breeding sapi potong baru dapat dijual setelah anak sapi yang baru lahir berumur tiga bulan. Hal ini berbeda dengan usaha penggemukkan dimana sapi potong dapat dijual setelah mengalami penggemukkan selama tiga bulan. Para investor beranggapan bahwa dalam usaha breeding dibutuhkan lahan secara ekstensif dengan modal yang besar, padahal usaha pembibitan dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan sebaik mungkin dengan sistem semi intensif serta manajemen pakan yang baik yaitu memanfaatkan hasil produk sampingan pertanian (by product) sebagai bahan baku pakan yang bernutrisi.

2.2. Landasan Teori 2.2.1. Nilai Tambah

Nilai tambah (value added) adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan dalam suatu produksi. Dalam proses pengolahan, nilai tambah dapat didefinisikan sebagai selisih antara nilai produk dengan nilai biaya bahan baku dan input lainnya, tidak termasuk tenaga kerja. Sedangkan marjin adalah selisih antara nilai produk dengan harga bahan bakunya saja. Dalam marjin ini tercakup komponen faktor produksi yang digunakan yaitu tenaga kerja, input lainnya dan balas jasa pengusaha pengolahan (Hayami et al., 1987).


(20)

Menurut Hayami et al. (1987), ada dua cara untuk menghitung nilai tambah yaitu nilai tambah untuk pengolahan dan nilai tambah untuk pemasaran. Faktor-faktor yang memperngaruhi nilai tambah untuk pengolahan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu faktor teknis dan faktor pasar. Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah bahan baku yang digunakan dan tenaga kerja. Sedangkan faktor pasar yang berpengaruh adalah harga output, upah tenaga kerja, harga bahan baku, dan nilai input lain. Perhitungan nilai tambah yang diperoleh dari proses pengolahan suatu produk dapat menggunakan Metode Hayami. Kelebihan dari analisis nilai tambah dengan menggunakan Metode Hayami adalah pertama, dapat diketahui besarnya nilai tambah, nilai output, dan produktivitas, kedua, dapat diketahui besarnya balas jasa terhadap pemilik-pemilik faktor produksi, serta ketiga, prinsip nilai tambah menurtu Hayami dapat diterapkan untul subsistem lain diluar pengolahan, misalnya untuk kegiatan pemasaran (Suprapto, 2006).

2.3. Kerangka Pemikiran

Peternak sapi potong dengan usaha pembibitan merupakan orang yang mengusahakan ternak sapi mulai dari pemeliharaan bibit anakan hingga menghasilkan indukan kemudian siap untuk dijual ± 12 bulan lamanya. Sedangkan peternak sapi potong dengan usaha penggemukan merupakan orang yang mengusahakan ternak sapi mulai dari umur 1-2 tahun dengan menambah bobot daging sapi dalam jangka waktu 6 bulan dengan pemberian pakan hijauan dan konsentrat. Meningkatnya permintaan daging membuat peluang usaha ternak sapi potong semakin terbuka. Peternak dihadapi dengan dua pilihan usaha dalam beternak sapi potong yaitu usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong dengan tingkat keuntungan usaha yang berbeda.


(21)

Usaha pembibitan sapi potong memberikan nilai tambah berupa indukan sapi potong, dimana pedet atau anakan sapi yang pada usia 6 bulan dipelihara hingga menghasilkan indukan sapi potong yang merupakan bakalan untuk usaha penggemukan sapi potong. Usaha pembibitan yang masih dilakukan secara tradisional memberikan nilai tambah yang kecil dan dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan pada usaha penggemukan sapi potong nilai tambah yang dihasilkan berupa pertambahan bobot berat badan sapi itu sendiri. Usaha penggemukan mulai berkembang di kalangan petani maupun kalangan swasta. Berbeda dengan usaha pembibitan, usaha penggemukan memberikan nilai tambah dan keuntungan yang cukup besar dalam usaha ternak sapi potong karena lama pengusahaannya relatif singkat. Usaha penggemukan sapi potong dimulai dari sapi bakalan yang berumur 1 tahun yang kemudian diusahakan selama 6 bulan untuk menghasilkan pertabahan bobot daging sapi.

Perbedaan nilai tambah yang diperoleh dari usaha pembibitan maupun penggemukan sapi potong tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam proses produksinya. Keberhasilan usaha ternak bergantung pada tiga unsur, yaitu bibit, pakan, dan manajemen atau pengolaan. Manajemen mencakup pengelolaan perkawinan, pemberian pakan, perkandangan dan kesehatan ternak. Manajemen juga mencakup penanganan hasil ternak, pemasaran dan pengaturan tenaga kerja.

Dalam operasionalisasi usahaternaknya, peternak akan memperoleh penerimaan usahatani dari masing – masing usaha. Dan meningkatnya nilai tambah dari usaha pembibitan sapi menjadi usaha penggemukan sapi yang dapat memberikan hasil berupa pertambahan berat badan sapi atau daging sapi menjadi daya tarik tersendiri bagi peternak untuk mengembangkan usaha ternak sapi potong.


(22)

Secara singkat, proses tersebut dapat dilihat dari skema kerangka pemikiran berikut:

Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan:

: Menyatakan Hubungan : Menyatakan pengaruh Anakan Sapi

Potong

Usaha Pembibitan Sapi Potong

Usaha Penggemukan Sapi Potong

Analisis Nilai Tambah

Faktor - Faktor Yang

Mempengaruhi Nilai Tambah Penggemukan Sapi Potong:

-Harga sapi bakalan

-Harga sapi hasil penggemukan -Biaya Obat Cacing

-Biaya Garam Biaya BBM

Skala Usaha < 5 ekor

Skala Usaha 6 9 ekor

Skala Usaha > 10 ekor Faktor - Faktor Yang

Mempengaruhi Nilai Tambah Pembibitan Sapi Potong:

-Harga indukan sapi -Harga anakan sapi -Biaya Obat Cacing -Biaya Garam


(23)

2.4. Hipotesis Penelitian

Maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Nilai tambah yang diperoleh dari usaha pembibitan sapi potong lebih kecil dari usaha penggemukan sapi potong.

2. Ada pengaruh harga indukan sapi, harga anakan sapi, biaya obat cacing, biaya garam, biaya BBM dan upah tenaga kerja terhadap nilai tambah usaha pembibitan dan ada pengaruh harga sapi bakalan penggemukan, harga sapi hasil penggemukan, biaya obat cacing, biaya garam, biaya BBM dan upah tenaga kerja terhadap nilai tambah usaha penggemukan sapi potong.


(24)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian

Daerah penelitian ini ditentukan secara purposive sampling atau secara sengaja, yaitu teknik penetuan sampel data dilakukan dengan pertimbangan tertentu yang telah dibuat terhadap obyek yang sesuai dengan tujuan (Sugiyono, 2010). Pertimbangan ini didasarkan karena Kecamatan Strabat merupakan daerah yang memiliki populasi sapi potong terbesar di Kabupaten Langkat. Populasi sapi potong di Kecamatan Stabat dapat terlihat pada tabel berikut.

Tabel 3.1 Perkembangan Populasi Sapi Potong perKecamatan di Kabupaten Langkat (ekor)

No Kecamatan Tahun

2006 2007 2008 2009 2010

1 Bahorok 4.069 4.383 4.630 5.180 5.115

2 Salapian 4.142 4.970 1.752 4.941 5.440

3 Sei Bingei 3.752 4.502 5.705 6.393 3.635

4 Kuala 6.649 6.076 6.899 7.725 8.614

5 Selesai 5.003 6.004 7.607 8.526 9.723

6 Binjai 2.373 2.848 3.640 4.076 4.118

7 Stabat 11.662 16.995 22.188 24.862 29.497

8 Wampu 6.031 7.237 9.446 10.506 12.636

9 Batang Serangan 5.054 5.962 7. 776 8.718 9.594

10 Sawit Seberang 1.859 2.231 2.909 3.257 3.818

11 Padang Tualang 3.754 4.005 4.923 5.518 2.348

12 Hinai 2.944 2.533 3.303 3.700 4.133

13 Secanggang 8.983 10.780 14.070 15.777 17.268

14 Tanjung Pura 1.211 1.453 1.800 1.981 2.289

15 Gebang 2.250 1.787 2.330 2.605 3.122

16 Babalan 1.475 1.200 1.563 1.707 450

17 Sei Lepan 2.027 1.832 2.391 2.677 980

18 Brandan Barat 477 572 713 816 1.169

19 Besitang 1.760 2.112 2.008 2.248 2.549

20 Pangkalan Susu 1.775 1.356 1.029 1.135 1.040

21 Pematang Jaya 0 0 1.434 1.604 1.751

22 Serapit 0 0 4.408 2.529 3.237

23 Kutambaru 0 0 2.258 1.961 3.844

Jumlah 77.250 38.838 114.812 128.442 136.370


(25)

Lokasi penelitian juga ditentukan secara purposive sampling yakni di Desa Ara Condong, dengan pertimbangan desa ini merupakan desa yang memiliki jumlah ternak sapi potong terbesar diantara 12 desa yang ada di Kecamatan Stabat.

Tabel 3.2 Banyaknya Ternak Sapi perKelurahan di Kecamatan Stabat Tahun 2005-2010

No. Desa / Kelurahan

Tahun

2005 2006 2007 2008 2009 2010

1 Banyumas 300 300 75 75 1.880 1.880

2 Kwala Bingai 40 40 120 120 3.033 3.033

3 Sidomulyo 30 30 68 68 1.504 1.504

4 Pantai Gerai 152 152 70 70 1.805 1.805

5 Perdamaian 51 51 25 25 627 627

6 Stabat Baru 30 30 17 17 426 426

7 Ara Condong 300 300 36 136 10.927 10.927

8 Kwala Begumit 319 319 40 40 1.028 1.028

9 Mangga 179 179 21 21 526 526

10 Karang Rejo 49 49 73 73 1.905 1.905

11 Dendang 0 0 0 24 652 652

12 Paya Mabar 0 0 0 19 551 551

Jumlah 1.450 1.450 1.363 688 24.862 24.862

Sumber: BPS Kabupaten Langkat, 2012

3.2 Metode Penentuan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peternak yang melakukan usaha budidaya ternak sapi potong di Desa Ara Condong. Jumlah peternak yang melakukan usaha budidaya sapi potong di Desa Ara Condong dapat dilihat pada tabel 3.3 berikut ini:


(26)

Tabel 3.3 Jumlah peternak per dusun di Desa Ara Condong No. Dusun Jumlah Peternak

1. 1 10

2. 2 8

3. 3 7

4. 4 27

5. 5 14

6. 6 28

7. 7 22

8. 8 6

9. 9 4

10. 10 23

11. 11 0

12. 12 2

Jumlah 151

Sumber: Data Statistik Kantor Kepala Desa Ara Condong, 2012

Metode yang digunakan dalam penentuan sampel adalah metode Slovin. Penentuan banyak sampel penelitian menurut Slovin dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut:

=

�+( ���� )

Dimana:

n : banyak sampel N : banyak populasi

e : persentase kesalahan yang diinginkan atau ditolerir (Sunyoto, 2011).

=

151

1+ ( 151 x 0,10² )

=

151 1+ ( 151 x 0,01 )

= 151 1+ 1,51

=

151 2,51

= 60,1 = 60

Jadi, jumlah penentuan pengambilan sampel yang digunakan adalah sebanyak 60 sampel peternak sapi potong.


(27)

Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel menggunakan propotionate stratified random sampling. Propotionate stratified random sampling adalah pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan berstrata secara proporsional, dilakukan dengan menggunakan metode ini apabila anggota populasinya heterogen (tidak sejenis) (Sugiyono, 2010).

Populasi dalam penelitian ini adalah peternak yang melakukan usaha pembibitan dan penggemukan usaha ternak sapi potong di Desa Ara Condong. Penentuan pengambilan besar sampel penelitian berdasarkan skala usaha kepemilikan sapi potong, menggunakan propotionatestratified random sampling dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut: ni =��

x n

dimana :

ni = Jumlah sampel menurut stratum n = Jumlah sampel seluruhnya

Ni = Jumlah populasi menurut stratum N = Jumlah populasi seluruhnya

Tabel 3.4 Penentuan Pengambilan Sampel Penelitian

No. Skala Usaha Jumlah

Populasi

Pengambilan Sampel Penelitian

1 < 5 ekor 125 50

2 6 – 9 ekor 16 6

3 > 10 ekor 10 4

Total 151 60

Sumber: Informasi PPL di Kecamatan Stabat, 2012

Jumlah sampel dalam penelitian ini untuk usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong berjumlah 60 orang. Penarikan sampel dilakukan dengan metode snowball sampling. Snowball sampling yaitu teknik sampling yang semula berjumlah kecil kemudian anggota


(28)

sampel (responden) mengajak temannya untuk dijadikan sampel dan seterusnya sehingga jumlah sampel semakin besar (Sugiyono, 2010). Karena tidak diketahui populasi pada masing ditetapkan sebanyak 30 orang dengan pembagian yang sama untuk masing-masing stratanya.

Tabel 3.5 Penentuan Sampel Penelitian No. Skala Usaha Jumlah Sampel

Pembibitan

Jumlah Sampel Penggemukan

1 < 5 ekor 24 24

2 6 - 9 ekor 4 4

3 > 10 ekor 2 2

Total 30 30

3.3Metode Pengambilan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yaitu berupa kuisioner diperoleh dari hasil wawancara kepada peternak sapi potong dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Jenis data yang dikumpulkan seperti data harga output, harga input yang digunakan dalam usaha ternak sapi potong serta harga bahan baku dalam masing-masing usaha. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara, BPS Kabupaten Langkat, Dinas Peternakan Sumatera Utara, Dinas Peternakan Kabupaten Langkat, dan instansi terkait lainnya.

3.4 Metode Analisis Data

Untuk menguji hipotesis, digunakan metode dan teknik analisis data yang sesuai dengan masing-masing hipotesis yang dibuat. Untuk hipotesis 1, diuji untuk melihat bagaimana nilai tambah yang diperoleh dari usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong, digunakan dengan pengukuran nilai tambah metode Hayami. Prosedur perhitungan nilai tambah dengan menggunakan metode Hayami sebagai berikut :


(29)

Tabel 3.6 Kerangka Perhitungan Nilai Tambah Metode Hayami

Variabel Nilai

I. Output, Input dan Harga 1. Output (kg)

2. Input (kg)

3. Tenaga Kerja (HOK) 4. Faktor Konversi

5. Koefisien Tenga Kerja (HOK/kg) 6. Harga Ouput (Rp)

7. Upah Tenaga Kerja (Rp/HOK)

(1) (2) (3)

(4) = (1) / (2) (5) = (3) / (2) (6)

(7) II. Penerimaan dan Keuntungan

8. Harga bahan baku (Rp/kg) 9. Sumbangan input lain (Rp/kg) 10.Nilai output (Rp/kg)

11.a. Nilai tambah (Rp/kg) b. Rasio nilai tambah (%)

12. a. Pendapatan tenaga kerja (RP/kg) b. Pangsa tenaga kerja (%)

13. a. Keuntungan (Rp/kg) b. Tingkat keuntungan (%)

(8) (9)

(10) = (4) x (6)

(11a) = (10) – (9) – (8) (11b) = (11a/10) x 100% (12a) = (5) x (7)

(12b) = (12a/11a) x 100% (13a) = 11a – 12a

(13b) = (13a/11a) x 100% III. Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi

14. Marjin (Rp/kg)

a. Pendapatan tenaga kerja (%) b. Sumbangan input lain (%) c. Keuntungan pengusaha (%)

(14) = (10) – (8)

(14a) = (12a/14) x 100% (14b) = (9/14) x 100% (14c) = (13a/14) x 100%

Sumber: Hayami, at all. Agricultural Marketing and Processing In Up Land Java, 1989.Dalam Baroh (2007).

Dasar perhitungan dari analisis nilai tambah adalah per kg hasil, standar harga yang digunakan untuk input/bahan baku dan produksi ditingkat pengolah/ produsen. Nilai tambah menggambarkan imbalan bagi tenaga kerja, modal dan manajemen. Dari hasil perhitungan tersebut akan dihasilkan keterangan sebagai berikut:

a. Nilai tambah (Rp) adalah selisih antara nilai output sapi potong dengan bahan baku utama bibit sapi potong dan sumbangan input lain.

b. Rasio nilai tambah (%) menunjukkan nilai tambah dari nilai produk.

c. Pendapatan tenaga kerja langsung (Rp) menunjukkan upah yang diterima tenaga kerja langsung untuk mengolah satu satuan bahan baku.


(30)

d. Pangsa tenaga kerja langsung (%) menunjukkan persentase pendapatan tenaga kerja langsung dari nilai tambah yang diperoleh.

e. Keuntungan (Rp) menunjukkan bagian yang diterima perusahaan.

f. Tingkat keuntungan (%) menunjukkan persentase keuntungan dari nilai produk.

g. Marjin (Rp) menunjukkan besarnya kontribusi pemilik faktor-faktor produksi selain bahan baku yang digunakan dalam proses produksi.

h. Persentase pendapatan tenaga kerja langsung terhadap marjin (%). i. Persentase sumbangan input lain terhadap marjin (%).

j. Persentase keuntungan perusahaan terhadap marjin (%).

Koefisien tenaga kerja menunjukkan banyaknya tenaga kerja yang diperlukan untuk mengolah satu satuan input. Nilai produk menunjukkan nilai output yang dihasilkan dari satu satuan input. Nilai input lain mencakup nilai dari semua korbanan selain bahan baku dan tenaga kerja langsung yang digunakan selama produksi berlangsung.

Untuk menguji hipotesis 2 pada usaha pembibitan sapi potong, dianalisis dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Y= f (X1, X2, X3, X4, X5, X6) dimana:

Y = Nilai tambah usaha pembibitan sapi potong x1 = Harga anakan sapi potong (Rp/Kg)

x2 = Harga indukan sapi potong (Rp/Kg) x3 = Biaya obat cacing (Rp)


(31)

x5 = Biaya BBM (Rp)

x6 = Upah tenaga kerja (Rp/HOK)

Pada usaha penggemukan sapi potong, dianalisis dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Y= f (X1, X2, X3, X4, X5, X6) dimana:

Y = Nilai tambah usaha penggemukan sapi potong x1 = Harga bakalan penggemukan sapi potong (Rp/Kg) x2 = Harga sapi potong hasil penggemukan (Rp/Kg) x3 = Biaya obat cacing (Rp)

x4 = Biaya garam (Rp) x5 = Biaya BBM (Rp)

x6 = Upah tenaga kerja (Rp/HOK)

Uji asumsi Ordinary Least Square (OLS) 1. Uji asumsi multikolinearitas

Uji asumsi multikolinearitas dimaksudkan untuk menghindari adanya hubungan yang linear antar variabel bebas. Multikolinearitas dapat dideteksi dengan beberapa metode, diantaranya adalah dengan melihat :

• Jika nilai koefisien determinasi (R²) tinggi; dalam uji serempak (F-test), variabel-variabel eksogen secara serempak berpengaruh nyata terhadap variabel-variabel endogen; tetapi dalam uji secara parsial (t-test), variabel-variabel eksogen secara parsial banyak yang


(32)

tidak berpengaruh nyata terhadap variabel endogen, maka hal ini mengindikasikan terjadinya multikolinearitas.

• Melihat nilai standard error. Nilai standard error yang besar mengindikasikan terjadinya multikolinearitas.

• Jika nilai Toleransi atau VIF (Variance Inflation Factor) kurang dari 0,1 atau nilai VIF melebihi 10 mengindikasikan terjadinya multikolinearitas.

• Terdapat koefisien korelasi sederhana yang mencapai atau melebihi 0,8 jika nilai F-hitung melebihi F-tabel dari regresi antar variabel bebas

(Ardiani dalam Gujarati 2004)

2. Uji asumsi heteroskedastisitas

Salah satu asumsi yang penting dari model regresi linier klasik adalah bahwa gangguan (disturbance) atau residual yang muncul dalam fungsi regresi populasi adalah homoskedastik. Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain dalam model regresi. Jika varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah homokskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas (Ardiani dalam Gujarati 2004). Cara mendeteksi terjadinya heteroskedastisitas dalam model regresi dengan Program SPSS adalah sebagai berikut.

• Analisis Grafik

Analisis grafik dilakukan dengan cara melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel endogen, yaitu Y: ZPRED dengan residualnya X: SRESID. Dengan kriteria uji sebagai berikut.

Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang

teratur (bergelombang, melebar, kemudian menyempit): tidak terjadi heteroskedastisitas. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y: tidak terjadi heteroskedastisitas (Walpole, 1992).


(33)

3. Uji asumsi normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Seperti diketahui, bahwa uji t dan F mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Kalau asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sampel kecil. Cara mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak dalam model regresi dengan Program SPSS adalah sebagai berikut.

• Analisis grafik

Analisis grafik dilakukan dengan cara melihat grafik histogram yang membandingkan antara data observasi dengan distribusi yang mendekati distribusi normal dan melihat normal probability plot yang membandingkan distribusi kumulatif dari distribusi normal. Dengan kriteria uji sebagai berikut. Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogramnya menunjukkan pola berdistribusi normal: data residual model terdistribusi dengan normal.

Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan/atau tidak mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogram tidak menunjukkan pola berdistribusi normal: data residual model tidak terdistribusi dengan normal.

• Uji Kolmogorov-Smirnov

Konsep dasar Uji Kolmogrov-Smirnov adalah dengan membandingkan distribusi data yang akan diuji normalitasnya dengan distribusi normal baku. Cara melakukan Uji Kolmogrov-Smirnov adalah sebagai berikut.

a. Lakukan regresi utama OLS


(34)

c. Dari menu utama, pilih menu Analyze, lalu pilih Nonparametric Test. d. Pilih sub menu 1-Sample K-S.

e. Pada kotak Test Variable List, isi Unstandardized Residual, dan aktifkan Test Distribution pada kotak Normal.

f. Output SPSS akan menunjukkan besar nilai Kolmogrov-Smirnov Z.

Dengan kriteria sebagai berikut.

Jika signifikasi > α : tidak ada perbedaan antara distribusi residual dengan

distribusi normal, data residual model berdistribusi normal.

Jika signifikasi ≤ α : ada perbedaan antara distribusi residual dengan distribusi normal, data residual model tidak berdistribusi normal.

Uji Kesesuaian (test goodness of fit) model dan uji hipotesis

Ketepatan fungsi regresi sampel dalam menaksir nilai aktual dapat diukur dari goodness of fit-nya. Secara statistik, setidaknya ini dapat diukur dari nilai koefisien determinasi, nilai statistik F, dan nilai statistik t. Perhitungan statistik disebut signifikan secara statistik apabila nilai uji statistiknya berada dalam daerah

kritis (daerah dimana Ho ditolak). Sebaliknya, disebut tidak signifikan apabila nilai uji statistiknya berada dalam daerah dimana Ho diterima (Ghozali, 2006). Koefisien yang dihasilkan dapat dilihat pada output regresi berdasarkan data yang

dianalisis untuk kemudian diinterpretasikan serta dilihat signifikansi tiap-tiap variabel yang diteliti.


(35)

Koefisien determinasi (R²) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variansi variabel endogen. Koefisien determinasi (R²) bertujuan untuk mengetahui kekuatan variabel-variabel eksogen dalam menjelaskan variabel endogen. 1. Uji pengaruh variabel secara serempak

Uji pengaruh variabel secara serempak pada dasarnya menunjukkan apakah secara serempak semua variabel eksogen yang dimaksukkan dalam model berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Uji pengaruh variabel secara serempak untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara serempak, digunakan Uji F (F-test). Dengan kriteria uji sebagai berikut.

Jika Fhitung≤Ftabel atau jika signifikansi F>α : terima Ho atau tolak H1. Jika Fhitung>Ftabel atau jika signifikansi F≤α : tolak Ho atau terima H1.

2. Uji pengaruh secara parsial

Uji pengaruh variabel secara parsial pada dasarnya menunjukkan seberapa besar jauh pengaruh satu variabel eksogen secara parsial dalam menerangkan variansi variabel endogen. Uji pengaruh variabel secara parsial dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara parsial, digunakan Uji t (t-test). Dengan kriteria uji sebagai berikut.

Jika thitung≤ttabel atau jika signifikansi t>α : terima Ho atau tolak H1. Jika thitung>ttabel atau jika signifikansi t≤α : tolak Ho atau terima H1.

3.5Definisi dan Batasan Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami penelitian ini, maka dibuat definisi dan batasan operasional sebagai berikut:


(36)

1. Peternak sapi potong adalah individu yang memiliki sapi potong sendiri untuk dibudidayakan atau digemukkan yang pengerjaannya dilakukan sendiri ataupun dibantu orang lain baik sebagai usaha pokok maupun usaha sampingan.

2. Usaha pembibitan sapi potong adalah kegiatan atau usaha dimana peternak dan keluarganya memelihara ternak yang bertujuan memperoleh hasil dan pendapatan dari anakan sapi potong hingga menjadi indukan sapi yang siap dijadikan bibit bakalan usaha penggemukan sapi potong dalam jangka waktu 12 bulan.

3. Usaha penggemukan sapi potong adalah kegiatan atau usaha dimana peternak dan keluarganya memelihara ternak yang bertujuan memperoleh hasil dan pendapatan dari pertambahan berat badan yang dihasilkan oleh sapi bakalan dalam jangka waktu 6 bulan.

4. Output adalah jumlah pertambahan berat badan sapi yang dihasilkan dalam jangka waktu 12 bulan untuk usaha pembibitan dan 6 bulan untuk usaha penggemukan sapi potong dihitung dalam satuan kg.

5. Input adalah bahan baku utama yang dibutuhkan dalam jangka waktu 12 bulan untuk usaha pembibitan dan 6 bulan untuk usaha penggemukan sapi potong yang dihitung dalam satuan kg.

6. Tenaga kerja adalah jumlah orang/karyawan yang melakukan usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong.

7. Faktor konversi merupakan pembagian dari output dengan input yang digunakan pada usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong.

8. Koefesien tenaga kerja diperoleh dari hasil bagi antara tenaga kerja dengan input. 9. Harga output adalah harga sapi potong dan kotorannya per kg dalam satuan Rupiah.

3.5.2 Batasan Operasional

1. Sampel adalah 30 peternak yang memiliki dan mengusahakan usaha pembibitan dan 30 peternak yang memiliki dan mengusahakan penggemukan sapi potong dengan skala usaha yang berbeda yaitu 2 – 5 ekor, 6 – 9 ekor dan > 10 ekor sapi potong.

2. Daerah penelitian adalah Desa Ara Condong, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat. 3. Penelitian dilakukan pada tahun 2013.


(37)

BAB IV

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN

KARAKTERISTIK SAMPEL

4.1 Deskripsi Daerah Penelitian 4.1.1 Letak dan Keadaan Geografis

Penelitian dilakukan di Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan Stabat terletak 3°47' - 4°00' LU - 98°15' - 98° 25' BT. Adapun daerah yang dipilih sebagai daerah penelitian adalah Desa Ara Condong. Daerah penelitian berada pada ketinggian 4 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan rata-rata per tahun 1.300 mm dan keadaan suhu rata-rata 28°C – 34°C. Jarak daerah penelitian ke ibukota kecamatan sekitar 4 km, sementara jarak ke ibukota kabupaten sekitar 5 km.

Adapun batas-batas wilayah daerah penelitian adalah sebagai berikut: - Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Stabat Lama

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Stabat Baru dan Kwala Begumit - Sebeleh Timur berbatasan dengan Desa Kepala Sungai

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Stabat Baru

4.1.2 Keadaan Penduduk

a. Penduduk Menurut Kelompok Umur

Penduduk Kecamatan Stabat berjumlah 83.093 orang dengan rumah tangga yang tersebar di setiap kecamatan dan kelurahan di Kecamatan Stabat dan berdasarkan golongan umur sampel penduduk Desa Ara Condong dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut.


(38)

No Kelompok Umur (Tahun) Jumlah (jiwa) Jumlah (%)

1 0-14 2.167 31,09

2 15-54 3.842 55,12

3 >55 961 13,78

Jumlah 6.970 100

Sumber : Kantor Kepala Desa Ara Condong, 2012

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Desa Ara Condong pada tahun 2012 sebesar 6.970 orang. Data tabel diatas juga menunjukkan jumlah usia non produktif bayi, balita, anak-anak dan remaja (0-14 tahun) sebesar 2.167 orang (31,09%) manula (>55 tahun) sebesar 961 orang (13,78%). Jumlah usia produktif (15-54 tahun) adalah sebesar 3.842 orang (55,12%). Usia produktif adalah usia dimana orang memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehingga dapat menghasilkan barang dan jasa dengan efektif, dari data tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan tenaga kerja di Desa Ara Condong cukup besar.

b. Penduduk Menurut Mata Pencaharian Pokok

Mata pencaharian pokok penduduk di Desa Ara Condong menurut mata pencaharian pokok dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut.

Tabel 4.2 Penduduk Menurut Mata Pencaharian Pokok

Jenis Pekerjaan Laki – laki Perempuan

Petani 1248 1142

Buruh tani 1100 910

Pedagang keliling - 12

Peternak 45 43

Nelayan 2

-Montir 60

-Pembantu rumah tangga - 72

TNI 32

-POLRI 2

-Pensiunan PNS/TNI/POLRI 156 165

Pengusaha kecil dan menengah 28 12

Pengusaha besar 2

Karyawan perusahaan swasta 78 26


(39)

Dapat dilihat pada tabel 4.2, mata pencaharian pokok paling banyak di Desa Ara Condong adalah petani. Sedangkan peternak merupakan mata pencaharian pokok kelima paling banyak di Desa Ara Condong. Usaha ternak di Desa Ara Condong biasanya merupakan mata pencaharian sampingan dengan mata pencaharian pokok sebagai petani.

c. Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Penduduk Desa Ara Condong menurut tingkat pendidikan terdiri dari tamat SD, SLTP, SLTA, Perguruan Tinggi. Untuk mengetahui lebih jelas mengenal tingkat pendidikan penduduk Kota Medan dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut :

Tabel 4.3 Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)

1 SD 784 28,03

2 SMP 1.080 38,61

3 SMA 820 29,31

4 Perguruan Tinggi 113 4,04

Jumlah 2.797 100

Sumber : Kantor Kepala Desa Ara Condong, 2012

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk Desa Ara Condong paling besar berada pada tingkat pendidikan menengah yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP) yaitu sebesar 1.080 orang (38,61%), Sekolah Menengah Atas (SMA) yaitu sebesar 820 orang (29,31%), Sekolah Dasar (SD) yaitu sebesar 784 orang (28,03%), dan Perguruan Tinggi berjumlah 113 orang (4,04%).

4.1.3 Sarana dan Prasarana

Untuk mencapai desa ini dapat dengan mudah ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua. Adanya sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, peribadatan dan transportasi dapat semakin mampu menunjang peningkatan sumberdaya yang ada di


(40)

Desa Ara Condong, sehingga desa ini dapat berkembang menjadi desa yang lebih baik dengan potensi yang dimilikinya. Pasar tradisional di Desa Ara Condong untuk saat ini belum tersedia. Secara rinci sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Ara Condong dijelaskan pada Tabel 4.4 berikut :

Tabel 4.4 Sarana dan Prasarana

No Sarana dan Prasarana Jumlah (unit)

1 Sekolah

a. SD 2

b. SMP 1

2 Kesehatan

a. Puskesmas Pembantu 1

3 Tempat Peribadatan

a. Mesjid 15

4 Transportasi

a. Jalan Baik 3,4 km

b. Jalan Rusak 1,7 km

Sumber: Kantor Kepala Desa Ara Condong, 2012 4.2 Karakteristik Sampel

Sampel penelitian adalah peternak yang mengusahakan usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong di Desa Ara Condong. Karakteristik peternak meliputi umur, lama berusaha, jumlah produksi dan jumlah tenaga kerja. Karakteristik peternak sampel di Desa Ara Condong dapat disajikan pada tabel berikut:

Tabel 4.5 Karakteristik Sampel di Desa Ara Condong, 2013

Uraian Range Rata-Rata

1. Umur (Tahun) 30 –63 43,5

2. Lama berusaha (Tahun) 2 – 15 4,7

3. Jumlah produksi (sapi/tahun) 1 – 30 5,1

4. Jumlah tenaga kerja (orang) 1 – 2 1,1

Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 1,8,15,22,29,36), 2013

Dari Tabel 4.5 dapat dikemukakan bahwa umur rata-rata pemilik usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong secara keseluruhan adalah 43,5 tahun. Artinya masih dalam usia


(41)

produktif sehingga dari segi fisik masih mampu mengerjakan usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong dengan baik. Usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong ini belum cukup lama dijalankan oleh masyarakat setempat, usaha peternakan sapi potong ini masih tergolong baru dan masih berkembang di Desa Ara Condong Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat.

Tenaga kerja yang digunakan pada usaha ternak sapi potong rata-rata 1 orang, dengan range 1-2 orang. Penggunaan tenaga kerja pada usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong masih menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Penyerapan tenaga kerja untuk kedua usaha ini masih tergolong kecil, karena di Desa Ara Condong peternak menggunakan tenaga kerja luar keluarga pada usaha skala > 10 ekor.


(42)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan responden di daerah penelitian, diketahui bahwa ada 2 jenis usaha ternak sapi potong yang diusahakan yaitu usaha pembibitan sapi potong dan usaha penggemukan sapi potong.

5.1 Sistem Produksi Usaha Ternak Sapi Potong

Dalam melakukan sistem produksi usaha ternak sapi potong, ada beberapa hal yang perlu diketahui yaitu pengadaan bahan baku dan bahan penolong, penggunaan modal investasi, serta penggunaan tenaga kerja.

Pengadaan Bahan Baku dan Bahan Penolong

Kegiatan bahan baku merupakan kegiatan penting yang dapat mempengaruhi produksi suatu usaha. Bahan baku utama dalam proses usaha ternak sapi potong baik itu usaha pembibitan maupun usaha penggemukan adalah sapi potong itu sendiri yang merupakan sapi lokal. Alasan mengapa peternak sapi potong lebih memilih menggunakan sapi potong lokal karena harganya lebih terjangkau dan mudah didapat. Selain sapi potong sebagai bahan baku, yang diperlukan juga bahan penolong yaitu konsentrat, obat cacing, tetes gula, garam, vitamin, kecap dan BBM. Bagi pengusaha yang mengusahakan usaha pembibitan sapi potong, secara rinci dijelaskan pada Tabel 5.1 dan 5.2 berikut :


(43)

Tabel 5.1 Bahan Penolong Yang Digunakan Dalam Usaha Pembibitan Sapi Potong (Rp/tahun)

No. Uraian

Biaya (Rp) Skala Usaha

< 5 ekor

Skala Usaha 6 -9 ekor

Skala Usaha > 10 ekor

1. Konsentrat - - -

2. Obat Cacing 88.542 285.000 625.000

3. Tetes Gula 6.043 13.751 15.000

4. Garam 211.016 752.813 1.414.375

5. Vitamin 58.500 163.000 300.000

6. Kecap 8.000 - -

7. BBM 612.000 648.000 756.000

Total 984.101 1.862.564 3.110.375

Penggunaan Bahan

Baku (Kg) 185 465 885

Sumbangan Input lain

(Rp/Kg) 5.319 4.006 3.515

Sumber : Analisis Data Primer (lampiran 3,10,17), 2013

Dari Tabel 5.1 diatas dapat dilihat bahwa penggunaan bahan penolong untuk usaha pembibitan sapi potong selama 12 bulan pada skala usaha < 5 ekor sebesar Rp. 5.319/kg, skala usaha 6-9 ekor sebesar Rp. 4.006/kg, dan skala usaha < 10 ekor sebesar Rp. 3.515/kg. Penggunaan sumbangan input lain pada skala > 10 ekor lebih efisien dibandingkan pada skala < 5 ekor dan 6-9 ekor. Skala usaha yang paling banyak dilakukan oleh peternak di Desa Ara Condong pada skala < 5 ekor yaitu 2 ekor, pada skala 6-9 ekor yaitu 7 ekor dan pada skala > 10 ekor yaitu 13 ekor.


(44)

Tabel 5.2 Bahan Penolong Yang Digunakan Dalam Usaha Penggemukan Sapi Potong (Rp/6 bulan)

No. Uraian

Biaya (Rp) Skala Usaha

< 5 ekor

Skala Usaha 6 -9 ekor

Skala Usaha > 10 ekor

1. Konsentrat 128.400 859.800 1.944.000

2. Obat Cacing 36.000 143.750 300.000

3. Tetes Gula 6.420 5.000 -

4. Garam 217.500 337.500 990.000

5. Vitamin 47.667 156.000 324.000

6. Kecap 1.183 - -

7. BBM 346.500 351.000 459.000

Total 783.670 1.853.050 4.017.000

Penggunaan Bahan

Baku (Kg) 394 1.180 2.480

Sumbangan Input lain

(Rp/Kg) 1.989 1.570 1.620

Sumber : Analisis Data Primer (lampiran 24,31,38), 2013

Dari Tabel 5.2 diatas dapat dilihat bahwa penggunaan bahan penolong untuk usaha penggemukan sapi potong selama 6 bulan pada skala usaha < 5 ekor sebesar Rp. 1.989/kg, skala usaha 6-9 ekor sebesar Rp. 1.570/kg, dan skala usaha < 10 ekor sebesar Rp. 1.620/kg. Penggunaan sumbangan input lain pada skala 6-9 ekor lebih efisien dibandingkan pada skala < 5 ekor dan > 10 ekor. Skala usaha yang paling banyak dilakukan oleh peternak di Desa Ara Condong pada skala < 5 ekor yaitu 2 ekor, pada skala 6-9 ekor yaitu 6 ekor dan pada skala > 10 ekor yaitu 14 ekor.

Penggunaan Modal Investasi

Ketersediaan modal yang mencukupi dalam menjalankan suatu usaha, sangat diperlukan demi keberlangsungan usaha yang dijalankan. Umunya para peternak sapi potong di daerah penelitian telah menjalankan usahanya selama bertahun-tahun dengan pendapatan yang mereka hasilkan, sedikit demi sedikit mereka gunakan untuk mengembangkan usahanya. Secara rinci, modal investasi usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong di daerah penelitian Tahun 2013.


(45)

Tabel 5.3 Rata-Rata Modal Investasi Usaha Pembibitan Sapi Potong di Daerah Penelitian Tahun 2013

No. Investasi

Harga (Rp) Skala Usaha

< 5 ekor

Skala Usaha 6 -9 ekor

Skala Usaha > 10 ekor

1. Kereta Sorong 310.417 537.500 600.000

2. Ember 42.083 60.000 60.000

3. Sekop 22.750 29.000 30.000

4. Cangkul 22.500 26.250 37.500

5. Arit 29.375 28.750 27.500

6. Tali 17.708 73.750 160.000

7. Sapu Lidi 11.667 13. 750 15.000

8. Kandang 3.354.167 4.375.000 5.250.000

9. Kendaraan 12.000.000 11.875.000 12.750.000

Jumlah 15.810.667 17.019.000 18.930.000

Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 4,11,18 ), 2013

Dari Tabel 5.3 di atas dapat dilihat bahwa penggunaan modal awal paling besar yaitu pada skala usaha > 10 ekor yaitu sebesar Rp 18.930.000 sedangkan modal paling kecil yaitu pada skala < 5 ekor. Perbedaan biaya investasi paling besar telihat pada biaya pembuatan kandang. Dimana biaya pembuatan kandang pada skala usaha < 5 ekor dan 6-9 ekor lebih kecil dibandingkan skala > 10 ekor. Ini dikarenakan jumlah ternak yang diusahakan pada skala < 10 ekor lebih banyak dibandingkan skala lainnya sehingga kandang yang digunakan juga lebih besar.

Tabel 5.4 Rata-Rata Modal Investasi Usaha Penggemukan Sapi Potong di Daerah Penelitian Tahun 2013

No. Investasi

Harga (Rp) Skala Usaha

< 5 ekor

Skala Usaha 6 -9 ekor

Skala Usaha > 10 ekor

1. Kereta Sorong 316.667 325.000 650.000

2. Ember 42.333 41.250 70.000

3. Sekop 22.167 20.000 30.000

4. Cangkul 21.875 25.000 25.000

5. Arit 27.292 23.750 27.500

6. Tali 19.792 56.250 150.000

7. Sapu Lidi 13.583 15.000 14.000

8. Kandang 3.416.667 4.125.000 5.500.000


(46)

Jumlah 16.067.876 17.131.250 18.716.500 Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 25,32,39 ), 2013

Dari Tabel 5.4 di atas dapat dilihat bahwa penggunaan modal awal paling besar yaitu pada skala usaha > 10 ekor yaitu sebesar Rp 18.716.500 sedangkan modal paling kecil yaitu pada skala < 5 ekor. Perbedaan biaya investasi paling besar telihat pada biaya pembuatan kandang. Dimana biaya pembuatan kandang pada skala usaha < 5 ekor dan 6-9 ekor lebih kecil dibandingkan skala > 10 ekor. Ini dikarenakan jumlah ternak yang diusahakan pada skala < 10 ekor lebih banyak dibandingkan skala lainnya sehingga kandang yang digunakan juga lebih besar.

Penggunaan Tenaga Kerja

Secara rinci penggunaan tenaga kerja pada usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong dapat dilihat pada Tabel 5.5 dan Tabel 5.6:

Tabel 5.5 Rata-Rata Penggunaan Tenaga Kerja dalam Usaha Pembibitan Sapi Potong

di Daerah Penelitian Tahun 2013

Uraian (HOK/Bulan)

Skala Usaha < 5 ekor 18,03

Skala Usaha 6 - 9 ekor 30,16

Skala Usaha > 10 ekor 43,59

Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 6,13,20), 2012

Dari Tabel 5.5 diatas dapat dilihat rata-rata penggunaan tenaga kerja dalam usaha untuk satu kali proses produksi adalah sebesar 18,03 HOK pada usaha pembibitan sapi potong skala usaha < 5 ekor, 30,16 HOK pada usaha pembibitan sapi potong skala usaha 6 – 9 ekor, dan 43,59 HOK pada usaha pembibitan sapi potong skala usaha > 10 ekor. Dalam proses usaha pembibitan sapi potong di daerah penelitian, sumber tenaga kerja yang digunakan berasal dari dalam dan luar keluarga, dimana sebagian besar tenaga kerja merupakan tenaga kerja dalam keluarga. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga di Desa


(47)

Ara Condong pada usaha pembibitan sapi potong digunakan pada skala 6-9 ekor dan skala > 10 ekor. Pada skala usaha < 5 ekor, penggunaan tenaga kerja masih menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Tenaga kerja dalam usaha pembibitan sapi potong di daerah penelitian diperlukan untuk mengerjakan berbagai kegiatan produksi seperti pemberian pakan, pembersihan kandang dan mencari pakan hijauan.

Tabel 5.6 Rata-Rata Penggunaan Tenaga Kerja dalam Usaha Penggemukan Sapi Potong untuk Satu Kali Proses Produksi di Daerah Penelitian Tahun 2013

Uraian (HOK/Bulan)

Skala Usaha < 5 ekor 18,23

Skala Usaha 6 - 9 ekor 25,63

Skala Usaha > 10 ekor 41,09

Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 27,34,41), 2013

Dari Tabel 5.6 diatas dapat dilihat rata-rata penggunaan tenaga kerja dalam usaha untuk satu kali proses produksi adalah sebesar 18,23 HOK pada usaha penggemukan sapi potong skala usaha < 5 ekor, 25,63 HOK pada usaha penggemukan sapi potong skala usaha 6 – 9 ekor, dan 41,09 HOK pada usaha penggemukan sapi potong skala usaha > 10 ekor. Dalam proses usaha penggemukan sapi potong di daerah penelitian, sumber tenaga kerja yang digunakan berasal dari dalam dan luar keluarga, dimana sebagian besar tenaga kerja merupakan tenaga kerja dalam keluarga. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga di Desa Ara Condong pada usaha penggemukan sapi potong digunakan pada skala 6-9 ekor dan skala > 10 ekor. Pada skala usaha < 5 ekor, penggunaan tenaga kerja masih menggunakan tenaga kerja dalam keluargaTenaga kerja dalam usaha penggemukan sapi potong di daerah penelitian diperlukan untuk mengerjakan berbagai kegiatan produksi seperti pemberian pakan, pembersihan kandang dan mencari pakan hijauan.


(48)

Karakteristik Usaha Pembibitan dan Penggemukan Sapi Potong

Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan responden di daerah penelitian terdapat 2 jenis usaha ternak sapi potong yaitu usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong. Usaha pembibitan sapi potong merupakan usaha yang menghasilkan anakan sapi potong yang kemudian menghasilkan nilai tambah berupa indukan sapi potong yang merupakan bibit sapi bakalan untuk usaha penggemukan sapi potong. Umur rata-rata anakan sapi yang digunakan pada usaha pembibitan sapi potong di daerah penelitian yaitu 6 bulan. Dimana pada umur 6 bulan, anakan sapi sudah dapat dilepas dari indukan dan sudah mengkonsumsi pakan hijauan. Pada usia ini, sapi mulai diusahakan sebagai usaha pembibitan sapi potong. Di daerah penelitian, lama rata-rata periode pembibitan dilakukan selama 1-1,5 tahun. Dari 30 sampel yang mengusahakan usaha pembibitan, 27 sampel (90% ) mengusahakan usaha pembibitan selama 1 tahun sedangkan 3 sampel lainnya (10%) mengusahakan selama 1,5 tahun.

Usaha penggemukan sapi potong merupakan usaha yang menghasilkan nilai tambah berupa pertambahan berat badan sapi potong dengan bahan baku berupa indukan maupun anakan sapi potong. Di daerah penelitian, umur sapi untuk mengusahakan usaha penggemukan sapi potong dimulai pada umur 1,5 tahun. Dimana menurut ternakonline (2012), umur sapi yang ideal untuk digemukkan mulai umur 1-2,5 tahun. Sedangkan lama rata-rata periode penggemukan dilakukan selama 6 bulan. Dari 30 sampel yang mengusahakan usaha pembibitan di daerah penelitian, 25 sampel (83,3%) mengusahakan usaha penggemukan dengan bahan baku berupa indukan sapi potong berumur 1-1,5 tahun. Sedangkan 5 sampel lainnya (16,6%) mengusahakan usaha penggemukan dengan bahan baku berupa anakan sapi potong yang berumur 6 bulan.


(49)

Sumber anakan dan indukan sapi potong untuk usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong di daerah penelitian berasal dari peternak lokal di daerah Kecamatan Stabat. Namun, untuk usaha penggemukan sapi potong ada peternak sebanyak 2 sampel yang membeli sapi potong yang berasal dari Aceh. Untuk penjualan sapi potong baik dari usaha pembibitan maupun penggemukan juga dilakukan disekitar Kecamatan Stabat. Pada usaha penggemukan, terdapat 6 sampel memasok sapi potong untuk dijual di pasar setiap harinya dan 24 sampel lainnya biasanya menjual pada hari-hari besar seperti Idul Adha dan Idul Fitri.

Proses produksi usaha ternak sapi potong adalah serangkaian kegiatan yang saling berhubungan satu sama lain. Tahapan proses produksi yang dilakukan oleh peternak dapat dijelaskan secara rinci dibawah ini :

1. Pencarian Pakan Hijauan

Di daerah penelitian, peternak sapi potong memperoleh pakan hijauan yang berupa rumput di sekitar perkebunan tebu, kelapa sawit dan padang rumput yang ada di Kecamatan Stabat. Untuk beberapa peternak sapi potong dengan skala usaha > 10 ekor, mereka memiliki lahan sendiri untuk menanam pakan hijauan yang berupa rumput gajah. Biasanya dalam 1 hari peternak dapat mengangkut 70-100 kg pakan hijauan. Peternak sapi potong baik pada usaha pembibitan dan penggemukan mengangkut pakan hijauan dengan menggunakan kendaraan bermotor. Pencarian pakan hijauan biasanya berlangsung selama 2-3 jam yang dilakukan pada pagi hari mulai pukul 08.00.


(50)

Usaha ternak sapi potong yang efisien dan ekonomis bisa menjadi kenyataan apabila tuntutan hidup mereka terpenuhi, salah satu tuntutan utama adalah pakan. Pakan hijauan merupakan makanan pokok bagi ternak sapi potong. Ternak sapi potong dapat diberi pakan hijauan di dalam kandang, karena di daerah penelitian sistem usaha ternak sapi potong dilakukan secara intensif. Dengan adanya pakan, tubuh hewan akan mampu bertahan hidup dan kesehatan terjamin. Pemberian pakan kepada ternak sapi potong bertujuan untuk kebutuhan pokok hidup dan perawaan tubuh dan keperluan berproduksi. Pemberian zat-zat pakan yang disajikan harus disesuaikan dengan tujuannya masing-masing. Tujuan pemberian pakan dibedakan menjadi dua yaitu makanan perawatan untuk mempertahankan hidup dan kesehatan, serta makanan produksi untuk pertumbuhan dan pertambahan berat. Kebutuhan pakan sapi tropis berbeda dengan sapi subtropis. Sapi tropis yang adaptasinya terhadap lingkungan cukup bagus membutuhkan pakan relatif lebih sedikit daripada sapi subtropis (Sugeng, 2005).

Pemberian pakan hijauan pada usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong di Desa Ara Condong dilakukan 2 kali dalam sehari, yaitu pada pagi hari sekitar pukul 06.30 kemudian pada sore hari pada pukul 16.30. Dimana pada pagi hari, volume pakan hijauan yang diberikan lebih sedikit dibandingkan dengan yang diberikan pada sore hari. Pakan hijauan yang diberikan pada sore hari berlanjut sampai malam hari sekitar pukul 21.30.

Pada usaha pembibitan sapi potong di Desa Ara Condong, ternak diberi pakan hijauan tanpa penambahan pakan konsentrat sedangkan pada usaha penggemukan sapi potong, pakan konsentrat diberikan dengan volume lebih banyak karena pada usaha penggemukan


(51)

fokus usaha adalah pertambahan berat badan sapi yang dilakukan dalam jangka waktu lebih cepat yaitu berkisar 6 bulan.

3. Pemberian air minum

Di Desa Ara Condong, air minum untuk ternak sapi potong selalu disediakan dalam kandang yang diletakkan di tempat ember air minum yang telah disediakan. Pemberian air minum untuk sapi potong di daerah penelitian ini diberikan secukupnya dan dilakukan pada pagi dan sore hari. Sumber air minum untuk ternak sapi potong berasal dari sumur di dekat perkandangan sapi potong tersebut dan di daerah penelitian ketersediaan air bersih sangat cukup. Pemberian air minum ini biasanya dicampur dengan garam dapur oleh peternak di daerah penelitian untuk menambah pertambahan berat badan sapi.

4. Pemberian Obat-Obatan

Peternak sapi potong yang berada di daerah penelitian, pada umumnya masih memberikan obat-obatan tradisional bila ternak sapi potong mereka terserang panyakit. Peternak memberikan obat-obatan tradisional untuk menyembuhkan penyakit yang timbul seperti diare dan masuk angin. Pemberian obat pada ternak sapi potong di daerah penelitian biasanya dilakukan oleh peternak sendiri dengan menggunakan kecap dan rempah-rempah seperti kunyit, jahe dan bahan-bahan lainnya.

5. Membersihkan Sapi Potong dan Kandang

Di daerah penelitian, kebersihan kandang ternak sapi potong dijaga dengan cukup baik, kandang dibersihkan setiap hari pada sore hari. Kandang adalah tempat tinggal ternak sehingga kandang merupakan salah satu faktor penting dalam beternak. Pembersihan


(52)

kandang ini dilakukan agar kondisi kandang tetap baik dan mencegah datangnya lalat yang dapat mengganggu kesehatan sapi potong. Begitu juga dengan ternak sapi potong di daerah penelitian juga dibersihkan dengan cara dimandikan dan disikat agar tidak menempel pada badan sapi. Pembersihan sapi ini dilakukan 1 minggu sekali oleh peternak.

5.2 Nilai Tambah Hasil Usaha Ternak Sapi Potong

Nilai tambah yang diperoleh dalam penelitian ini adalah nilai tambah usaha pembibitan dan usaha penggemukan sapi potong. Hasil dan penjelasan nilai tambah usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong dijelaskan sebagai berikut.

5.2.1 Nilai Tambah Hasil Usaha Pembibitan Sapi Potong

Nilai tambah yang diukur adalah nilai tambah yang dihasilkan dari usaha pembibitan sapi potong sampai menghasilkan. Nilai tambah ini berupa pertambahan berat badan sapi selama ± 12 bulan. Dalam proses penelitian, peneliti mengkonversikan output yang dihasilkan menjadi satuan Kg, untuk memudahkan dalam proses perhitungan akhir nilai tambah yang disesuaikan dengan alat analisis yang dipakai.

Nilai tambah usaha pembibitan sapi potong di daerah penelitian, dihitung dengan menggunakan model perhitungan Hayami. Secara rinci, perhitungan nilai tambah dengan menggunakan metode Hayami berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan dilihat pada Tabel 5.7 berikut :


(53)

Tabel 5.7 Nilai Tambah Hasil Pembibitan Sapi Potong (Metode Hayami)

Variabel Nilai

Skala Usaha Skala Usaha Skala Usaha < 5 ekor 6 – 9 ekor > 10 ekor I. Output, Input dan Harga

1. Output (kg) 2. Input (kg)

3. Tenaga Kerja (HOK) 4. Faktor Konversi

5. Koefisien Tenga Kerja (HOK/kg) 6. Harga Ouput (Rp/kg)

7. Upah Tenaga Kerja (Rp/HOK)

510 1.400 2.680 185 465 885 18,03 30,16 43,59 2,7 3,01 3,02 0,09 0,06 0,04 34.023 35.959 34.796 75.003 77.500 82.339

II. Penerimaan dan Keuntungan

8. Harga bahan baku (Rp/kg) 9. Sumbangan input lain (Rp/kg) 10. Nilai output (Rp/kg)

11. a. Nilai tambah (Rp/kg) b. Rasio nilai tambah (%)

12. a. Pendapatan tenaga kerja (Rp/kg) b. Pangsa tenaga kerja (%) 13. a. Keuntungan (Rp/kg) b. Tingkat keuntungan (%)

67.988 74.782 70.917 5.319 4.006 3.515 91.862 108.237 105.084 18.555 29.449 30.652 20 27 29 6.750 4.650 3.294 36,3 15,7 10,7 11.805 24.779 27.358 63,6 84,2 89,2

III. Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi

14. Marjin (Rp/kg)

a. Pendapatan tenaga kerja (%) b. Sumbangan input lain (%) c. Keuntungan pengusaha (%)

23.874 33.455 34.167 28,2 13,8 9,6 22,27 11,97 10,2 49,4 74,1 80

Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 1- 21), 2012

Penjelasan mengenai perhitungan yang terdapat pada Tabel 5.7, dapat dilihat sebagai berikut :

Output, Input dan Harga

Dari tabel 5.7, dapat diuraikan bahwa dalam usaha pembibitan anakan sapi potong menjadi indukan sapi potong menggunakan bahan baku anakan sapi potong yang berumur 6 bulan,. Output yang dihasilkan pada skala usaha > 10 ekor lebih besar dari skala < 5 ekor dan 6-9 ekor, hal ini dikarenakan semakin besar skala yang diusahakan maka penggunaan input akan semakin besar sehingga output yang dihasilkan juga besar. Pada skala usaha < 5 ekor sebanyak 185 Kg anakan sapi potong dapat menghasilkan output berupa indukan sapi potong sebanyak 510 Kg, skala usaha 6-9 ekor sebanyak 465 Kg anakan sapi potong dapat


(54)

ekor sebanyak 885 Kg anakan sapi potong dapat menghasilkan output berupa indukan sapi potong sebanyak 2.680 Kg. Output dalam perhitungan nilai tambah merupakan volume indukan sapi potong selama 12 bulan.

Berdasarkan besaran output dan input bahan baku utama diperoleh faktor konversi. Pada skala < 5 ekor diperoleh sebesar 2,7 artinya bahwa dari setiap Kg anakan sapi potong dapat menghasilkan 2,7 Kg indukan sapi potong. Pada skala 6-9 ekor diperoleh sebesar 3,01 artinya bahwa dari setiap Kg anakan sapi potong dapat menghasilkan 3,01 Kg indukan sapi potong. Sedangkan pada skala > 10 ekor diperoleh sebesar 3,02 artinya bahwa dari setiap Kg anakan sapi potong dapat menghasilkan 3,02 Kg indukan sapi potong. Tingkat perbedaan faktor konversi yang diperoleh dari masing-masing skala usaha dikarenakan perbedaan jumlah bahan baku dari setiap skala usaha sehingga output yang dihasilkan juga berbeda. Dimana pada skala usaha > 10 ekor lebih banyak menggunakan bahan baku dibandingkan pada skala usaha < 5 ekor dan 6-9 ekor.

Tenaga kerja yang terlibat langsung dalam usaha pembibitan sapi potong adalah tenaga kerja di dalam dan luar keluarga. Pada skala usaha < 5 ekor menggunakan tenaga kerja dalam keluarga yang berjumlah 1 orang. Skala usaha 6-9 ekor dan > 10 ekor, rata-rata tenaga kerja yang digunakan berjumlah 2 dan 3 orang yang berasal dari dalam dan luar keluarga. Satu hari kerja tenaga kerja rata-rata lamanya 4 jam 81 menit untuk skala usaha < 5 ekor. Pada skala usaha 6-9 ekor, satu hari kerja tenaga kerja rata-rata lamanya 4 jam 69 menit dan pada skala usaha > 10 ekor, satu hari kerja tenaga kerja rata-rata lamanya 4 jam 63 menit. Jumlah hari kerja dalam satu bulan adalah 30 hari. Perhitungan Hari Orang Kerja (HOK) dengan membagi jumlah jam kerja dengan hari kerja, 1 Hari Orang Kerja (1HOK)


(55)

dalam penelitian ini adalah 8 jam (480 menit) dan dikalikan dengan faktor konversi 1 untuk tenaga kerja laki-laki dan 0,8 untuk tenaga kerja perempuan. Sehingga jumlah rata-rata HOK dalam sebulan untuk tenaga kerja langsung pada skala usaha < 5 ekor adalah 18,03 HOK, skala usaha 6-9 ekor adalah 30,16 HOK dan skala usaha > 10 ekor adalah 43,59 HOK.

Koefisien tenaga kerja menunjukkan banyaknya tenaga kerja langsung yang diperlukan untuk mengolah satu-satuan input. Pada tabel analisis nilai tambah pembibitan sapi potong dilihat bahwa koefisien tenaga kerja pada skala usaha < 5 ekor sampai pada skala usaha > 10 ekor semakin kecil. Sedangkan jika dilihat pada baris upah tenaga kerja pada skala usaha < 5 ekor sampai pada skala usaha > 10 ekor semakin besar. Waktu kerja yang dilakukan oleh 1 HOK pada skala usaha < 5 ekor lebih lama dibandingkan dengan waktu kerja pada skala usaha 6-9 ekor dan > 10 ekor yang menggunakan tenaga kerja lebih dari 1 orang. Sedangkan upah tenaga kerja yang dibayar pada skala usaha 6-9 ekor dan > 10 ekor lebih tinggi dibandingkan dengan pada skala usaha < 5 ekor. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin besar skala usaha, maka semakin efisien tenaga kerja dan upah tenaga kerjanya.

Penerimaan dan Keuntungan

Adapun harga bahan baku, harga output dan nilai output usaha pembibitan sapi potong di daerah penelitian pada skala usaha 6-9 ekor lebih besar dibandingkan pada skala usaha < 5 ekor dan skala usaha > 10 ekor. Hal ini dikarenakan jumlah berat badan sapi yang digunakan pada masing-masing skala berbeda. Nilai output diperoleh dari faktor konversi dikalikan dengan harga output.


(56)

Sumbangan input lain pada skala usaha < 5 ekor lebih besar jika dibandingkan dengan skala usaha 6-9 ekor dan skala usaha > 10 ekor, sumbangan input merupakan hasil pembagian antara total biaya penggunaan bahan penolong dalam usaha pembibitan sapi potong dengan penggunaan bahan baku. Sumbangan input lain pada skala usaha < 5 ekor adalah Rp 5.319/kg, artinya dalam setiap 1 kg penggunaan bahan baku anakan sapi potong, menggunakan bahan penolong sebesar Rp 5.319. Pada skala usaha 6-9 ekor adalah Rp 4.006/kg, artinya dalam setiap 1 kg penggunaan bahan baku anakan sapi potong, menggunakan bahan penolong sebesar Rp 4.006. Sedangkan pada skala usaha > 10 ekor adalah Rp 3.515/kg, artinya dalam setiap 1 kg penggunaan bahan baku anakan sapi potong, menggunakan bahan penolong sebesar Rp 3.515 Semakin besar skala usaha, sumbangan input lain semakin kecil, yang berarti penggunaan bahan penolong juga semakin efisien.

Dari tabel 5.7 dapat dijelaskan bahwa nilai tambah yang diperoleh dari anakan sapi potong menjadi indukan sapi potong pada skala usaha < 5 ekor adalah sebesar Rp 18.555/Kg, skala usaha 6-9 ekor adalah Rp 29.449/Kg dan skala usaha > 10 ekor sebesar Rp 30.652/Kg. Nilai tambah ini diperoleh dari pengurangan nilai output (produk) dengan biaya bahan baku dan biaya bahan penunjang lainnya. Nilai tambah yang diperoleh dari masing-masing skala usaha pembibitan sapi potong di Desa Ara Condong berbeda-beda, semakin besar skala usaha, nilai tambah semakin besar. Nilai tambah usaha pembibitan sapi potong tersebut masih merupakan nilai tambah kotor karena masih mengandung imbalan tenaga kerja.

Sedangkan rasio nilai tambah indukan sapi potong pada masing-masing skala usaha diperoleh hasil yang berbeda-beda. Semakin besar skala usaha pembibitan sapi potong,


(57)

rasio nilai tambah yang dihasilkan juga semakin besar. Rasio nilai tambah skala usaha >10 ekor adalah 29%, skala usaha 6-9 ekor adalah 27% dan skala usaha < 5 ekor adalah sebesar 20%. Artinya setiap persentase dari nilai output (indukan sapi potong) merupakan nilai tambah yang diperoleh dari proses usaha pembibitan dari mulai anakan yang berumur 6 bulan menjadi indukan sapi.

Pendapatan tenaga kerja diperoleh dari hasil kali antara koefisien tenaga kerja dengan upah tenaga kerja yaitu sebesar Rp 6.750/Kg untuk skala usaha < 5 ekor dengan nilai persentase terhadap nilai tambah sebesar 36,3%, Rp 4.650/Kg untuk skala usaha 6-9 ekor dengan nilai persentase terhadap nilai tambah sebesar 15,7% dan Rp 3.294/Kg untuk skala usaha > 10 ekor dengan nilai persentase terhadap nilai tambah sebesar 10,7%. Nilai persentase ini menunjukkan bahwa setiap Rp 100,00 dari nilai tambah maka sebesar Rp 36,3 merupakan bagian untuk tenaga kerja skala usaha < 5 ekor, Rp 15,7 dan Rp 10,7 untuk skala usaha 6-9 ekor dan > 10 ekor. Pendapatan tenaga kerja dan persentasenya yang diperoleh pada skala usaha < 5 ekor lebih besar dibandingkan dengan skala usaha 6-9 ekor dan > 10 ekor, hal ini dikarenakan penggunaan HOK pada skala usaha < 5 ekor lebih kecil jika dibandingkan dengan skala usaha 6-9 ekor dan > 10 ekor.

Usaha pembibitan sapi potong memberikan keuntungan bagi peternak di Desa Ara Condong, sebagai pengusaha. Keuntungan diperoleh dari nilai tambah dikurangi dengan besarnya imbalan tenaga kerja. Keuntungan yang diperoleh pada skala usaha > 10 ekor lebih besar dari skala usaha 6-9 ekor dan < 5 ekor. Dari hasil yang diperoleh dalam penelitian di Desa Ara Condong, semakin besar skala usaha maka tingkat keuntungan akan semakin besar juga. Keuntungan dari anakan sapi potong menjadi indukan sapi potong


(1)

Lampiran 45. Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai

Tambah Usaha

Penggemukan Sapi Potong

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the

Estimate Durbin-Watson

1 .946a .896 .869 1469.20458 1.954

a. Predictors: (Constant), Upah tenaga kerja (Rp/HOK), Harga sapi bakalan penggemukan (Rp/Kg), Biaya Obat cacing (Rp), Harga sapi hasil penggemukan (Rp/Kg), Biaya BBM (Rp), Biaya Garam (Rp)

b. Dependent Variable: Nilai tambah usaha penggemukan sapi potong (Rp/Kg)

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 4.269E8 6 7.115E7 32.963 .000a

Residual 4.965E7 23 2158562.106

Total 4.766E8 29

a. Predictors: (Constant), Upah tenaga kerja (Rp/HOK), Harga sapi bakalan penggemukan (Rp/Kg), Biaya Obat cacing (Rp), Harga sapi hasil penggemukan (Rp/Kg), Biaya BBM (Rp), Biaya Garam (Rp)


(2)

Lanjutan Lampiran 45. Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig.

Collinearity Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) 6353.668 3617.752 1.756 .092

Harga sapi bakalan penggemukan (Rp/Kg)

.403 .091 .356 4.434 .000 .703 1.422

Harga sapi hasil penggemukan (Rp/Kg)

-.093 .071 -.100 -1.317 .201 .782 1.278

Biaya Obat cacing (Rp) .050 .008 .928 6.001 .000 .189 5.281

Biaya Garam (Rp) .000 .003 .008 .048 .962 .177 5.651

Biaya BBM (Rp) -.018 .006 -.244 -2.944 .007 .659 1.518

Upah tenaga kerja (Rp/HOK)

.011 .021 .039 .522 .607 .827 1.209


(3)

(4)

(5)

(6)

Lampiran 46. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Model Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Nilai Tambah Usaha Penggemukan Sapi Potong

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 30

Normal Parametersa,,b Mean .0000000

Std. Deviation 1.30842006E3

Most Extreme Differences Absolute .140

Positive .140

Negative -.094

Kolmogorov-Smirnov Z .768

Asymp. Sig. (2-tailed) .597

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.