Produksi dan Reproduksi Ingatan

pembantaian di masing-masing daerah itu baru mulai terjadi pada tahun 1965 dan itupun pada bulan-bulan terakhir tahun tersebut?

3. Produksi dan Reproduksi Ingatan

Guna menjawab pertanyaan di atas, tak dapat dipungkiri bahwa tampaknya memang terdapat kesengajaan untuk mengarahkan atau bahkan memproduksi ingatan memory akan apa yang terjadi pada tahun 1965 itu menurut versi tertentu, untuk tujuan-tujuan tertentu pula. Misalnya saja penggunaan istilah G30SPKI. Meskipun sebenarnya dalang yang sebenarnya dari pembunuhan para Jendral itu belum jelas — bahkan ketika diketahui bahwa tokoh-tokoh kunci dari operasi militer itu adalah anggota militer — tetap saja digunakan istilah tersebut dengan maksud untuk memojokkan PKI. Bahkan penggunaan istilah Gestapu tampak sekali disengaja untuk mengasosiasikan operasi militer yang konon didalangi oleh PKI itu dengan tentara rahasia Jerman Gestapo yang terkenal kejamnya. Produksi ingatan akan apa yang terjadi pada tahun 1965 itu sudah dimulai ketika pada dua pekan pertama bulan Oktober hampir semua koran disensor, dan hanya koran-koran tertentu yang boleh terbit, khususnya harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Melalui koran-koran ini, dan melalui berbagai cerita yang beredar di masyarakat, dikisahkan mengenai berbagai kekejaman PKI di Halim Perdana Kusuma, seperti kisah pesta harum bunga, kisah pemotongan alat-alat vital, serta kisah pencungkilan mata yang sampai sekarang belum terbukti itu. [Brigjen TNI dr Rubiono Kertapati yang mengetuai tim dokter yang melakukan autopsi atas para korban menyatakan dalam laporan visum et repertum-nya bahwa tak ada penyiksaan atas tubuh para korban]. Lepas dari apakah orang setuju dengan PKI atau tidak, faktanya adalah bahwa hanya kisah-kisah versi militer yang memojokkannya yang boleh beredar pada waktu itu. Akibatnya, rakyat menjadi mudah disulut dalam tindakan massal untuk menghabisi para anggota PKI. Slogan yang beredar di masyarakat adalah “membunuh atau dibunuh”— persis slogan militer dalam perang. Pembunuhan massalpun terjadi, dan bagaikan Perang Baratayudha, bangsa Indonesia mandi darah saudara sendiri. Kemudian pembunuhan itu diikuti dengan pemenjaraan massal di Jawa maupun di luar Jawa, dan hampir semua tanpa didahului oleh proses pengadilan yang memadai. Selanjutnya, ingatan akan apa yang terjadi pada tahun 1965 menurut versi tertentu itu tidak hanya diproduksi melainkan juga terus direproduksi, karena produksi dan reproduksi macam itu menguntungkan sejumlah pihak, baik dari kalangan militer maupun sipil. Pembuatan, pemutaran dan pemaksaan untuk menonton film yang berjudul Pengkhianatan G30SPKI pada tahun 1980-an hingga 1990-an hanyalah salah satu contoh. Dalam film yang berat sebelah dan bernada propaganda itu ditunjukkan kekejaman yang terjadi pada dinihari 1 Oktober 1965 yang menurut film itu dilakukan oleh PKI. Bahkan ketika pada tahun 1998 pemutaran film itu dihentikan, penggantinya adalah film Bukan Sekedar Kenangan, yang isinya juga tetap secara berat sebelah mengingatkan orang akan kekejaman PKI di masa lalu, dan akan hadirnya bahaya laten PKI dalam kehidupan sehari-hari Schreiner: 2002. 529 Oleh kelompok kepentingan tertentu produksi dan reproduksi ingatan menurut versi tertentu atas tragedi ’65 itu penting, karena hal itu dapat digunakan untuk menakut-nakuti masyarakat sehingga mudah dikontrol. Ia menjadi semacam menara panoptik-nya Foucault yang berfungsi sebagai sistem pengawasan yang dominan tapi tak mudah diduga. Pembubuhan kode “ET” Eks Tapol pada KTP milik orang-orang yang melawan kebijakan penguasa, misalnya, membuat orang- orang itu ketakutan dan berpikir dua kali kalau tak mau tunduk pada pemerintah.

4. Konsekuensi lebih jauh