Sintesis Basa Schiff Dari Hasil Kondensasi Sinamaldehida Dengan Etilendiamin dan Fenilhidrazin Serta Pemanfaatannya Sebagai Inhibitor Korosi Pada Logam Seng

(1)

SINTESIS BASA SCHIFF DARI HASIL KONDENSASI

SINAMALDEHIDA DENGAN ETILENDIAMIN DAN

FENILHIDRAZIN SERTA PEMANFAATANNYA

SEBAGAI INHIBITOR KOROSI

PADA LOGAM SENG

SKRIPSI

ROYMPUS MANALU

100802067

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

SINTESIS BASA SCHIFF DARI HASIL KONDENSASI

SINAMALDEHIDA DENGAN ETILENDIAMIN DAN

FENILHIDRAZIN SERTA PEMANFAATANNYA

SEBAGAI INHIBITOR KOROSI

PADA LOGAM SENG

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar sarjana sains

ROYMPUS MANALU

100802067

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(3)

PERSETUJUAN

Judul : Sintesis Basa Schiff Dari Hasil Kondensasi

Sinamaldehida Dengan Etilendiamin Dan

Fenilhidrazin Serta Pemanfaatannya Sebagai Inhibitor Korosi Pada Logam Seng

Kategori : Skripsi

Nama Mahasiswa : Roympus Manalu

Nomor Induk Mahasiswa : 100802067

Program Studi : Sarjana (S1) Kimia

Departemen : Kimia

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam (FMIPA) Universitas Sumatera Utara

Disetujui di

Medan, Oktober 2015

Komisi Pembimbing :

Pembimbing II

Dra. Herlince Sihotang, M.Si

NIP.195503251986012002

Pembimbing I

Dr.Mimpin Ginting, M.S

NIP. 195510131986011001

Diketahui/ Disetujui oleh

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

Dr. Rumondang Bulan Nst, MS NIP: 1954 0830 1985 032001


(4)

PERNYATAAN

SINTESIS BASA SCHIFF DARI HASIL KONDENSASI SINAMALDEHIDA DENGAN ETILENDIAMIN DAN FENILHIDRAZIN SERTA

PEMANFAATANNYA SEBAGAI INHIBITOR KOROSI PADA LOGAM SENG

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Oktober 2015

ROYMPUS MANALU 100802067


(5)

PENGHARGAAN

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini sesuai rencana dan kehendaknya. Banyak hal sebagai pembelajaran dan pembentukan dalam setiap waktu penulis rasakan sehingga semakin melihat dan merasakan kebaikan dan kebesaran-Nya. Dalam pelaksaan penelitian hingga penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari banyak mendapat bantuan, motivasi dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr.Mimpin Ginting,MS sebagai pembimbing I dan Ibu Dra.Herlince Sihotang,M.Si sebagai pembimbing II yang dengan sabar telah memberikan dorongan, bimbingan dan saran sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

2. Ibu Dr.Rumondang Bulan,M.S dan Bapak Drs.Albert pasaribu,M.sc sebagai Ketua dan Sekretaris Departemen Kimia FMIPA USU.

3. Bapak Prof.Dr.Jamaran Kaban,M.sc selaku ketua bidang Kimia Organik FMIPA USU.

4. Kepala Laboratorium Kimia Organik FMIPA USU Medan Bapak Dr.Mimpin Ginting,MS beserta Dosen dan Staff Laboratorium Kimia Organik FMIPA USU. 5. Seluruh Dosen Departemen Kimia FMIPA USU yang telah memberikan waktunya

untuk memberi bimbingan selama penulis mengikuti kuliah di Departemen Kimia FMIPA USU, terkhusus kepada Ibu Dr. Andriayani,M.Si sebagai dosen wali yang telah memberikan waktunya untuk memberikan pengarahan dalam menyelesaikan studi selama perkuliahan dan penelitian berlangsung.

6. Seluruh asisten kimia organik yang sangat luar biasa dalam membantu penulis ( Yabes, Dian, Lianta, Daniel, Bernard, Hotlan,Yulia, Friska, Oesrima, Hardy,

Eben, dan Sevty).

7. Para rekan juang “Catalyst” 2010, rekan juang KCC Family, sarangheo community terkhusus kepada ( Ria Agnes Manalu S.Si dan Irna Sari Manalu) yang menjadi saudara kandung selama perkuliahan yang telah banyak membantu dalam memberi semangat dan motivasi kepada penulis untuk melakukan penelitian ini serta abang dan adik dari stambuk 2007-2014.

8. Kepada semua pihak yang tidak disebutkan namun telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Akhirnya saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada orangtua saya (A.Manalu dan N.Silaban) yang telah memberi seluruh dukungan sarana dan prasarana dan semangat bahkan dengan setia terus membantu penulis dalam doa, serta kakak tercinta Irawati Manalu dan adik-adik tercinta Lestaria Manalu, Kliwon Manalu Vaber manalu atas doa dan dukunganya. Skripsi ini saya persembahkan untuk kita semua. Semoga Tuhan senantiasa memberkati kita.


(6)

SINTESIS BASA SCHIFF DARI HASIL KONDENSASI SINAMALDEHIDA DENGAN ETILENDIAMIN DAN FENILHIDRAZIN SERTA

PEMANFAATANNYA SEBAGAI INHIBITOR KOROSI PADA LOGAM SENG

ABSTRAK

Telah dilakukan sintesis Basa Schiff melalui reaksi kondensasi sinamaldehida dengan dua sumber amina primer yaitu etilendiamin (Basa Schiff I) dan fenilhidrazin (Basa Schiff II). Kondensasi sinamaldehida dengan etilendiamin dilakukan dengan cara refluks dalam pelarut etanol selama 5 jam, sedangkan untuk fenilhidrazin dilakukan dengan cara refluks dalam pelarut etanol selama 1 jam. Dari 13,2 g sinamaldehida yang dikondensasikan dengan 2,4 g etilendiamin dihasilkan 8,40 g Basa Schiff yang kemudian dianalisa melalui spektroskopi FT-IR menunjukkan adanya uluran C=N pada puncak spektrum daerah bilangan gelombang 1627,92 cm-1. Reaksi lainnya pada 13,2 g sinamaldehida yang dikondensasikan dengan fenilhidrazin 5,4 g dihasilkan 9,54 g Basa Schiff yang kemudian dianalisa melalui spektroskopi FT-IR menunjukkan adanya uluran C=N pada puncak spektrum daerah bilangan gelombang 1597,06 cm-1. Analisa dengan spektroskopi UV-Vis memberikan pita serapan 403 nm untuk basa schiff I dan 360 nm untuk basa schiff II. Hasil pengujian efisiensi inhibitor korosi Basa Schiff terhadap logam seng dalam HCl 0,1 N memberikan nilai efisiensi terbesar adalah Basa Schiff hasil reaksi sinamaldehida dengan etilendiamin (Basa Schiff I) pada konsentrasi 7000 ppm yaitu sebesar 90,17 %. Sedangkan untuk sinamaldehida, etilendiamin, fenilhidrazin dan Basa Schiff hasil reaksi sinamaldehida dengan fenilhidrazin (Basa Schiff II) hanya sebesar 58,18 %, 50,04 %, 35,01 % dan 78,47 %.

Kata kunci: Sinamaldehida, Basa Schiff, Etilendiamin, Fenilhidrazin, Korosi, Inhibitor korosi


(7)

SCHIFF BASE SYNTHESIS FROM CONDENSATION OF

CINNAMALDEHYDE WITH ETHYLENEDIAMINE AND PHENYLHYDRAZINE AS CORROSION

INHIBITOR OF ZINK METAL

ABSTRACT

It had been synthesis of Base Schiff by condensation reaction cinnamaldehide with two primery ammine sources were ethylenediamine (Base Schiff I) and phenylhydrazine (Schiff Base II). Cinnamaldehyde condensation with ethylenediamine was done by reflux into ethanol solvent in 5 hours and with phenylhydrazine was done by reflux into ethanol solvent in 1 hour. 13,2 g cinnamaldehyde that condensated with 2,4 g ethylenediamine was resulted 8,40 g Schiff Base then analysed by FT-IR Spectroscopy which show there is C=N at wave number spectrum peaks was 1627,92 cm-1. 13,2 g cinnamaldehyde that condensated with 5,4 g phenylhydrazine was resulted 9,54 g Schiff Base then analysed by FT -IR Spectroscopy which shows C=N at wave number spectrum peaks was 1597,06 cm-1. UV-Vis analysis give absorbance of 403 nm for schiff base I and 360 nm for schiff base II. Results of testing the efficiency of the zinc metal corrosion inhibitor in 0.1 N HCl give the highest efficiency value was Schiff Base from reaction result of cinnamaldehide with ethylenediamine (Base Schiff I) at 7000 ppm concentration as 90,17 %. And cinnamaldehyde , ethylenediamine, phenylhydrazine and Schiff Base from reaction result of cinnamaldehyde with phenylhydrazine (Schiff Base II) as 58,18 %, 50,04 %, 35,01 % and 78,47 %.

Keywords : Cinnamaldehyde, Schiff Base, Ethylenediamine, Phenylhydrazine, Corotion, Corotion Inhibitor


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel x

Daftar Gambar xi

Daftar lampiran xii

Bab 1 Pendahuluan 1

1.1 Latar Belakang 1

4 4 5 5 5 6

1.2 Permasalahan 1.3 Pembatasan Masalah 1.4 Tujuan Penelitian 1.5 Manfaat Penelitian 1.6 Lokasi Penelitian 1.7 Metodologi Penelitian Bab 2 Tinjauan Pustaka 7

2.1 Aldehida 7

10 12 13 13 18 19 22 22 25

2.2 Sinamaldehida 2.3 Etilendiamin 2.4 Fenilhidrazin 2.5 Basa Schiff 2.6 Logam Seng 2.7 Korosi 2.8 Dampak Korosi 2.9 Inhibitor Korosi 2.10 Teknik Penentuan Efisiensi Korosi Bab 3 Metode Penelitian 26

3.1 Alat-Alat 26

26

27

3.2 Bahan-Bahan 3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Sintesis Basa Schiff dari Sinamaldehida diikuti Kondensasi dengan Etilendiamin (Basa Schiff I) 27

27 28 28 28 28 28 29 29 3.3.2 Sintesis Basa Schiff dari Sinamaldehida diikuti Kondensasi

dengan Fenilhidrazin (Basa Schiff II) 3.3.3

3.3.4 3.3.5

Analisa dengan Spektroskopi FT-IR Analisa dengan Spektroskopi UV-Vis Penentuan Efisiensi Inhibitor

3.3.5.1 Persiapan Spesimen

3.3.5.2 Pembuatan larutan Induk Korosi 3.3.5.3 Pembuatan larutan Induk Inhibitor 3.3.5.4 Uji Efisiensi Inhibitor


(9)

3.4 Bagan penelitian

3.4.1 Sintesis basa Schiff dari Sinamaldehida diikuti Kondensasi

dengan Etilendiamin (Basa Schiff I) 30

31 32 33 3.4.2 Sintesis basa Schiff dari Sinamaldehida diikuti Kondensasi

dengan Fenilhidrazin (Basa Schiff II)

3.4.3 Pembuatan Variasi Konsentrasi Larutan Induk Inhibitor 3.4.4 Penetuan Efisiensi Korosi

Bab 4 Hasil dan Pembahasan

4.1 Hasil 35

4.1.1 Sintesis Basa Schiff dari Sinamaldehida diikuti Kondensasi

dengan Etilendiamin (Basa Schiff I) 35

37 39 4.1.2 Sintesis Basa Schiff dari Sinamaldehida diikuti Kondensasi

dengan Fenilhidrazin (Basa Schiff II) 4.1.3 Penentuan Efisiensi Korosi

4.2 Pembahasan 45

4.2.1 Hasil Sintesi Basa Schiff Melalui Reaksi Kondensasi antara

Sinamaldehida dengan Etilendiamin (Basa Schiff I) 45 47 50 4.2.2 Hasil Sintesi Basa Schiff Melalui Reaksi Kondensasi antara

Sinamaldehida dengan Fenilhidrazin (Basa Schiff II) 4.2.3 Hasil Penentuan Efisiensi Korosi

4.2.3.1 Pengaruh Waktu Perendaman terhadap Kehilangan

Berat Lempeng Seng dalam Media Korosi HCl 0,1 N 51 51

53 4.2.3.2 Pengaruh Konsentrasi Inhibitor terhadap Kehilangan

Berat Lempeng Seng dalam Media Korosi HCl 0,1 N 4.2.3.3 Pengaruh Penambahan Inhibitor terhadap Efisiensi

Inhibitor pada Lempeng Seng dalam Media Korosi HCl 0,1 N

Bab 5 Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan 54

54 5.2 Saran

Daftar Pustaka 55


(10)

DAFTAR TABEL Nomor Tabel 4.1 Judul

Sifat fisik Basa Schiff

Halaman 39 4.2 4.3

Spektrum UV-Vis dan Rumus Molekul Sinamaldehida dan Basa Schiff Hasil Perendaman Lempeng Seng Tanpa Penggunaan Inhibitor dalaam Larutan Media Korosif HCl 0,1 N

39 40

4.4 Hasil Perendaman Lempeng Seng dengan Menggunakan Inhibitor Sinamaldehida dalam Larutan Media Korosif HCl0,1N

40

4.5 Hasil Perendaman Lempeng Seng dengan Menggunakan Inhibitor Fenilhidrazin dalam Larutan Media Korosif HCl 0,1 N

41 4.6 Hasil Perendaman Lempeng Seng dengan Menggunakan

Inhibitor Etilendiamin dalam Larutan Media Korosif HCl 0,1 N

42 4.7 Hasil Perendaman Lempeng Seng dengan Menggunakan

Inhibitor Basa Schiff I dalam Larutan Media Korosif HCl 0,1N

43 4.8 Hasil Perendaman Lempeng Seng dengan Menggunakan

Inhibitor Basa Schiff II dalam Larutan Media Korosif HCl 0,1 N

44


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar

Judul Halaman

2.1 Struktur Kimia Aldehida 7

2.2 2.3 2.4

Struktur 3-Metil Butanal

Reaksi Aldehida dengan Beberapa Senyawa: Air, Alkohol, Hidrogen Sianida, dan Amonia

Reaksi Kondensasi Aldol Silang pada Sintesa Sinamaldehida

7 9 11 2.5 2.6

Reaksi Sinamaldehida dengan Beberapa Senyawa: Larutan Bromida, KmnO4, dan LiAlH4

Struktur Kimia Etilendiamin

11 12

2.7 Struktur Kimia Fenilhidrazin 13

2.8 Reaksi Pembentukan N-(1,1-dimetil etil)-2 metil propilimina 14 2.9 2.10 2.11 2.12 2.13 2.14

Reaksi Pembentukan Benzilideneaniline

Reaksi Sintesis Basa Schiff dengan Turunan Logam Kobalt (II)

Reaksi Pembentukan Basa Schiff dari Kitosan Reaksi Pembentukan Zink Murni

Reaksi Korosi padaBesi

Beberapa Cara Kerja Inhibitor pada Logam

15 15 16 18 20 23

4.1 Spektrum FT-IR Basa Schiff I 36

4.2 4.3 4.4 4.5

Spektrum UV-Vis Sinamaldehida Spektrum UV-Vis Basa Schiff I Spektrum FT-IR Basa Schiff II Spektrum UV-Vis Basa Schiff II

36 37 38 38

4.6 Reaksi Pembentukan Basa Schiff I 45

4.7 Reaksi Pembentukan Basa Schiff II 47

4.8 4.9

Tahapan Reaksi Pembentukan basa Schiff I Grafik Pengaruh Konsentrasi Inhibitor dan Waktu Perendaman Terhadap Kehilangan Berat Lempeng Seng dalam Larutan HCl 0,1N

49

52 4.9 Grafik Pengaruh Konsentrasi Inhibitor terhadap Efisiensi

Inhibitor

53


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran

Judul Halaman

1 2 3 4 5 6

Spektrum FT-IR Sinamaldehida

Spektrum FT-IR basa Schiff I dengan perbandingan mol (2:1) waktu refluks 4 jam

Stoikiometri basa Schiff I Stoikiometri basa Schiff II Hasil analisa KLT

Data Hasil Perhitungan Efisiensi Inhibitor Korosif

61 61 62 62 62 63

7 Alat-Alat yang Digunakan dalam Penelitian 72

8 9

Hasil yang Diperoleh dalam Penelitian

Uji Efisiensi Korosi pada Logam Seng

72 72


(13)

SINTESIS BASA SCHIFF DARI HASIL KONDENSASI SINAMALDEHIDA DENGAN ETILENDIAMIN DAN FENILHIDRAZIN SERTA

PEMANFAATANNYA SEBAGAI INHIBITOR KOROSI PADA LOGAM SENG

ABSTRAK

Telah dilakukan sintesis Basa Schiff melalui reaksi kondensasi sinamaldehida dengan dua sumber amina primer yaitu etilendiamin (Basa Schiff I) dan fenilhidrazin (Basa Schiff II). Kondensasi sinamaldehida dengan etilendiamin dilakukan dengan cara refluks dalam pelarut etanol selama 5 jam, sedangkan untuk fenilhidrazin dilakukan dengan cara refluks dalam pelarut etanol selama 1 jam. Dari 13,2 g sinamaldehida yang dikondensasikan dengan 2,4 g etilendiamin dihasilkan 8,40 g Basa Schiff yang kemudian dianalisa melalui spektroskopi FT-IR menunjukkan adanya uluran C=N pada puncak spektrum daerah bilangan gelombang 1627,92 cm-1. Reaksi lainnya pada 13,2 g sinamaldehida yang dikondensasikan dengan fenilhidrazin 5,4 g dihasilkan 9,54 g Basa Schiff yang kemudian dianalisa melalui spektroskopi FT-IR menunjukkan adanya uluran C=N pada puncak spektrum daerah bilangan gelombang 1597,06 cm-1. Analisa dengan spektroskopi UV-Vis memberikan pita serapan 403 nm untuk basa schiff I dan 360 nm untuk basa schiff II. Hasil pengujian efisiensi inhibitor korosi Basa Schiff terhadap logam seng dalam HCl 0,1 N memberikan nilai efisiensi terbesar adalah Basa Schiff hasil reaksi sinamaldehida dengan etilendiamin (Basa Schiff I) pada konsentrasi 7000 ppm yaitu sebesar 90,17 %. Sedangkan untuk sinamaldehida, etilendiamin, fenilhidrazin dan Basa Schiff hasil reaksi sinamaldehida dengan fenilhidrazin (Basa Schiff II) hanya sebesar 58,18 %, 50,04 %, 35,01 % dan 78,47 %.

Kata kunci: Sinamaldehida, Basa Schiff, Etilendiamin, Fenilhidrazin, Korosi, Inhibitor korosi


(14)

SCHIFF BASE SYNTHESIS FROM CONDENSATION OF

CINNAMALDEHYDE WITH ETHYLENEDIAMINE AND PHENYLHYDRAZINE AS CORROSION

INHIBITOR OF ZINK METAL

ABSTRACT

It had been synthesis of Base Schiff by condensation reaction cinnamaldehide with two primery ammine sources were ethylenediamine (Base Schiff I) and phenylhydrazine (Schiff Base II). Cinnamaldehyde condensation with ethylenediamine was done by reflux into ethanol solvent in 5 hours and with phenylhydrazine was done by reflux into ethanol solvent in 1 hour. 13,2 g cinnamaldehyde that condensated with 2,4 g ethylenediamine was resulted 8,40 g Schiff Base then analysed by FT-IR Spectroscopy which show there is C=N at wave number spectrum peaks was 1627,92 cm-1. 13,2 g cinnamaldehyde that condensated with 5,4 g phenylhydrazine was resulted 9,54 g Schiff Base then analysed by FT -IR Spectroscopy which shows C=N at wave number spectrum peaks was 1597,06 cm-1. UV-Vis analysis give absorbance of 403 nm for schiff base I and 360 nm for schiff base II. Results of testing the efficiency of the zinc metal corrosion inhibitor in 0.1 N HCl give the highest efficiency value was Schiff Base from reaction result of cinnamaldehide with ethylenediamine (Base Schiff I) at 7000 ppm concentration as 90,17 %. And cinnamaldehyde , ethylenediamine, phenylhydrazine and Schiff Base from reaction result of cinnamaldehyde with phenylhydrazine (Schiff Base II) as 58,18 %, 50,04 %, 35,01 % and 78,47 %.

Keywords : Cinnamaldehyde, Schiff Base, Ethylenediamine, Phenylhydrazine, Corotion, Corotion Inhibitor


(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Korosi adalah suatu proses perusakan logam, dimana logam akan mengalami penurunan mutu (degradation) karena bereaksi dengan lingkungan baik itu secara kimia atau elektrokimia pada waktu pemakaian (Siti, 2008). Indonesia merupakan Negara beriklim tropis dengan tingkat curah hujan dan kelembapan yang tinggi serta polusi udara, dan industri akan mempercepat terjadinya proses korosi (Fajar, 2013). Korosi terjadi pada semua logam terutama yang berhubungan langsung dengan udara dan cairan yang korosif. Logam seng, tembaga, besi, baja dan berbagai logam lainnya banyak digunakan dalam membuat perlengkapan sehari-hari karena mempunyai beberapa sifat yang menguntungkan antara lain kuat, keras, dan tahan lama (Suhartanti, 2005). Bahan logam mudah mengalami kerusakan dan kehilangan fungsi akibat proses alam dimana korosi pada alat tersebut tidak dapat dicegah tetapi lajunya dapat dikurangi (Callister, 1991). Korosi terhadap logam dapat ditiadakan asal tidak terdapat elektrolit, namun hal ini suatu hal yang sulit (Vlack, 1995).

Sejauh ini pencegahan korosi yang efektif dilakukan dengan metode penambahan inhibitor korosi (Hermawan, 2007). Umumnya inhibitor korosi berasal dari senyawa organik dan anorganik (Umoren et al, 2011). Senyawa dari bahan anorganik seperti fosfat, kromat, nitrit, borak dan silikat dapat digunakan sebagai inhibitor korosi baik sebagai inhibitor kationik, anionik, maupun campuran, ternyata penggunaaannya kurang ramah lingkungan. Pengembangan inhibitor korosi tersebut diarahkan ke sektor berbasis organik yang mengandung unsur nitrogen, oksigen, belerang, dan fosfor yang dapat menurunkan laju penyerapan lingkungan penyebab suatu korosi terhadap suatu logam karena adanya gugus fungsi yang mengandung atom-atom yang dapat membentuk ikatan dengan logam yang membentuk kompleks terlarut maupun kompleks mengendap (Dalimunthe, 2004).


(16)

Basa schiff merupakan senyawa imina dengan karakteristik ikatan C=N. Derivat ini bisa diperoleh melalui kondensasi amina primer dengan senyawa karbonil seperti aldehid maupun keton (Agung et al, 2009). Salah satu hal yang menarik dari basa Schiff bahwa penggunaannya sebagai suatu inhibitor korosi yang efektif, dimana didasarkan pada kemampuan secara spontan membentuk suatu lapisan pada permukaaan agar terlindung dari korosi. Banyak inhibitor komersial termasuk aldehid atau amina, tetapi adanya ikatan C=N pada basa Schiff lebih efisien pada banyak kasus salah satunya sebagai inhibitor korosi. Prinsip interaksi antara inhibitor dengan permukaan logam adalah adsorpsi kimia (Ashraf et al, 2011).

Sinamaldehida adalah turunan sinamat dimana disamping dapat disintesis, juga merupakan komponen utama minyak kayu manis (Guenther,1990). Pemanfaatan senyawa ini masih sangat terbatas, sehingga perlu dilakukan upaya pengubahan sinamaldehida menjadi senyawa turunannya yang lebih berdaya guna. Berdasarkan struktur kimianya, sinamaldehida mempunyai cincin benzen, gugus alkena dan gugus

aldehida, sehingga memungkinkan untuk diubah menjadi gugus fungsi lain (Ngawidiyana et al, 2007). Gugus aldehida pada sinamaldehida tersebut jika

direaksikan dengan amina primer dapat membentuk imina. Imina yang tersubsitusi disebut dengan basa Schiff (Solomon, 1994).

Beberapa hasil penelitian sebelumnya telah mengkaji bahwa basa Schiff yang

mengandung gugus RCH=NR’ sebagai inhibitor korosi diantaranya basa Schiff hasil

kondensasi sinamaldehida dengan 2-aminofenol dan mengujikan basa Schiff tersebut terhadap logam baja dalam media HCl 0,5N dan diperoleh nilai efisiensi inhibitor sebesar 92,02% sedangkan kondensasi sinamaldehida dengan fenildiamin dan mengujikan basa Schiff tersebut pada logam baja dalam media HCl 0,5N diperoleh nilai efisiensi sebesar 94,62% (Qasim, 2011). Peneliti lainnya juga telah memanfaatkan asam lemak tidak jenuh dari minyak nabati sebagai sumber aldehida melalui reaksi ozonolisis yang selanjutnya dikondensasikan dengan amina primer, diantaranya basa Schiff hasil kondensasi antara aldehida metil oleat dengan etilendiamin dan anilina sebagai sumber amina primer dimana pengujiannya digunakan sebagai inhibitor korosi terhadap logam seng dalam media HCl 0,1N dimana memberikan nilai efisiensi inhibisi korosi sebesar 73,30% untuk etilendiamin


(17)

pada konsentrasi7000 ppm dan untuk anilina sebesar 80,09% pada konsentrasi 7000 ppm (Febriany, 2014). Demikian juga basa Schiff hasil kondensasi antara aldehida metil ester asam lemak turunan kelapa sawit dengan aniline dan fenilhidrazin sebagai sumber amina primer dimana pengujiannya sebagai inhibitor korosi terhadap logam seng dalam media HCl 0,1N dimana memberikan nilai efisiensi inhibisi korosi sebesar 85,44% untuk fenilhidrazin pada konsentrasi 7000 ppm dan 82,38% untuk anilina pada konsentrasi 7000 ppm (Stepani, 2015).

Pengujian Basa Schiff dilakukan pada logam seng. Lempeng seng digunakan karena logam seng adalah suatu logam aktif dengan banyak aplikasi industri dan sebagian besar digunakan untuk perlindungan korosi terhadap baja (Shah et al, 2011). Komponen logam yang terdapat pada seng yaitu terdiri dari 45% Zn dan 55% logam Al. Lempeng seng bersifat melapisi material baja untuk memberikan ketahanan yang lebih baik terhadap korosi, namun ketika berada pada udara yang lembab, seng cepat berkarat dengan membentuk suatu produk korosi yang dikenal sebagai karat putih. Hal serupa juga terjadi pada pembersihan seng dengan menggunakan larutan asam menyebabkan seng lebih mudah berkarat. Oleh karena itu proteksi terhadap logam seng bersifat sangat penting (Eddy et al, 2010).

Dari uraian diatas maka peneliti tertarik untuk mensintesis basa Schiff dengan memanfaatkan sinamaldehida yang dikondensasikan dengan membandingkan dua jenis senyawa amina yaitu etilendiamin dan fenilhidrazin yang diikuti dengan uji efisiensi basa Schiff yang diperoleh sebagai inhibitor korosi terhadap logam seng dalam media HCl 0,1N.

1.2. Permasalahan

1. Apakah basa Schiff dapat disintesis melalui kondensasi etilendiamin dan fenilhidrazin dengan senyawa sinamaldehida

2. Bagaimana nilai efisiensi inhibitor korosi kedua jenis basa Schiff yang dihasilkan sebagai inhibitor korosi terhadap logam seng dibandingkan dengan bahan baku sinamaldehida, etilendiamin, dan fenilhidrazin


(18)

1.3. Pembatasan Masalah

1. Sampel yang digunakan adalah sinamaldehida

2. Sumber amina primer yang digunakan adalah etilendiamin dan fenilhidrazin. 3. Material yang digunakan adalah plat seng yang dibeli di pasaran dan dibentuk

dengan ukuran 5 x 1,5cm.

4. Inhibitor korosi yang digunakan diaplikasikan pada larutan HCl 0,1 N.

5. Metode penentuan effisiensi inhibitor yang digunakan adalah metode kehilangan berat.

6. Konsentrasi inhibitor korosi yang digunakan dengan beda penambahan masing-masing yaitu 0 ppm (tanpa inhibitor), 1000 ppm, 3000 ppm, 5000 ppm, 7000 ppm. 7. Waktu perendaman yang digunakan adalah 24 jam, 48 jam, 72 jam, 96 jam, 120

jam pada temperatur ruangan

1.4. Tujuan Penelitian

1. Untuk mensintesis basa Schiff dari sinamaldehida yang diikuti dengan kondensasi etilendiamin maupun fenilhidrazin.

2. Untuk mengetahui basa Schiff yang dihasilkan berpotensi sebagai inhibitor korosi terhadap logam seng dibandingkan dengan bahan baku sinamaldehida, etilendiamin, dan fenilhidrazin.

1.5. Manfaat penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang cara mensintesis basa Schiff dari sinamaldehida yang diikuti kondensasi dengan etilendiamin dan fenilhidrazin serta memberikan informasi tentang potensi basa Schiff sebagai efisiensi inhibitor korosi terhadap logam seng dalam media asam sehingga memberikan informasi sejauh mana basa Schiff tersebut dapat bertindak sebagai inhibitor korosi.


(19)

1.6. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium kimia Organik FMIPA USU Medan, analisa Spektroskopi FT-IR dilakukan di laboratorium Kimia Organik FMIPA UGM Yogyakarta dan analisa spektroskopi UV-Vis dilakukan dilaboratorium kimia Organik FMIPA-USU.

1.7. Metodologi penelitian

Penelitian yang dilakukan bersifat eksplorasi melalui eksperimen laboratorium dimana pada percobaan sinamaldehida direaksikan dengan etilendiamin dengan cara direfluks selama 5 jam pada suhu 78-820C dalam pelarut etanol. Hasilnya kemudian dirotarievaporator untuk menghilangkan pelarut. Selanjutnya didestilasi vakum untuk menguapkan kelebihan sinamaldehida sehingga diperoleh basa Schiff I. Selanjutnya sinamaldehida kembali direaksikan dengan fenilhidrazin dengan cara merefluks selama 1 jam pada suhu 78-820C dalam pelarut etanol. Hasilnya kemudian disaring dimana residu ditampung sebagai basa Schiff II. Kedua basa Schiff tersebut dianalisa dengan spektroskopi FT-IR dan UV-Vis serta uji efisiensi inhibitor korosinya terhadap logam seng dalam media HCl 0,1 N.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Aldehida

Aldehida merupakan suatu senyawa yang karbon karbonilnya ( karbon yang terikat pada oksigen )selalu terikat dengan paling sedikit satu atom hidrogen.adapun rumus aldehida ialah seperti gambar 2.1 berikut:

R C

O

Gugus karbonil H

Gambar 2.1. Struktur aldehida (Wilbraham, 1992)

Formaldehida (HCHO) merupakan aldehida paling sederhana ( Wilbraham, 1992 ). Aldehida mempunyai paling sedikit satu atom hidrogen pada gugus karbonilnya. Sedangkan gugus lainnya boleh berupa atom hidrogen, gugus alkil ataupun gugus aril ( Riswiyanto, 2009 ). Dalam sistem IUPAC, aldehida sederhana diberi nama berdasarkan alkana induknya dengan akhiran –ana diubah menjadi –anal

(-an untuk senyawa jenuh dan –al untuk aldehida). Misalnya pada senyawa 3-metil butanal seperti pada gambar 2.2 berikut ini

CH3CHCH2CH

CH3 O

Gambar 2.2. Struktur 3-metil butanal (Fessenden dan Fessenden, 2010)

Aldehida sederhana ini disebut dengan nama trivialnya. Sebagian besar nama ini diturunkan dari nama trivial asam karboksilat yang bersangkutan dimana akhiran asam –at atau –oat diubah menjadi –aldehida( Fessenden dan Fessenden, 2010 ).Adanya gugus karbonil menyebabkan aldehida bersifat polar dan mempunyai gaya intramolekul dan titik didih yang lebih besar daripada alkana yang bersesuaian. Atom oksigen pada senyawa karbonil dapat membentuk ikatan hidrogen yang cukup kuat dengan molekul air. Senyawa karbonil dengan berat molekul yang rendah dapat larut dalam air, sedangkan aseton dan asetaldehida larut dalam air dalam segala perbandingan ( Riswiyanto, 2009 ). Aldehida bereaksi dengan beberapa zat


(21)

pengoksidasi yaitu pereaksi Tollens (Ag+ dalam larutan NH3), pereaksi Benedict (Cu2+

dalam larutan natrium sitrat) dan pereaksi Fehling (Cu2+ dalam larutan kalium natrium tartrat). Pereaksi ini mengoksidasi aldehida menjadi asam karboksilat dan ditandai dengan perubahan warna. Aldehida akan mereduksi pereaksi Fehling dan Benedict sedangkan ia sendiri akan teroksidasi dan ditandai dengan terbentuknya endapan merah bata Cu2O (Sarker dan Lutfun, 2007).

Aldehida dapat dioksidasi dengan permanganatdan kromat, namun dapat juga dioksidasi dengan zat pengoksidasi yang sangat lemah seperti Ag+ dan Cu2+. Reaksi Tollens digunakan sebagai reagensia uji untuk aldehida dimana uji positif ditandai dengan terbentuknya cermin perak pada dinding dan tabung reaksi. Tetapi dengan meluasnya penggunaan spektroskopi, uji ini tidak dilakukan lagi untuk identifikasi aldehida, namun terkadang cermin tersebut masih dibuat (Fessenden dan Fessenden,1992).

Beberapa reaksi dari aldehida dengan beberapa senyawa antara lain: 1. Reaksi dengan air

Air dapat mengadisi suatu karbonil, untuk membentuk suatu 1, 1- iol, yang disebut gem-diol atau hidrat. Reaksi itu reversibel dan biasanya kesetimbangan terletak pada sisi karbonil. Adapun reaksi aldehida dengan air seperti dibawah ini:

R C

O

H H2O H

+

R

OH

+ C H

OH

senyawa aldehida

suatu hidrat

(dua OH pada C)

2. Reaksi dengan alkohol

Produk adisi suatu molekul alkohol pada suatu aldehida disebut suatu hemiasetal. Adapun reaksi aldehida dengan alkohol dan membentuk suatu asetal dapat dilihat seperti dibawah ini:

R C

O

H H

+

H2O

OH OR'

+ R

R C R

C H H

OH

R' OH H+

OR'

OR'

senyawa aldehida suatu hemiasetal

(OH dan OR' pada C)

suatu asetal


(22)

3. Reaksi dengan hidrogen sianida

Hidrogen sianida dapat mengadisi ke gugus karbonil suatu aldehida menghasilkan sianohidrin. Adapun reaksi aldehida dengan hidrogen sianida seperti pada gambar dibawah ini:

R C

O

H HCN CN

-CN

R C

H

H +

aldehida sianohidrin

4. Reaksi dengan amonia dan amina primer

Amina adalah suatu nukleofilik yang dapat menyerang gugus karbonil dari suatu aldehida dalam reaksi. Adapun reaksi antara aldehida dengan amonia dan amina primer seperti gambar dibawah ini (Fessenden, 1999).

R C

O

H H NH2 H

+

R OH

H

NH2 H2O RCH NH

C +

aldehida imina

(basa schiff suatu) Gambar 2.3. Reaksi Aldehida dengan Beberapa Senyawa: air, alkohol, hidrogen

sianida, dan amonia (Fessenden dan Fessenden, 1999)

2.2. Sinamaldehida

Sinamaldehida merupakan salah satu senyawa yang dikandung minyak sinamon dari kulit manis. Yang diperoleh dengan cara mengisolasi minyak kayu manis. Kandungan sinamaldehida pada kayu manis sekitar 74% ( Clark, 1991). Wen lin et al 2009, menyebutkan bahwa aktivitas antioksidan pada minyak kayu manis adalah sekitar 91,4%. Sinamaldehid dari minyak kayu manis tidak hanya memiliki nilai fungsional sebagai antioksidan, namun sinamaldehid juga berfungsi sebagai komponen antimikroba (Rismundar,1995). Sinamaldehid dapat menghambat pertumbuhan fungi, yeast dan bakteri yang terdapat pada makanan dengan tingkat kelembapan rendah ( Gupta et al, 2008 ).


(23)

Berikut beberapa uraian tentang sifat fisika dan sifat kimia sinamaldehida antara lain:

Rumus molekul : C9H8O

Rumus struktur : 3 phenil 2-propenal

Massa molekul relative : 132,15

Density (250C) : 1,048 – 1,052

Larut baik dengan pelarut : Alkohol, kloroform, eter

Titik didih pada tekanan 1 mmHg : 76,10C (The merck index, 1976)

Secara sintesis sinamaldehid dihasilkan dari reaksi kondensasi aldol antara benzaldehida dengan asetaldehida dilanjutkan dehidrasi secara spontan(cross aldol condensation). Dalam suasana basa, hidrogen α diabstaksi oleh nukleofil sehingga

terjadi pusat nukleofil pada pusat atom C α pada aldehida yang segera menyerang

gugus karbonil dari benzaldehid menghasilkan alkohol yang segera mengalami dehidrasi menghasilkan diena terkonjugasi menghasilkan sinamaldehid seperti pada gambar 2.4 berikut ini:

C H

O

CH3 C

O H

OH- C CH2

OH C

O H -H2O

CH CH C

O H benzaldehida asetaldehida

Sinamaldehida

Gambar 2.4. Reaksi kondensasi aldol silang pada sintesa sinamaldehida ( Fessenden dan Fessenden, 1983)


(24)

Sinamaldehida merupakan larutan berwarna dan berbau minyak serta memilki titik didih 252oC. Dapat bereaksi dengan karbon yang memiliki ikatan rangkap dan gugus CHO. Adapun reaksi-reaksi sinamaldehida dengan senyawa lain seperti gambar 2.5 berikut ini:

1. Reaksi dengan larutan bromide akan menghasilkan sinamaldehida dibromida. Adapun reaksi sinamaldehida dengan larutan bromida seperti gambar dibawah ini:

C6H5 CH CH C

O H

+

Br

Br C6H5

Br

Br CH CH C

O H

2. Reaksi dengan oksidator kuat seperti KMnO4 akan memutus ikatan C=C menjadi asam benzoat. Adapun reaksi sinamaldehida denga oksidator kuat seperti gambar dibawah ini:

C6H5CH=CHCHO + 2 [O] KMnO4

H+ C6H5COOH

Asam Benzoat

3. Jika direduksi dengan litium aluminium hidrate, LiAlH4 akan membentuk sinamil

alkohol. Adapun reaksi reduksi sinamaldehida dengan litium aluminium hidrate seperti gambar dibawah ini:

C6H5CH=CHCHO + 2 [H] LiAlH4 C6H5CH=CHCH2OH

Gambar 2.5. Reaksi Sinamaldehida dengan Beberepa Senyawa: Larutan Bromida, KmnO4, dan LiAlH4 (Bahl.A, 2004)

2.3.Etilendiamin

Etilendiamin (1,2- diamino etana) dibuat dari etilen diklorida dan amonia, sifatnya adalah tidak berwarna, jernih, mempunyai bau amonia, densitasnya 0,898 g/cm-3, titik didihnya 116-117°C, sedikit larut dalam eter, tidak larut dalam benzena, bersifat sangat basa sehingga mudah mengadsorbsi CO2 dari udaramembentuk karbonat yang

tak mudah menguap. Etilendiamina digunakan sebagai pelarut untuk kasein, albumin dan sulfur, juga digunakan sebagai emulsifier,penstabil lateks serta sebagai penghambat/ inhibitor dalam larutan anti beku.


(25)

Adapun struktur dari etilendiamin seperti gambar 2.6 berikut ini:

H2N C C

H H

H H

NH2

Gambar 2.6. Struktur Kimia Etilendiamin ( Anonimous,1976)

Etilendiamina merupakan poliamina primer yang larut dalam air dan sangat higroskopis. Etilendiamina harus dilindungi dari kelembaban atmosfer dan CO2

selama pemurniandan pemakaianya karena akan menyebabkan banyak kesalahan dalam hasil yang diperoleh.Etilendiamina anhidrat dapat dimurnikan untuk menghilangkan air dan CO2 dengan pengadukan amin tersebut dengan NaOH ataupun

KOH pelet selama beberapa jam, kemudian airnya didestilasi. Jumlah air dapat dikurangi dengan menambahkan suatu bahan pengering berupa molekular sieves maupun alumina.Air yang diperoleh dapat dipindahkan dengan destilasi azeotrop. Etilendiamina dan air membentuk azeotrop yang negatif yang mempunyai titik didih 2°C diatas amin . Etilendiamina sebagai salah satu golongan kimia,merupakan antihistamin tertua yang bermanfaat dengan efek samping depresan sistem saraf pusat dan gastrointestinal yang kejadiannya relatif tinggi(Roberts, 1982).

2.4.Fenilhidrazin

Fenilhidrazin (C6H8N2) mempunyai berat molekul 108, terdapat sebagai kristal

kuning hingga coklat pucat atau sebagai cairan berminyak kekuningan, dengan berat jenis 1,1848 g/mL, titik beku 19,60C, titik didih 243,40C, dan tekanan uap 133 Pa pada 720C. larut dalam air (rentang nilai 145-837 g/L pada 240C) dan dapat bercampur dengan alkohol, eter, kloroform, benzene, dan aseton. Fenilhidrazin diproduksi secara komersil dengan diazosiasi dari aniline yang diikuti reduksi senyawa azo.Adapun struktur dari fenilhidrazi seperti gambar 2.7 berikut ini:

NH NH2


(26)

Fenilhidrazin digunakan secara luas terutama sebagai senyawa kimia intermediet dalam farmakologi, agrokimia, dan kimia industri. Fenilhidrazin menyerap dengan kuat sinar ultraviolet dalam rentang yang signifikan dilingkungan kemungkinan akan berubah warna jika terkena cahaya matahari, lambat terjadi penguraian warna dalam difusi siang hari tanpa adanya oksigen. Adanya oksigen menyebabkan fenilhidrazin mengalami autoksidasi, reaksi dipercepat oleh cahaya dan panas, substansi akan menjadi coklat kemerahan pada udara terbuka sebagai hasil dari autoksidasi ini (WHO, 2000).

2.5.Basa Schiff

Suatu senyawa yang mengandung gugus azomethin (-CH=N-) dinamakan sebagai basa Schiff. Senyawa ini biasanya dibentuk oleh reaksi kondensasi antara suatu senyawa amina primer dengan suatu senyawa karbonil (Bell et al, 1963). Amina primer dapat menjadi inhibitor lebih efektif apabila panjang rantainya bertambah, namun kebalikan bagi merkaptan alifatik primer dan beberapa aldehida justru efisiensinya menurun apabila panjang rantai bertambah (Widharto, 2004). Basa Schiff dalam penggunaannya sangat efektif sebagai inhibitor korosi yang dimana memiliki kemampuan secara spontan membentuk suatu lapisan untuk melindungi suatu bahan atau material tersebut dari ramah lingkungan (Li et al, 1999). Selain sebagai anti korosi, basa Schiff juga memiliki kegunaan lain. Ligan basa Schiff yang mengandung atom pendonor (seperti N,O,S dan lainnya) menunjukkan aktivitas biologi yang baru sebagai anti jamur, antiviral, anti kanker, antimikroba, dan sebagai agen antibakteri (Gwaram , 2012).

Contoh reaksi pembentukan Basa Schiff yaitu pembuatanN-(1,1-dimetil etil)-2-metil propilimina seperti pada gambar 2.8 berikut ini:

H3C

CH CH3

C

O H

+ H2N C

CH3

CH3

CH3

CH3

H3C

CH C N C CH 3 CH3

+ H2O

H

2-metil-propanal 1,1-dimetil-etilamin N-(1,1-dimetil etil)-2-metil propilimina

Air

CH3

Gambar 2.8. Reaksi pembentukan N-(1,1-dimetil etil)-2-metil propilimina (Vogel, 1989).


(27)

Basa Schiff pertama kali dikenalkan oleh bernema Hugo Schiff pada tahun 1864 dimana dengan melakukan kondensasi amina primer dengan senyawa karbonil (Cimerman et al, 2000). Pada umumnya basa Schiff dari turunan aldehida disebut dengan aldimina dan turunan keton disebut dengan ketimina (Robert, 1982).

Senyawa yang mengandung gugus NH2 seperti amina primer dapat

direaksikan dengan aldehida atau keton, akan tetapi hasil adisinya tidak stabil dan mengalami eliminasi air. Salah satu dari reaksi basa Schiff tersebut yaitu reaksi antara kondensasi aniline dengan benzaldehida menghasilkan benzilideneaniline seperti pada gambar 2.9 berikut ini:

C H =

+ N = C

H

+H2O Aniline Benzaldehida Benzilideneaniline

O NH2

Gambar 2.9. Reaksi Pembentukan Benzilideneaniline (Bahl.A, 2004)

Senyawa kompleks dapat dibentuk dari basa Schiff dengan logam-logam seperti kobalt, nikel, dan tembaga yang sudah diketahui sebagai pembawa oksigen (Calvin et al, 1946). Meskipun belum ada senyawa logam tersebut yang telah diuji untuk aktivitas anti tumor tetapi dari beberapa senyawa tersebut kemungkinan memiliki kemampuan sebagai pembawa oksigen. Metode yang diterapkan untuk sintesis basa Schiff dari senyawa logam berdasarkan besarnya nilai dari senyawa tersebut dan dasar struktur yang sama tetapi dengan perbedaan kelarutan dalam air dan pelaut-pelarut lain merupakan faktor penting dalam penjelasan penggunaan obat-obatan. Banyak aldehida bereaksi dengan berbagi jenis dari amina untuk menghasilkan imin yang sering diubah menjadi basa Schiff seperti pada gambar 2.10 reaksi sintesis basa schiff dengan turunan logam kobalt.


(28)

O H

CHO RNH

2

+

O H

CH NR

+

H2O

HC R Co Co2+ H+ 2

+

CH N R N O O

Gambar 2.10.Reaksi sintesis basa schiff dengan turunan logam kobalt (Ernest.M.et al, 1964)

Basa Schiff memiliki kestabilan yang rendah yang menyebabkan basa Schiff mudah mengalami hidrolisis asam dan telah digunakan sebagai proteksi terhadap gugus amina. Turunan basa Schiff dapat diperoleh dari reaksi filmkitosan dengan aldeid alifatik, bukan saja yang linier asetaldehida ke dekanal juga yangbercabang dan aldehida aromatik.

Aldimin kitosan disebut juga sebagai basa Schiff kitosan. Aldimin kitosan merupakan aldehida dengan kitosan, dimana aldehida akan terikat pada gugus asam yang akan membentuk suatu gugus imina (C=N) yang merupakan ciri khas terbentuknya aldimin. Salah satu contoh pembentukan basa schiff dari kitosan seperti pada gambar 2.11 berikut ini:

O

O NH2 CH2OH O

HO

n

+ n CH

O

CH3COOH O

O CH2OH O

HO

n

N CH

H2O n +

Kitosan

Basa Schiff Kitosan (Aldimin kitosan)


(29)

Spektrum absorpsi dalam daerah-daerah ultra violet dan tampak umumnya terdiri dari satu atau beberapa pita absorpsi yang lebar. Semua molekul dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-Vis, oleh karena mereka mengandung elektronbaik yang dipakai bersama maupun tidak yang dapat dieksitasi ketingkat energi yang paling tinggi. Panjang gelombang pada waktu absorpsi terjadi tergantung pada bagaimana erat elektron terikat didalam molekul.

Elektron dalam ikatan rangkap dua atau tiga cukup mudah terekstasi ke orbital phi lebih tinggi. Suatu transisi ditandai dengan * apabila satu phi elektron dinaikkan dari orbital phi bonding ke orbital phi anti-bonding. Absorpsi energi dalam transisi demikian biasanya lebih kuat daripada transisi -*. Dalam molekul terkonjugasi (yaitu mengandung sederatan ikatan rangkap berselang-seling) absorpsi tergeser ke panjang gelombang lebih panjang. Pergeseran ke panjang gelombang yang lebih panjang mencerminkan kenyataan bahwa elektron dalam suatu sistem berkonjugasi adalah kurang erat terikat daripada dalam satu ikatan yang tidak berkonjugasi. Telah diketahui bahwa transisi -* dalam molekul-molekul yang mengandung gugus tak jenuh adalah sama dengan tidak mengindahkan atom-atom yang menyusun ikatan rangkapnya. Dalam sintesa basa Schiff dengan terbentuknya ikatan imina (C=N) akan terjadi pergeseran panjang gelombang seperti yang telah dilakukan Azzouz and R.T.Ali (2010) dimana terjadi pertambahan panjang gelombang dari 247 nm menjadi 327 nm untuk basa schiff.

Spektrum inframerah menunjukkan nilai informasi mengenai gugus fungsi yang terikat pada logam. Spekta inframerah dapat direkam dari sampel berupa cairan, padatan, atau gas. Untuk merekam spektra, sampel ditempatkan pada sel sesuai dengan ruang spektrofotometer. Spectrum inframerah untuk basa Schiff dapat ditunjukkan pada ilustrasinya mengikuti panjang gelombang berikut. Kekuatan intensitas yang kuat ke lemah bertugas untuk ikatan rangkap karbon dan nitrogen C=N dengan frekuensi stretching antara 1689-1471 cm-1, intensitas suatu ikatan kuat dan

sedang tergantung dari gugus karbonil didalam basa Schiff yang mempunyai frekuensi antara 1735-1750 cm-1 dan uluran C-H streching pada pita gelombang antara 2800-3000 cm-1serta dukungan luas daerah stretching dengan range panjang gelombang antara 3385-3355 cm-1(Silverstein, 1984).


(30)

2.6. Logam Seng

Seng (Zink) adalah logam yang cukup mudah ditempah dan diliat pada suhu 110-150oC. Seng melebur pada suhu 410oC dan mendidih pada suhu 906oC. Logamnnya murni, melarut lambat sekali dalam asam dan alkali (Vogel, 1985). Seng digunakan sebagai pelapis besi untuk mencegah terjadinya proses korosi. Proses pelapisan besi dikenal dengan proses galvanisasi dan dilakukan berdasarkan sifat elektokimia proses yang bersangkutan. Pelapisan ini mempunyai keuntungan bahwa logam seng akan teroksidasi terlebih dahulu sekalipun lapisan seng sudah terkoyak, sehingga besinya nampak keluar. Hal ini sebagai konsekuensi dari nilai potensial reduksi seng yang negatif daripada besi, sehingga seng bertindak sebagai anoda yang terkorbankan.(Sugiyarto dan Suyanti, 2008)

Proteksi terhadap logam besi juga berhubungan dengan efek anode dimana seng membentuk lapisan pada logam besi. Penggunaan lainnya pada seng termasuk pelapisan pada logam kuningan dan sebagai anoda pada bagian asam kering (Mahan, 1987).Seng jika dipanaskan dalam gas klorin secara perlahan-lahan akan menghasilakan ZnCl2. Sumber utama logam seng adalah bijih seng sulfide. ZnS,

namun cara memperoleh logam ini tidaklah mudah dimana menggunakan pemanggangan pada suhu 800oC kemudian mereduksi oksidasinya dengan kokas berlebih pada suhu 1400oC.

Reaksi pembuatan Zink murni seperti gambar 2.11 berikut ini: ZnS(s) + 3O2 2ZnO(s) + 2SO2(g)

ZnO(s) + C(s) Zn(l) +CO(g)

Gambar 2.12. Gambar reaksi pembentukan zink murni(Atkins, 1989)

Secara komersial serbuk seng memiliki kemurnian 90% dan penambahan asam untuk menghilangkan oksida dipermukaan yang mengurangi keaktifannya. Seng ini diaktifkan dengan pengadukan dengan asam klorida selama 2 menit, disaring dan dicuci dengan air dan diikuti dengan aseton (Vogel, 1989).


(31)

2.7.Korosi

Korosi merupakan penurunan kualitas yang disebabkan oleh reaksi kimia bahan logam dengan unsur-unsur lain yang terdapat di alam (Fajar, 2013). Terkorosinya suatu logam dalam lingkungan elektrolit (air) adalah proses elektrokimia. Proses ini terjadi bila ada reaksi setengah sel yang melepaskan elektron dan reaksi setengah yang menerima elektron tersebut. Kedua reaksi ini akan terus berlangsung sampai terjadi kesetimbangan dinamis dimana jumlahh elektron yang dilepas sama dengan jumlah olektron yang diterima (Siti, 2008).

Adapun syarat-syarat proses ini dapat terjadi : a) Anoda

Anoda biasanya terkorosi dengan melepaskan elektron-elektron dari atom-atom logam netral untuk membentuk ion-ion yang bersangkutan. Ion-ion ini mungkin tetap tinggal dalam larutan atau bereaksi membentuk hasil korosi yang tidak larut.

b) Katoda

Katoda biasanya tidak mengalami korosi, walaupun mungkin menderita kerusakan dalam kondisi-kondisi tertentu. Reaksi yang terjadi pada katoda berupa reaksi reduksi.

c) Elektrolit

Elektrolit adalah larutan yang mempunyai sifat menghantarkan listrik. Elektrolit dapat berupa larutan asam, basa dan larutan garam. Larutan elektrolit mempunyai peranan penting dalam korosi logam karena larutan ini dapat menjadikan kontak listrik antara anoda dan katoda.

d) Anoda dan Katoda harus terhubung secara elektris

Antara anoda dan katoda harus ada hubungan listrik agar arus dalam sel korosi dapat mengalir. Hubungan secara fisik tidak diperlukan jika anoda dan katoda merupakan bagian dari logam yang sama (Uhlig, 2000).


(32)

Beberapa jenis korosi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yaitu: korosi seragam, korosi galvanik, korosi erosi, korosi celah, korosi sumuran, korosi batas retak pengaruh lingkungan butir, korosi batas butir, dealloying, hydrogen damage (Jones, 1991). Umumnya problem korosi disebabkan oleh air, tetapi ada beberapa faktor selain air yang mempengaruhi laju korosi, diantaranya:

1. Faktor Gas Terlarut.

Oksigen (O2), adanya oksigen yang terlarut akan menyebabkan korosi pada metal

seperti laju korosi pada mild stell alloys akan bertambah dengan meningkatnya kandungan oksigen. Reaksi korosi secara umum pada besi karena adanya kelarutan oksigen adalah seperti gambar 2.12 berikut ini:

Fe Fe2+ + 2e

O2 + 2H

2O + 4e 4OH

-Reaksi katoda : Reaksi anoda :

Gambar 2.13. Reaksi korosi pada besi(Fajar, 2013)

Karbondioksida (CO2), jika karbondioksida dilarutkan dalam air maka akan

terbentuk asam karbonat (H2CO3) yang dapat menurunkan pH air dan meningkatkan

korosifitas, biasanya bentuk korosinya berupa pitting.

2. Faktor Temperatur

Penambahan temperatur umumnya menambah laju korosi walaupun kenyataannya kelarutan oksigen berkurang dengan meningkatnya temperatur. Apabila metal pada temperatur yang tidak uniform, maka akan besar kemungkinan terbentuk korosi.

3. Faktor pH

pH netral adalah 7, sedangkan pH< 7 bersifat asam dan korosif, sedangkan untuk pH > 7 bersifat basa juga korosif. Tetapi untuk besi, laju korosi rendah pada pH antara 7 sampai 13. Laju korosi akan meningkat pada pH < 7 dan pada pH > 13.


(33)

4. Faktor Bakteri Pereduksi atau Sulfat

Reducing Bacteria (SRB) Adanya bakteri pereduksi sulfat akan mereduksi ion sulfat menjadi gas H2S, yang mana jika gas tersebut kontak dengan besi akan menyebabkan

terjadinya korosi.

5. Faktor Padatan Terlarut

Klorida (Cl-), klorida menyerang lapisan mild steel dan lapisan stainless steel. Padatan ini menyebabkan terjadinya pitting, crevice corrosion, dan juga menyebabkan pecahnya alooys.

Karbonat (CO32-), kalsium karbonat sering digunakan sebagai pengontrol korosi

dimana film karbonat

diendapkan sebagai lapisan pelindung permukaan metal, tetapi dalam produksi minyak hal ini cenderung menimbulkan masalah scale.

Sulfat (SO42-), ion sulafat ini biasanya terdapat dalam minyak. Dalam air, ion sulfat

juga ditemukan dalam konsentrasi yang cukup tinggi dan bersifat kontaminan, dan oleh bakteri SRB sulfat diubah menjadi sulfide yang korosif (Fajar, 2013)

2.8.Dampak Korosi

Korosi yang terjadi pada logam tidak dapat dihindari, tetapi hanya dapat dicegah dan dikendalikan sehingga struktur atau komponen mempunyai masa pakai yang lebih lama. Setiap komponen atau strukturmengalami tiga tahapan utama yaitu perancangan, pembuatan dan pemakaian. Ketidakberhasilan salah satu aspek seperti korosi menyebabkan komponen akan mengalami kegagalan. Kerugian yang akan dialami dengan adanya korosi meliputi finansial dan safety, diantaranya :

1. Penurunan kekuatan material 2. Penipisan

3. Downtime dari equipment 4. Retak & Pitting

5. Kebocoran fluida 6. Embrittlement

6. Penurunan sifat permukaan material 7. Penurunan nilai / hasil produksi dan 8. Modification (Fajar, 2013).


(34)

N N C

H

C H

H H

a.

N N

C

H CH

b.

Fe Fe

N N

C H

C H

c.

Fe Fe

Fe Fe

Logam

Logam

Logam

2.9.Inhibitor korosi

Inhibitor korosi adalah senyawa kimia yang dapat mencegah atau memperlambat proses korosi. Sejauh ini, penggunaan inhibitor merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah korosi, Karena biayanya relative murah dan prosesnya yang sederhana (Indocor, 2011). Basa Schiff dapat bertindak sebagai inhibitor korosi karena memiliki pasangan elektron bebas, dimana pasangan electron bebas ini akan mendonorkan electron elektronnya pada permukaan logam tersebut. Ini menyebabkan molekul air dan ion agresif seperti Cl menjauh dari permukaan logam (Umoren et al, 2011).

Beberapa cara kerja dapat dibedakan melaui gambar berikut:

Gambar 2.14. Beberapa Cara Kerja Inhibitor pada Logam

a. Adanya protonasi atom nitrogen dari gugus -HC=N- akan menyebabkan molekul inhibitor bermuatan positif. Permukaan logam bermuatan negatif dalam larutan asam sulfat. Pada saat ini akan terjadinya interaksi antara molekul inhibitor yang bermuatan positif dengan permukaan logam yang bermuatan negatif.

b. Elektron bebas pada atom nitrogen akan berinteraksi dengan permukaan logam c. Orientasi datar dari seluruh molekul dengan adanya ketertarikan dari permukaan

logam yang menyebabkan interaksi elektron pi dari cincin aromatik seperti gugus -CH=N- dengan permukaan logam


(35)

Dimana inhibitor korosi bekerja dengan cara membentuk lapisan pelindung pada permukaan logam (Halimatuddahliana, 2003). Secara umum terdapat beberapa jenis inhibitor, yaitu

1. Inhibitor Anodik

Inhibitor Anodik adalah inhibitor yang menurunkan laju reaksi di aniodik dengan cara meningkatkan polarisasi anoda melalui reaksi dengan ion-ion logam untuk menghasilkan selaput-selaput pasif tipis berupa lapisan-lapisan garam yang kemudian menyelimuti permukaan logam.

2. Inhibitor Kationik

Inhibitor Kationik adalah inhibitor yang berpengaruh terhadap reaksi di katoda. Pembentukan hydrogen di katoda akan dikendalikan melalui peningkatan polarisasi sistem. Garam-garam logam seperti arsen, bismuth, dan antimon ditambahkan untuk membentuk selaput tipis hidrogen yang teradsorpsi pada permukaan katoda.

3. Inhibitor Adsorpsi

Inhibitor Adsorpsi adalah inhibitor dimana molekul-molekul organik rantai panjang dengan rantai samping teradsorpsi dan terdesorpsi dari permukaan logam. Molekul-molekul berukuran besar ini dapat membatasi difusi O2 ke permukaan

logam atau menangksp ion-ion logam pada permukaan serta memantapkan lapisan ganda dan mereduksi laju pelarutan.

4. Inhibitor Amina

Inhibitor Amina adalah inhibitor dari suatu senyawa organik yang mengandung nitrogen trivalen yang terikat pada suatu atom karbon atau lebih seperti RNH2, R2NH, dan R3N. amina dapat digolongkan dalam tiga jenis yaitu amina primer, amina sekunder, dan amina tersier. Penggolongan ini berdasarkan banyaknya subsituen alkil pada aril yang terikat pada atom nitrogen (Ulmann, 1985).

Efisiensi amina organik sebagai unsur penghambat pengkaratan meningkat apabila terdapat ion halogen. Ion halogen dapat bertindak menghambat pengkaratan hingga tingkat tertentu pada larutan asam dimana ion iodide (I-) merupakan unsure penghambat yang paling efektif, kemudian disusul oleh bromide (Br-) dan klorida (Cl-). Ion fluoride tidak memiliki sifat penghambatan pengkaratan yang berarti (Widharto, 2004).


(36)

2.10. Teknik Penentuan Efisiensi Inhibitor

Ada beberapa cara untuk menguji atau mengevaluasi efisinsi suatu inhibitor adalah dengan teknik kehilangan berat, teknik gasometrik, teknik elektrokimia, spektroskopi impedansi, dan pengukuraan polarisasi.

1. Teknik kehilangan berat

Untuk pengukuran kehilangan berat, persentasi efisiensi inhibitor dapat dihitung dengan variasi konsentrasi inhibitor menggunakan rumus berikut ini:

W0

EI(%) = W0-W1 x 100%

Dimana:

EI = efisiensi inhibitor

Wo = berat kehilangan tanpa inhibitor

W1 = berat kehilangan menggunakan inhibitor

2. Teknik gasometri

Untuk penetuan efisiensi inhibitor dengan teknik ini didasarkan pada volume gas hidrogen yang dibebaskan, dimana dihitung dengan cara berikut ini:

EI(%) = Vb-V1 x100%

Vb

Dimana :

Vb = volume gas yang bertambah didalam tidak adanya inhibitor

V1 = volume gas yang bertambah dengan adanya inhibitor

3. Teknik elektrokimia

Pengukuran efisiensi inhibitor dengan teknik ini menggunakan suatu anoda dan katoda pada permukaan logam dimana pengaruh inhibitor akan mereduksi arus.


(37)

4. Spektroskopi Impedansi elektrokimia

Pada teknik ini dilakukan dengan bantuan komputer dengan mengukur perpindahan muatan resistansi pada logam dimana efisiensi inhibitor dapat dihitung dengan persamaan berikut ini:

EI(%) = x 100%

Rt(inh)-Rt(blank)

Rt(inh)

Dimana :

Rt(inh) = perpindahan muatan resistansi dengan adanya inhibitor

Rt(blank) = perpindahan muatan resistansi tanpa adanya inhibitor


(38)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Alat-Alat

- Kondensor bola Pyrex

- Labu leher dua 250 ml Pyrex

- Hotplate stirrer Fisons

- Gelas ukur 25 ml Pyrex

- Gelas ukur 100 ml Pyrex

- Termometer 100oC Fison

- Alat vakum Fison

- Corong kaca Pyrex

- Gelas kaca - Kertas pasir - Kertas saring

- Labu takar 1000 ml Pyrex

- Labu takar 250 ml Pyrex

- Neraca analitis Shimadzu

- Spektrofotometer FT-IR Shimadzu

- Spektrofotometer UV-Vis

3.2. Bahan-Bahan

- Asam Klorida p.a.E’merck

- CaCl2 anhidrous p.a.E’merck

- Etanol p.a.E’merck

- Etilendiamin p.a.E’merck

- Fenilhidrazin p.a.E’merck

- Plat Zn


(39)

3.3. ProsedurPenelitian

3.3.1. Sintesis Basa Schiff dari Sinamaldehida diikuti Kondensasi dengan Etilendiamin (Basa Schiff I)

Sebanyak 13,2 g (0,1 mol)sinamaldehida dilarutkan dengan 25 ml etanol,kemudian dimasukkan kedalam labu leher dua 250 ml.Dirangkai alat refluks yang dilengkapi dengan magnetik bar, termometer, dan perangkap air. Selanjutnya diteteskan etilendiamin sebanyak 2,4g (0,04 mol) yang telah dilarutkan dalam 25 ml etanol melalui corong penetes secara perlahan-lahan kedalam campuran tersebut. Kemudian direfluks selama 5 jam sambil diaduk. Selanjutnya pelarut etanol yang digunakan diuapkan melalui rotarievaporator. Sinamaldehida yang berlebih diuapkan melalui destilasi vakum pada suhu 100oC dan tekanan 20 mmHg. Residu hasil penguapan dilakukan analisa KLT dengan devoloper n-Heksan : etanol 9:1 (v/v) menggunakan

adsorben silika gel Kieselgel 60 HF254 dan penampak noda lampu UV. Kemudian

ditimbang dan dikeringkan dalam desikator. Hasil yang diperoleh dilakukan penentuan titik lebur dan dianalisis menggunakan spektrofotometer UV-Vis, analisis spektrofotometer FT-IR dan uji efisiensi korosi.

3.3.2. Sintesis Basa Schiff dari Sinamaldehida diikuti Kondensasi dengan Fenilhidrazin (Basa Schiff II)

Sebanyak13,2 g (0,1 mol) sinamaldehida dilarutkan dengan 25 ml etanol,kemudian dimasukkan kedalam labu leher dua 250 ml. Dirangkai alat refluks yang dilengkapi dengan magnetik bar, termometer, dan perangkap air. Selanjutnya diteteskan fenilhidrazin sebanyak 5,4 g (0,05 mol) yang telah dilarutkan dengan 25 ml etanol melalui corong penetes secara perlahan-lahan kedalam campuran tersebut. Kemudian direfluks selama 1 jam sambil diaduk. Endapan yang terbentuk disaring, residu adalah basa schiff II. Selanjutnya dilakukan analisa KLT dengan devoloper n-Heksan : etanol 9:1 menggunakan adsorben silika gel Kieselgel 60 HF254 dengan lampu UV

sebagai penampak noda. Kemudian ditimbang dan dikeringkan dalam desikator. Hasil yang diperoleh dilakukan penentuan titik lebur dan dianalisis spektrofotometer UV-Vis, analisis spektrofotometer FT-IR dan uji efisiensi korosi.


(40)

3.3.2. Analisa dengan Spektroskopi FT-IR

Untuk basa Schiff I dan basa Schiff II yang berwujud padat dicampurkan dan digeros dengan KBr anhidrous kemudian dicetak hingga membentuk pellet yang transparan, selanjutnya diukur spektrumnya dengan alat spektrofotometer FT-IR.

3.3.4. Analisa dengan Spektroskopi UV-Vis

Untuk masing-masing sampel yaitu sinamaldehida, basa schiff I, dan basa schiff II ditimbang sebanyak 0,03 g kemudian dilarutkan dalam 1 ml etanol. Dimasukkan pada kuvet kemudian diukur panjang gelombangnya dengan alat spektrofotometer UV-Vis.

3.3.5. PenentuanEfisiensi Inhibitor

3.3.5.1. Persiapan Spesimen

Spesimen atau sampel seng dengan panjang 5 cm dan lebar 1,5 cm dihaluskan permukaanya dengan menggunakan ampelas besi. Permukaaan yang telah halus ini dicuci dengan akuades dan dikeringkan kemudian ditimbang beratnya.

3.3.5.2.Pembuatan Larutan Induk Korosif

Larutan media korosi HCl 0,1 N dibuat dengan cara mengencerkan 8,3 mL HCl 37 % dalam labu takar ukuran 1000 mL sampai tanda batas dengan akuades.

3.3.5.3.Pembuatan Larutan Induk Inhibitor

Larutan inhibitor korosi Basa Schiff 10000 ppm dengan pelarut larutan HCl 0,1 N. Larutan tersebut dibuat dengan melarutkan 1 g Basa Schiff dengan HCl 0,1 N dalam labu takar 100 mL sampai garis batas. Larutan inhibitor yang diinginkan dibuat dengan cara mengencerkan larutan induk 10000 ppm menggunakan larutan HCl 0,1 N dengan variasi konsentrasi inhibitor 1000 ppm, 3000 ppm, 5000 ppm dan 7000 ppm.


(41)

3.3.5.4.Uji Efisiensi Inhibitor

Larutan perendaman lempeng seng diambil dari larutan inhibitor 1000 ppm sebanyak 50 mL dimasukkan kedalam wadah kaca. Lempeng seng yang telah diamplas dan ditimbang kemudian direndam dalam larutan tersebut selama 24 jam. Lempeng seng diangkat dari media korosi, dicuci secara hati-hati dengan menggunakan sikat halus dan lembut, dibilas dengan metanol dan diangkat kemudian dibiarkan kering selama 5 menit dan ditimbang berat akhirnya.

Dan efisiensi inhibitor dihitung dengan persamaan:

Dimana:

EI =Efisiensi Inhibitor

W0 = Berat kehilangantanpamenggunakaninhibitor (gram)

W1 = Berat kehilangan menggunakan inhibitor (gram)

Sebagai pembanding (kontrol) digunakan larutan tanpa inhibitor. Dengan prosedur yang sama seperti diatas dilakukan untuk variasi konsentrasi inhibitor dalam larutan3000 ppm, 5000 ppm dan 7000 ppm dengan waktu perendaman 48, 72, 96 dan 120 jam demikian juga uji effisiensi inhibitor untuk sinamaldehid, etilendiamin, fenilhidrazin, basa Schiff I, danbasa Schiff II.


(42)

3.4. BaganPenelitian

3.4.1.Sintesis Basa Schiff (1E,2E,1’E,2’E) N-N’-ethana-1,2 diyblis (3 phenylprop 2-en-1-imine) dari Sinamaldehida yang diikuti Kondensasi dengan Etilendiamin (Basa Schiff I)

dimasukkan kedalam labu leher dua 250 ml dilarutkan dengan 25 ml etanol absolut 13,2 g (0,1 mol) sinamaldehida

dirangkai alat refluks yang dilengkapi dengan magnetik bar, termometer, tabung CaCl2, dan perangkap air

ditambahkan 2,4 g (0,04 mol) etilendiamin yang dilarutkan dengan 25 ml etanol absolut melalui corong penetes secara perlahan-lahan sambil diaduk

direfluks selama 5 jam ( 78-83oC)

Campuran

diuapkan pelarut dan kelebihan sinamaldehida dengan destilasi vakum residu

Destilat II (Sinamaldehida)

Analisa FT-IR Analisa UV-Vis efisiensi inhibitor korosi

diuapkan pelarut dengan menggunakan rotarievaporator

residu

Destilat I (etanol)

analisa KLT dikeringkan ditimbang


(43)

3.4.2. Sintesis Basa Schiff (2E)-1-phenyl-2-[(2E)-3phenylprop-2-en-1-ylidene] hydrazin dari Sinamaldehida yang diikuti kondensasi dengan Fenilhidrazin (Basa Schiff II)

dimasukkan kedalam labu leher dua 250 ml dilarutkan dengan 25 ml etanol absolut 13,2 g (0,1 mol) sinamaldehida

dirangkai alat refluks yang dilengkapi dengan magnetik bar, termometer, tabung CaCl2, dan perangkap air

ditambahkan 5,4 g (0,05 mol) fenilhidrazin yang dilarutkan dengan 25 ml etanol absolut melalui corong penetes secara perlahan-lahan sambil diaduk

direfluks selama 1 jam (78-83oC)

Campuran

disaring

residu filtrat

ditimbang hasil

efisiensi inhibitor korosi Analisa FT-IR Analisa UV-Vis

analisa KLT dikeringkan


(44)

3.4.3. Pembuatan variasi konsentrasi larutan induk inhibitor dan larutan korosi sebagai media perendaman

1 g Basa Schiff

dimasukkan kedalam labu takar 100 ml

ditambahkan HCl 0,1 N sampai garis batas

dihomogenkan

Basa Schiff 10.000 ppm

diencerkan kembali dengan HCl 0,1 N

dalam labu takar 50 ml untuk

membuat variasi konsentrasi

1000 ppm

(gelas I)

3000 ppm

(gelas II)

5000 ppm

(gelas III)

7000 ppm

(gelas IV)


(45)

3.4.4. Penentuan Efisiensi Inhibitor Korosi

Lempeng seng ukuran 5 cm x 1,5 cm

dihaluskan permukaannya dengan ampelas besi

dicuci dengan aquadest dan dikeringkan pada suhu kamar ditimbang beratnya (berat awal)

dimasukkan kedalam wadah yang berisi media perendaman Basa Schiff 1000 ppm

diangkat dan dicuci secara hati-hati dengan menggunakan sikat halus dan lembut

diangkat dan dikeringkan pada suhu kamar ditimbang berat akhirnya

dihitung efisiensi inhibitor korosinya

dibiarkan lempeng seng terendam selama 24 jam

Hasil

dicelupkan dalam etanol absolut

Dengan prosedur yang sama seperti diatas dilakukan untuk variasi konsentrasi larutan 0 ppm (tanpa inhibitor), 3000 ppm, 5000 ppm dan 7000 ppm dengan waktu perendaman 48, 72, 96 dan 120 jam demikian juga uji effisiensi inhibitor untuk sinamaldehida, etilendiamin, fenilhidrazin, Basa Schiff I dan Basa Schiff II.


(46)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Sintesis Basa Schiff(1E,2E,1’E,2’E) N-N’-ethana-1,2 diyblis (3 phenylprop 2-en-1-imine) dari Sinamaldehida diikuti kondensasi dengan Etilendiamin (Basa Schiff I)

Basa Schiff ini dihasilkan dari reaksi kondensasi antara sinamaldehida dengan etilendiamin sebagai sumber amina primer dalam pelarut etanol yang direfluks selama 5 jam. Hasil dari reaksi ini kemudian dimurnikan melalui destilasi vakum. Kemudian dilakukan analisis KLT menggunakan adsorben silika gel Kieselgel 60 HF254 dengan

devoloper n-Heksan : etanol yaitu 9:1 (v/v) diperolehharga Rfuntuk

sinamaldehidasebesar 0,26. Untuk basa Schiff I diperoleh noda tunggal dengan harga Rf 0,64 dan hasil sebanyak 8,40 g(72,91%). Dari hasil analisa basa Schiff menggunakan spektroskopi FT-IR diperoleh spektrum dengan puncak-puncak daerah serapan pada bilangan gelombang 3873,06 cm-1, 3834,49 cm-1, 3032,1 cm-1, 2924,09 cm-1, 2854,65 cm-1, 2337,72 cm-1, 1951,96 cm-1, 1890 cm-1, 1813,09 cm-1, 1635,64 cm-1, 1489,05 cm-1, 1450,47 cm-1, 1381,03 cm-1, 1257,59 cm-1, 1149,57 cm-1, 1072,42 cm-1, 987,55 cm-1, 918,12 cm-1, 748,38 cm-1, 694,37 cm-1, 570,93 cm-1, 509,21 cm-1, 347,19 cm-1, 316,33 cm-1. (Gambar 4.1). Dari hasil analisa spektroskopi UV-Vis terjadi pertambahan panjang gelombang dari 290 nm untuk sinamaldehida (Gambar 4.2) menjadi 403 nm untuk basa schiff I (Gambar 4.3).


(47)

Gambar 4.1. Spektrum FT-IR Basa Schiff I


(48)

Gambar 4.3. SpektrumUV-Vis Basa Schiff I

4.1.2. Sintesis Basa Schiff (2E)-1-phenyl-2-[(2E)-3phenylprop-2-en-1-ylidene] hydrazin dari Sinamaldehida diikuti kondensasidengan Fenilhidrazin (Basa Schiff II)

Basa Schiff ini dihasilkan dari reaksi kondensasi antara sinamaldehida dengan fenilhidrazin dalam pelarut etanol yang direfluks selam 1 jam. Hasil dari reaksi ini di lakukan analisaKLT dengan menggunakan adsorben silika gel Kieselgel 60 HF254

dengan devoloper n-Heksan : etanol yaitu 9:1 (v/v) diperoleh harga Rf untuk

sinamaldehidasebesar 0,26. Untuk basa Schiff II diperolehnoda tunggal dengan harga Rf 0,46dan hasil sebanyak 9,54 g (85,94%).Analisa dengan spektroskopi FT-IR diperoleh spektrum dengan puncak-puncak daerah serapan pada bilangan gelombang 3873,06 cm-1, 3441,01 cm-1, 3224,98 cm-1, 3001,24 cm-1, 2924,09 cm-1, 2854,65 cm-1, 2746,63 cm-1, 2623,19 cm-1, 2337,72 cm-1, 1951,96 cm-1, 1890,24 cm-1, 1674,21 cm-1, 1627,92 cm-1, 1489,05 cm-1, 1450,47 cm-1, 1373,32 cm-1, 1257,59 cm-1, 1195,87 cm-1, 1072,42 cm-1, 987,55 cm-1, 748,38 cm-1, 686,66 cm-1, 570,93 cm-1, 509,21 cm-1, 470,63 cm-1, 378,05 cm-1 ( Gambar 4.4). Dari hasil analisa spektroskopi UV-Vis terjadi pertambahan panjang gelombang dari 290 nm untuk sinamaldehida (Gambar 4.2) menjadi 360 nm untuk basa schiff II (Gambar 4.5).


(49)

Gambar 4.4. Spektrum FT-IR Basa Schiff II


(50)

Adapun sifat-sifat fisik dari basa schiff yang dihasilkan seperti pada tabel 4.1 berikut ini:

Tabel 4.1. Sifat Fisik Basa Schiff

Senyawa Bentuk fisik Warna Titik lebur (oC)

Yield (%)

Basa schiff I Padatan Coklat 162-164 85,68

Basa Schiff II Padatan Kuning

kecoklatan

138-140 73,39

Adapun hasil spektrum UV-Vis dan rumus molekul dari basa schiff yang dihasilkan seperti pada tabel 4.2 berikut ini:

Tabel 4.2. Spektrum UV-Vis dan Rumus Molekul Sinamaldehida dan Basa Schiff

4.1.3. Penentuan Efisiensi Inhibitor Korosi

Pengujian efisiensi inhibitor korosi dilakukan dengan perendaman lempeng seng dalam larutan media korosi HCl 0,1 N dengan penggunaan inhibitor yaitu sinamaldehida, etilendiamin, fenilhidrazin, basa Schiff I, Basa Schiff II, dan tanpa penggunaan inhibitor. Variasi waktu yang digunakan yaitu 24 jam, 48 jam, 72 jam, 96 jam, dan 120 jam. Sedangakan untuk variasi konsentrasi inhibitor yaitu 1000 ppm, 3000 ppm, 5000 ppm, dan 7000 ppm. Adapun nilai efisiensi inhibitor rata-rata dari berbagai sampel dapat dilihat pada tabel 4.3 sampai tabel 4.8 dibawah ini.

Senyawa Rumus molekul max (nm)

Sinamaldehida C9H80 290

Basa Schiff I C20H20N2 403


(51)

Tabel 4.3. Hasil perendaman Lempeng Seng Tanpa Penggunaan Inhibitor Dalam Larutan Media Korosif HCl 0,1 N

Tabel 4.4. Hasil Perendaman Lempeng Seng dengan Menggunakan Inhibitor Sinamaldehida dalam Larutan Media Korosif HCl 0,1 N

Konsentrasi Inhibitor (ppm) Waktu Perendaman (Jam) Berat Awal Lempeng Seng (g) Berat Akhir Lempeng Seng (g) Kehilangan Berat Lempeng Seng (g) Efisiensi Inhibitor (%) Efisiensi Inhibitor Rata-Rata (%) 1000

24 2,5227 2,4597 0,0630 51,12

47,96

48 2,5466 2,4660 0,0806 49,11

72 2,5956 2,5054 0,0902 47,86

96 2,7754 2,6776 0,0978 46,58

120 2,5553 2,4496 0,1057 45,17

3000

24 2,7001 2,6423 0,0578 55,17

52,35

48 2,5761 2,5031 0,0730 53,91

72 2,4852 2,4025 0,0827 52,17

96 2,5426 2,4529 0,0897 51,01

120 2,3499 2,2526 0,0973 49,53

5000

24 2,4509 2,3973 0,0536 58,41

55,22

48 2,3887 2,3193 0,0694 56,18

72 2,7256 2,6484 0,0772 55,37

96 2,5969 2,5121 0,0848 53,68

120 2,5322 2,2406 0,0916 52,48

7000

24 2,2292 2,1797 0,0495 61,59

58,18

48 2,2790 2,5191 0,0639 59,65

72 2,6050 2,5326 0,0724 58,15

96 2,1499 2,0702 0,0797 56,47

120 2,3357 2,2491 0,0866 55,08

Konsentrasi Inhibitor (ppm) Waktu Perendaman (jam) Berat awal lempeng seng (g) Berat Akhir lempeng Seng (g) Kehilangan Berat Lempeng seng (g) Efisiensi Inhibitor (%)

0 24 2,2757 2,1468 0,1289

0 48 2,6162 2,4578 0,1584

0 72 2,4746 2,3016 0,1730

0 96 2,3433 2,1602 0,1831


(52)

Tabel 4.5.Hasil Perendaman Lempeng Seng dengan Menggunakan Inhibitor Fenilhidrazindalam Larutan Media Korosi HCl 0,1 N

Konsentrasi Inhibitor (ppm) Waktu Perendaman (Jam) Berat Awal Lempeng Seng (g) Berat Akhir Lempeng Seng (g) Kehilangan Berat Lempeng Seng (g) Efisiensi Inhibitor (%) Efisiensi Inhibitor Rata-Rata (%) 1000

24 2,3350 2,2335 0,1015 21,25

17,64

48 2,2847 2,1573 0,1274 19,57

72 2,0741 1,9307 0,1434 17,14

96 1,8233 1,6688 0,1545 15,61

120 1,9930 1,8284 0,1646 14,63

3000

24 1,9597 1,8666 0,0931 27,77

24,38

48 2,2453 2,1266 0,1187 25,06

72 2,1021 1,9718 0,1303 24,68

96 2,3360 2,1945 0,1415 22,71

120 2,0731 1,9221 0,1510 21,68

5000

24 2,1242 2,0375 0,0867 32,73

28,67

48 2,1459 2,0361 0,1098 30,55

72 2,7327 2,6205 0,1122 29,36

96 1,7209 1,5869 0,1340 26,81

120 1,9599 1,8132 0,1467 23,91

7000

24 1,9969 1,9195 0,0774 38,40

35,01

48 1,9396 1,8403 0,0993 37,31

72 1,8565 1,7354 0,1121 35,20

96 1,9659 1,8441 0,1218 33,47


(53)

Tabel 4.6. Hasil Perendaman Lempeng Seng dengan Menggunakan Inhibitor Etilendiamin dalam Larutan Media Korosi HCl 0,1 N

Konsentrasi Inhibitor (ppm) Waktu Perendaman (Jam) BeratAwal Lempeng Seng (g) Berat Akhir Lempeng Seng (g) Kehilangan Berat Lempeng Seng (g) Efisiensi Inhibitor (%) Efisiensi Inhibitor Rata-Rata (%) 1000

24 2,1248 2,0477 0,0771 40,26

36,70

48 2,0291 1,9329 0,0962 39,33

72 2,1367 2,0288 0,1079 37,68

96 2,3239 2,2035 0,1204 34,24

120 2,2647 2,1336 0,1311 32,02

3000

24 2,0021 1,9303 0,0718 44,31

41,10

48 1,7805 1,7087 0,0872 43,01

72 1,7305 1,6290 0,1015 41,37

96 2,2236 2,1121 0,1115 39,12

120 2,0995 1,9793 0,1202 37,69

5000

24 2,1127 2,0477 0,0650 49,64

45,70

48 2,0908 2,0087 0,0821 48,21

72 1,8329 1,7393 0,0936 45,93

96 2,3401 2,2358 0,1043 43,03

120 2,1428 2,0304 0,1124 41,72

7000

24 2,0014 1,9411 0,0603 53,28

50,04

48 1,9260 1,8506 0,0754 52,41

72 2,1316 2,0452 0,0864 50,23

96 2,2861 2,1918 0,0943 48,53


(54)

Tabel 4.7. Hasil perendaman Lempeng Seng Dengan Menggunakan Inhibitor Basa Schiff I Dalam Larutan Media Korosif HCl 0,1 N

Konsentrasi Inhibitor (ppm) Waktu Perendaman (Jam) BeratAwal Lempeng Seng (g) BeratAkhir Lempeng Seng (g) Kehilangan Berat Lempeng Seng (g) Efisiensi Inhibitor (%) Efisiensi Inhibitor Rata-Rata (%) 1000

24 2,1892 2,1655 0,0237 81,61

77,07

48 2,4430 2,4115 0,0315 80,11

72 2,4448 2,4058 0,0390 77,44

96 2,5840 2,5372 0,0468 74,41

120 2,2317 2,1772 0,0545 71,76

3000

24 2,5772 2,5660 0,0122 90,53

80,16

48 2,3192 2,2960 0,0232 85,35

72 2,7034 2,6635 0,0399 76,93

96 2,6348 2,5890 0,0458 74,98

120 2,5796 2,5275 0,0521 73,05

5000

24 2,7632 2,7528 0,0104 91,93

85,10

48 2,4961 2,4805 0,0156 90,15

72 2,7818 2,7592 0,0226 86,93

96 2,6513 2,6128 0,0385 78,97

120 2,2705 2,2272 0,0433 77,56

7000

24 2,3318 2,2234 0,0084 93,48

90,17

48 2,3831 2,3703 0,0128 91,91

72 2,5728 2,5576 0,0152 91,21

96 2,2803 2,2596 0,0207 88,69


(55)

Tabel 4.8. Hasil Perendaman Lempeng Seng Dengan Menggunakan Inhibitor Basa Schiff II dalam Larutan Media Korosif HCl 0,1 N

Konsentrasi Inhibitor (ppm) Waktu Perendaman (Jam) Berat Awal Lempeng Seng (g) Berat Akhir Lempeng Seng (g) Kehilangan Berat Lempeng Seng (g) Efisiensi Inhibitor (%) Efisiensi Inhibitor Rata-Rata (%) 1000

24 2,3529 2,3162 0,0367 71,56

68,18

48 2,4498 2,4015 0,0483 69,50

72 2,5263 2,4722 0,0541 68,72

96 2,7491 2,6874 0,0617 66,30

120 2,5492 2,4814 0,0678 64,83

3000

24 2,5063 2,4746 0,0317 75,46

72,36

48 2,2636 2,2221 0,0415 73,80

72 2,4623 2,4151 0,0472 72,71

96 2,0954 2,0418 0,0536 70,72

120 2,3848 2,3257 0,0591 69,13

5000

24 2,2211 2,9381 0,0283 78,04

75,10

48 2,3170 2,2818 0,0302 77,77

72 2,3931 2,3502 0,0429 75,20

96 2,4210 2,3729 0,0481 73,73

120 2,3102 2,2539 0,0563 70,79

7000

24 2,5390 2,5153 0,0237 81,61

78,47

48 2,2792 2,2490 0,0302 80,99

72 2,4267 2,3909 0,0358 79,30

96 2,3792 2,3351 0,0441 75,91


(56)

4.2. Pembahasan

4.2.1. Hasil Sintesis BasaSchiff(1E,2E,1’E,2’E) N-N’-ethana-1,2 diyblis (3 phenylprop 2-en-1-imine) Schiff Melalui Reaksi Kondensasi Antara Sinamaldehida Dengan Etilendiamin (Basa Schiff I)

Adapun reaksi pembentukan basa Schiff I hasil kondensasi sinamaldehida dengan etilendiamin secara hipotesa memberikan reaksi sebagai berikut (Gambar 4.6).

CH CH C H O

NH2 CH2 =

2 +

NH2 CH2

CH2 CH2

refluks 78-830C

CH=CH C

H H

=N N=C CH CH +2H2O

Basa Schiff

=

Gambar 4.6. Reaksi Pembentukan Basa Schiff I

Basa Schiff ini dihasilkan dari reaksi kondensasi antara sinamaldehida dengan etilendiamin sebagai sumber amina primer dalam pelarut etanol yang direfluks selama 5 jam. Reaksi tersebut telah terbentuk dengan adanya dukungan data dari hasil analisa dengan menggunakan spektroskopi FT-IR yang menunjukkan munculnya uluran C=N pada puncak serapan daerah bilangan gelombang 1627,92 cm-1 menunjukkan vibrasi (C=N) dan didukung dengan serapan ulur C-N pada bilangan gelombang 1126,43 cm

-1

. Serapan bilangan gelombang 3001,24 cm-1didukung dengan serapan ulur 1674,21 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi C=C dari senyawa aromatis. Hal ini juga didukung oleh puncak vibrasi pada daerah bilangan gelombang 2924,09 cm-1 dan 2854,65 cm-1 menunjukkan serapan khas vibrasi stretching (C-H) sp3 yang didukung dengan vibrasi bending (C-H) sp3 pada daerah bilangan gelombang 1373,32 cm-1.(Gambar 4.1).Dalam pembuatan basa Schiff dengan terbentuknya ikatan imina (C=N) dalam analisa spektroskopi UV-Vis maka akan terjadi pergeseran panjang gelombang seperti yang telah dilakukan Azzouz and R.T.Ali (2010) dalam sintesis basa Schiff dari benzaldehida dan salisilat dengan asam amino dengan sebuah metode baru dimana terjadi pertambahan panjang gelombang dari 247 nm menjadi 327 nm untuk basa Schiff.Hasil analisa dengan spektroskopi UV-Vis terjadi pertambahan panjang gelombang dari 290 nm untuk sinamaldehida (Gambar 4.2) menjadi 403 nm untuk basa Schiff I (Gambar 4.3). Hal ini menunjukkan bahwa pada senyawa tersebut terjadi pertambahan ikatan rangkap terkonjugasi yang disebabkan adanya gugus fungsi yang terikat pada bagian molekul yang menghasilkan serapan.


(57)

Dalam reaksi pembentukan basa Schiff I untuk menghasilkan senyawa tersebut digunakan sinamaldehida berlebih dengan perbandingan mol (2:1) dan jika dilakukan secara stoikiometri terjadi campuran basa Schiff yang hanya sebagian gugus amina dari etilendiamin yang bereaksi sehingga antara mono substituent dan di substituent dari basa Schiff sulit dipisahkan baik secara kromatografi. Ini dibuktikan dengan spektrum FT-IR dari hasil reaksi dimana gugus amina tetap muncul pada daerah bilangan gelombang 3425,38 cm-1(lampiran 2). Dengan menggunakan sinamaldehida berlebih pada perbandingan mol (2,5:1) dan waktu refluks 5 jam diharapkan gugus amina dari etilendiamin dapat bereaksi sempurna menghasilkan basa Schiff sedangkan sinamaldehida yang tidak bereaksi dengan mudah dapat dipisahkan dengan destilasi vakum.

4.2.2. Hasil Sintesis Basa Schiff (2E)-1-phenyl-2-[(2E)-3phenylprop-2-en-1-ylidene]hydrazinMelalui Reaksi Kondensasi Sinamaldehida dengan Fenilhidrazin

Adapun reaksi pembentukan basa Schiff II hasil kondensasi sinamaldehida dengan fenilhidrazin secara hipotesa memberikan reaksisebagai berikut (Gambar 4.3).

CH CH C H O

= +

refluks 78-830C

NH NH2

= CH=CH C

H N NH Basa Schiff

+ H2O

Gambar 4.7. Reaksi Pembentukan Basa Schiff II

Basa Schiff ini dihasilkan dari reaksi kondensasi antara sinamaldehida dengan fenilhidrazin sebagai sumber amina primer dalam pelarut etanol yang direfluks selama 1 jam. Reaksi tersebut telah terbentuk dengan adanya dukungan data dari hasil analisa dengan menggunakan spektroskopi FT-IR yang menunjukkan munculnya uluran C=N pada puncak serapan daerah bilangan gelombang 1597,06 cm-1 menunjukkan vibrasi (C=N) dan didukung dengan ulur C-N pada bilangan gelombang 1134,14 cm-1. Serapan pada bilangan gelombang 3101,54 cm-1 didukung dengan serapan ulur 1519,91 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi C=C dari senyawa aromatis. Hal ini didukung oleh puncak vibarasi pada daerah bilangan gelombang 2939,52 cm-1 dan 2893,22 cm-1 menunjukkan serapan khas vibrasi stretching (C-H) sp3 yang didukung


(1)

b. Selama 48 jam

EI% Wo - W1

Wo X 100%

= = =

X 100% 0,1584 - 0,0730

0,1584 53,91 %

c. Selama 72 jam

EI% Wo - W1

Wo X 100%

=

= =

X 100% 0,1730 - 0,0827

0,1730 52,17 %

d. Selama 96 jam

EI% Wo - W1

Wo X 100%

=

= =

X 100% 0,1831 - 0,0897

0,1831 51,01 % e. Selama 120 jam

EI% Wo - W1

Wo X 100%

=

= =

X 100% 0,1928 - 0,0973

0,1928 49,53 %


(2)

Rata-rata efisiensi inhibitor:

EI (%) rata-rata =

EI (%) 24 jam + EI (%) 48 jam + EI (%) 72 jam + EI (%) 96 jam + EI (%) 120 jam

=

5

5

=

55,17% + 53,91% + 52,17% + 51,01% + 49,53%

52,35 %

3. Untuk konsentrasi 5000 ppm

a. Selama 24 jam

EI% Wo - W1

Wo X 100%

=

= =

X 100% 0,1289 - 0,0536

0,1289 58,41 %

b. Selama 48 jam

EI% Wo - W1

Wo X 100%

=

= =

X 100% 0,1584 - 0,0694

0,1584 56,18 % c. Selama 72 jam

EI% Wo - W1

Wo X 100%

=

= =

X 100% 0,1730 - 0,0772

0,1730 55,37 %


(3)

d. Selama 96 jam EI% Wo - W1

Wo X 100%

=

= =

X 100% 0,1831 - 0,0848

0,1831 53,68 %

e. Selama 120 jam

EI% Wo - W1

Wo X 100%

=

= =

X 100% 0,1928 - 0,0916

0,1928 52,48 %

Rata-rata efisiensi inhibitor:

EI (%) rata-rata =

EI (%) 24 jam + EI (%) 48 jam + EI (%) 72 jam + EI (%) 96 jam + EI (%) 120 jam

=

5

5

=

58,41% + 56,18% + 55,37% + 53,68% + 52,48%


(4)

4. Untuk konsentrasi 7000 ppm

a. Selama 24 jam

EI% Wo - W1

Wo X 100%

=

= =

X 100% 0,1289 - 0,0495

0,1289 61,59 %

b. Selama 48 jam

EI% Wo - W1

Wo X 100%

=

= =

X 100% 0,1584 - 0,0639

0,1584 59,65 %

c. Selama 72 jam

EI% Wo - W1

Wo X 100%

=

= =

X 100% 0,1730 - 0,0724

0,1730 58,15 %

d. Selama 96 jam

EI% Wo - W1

Wo X 100%

=

= =

X 100% 0,1831 - 0,0797

0,1831 56,47 %


(5)

e. Selama 120 jam

EI% Wo - W1

Wo X 100%

=

= =

X 100% 0,1928 - 0,0866

0,1928 55,08 %

Rata-rata efisiensi inhibitor:

EI (%) rata-rata =

EI (%) 24 jam + EI (%) 48 jam + EI (%) 72 jam + EI (%) 96 jam + EI (%) 120 jam

=

5

5

=

61,59% + 59,65% + 58,15% + 56,47% + 55,08%

58,18 %

Dilakukan perhitungan yang sama untuk menghitung nilai rata-rata efisiensi etilendiamin, fenilhidrazin,Basa Schiff I dan Basa Schiff II pada tabel 4.3-4.6.


(6)

Lampiran 7. Alat yang Digunakan dalam Penelitian

Alat Destilasi Vakum Rangkaian alat Refluks Lampiran 8. Hasil yang Diperoleh dalam Penelitian

Basa Schiff Hasil Kondensasi Basa Schiff Hasil Kondensasi Sinamaldehida Dengan Etilendiamin Sinamaldehida Dengan Fenilhidrazin

Lampiran 9. Uji Efisiensi korosi pada Logam Seng


Dokumen yang terkait

Sintesis Basa Schiff Dari Hasil Kondensasi Etilendiamin Dan Anilina Dengan Senyawa Aldehida Hasil Ozonolisis Metil Oleat Serta Pemanfaatannya Sebagai inhibitor Korosi Pada Logam Seng

24 143 103

Sintesis Basa Schiff Dari Hasil Kondensasi Sinamaldehida Dengan Etilendiamin dan Fenilhidrazin Serta Pemanfaatannya Sebagai Inhibitor Korosi Pada Logam Seng

0 0 12

Sintesis Basa Schiff Dari Hasil Kondensasi Sinamaldehida Dengan Etilendiamin dan Fenilhidrazin Serta Pemanfaatannya Sebagai Inhibitor Korosi Pada Logam Seng

0 0 2

Sintesis Basa Schiff Dari Hasil Kondensasi Sinamaldehida Dengan Etilendiamin dan Fenilhidrazin Serta Pemanfaatannya Sebagai Inhibitor Korosi Pada Logam Seng

0 0 5

Sintesis Basa Schiff Dari Hasil Kondensasi Sinamaldehida Dengan Etilendiamin dan Fenilhidrazin Serta Pemanfaatannya Sebagai Inhibitor Korosi Pada Logam Seng

0 2 18

Sintesis Basa Schiff Dari Hasil Kondensasi Sinamaldehida Dengan Etilendiamin dan Fenilhidrazin Serta Pemanfaatannya Sebagai Inhibitor Korosi Pada Logam Seng

0 1 5

Sintesis Basa Schiff Dari Hasil Kondensasi Sinamaldehida Dengan Etilendiamin dan Fenilhidrazin Serta Pemanfaatannya Sebagai Inhibitor Korosi Pada Logam Seng

0 0 12

Sintesis Basa Schiff Dari Hasil Kondensasi Etilendiamin Dan Anilina Dengan Senyawa Aldehida Hasil Ozonolisis Metil Oleat Serta Pemanfaatannya Sebagai inhibitor Korosi Pada Logam Seng

0 0 13

Sintesis Basa Schiff Dari Hasil Kondensasi Etilendiamin Dan Anilina Dengan Senyawa Aldehida Hasil Ozonolisis Metil Oleat Serta Pemanfaatannya Sebagai inhibitor Korosi Pada Logam Seng

0 0 20

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oleokimia - Sintesis Basa Schiff Dari Hasil Kondensasi Etilendiamin Dan Anilina Dengan Senyawa Aldehida Hasil Ozonolisis Metil Oleat Serta Pemanfaatannya Sebagai inhibitor Korosi Pada Logam Seng

0 0 23