Oleh kelompok kepentingan tertentu produksi dan reproduksi ingatan menurut versi tertentu atas tragedi ’65 itu penting, karena hal itu dapat digunakan untuk
menakut-nakuti masyarakat sehingga mudah dikontrol. Ia menjadi semacam menara panoptik-nya Foucault yang berfungsi sebagai sistem pengawasan yang
dominan tapi tak mudah diduga. Pembubuhan kode “ET” Eks Tapol pada KTP milik orang-orang yang melawan kebijakan penguasa, misalnya, membuat orang-
orang itu ketakutan dan berpikir dua kali kalau tak mau tunduk pada pemerintah.
4. Konsekuensi lebih jauh
Lebih daripada sekedar membuat takutnya orang-orang yang KTP-nya dicap “ET”, produksi dan reproduksi ingatan oleh penguasa yang bersifat sepihak juga
memiliki konsekuensi lebih jauh bagi kehidupan bersama sebagai bangsa. Salah satunya ialah bahwa ingatan masyarakat akan apa yang terjadi pada tahun 1965
itu menjadi kabur dan campur aduk. Masyarakat bahkan sulit membedakan antara a operasi militer yang dilakukan oleh Letkol Untung dan kawan-kawan
dengan b pembunuhan massal terhadap rakyat Indonesia oleh rakyat Indonesia, serta c berbagai upaya produksi dan reproduksi ingatan akan tahun
1965 yang dimanipulasi.
Kebiasaan memusatkan peringatan Tragedi ’65 pada bulan September adalah contoh bagaimana masyarakat mengira bahwa “puncak” tragedi itu ada pada
bulan September. Seakan-akan pada bulan tersebutlah tragedi itu terjadi. Padahal pembunuhan para Jendral itu terjadi pada bulan Oktober, dan pada
bulan Oktober pula mulai terjadi pembantaian massal di Jawa Tengah, yang kemudian terus berlangsung pada bulan November, Desember, dst. [Sudah
saatnya peringatan Tragedi ’65 digeser ke bulan Oktober atau setelahnya, supaya kita bisa belajar untuk tidak saling membunuh].
Tidak lengkapnya ingatan masyarakat akan apa yang terjadi pada tahun 1965 itu juga membuat tidak adanya upaya hukum untuk secara serius mengadili para
pemberi komando maupun para pelaku lapangan pembantaian massal itu. Mahmilub yang diadakan pada waktu itu terkesan lebih dimaksudkan untuk
memposisikan tokoh-tokoh PKI dan para pelaku G30S sedemikian rupa agar mudah dijatuhi hukuman mati. Selain itu juga dimaksudkan untuk menciptakan
ketakutan terhadap mereka yang punya afiliasi dengan komunisme atau terhadap setiap gerakan kiri di negeri ini.
Konsekuensi praktisnya ialah, kalau membunuh ratusan ribu orang saja dibiarkan, orang akan merasa tidak apa-apa ketika melakukan tindakan-tindakan
lain yang sebenarnya jahat, tetapi ia pandang “lebih ringan” daripada apa yang terjadi pada tahun 1965 itu. Misalnya tindakan melakukan penculikan dan
pembunuhan atas beberapa mahasiswa, mencuri beberapa milyar rupiah uang negara, menjual sumber-sumber daya alam ke negara lain, atau memprovokasi
konflik-konflik horisontal yang korbannya “hanya” beberapa ribu orang, dsb. Akibat selanjutnya adalah begitu banyaknya kasus pelanggaran hak-hak asasi
manusia HAM berat yang tak pernah diselesaikan secara tuntas di pengadilan, entah itu berkaitan dengan masalah Maluku, Aceh, Poso, Tanjung Priok, Timor
Leste, atau yang lain. Situasi demikian tentu tak dapat dibiarkan terus berlang- sung. Untuk itu perlu segera dicarikan jalan keluarnya. Jika tidak, keadaan akan
530
terus memburuk dan masa depan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa yang adil dan demokratis akan semakin dipertanyakan.
5. Belajar dari Sejarah