ORIENTASI HOLISTIK DAN KONTEKSTUAL DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DI INDONESIA

ORIENTASI HOLISTIK DAN KONTEKSTUAL DALAM
PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DI INDONESIA
Muhammad Musiyam
Fakultas Geografi
Universitas Muhammadiyah Surakarta
email: [email protected]
ABSTRACT
The method of development in the “Orde Baru” era was based on
the standardization of the model and development program without
considering the variety and local aspect from the social groups. Consequently,
it weaken the intelligence and sensitivity of the society. It will automatically
cause the paralyzing of the community power.Due to the fact, the method
of developing plan has to consider the open mind, populis, and based on
the people power and executed in a contextual and holistic method through
inductive and empiric way. The importance of planning are intended as
(a) a media of social training to develop the human resource and expand
the networking (b) a process of amalgamating people aspiration in order
to create the new consensus among the social groups or institution and
also as a media of distributing the economic and political resource as
the commitment of being in sides with lower social groups.
Kata kunci: kontekstual, ruang lokal, modal sosial, holistik, solidaritas,

sosial.
PENDAHULUAN
Salah satu pelajaran yang dapat kita ambil dari pengalaman pembangunan
di masa Orde Baru adalah bahwa cara kerja pembangunan yang mendasarkan
pada penyeragaman model dan program pembangunan tanpa mempertimbangkan
keragaman dan aspek lokalitas dari kelompok-kelompok masyarakat telah
terbukti melemahkan kecerdasan dan kepekaan masyarakat, yang pada
gilirannya menyebabkan pelumpuhan keberdayaan masyarakat.
Menyadari kelemahan dari model perencanaan rasional komprehensif
ini, cara kerja perencanaan daerah kemudian mulai bergeser ke paradigma
pemberdayaan (empowerment) yang dibangun atas dasar cara berpikir
Orientasi Holistik ... (M. Musiyam) 123

fenomenologik. Dalam fenomenologi, realitas empiris merupakan entitas yang
bersifat plural dan merupakan rajutan dari agregat-agregat yang tidak dapat
dipilah-pilah secara parsial. Oleh karena itu, kerja perencanaan perlu dilakukan
secara holistik dan kontekstual melalui cara kerja induktif-empirik.
Pada dataran praksis, cara kerja paradigma pemberdayaan setidaknya
didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut. Pertama, fokus utama
perencanaan harus diarahkan untuk memperkuat kemampuan masyarakat

lokal (komunitas) dalam memobilisasi sumber-sumber lokal dalam rangka
memenuhi kebutuhannya. Satuan sosial yang dipilih adalah lokalitas (ruang
lokal) sebab warga akan lebih siap diberdayakan melalui isu-isu lokal.
Pengertian lokalitas di sini adalah tempat orang untuk berkreasi dan
mengembangkan diri. Dalam konteks lokal, warga akan berinteraksi satu sama
lain dengan intensitas yang hampir bersinggungan dan biasanya mereka terikat
secara geografis maupun organisasional. Satuan lokalitas dapat berupa RT,
kelompok pengguna air (irigasi), kelompok tani, kelompok arisan, kelompok
pengajian, dan organisasi-organisasi dimana perkembangan dan interaksi
pribadi maupun kemasyarakatan tumbuh subur. Inisiatif dan penentuan
kebutuhan warga dibuat di tingkat lokal oleh warga setempat melalui proses
partisipatif.
Kedua, pengembangan kegiatan perencanaan harus mengakui adanya
variasi, baik antar aktor yang terlibat maupun variasi potensi dan permasalahan
lokal. Satuan pengambil keputusan bukanlah sosok yang tunggal, melainkan
plural yang mencakup individu, keluarga, birokrasi lokal, perusahaanperusahaan berskala kecil, dan organisasi-organisasi kemasyarakatan lokal.
Kesemua aktor tersebut akan berpartisipasi dalam memobilisasi sumbersumber pembangunan lokal yang sangat variatif. Manifestasi dari sumbersumber tersebut dapat berupa ketrampilan teknis yang belum digunakan secara
luas, pekerja setengah menganggur, lahan kosong yang belum dimanfaatkan
secara optimal, dana masyarakat yang belum diputar, barang-barang bekas
yang masih dapat di daur ulang, dan sebagainya. Mengingat variasi sumbersumber tersebut maka model pemberdayaan yang dikembangkan bukanlah

model perencanaan cetak-biru (blue-print planning), melainkan model
perencanaan yang adaptif.
Ketiga, cara mencapai tujuan bersama kegiatan perencanaan dilakukan
melalui proses pembelajaran sosial (social learning). Pengembangan
kemampuan dilakukan melalui proses berinteraksi dalam memecahkan
124 WARTA, Vol .11, No. 2, September 2008: 123 - 130

persoalan bersama secara langsung. Komunitas didorong secara terus-menerus
belajar aktif melalui pengalaman empirik dan aksi sehingga dapat membangun
kapasitas komunitas dalam memahami, mengidentifikasi, dan memformulasikan
potensi yang dimilikinya, permasalahan yang dihadapinya, dan alternatifalternatif pemecahan masalah yang perlu dilakukannya. Dalam hal ini peran
fasilitator adalah sebagai agen perubahan dan “organisator” dalam rangka
membantu menumbuhkan kesadaran kritis, melatih ketrampilan, dan
meningkatkan kepercayaan diri warga komunitas. Berkaitan dengan hal
tersebut maka proses perencanaan bukan dimulai dari penentuan tujuan yang
hendak dicapai, melainkan dimulai dari kritik terhadap keadaan yang sedang
mereka hadapi. Komunitas pembelajar demikian, di satu sisi, akan dapat
memunculkan sikap kerja yang dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing
mereka dan meningkatkan kecerdasan kolektif komunitas, dan disisi lain, dapat
memperkokoh modal sosial (ukhuwah) antar warga dalam komunitas yang

sangat dibutuhkan dalam pengembangan komunitas.
Keempat, untuk menjamin efektivitas program, berbagai bentuk
kegiatan perencanaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat harus
terorganisasikan, terkoordinasikan, dan terintegrasikan dengan rapi, cermat,
dan berkelanjutan dalam satuan-satuan sosial wilayah tempat tinggal. Dengan
demikian, semua kegiatan yang dilaksanakan merupakan kegiatan masyarakat
yang terorganisasikan (organized community activities), dan bukan
merupakan fragmen-fragmen kegiatan yang terserak dan terpisah.
Berkaitan dengan pengembangan model perencanaan yang berorientasi
pemberdayaan masyarakat maka keberadaan institusi-institusi sosial lokal yang
tumbuh dari prakarsa dan kebutuhan mereka sendiri, serta telah berakar dalam
komunitas menjadi penting keberadaannya, sebagai wahana untuk menumbuhkan
keberdayaan komunitas. Oleh karena itu, perencanaan harus mampu menjadi
alat untuk memberdayakan institusi-institusi lokal tersebut sehingga dapat
berfungsi efektif sebagai sarana memobilisasi sumber-sumber pembangunan
lokal untuk meningkatkan kesejahteraan warga, dan sekaligus sebagai wahana
menuju terbentuknya konsensus-konsensus baru antar warga. Dalam kerangka
seperti ini, maka kerja penguatan dan advokasi masyarakat pada tingkat
komunitas yang selama ini telah dilakukan oleh berbagai Lembaga Swadaya
Masyarakat menjadi semakin penting dan strategis. Tahap selanjutnya yang

perlu dilakukan adalah membawa satuan-satuan komunitas tersebut dalam
Orientasi Holistik ... (M. Musiyam) 125

koalisi besar civil society. Dengan cara demikian diharapkan tiap-tiap
komunitas dapat memperjuangkan kepentingannya secara lebih signifikan.
DARI MODAL SPASIAL KE MODEL SOSIAL
Seiring dengan bergesernya paradigma perencanaan rasional ke
paradigma pemberdayaan maka tema sentral perencanaan daerah kemudian
bergeser dari tema modal spasial (spatial capital) ke tema modal sosial (social
capital). Dalam pandangan rasionalisme, wilayah dipahami sebagai modal
spasial. Oleh karena itu, rekayasa ruang (baca: rencana penataan ruang)
dipahami sebagai salah satu instrumen untuk memfasilitasi masuknya kegiatan
ekonomi skala besar dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi dalam
tempo yang singkat. Dalam kerangka berpikir ini, ruang wilayah harus
dieksploitasi sebagai pusat-pusat produksi dan distribusi (growth centers)
dari kegiatan ekonomi kapitalis global. Pada praktiknya, kegiatan-kegiatan
ekonomi seperti ini cenderung menguras sumberdaya lokal dan sebaliknya
tidak mampu memberdayakan daerah, justru cenderung melumpuhkan daerah.
Kue keuntungan kegiatan ekonomi tersebut jauh lebih banyak ditarik pusat,
baik dalam pengertian wilayah maupun pemilik modal. Selain itu, dengan

argumentasi efisiensi yang dimaknai secara sepihak, nilai-nilai kearifan lokal
menjadi terabaikan bahkan cenderung dinegasikan. Oleh karena itu, mudah
dipahami jika akhir-akhir ini banyak masyarakat lokal yang protes terhadap
keberadaan perusahaan-perusahaan besar di daerah (seperti kasus Caltex,
Freeport, dan sebagainya) ketika kran demokratisasi mulai terbuka.
Ketika wilayah dimaknai sebagai modal spasial dinilai keliru, maka
kerja perencanaan daerah kemudian berpaling kepada konsep modal sosial.
Konsep modal sosial di dalamnya meliputi konsep-konsep kepercayaan sosial
(social trust), norma-norma sosial budaya dan religi, serta jaringan-jaringan
(networks) yang menjadi modal bersama dalam pemecahan masalah bersama
secara bersama-sama.
Dalam konsep modal sosial, ruang wilayah dipahami sebagai ruang
tempat teranyamnya nilai-nilai tersebut secara integratif. Penerapan konsep
modal sosial mengimplikasikan bahwa perencanaan tata ruang dan pembangunan daerah tidak lagi dilakukan dengan cara membagi-bagi wilayah yang
lebih besar menjadi wilayah-wilayah yang lebih kecil melalui cara kerja
deduktif, melainkan dengan cara menampalkan atau menganyam satuan-satuan
126 WARTA, Vol .11, No. 2, September 2008: 123 - 130

“ruang hidup” (live space) yang lebih kecil (baca: ruang komunitas) menjadi
satuan-satuan perencanaan yang lebih besar melalui cara kerja induktif.

STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Keberdayaan masyarakat pada dasarnya merupakan nilai kolektif yang
muncul dari individu-individu yang berdaya dan bersinergi. Oleh karena itu,
kegiatan perencanaan perlu dibangun melalui proses dialektik, dari
pemberdayaan individu-individu menuju pemberdayaan institusi. Pengertian
institusi disini adalah hubungan antar individu, antar keluarga, dan antar
kelompok dalam masyarakat. Pada hakekatnya antar individu diikat oleh
institusi yang disebut keluarga. Demikian pula, hubungan antar keluarga diikat
oleh institusi kebertetanggaan dan seterusnya. Pada tingkat yang lebih mikro
nilai-nilai pengikat hubungan dapat disebabkan oleh adanya saling percaya
(mutual trust), keyakinan keagamaan (misalnya jamaah masjid), kesamaan
keturunan, kedekatan ketetanggaan, dan sebagainya. Sedangkan pada tingkat
yang lebih makro ikatan-ikatan tersebut dapat berupa gerakan buruh, gerakan
petani, gerakan nelayan dan sebagainya.
Pemberdayaan individu yang dimaksud adalah pemberdayaan keluarga
dan anggota keluarga. Apabila setiap anggota keluarga dibangkitkan keberdayaannya maka unit-unit keluarga yang berdaya tersebut akan membangun
jaringan keberdayaan yang lebih luas yang disebut sebagai keberdayaan sosial.
Dalam format seperti ini maka pengembangan keluarga sakinah yang menekankan pada pembinaan ketaqwaan keluarga untuk mencapai masyarakat sejahtera
mempunyai arti penting dalam pengembangan keberdayaan masyarakat.
Hakekat pemberdayaan individu dan keluarga adalah upaya untuk

menciptakan lingkungan yang mampu membangkitkan keyakinan diri, memberi
peluang dan motivasi agar setiap individu mampu meningkatkan kemampuan
dirinya meraih atau mengakses sumberdaya-sumberdaya sosial bagi pengembangan dan kemajuan kehidupannya. Pemberdayaan individu salah satunya
dapat ditempuh melalui pemberdayaan usaha ekonomi keluarga, yang diarahkan kepada proses pengembangan jaringan usaha antar keluarga, antar tetangga,
dan antar kelompok-kelompok masyarakat sehingga terbentuk suatu komunitas
usaha (community enterprises), yang kemudian terkait dengan ekonomi pasar.
Sasaran dari pemberdayaan institusi di sini adalah memberdayakan
sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki keluarga-keluarga dalam komunitas,
seperti sumberdaya waktu, ketrampilan, modal, dan sebagainya, dalam domainOrientasi Holistik ... (M. Musiyam) 127

domain ekonomi, politik, dan sosio-kultural. Penguatan institusi dapat ditempuh
secara bertahap melalui lintasan spiral dari penguatan ikatan antar keluarga,
antar kelompok, dan seterusnya menuju pada domain sosial politik yang lebih
luas. Tahap pertama pemberdayaan institusi, salah satunya dapat dimulai
dengan memperkuat ikatan antar keluarga yang bertetangga dekat, antar
kelompok keluarga melalui penciptaan ketergantungan yang rasional antara
usaha ekonomi dengan nilai-nilai sosio-kultural (termasuk ikatan keagamaan
dan ikatan keluarga) yang hidup dalam masyarakat. Tahapan selanjutnya adalah
membawa keterkaitan usaha ekonomi tersebut dalam domain yang lebih luas.
Pada tahapan ini diperlukan aktor (organizer) yang mampu mendorong dan

mengembangkan usaha ekonomi pada tingkat keluarga dan komunitas pada
tingkatan yang lebih luas. Berkaitan dengan hal tersebut perlu diupayakan
secara terencana aktivis-aktivis yang mampu mengemban fungsi sebagai
organizer pengembangan ekonomi komunitas (umat).
Pemberdayaan institusi perlu dibarengi dengan pemberdayaan politik.
Pemberdayaan politik yang dimaksud di sini adalah lawan dari pengabaian
politik (political exclusion) dan ekonomi masyarakat dalam proses politik
dan ekonomi nasional. Berkaitan dengan pemberdayaan politik, masyarakat
perlu didorong untuk mengorganisir dan mengembangkan diri dalam koalisi
besar masyarakat sipil untuk meningkatkan kekuatan tawar-menawar mereka
dengan kekuatan negara dan kekuatan ekonomi besar. Dengan cara demikian
maka masyarakat dapat memperjuangkan aspirasi dan kepentingan mereka
secara lebih signifikan. Dalam bangun segitiga negara-masyarakat sipilkorporasi, kekuatan inti negara terletak pada lembaga-lembaga formal
kepemerintahan dan perangkat-perangkat hukum yang dimilikinya dengan
produknya berupa berbagai kebijakan publik. Kekuatan inti korporasi
(ekonomi besar) terletak pada institusi-institusi korporasi ekonomi. Sedangkan
kekuatan masyarakat sipil terletak pada institusi keluarga yang melebar ke
institusi sosial. Dalam konsep pemberdayaan masyarakat, ketiga kekuatan
tersebut perlu dimobilisasi dalam bangun kesaling-keterkaitan yang sinergis.
Dalam hal ini, Negara diharapkan sebagai tulang punggung (back bone)

terciptanya sinergi dimaksud. Sedangkan kelompok-kelompok strategis
masyarakat sipil (misalnya koalisi LSM, NU, Muhammadiyah), di satu sisi
perlu memfungsikan diri sebagai lembaga advokasi terhadap kebijakankebijakan publik yang merugikan masyarakat, terutama kelompok masyarakat
lemah, dan di sisi lain, perlu memfungsikan diri sebagai lembaga mediasi untuk
128 WARTA, Vol .11, No. 2, September 2008: 123 - 130

terciptanya kesalingterkaitan yang saling menguntungkan antara ekonomi
komunitas dengan ekonomi besar.
Banyak kegiatan yang telah berakar dalam masyarakat yang dapat
digunakan sebagai wahana untuk pengembangan pemberdayaan masyarakat.
Salah satu strategi pengembangan patut dipertimbangkan sebagai wahana
untuk pemberdayaan masyarakat adalah pengembangan komunitas usaha.
Selama ini komunitas usaha telah eksis dalam masayarakat dan memberikan
sumbangan yang cukup berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat
lokal. Selain itu ternyata kegiatan-kegiatan usaha ini cukup tahan terhadap
goncangan ekonomi. Beberapa contoh komunitas usaha yang bergerak di
bidang industri adalah usaha sepatu Cibaduyut (Jawa Barat), usaha tas Tanggul
Angin (Sidoharjo, Jawa Timur), pengecoran Logam Batur dan Tegal (Jawa
Tengah), mebel ukiran Jepara (Jawa Tengah), masih banyak lagi komunitas
usaha bidang industri dengan skala yang bervariasi tersebar di hampir seluruh

pelosok nusantara. Kegiatan komunitas usaha juga ditemui dalam kegiatan
pertanian yang sebagian telah berkembang menjadi kegiatan kegiatan
agroindustri, seperti usaha salak pondoh di Sleman (Yogyakarta), apel Batu
(Malang), Rambutan di Binjei (Sumatera Utara), dan masih banyak lagi.
Pengembangan kegiatan komunitas usaha sesuai untuk pengembangan
dakwah jamaah karena dapat berperan antara lain:
1. Mengembangkan potensi dan kemampuan sesuai dengan pengetahuan
yang telah berkembang dalam masyarakat, sehingga dapat merangsang
tumbuhnya kepercayaan diri, kemandirian, dan kerjasama antar warga
komunitas.
2. Membantu pengembangan teknologi lokal (indegeneous technology)
sehingga dapat mengurangi ketergantungan teknologi dari luar.
3. Menciptakan wahana untuk latihan peningkatan ketrampilan sumberdaya
manusia warga komunitas.
4. Menciptakan peluang kerja padat karya.
5. Memperkuat basis ekonomi rakyat karena mempunyai keterkaitan yang
kuat dengan sumberdaya lokal.7
Dengan demikian, pengembangan kegiatan komunitas usaha selain dapat
meningkatkan kesejahteraan yang berbasis pada kekuatan ekonomi masyarakat,
juga dapat menjadi wahana untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia
dan memperkuat solidaritas sosial (ukhuwah) antar warga.
Orientasi Holistik ... (M. Musiyam) 129

PENUTUP
Mendasarkan pada berbagai pergeseran cara berpikir dan munculnya
kecenderungan-kecenderungan baru sebagaimana dibahas di atas, maka
orientasi baru kehidupan perencanaan daerah saat ini dan dimasa mendatang
nampaknya akan mengarah kepada kerja perencanaan yang semakin terbuka,
populis, mendasarkan diri pada gerakan arus bawah, dan bersifat holistik
melalui cara kerja induktif-empiris. Oleh karena itu, kerja perencanaan daerah
ke depan harus memiliki kemampuan sebagai berikut. Pertama, mampu
menjadi wahana untuk pembelajaran sosial dalam rangka pengembangan
sumberdaya manusia dan memperluas jaringan kerja. Kedua, mampu menjadi
penganyam berbagai aspirasi menuju terbentuknya konsensus-konsensus baru
antar kelompok masyarakat maupun lembaga. Ketiga, mampu menjadi sarana
untuk mendistribusikan sumberdaya ekonomi dan politik sebagai wujud
komitmen pemihakan kelompok masyarakat bawah.
DAFTAR PUSTAKA
Friedman, John. 1992. Empowerment: Politics of Development Alternatives,
Massachusetts, Blakwell Publisher.
Gidden, Anthony. 1998. The Third Way: Jalan Ketiga Demokrasi (terjemahan),
Jakarta, Gramedia.
Korten, David C. 1980. “Community Organization and Rural Development:
A Learning Process Approach”, Public Administration Review, Vol.
40, September-Oktober, Th 1980: 480-511.
Sudibyo, Markus. 2001. “Dakwah Jamaah Cetak Dasar Menuju Masyarakat
Utama”, dalam Jabrohim (eds), Menggapai Desa Sejahtera Menuju
Masyarakat Utama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar dan Lembaga
Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan.
Tjokrowinoto, Moeljarto. 1996. Pembangunan: Dilema dan Tantangan,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

130 WARTA, Vol .11, No. 2, September 2008: 123 - 130