Analisis kontrak dalam kegiatan peremajaan hutan negara di Jawa dengan acuan kontrak tumpang sari dan perhutanan sosial penelitian di KPH pati dan cepu, Jawa Tengah
.
'
I.
1.
Kongres
Jakarta
.
;.
PENDAHULUAN
Kehutanan
merumuskan
-.
i..
-'
'r-,,
Sedunia ke-8
salah
satu
tahun
1978 di
deklarasinya
yang
"... the world's forest must, ..., be used for
people ..." (Anon, 1978).
Di dalam deklarasi ini
berbunyi
all
tersirat himbauan agar orientasi manajemen sumberdrnya
hutan memberikan penekanan yang lebih besar kepaba
kepentingan masyarakat umum, yang pada waktu-waktu sebelumnya dinilai tersisihkan oleh dominasi kepentingankepentingan dari sekelompok rasyarakat tertentu saja.
Jauh
sebelum
deklarasi
ini,
Republik Indonesia tahun 1945
Undang-Undang
(WD'45,
pasal
Dasar
33:3)
telah meletakkan azas-azas manajemen sumberdaya hutan
yang sejiwa dengannya, yang menetapkan bahwa s-daya
alam nasional dikelola untuk kepentingan kemakmuran
rakyat
.
Hasil
Sedunia Re-8
peninjauan
menyfmpulkan
hasil
bahwa
Kongres
fehutanan
deklarasi-deklarasi
yam Idimuskan, secara uum, sejalan
dangan kebijskan*
kebijakan
kehutanan di
Sekalipun
begitu,
masih
Indonesia
wuncul
(Soerjono, 1978).
seruan-seruan
yana
mengharapkan diberikannya perhatian lebih besar bagi
kepentingan
duduk
di
langsung masyarakat urn-,
termasuk
sekitar hutan (Kartasubrata, 1986).
pen-
Perum Perhutani, sebagai pengelola hutan di Jawa,
telah menyadari pentingnya meningkatkan program-program
pembangunan perhutanan yang mengintegrasikan di dalam
manajemen hutan kepentingan-kepentingan fungsi hutan,
lingkungan,
sekitar
dan
hutan.
penjabaran dari
tahun
kesejahteraan
Beberapa
gagasan
penduduk
program
ini
pedesaan
yang
di
merupakan
telah dijalankan
sejak
1976, di antaranya dikenal dengan nama MALU,
sebagai suatu bentuk
implementasi dari program Pem-
binaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH; Perhutani, 1990b;
Darmosoehard jo, 1985)l.
Sampai dengan awal 1980-an,
kalangan tertentu menilai bahwa tujuan-tujuan manajemen
sumberdaya
hutan
di
Jawa,
khususnya
yang
mengenai
kepentingan masyarakat pedesaan di sekitar hutan belum
terwujud seperti yang diharapkan dalam semangat W D 8 4 5
maupun deklarasi kongres ke-8
tahun
1984,
dalam
tahun 1978.
rangka kerja
Pada
sama antara
Perum
Perhutani, beberapa universitas di Indonesia, dan Ford
Foundation (sebagai penyandang dana bantuan), dilaksanakan penelitian
mengenai
interaksi
antara
penduduk
'~ecara konstitusional , konsep ini telah dirumusLihat penjelasan
kan sejak awal tahun 70-an.
dalam bab ketiga.
di
sekitar
dengan
penelitian
ini
sumberdaya
hutan,
mengungkapkan
Hasil-hasil
betapa
tingginya
ketergantungan dari kelompok masyarakat tersebut pada
sumberdaya hutan.
pada
umumnya
Taraf hidup penduduk pedesaan ini
sangat
rendah,
sementara
peranan
sumberdaya hutan dalam kehidupannya sehari-hari masih
tergolong sangat penting.
Bertolak dari kenyataan ini
dirumuskan suatu gagasan mengenai bentuk kerja sama
antara penduduk di sekitar hutan dan Perhutani yang
dapat
menguntungkan
kedua
belah
pihak.
Gagasan
tersebut tertuang dalam konsep Perhutanan Sosial, yang
penerapannya
dirintis
pada
tahun
1986
(Seymour dan
Fisher, 1987).
Perhutanan
Sosial
merupakan
pengembangan
dari
bentuk kontrakl yang telah seabad lamanya diterapkan,
yaitu Tumpang Sari, dan dapat dipandang sebagai suatu
bentuk
adaptasi
yang
menampung
perobahan-perobahan
l ~ e m ~ l o n ~ ialah
an
bentuk kontrak lain yang juga
telah lama diterapkan, namun terbatas hanya dalam
kegiatan pembinaan hutan non-kayu yang mencakup
areal paling kecil (13.2%).
Kendala fisik,
terutama kemiringan tanah, di areal ini tidak
memungkinkan penerapan teknik silvikultur seperti
dalam kontrak Tumpang Sari,
dalam kondisi yang relevan, terutama dalam hubungannya
dengan
kepentingan
Dibandingkan
di
sekitar
dengan kontrak Tumpang
dinilai
Sosial
penduduk
lebih
akomodatif,
hutan.
Sari, Perhutanan
karena
memberikan
kepada penduduk akses yang lebih besar dalam manajemen
hutan (Bratamihardja, 1987).
Ada
tiga kriteria yang
menjelaskan
perbedaan
dapat digunakan
struktur
dari
untuk
kontrak-kontrak
tersebut antara satu dengan yang lainnya, sebagaimana
Tabel
(halaman
Dengan
digambarkan
pada
diadopsinya
kontrak Perhutanan Sosial, terjadi pero-
1.1
5).
bahan yang berarti dalam struktur kontrak yang condong
pada
kepentingan
derajat
~ e s a n g g e m ~ , melalui
akses terhadap arus manfaat
peningkatan
dari
sumberdaya
lahan hutan, yaitu peningkatan dalam luas lahan, jangka
waktu, dan alternatif pilihan jenis komoditi yang boleh
diusahakan.
Pengembangan ini
kenaikan pendapatan yang
menciptakan
potensi
berarti bagi fihak Pesanggem.
'~ebutan yang diberikan kepada penduduk sekitar
hutan yang berstatus sebagai mitra kontrak Perhutani
.
Tabel 1.1.
Perbedaan Struktur Kontrak menurut
Tiga Kriteria Utama
Kriteria
Tumpang
Sari
Perhutanan
Sosial
Derajat akses Pesanggem
terhadap sumberdaya
lahan hutan
rendah
tinggi
2.
Jangka waktu kontrak
pendek
pan jang
3.
Derajat akses Pesanggem
dalam manajemen hutan
rendah
tinggi
1.
Dalam perspektif strategi manajemen hutan, khususnya
di
Jawa,
merupakan
(i)
implementasi
bagian
dari
kontrak-kontrak
tersebut
misi Perhutani, yaitu untuk:
Menyukseskan reboisasi, (ii) Meningkatkan produk-
tivitas lahan, (iii) Meningkatkan pendapatan Perhutani
dan masyarakat, (iv) Meningkatkan mutu lingkungan hidup
dan kesejahteraan masyarakat, (v)
nya
hubungan
harmonis
antara
Mendorong terjalin-
masyarakat
dan
aparat
Perhutani, dan (vi) Menjamin keamanan dan kelestarian
hutan
atas
dasar
kesadaran
serta
partisipasi
aktif
masyarakat
sebagai
melalui
hasil
perobahan
persepsi
dan
perilaku
(Bratamihardja,
penyuluhan
dalam
Perhutani, 1990b).
Pernvataan Masalah dan H i ~ o t e s b
2.
Dua
tahun
Perhutanan
setelah
Sosial,
implementasi proyek
serangkaian
penelitian
perintis
evaluasi
dilaksanakan dengan tujuan untuk memperlengkapi para
pembuat keputusan dengan informasi-informasi yang akan
dijadikan sebagai
asan proyek.
dasar
pertimbangan
perlu-
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa
~ o s i a l mampu
Perhutanan
untuk
meningkatkan
pendapatan
Pesanggem, dan memperlihatkan indikasi mengenai manfaat
positif yang cenderung dihasilkannya bagi Perhutani.
Namun di
menilai
lain pihak, peneliti-peneliti
bahwa
masih rendah.
akses
Pesanggem
dalam
pada umumnya
kontrak
inipun
Itulah sebabnya, diserukan agar dilaku-
kan peningkatan lebih lanjut
akses penduduk di dalam
manajemen dan terhadap sumberdaya lahan hutan,
agar
pendapatan yang dapat diraihnya dari lahan hutan menjadi lebih besar (Lihat ~arzali,1990; Sunderlin, 1990;
Sinaga, 1990; Manurung, 1989; Ratnawati, 1989;
1989;
dan lain-lain).
Masalahnya:
Palupi,
Sejauh manakah ha1
itu dapat diharapkan akan berlangsung, sehingga dapat
.
diandalkan sebagai suatu alternatif pendekatan masalah
peningkatan
taraf
hidup
penduduk
di
sekitar hutan?
Dengan memahami sifat dari perkembangan kontrak Tumpang
Sari ke Perhutanan Sosial, yaitu mengenai cara bekerjanya faktor-faktor yang berperan sebagai pendorong dan
kendala, pertanyaan ini diharapkan dapat dipecahkan.
Ada tiga alternatif cara pendekatan yang dapat
diterapkan untuk menganalisa sifat dari perkembangan
kontrak (Tumpang Sari ke Perhutanan Sosial).
kesejahteraan,
pendekatan
yang
Pertama,
menggunakan
konsep
peningkatan Pareto (Pareto improvement) sebagai dasar
untuk mendorong suatu perobahan ekonomik (Just, lef; d,
1982).
Kedua,
pendekatan
ekonomi
ortodoks
yang
mengandalkan mekanisme harga sebagai pengendali suatu
proses perobahan ekonomik (antara lain Barzel, 1989).
Ketiga, pendekatan institusional, yang memperhitungkan
juga peranan dari mekanisme institusional dalam proses
perobahan ekonomik (Schmid, 1987).
Esensi
dari
pendekatan
Pareto
(pendekatan yang
disebut pertama) ialah dipisahkannya aspek distribusi
pendapatan
dari
suatu
Persoalan
distribusi
proses
alokasi
pemilikan
ditempatkan sebagai urusan politik.
faktor
sumberdaya.
produksi
Setelah urusan
politik ini terselesaikan, anjuran yang diberikan ialah
menegakkan
institusi yang
menjamin
kemerdekaan bagi
setiap pelaku ekonomi untuk mengalokasikan sumberdaya
menurut keinginannya.
Bentuk institusi yang dimaksud-
kan ialah pasar kompetitif, yang merupakan persyaratan
Just &
untuk mencapai efisiensi Pareto (Schmid, 1987;
d,1982).
kotak
Gambar 1.1 (halaman 10) menampilkan diagram
Edgeworth-Bowley,
yang
digunakan
untuk
menjelaskan beberapa kemungkinan pola transaksi yang
memenuhi kriteria efisiensi Pareto dengan konsekuensikonsekuensi distribusi.
Anggap bahwa posisi awal di titik W.
titik W
taraf
jalan
mengandung
kesempatan yang
(individu) A
kesejahteraan
melangsungkan
pertukaran
dapat
dan/atau
antara
Situasi di
menaikkan
B
dengan
mereka.
Andaikan, proses pertukaran berlangsung sampai keduanya
mencapai posisi baru di C1, atau C2, atau pun di C.
Ketiga titik
ini, dan
sembarang titik di
sepanjang
kurva kontrak CZCCl memenuhi kriteria Pareto, karena
taraf kesejahteraan dari salah satu atau kedua pihak
meningkat tanpa mengakibatkan penurunan kesejahteraan
pihak yang lainnya.
yang
menentukan
Perbedaannya terletak pada faktor
letak
dari
sepanjang kurva kontrak.
akan condong
ke titik
titik
"keseimbanganW di
Apakah posisi keseimbangan
C1
atau
C2,
berturut-turut
ditentukan oleh kemampuan A dan B dalam mempengaruhi
harga-harga barang X dan Y.
situasi di
mana
baik A
pengaruhi harga,
Titik C menunjuk pada
maupun
B tidak dapat mem-
yakni dalam pasar kompetitif.
Ilustrasi ini memberikan dua kesimpulan penting.
Pertama, kemungkinan posisi efisiensi menurut kriteria
Pareto bisa terjadi di salah satu titik di sepanjang
kurva kontrak, dan titik mana yang dicapai tergantung
pada kekuatan tawar-menawar relatif yang dimiliki oleh
individu-individu
yang
melakukan transaksi.
Kedua ,
gugus titik-titik kurva kontrak berbeda-beda menurut
situasi distribusi pendapatan awal.
W1
bukan
W,
maka
Jika titik awal di
kemungkinan-kemungkinan
posisi
efisiensi Pareto terbatas hanya sepanjang C3C4.
Pendekatan kedua menghipotesakan bahwa
kontrak condong pada pemilik sumberdaya
meningkat
relatif
lebih
lainnya (Barzel, 1989).
ini,
dalam
hubungannya
tinggi
daripada
dengan
sumberdaya
pengembangan
relatif
kontrak
petunjuk mengenai
yang berlawanan dengan hipotesis itu.
pangsa
yang nilainya
Fakta yang dikemukakan berikut
Perhutanan Sosial, memberikan
perkembangan
struktur
ha1
Data
mengenai
faktor-faktor
produksi
tenaga kerja dan lahan di sub-sektor pertanian pangan,
dalam dekade 60-an
hingga
80-an,
memberikan petunjuk
Barang Y
Si A
Barang X
Keterangan:
IA, IB berturut-turut kurva
indiferen dari A dan B.
Gambar 1.1.
Konflik dan Pertukaran
( ~ c h m i d ,1987)
pertumbuhan yang pincang, yaitu faktor produksi lahan
mengungguli
tenaga
produktivitas
kerja.
marjinal
Dalam
tenaga
kerja
periode
ini,
ber'obah dengan
pertumbuhan negatif, sebaliknya produktivitas marjinal
lahan mengalami pertumbuhan positif (Tabel 1.2, halaman
12).
Dalam
keadaan
seperti ini,
(1989) akan memprediksi bahwa
model
Barzel
struktur kontrak akan
bergeser dari Pesanggem dan condong pada Perhutani.
Hal
ini
berlawanan
dengan
yaitu bahwa struktur
kontrak
diadopsi belakangan,
yang
kenyataan
yang
dijumpai,
Perhutanan
Sosial,
lebih condong pada fihak
Pesanggem, dibandingkan dengan kontrak Tumpang Sari.
Cara pendekatan pertama dan kedua (kesejahteraan
dan
ortodoks)
distribusi
tidak
dapat
pendapatan
yang
menjamin
bahwa
pola
dihasilkan
dari
suatu
kebijakan (atau proses perobahan) akan sesuai dengan
tujuan-tujuan yang ditetapkan secara normatif.
situasi
di
mana
faktor-faktor
kecenderungan
tenaga
pincang,
seperti
(halaman
12),
kerja
yang
perkembangan
dan
lahan
tergambar
peningkatan
pangsa
yang
dalam
pendapatan
Dalam
makin
Tabel
penduduk
1.2
di
sekitar hutan dengan mengandalkan mekanisme harga sukar
dicapai
.
Keterbatasan
dari
kedua
cara
pendekatan
merupakan konsekuensi dari asumsinya bahwa hanya harga-
Tabel 1.2.
Pertumbuhan Produktivitas Marjinal
Faktor Produksi Tenaga Kerja dan
Lahan di sub-Sektor Pertanian Pangan
Pertumbuhan per Tahun ( % )
Tenaga Kerja
Lahan
1964-74 dan 1975-85a
(Tanaman Pangan)
Kuant itas
Saham faktor
Produktivitas marjinal
40.8
-97.5
negatif
14.6
90.0
positif
1961/71 dan 1 9 8 0 / 8 ; ~ ~
(Padi Sawah)
Kuantitas
. Saham faktor
Produktivitas marjinal
-10.7
-27.8
negatif
16.3
18.9
positif
a ~ i o l a hdari Saragih, et al, 1988.
bDiolah dari Kasryno, et a , 1982.
harga
(dan
struktur
pasar)
yang
berperan
sebagai
mekanisme pengendali proses-proses perobahan ekonomik,
dan
mengabaikan
penilaian
institusional mengenai
menurut
kriteria-kriteria
konsekuensi-konsekuensi distri-
busional yang ditimbulkannya.
Keterbatasan ini dapat
diatasi dengan pendekatan institusional, antara lain
dengan model Impak Institusional (Schmid, 1987), yang
memperhitungkan pula kemungkinan-kemungkinan bekerjanya
mekanisme lain selain mekanisme harga.
Sama
halnya
dengan
model
Barzel
dalam
keefektifan
model
juga
(1989)
dari
Impak
Institusional,
memperhitungkan
struktur
hak-hak
perobahan
properti
(property rights) sebagai sumber ketakseimbangan dalam
sistem,
Dengan
mekanisme
harga,
proses
keseimbangan lebih bersifat tertentu.
pencapaian
Berbeda dengan
model Schmid (1987), yang memprediksi bahwa arah dari
proses
perobahan
alternatif,
mengandung
ditentukan
oleh
beberapa
struktur
kemungkinan
kekuatan
yang
bersumber dari faktor-f aktor selain harga dan struktur
pasar
.
Performa
distribusi
dari
suatu
maupun
aktivitas
efisiensi,
ditentukan oleh pola
ekonomik,
secara
alokasi sumberdaya.
baik
langsung
Keputusan
yang dibuat dalam alokasi sumberdaya ditentukan oleh
gugus
oportunitas
(opportunity
set)
yang
dimiliki
seseorang, Gugus oportunitas yang menentukan ekspektasi
mengenai sejauh mana keputusan yang dibuat akan efektif
dan dianggap wajar.
dari
institusi
Gugus oportunitas merupakan fungsi
(atau struktur hak-hak) dan karakter
interdependensi,
dan
dengan
sendirinya,
performa
ditentukan oleh interaksi antara struktur hak-hak dan
karakter interdependensi yang berlaku.
(1989)
hanya
memperhitungkan
Model Barzel
interdependensi
bersumber dari harga dan pasar kompetitif.
model
Schmid
(1987) juga melihat
yang
Sebaliknya,
faktor-faktor lain
sebagai penciri interdependensi antar pelaku ekonomi,
sehingga
lebih
cakupan
luas.
penelitian
fenomena
Bertolak
yang
dari
ini menerapkan
dapat
uraian
model
Impak
dijelaskannya
di
atas
maka
Institusional
dalam memahami sifat dari perkembangan kontrak Tumpang
Sari ke Perhutanan Sosial.
Dalam bentuk hubungan biaya-manfaat, struktur hakhak menentukan
dalam
ha1 apa saja yang seharusnya dicakup
kalkulasi biaya
diperhitungkan
sebagai
dan
ha1
apa
manfaat.
saja yang
Struktur
boleh
hubungan
biaya-manfaat inilah yang menjadi acuan dalam alokasi
sumberdaya.
Oleh
institusilah
sumberdaya
menentukan
yang
yang
pola
karena
itu,
disimpulkan
mendifinisikan
mana
efisien,
dengan
distribusi
dan
pendapatan;
pola
bahwa
alokasi
sendirinya
dan
bukanlah
sebaliknya, efisiensi dan distribusi yang mendifinisikan institusi (Schmid, 1987;
1982).
Runge, 1985;
Bromley,
Kontrak adalah suatu bentuk
institusi di taraf
operasional, yang berfungsi untuk menata struktur hakhak
berdasarkan
transaksi
(kelompok) individu.
yang
antar
berlangsung
Perobahan dalam keefektifan dari
hak-hak properti dapat mengakibatkan perobahan dalam
gugus
oportunitas
relatif,
dan
penataan
struktur
kontrak dimaksudkan untuk memanfaatkan potensi oportunitas yang ada.
Perobahan dalam struktur kontrak akan
merobah
oportunitas
gugus
sehingga
ekspektasinya
dari
setiap
mengenai
individu,
keefektifan
dari
keputusan alokasi sumberdaya juga berobah, dan pada
akhirnya
merobah
pula
performa
yang
dicapai.
Pertanyaan yang timbul: bagairnanakah kontrak Perhutanan
Sosial menata
struktur hak-hak
antara Perhutani dan
Pesanggem sehingga di satu fihak dapat meningkatkan
pendapatan Pesanggem, namun di lain fihak menciptakan
pola
distribusi
pendapatan
pada pihak
Perhutani?
kan ialah:
Perobahan dalam
yang masih sangat condong
Hipotesis yang dapat diturunkeefektifan dari hak-hak
properti, yang merupakan sumber dorongan bagi perkembangan
kontrak
Tumpang
Sari
ke
Perhutanan
Sosial,
secara langsung tidak disebabkan oleh faktor harga, dan
karena itu penataan kontrak (Perhutanan Sosial) juga
tidak
dikendalikan oleh
mekanisme
harga.
Perobahan
dalam
keefektifan hak-hak
properti
disebabkan oleh
perkembangan dari situasi interdependensi, dan pengaruh
dari persepsi publik mengenai kewajaran dari struktur
hak-hak
yang
terbentuk.
Karena
itu, perkembangan
situasi interdependensi juga berperan dalam menentukan
sejauh mana perkembangan dalam struktur kontrak akan
berlangsung.
Tuiuan Penelitian
3.
Dari berbagai laporan yang ada diperoleh petunjuk
bahwa jumlah penduduk merupakan faktor penting yang
perlu diperhitungkan di dalam analisis.
Faktor ini
membedakan karakteristik dari kondisi manajemen hutan
negara di Jawa dengan di luar Jawa, dalam kaitannya
dengan
ketersediaan
tenaga
kerja
dan
lapangan
pekerjaan, situasi interdependensi, dan pola penjabaran
program-program peningkatan taraf hidup penduduk di
sekitar
hutan.
Dalam
perspektif
inilah
masalah
penelitian dianalisa, dengan tujuan untuk mendapatkan
gambaran
mengenai
penduduk
terhadap
pertalian
lahan
antara:
hutan
dan
tekanan
masalah
jumlah
yang
ditimbulkannya, pengembangan struktur kontrak sebagai
suatu cara pendekatan masalah, dan peranan mekanisme
institusional
dalam
proses
pengembangan
kontrak.
Berdasarkan
pengetahuan mengenai ha1 itu, dicoba untuk
menemukan implikasinya bagi pemecahan masalah manajemen
hutan di Jawa,
Tujuan penelitian dicapai melalui sintesis hasilhasil
analisis
yang
diperoleh
kegiatan, sebagai berikut.
dari
serangkaian
Pertama, pengidentifikasian
masalah manajemen yang bersumber dari situasi tingginya
populasi
yang ada,
penduduk
dan
karakteristik
kondisi yang mendorong diterapkannya kontrak
Perhutanan Sosial,
dan mekanisme penataan struktur
kontrak Perhutanan Sosial.
yang
dihasilkan
Sosial.
interdependensi
dari
Kedua, menganalisa performa
penerapan
kontrak
Perhutanan
Ketiga, menganalisa prospek dari kontrak
Perhutanan Sosial dalam upaya peningkatan taraf hidup
penduduk di sekitar hutan,
4.
L i n q k u ~~enelitian
Aplikasi model Impak Institusional dalam analisis
pemecahan masalah-masalah mengenai hubungan institusi
dan
performa
keperluan.
yang
dihasilkan
dapat
memenuhi
dua
Pertama, untuk keperluan prediksi performa
yang cenderung akan dihasilkan dari suatu kebijakan
penataan
bagaimana
institusional.
interaksi
antara
Kedua,
untuk
struktur
menjelaskan
institusi
yang
ditata
dengan
sumber-sumber
interdependensi
dalam
menentukan performa tertentu.
Penelitian ini bermaksud
memenuhi
sehingga
kedua
keperluan,
dikatagorikan
sebagai analisis perkembangan institusional.
spesifik,
kontrak
fenomena
yang
Perhutanan
dianalisa
Sosial
ialah
sebagai
Secara
penataan
suatu
bentuk
institusi dalam upaya memecahkan masalah yang dihadapi.
Dalam
kegiatan
diperbandingkan
analisis,
dengan
struktur
kontrak
kontrak
Tumpang
Sari
ini
untuk
mendapatkan penjelasan mengenai proses perkembangan dan
performa yang dihasilkan.
Bangunan
tersusun
berjenjang dan
dari taraf
1987).
institusi
di
dalam
suatu
bertalian
atas ke bawah
masyarakat
secara fungsional
(Bromley, 1988;
Schmid,
Di taraf teratas, pembentukan institusi ber-
langsung
menurut
aturan-aturan
konstitusional.
Struktur institusional di taraf ini'menentukan gugus
oportunitas pada taraf di bawahnya, yang selanjutnya
menentukan pola transaksi di taraf operasional.
Pola
transaksi
pada
menentukan
alokasi
sumberdaya,
gilirannya menentukan performa ekonomik.
ini
memusatkan
dengan
asumsi
kepentingan
diri
hanya
bahwa
penduduk
pada
pemecahan
di
sekitar
taraf
~enelitian
operasional,
masalah
hutan
yang
mengenai
lebih banyak
berkaitan
langsung dengan proses penjabaran gagasan-
gagasan di taraf implementasi.
ini
belum
tersedia
secara
Informasi mengenai ha1
memadai,
padahal
sangat
dibutuhkan baik dalam upaya peningkatan performa maupun
untuk
kepentingan analisis di
sendirinya
pula,
taraf
implikasi-implikasi
atas.
Dengan
kebijakan
yang
akan diturunkan dari hasil analisis, secara langsung
hanya mengenai implementasi di taraf operasional.
Kontrak Tumpang Sari dan Perhutanan Sosial
secara
langsung bertalian dengan kegiatan peremajaan hutan,
yang merupakan tahap awal dari suatu siklus produksi
tanaman kayu.
Hanya karena jangka waktu kontrak Per-
hutanan Sosial lebih panjang sehingga rangkaian tahapan
yang dicakup bisa lebih dari satu tahap.
Sekalipun
begitu, pada dasarnya, hubungan kerja antara Perhutani
dan Pesanggem pada setiap tahapan kegiatan manajemen
hutan
tidaklah
berbeda.
Perbedaan
yang
berarti
dijumpai dalam hak Pesanggem Perhutanan Sosial untuk
memetik hasil tanaman tahunan, yang di dalam kontrak
Tumpang Sari tidak dimungkinkan karena berlaku hanya
untuk dua tahun pertama dari suatu siklus produksi.
Analisis didasarkan pada survei lapangan di dua
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH),
yang mencakup 50 dan
15.4 persen dari populasi KPH yang memiliki
Perhutanan
Sosial dari semua usial, berturut-turut, di Unit I Jawa
Tengah dan di semua unit di Jawa.
memberikan
Beberapa laporan
hasil
penelitian
petunjuk
antar
lokasi yang cukup nyata dalam beberapa
sosial-ekonomi dan agroklimat.
sasi
hasil-hasil
adanya
variasi
aspek
Karena itu, generali-
analisis mengenai
aspek-aspek
yang
berciri spesifik menurut lokasi, berdasarkan hanya pada
dua KPH (lokasi) contoh mengandung resiko penyimpangan
yang besar.
Sebaliknya, untuk aspek-aspek yang inheren
dalam sistem, generalisasi hasil-hasil analisis dapat
saja dilakukan tanpa resiko penyimpangan yang berarti.
Studi mengenai
kegiatan
produksi
fenomena kontrak dalam kegiatanpertanian
kontrak dalam kasus lain.
dilakukan.
Namun
relatif
telah
banyak
Hal ini disebabkan oleh
pengetahuan
ini
tidak
dapat
diterapkan begitu saja untuk menjelaskan fenomena sifat
kontrak yang sangat dipengaruhi oleh kondisi relevan
yang spesifik, yang bervariasi baik menurut waktu dan
tempat.
Demikian juga halnya dengan pengetahuan
yang
'~ata menurut situasi pada Tahun 1989.
Susunan
unit-unit
organisasi
manajemen
hutan
Perum
Perhutani dicantumkan dalam Lampiran C1.
diperoleh melalui penelitian ini, tidak
dapat
diterapkan
fenomena
kontrak
begitu saja
untuk menjelaskan, sebagai contoh,
HPH
(Hak Pengusahaan Hutan)
hubungannya
dengan
pemanfaatan
Perhutani,
Kondisi manajemen
hutan
hutan
dalam
negara
non-
Jawa
turut
di
dicirikan oleh padatnya populasi penduduk di sekitar
hutan yang umumnya bertaraf hidup rendah, dan secara
fisik mudah sekali menjangkau hutan.
Kontrak di sini
melibatkan Perhutani dan penduduk di sekitar hutan.
Kondisi-kondisi
seperti
ini
berbeda
dengan
yang
dijumpai dalam kasus HPH, yang melibatkan pemerintah
dan pengusaha yang dikuasakan untuk mengeksploitasikan
sumberdaya
berbeda,
hutan.
antara
Latar
kedua
belakang
permasalahan pun
tipe manajemen
hutan
negara.
Permasalahan manajemen hutan Perhutani terkait dengan
langsung
kepentingan
penduduk
di
pelibatan
secara
dalamnya.
Kontrak yang mengenai pemanfaatan hutan non-
Perhutani lebih didominasi oleh masalah kelangkaan dana
dari pemerintah untuk merealisasikan hak-hak properti
yang
dimilikinya.
penduduk
sumberdaya
di
Transaksi
sekitar
tenaga
kerja
hutan
dan
antara
Perhutani
terutama
lahan
hutan,
dan
melibatkan
sedangkan
dalam kontrak HPH melibatkan sumberdaya kapital dan
hutan.
5.
Oraanisasi Laporan
Penyajian laporan hasil penelitian disusun menurut
sistematika yang diangkat dari pola hubungan peubahpeubah dari kerangka analitik, dan tahapan analisis.
Kerangka analitik mencakup tiga peubah utama, yaitu
kondisi dan permasalahan dalam mana jemen hutan di Jawa
(bab ketiga), penataan struktur kontrak (bab keempat),
dan performa (bab kelima).
Proses analisis meliputi
dua tahap, yaitu tahap deskripsi (bab ketiga hingga
lima), dan tahap prediksi (bab keenam).
Rangkuman
seluruh hasil analisis dicantumkan dalam bab terakhir,
yaitu bab ketujuh.
Bab
kedua
memuat
deskripsi
mengenai
model
analisis, hipotesis pengujian, dan pendekatan empirik.
Sub-bab pertama memuat deskripsi mengenai model Impak
Institusional, sub-bab kedua dan tiga memuat kerangka
analitik dan hipotesis tentang model Perhutanan Sosial.
Metode' dan teknik analisis serta metode penelitian
dimuat dalam sub-bab tentang pendekatan empirik.
Bab
ketiga
memuat
gambaran
mengenai
situasi
perkembangan kontrak dalam manajemen hutan di Jawa.
Analisis dalam perspektif historik ini bertujuan untuk
menemukan
petunjuk-petunjuk
mengenai
kondisi
mendorong diadopsinya kontrak Perhutanan Sosial.
yang
Hasil analisis tentang penataan struktur kontrak
Perhutanan
kontrak
,
Sosial,
Tumpang
dalam
Sari,
perbandingannya
untuk
dengan
mengidentifikasikan
bagaimana strategi yang ditempuh oleh Perhutani dalam
mengendalikan
sumber-sumber
interdependensi
yang
berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya hutan yang
melibatkan penduduk di sekitar hutan, dicantumkan dalam
bab keempat.
Hasil analisis ditampilkan dalam bentuk
konfigurasi struktur kontrak, sebagai hasil dari proses
restrukturisasi hak-hak.
Berdasarkan
hasil
analisis dalam bab
keempat,
dilakukan identifikasi komponen-komponen performa, dan
analisis mengenai performa yang dihasilkan.
Hasil
analisis ini dicantumkan dalam bab kelima.
Bab keenam mencantumkan hasil analisis mengenai
prospek pengembangan dari pendekatan masalah manajemen
hutan
di
Jawa, di
mana
kontrak
Perhutanan Sosial
berkedudukan sebagai instrumen strateginya.
Analisis
ini didasarkan pada sintesis: (i) Hasil-hasil analisis
deskriptif dalam bab-bab sebelumnya, yang dkmuat dalam
sub-bab pertama;
dan (ii) Hasil aplikasi fungsi Logit,
untuk analisis kelanggengan kontrak Perhutanan Sosial,
dicantumkan dalam sub-bab kedua.
Bab terakhir, tujuh, memuat ringkasan dari penemuan penelitian, kesimpulan umum, dan implikasi-imlikasi.
Bahan-bahan ini merupakan rangkuman dari seluruh hasil
analisis
dalam
bab-bab
sebelumnya.
Kesimpulan-
kesimpulan dari analisis topik-topik spesifik tidak
dicantumkan di sini melainkan dalam setiap bab yang
bersangkutan.
Beberapa penjelasan yang merupakan suplemen bagi
bagian-bagian tertentu dalam isi utama laporan ini,
dicantumkan di dalam lampiran.
11.
KERANGKA TEORITIK DAN PENDEKATAN EMPIRIK
1
1.
Model Impak Institusional yang dikembangkan oleh
Allan
utama,
Schmid
(1987) dibangun
yaitu
dengan tiga
(i) Karakteristik
komponen
sumberdaya,
(ii)
Struktur hak-hak
(rights atau property rights), dan
(iii) Performa.
Berdasarkan
asumsi interdependensi
antara pelaku-pelaku ekonomi, model ini menjelaskan
proses
determinasi
performa
sebagai
resultan
dari
interaksi antara karakteristik sumberdaya dengan struktur hak-hak.
Untuk sumberdaya dengan karakteristik
yang sama akan menghasilkan performa yang berbeda jika
struktur hak-hak berbeda.
Demikian juga halnya, untuk
struktur hak-hak yang sama akan menghasilkan performa
Yang
berbeda-beda
jika
karakteristik yang berbeda.
sumberdaya
memiliki
(Lihat Gambar 2.1, halaman
26, yang menampilkan diagram dari model tersebut).
Karakteristik sumberdaya (la) menentukan karakteristik dari interdependensi (lb) antar pelaku-pelaku
ekonomi, yakni yang menentukan arah dan derajat dari
efek yang ditimbulkan oleh tindakan dari satu fihak
terhadap fihak lain.
Struktur hak-hak
distribusi biaya-manfaat, atau
hak-kewajiban antar
(2) menentukan
secara umum distribusi
pelaku-pelaku ekonomi yang terkait
Karakteristik
sumberdaya
(la)
(2)
Perilaku
<
Pola distribusi
dan alokasi
sumberdaya
Performa
ekonomik
Gambar 2.1.
Model Analisis Impak Institusional
(Schmid, 1987)
dal.am hubungan interdependensi.
Pola distribusi hak-
kewajiban ini ditanggapi oleh setiap individu menurut
perilakunya,
alokasi
yang
menentukan
sumberdaya,
performa (3).
pilihan
dan
pada
pola
distribusi
gilirannya
dan
menentukan
Struktur hak-hak (2) dikendalikan oleh
publik,
sebagai
suatu
bentuk
implementasi
kekuasaan, melalui mekanisme transaksi.
Karakteristik Interde~endensi
Allan Schmid (1987) membahas lima sumber interdependensi, tiga di antaranya yang dianggap relevan
dengan kasus yang diamati dalam penelitian ini ialah
biaya
transaksi,
pemanfaatan
tak
kompatibel
(incompatible-use), dan JIG ( joint-impact goods)l.
Biava transaksi.
Biaya transaksi terdiri dari
biaya kontrak, biaya (pengadaan) informasi, dan biaya
penyidikan
dengan
(policing).
proses
kontrak.
Biaya
pencapaian
Biaya
kegiatan mengukur
informasi
atau
kontrak
kesepakatan
berhubungan
dengan
mitra
merupakan konsekuensi dari
mengidentifikasikan
kuantitas
'DU~ yang lainnya:
skala ekonomis, dan surplus
serta permintaan-penawaran.
maupun kualitas produk pada saat sekarang ataupun saat
yang akan datang.
kegiatan
Biaya penyidikan berhubungan dengan
eksklusi.
kegiatan-kegiatan
Interdependensi
timbul
karena
dengan konsekuensi biaya transaksi,
secara ekonomik tidak layak untuk diterapkan sampai
tuntas.
Baik proses pendifinisian maupun klaim hak-hak
terkendala oleh
terhadap hasil
sumberdaya
yang
dikorbankan
yang dapat dicapai-
relatif
Ketidaktuntasan
dalam proses ini mengakibatkan sebagian dari atribut
sumberdaya jatuh ke dalam domein publik, dan situasi
ini mendorong pengurangan curahan sumberdaya di bawah
taraf optimal (shirking;
penunggangan
gratis
Barzel, 1989) atau perilaku
(free riding;
Perobahan dalam struktur hak-hak
Schmid,
1987)~.
dapat mengendalikan
interdependensi yang bersumber dari karakteristik biaya
transaksi.
Pemanfaatan
pemanfaatan
suatu
tak
kom~atibel.
sumberdaya oleh
Situasi
salah
rneniadakan atau mengurangi pemanfaatan oleh
di
satu
mana
fihak
fihak lain
'pada dasarnya, kedua konsep menun juk pada situasi
yang sama, yaitu kesenjangan antara biaya marjinal
(atau harga)
dengan penerimaan marjinal (atau
utilitas marjinal).
dikatagorikan
pemanfaatan
derajat
sebagai
yang
interdependensi
tidak
interdependensi
tingkat biaya eksklusi.
ini
berciri
Variasi
kompatibel.
tipe
yang
dalam
dipengaruhi
oleh
Situasi menjadi lebih rumit
dalam kasus pemanfaatan tidak kompatibel yang disertai
dengan
biaya
eksklusi
tinggi,
karena
ini
keadaan
mendorong berkembangnya perilaku penunggangan gratis.
Dalam situasi tanpa penunggangan gratis, isu distribusi
pendapatan bertalian hanya dengan masalah distribusi
hak dalam kaitan dengan kepemilikan.
Dengan adanya
penunggangan gratis, masalah meluas hingga menyangkut
Jika ha1 ini berkaitan dengan
aspek moral-yuridis.
manajemen sumberdaya yang mengenai hajat hidup orang
banyak,
isu distribusi
tidak
terlepas
dari
masalah
politik.
JIG-
~nterdependensi yang
dicirikan
oleh
situasi
di
bersumber
mana
dari
ketersediaan
JIG
suatu
'sumberdaya mempunyai efek terhadap utilitas dari dua
atau
lebih
Pemanfaatan
orang,
oleh
dalam
satu
waktu
individu
yang
bersamaan.
tidak
mengurangi
persediaan sumberdaya bersangkutan untuk dimanfaatkan
oleh
individu
menghabiskannya.
dicirikan
oleh
yang
lain,
Dalam
tingkat
yang
konteks
biaya
juga
biaya,
marjinal
tidak
situasi
setara
akan
ini
nol,
dengan unit pemakai sebagai acuannya bukan dengan unit
komoditi
.
Di
samping
kondisi
individu,
derajat
ditentukan
oleh
preferensi
dari
interdependensi dari
tingkat
biaya
individu-
katagori
pengelakan
(cost of
avoidance) dan derajat penyisihan (pre-emption).
sulit
(mudah)
pemanfaatan
(terkendala)
seseorang
bersama
ia
suatu
dalam
dirinya
sumberdaya,
makin
melakukan
antara preferensi dan taraf pemanfaatan.
(rendah)
derajat
penyisihan
seseorang makin sulit
menyalurkan
yang
dari
leluasa
penyesuaian
Makin tinggi
dimiliki
oleh
(mudah) bagi orang lain untuk
preferensinya
mempengaruhi
Makin
mengelakkan
upaya
JIG
kuantitas
melalui
ataupun
upaya
kualitas
untuk
(dalam
produksi) suatu sumberdaya.
Dalam situasi di mana kehadiran sumberdaya memberi
efek negatif terhadap utilitas seseorang, sementara itu
ia tidak dapat mengelak dan tidak berkemampuan untuk
menentukan taraf kuantitas ataupun kualitas sumberdaya,
situasi
interdependensi
pemanfaatan
dengan
ciri
yang
tidak
ini akan
mudah ditempuh.
menjadi
kompatibel.
hilang
identik
dengan
Interdependensi
jika pengelakan
sangat
Struktur Hak.
Hak
T i ~ eTransaksi.
merupakan
Kekuasaan. dan Perilaku
instrumen
yang
digunakan
oleh
masyarakat untuk mengendalikan dan menata interdependensi
antar
sesama
anggotanya
untuk
memecahkan
persoalan mengenai distribusi (Schmid, 1987).
operasional,
struktur
terjabarkan
hak-hak
perjanjian kontrak, yang
Di taraf
mendefinisikan
dalam
(distribusi)
hak dan kewajiban.
Perobahan
dalam
struktur
kontrak
melalui mekanisme transaksi tertentu.
mencatat
tiga
administratif,
tipe
dan
transaksi,
status
Schmid (1987)
yaitu
serta
berlangsung
tawar-menawar,
pemberian
(grant).
Tipe transaksi tawar-menawar meliputi transfer hak-hak
dua arah, yakni berlangsung menurut kesepakatan timbalbalik.
Dalam transaksi administratif dan status serta
pemberian, transfer hak berlangsung satu arah.
administratif
sedangkan
pada
memiliki
unsur
perintah
atau
Tipe
paksaan,
tipe status dan pemberian tidak
unsur tawar-menawar maupun perintah.
ada
Pada kedua tipe,
arah dari transfer hak-hak diatur oleh institusi yang
berlaku,
negara
yang
bersumber
dari
konstitusi
atau
hukum
(tipe administratif) dan aturan sosial-budaya
(tipe status dan pemberian).
Dalam kasus di mana penunggangan gratis menggejala
penerapan transaksi tawar-menawar relatif tidak efektif
karena individu cenderung menyembunyikan permintaannya
akan sumberdaya bersangkutan.
relatif
lebih
Transaksi administratif
efektif, terutama
dalam
menentukan
insentif (ataupun disinsentif) untuk menarik penunggang
gratis masuk kedalam sistem kontribusi dalam penyediaan
sumberdaya.
Namun,
karena
didalamnya
ada
unsur
paksaan, cara ini cenderung mengakibatkan penunggangan
secara
terpaksa
(unwilling
riding)
dari
individu
tertentu (Schmid, 1987).
Kekuasaaq.
implementasikan
Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengkepentingan
dari
satu
konflik dengan kepentingan fihak lain.
fihak
yang
Hal ini merupa-
kan fungsi dari hak, pilihan fihak lain, dan karakter
individu bersangkutan.
dipengaruhi
oleh
Oleh karena itu, keefektifannya
pengakuan
dari
fihak
lain,
dan
kemampuan dari individu pemilik hak ini dalam mempengaruhi (atau membatasi) pilihan yang dilakukan oleh
fihak lain.
Adanya peranan faktor hak sebagai salah
satu dimensi dari kekuasaan menunjukkan bahwa kekuasaan
merupakan produk dari institusi, baik yang bersumber
dari konstitusi negara maupun aturan-aturan sosialbudaya
.
Perilaku.
Perilaku merupakan
respons terhadap
struktur hak-hak yang terbentuk, yang terwujud dalam
pola
alokasi
kepentingan
sumberdaya,
maksimasi
yang
dimotivasi
minimasi).
(atau
oleh
Hal
ini
diterima shbagai suatu fenomena umum, karena mengasumsikan bahwa di dalam kalkulasi maksimasi
juga termasuk unsur-unsur non-material
(minimasi)
(Lihat Becker,
1976)'.
Beberapa
keperluan
catatan
penelitian
(Schmid, 1987).
yang
ini,
ada
relevansinya
ialah
dengan
sebagai
berikut
Pertama, kebajikan (benevolence) dapat
mencegah perilaku penunggangan gratis, sehingga apabila
perilaku
ini
menggejala,
dapat
dipandang
sebagai
indikasi bahwa kebajikan bukan merupakan perilaku yang
dominan
.
dalam tipe
Kedua, kebajikan dan kasih berperan penting
transaksi pemberian,
dalam kasus
utilitas
dari seseorang dipengaruhi pula oleh pengetahuan
perkiraan) tentang
utilitas
dari fihak lain.
(atau
Ketiga,
lpada hakikatnya perilaku dari setiap individu
ialah
maksimasi
(minimasi),
sekalipun
untuk
mencapainya ditempuh tindakan yang nampak bertentangan dengan asumsi more is preferred to less.
Contohnya, pajak pendapatan (sampai batas tertentu) tidak berpengaruh negatif terhadap utilitas
seseorang yang berperilaku altruisme.
perilaku
"pilihan tanpa perhitungan"
dengan
situasi
interdependensi karena biaya eksklusi tinggi.
Apabila
choice)
mempunyai
relevansi
khusus
(noncalculating
penunggangan gratis menggejala, ha1 itu dapat dijadikan
indikasi
bahwa
Pesanggem
didominasi
oleh
perilaku
pilihan tanpa perhitungan.
2.
Peranaka Analitik
Sumber Interde~endensi
Penduduk di sekitar hutan sangat bergantung pada
hutan sebagai sumber pendapatan keluarga.
Perhutani
juga tergantung pada hutan sebagai sumber pendapatan
negara
.
Berdasarkan
kenyataan
ini,
dalam
konteks
permasalahan yang telah diuraikan di muka, dapat diduga
bahwa
lahan hutan1 merupakan
faktor
bertalian dengan situasi interdependensi
pemanfaatan
ha1
ini
yang
dapat
tidak kompatibel.
dijelaskan,
dengan
utama
yang
dengan
ciri
Secara analitik
acuan
kegiatan
produksi dalam kontrak kerja sama, sebagai berikut.
l ~ e n ~ a sendirinya
n
pula, variasi menurut taraf
kesuburan dan faktor agroklimat turut memberi ciri
pada interdependensi.
Di
dalam
kontrak,
Perhutani
dan
Pesanggem
menangkap manfaat produksi dari hasil perpaduan faktorfaktor produksi
lahan
hutan
(T), tenaga
kerja
(L;
diasumsikan seluruhnya dari dalam keluarga Pesanggem)
dan kapital
berperan
(K).
Di taraf unit Andil1,
sebagai pengklaim
keduanya
residual, akan tetapi di
taraf manajemen sumberdaya hutan hanya Perhutani yang
berkedudukan
sebagai
pengklaim
Fungsi
residual.
produksi bagi Perhutani mengacu pada produksi komoditi
kayu, sedangkan bagi Pesanggem mengacu pada produksi
komoditi tanaman tumpang sari (pertanian).
residu net0 untuk Perhutani
Persamaan
(R1), untuk satu siklus
produksi dinyatakan sebagai:
di mana F(.), r, w, i f B1, dan k, berturut-turut adalah
fungsi (nilai) produksi, proporsi bidang lahan hutan
untuk
tanaman
tumpang
sari
( 0 1 ) tingkat
upah,
lsebutan yang menunjuk pada bidang lahan hutan
yang menjadi obyek dari hak garapan Pesanggem.
tingkat
harga
kapitall,
biaya
supervisi
dan
pengawasan2, dan uang kontrak yang diberikan kepada
Pesanggem.
Untuk r=O, seluruh bidang lahan digarap
hanya untuk tanaman kayu maka uang kontrak k=O, dan
pendapatan bagi
Pesanggem setara dengan wL.
Untuk
O
'
I.
1.
Kongres
Jakarta
.
;.
PENDAHULUAN
Kehutanan
merumuskan
-.
i..
-'
'r-,,
Sedunia ke-8
salah
satu
tahun
1978 di
deklarasinya
yang
"... the world's forest must, ..., be used for
people ..." (Anon, 1978).
Di dalam deklarasi ini
berbunyi
all
tersirat himbauan agar orientasi manajemen sumberdrnya
hutan memberikan penekanan yang lebih besar kepaba
kepentingan masyarakat umum, yang pada waktu-waktu sebelumnya dinilai tersisihkan oleh dominasi kepentingankepentingan dari sekelompok rasyarakat tertentu saja.
Jauh
sebelum
deklarasi
ini,
Republik Indonesia tahun 1945
Undang-Undang
(WD'45,
pasal
Dasar
33:3)
telah meletakkan azas-azas manajemen sumberdaya hutan
yang sejiwa dengannya, yang menetapkan bahwa s-daya
alam nasional dikelola untuk kepentingan kemakmuran
rakyat
.
Hasil
Sedunia Re-8
peninjauan
menyfmpulkan
hasil
bahwa
Kongres
fehutanan
deklarasi-deklarasi
yam Idimuskan, secara uum, sejalan
dangan kebijskan*
kebijakan
kehutanan di
Sekalipun
begitu,
masih
Indonesia
wuncul
(Soerjono, 1978).
seruan-seruan
yana
mengharapkan diberikannya perhatian lebih besar bagi
kepentingan
duduk
di
langsung masyarakat urn-,
termasuk
sekitar hutan (Kartasubrata, 1986).
pen-
Perum Perhutani, sebagai pengelola hutan di Jawa,
telah menyadari pentingnya meningkatkan program-program
pembangunan perhutanan yang mengintegrasikan di dalam
manajemen hutan kepentingan-kepentingan fungsi hutan,
lingkungan,
sekitar
dan
hutan.
penjabaran dari
tahun
kesejahteraan
Beberapa
gagasan
penduduk
program
ini
pedesaan
yang
di
merupakan
telah dijalankan
sejak
1976, di antaranya dikenal dengan nama MALU,
sebagai suatu bentuk
implementasi dari program Pem-
binaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH; Perhutani, 1990b;
Darmosoehard jo, 1985)l.
Sampai dengan awal 1980-an,
kalangan tertentu menilai bahwa tujuan-tujuan manajemen
sumberdaya
hutan
di
Jawa,
khususnya
yang
mengenai
kepentingan masyarakat pedesaan di sekitar hutan belum
terwujud seperti yang diharapkan dalam semangat W D 8 4 5
maupun deklarasi kongres ke-8
tahun
1984,
dalam
tahun 1978.
rangka kerja
Pada
sama antara
Perum
Perhutani, beberapa universitas di Indonesia, dan Ford
Foundation (sebagai penyandang dana bantuan), dilaksanakan penelitian
mengenai
interaksi
antara
penduduk
'~ecara konstitusional , konsep ini telah dirumusLihat penjelasan
kan sejak awal tahun 70-an.
dalam bab ketiga.
di
sekitar
dengan
penelitian
ini
sumberdaya
hutan,
mengungkapkan
Hasil-hasil
betapa
tingginya
ketergantungan dari kelompok masyarakat tersebut pada
sumberdaya hutan.
pada
umumnya
Taraf hidup penduduk pedesaan ini
sangat
rendah,
sementara
peranan
sumberdaya hutan dalam kehidupannya sehari-hari masih
tergolong sangat penting.
Bertolak dari kenyataan ini
dirumuskan suatu gagasan mengenai bentuk kerja sama
antara penduduk di sekitar hutan dan Perhutani yang
dapat
menguntungkan
kedua
belah
pihak.
Gagasan
tersebut tertuang dalam konsep Perhutanan Sosial, yang
penerapannya
dirintis
pada
tahun
1986
(Seymour dan
Fisher, 1987).
Perhutanan
Sosial
merupakan
pengembangan
dari
bentuk kontrakl yang telah seabad lamanya diterapkan,
yaitu Tumpang Sari, dan dapat dipandang sebagai suatu
bentuk
adaptasi
yang
menampung
perobahan-perobahan
l ~ e m ~ l o n ~ ialah
an
bentuk kontrak lain yang juga
telah lama diterapkan, namun terbatas hanya dalam
kegiatan pembinaan hutan non-kayu yang mencakup
areal paling kecil (13.2%).
Kendala fisik,
terutama kemiringan tanah, di areal ini tidak
memungkinkan penerapan teknik silvikultur seperti
dalam kontrak Tumpang Sari,
dalam kondisi yang relevan, terutama dalam hubungannya
dengan
kepentingan
Dibandingkan
di
sekitar
dengan kontrak Tumpang
dinilai
Sosial
penduduk
lebih
akomodatif,
hutan.
Sari, Perhutanan
karena
memberikan
kepada penduduk akses yang lebih besar dalam manajemen
hutan (Bratamihardja, 1987).
Ada
tiga kriteria yang
menjelaskan
perbedaan
dapat digunakan
struktur
dari
untuk
kontrak-kontrak
tersebut antara satu dengan yang lainnya, sebagaimana
Tabel
(halaman
Dengan
digambarkan
pada
diadopsinya
kontrak Perhutanan Sosial, terjadi pero-
1.1
5).
bahan yang berarti dalam struktur kontrak yang condong
pada
kepentingan
derajat
~ e s a n g g e m ~ , melalui
akses terhadap arus manfaat
peningkatan
dari
sumberdaya
lahan hutan, yaitu peningkatan dalam luas lahan, jangka
waktu, dan alternatif pilihan jenis komoditi yang boleh
diusahakan.
Pengembangan ini
kenaikan pendapatan yang
menciptakan
potensi
berarti bagi fihak Pesanggem.
'~ebutan yang diberikan kepada penduduk sekitar
hutan yang berstatus sebagai mitra kontrak Perhutani
.
Tabel 1.1.
Perbedaan Struktur Kontrak menurut
Tiga Kriteria Utama
Kriteria
Tumpang
Sari
Perhutanan
Sosial
Derajat akses Pesanggem
terhadap sumberdaya
lahan hutan
rendah
tinggi
2.
Jangka waktu kontrak
pendek
pan jang
3.
Derajat akses Pesanggem
dalam manajemen hutan
rendah
tinggi
1.
Dalam perspektif strategi manajemen hutan, khususnya
di
Jawa,
merupakan
(i)
implementasi
bagian
dari
kontrak-kontrak
tersebut
misi Perhutani, yaitu untuk:
Menyukseskan reboisasi, (ii) Meningkatkan produk-
tivitas lahan, (iii) Meningkatkan pendapatan Perhutani
dan masyarakat, (iv) Meningkatkan mutu lingkungan hidup
dan kesejahteraan masyarakat, (v)
nya
hubungan
harmonis
antara
Mendorong terjalin-
masyarakat
dan
aparat
Perhutani, dan (vi) Menjamin keamanan dan kelestarian
hutan
atas
dasar
kesadaran
serta
partisipasi
aktif
masyarakat
sebagai
melalui
hasil
perobahan
persepsi
dan
perilaku
(Bratamihardja,
penyuluhan
dalam
Perhutani, 1990b).
Pernvataan Masalah dan H i ~ o t e s b
2.
Dua
tahun
Perhutanan
setelah
Sosial,
implementasi proyek
serangkaian
penelitian
perintis
evaluasi
dilaksanakan dengan tujuan untuk memperlengkapi para
pembuat keputusan dengan informasi-informasi yang akan
dijadikan sebagai
asan proyek.
dasar
pertimbangan
perlu-
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa
~ o s i a l mampu
Perhutanan
untuk
meningkatkan
pendapatan
Pesanggem, dan memperlihatkan indikasi mengenai manfaat
positif yang cenderung dihasilkannya bagi Perhutani.
Namun di
menilai
lain pihak, peneliti-peneliti
bahwa
masih rendah.
akses
Pesanggem
dalam
pada umumnya
kontrak
inipun
Itulah sebabnya, diserukan agar dilaku-
kan peningkatan lebih lanjut
akses penduduk di dalam
manajemen dan terhadap sumberdaya lahan hutan,
agar
pendapatan yang dapat diraihnya dari lahan hutan menjadi lebih besar (Lihat ~arzali,1990; Sunderlin, 1990;
Sinaga, 1990; Manurung, 1989; Ratnawati, 1989;
1989;
dan lain-lain).
Masalahnya:
Palupi,
Sejauh manakah ha1
itu dapat diharapkan akan berlangsung, sehingga dapat
.
diandalkan sebagai suatu alternatif pendekatan masalah
peningkatan
taraf
hidup
penduduk
di
sekitar hutan?
Dengan memahami sifat dari perkembangan kontrak Tumpang
Sari ke Perhutanan Sosial, yaitu mengenai cara bekerjanya faktor-faktor yang berperan sebagai pendorong dan
kendala, pertanyaan ini diharapkan dapat dipecahkan.
Ada tiga alternatif cara pendekatan yang dapat
diterapkan untuk menganalisa sifat dari perkembangan
kontrak (Tumpang Sari ke Perhutanan Sosial).
kesejahteraan,
pendekatan
yang
Pertama,
menggunakan
konsep
peningkatan Pareto (Pareto improvement) sebagai dasar
untuk mendorong suatu perobahan ekonomik (Just, lef; d,
1982).
Kedua,
pendekatan
ekonomi
ortodoks
yang
mengandalkan mekanisme harga sebagai pengendali suatu
proses perobahan ekonomik (antara lain Barzel, 1989).
Ketiga, pendekatan institusional, yang memperhitungkan
juga peranan dari mekanisme institusional dalam proses
perobahan ekonomik (Schmid, 1987).
Esensi
dari
pendekatan
Pareto
(pendekatan yang
disebut pertama) ialah dipisahkannya aspek distribusi
pendapatan
dari
suatu
Persoalan
distribusi
proses
alokasi
pemilikan
ditempatkan sebagai urusan politik.
faktor
sumberdaya.
produksi
Setelah urusan
politik ini terselesaikan, anjuran yang diberikan ialah
menegakkan
institusi yang
menjamin
kemerdekaan bagi
setiap pelaku ekonomi untuk mengalokasikan sumberdaya
menurut keinginannya.
Bentuk institusi yang dimaksud-
kan ialah pasar kompetitif, yang merupakan persyaratan
Just &
untuk mencapai efisiensi Pareto (Schmid, 1987;
d,1982).
kotak
Gambar 1.1 (halaman 10) menampilkan diagram
Edgeworth-Bowley,
yang
digunakan
untuk
menjelaskan beberapa kemungkinan pola transaksi yang
memenuhi kriteria efisiensi Pareto dengan konsekuensikonsekuensi distribusi.
Anggap bahwa posisi awal di titik W.
titik W
taraf
jalan
mengandung
kesempatan yang
(individu) A
kesejahteraan
melangsungkan
pertukaran
dapat
dan/atau
antara
Situasi di
menaikkan
B
dengan
mereka.
Andaikan, proses pertukaran berlangsung sampai keduanya
mencapai posisi baru di C1, atau C2, atau pun di C.
Ketiga titik
ini, dan
sembarang titik di
sepanjang
kurva kontrak CZCCl memenuhi kriteria Pareto, karena
taraf kesejahteraan dari salah satu atau kedua pihak
meningkat tanpa mengakibatkan penurunan kesejahteraan
pihak yang lainnya.
yang
menentukan
Perbedaannya terletak pada faktor
letak
dari
sepanjang kurva kontrak.
akan condong
ke titik
titik
"keseimbanganW di
Apakah posisi keseimbangan
C1
atau
C2,
berturut-turut
ditentukan oleh kemampuan A dan B dalam mempengaruhi
harga-harga barang X dan Y.
situasi di
mana
baik A
pengaruhi harga,
Titik C menunjuk pada
maupun
B tidak dapat mem-
yakni dalam pasar kompetitif.
Ilustrasi ini memberikan dua kesimpulan penting.
Pertama, kemungkinan posisi efisiensi menurut kriteria
Pareto bisa terjadi di salah satu titik di sepanjang
kurva kontrak, dan titik mana yang dicapai tergantung
pada kekuatan tawar-menawar relatif yang dimiliki oleh
individu-individu
yang
melakukan transaksi.
Kedua ,
gugus titik-titik kurva kontrak berbeda-beda menurut
situasi distribusi pendapatan awal.
W1
bukan
W,
maka
Jika titik awal di
kemungkinan-kemungkinan
posisi
efisiensi Pareto terbatas hanya sepanjang C3C4.
Pendekatan kedua menghipotesakan bahwa
kontrak condong pada pemilik sumberdaya
meningkat
relatif
lebih
lainnya (Barzel, 1989).
ini,
dalam
hubungannya
tinggi
daripada
dengan
sumberdaya
pengembangan
relatif
kontrak
petunjuk mengenai
yang berlawanan dengan hipotesis itu.
pangsa
yang nilainya
Fakta yang dikemukakan berikut
Perhutanan Sosial, memberikan
perkembangan
struktur
ha1
Data
mengenai
faktor-faktor
produksi
tenaga kerja dan lahan di sub-sektor pertanian pangan,
dalam dekade 60-an
hingga
80-an,
memberikan petunjuk
Barang Y
Si A
Barang X
Keterangan:
IA, IB berturut-turut kurva
indiferen dari A dan B.
Gambar 1.1.
Konflik dan Pertukaran
( ~ c h m i d ,1987)
pertumbuhan yang pincang, yaitu faktor produksi lahan
mengungguli
tenaga
produktivitas
kerja.
marjinal
Dalam
tenaga
kerja
periode
ini,
ber'obah dengan
pertumbuhan negatif, sebaliknya produktivitas marjinal
lahan mengalami pertumbuhan positif (Tabel 1.2, halaman
12).
Dalam
keadaan
seperti ini,
(1989) akan memprediksi bahwa
model
Barzel
struktur kontrak akan
bergeser dari Pesanggem dan condong pada Perhutani.
Hal
ini
berlawanan
dengan
yaitu bahwa struktur
kontrak
diadopsi belakangan,
yang
kenyataan
yang
dijumpai,
Perhutanan
Sosial,
lebih condong pada fihak
Pesanggem, dibandingkan dengan kontrak Tumpang Sari.
Cara pendekatan pertama dan kedua (kesejahteraan
dan
ortodoks)
distribusi
tidak
dapat
pendapatan
yang
menjamin
bahwa
pola
dihasilkan
dari
suatu
kebijakan (atau proses perobahan) akan sesuai dengan
tujuan-tujuan yang ditetapkan secara normatif.
situasi
di
mana
faktor-faktor
kecenderungan
tenaga
pincang,
seperti
(halaman
12),
kerja
yang
perkembangan
dan
lahan
tergambar
peningkatan
pangsa
yang
dalam
pendapatan
Dalam
makin
Tabel
penduduk
1.2
di
sekitar hutan dengan mengandalkan mekanisme harga sukar
dicapai
.
Keterbatasan
dari
kedua
cara
pendekatan
merupakan konsekuensi dari asumsinya bahwa hanya harga-
Tabel 1.2.
Pertumbuhan Produktivitas Marjinal
Faktor Produksi Tenaga Kerja dan
Lahan di sub-Sektor Pertanian Pangan
Pertumbuhan per Tahun ( % )
Tenaga Kerja
Lahan
1964-74 dan 1975-85a
(Tanaman Pangan)
Kuant itas
Saham faktor
Produktivitas marjinal
40.8
-97.5
negatif
14.6
90.0
positif
1961/71 dan 1 9 8 0 / 8 ; ~ ~
(Padi Sawah)
Kuantitas
. Saham faktor
Produktivitas marjinal
-10.7
-27.8
negatif
16.3
18.9
positif
a ~ i o l a hdari Saragih, et al, 1988.
bDiolah dari Kasryno, et a , 1982.
harga
(dan
struktur
pasar)
yang
berperan
sebagai
mekanisme pengendali proses-proses perobahan ekonomik,
dan
mengabaikan
penilaian
institusional mengenai
menurut
kriteria-kriteria
konsekuensi-konsekuensi distri-
busional yang ditimbulkannya.
Keterbatasan ini dapat
diatasi dengan pendekatan institusional, antara lain
dengan model Impak Institusional (Schmid, 1987), yang
memperhitungkan pula kemungkinan-kemungkinan bekerjanya
mekanisme lain selain mekanisme harga.
Sama
halnya
dengan
model
Barzel
dalam
keefektifan
model
juga
(1989)
dari
Impak
Institusional,
memperhitungkan
struktur
hak-hak
perobahan
properti
(property rights) sebagai sumber ketakseimbangan dalam
sistem,
Dengan
mekanisme
harga,
proses
keseimbangan lebih bersifat tertentu.
pencapaian
Berbeda dengan
model Schmid (1987), yang memprediksi bahwa arah dari
proses
perobahan
alternatif,
mengandung
ditentukan
oleh
beberapa
struktur
kemungkinan
kekuatan
yang
bersumber dari faktor-f aktor selain harga dan struktur
pasar
.
Performa
distribusi
dari
suatu
maupun
aktivitas
efisiensi,
ditentukan oleh pola
ekonomik,
secara
alokasi sumberdaya.
baik
langsung
Keputusan
yang dibuat dalam alokasi sumberdaya ditentukan oleh
gugus
oportunitas
(opportunity
set)
yang
dimiliki
seseorang, Gugus oportunitas yang menentukan ekspektasi
mengenai sejauh mana keputusan yang dibuat akan efektif
dan dianggap wajar.
dari
institusi
Gugus oportunitas merupakan fungsi
(atau struktur hak-hak) dan karakter
interdependensi,
dan
dengan
sendirinya,
performa
ditentukan oleh interaksi antara struktur hak-hak dan
karakter interdependensi yang berlaku.
(1989)
hanya
memperhitungkan
Model Barzel
interdependensi
bersumber dari harga dan pasar kompetitif.
model
Schmid
(1987) juga melihat
yang
Sebaliknya,
faktor-faktor lain
sebagai penciri interdependensi antar pelaku ekonomi,
sehingga
lebih
cakupan
luas.
penelitian
fenomena
Bertolak
yang
dari
ini menerapkan
dapat
uraian
model
Impak
dijelaskannya
di
atas
maka
Institusional
dalam memahami sifat dari perkembangan kontrak Tumpang
Sari ke Perhutanan Sosial.
Dalam bentuk hubungan biaya-manfaat, struktur hakhak menentukan
dalam
ha1 apa saja yang seharusnya dicakup
kalkulasi biaya
diperhitungkan
sebagai
dan
ha1
apa
manfaat.
saja yang
Struktur
boleh
hubungan
biaya-manfaat inilah yang menjadi acuan dalam alokasi
sumberdaya.
Oleh
institusilah
sumberdaya
menentukan
yang
yang
pola
karena
itu,
disimpulkan
mendifinisikan
mana
efisien,
dengan
distribusi
dan
pendapatan;
pola
bahwa
alokasi
sendirinya
dan
bukanlah
sebaliknya, efisiensi dan distribusi yang mendifinisikan institusi (Schmid, 1987;
1982).
Runge, 1985;
Bromley,
Kontrak adalah suatu bentuk
institusi di taraf
operasional, yang berfungsi untuk menata struktur hakhak
berdasarkan
transaksi
(kelompok) individu.
yang
antar
berlangsung
Perobahan dalam keefektifan dari
hak-hak properti dapat mengakibatkan perobahan dalam
gugus
oportunitas
relatif,
dan
penataan
struktur
kontrak dimaksudkan untuk memanfaatkan potensi oportunitas yang ada.
Perobahan dalam struktur kontrak akan
merobah
oportunitas
gugus
sehingga
ekspektasinya
dari
setiap
mengenai
individu,
keefektifan
dari
keputusan alokasi sumberdaya juga berobah, dan pada
akhirnya
merobah
pula
performa
yang
dicapai.
Pertanyaan yang timbul: bagairnanakah kontrak Perhutanan
Sosial menata
struktur hak-hak
antara Perhutani dan
Pesanggem sehingga di satu fihak dapat meningkatkan
pendapatan Pesanggem, namun di lain fihak menciptakan
pola
distribusi
pendapatan
pada pihak
Perhutani?
kan ialah:
Perobahan dalam
yang masih sangat condong
Hipotesis yang dapat diturunkeefektifan dari hak-hak
properti, yang merupakan sumber dorongan bagi perkembangan
kontrak
Tumpang
Sari
ke
Perhutanan
Sosial,
secara langsung tidak disebabkan oleh faktor harga, dan
karena itu penataan kontrak (Perhutanan Sosial) juga
tidak
dikendalikan oleh
mekanisme
harga.
Perobahan
dalam
keefektifan hak-hak
properti
disebabkan oleh
perkembangan dari situasi interdependensi, dan pengaruh
dari persepsi publik mengenai kewajaran dari struktur
hak-hak
yang
terbentuk.
Karena
itu, perkembangan
situasi interdependensi juga berperan dalam menentukan
sejauh mana perkembangan dalam struktur kontrak akan
berlangsung.
Tuiuan Penelitian
3.
Dari berbagai laporan yang ada diperoleh petunjuk
bahwa jumlah penduduk merupakan faktor penting yang
perlu diperhitungkan di dalam analisis.
Faktor ini
membedakan karakteristik dari kondisi manajemen hutan
negara di Jawa dengan di luar Jawa, dalam kaitannya
dengan
ketersediaan
tenaga
kerja
dan
lapangan
pekerjaan, situasi interdependensi, dan pola penjabaran
program-program peningkatan taraf hidup penduduk di
sekitar
hutan.
Dalam
perspektif
inilah
masalah
penelitian dianalisa, dengan tujuan untuk mendapatkan
gambaran
mengenai
penduduk
terhadap
pertalian
lahan
antara:
hutan
dan
tekanan
masalah
jumlah
yang
ditimbulkannya, pengembangan struktur kontrak sebagai
suatu cara pendekatan masalah, dan peranan mekanisme
institusional
dalam
proses
pengembangan
kontrak.
Berdasarkan
pengetahuan mengenai ha1 itu, dicoba untuk
menemukan implikasinya bagi pemecahan masalah manajemen
hutan di Jawa,
Tujuan penelitian dicapai melalui sintesis hasilhasil
analisis
yang
diperoleh
kegiatan, sebagai berikut.
dari
serangkaian
Pertama, pengidentifikasian
masalah manajemen yang bersumber dari situasi tingginya
populasi
yang ada,
penduduk
dan
karakteristik
kondisi yang mendorong diterapkannya kontrak
Perhutanan Sosial,
dan mekanisme penataan struktur
kontrak Perhutanan Sosial.
yang
dihasilkan
Sosial.
interdependensi
dari
Kedua, menganalisa performa
penerapan
kontrak
Perhutanan
Ketiga, menganalisa prospek dari kontrak
Perhutanan Sosial dalam upaya peningkatan taraf hidup
penduduk di sekitar hutan,
4.
L i n q k u ~~enelitian
Aplikasi model Impak Institusional dalam analisis
pemecahan masalah-masalah mengenai hubungan institusi
dan
performa
keperluan.
yang
dihasilkan
dapat
memenuhi
dua
Pertama, untuk keperluan prediksi performa
yang cenderung akan dihasilkan dari suatu kebijakan
penataan
bagaimana
institusional.
interaksi
antara
Kedua,
untuk
struktur
menjelaskan
institusi
yang
ditata
dengan
sumber-sumber
interdependensi
dalam
menentukan performa tertentu.
Penelitian ini bermaksud
memenuhi
sehingga
kedua
keperluan,
dikatagorikan
sebagai analisis perkembangan institusional.
spesifik,
kontrak
fenomena
yang
Perhutanan
dianalisa
Sosial
ialah
sebagai
Secara
penataan
suatu
bentuk
institusi dalam upaya memecahkan masalah yang dihadapi.
Dalam
kegiatan
diperbandingkan
analisis,
dengan
struktur
kontrak
kontrak
Tumpang
Sari
ini
untuk
mendapatkan penjelasan mengenai proses perkembangan dan
performa yang dihasilkan.
Bangunan
tersusun
berjenjang dan
dari taraf
1987).
institusi
di
dalam
suatu
bertalian
atas ke bawah
masyarakat
secara fungsional
(Bromley, 1988;
Schmid,
Di taraf teratas, pembentukan institusi ber-
langsung
menurut
aturan-aturan
konstitusional.
Struktur institusional di taraf ini'menentukan gugus
oportunitas pada taraf di bawahnya, yang selanjutnya
menentukan pola transaksi di taraf operasional.
Pola
transaksi
pada
menentukan
alokasi
sumberdaya,
gilirannya menentukan performa ekonomik.
ini
memusatkan
dengan
asumsi
kepentingan
diri
hanya
bahwa
penduduk
pada
pemecahan
di
sekitar
taraf
~enelitian
operasional,
masalah
hutan
yang
mengenai
lebih banyak
berkaitan
langsung dengan proses penjabaran gagasan-
gagasan di taraf implementasi.
ini
belum
tersedia
secara
Informasi mengenai ha1
memadai,
padahal
sangat
dibutuhkan baik dalam upaya peningkatan performa maupun
untuk
kepentingan analisis di
sendirinya
pula,
taraf
implikasi-implikasi
atas.
Dengan
kebijakan
yang
akan diturunkan dari hasil analisis, secara langsung
hanya mengenai implementasi di taraf operasional.
Kontrak Tumpang Sari dan Perhutanan Sosial
secara
langsung bertalian dengan kegiatan peremajaan hutan,
yang merupakan tahap awal dari suatu siklus produksi
tanaman kayu.
Hanya karena jangka waktu kontrak Per-
hutanan Sosial lebih panjang sehingga rangkaian tahapan
yang dicakup bisa lebih dari satu tahap.
Sekalipun
begitu, pada dasarnya, hubungan kerja antara Perhutani
dan Pesanggem pada setiap tahapan kegiatan manajemen
hutan
tidaklah
berbeda.
Perbedaan
yang
berarti
dijumpai dalam hak Pesanggem Perhutanan Sosial untuk
memetik hasil tanaman tahunan, yang di dalam kontrak
Tumpang Sari tidak dimungkinkan karena berlaku hanya
untuk dua tahun pertama dari suatu siklus produksi.
Analisis didasarkan pada survei lapangan di dua
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH),
yang mencakup 50 dan
15.4 persen dari populasi KPH yang memiliki
Perhutanan
Sosial dari semua usial, berturut-turut, di Unit I Jawa
Tengah dan di semua unit di Jawa.
memberikan
Beberapa laporan
hasil
penelitian
petunjuk
antar
lokasi yang cukup nyata dalam beberapa
sosial-ekonomi dan agroklimat.
sasi
hasil-hasil
adanya
variasi
aspek
Karena itu, generali-
analisis mengenai
aspek-aspek
yang
berciri spesifik menurut lokasi, berdasarkan hanya pada
dua KPH (lokasi) contoh mengandung resiko penyimpangan
yang besar.
Sebaliknya, untuk aspek-aspek yang inheren
dalam sistem, generalisasi hasil-hasil analisis dapat
saja dilakukan tanpa resiko penyimpangan yang berarti.
Studi mengenai
kegiatan
produksi
fenomena kontrak dalam kegiatanpertanian
kontrak dalam kasus lain.
dilakukan.
Namun
relatif
telah
banyak
Hal ini disebabkan oleh
pengetahuan
ini
tidak
dapat
diterapkan begitu saja untuk menjelaskan fenomena sifat
kontrak yang sangat dipengaruhi oleh kondisi relevan
yang spesifik, yang bervariasi baik menurut waktu dan
tempat.
Demikian juga halnya dengan pengetahuan
yang
'~ata menurut situasi pada Tahun 1989.
Susunan
unit-unit
organisasi
manajemen
hutan
Perum
Perhutani dicantumkan dalam Lampiran C1.
diperoleh melalui penelitian ini, tidak
dapat
diterapkan
fenomena
kontrak
begitu saja
untuk menjelaskan, sebagai contoh,
HPH
(Hak Pengusahaan Hutan)
hubungannya
dengan
pemanfaatan
Perhutani,
Kondisi manajemen
hutan
hutan
dalam
negara
non-
Jawa
turut
di
dicirikan oleh padatnya populasi penduduk di sekitar
hutan yang umumnya bertaraf hidup rendah, dan secara
fisik mudah sekali menjangkau hutan.
Kontrak di sini
melibatkan Perhutani dan penduduk di sekitar hutan.
Kondisi-kondisi
seperti
ini
berbeda
dengan
yang
dijumpai dalam kasus HPH, yang melibatkan pemerintah
dan pengusaha yang dikuasakan untuk mengeksploitasikan
sumberdaya
berbeda,
hutan.
antara
Latar
kedua
belakang
permasalahan pun
tipe manajemen
hutan
negara.
Permasalahan manajemen hutan Perhutani terkait dengan
langsung
kepentingan
penduduk
di
pelibatan
secara
dalamnya.
Kontrak yang mengenai pemanfaatan hutan non-
Perhutani lebih didominasi oleh masalah kelangkaan dana
dari pemerintah untuk merealisasikan hak-hak properti
yang
dimilikinya.
penduduk
sumberdaya
di
Transaksi
sekitar
tenaga
kerja
hutan
dan
antara
Perhutani
terutama
lahan
hutan,
dan
melibatkan
sedangkan
dalam kontrak HPH melibatkan sumberdaya kapital dan
hutan.
5.
Oraanisasi Laporan
Penyajian laporan hasil penelitian disusun menurut
sistematika yang diangkat dari pola hubungan peubahpeubah dari kerangka analitik, dan tahapan analisis.
Kerangka analitik mencakup tiga peubah utama, yaitu
kondisi dan permasalahan dalam mana jemen hutan di Jawa
(bab ketiga), penataan struktur kontrak (bab keempat),
dan performa (bab kelima).
Proses analisis meliputi
dua tahap, yaitu tahap deskripsi (bab ketiga hingga
lima), dan tahap prediksi (bab keenam).
Rangkuman
seluruh hasil analisis dicantumkan dalam bab terakhir,
yaitu bab ketujuh.
Bab
kedua
memuat
deskripsi
mengenai
model
analisis, hipotesis pengujian, dan pendekatan empirik.
Sub-bab pertama memuat deskripsi mengenai model Impak
Institusional, sub-bab kedua dan tiga memuat kerangka
analitik dan hipotesis tentang model Perhutanan Sosial.
Metode' dan teknik analisis serta metode penelitian
dimuat dalam sub-bab tentang pendekatan empirik.
Bab
ketiga
memuat
gambaran
mengenai
situasi
perkembangan kontrak dalam manajemen hutan di Jawa.
Analisis dalam perspektif historik ini bertujuan untuk
menemukan
petunjuk-petunjuk
mengenai
kondisi
mendorong diadopsinya kontrak Perhutanan Sosial.
yang
Hasil analisis tentang penataan struktur kontrak
Perhutanan
kontrak
,
Sosial,
Tumpang
dalam
Sari,
perbandingannya
untuk
dengan
mengidentifikasikan
bagaimana strategi yang ditempuh oleh Perhutani dalam
mengendalikan
sumber-sumber
interdependensi
yang
berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya hutan yang
melibatkan penduduk di sekitar hutan, dicantumkan dalam
bab keempat.
Hasil analisis ditampilkan dalam bentuk
konfigurasi struktur kontrak, sebagai hasil dari proses
restrukturisasi hak-hak.
Berdasarkan
hasil
analisis dalam bab
keempat,
dilakukan identifikasi komponen-komponen performa, dan
analisis mengenai performa yang dihasilkan.
Hasil
analisis ini dicantumkan dalam bab kelima.
Bab keenam mencantumkan hasil analisis mengenai
prospek pengembangan dari pendekatan masalah manajemen
hutan
di
Jawa, di
mana
kontrak
Perhutanan Sosial
berkedudukan sebagai instrumen strateginya.
Analisis
ini didasarkan pada sintesis: (i) Hasil-hasil analisis
deskriptif dalam bab-bab sebelumnya, yang dkmuat dalam
sub-bab pertama;
dan (ii) Hasil aplikasi fungsi Logit,
untuk analisis kelanggengan kontrak Perhutanan Sosial,
dicantumkan dalam sub-bab kedua.
Bab terakhir, tujuh, memuat ringkasan dari penemuan penelitian, kesimpulan umum, dan implikasi-imlikasi.
Bahan-bahan ini merupakan rangkuman dari seluruh hasil
analisis
dalam
bab-bab
sebelumnya.
Kesimpulan-
kesimpulan dari analisis topik-topik spesifik tidak
dicantumkan di sini melainkan dalam setiap bab yang
bersangkutan.
Beberapa penjelasan yang merupakan suplemen bagi
bagian-bagian tertentu dalam isi utama laporan ini,
dicantumkan di dalam lampiran.
11.
KERANGKA TEORITIK DAN PENDEKATAN EMPIRIK
1
1.
Model Impak Institusional yang dikembangkan oleh
Allan
utama,
Schmid
(1987) dibangun
yaitu
dengan tiga
(i) Karakteristik
komponen
sumberdaya,
(ii)
Struktur hak-hak
(rights atau property rights), dan
(iii) Performa.
Berdasarkan
asumsi interdependensi
antara pelaku-pelaku ekonomi, model ini menjelaskan
proses
determinasi
performa
sebagai
resultan
dari
interaksi antara karakteristik sumberdaya dengan struktur hak-hak.
Untuk sumberdaya dengan karakteristik
yang sama akan menghasilkan performa yang berbeda jika
struktur hak-hak berbeda.
Demikian juga halnya, untuk
struktur hak-hak yang sama akan menghasilkan performa
Yang
berbeda-beda
jika
karakteristik yang berbeda.
sumberdaya
memiliki
(Lihat Gambar 2.1, halaman
26, yang menampilkan diagram dari model tersebut).
Karakteristik sumberdaya (la) menentukan karakteristik dari interdependensi (lb) antar pelaku-pelaku
ekonomi, yakni yang menentukan arah dan derajat dari
efek yang ditimbulkan oleh tindakan dari satu fihak
terhadap fihak lain.
Struktur hak-hak
distribusi biaya-manfaat, atau
hak-kewajiban antar
(2) menentukan
secara umum distribusi
pelaku-pelaku ekonomi yang terkait
Karakteristik
sumberdaya
(la)
(2)
Perilaku
<
Pola distribusi
dan alokasi
sumberdaya
Performa
ekonomik
Gambar 2.1.
Model Analisis Impak Institusional
(Schmid, 1987)
dal.am hubungan interdependensi.
Pola distribusi hak-
kewajiban ini ditanggapi oleh setiap individu menurut
perilakunya,
alokasi
yang
menentukan
sumberdaya,
performa (3).
pilihan
dan
pada
pola
distribusi
gilirannya
dan
menentukan
Struktur hak-hak (2) dikendalikan oleh
publik,
sebagai
suatu
bentuk
implementasi
kekuasaan, melalui mekanisme transaksi.
Karakteristik Interde~endensi
Allan Schmid (1987) membahas lima sumber interdependensi, tiga di antaranya yang dianggap relevan
dengan kasus yang diamati dalam penelitian ini ialah
biaya
transaksi,
pemanfaatan
tak
kompatibel
(incompatible-use), dan JIG ( joint-impact goods)l.
Biava transaksi.
Biaya transaksi terdiri dari
biaya kontrak, biaya (pengadaan) informasi, dan biaya
penyidikan
dengan
(policing).
proses
kontrak.
Biaya
pencapaian
Biaya
kegiatan mengukur
informasi
atau
kontrak
kesepakatan
berhubungan
dengan
mitra
merupakan konsekuensi dari
mengidentifikasikan
kuantitas
'DU~ yang lainnya:
skala ekonomis, dan surplus
serta permintaan-penawaran.
maupun kualitas produk pada saat sekarang ataupun saat
yang akan datang.
kegiatan
Biaya penyidikan berhubungan dengan
eksklusi.
kegiatan-kegiatan
Interdependensi
timbul
karena
dengan konsekuensi biaya transaksi,
secara ekonomik tidak layak untuk diterapkan sampai
tuntas.
Baik proses pendifinisian maupun klaim hak-hak
terkendala oleh
terhadap hasil
sumberdaya
yang
dikorbankan
yang dapat dicapai-
relatif
Ketidaktuntasan
dalam proses ini mengakibatkan sebagian dari atribut
sumberdaya jatuh ke dalam domein publik, dan situasi
ini mendorong pengurangan curahan sumberdaya di bawah
taraf optimal (shirking;
penunggangan
gratis
Barzel, 1989) atau perilaku
(free riding;
Perobahan dalam struktur hak-hak
Schmid,
1987)~.
dapat mengendalikan
interdependensi yang bersumber dari karakteristik biaya
transaksi.
Pemanfaatan
pemanfaatan
suatu
tak
kom~atibel.
sumberdaya oleh
Situasi
salah
rneniadakan atau mengurangi pemanfaatan oleh
di
satu
mana
fihak
fihak lain
'pada dasarnya, kedua konsep menun juk pada situasi
yang sama, yaitu kesenjangan antara biaya marjinal
(atau harga)
dengan penerimaan marjinal (atau
utilitas marjinal).
dikatagorikan
pemanfaatan
derajat
sebagai
yang
interdependensi
tidak
interdependensi
tingkat biaya eksklusi.
ini
berciri
Variasi
kompatibel.
tipe
yang
dalam
dipengaruhi
oleh
Situasi menjadi lebih rumit
dalam kasus pemanfaatan tidak kompatibel yang disertai
dengan
biaya
eksklusi
tinggi,
karena
ini
keadaan
mendorong berkembangnya perilaku penunggangan gratis.
Dalam situasi tanpa penunggangan gratis, isu distribusi
pendapatan bertalian hanya dengan masalah distribusi
hak dalam kaitan dengan kepemilikan.
Dengan adanya
penunggangan gratis, masalah meluas hingga menyangkut
Jika ha1 ini berkaitan dengan
aspek moral-yuridis.
manajemen sumberdaya yang mengenai hajat hidup orang
banyak,
isu distribusi
tidak
terlepas
dari
masalah
politik.
JIG-
~nterdependensi yang
dicirikan
oleh
situasi
di
bersumber
mana
dari
ketersediaan
JIG
suatu
'sumberdaya mempunyai efek terhadap utilitas dari dua
atau
lebih
Pemanfaatan
orang,
oleh
dalam
satu
waktu
individu
yang
bersamaan.
tidak
mengurangi
persediaan sumberdaya bersangkutan untuk dimanfaatkan
oleh
individu
menghabiskannya.
dicirikan
oleh
yang
lain,
Dalam
tingkat
yang
konteks
biaya
juga
biaya,
marjinal
tidak
situasi
setara
akan
ini
nol,
dengan unit pemakai sebagai acuannya bukan dengan unit
komoditi
.
Di
samping
kondisi
individu,
derajat
ditentukan
oleh
preferensi
dari
interdependensi dari
tingkat
biaya
individu-
katagori
pengelakan
(cost of
avoidance) dan derajat penyisihan (pre-emption).
sulit
(mudah)
pemanfaatan
(terkendala)
seseorang
bersama
ia
suatu
dalam
dirinya
sumberdaya,
makin
melakukan
antara preferensi dan taraf pemanfaatan.
(rendah)
derajat
penyisihan
seseorang makin sulit
menyalurkan
yang
dari
leluasa
penyesuaian
Makin tinggi
dimiliki
oleh
(mudah) bagi orang lain untuk
preferensinya
mempengaruhi
Makin
mengelakkan
upaya
JIG
kuantitas
melalui
ataupun
upaya
kualitas
untuk
(dalam
produksi) suatu sumberdaya.
Dalam situasi di mana kehadiran sumberdaya memberi
efek negatif terhadap utilitas seseorang, sementara itu
ia tidak dapat mengelak dan tidak berkemampuan untuk
menentukan taraf kuantitas ataupun kualitas sumberdaya,
situasi
interdependensi
pemanfaatan
dengan
ciri
yang
tidak
ini akan
mudah ditempuh.
menjadi
kompatibel.
hilang
identik
dengan
Interdependensi
jika pengelakan
sangat
Struktur Hak.
Hak
T i ~ eTransaksi.
merupakan
Kekuasaan. dan Perilaku
instrumen
yang
digunakan
oleh
masyarakat untuk mengendalikan dan menata interdependensi
antar
sesama
anggotanya
untuk
memecahkan
persoalan mengenai distribusi (Schmid, 1987).
operasional,
struktur
terjabarkan
hak-hak
perjanjian kontrak, yang
Di taraf
mendefinisikan
dalam
(distribusi)
hak dan kewajiban.
Perobahan
dalam
struktur
kontrak
melalui mekanisme transaksi tertentu.
mencatat
tiga
administratif,
tipe
dan
transaksi,
status
Schmid (1987)
yaitu
serta
berlangsung
tawar-menawar,
pemberian
(grant).
Tipe transaksi tawar-menawar meliputi transfer hak-hak
dua arah, yakni berlangsung menurut kesepakatan timbalbalik.
Dalam transaksi administratif dan status serta
pemberian, transfer hak berlangsung satu arah.
administratif
sedangkan
pada
memiliki
unsur
perintah
atau
Tipe
paksaan,
tipe status dan pemberian tidak
unsur tawar-menawar maupun perintah.
ada
Pada kedua tipe,
arah dari transfer hak-hak diatur oleh institusi yang
berlaku,
negara
yang
bersumber
dari
konstitusi
atau
hukum
(tipe administratif) dan aturan sosial-budaya
(tipe status dan pemberian).
Dalam kasus di mana penunggangan gratis menggejala
penerapan transaksi tawar-menawar relatif tidak efektif
karena individu cenderung menyembunyikan permintaannya
akan sumberdaya bersangkutan.
relatif
lebih
Transaksi administratif
efektif, terutama
dalam
menentukan
insentif (ataupun disinsentif) untuk menarik penunggang
gratis masuk kedalam sistem kontribusi dalam penyediaan
sumberdaya.
Namun,
karena
didalamnya
ada
unsur
paksaan, cara ini cenderung mengakibatkan penunggangan
secara
terpaksa
(unwilling
riding)
dari
individu
tertentu (Schmid, 1987).
Kekuasaaq.
implementasikan
Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengkepentingan
dari
satu
konflik dengan kepentingan fihak lain.
fihak
yang
Hal ini merupa-
kan fungsi dari hak, pilihan fihak lain, dan karakter
individu bersangkutan.
dipengaruhi
oleh
Oleh karena itu, keefektifannya
pengakuan
dari
fihak
lain,
dan
kemampuan dari individu pemilik hak ini dalam mempengaruhi (atau membatasi) pilihan yang dilakukan oleh
fihak lain.
Adanya peranan faktor hak sebagai salah
satu dimensi dari kekuasaan menunjukkan bahwa kekuasaan
merupakan produk dari institusi, baik yang bersumber
dari konstitusi negara maupun aturan-aturan sosialbudaya
.
Perilaku.
Perilaku merupakan
respons terhadap
struktur hak-hak yang terbentuk, yang terwujud dalam
pola
alokasi
kepentingan
sumberdaya,
maksimasi
yang
dimotivasi
minimasi).
(atau
oleh
Hal
ini
diterima shbagai suatu fenomena umum, karena mengasumsikan bahwa di dalam kalkulasi maksimasi
juga termasuk unsur-unsur non-material
(minimasi)
(Lihat Becker,
1976)'.
Beberapa
keperluan
catatan
penelitian
(Schmid, 1987).
yang
ini,
ada
relevansinya
ialah
dengan
sebagai
berikut
Pertama, kebajikan (benevolence) dapat
mencegah perilaku penunggangan gratis, sehingga apabila
perilaku
ini
menggejala,
dapat
dipandang
sebagai
indikasi bahwa kebajikan bukan merupakan perilaku yang
dominan
.
dalam tipe
Kedua, kebajikan dan kasih berperan penting
transaksi pemberian,
dalam kasus
utilitas
dari seseorang dipengaruhi pula oleh pengetahuan
perkiraan) tentang
utilitas
dari fihak lain.
(atau
Ketiga,
lpada hakikatnya perilaku dari setiap individu
ialah
maksimasi
(minimasi),
sekalipun
untuk
mencapainya ditempuh tindakan yang nampak bertentangan dengan asumsi more is preferred to less.
Contohnya, pajak pendapatan (sampai batas tertentu) tidak berpengaruh negatif terhadap utilitas
seseorang yang berperilaku altruisme.
perilaku
"pilihan tanpa perhitungan"
dengan
situasi
interdependensi karena biaya eksklusi tinggi.
Apabila
choice)
mempunyai
relevansi
khusus
(noncalculating
penunggangan gratis menggejala, ha1 itu dapat dijadikan
indikasi
bahwa
Pesanggem
didominasi
oleh
perilaku
pilihan tanpa perhitungan.
2.
Peranaka Analitik
Sumber Interde~endensi
Penduduk di sekitar hutan sangat bergantung pada
hutan sebagai sumber pendapatan keluarga.
Perhutani
juga tergantung pada hutan sebagai sumber pendapatan
negara
.
Berdasarkan
kenyataan
ini,
dalam
konteks
permasalahan yang telah diuraikan di muka, dapat diduga
bahwa
lahan hutan1 merupakan
faktor
bertalian dengan situasi interdependensi
pemanfaatan
ha1
ini
yang
dapat
tidak kompatibel.
dijelaskan,
dengan
utama
yang
dengan
ciri
Secara analitik
acuan
kegiatan
produksi dalam kontrak kerja sama, sebagai berikut.
l ~ e n ~ a sendirinya
n
pula, variasi menurut taraf
kesuburan dan faktor agroklimat turut memberi ciri
pada interdependensi.
Di
dalam
kontrak,
Perhutani
dan
Pesanggem
menangkap manfaat produksi dari hasil perpaduan faktorfaktor produksi
lahan
hutan
(T), tenaga
kerja
(L;
diasumsikan seluruhnya dari dalam keluarga Pesanggem)
dan kapital
berperan
(K).
Di taraf unit Andil1,
sebagai pengklaim
keduanya
residual, akan tetapi di
taraf manajemen sumberdaya hutan hanya Perhutani yang
berkedudukan
sebagai
pengklaim
Fungsi
residual.
produksi bagi Perhutani mengacu pada produksi komoditi
kayu, sedangkan bagi Pesanggem mengacu pada produksi
komoditi tanaman tumpang sari (pertanian).
residu net0 untuk Perhutani
Persamaan
(R1), untuk satu siklus
produksi dinyatakan sebagai:
di mana F(.), r, w, i f B1, dan k, berturut-turut adalah
fungsi (nilai) produksi, proporsi bidang lahan hutan
untuk
tanaman
tumpang
sari
( 0 1 ) tingkat
upah,
lsebutan yang menunjuk pada bidang lahan hutan
yang menjadi obyek dari hak garapan Pesanggem.
tingkat
harga
kapitall,
biaya
supervisi
dan
pengawasan2, dan uang kontrak yang diberikan kepada
Pesanggem.
Untuk r=O, seluruh bidang lahan digarap
hanya untuk tanaman kayu maka uang kontrak k=O, dan
pendapatan bagi
Pesanggem setara dengan wL.
Untuk
O