Pemecahan Alternatif

PEMECAHAN ALTERNATIF
KRISIS EKONOMI
MOHAMMAD BASYUNI, S. HUT, M.Si
Fakultas Pertanian
Program Ilmu Kehutanan
Universitas Sumatera Utara
Krisis
ekonomi
yang
telah
berlangsung
3
tahun
lebih
nyaris
memporakporandakan seluruh sendi sosial kemasyarakatan negeri ini, hinggi kini
belum berakhir dan semakin parah. Berbagai upaya yang telah ditempuh pemerintah
namun belum mampu membawa masyarakat keluar dari krisis. Nilai dollar AS masih
belum stabil dan masih dikisaran Rp 9.000 per 1 US dollar. Apalagi sektor riil belum
sembuh seperti sedia kala. Artinya, semua langkah-langkah perbaikan temyata tidak
secara langsung menunjukkan hasil. Mengapa? Apakah itu berarti bahwa langkahlangkah penyembuhan itu tidak menyentuh akar persoalan sebenarnya dari

munculnya krisis ?
Seperti diketahui, krisis ekonomi di Indonesia diawali oleh krisis moneter,
yakni penurunan nilai (depresiasi) rupiah terhadap dollar Ketika krisis moneter
dimulai nilai tukar rupiah terhadap dollar awal Juli 1997 yakni kurs rupiah Rp 2.445
per 1 US dolar, lima bulan kemudia kurs rupiah menjebol angka Rp 6 ribu per 1 US
dollar. Dan, tak terduga oleh siapapun rupiah melorot mencapai titik yang sulit
dipahami : Rp 11.000 per 1 US dollar. Ini terjadi pada hari kamis, 8 Januari 1998
bersamaan dengan histeria masyarakat yang panik karena berbagai isu yang
bersliweran. Puncak penurunan nilai rupiah terhadap dollar terjadi pada tanggal 18
Januari 1998, dimana satu dollar AS setara dengan Rp 16.000.
Setelah reformasi bergulir, masyarakat banyak berharap dengan pergantian
pucuk pimpinan kenegaraan, supaya nilai tukar rupiah akan turun dan stabil. Hal ini
memang terjadi sesaat pada bulan Oktober 1999 kurs rupiah menguat terhadap
dollar sebesar Rp 6.750 per 1 US dolar. Namun, setahun pemerintahan ini tidak
mampu memperlahankan nilai tersebut. Yang terjadi justru semakin terpuruk Pada
pekan kedua bulan November 2000 dollar nangkring di posisi Rp 9000-an. Bahkan
pekan lalu, nilai rupiah sempat terseok-seok, melorot hingga Rp 9.400 per satu
dollar AS. Dan berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas, 2 3 November 2000 terhadap 898 pemilik telepon di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya,
Medan, Palembang, Samarinda, Makassar, dan Manado tentang nasib rupiah
terhadap mala uang asing sampai akhir tahun ini, 63 % responden menjawab

melemah; 17,1 % menjawab menguat, dan 19,9 % menjawab tidak tahu (Kompas,
6 November 2000).
Pemicu krisis : Kekacauan Sektor Non Riil (Moneter)
Bila dicermati, krisis ekonomi yang melanda negeri ini, juga belahan dunia
lain, sesungguhnya dipicu oleh dua sebab utama yakni :
• Persoalan mala uang yang terikat dengan mata uang lainnya (dolar
AS).
• Uang tidak sekedar alat tukar tapi sebagai komoditi dan ditarik
keuntungan (interest) alias riba/bunga.
Bahwasanya aktivitas ekonomi itu bersinggungan dengan aktivitas riil, usaha
manusia, manfaat, harga atas barang dan jasa maupun keuntungan-keuntungan
yang diperolehnya. Segala bentuk yang menghasilkan produk ekonomi secara riil,
baik barang ataupun jasa, serta usaha-usaha untuk menghasilkannya adalah bagian
penting dari ekonomi riil. Misalnya, seseorang menanamkan modalnya untuk

©2003 Digitized by USU digital library

1

membangun pabrik yang menghasilkan suatu barang yang dijual kepada masyarakat

luas dengan harga tertentu (biasanya cost product + margin). Jadi seseorang
mendirikan usaha itu memang menanamkan secara riil uangnya dan memperoleh
secara riil pula keuntungannya, di samping ia menjual barang yang juga riil
(berbentuk fisik ataupun memberikan jasa) yang mempunyai mantaat. Dalam kasus
ini pertumbuhan ekonomi betul-betul berkembang secara riil. Jumlah uang yang
beredar pun selalu selaras dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi sektor riil
(sesuai dengan jumlah barang dan jasa yang dimantaatkan masyarakat). Jadi jika
jumlah uang yang beredar di tengah-tengah masyarakat terbatas, maka tidak
mungkin masyarakat akan membeli barang atau jasa dengan mudah, dan ini akan
mempengaruhi produksi barang ataupun jasa. Dua perkara ini selalu berkait.
Sayangnya sistem ekonomi Kapitalis yang kafir den bathil itu telah
memperkenalkan kepada kaum muslimin apa yang dikenal dengan sektor ekonomi
non riil, sepeni bunga/riba dengan berbagai jenisnya, surat-surat berharga ataupun
akta yang dikeluarkan oleh lembaga perbankan maupun pasar bursa yang dijadikan
jaminan sekaligus alat tukar, sebagaimana layaknya uang. Ketertiban sektor inilah
yang menjadi biang kehancuran ekonomi. Karena pertumbuhan barang ataupun jasa
yang riil tidak sama dengan jumlah uang yang dimainkan (jumlah uang secara teori
bukan fakta/riil) dalam perekonomian secara keseluruhan.
Sebagaimana diketahui bahwa arus perputaran uang di pasar bursa
jumlahnya amat besar yang tercermin dalam indeks harga saham gabungan (IHSG).

Investasi dan perputaran di pasar bursa semacam ini, tidak bersentuhan langsung
dengan roda perekonomian riil. Karena memang para pemain di pasar bursa itu
membeli ataupun menjual sahamnya bukan untuk memiliki perusahaan dan
menginvestasikan uangnya dalam sektor riil (seperti membangun pabrik atau
mengembangkan sektor jasa riil), akan tetapi ia akan mainkan dengan
memanfaatkan selisih harga saham beli dan jualnya. Begitu seterusnya. Akibatnya
arus uang/harta di negeri-negeri yang masih lemah pasar bursanya dengan mudah
dirampas oleh pemain asing dan dibawa ke luar negeri. Inilah yang akhirnya mampu
menggoyang sistem moneter di negeri ini karena tersedotnya modal keluar dalam
jumlah yang besar, sehingga mata uangpun berjatuhan dan kepercayaan kepada
mata uang sudah teramat rendah.
Pakar manajemen dunia, Peter Drucker menyebut gejala ketidakseimbangan
antara arus moneter dengan arus barang dan jasa sebagai decoupling. Apalagi,
bersamaan dengan itu, marak pula fenomena kegiatan ekonomi dan bisnis spekulatif
(terutama di dunia pasar modal, pasar valas, dan properti). Akibatnya dunia
terjangkiti penyakit ekonomi balon (buble economy); sebuah ekonomi yang besar
dalam perhitungan kuantitas moneternya, tetapi tidak diimbangi oleh sektor riil,
bahkan sektor riil amat lambat lajunya. Sebagai perbandingan, dana yang berputar
di sektor non rill dalam satu tahun berjumlah sekitar 700 trilyun dolar AS, sementara
sektor riil hanya seki1ar 7 trilyun dolar AS atau hanya seperseratusnya. Hal ini

menunjukkan bahwa uang kini makin tidak lagi sekedar sebagai alai tukar, tetapi
telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan atau dispekulasikan. Dengan itu,
orang dapat meraup keuntungan milyaran dolar juga.
Akibat-akibat lebih besar dari rusaknya sistem Kapitalis dengan menerapkan
konsep ekonomi non rill akan terus bergulir seperti bola salju dan sifat ini melekat
kuat dalam sistem Kapitalis. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk membebaskan
diri dari kungkungan problematika sistem Kapitalis adalah dengan mencampakkan
jauh- jauh sistem bathil ini.
Riba Sumber labilitas Ekonomi
Dari manuskript sejarah yang masih tersisa diperoleh keterangan bahwa
praktek riba telah lama dikenal. Plato dalam bukunya yang terkenal The Law of

©2003 Digitized by USU digital library

2

Plato, telah melarang agar orang-orang jangan meminjamkan uang dengan
memungut rente (lihat Drs Syarbini Harahap, bunga Uang dan Riba dalam Hukum
Islam", hal. 126-127). Sedangkan muridnya yaitu Aristoteles secara tegas mengutuk
sistem riba. Dia menyebut bunga uang dengan istilah, ayam betina yang mandul dan

tidak bisa bertelur.
Yang terpenting dari semua itu, adalah bahwa memperlakukan uang sebagai
komoditi dengan cara memungut bunga adalah sebuah dosa besar, yang dosanya
menurut hadits lebih besar dari Zina dengan ibunya sendiri. Allah mengutuk orang
yang terlibat dalam mekanisme keuangan ribawi. Ketentuan ini secara empiris dapat
dipahami, karena dijalankannya sistem ribawi akan membawa kehancuran bagi
seluruh tatanan ekonomi masyarakat secara luas seperti yang kini tengah terjadi
"Untuk riba ada 99 pintu dosa, yang paling rendah (derajatnya, seperti) seorang
yang menzinahi ibunya" (HR. Daruquthni).
"Allah melaknat pemakan riba, yang memberi, saksi-saksinya dan penulisnya" (HR.
Bukhari Muslim)
Allah memerintahkan kita untuk meninggalkan praktek ekonomi ribawi. Bila tidak,
ancamannya di dunia dan di akhirat sungguh sangat pedih.
"Tinggalkanlah 7 hal yang dapat membinasakan". Orang-orang bertanya, apakah
gerangan wahai Rasul Saw ? Beliau menjawab :syirik kepada Allah, sihir, membunuh
jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan
harta anak yatim, melarikan diri waktu datang serangan musuh, dan menuduh
wanita mukmin yang suci tapi berzina "(HR. Bukhari Muslim:).
"Apabila riba dan zina telah merajelala disuatu negeri, maka rakyat dinegeri itu sama
saja telah menghalalkan dirinya dengan azab Allah H (HR. Abu Ya'ta dan AI Hakim)

Abu Hurairah Berkata, Rasul Saw bersabda :"ketika malam mi'raj aku melihat suatu
kaum perut mereka bagaikan rumah tampak didalamnya ular-ular berjalan keluar
lalu aka bertanya, siapakah mereka itu hai Jibril” ? Jawab Jibril :" Mereka pemakan
riba" (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)Secara makro sebuah tatanan ekonomi masyarakat yang ditopang dengan
sistem ribawi tidak akan pernah betul-betul sehat. Kalaupun suatu ketika tampak
sehat, ia sesungguhnya tengah menuju ke-satu titik kolaps dari sebuah siklus krisis
ekonomi yang dialami terus-menerus selama beberapa tahun akan berbalik dan
terhenti, persis seperli yang sebelumnya dialami Thailand. Pertumbuhan ekonomi
sebesar 7,6% yang mereka nikmati sejak awal tahun 1990 temayata tidak bertahan
lama. Setelah baht mengalami depresiasi terhadap dolar AS beberapa lalu yang
memaksa pemerintah melakukan devaluasi, kini masyarakat di sana tengah dilanda
resesi ekonomi yang sangat mengkhawatirkan. Bank-bank, juga media cetak.(koran
dan majalah). Dan elektronik (TV Swasta) yang sebelumnya tumbuh seperti jamur di
musim hujan kini banyak yang bangkrut, proyek konstruksi macet, gedung-gedung
baru banyak yang kosong tak berpenghuni, hotel-hotel cuma terisi separo, hargaharga membumbung, pengangguran membengkak (bila krisis terus berlanjut
diperkirakan 3 juta orang dari 25 juta angkatan kerja akan menganggur), keresahan
menajam, dan tingkat bunuh diri makin tinggi (Ummat, 3,'11i1997:).
Dari uraian di atas, maka tingkat suku bunga uang yang tinggi maupun yang
rendah, keduanya tidak mampu mendorong kegiatan ekonomi usaha yang produktif,
apalagi mendorong kegiatan ekonomi terutama pada saat terjadi resesi/krisis seperti

saat ini. lagi pula jumlah uang yang ditabung oleh perorangan pada suatu tingkat
penghasilan tertentu, tidaklah memiliki pengaruh terhadap perubahan besarnya suku
bunga uang. Oleh karena itu, pernyataan Henderson yang mengatakan bahwa
tingkat suku bunga uang merupakan alat penyelidik tentang mengapa modal dapat
berpindah - pindah, melalui apa dan pada sektor kehidupan apa saja modal bisa
ditanamkan serta apa saja yang pada mass datang dapat memberikan hasil yang
paling tinggi, adalah tidak benar selama-lamanya (Iihat A. Henderson, Supply and

©2003 Digitized by USU digital library

3

Demand, halo 130). Sebab pada tingkat suku bunga uang 0 (yaitu tidak ada bunga
uang) transaksi atau aktivitas ekonomi malahan meningkat pesat dan mampu
mengurangi tingkat pengangguran dan mempercepat peredaran uang di masyarakat.
Dalam pembahasan suku bunga uang, lord Keynes sampai pada suatu
kesimpulan bahwasanya suku bunga uang hanyalah pengaruh angan-angan manusia
saja (highly convensional), dan setiap tingkat suku bunga uang terpaksa diterima
masyarakat
yang

dalam
pandangan
orang-orang
kelihatan
senantiasa
menyenangkan. Kemudian, dalam pembahasan lanjutan tentang suku bunga uang,
ia menghubungkannya dengan permodalan yang ada. Keynes mengatakan bahwa
suku bunga uang dalam suatu masyarakat yang berjalan normal akan sama dengan
0, dan ia meyakini bahwa manusia bisa mendapatkan uang dengan jalan berusaha.
la telah menunjukkan ketidakbenaran pendapat yang mengatakan bahwa
pertambahan jumlah tabungan (yang penyebabnya adalah naiknya suku bunga)
akan berakibat bertambahnya jumlah penanaman modal. Sebab, seorang yang
menambah jumlah tabungannya, pada dasarya akan mengurangi jumlah tabungan
orang lain, jika hal tersebut ditinjau dari segi masyarakat secara keseluruhan.
Pengalaman selama PD II, di AS, menunjukkan bahwa masyarakat negeri itu berhasil
menabung lebih banyak dengan bunga uang rendah (cuma 1 %) dibandingkan apa
yang diperoleh 5ebelumnya dengan bunga uang yang jauh lebih tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa teori ekonomi modern berhasil menunjukkan bahwa jumlah
tabungan tidak ditentukan oleh besarya suku bunga uang, tetapi ditentukan oleh
tingkat penanaman modal.

Suku bunga uang, terlepas dari maksud untuk memperbesar modal
sebagaimana yang dianggap masyarakat saat ini, adalah merupakan suatu
penghalang kemajuan. Penyelidikan Keynes dalam hat ini sangat menarik; karena ia
beranggapan bahwa perkembangan modal tertahan oleh karena adanya suku bunga
uang. Jika saja hambatan ini dihilangkan, lanjut Keynes, maka pertumbuhan modal
di dunia modern akan berkembang cepat, sehingga pasti rnemerlukan akan diadakan
peraturan yang mengatur agar suku bunga uang harus sama dengan 0 (Iihat
Haberler, Prosperity and Depression, halo 351-352).
Maka dengan tegas Dr. Thahir Abdul Muhsin Sulairnan menyebut bahwa
bunga bank merupakan salah satu sumber labilitas perekonomian dunia. AI Qur'an
menyebutnya sebagai orang yang tidak dapat berdiri tegak rnelainkan secara
limbung bagaikan orang kemasukan syetan. Dan orang-orang yang fe-tap
rnengarnbil riba setelsh fibs larangan dari Allah diancarn akan dirnasukkan ke
neraka.

"Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri seperti berdirinya orang
yang kemasukan syetan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata :sesungguhnya jual beli itu sama

©2003 Digitized by USU digital library


4

dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadalnya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
{sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka,
mereka kekal didalamnya". (as AI- Baqarah:275).
Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya
Kembali ke Sistem Keuangan Islam
Dari fakta di atas terbukti bahwa, bunga bank memang akan selalu
memberikan tekanan kepada kegiatan ekonomi. Maka dengan sendirinya jelas pula
bahwa sistem perbankan dengan bunga sangat berpengaruh terhadap bergairah
tidaknya serta sehat tidak kegiatan ekonomi masyarkat. Kesalahan pandangan
terhadap kedudukan uang yang tidak hanya sebagai alat tukar tetapi juga sebagai
alat komoditi, serta pembuatan mata uang tidak menggunakan basis emas atau
perak sehingga nilai nominal tidak menyatu dengan nilai intrinsiknya, inilah yang
menjadi biang dari segala keruwetan ekonomi kapitalis selama ini.
Mengatasi krisis ekonomi sekarang ini, di samping harus menata sektor riil,
yang lebih penting adalah meluruskan pandangan yang keliru tadi. Bila uang
dikembalikan pada fungsinya sebagai alaI tukar saja, lantas mata uang dibuat
dengan basis emas dan perak (dinar atau dirham), maka ekonomi akan betul-betul
digerakkan oleh sektor riil saja. Tidak ada sektor non riil (dalam arti orang akan
berusaha menarik keuntungan dari mengkomoditikan uang dalam pasar uang, bank,
pasar modal, dsb). Kalaupun ada usaha disektor keuangan, itu tidaklah lebih sekedar
katakanlah, menyediakan uang untuk modal usaha yang diatur dengan sistem yang
benar (misalnya, bagi hasil). Dengan cara itu, sistem ekonomi yang bertumpu pada
sektor riil akan berjalan mantap, tidak mudah bergoyang atau digoyang seperti saat
ini. Disinilah keunggulan sistem ekonomi Islam.
Islam dengan pandangan yang bersumber dari Sang Pencipta Yang Maha
Tahu hanya memfungsikan uang hanya sebagai alaI tukar. Maka di mana uang
beredar, pasti hanya akan bertemu dengan barang dan jasa dan bukan dengan
sesama uang seperti yang terjadi pada transaksi perbankan atau pasar modal dalam
sistem kapitalis. Semakin banyak uang beredar, semakin banyak pula barang dan
jasa yang diproduksi dan diserap pasar. Akibatnya pertumbuhan ekonomi akan terus
meningkat, tanpa ada kekhawatiran terjadi kolaps seperti pada pertumbuhan
ekonomi dalam sistem kapitalistik yang bersifat siklik (Dr. Thahir Abdul Muhsin
Sulaiman, lllaju al-musykilah al-iqtishadiyah bi al islam/Menanggulangi Krisis
Ekonomi dengan Islam).
Sebagai sebuah mabda', Islam memiliki pandangan yang khas mengenai
sistem moneter atau keuangan. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab AI Amwal fi
Daulati AI Khilafah mengatakan bahwa sistem moneter atau keuangan adalah
sekumpulan kaidah pengadaan dan pengaturan keuangan dalam suatu negara. Yang
paling penting dalam sistem ke-uangan adalah penentuan satuan dasar keuangan (al
wahdatul al naqdiyatu al asasiyah) dimana kepada satuan itu dinisbahkan seluruh
nilai-nilai berbagai mata uang lain. Apabila satuan dasar keuangan itu adalah emas,
maka sistem keuangannya adalah sistem uang emas. Apabila satuan dasarnya perak
dinamakan sistem uang perak. Bila satuan dasarnya terdiri dari dua satuan mata
uang (emas dan perak), dinamakan sistem dua logam. Dan bila nilai satuan mata
uang tidak dihubungkan secara tetap dengan emas atau perak (baik terbuat dari
logam lain seperti tembaga atau dibuat dari kertas), sistem keuangannya disebut
sistem flat money.
Dalam sistem dUa logam, harus ditentukan suatu pembanding yang sifatnya
tetap baik dalam berat maupun kemurnian antara satuan mata uang emas dengan

©2003 Digitized by USU digital library

5

perak. Sehingga bisa diukur masing-masing nilai antara yang satu dengan yang
lainnya, dan bisa diketahui nilai tukarnya. Misalnya, 1 dinar emas syar'iy beratnya
4.25 gram emas dan 1 dirham perak syar'iy beratnya 2.975 gram perak. Sistem
mata uang dua logam inilah yang diadopsi oleh Rasulullah SAW. Ketika itu, kendati
menggunakan sistem mata uang dUa logam, Rasul tidak mencetak dinar dan dirham
sendiri, tetapi menggunakan dinar Romawi dan Dirham Persia (ini juga menunjukkan
bahwa sistem mata uang dua logam tidak eksklusif hanya dilakukan oleh umat
Islam).
Demikian seterusnya diterapkan oleh para khalifah hingga masa Khalifah
Abdul Malik bin Marwan (79 H). la mencetak dinar dan dirham yang khusus dengan
lafadz yang khas-Dengan cara itu, nilai nominal dan nilai intrinsik dari mata uang
dinar dan dirham akan menyatu. Artinya, nilai mata uang yang berlaku akan dijaga
oleh nilai intrinsiknya, bukan oleh daya tukar terhadap mata uang lain. Maka
seberapapun misalnya dolar AS naik nilainya, mata uang dinar akan mengikuti nilai
dolar Menghargai 425 gram emas yang terkandung dalam satu dinar Depresiasi tidak
akan terjadi. Sehingga gejolak ekonomi seperti sekarang ini insya Allah juga tidak
akan terjadi.
Secara syar'iy pemanfaatan sistem mata uang dua logam juga terasa dengan
sejumlah perkara dalam Islam yang menyangkut uang. Diantaranya tentang nisab
zakat harta yang 20 dinar emas dan 200 perak dirham perak, larangan menimbun
harta (kanzul al mal) dimana harta yang dimaksud disitu adalah emas dan perak,
sebagaimana
disebut
dalam
AI
Qur'an
surat
at
Taubah:34.

“Orang-oarng yang menyimpan emas dan perak serta tidak menafkahkannya
pada jalan Allah, hendaklah engkau beritahu mereka tentang siksaan yang pedih
(QS. At Taubah : 34).
Juga berkaitan dengan ketetapan besamya diyat dalam perkara pembunuhan
(sebesar 1000 dinar) atau batas minimal pencurian (1/4 dinar) untuk dapat dijatuhi
potong tangan. Itu semua menunjukkan bahwa standar keuangan (monetery
standar) dalam sistem keuangan Islam adalah uang emas dan perak.
Untuk menuju sistem uang dua logam, Syekh Abdul Qadim Zallum (ibid. hal
236) menyarankan sejumlah hal Diantaranya, menghentikan pencetakan uang kertas
dan menggantikannya dengan uang dua logam; menghilangkan hambatan dalam
ekspor dan impor emas; dan menghilangkan persyaratan pemilikan dan
pengusahaan emas, jual beli, dan penggunaannya dalam berbagai transaksi.
Pemanfaatan emas sebagai mata uang tentu akan mendorong eksplorasi dan
eksploitasi emas (mungkin secara besar-besaran) untuk mencukupi kebutuhan
transaksi yang semakin meningkat. Cukupkah persediaan emas yang ada didunia ?
secara imani kita percaya bila Allah memerintahkan untuk menggunakan mata uang
emas, la tentu telah dan akan menyediakan terus emas itu.
Secara rasional dengan peningkatan teknologi eksplorasi dan eksploitasi
penambangan, penemuan emas akan dapat terus dilakukan untuk mencukupi
kebutuhan transaksi tersebut. Hanya saja menurut Syekh Abdul Qadim Zallum
langkah baru bisa diwujudkan oleh kekuasaan Islam (Daulah Khilafah) yang cukup
kuat untuk menerapkan sistem moneter Islam. Keberhasilannya diharapkan akan
diikuti oleh negara-negara lain sehingga keuangan dengan basis emas bisa kembali
dijalankan.

©2003 Digitized by USU digital library

6

Khatimah
Uraian-uraian di atas adalah beberapa solusi krisis ekonomi. Yang patut
diingat krisis terebut hanyalah akibat dari sebab yang lebih besar. Yakni
dijalankannya tatanan ekonomi sekuler yang kapitalistik. Secara imani, memang
diyakini bahwa setiap sistem yang bukan bersumber dari wahyu pasti akan
menimbulkan krisis. Dan saat ini kita menga!aminya. Maka bi!a kita ingin terbebas
sama sekali dari krisis, wajib hukumnya rneninggalkan sistem ekonomi juga sistemsistem lain (politik dan sosial) yang sekularistik ini.
Lalu kemana ? Tentu saja, menuju Islam. Tidak ada jalan lain. Hanya sistem
Islam saja yang mampu mengatur kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Jelaslah
krisis yang terjadi saat ini bukanlah musibah, melainkan fasad (kerusakan). Bila
musibah menurut definisi AI qur'an sebagai peristiwa (seperti gunung meletus,
gempa bumi, kecelakaan pesawat, dsb) yang terjadi di luar kuasa dan kehendak dan
kontrol rnanusia, maka fasad terjadi akibat perbuatan manusia sendiri yang
menyimpang dari ketentuatl Allah SWT.

“Telah nyata kerusakan di darat dan taman oleh karena tangan-tangan
aksiyat dan dosa-dosa) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian
dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS. Ar.
Rum:41).
Berkaitan dengan ayat itu, berkata Abul 'Aliah, "barang siapa mendurhakai
Allah di muka bumi, maka ia telah membuat kerusakan di muka bumi, karena
perbaikan di langit dan di bumi adalah dengan taat kepada-Nya "(Tafsir Ibnu Katsir).
Setiap penyimpangan terhadap hukum Allah memang akan menimbulkan fasad, baik
menimpa dirinya sendiri ataupun masyarakat luas. Maka krisis ekonomi adalah fasad
akibat kesalahan manusia dalam menetapkan jenis dan fungsi mata uang.
T erhadap musibah kita diminta untuk bersabar. Dengan kesadaran tauhid
kita menyakini bahwa segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali kepadaNya. Tapi menghadapi fasad hanya ada satu car : Kembali kepada jalan yang benar
(QS Ar um:41) yakni jalan yang diridlai Allah SWT. Itulah syariat Islam, dalam hal ini
masalah ekonomi. Tidak ada cara lain. Berkutat terhadap cara-cara kapitalisme
dalam penyelesaian krisis ekonomi atau ragu pada sistem Islam hanya akan
memperburuk dan memperpanjang krisis. Jika demikian, kenapa mesti ragu pada
cara yang telah ditetapkan Islam dalam mengatasi krisis ekonomi ? Wallahul
musta'an wahuwa 'ala kulli syai'in qadiir!
Wallahu alam bishawab.

©2003 Digitized by USU digital library

7