PENGARUH STATUS SOSIAL TERHADAP ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi pada Korban dan Pelaku Kecelakaan di Kota Metro)

(1)

ABSTRAK

PENGARUH STATUS SOSIAL TERHADAP ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU

LINTAS

(Studi pada Korban dan Pelaku Kecelakaan di Kota Metro)

oleh

Meigarani

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh status sosial yang meliputi tingkat pendidikan, kekayaan, dan kehormatan/jabatan terhadap alternatif pemecahan masalah tindak pidana kecelakaan lalu lintas (melalui jalur hukum dan melalui jalur kekeluargaan) yang ada di Kota Metro.

Jumlah responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 30 responden yang pernah mengalami kecelakaan lalu lintas dengan teknik pengambilan data menggunakan kuesioner, wawancara, serta studi pustaka. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan analisa data menggunakan analisis regresi linear sederhana SPSS dapat disimpulkan bahwa status sosial tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap alternatif pemecahan masalah tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang ada di Kota Metro.

Kata Kunci: status sosial, alternatif pemecahan masalah tindak pidana kecelakaan lalu lintas, Kota Metro


(2)

ABSTRACT

THE INFLUENCE OF SOCIAL STATUS ON ALTERNATIVE PROBLEM SOLVING CRIME AT TRAFFIC ACCIDENTS

(Study on The Victim an Prepetrator of Accidents in Metro City)

By

Meigarani

This research was conducted to determine the influence of social status which includes level of education, wealth, and honor / position of the alternative solutions to the problem of traffic accidents criminal offenses (through legal channels and through kinship) in Metro City.

The number of respondents in this study were as many as 30 respondents who had experienced traffic accident data retrieval technique using questionnaires, interviews, and literature. This study used quantitative research methods to analyze the data using SPSS simple linear regression analysis it can be concluded that social status does not have a significant effect on the crime of alternative solutions to the problem of traffic accidents in the city of Metro.

keywords: social status, alternative solutions to the problem of traffic accidents criminal offense, Metro city


(3)

PENGARUH STATUS SOSIAL TERHADAP ALTERNATIF

PEMECAHAN MASALAH TINDAK PIDANA

KECELAKAAN LALU LINTAS

(Studi pada Korban dan Pelaku Kecelakaan di Kota Metro)

Oleh

Meigarani

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA SOSIOLOGI

pada Jurusan Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2015


(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Meigarani ini lahir di Metro, 22 Mei 1993, merupakan putri sulung dari pasangan Bapak Maryono dan Ibu Atun Yuliani.

Riwayat pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis, antara lain:

1. TK PKK II, diselesaikan pada tahun 199

2. SD Negeri 7 Metro Utara, diselesaikan pada tahun 200 3. SMP Negeri 2 Metro, diselesaikan pada tahun 2008 4. SMA Negeri 3 Metro, diselesaikan pada tahun 2011

Setelah penulis menyelesaikan pendidikan di jenjang SMA, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Lampung melalui jalur yang pada saat itu Jalur Undangan dan sekarang Jalur SNMPTN di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik angkatan 2011. Selama menjadi mahasiswi di Universitas Lampung, penulis pernah mengikuti LSP Cendekia sebagai anggota pada tahun 2011 dan Himpunan Mahasiswa Jurusan Sosiologi sebagai anggota. Pada bulan Januari 2014, penulis mengikuti KKN Tematik dengan penempatan di Kesumajaya, Kecamatan Bekri, Kabupaten Lampung Tengah.


(8)

PERSEMBAHAN

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat serta karunianya, saya dapat menyelesaikan karya tulis ini yang akan saya persembahkan kepada:

1. Kedua Orangtua saya yang tak henti memberikan semangat dan doa, dukungan materi maupun non material. Terimakasih atas semua yang telah diberikan kepada saya.

2. Saudara kandungku satu-satunya yang sangat kucinta, Andrea Ramadani yang selalu memberikan semangat dan selalu mengingatkan. Terimakasih sudah menjadi salah satu teman ribut di rumah.


(9)

MOTO

AWALI SEMUA DENGAN BISMILLAH, BERUSAHA

JUJUR DI SETIAP LANGKAH


(10)

SANWACANA

Puji dan syukur kepada ALLAH SWT atas rahmat dan hidayahNya, skripsi ini dapat penulis selesaikan. Skripsi yang berjudul Pengaruh Status Sosial terhadap Alternatif Pemecahan Masalah Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas (Studi pada Korban dan Pelaku Kecelakaan di Kota Metro), ini merupakan salah satu syarat penulis untuk memperoleh gelar Sarjana di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari keikutsertaan berbagai pihak yang telah membantu serta membimbing penulis untuk menjadikan tuliasan ini menjadi lebih baik. Oleh karena itu, dengan kerendahan serta ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

2. Bapak Drs. Susetyo, M.Si. selaku ketua jurusan Sosiologi. 3. Bapak Drs. Ikram, M.Si. selaku Pembimbing Akademik.

4. Bapak Drs. Suwarno, M.H selaku Dosen Pembimbing. Terimakasih atas bimbingan, nasehat, serta motivasi kepada saya sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik.


(11)

5. Ibu Dewi Ayu Hidayati, S.Sos, M.Si. selaku Dosen Penguji. Terimakasih atas segala masukan serta saran yang telah diberikan sehingga skripsi saya menjadi lebih baik lagi.

6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya selama penulis mengikuti masa perkuliahan.

7. Seluruh staf dan karyawan FISIP Universitas Lampung yang telah membantu keperluan administrasi selama penulis menjadi mahasiswi di FISIP Universitas Lampung.

8. Keluarga besar Pakde Anto dan Bude Supri yang selalu memberikan semangat dan motivasi selama ini. Terimakasih Mbk Siska dan Mbk Lupi untuk pinjaman laptopnya saat-saat terakhir.

9. Teman-teman terbaik dalam perjalanan masa kuliah, Siti Khayati, Yuliatika Sari, Nova Ardiana, Andri Misna Apriliani, serta Devi Putri S yang sudah menemani dalam suka maupun duka.

10. Terimakasih kepada Tri Subakti Trisno Imany sebagai teman hidup selama 8 bulan terakhir ini yang sudah memberikan bantuan fisiologis maupun psikologis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

11. Keluarga besar cuzz plentung, Ahmad Irvan, Irpan Sevianto, A Aulia Rachman Akbar, Hamid Nugroho, Kresna Pandu Wibowo, Defry Antoni Ahmad, Ganang Fandrian, serta Ibnu Adi Nugraha terimakasih untuk menjadi sahabat-sahabat dari SMA.


(12)

12. Seluruh mahasiswa Sosiologi, FISIP Universitas Lampung dari npm 1116011001 sampai 1116011087, Fahri, Fahru, Andre, Hengki, Anisa Nurlaila, Eri Wahidiyanti, Yosi Apriliani, Agus Windu, dan Angga Hadi Putra. Terimakasih untuk semangat dan kebersamaan yang telah kalian berikan.

13. Seluruh responden yang sudah menjadi sumber penelitian saya, saya ucapkan terimakasih banyak.

Meskipun skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Semoga Allah selalu melimpahkan berkah dan rahmatNya bagi kita semua, amin.

Bandar Lampung, 24 Juni 2015 Penulis

Meigarani


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

SURAT PERNYATAAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

SANWACANA ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Tinjauan tentang Status Sosial ... 12

B. Tinjauan tentang Stratifikasi ... 16

C. Tinjauan tentang Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas ... 19

D. Klasifikasi Kecelakaan Lalu Lintas ... 27

E. Alternatif Pemecahan Masalah Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas ... 30

F. Kerangka Pikir ... 33

G. Bagan Kerangka Pikir ... 35

H. Hipotesis ... 35

III. METODE PENELITIAN ... 36

A. Tipe Penelitian ... 36

B. Populasi dan Sampel ... 36

1. Populasi ... 36

2. Sampel ... 37

C. Lokasi Penelitian ... 38


(14)

E. Teknik Pengambilan Data ... 40

F. Teknik Pengolahan Data ... 41

G. Teknik Analisa Data ... 42

IV. GAMBARAN WILAYAH ... 44

A. Sejarah Singkat Kota Metro ... 44

B. Gambaran Wilayah Geografi dan Demografi ... 48

C. Pemerintahan... 52

D. Sosial ... 53

E. Perhubungan ... 55

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 58

A. Indentitas Responden ... 58

B. Status Sosial Responden ... 62

C. Alternatif Pemecahan Masalah Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Responden ... 76

D. Distribusi Responden Berdasarkan Korban dan Pelaku ... 78

E. Alternatif Pemecahan Masalah berdasarkan Jenis Kecelakaan ... 79

F. Analisis Regresi Status Sosial dengan Alternatif Pemecahan Masalah Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas ... 80

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

A. Kesimpulan ... 92

B. Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 95


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Jumlah Kecelakaan Lalu Lintas Bulan Januari-Desember

2013 di Kota Metro ... 8

2. Jumlah Kecelakaan Lalu Lintas Bulan Januari-Oktober 2014 di Kota Metro ... 9

3. Batas-batas Kota Metro menurut Kecamatan ... 49

4. Jumlah Sekolah di Kota Metro ... 53

5. Jumlah Anggota Polisi Wilayah Kepolisian Resort Metro Menurut Kecamatan tahun 2013 ... 55

6. Jumlah Kendaraan bermotor di Kota Metro tahun 2007-2011 ... 56

7. Lokasi Rawan Kecelakaan dan Kemacetan Lalu Lintas di Kota Metro tahun 2011 ... 57

8. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 59

9. Korban dan Pelaku berdasarkan Jenis Kelamin ... 60

10.Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur ... 60

11.Korban dan Pelaku berdasarkan Kelompok Umur (Tahun) ... 62

12.Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 63

13.Korban dan Pelaku berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 65

14.Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Utama ... 66


(16)

16.Distribusi Berdasarkan Jabatan Pekerjaan Utama... 68

17.Korban dan Pelaku berdasarkan Jabatan Pekerjaan Utama ... 69

18.Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Sampingan ... 69

19.Korban dan Pelaku berdasarkan Pekerjaan Sampingan ... 71

20.Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan/bulan ... 71

21.Pendapatan Korban dan Pelaku ... 72

22.Kepemilikan Kendaraan Pribadi ... 73

23.Korban dan Pelaku berdasarkan Kepemilikan Kendaraan ... 73

24.Distribusi Responden Berdasarkan Rekreasi selama satu bulan terakhir ... 74

25.Distribusi Responden Berdasarkan Kepemilikan Kekayaan Lain ... 75

26.Korban dan Pelaku berdasarkan Kekayaan Lain ... 76

27.Distribusi Responden Berdasarkan Alternatif Pemecahan Masalah Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas... 76

28.Korban dan Pelaku berdasarkan Alternatif Pemecahan Masalah Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas... 77

29.Distribusi Responden Berdasarkan Korban dan Pelaku... 78

30.Alternatif Pemecahan Masalah berdasarkan Jenis Kecelakaan ... 79

31.Uji Anova Pendidikan Terakhir ... 81

32.Uji Anova Pendidikan Korban dan Pelaku ... 83

33.Uji Anova Kekayaan ... 84

34.Uji Anova Kekayaan Korban dan Pelaku ... 86

35.Uji Anova Jabatan ... 87

36.Uji Anova Jabatan Korban dan Pelaku ... 88


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lapisan-lapisan dalam masyarakat sudah ada sejak manusia mengenal kehidupan bersama dalam masyarakat. Mula-mula lapisan-lapisan didasarkan pada pembedaan jenis kelamin, perbedaan antara pemimpin dengan yang dipimpin, pembagian kerja dan sebagainya. Semakin kompleks dan majunya pengetahuan dan teknologi dalam masyarakat, maka sistem lapisan dalam masyarakat akan semakin kompleks pula. Sistem lapisan dalam masyarakat tersebut, dalam sosiologi dikenal dengan stratifikasi sosial (social stratification). Pitirim A. Sorokin (dalam Soerjono Soekanto, 1990:228), menyatakan stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya menurut Sorokin, dasar dan intinya adalah kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial serta pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.

Stratifikasi sosial lebih berkenaan dengan adanya dua atau lebih kelompok-kelompok bertingkat dalam suatu masyarakat tertentu, umumnya setiap anggota mempunyai kekuasaan, hak-hak istimewa dan prestise yang tidak sama pula. Dimana pembedaan atas lapisan merupakan gejala universal yang merupakan


(18)

bagian dari sistem sosial setiap masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto (1990:253) pelapisan masyarakat yang sudah sangat dikenal dapat diklasifikasikan ke dalam tiga macam kelas, yaitu kelas ekonomis, politis dan kelas yang didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat. Umumnya, ketiga bentuk pokok tadi mempunyai hubungan satu dengan lainnya, dimana terjadi saling mempengaruhi. Misalnya, ketika mereka yang termasuk ke dalam suatu lapisan atas dasar ukuran politis, biasanya juga merupakan orang-orang yang menduduki suatu lapisan tertentu atas dasar ekonomis.

Pembedaan atau penggolongan kelas secara vertikal yang kita ketahui saat ini adalah kelas sosial rendah, kelas sosial menengah, dan juga kelas sosial tinggi. Senada dengan filosof Aristoteles dari Yunani (dalam Soerjono Soekanto 1990:251) mengatakan pada zaman dahulu di dalam negara terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang kaya sekali, yang melarat, dan yang berada di tengah-tengahnya. Hal demikian sedikit banyak membuktikan bahwa di zaman itu, dan sebelumnya, orang telah mangakui adanya lapisan masyarakat yang mempunyai kedudukan bertingkat-tingkat dari bawah ke atas.

Kedudukan yang bertingkat-tingkat tersebut biasanya didasari oleh apa yang mereka miliki, ukurannya bisa berupa hal-hal yang berharga. Seorang sosiolog terkemuka yaitu Pitirim A.Sorokin (dalam Soerjono Soekanto 1990:252), pernah mengatakan bahwa sistem lapisan merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Barangsiapa yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah yang sangat banyak, dianggap masyarakat yang berkedudukan dalam lapisan atas. Mereka yang hanya sedikit atau tidak memiliki


(19)

sesuatu yang berharga dalam pandangan masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah. Di antara lapisan yang atas dan yang rendah itu, ada lapisan yang jumlahnya dapat ditentukan sendiri oleh mereka yang hendak mempelajari sistem lapisan masyarakat itu. Biasanya golongan yang berada dalam lapisan atas tidak hanya memiliki satu macam saja dari apa yang dihargai oleh masayarakat, tetapi kedudukannya yang tinggi itu bersifat kumulatif.

Menurut Kun Maryati dan Juju Suryawati (2006:21-22), ukuran atau kriteria yang bisa dipakai untuk menggolongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan ilmu pengetahuan.

Status sosial atau kedudukan sosial merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari jati diri seseorang. Status sosial memberikan identitas terhadap seseorang sebagai bekal dalam bermasyarakat. Dalam kehidupan masyarakat biasanya selalu terdapat pembedaan status antara orang satu dengan orang yang lainnya, antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. Dapat dikatakan bahwa status sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestise nya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya (Soekanto, 1990:239). Menurut J Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (2004:156), terkadang dibedakan antara pengertian kedudukan (status) dengan kedudukan sosial (social status), namun untuk lebih mudah mendapatkan suatu pengertian, kedua istilah tersebut dipergunakan dalam arti

yang sama dan digambarkan dengan istilah “kedudukan” (status) saja. Secara abstrak, kedudukan berarti tempat seseorang dalam suatu pola tertentu. Dengan demikian, seseorang dikatakan mempunyai beberapa kedudukan, oleh karena


(20)

seseorang biasanya ikut serta dalam berbagai pola kehidupan. Pengertian tersebut menunjukkan tempatnya sehubungan dengan kerangka masyarakat secara menyeluruh.

Seseorang dalam masyarakat biasanya memiliki beberapa kedudukan sekaligus. Dalam hubungan macam-macam kedudukan itu, biasanya yang selalu menonjol hanya satu kedudukan yang utama. Masyarakat hanya melihat pada kedudukan utama yang menonjol tersebut. Atas dasar itu, yang bersangkutan digolongkan ke dalam kelas-kelas yang tertentu dalam masyarakat. Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat, yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau sekelompok dalam kedudukan yang berbeda secara vertikal atau disebut pula penggolongan kelas secara vertikal.

Setiap golongan masyarakat memiliki kedudukan atau status masing-masing. Manusia pada umumnya bercita-cita agar ada perbedaan kedudukan dan peranan dalam masyarakat. Kedudukan yang dicita-citakan oleh manusia tentunya kedudukan yang tinggi. Manusia senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya. Keuntungan memiliki kedudukan yang tinggi akan lebih memudahkan seseorang dalam berbagai hal, sedangkan bagi orang-orang yang berkedudukan rendah akan memiliki banyak kekurangan dan hambatan. Seperti yang dikatakan Aristoteles (dalam Abdul Syani, 1992:83), mereka yang memiliki banyak uang, akan mudah sekali mendapatkan tanah,


(21)

kekuasaan dan mungkin juga kehormatan, sedang mereka yang mempunyai kekuasaan besar, mudah menjadi kaya dan mengusahakan ilmu pengetahuan.

Keuntungan-keuntungan yang didapat oleh orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi dan berada di tingkatan stratifikasi atas menyebar ke beberapa aspek kehidupan. Seperti yang dikatakan Soerjono Soekanto (1990:253) mereka yang memiliki tingkat kekayaan yang tinggi, biasanya menempati jabatan-jabatan yang senantiasa penting. Begitu pula dalam aspek hukum, bagi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi akan memudahkan mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum. Namun, bagi orang-orang yang berada di tingkatan stratifikasi yang rendah maka akan kesulitan dalam mencari alternatif lain untuk menyelesaikan masalah, salah satunya dalam permasalahan kecelakaan lalu lintas.

Adapun pengertian kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak sengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Pengaturan kecelakaan lalu lintas sudah dijelaskan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mana sesuai dengan pasal 230 yang menyebutkan bahwa perkara kecelakaan lalu lintas harus diproses sesuai dengan acara peradilan pidana. Namun terdapat pengecualian pada kecelakaan ringan, apabila dalam kecelakaan tersebut para pihak yang terkait sepakat untuk berdamai atau tidak ingin melanjutkan perkaranya sampai ke pengadilan maka bisa saja hal tersebut dilakukan sesuai dengan penjelasan pasal 236 ayat (2) yang menyebutkan bahwa kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada kecelakaan lalu lintas sebagaimana


(22)

dimaksud dalam pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat, dengan begitu jelas yang dapat diselesaikan di luar pengadilan hanyalah kecelakaan jenis ringan saja (Faoziah, 2014:2).

Misalnya kasus kecelakaan lalu lintas yang melibatkan putra bungsu Menteri Koordinator Perekonomian RI, Hatta Rajasa yakni Rasyid Amrullah Rajasa (22) pada tahun lalu. Kecelakaan tersebut mengakibatkan dua orang korban tewas akibat benturan keras antara mobil BMW yang dikendarai Rasyid dengan mobil Daihatsu Luxio yang dikendarai Frans. Rasyid telah terbukti melanggar dua pasal, yakni Pasal 310 Ayat (2) dan Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Nomor 22 Tahun 2009. Dalam sidang vonis yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (25/3/2013), majelis hakim menjelaskan, terdakwa terbukti melanggar kedua pasal tersebut. Adapun dua pasal itu berisi bahwa pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan serta mengakibatkan korban meninggal dunia. Dalam masa persidangan, sebanyak 27 saksi dimasukkan ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), namun hanya 17 orang saksi yang hadir. Tak ada satu pun saksi yang bisa membuktikan bahwa meninggalnya dua orang tersebut dipicu oleh benturan keras mobil BMW X5 milik Rasyid. Bahkan, saksi sopir Luxio sendiri pun (Frans Joner Sirait) mengaku tidak sadar bahwa mobilnya terbentur. Frans Joner Sirait hanya merasa terdorong ke depan. Salah seorang saksi ahli malah mengatakan bahwa modifikasi yang dilakukan Frans Joner Sirait terhadap posisi duduk bagian belakang Daihatsu Luxio-nya menyebabkan pintu mudah terbuka jika terjadi benturan. Hal itulah yang menyebabkan


(23)

penumpangnya terlempar ke luar. Alhasil, meski dua pasal kecelakaan hingga menyebabkan korban luka ringan, korban meninggal dunia, dan kerusakan barang telah terpenuhi, hakim hanya memvonis Rasyid pidana penjara 5 bulan atau denda uang sebesar Rp 12 juta dengan masa percobaan hukuman selama 6 bulan, lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum, yakni 8 bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan dan subsider 6 bulan. Dalam kasus tersebut peneliti melihat keputusan hakim juga karena adanya pengaruh kekuasaan yang dimiliki oleh ayah Rasyid sebagai orang yang ada di stratifikasi atas.

(http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/2298/1/).

Sebaliknya saudara kita yang kurang mampu harus patuh dan taat menjalani hukum.. Seperti kasus Nenek Minah (55) asal Banyumas yang divonis 1,5 tahun pada tahun 2009, hanya karena mencuri tiga buah kakao yang harganya tidak lebih dari Rp 10.000, bahkan untuk datang ke sidang kasusnya, nenek yang sudah renta dan buta huruf itu harus meminjam uang Rp 30.000 untuk biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh.

(http://nasional.kompas.com/read/2012/01/06/09445281/)

Dilihat dari dua kasus yang berbeda tersebut, dapat dilihat bahwa ketidakadilan terjadi. Dimana keadilan hukum bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin adalah sesuatu barang yang mahal. Keadilan hukum hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kekuatan dan akses politik dan ekonomi saja. Sementara, masyarakat lemah atau miskin sangat sulit untuk mendapatkan akses keadilan hukum dan bahkan mereka kerapkali menjadi korban penegakan hukum yang tidak adil. Semestinya hukum dapat memberikan kehidupan yang kondusif,


(24)

nyaman, aman, dan tentram bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap pelanggar hukum wajib dikenakan sanksi tanpa melihat status yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan pasal 27 ayat (1) yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum

dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Selain kasus yang menimpa Rasyid dan Nenek Minah, banyak kasus yang terjadi, salah satunya di Kota Metro yang dilaporkan ke pihak kepolisian. Berikut data kecelakaan lalu lintas di Kota Metro dua tahun terakhir:

Tabel. 1. Jumlah Kecelakaan Lalu Lintas Bulan Januari-Desember 2013 di Kota Metro

No Bulan Jumlah

Laka

Korban Kerugian

Materiil

MD LB LR

1 Januari 6 2 6 7 Rp. 24.750.000

2 Pebruari 12 4 3 14 Rp. 11.150.000

3 Maret 3 1 1 4 Rp. 10.300.000

4 April 8 1 5 11 Rp. 4.600.000

5 Mei 3 2 3 5 Rp. 3.000.000

6 Juni 3 1 2 3 Rp. 2.900.000

7 Juli 6 2 4 4 Rp. 6.700.000

8 Agustus 3 1 4 0 Rp. 700.000

9 September 11 8 4 8 Rp. 5.700.000

10 Oktober 5 4 2 4 Rp. 3.000.000

11 Nopember 10 4 7 8 Rp. 19.500.000

12 Desember 5 0 4 5 Rp 2.900.000

Jumlah 75 30 45 73 Rp. 95.200.000

Sumber: Kepolisian Negara RI, Daerah Lampung, POLRES Metro

Dilihat dari Tabel 1, dapat dilihat terjadi 75 kasus kecelakaan lalu lintas di Kota Metro selama tahun 2013, dengan korban meninggal dunia sebanyak 30 orang, korban luka berat 45 orang, dan korban luka ringan 73 orang dengan akumulasi kerugian sebanyak Rp. 95.200.000 selama satu tahun.


(25)

Tabel. 2. Jumlah Kecelakaan Lalu Lintas Bulan Januari-Oktober 2014 di Kota Metro

No Bulan Jumlah

Laka

Korban Kerugian

Materiil

MD LB LR

1 Januari 6 1 5 9 Rp. 3.700.000

2 Pebruari 7 0 3 10 Rp. 3.200.000

3 Maret 7 2 3 6 Rp. 8.800.000

4 April 7 0 6 4 Rp. 36.900.000

5 Mei 9 3 5 13 Rp. 12.700.000

6 Juni 8 4 3 10 Rp. 10.200.000

7 Juli 3 1 2 1 Rp. 1.300.000

8 Agustus 7 2 3 7 Rp. 10.000.000

9 September 7 1 2 10 Rp. 14.500.000

10 Oktober 3 0 1 8 Rp. 1.700.000

Jumlah 64 14 33 78 Rp. 103.000.000

Sumber: Kepolisian Negara RI, Daerah Lampung, POLRES Metro

Dilihat dari Tabel 2 dapat dilihat terjadi 64 kasus kecelakaan lalu lintas di Kota Metro selama bulan januari sampai dengan bulan oktober tahun 2014, dengan korban meninggal dunia sebanyak 14 orang, korban luka berat 33 orang, dan korban luka ringan 78 orang dengan akumulasi kerugian sebanyak Rp. 103.000.000 selama satu tahun.

Pada dasarnya semua orang sama di mata hukum. Bahwa setiap pelaku kecelakaan lalu lintas harus diproses secara hukum. Seperti dalam teori etis (etische theorie) dalam Sigalingging (2013:25) yang mengajarkan bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan. Menurut teori ini, isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.

Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles filsuf Yunani dalam bukunyaEthica NicomacheadanRhetoricayang menyatakan”hukum mempunyai


(26)

tugas yang suci yaitu memberi kepada setiap orang yang berhak menerimanya”. Namun, pada realitanya banyak kasus yang bukan tergolong ringan diselesaikan di luar pengadilan, karena mayoritas masyarakat yang menginginkan hal tersebut mereka beranggapan ketika perkara kecelakaan lalu lintas dapat diselesaikan secara perdamaian di antara para pihak akan lebih menguntungkan karena dalam proses perdamaian atau kekeluargaan tersebut akan ditemukan win-win solution, yang manawin-win solutiontersebut akan mendatangkan keuntungan kedua belah pihak.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latarbelakang yang telah dipaparkan di atas dapat ditarik suatu rumusan masalah yaitu adakah pengaruh status sosial terhadap alternatif pemecahan masalah pada tindak pidana kecelakaan lalu lintas di Kota Metro.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh status sosial terhadap alternatif pemecahan masalah pada tindak pidana kecelakaan lalu lintas di Kota Metro.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapakan memiliki kegunaan untuk :

1. Secara praktis, dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang pengaruh status sosial terhadap alternatif pemecahan masalah pada tindak pidana kecelakaan lalu lintas studi pada pelaku dan korban yang ada di Kota Metro.


(27)

2. Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan perkembangan terhadap kajian Sosiologi Hukum.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Status Sosial

Status adalah kedudukan seseorang dalam satu kelompok dan hubungannya dengan anggota lain dalam kelompok itu, atau kedudukan sesuatu kelompok berbanding dengan kelompok lain yang lebih banyak jumlahnya. Oleh karena kedudukan seseorang dalam satu kelompok itu berkaitan dengan apa yang dilakukannya, atau yang diharapkan dilakukannya, maka status adalah berkaitan erat dengan peranan. Status biasanya adalah apa yang dikatakan sebagai kedudukan seseorang apabila dibandingkan dengan orang lain yaitu sejalan dengan martabatnya, lebih atau kurang pertinggian-perendahan dan lain-lain (Roucek dan Warren, 1984:79).

Kedudukan atau status diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Secara abstrak, kedudukan berarti tempat seseorang dalam suatu pola tertentu. Dengan demikian, seseorang dikatakan mempunyai beberapa kedudukan, oleh karena seseorang biasanya ikut serta dalam berbagai pola kehidupan. Pengertian tersebut menunjukkan tempatnya sehubungan dengan kerangka masyarakat secara menyeluruh. Apabila dipisahkan dari individu yang memilikinya, kedudukan hanya merupakan kumpulan hak-hak dan kewajiban. Karena hak dan kewajiban yang dimaksud hanya dapat terlaksana melalui


(29)

perantara individu, maka agak sukar untuk memisahkan secara tegas antara pengertian status dan status sosial (Soekanto, 1990:239-240).

Status sosial selalu mengacu kepada kedudukan khusus seseorang dalam masyarakatnya berhubungan dengan orang lain dalam lingkungan yang disertai, martabat yang diperolehnya dan hak serta tugas yang dimilikinya. Status sosial bukanlah tidak hanya terbatas pada statusnya dalam kelompok-kelompok lain, dan sesungguhnya status sosial pribadinya mungkin mempunyai pengaruh terhadap statusnya dalam kelompok-kelompok lain di luar kelompoknya (Roucek dan Warren, 1984:80).

Status sosial diartikan pula sebagai tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya (Soekanto, 1993:239). Sedangkan menurut Maijor Polak (dalam Abdulsyani 1992:91), status dimaksudkan sebagai kedudukan sosial seorang oknum dalam kelompok serta dalam masayarakat. Status mempunyai dua aspek, aspek pertama adalah aspek yang sedikit stabil, dan aspek yang kedua adalah aspek yang lebih dinamis. Polak mengatakan bahwa status mempunyai aspek struktural dan aspek fungsional. Pada aspek yang pertama sifatnya hirarkis, artinya mengandung perbandingan tinggi atau rendahnya secara relatif terhadap status-status lain. Sedangkan aspek yang kedua dimaksudkan sebagai peranan sosial (social role) yang berkaitan dengan status tertentu, yang dimiliki oleh seseorang.

Dapat disimpulkan bahwa status sosial merupakan kedudukan seseorang yang ada di masyarakat sesuai dengan hak dan tanggung jawab yang dimilikinya.


(30)

Dasar lapisan masyarakat menurut Soerjono Soekanto (1990:237), di antara lapisan atas dengan yang terendah, terdapat lapisan yang jumlahnya relatif banyak. Biasanya lapisan atas tidak hanya memiliki satu macam saja dari apa yang dihargai oleh masyarakat. Akan tetapi kedudukannya yang tinggi itu bersifat kumulatif. Artinya, mereka yang mempunyai uang banyak, akan mudah sekali mendapatkan tanah, kekekuasaan, dan mungkin juga kehormatan. Dasar pelapisan status sosial tersebut diantaranya:

1) Kekayaan

Kriteria kekayaan berkaitan erat dengan pendapatan. Semakin besar pendapatan seseorang, semakin besar pula kesempatan baginya untuk memiliki sebanyak mungkin harta benda. Selain itu, semakin besar pula peluangnya untuk menduduki strata atas. Masyarakat menempatkan orang-orang kaya pada lapisan masyarakat atas kriteria umum yang biasa digunakan untuk menempatkan seseorang pada lapisan ini antara lain rumah dan perabot yang mewah, mobil mewah, simpanan dalam bentuk kepemilikan tanah yang luas, dan nilai pajak yang besar. Kelompok masyarakat tersebut sering disebut sebagai konglomerat.

Sebaliknya, orang yang tidak memiliki harta akan menempati lapisan masyarakat bawah, seperti golongan buruh atau golongan rakyat jelata. Pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, kelompok masyarakat bawah merupakan kelompok dengan jumlah terbanyak.

2) Kekuasaan

Kekuasaan berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menentukan kehendaknya terhadap orang lain (yang dikuasai). Kekuasaan didukung oleh


(31)

unsur lain, seperti kedudukan atau posisi dalam masyarakat, kekayaan yang dimiliki, kepandaian, bahkan kelicikan. Anggota masyarakat yang memiliki kekuasaan dan wewenang terbesar akan menempati lapisan sosial yang paling atas. Sebaliknya, anggota masyarakat yang tidak mempunyai kekuasaan atau hanya menjadi bawahan akan menempati lapisan yang lebih rendah.

3) Keturunan

Dalam masyarakat feodal, anggota masyarakat dari keluarga raja atau kaum bangsawan akan menempati lapisan atas. Contoh konkret feodalisme dalam hal keturunan adalah gelar Andi pada masyarakat Bugis, Raden pada masyarakat Jawa, Teuku pada masyarakat Aceh, serta keluarga kraeng raja

dan kraeng dulu pada masyarakat Manggarai. Umumnya masyarakat menyebut mereka dengan ungkapan “berdarah biru”. Hal semacam itu juga

terdapat pula pada masyarakat Hindu Bali yang membagi masyarakatnya ke dalam kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Dalam masyarakat tersebut, keturunan kelompok brahmanalah yang paling dihormati.

4) Pendidikan

Dalam masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan atau pendidikan, orang yang memiliki keahlian atau profesi akan mendapatkan penghargaan yang lebih besar dibandingkan orang yang tidak memiliki keahlian, berpendidikan rendah, ataupun buta huruf. Contoh orang yang termasuk golongan ini adalah peneliti, cendekiawan atau dosen, dokter, hakim, dan atlet.

Ralph Linton (dalam Polak, 1985:167) mengkategorikan cara memperoleh status dengan tiga cara, yaitu:


(32)

1) Asribed statusadalah kedudukan yang diperoleh secara otomatis tanpa usaha. Kedudukan tersebut sudah diperoleh sejak lahir. Contoh ascribed status

adalah gelar bangsawan yang diperoleh seorang anak dari orang tuanya. Pada umumnya, ascribed status dijumpai pada masyarakat-masyarakat dengan sistem lapisan sosial tertutup.

2) Achieved status adalah kedudukan yang diperoleh seseorang dengan usaha atau disengaja. Kedudukan ini bersifat terbuka bagi siapa saja. Achieved statusbiasanya berupa kedudukan yang diperoleh melalui pendidikan, seperti doktor, insinyur, guru, gubernur, dan lain-lain.

3) Assigned status yaitu merupakan kombinasi dari perolehan status melalui usaha dan status yang diperoleh secara otomatis. Status ini diperoleh melalui penghargaan atau pemberian dari pihak lain. Assigned status dapat berupa tanda jasa atas perjuangan memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Contoh dariassigned statusadalah gelar pahlawan dan siswa teladan.

B. Tinjauan tentang Stratifikasi

Stratifikasi adalah pembagian masyarakat secara vertikal menurut tingkat status sosial yang berlainan. Tingkat status ini biasanya kelas sosial atau kasta. Berdasarkan pada keanggotaan dalam kelas sosial atau kasta, seorang individu dalam suatu masyarakat dapat memiliki berbagai hak dan tanggungjawab dalam masyarakat tersebut. Stratifikasi masyarakat terdapat dalam semua masyarakat yang kompleks termasuk dalam sejumlah masyarakat primitif. Max Weber (dalam Maryati dan Suryawati, 2006:21) mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke


(33)

dalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, hak istimewa, dan

prestise. Cuber mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai suatu pola penempatan kategori kelas sosial berdasarkan hak-hak yang berbeda.

Sedangkan Pitirim A. Sorokin mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat (hierarki). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya menurut Sorokin, dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggungjawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat. Bentuk-bentuk lapisan masyarakat berbeda-beda dan banyak sekali. Lapisan-lapisan tersebut ada, sekalipun dalam masyarakat kapitalis, demokratis, komunis dan lain sebagainya.

Perwujudan stratifikasi dikenal dengan istilah kelas-kelas sosial, sedangkan kelas sosial adalah suatu kelompok manusia yang tidak teratur yang menjadi anggota melalui kelahiran anggota atau dengan memasuki kelompok itu kemudian yang menganggap bahwa satu sama lain sebagai hampir sama yang hubungan antara satu dengan yang lain lebih erat ketimbang hubungan dengan kelompok lain, dan yang mempunyai hubungan yang hampir sama tentang pertinggian dan perendahan kepada orang-orang dari kelompok-kelompok lain dalam masyarakat itu (Roucek dan Warren, 1984:80).

Max Weber membedakan antara dasar ekonomis dengan dasar kedudukan sosial, akan tetapi tetap mempergunakan istilah kelas bagi semua lapisan. Adanya kelas yang bersifat ekonomis dibaginya lagi ke dalam sub kelas yang bergerak dalam


(34)

bidang ekonomi dengan menggunakan kecakapannya. Di samping itu, Max Weber masih menyebutkan adanya golongan yang mendapat kehormatan khusus dari masyarakat dan dinamakannya stand (Soekanto, 1993:235). Kelas-kelas sosial terdiri atas kelas sosial tinggi (upper class), kelas sosial menengah (middle class), dan kelas sosial rendah (lower class). Kelas sosial tinggi biasanya dimiliki oleh para pejabat atau penguasa dan pengusaha kayu. Kelas sosial menengah biasanya meliputi kaum intelektual, seperti dosen, peneliti, mahasiswa, pengusaha kecil dan menengah, serta pegawai negeri. Sedangkan kelas sosial rendah merupakan kelompok terbesar dalam masyarakat, biasanya meliputi buruh dan pedagang kecil (Maryati dan Suryawati, 2006:21).

Joseph S Roucek dan Roland L. Warren (1984:81) mengatakan bahwa faktor utama penentuan kelas sosial adalah jenis kegiatan ekonomi, jumlah pendapatan, jenis dan jumlah pendidikan formal, jenis tempat kediaman, jenis kegiatan rekreasi, keanggotaan dalam berbagai persatuan, dan kedudukaan kelas sosial sesuatu keluarga.

1) Jenis aktivitas ekonomi berbeda-beda menurut distribusi dan aktivitas pengurusan di tingkat atas melalui berbagai ketegori sampai dengan pekerja

buruh yang tidak mahir atau penerima “gantian”.

2) Jumlah pendapatan anggota masyarakat berbeda-beda mulai dari yang berpendapatan jutaan dolar setahun hingga yang tidak ada sama sekali.

3) Jenis dan jumlah pendidikan formal berbeda antara pelajaran mahasiswa di sebuah universitas terkenal dengan pengkajian sejenis dalam diploma dari universitas-universitas lain, dengan pelajaran tingkat sekolah tinggi atau


(35)

pelajaran sekolah menengah saja. Lama waktu bersekolah bukanlah satu-satunya masalah penting. Keadaan institusi itu juga penting seperti halnya tinggi atau rendahnya martabatnya, sekolah tinggi umum atau sekolah rendah yang khas (prep school).

4) Jenis tempat kediaman berbeda mulai dari kawasan kediaman satu keluarga lama dalam suatu masyarakat lama dengan kawasan sesak.

5) Jenis aktivitas rekreasi berbeda mulai dari penyertaan aktif dalam masa menganjurkan malam tari-menari untuk kesejahteraan umum atau kepada permainan-permainan eksklusif untuk beberapa orang saja.

6) Keanggotaan dalam badan-badan persatuan berbeda mulai dari keanggotaan dalam kelas khusus di luar kota atau badan-badan administrasi atau para anggota lembaga persatuan orang-orang dermawan dengan kenggotaan dalam persatuan yang rendah martabatnya.

Dari beberapa pendapat para ahli tentang stratifikasi sosial dapat ditarik kesimpulan bahwa stratifikasi sosial adalah penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan yang berbentuk vertikal dengan kriteria-kriteria kekayaan, kekuasaan, keturunan, dan pendidikan yang diakui oleh masyarakat.

C. Tinjauan tentang Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas

Konsep hukum Indonesia terdapat beberapa perbedaan dalam menyebutkan istilah tindak pidana. Ada yang menyebutkan istilah tindak pidana tersebut sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana dan delik. Sedangkan dalam bahasa Belanda istilah tindak pidana tersebut dengan “straf baar feit” atau delict. Menurut


(36)

Roeslan Saleh (1981:53), perbuatan pidana adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata tertib yang dikehendaki oleh hukum.

Dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah tindakan yang dilakukan seseorang dengan sengaja atau tidak sengaja untuk melanggar peraturan perundang-undangan yang ada.

Kecelakaan termasuk dalam tindak pidana, dimana kecelakaan merupakan tindakan yang tidak direncanakan dan tidak terkendali, ketika aksi dan reaksi objek, bahan atau radiasi menyebabkan cidera atau kemungkinan cidera (Heinrich, 1980). Menurut DA. Colling (1990) (dalam JRH Manurung) kecelakaan dapat diartikan sebagai tiap kejadian yang tidak direncanakan dan terkontrol yang dapat disebabkan oleh manusia, situasi, faktor lingkungan atau kombinasi dari hal-hal tersebut yang mengganggu proses kerja dan dapat menimbulkan cidera atau tidak, kesakitan, kematian, kerusakan property ataupun kejadian yang tidak diinginkan lainnya.

Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, mengungkapkan kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja yang melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Kecelaan lalu lintas adalah kejadian pada lalu lintas jalan yang sedikitnya melibatkan satu kendaraan yang menyebabkan cedera atau kerusakan atau kerugian pada pemiliknya (korban) (WHO, 1984). Menurut F.D. Hobbs (1995) dalam JRH Manurung, mengungkapkan kecelakaan lalu lintas merupakan kejadian yang sulit diprediksi kapan dan dimana terjadinya. Kecelakaan tidak


(37)

hanya trauma, cedera atau cacat, ataupun kecacatan tetapi juga kematian. Kasus kecelakaan sulit diminimalisasi dan cenderung meningkat seiring pertambahan panjang jalan dan banyaknya pergerakan dari kendaraan.

Dari beberapa definisi kecelakaan lalu lintas dapat disimpulkan bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan kejadian yang disengaja atau tidak disengaja di jalan yang melibatkan satu kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang tidak dapat diprediksi kapan dan dimana sehingga menyebabkan cedera, trauma, kecacatan, kematian dan/atau kerugian harta benda pada pemiliknya (korban).

Terjadinya kecelakaan lalu lintas dipengaruhi oleh beberapa faktor, faktor-faktor tersebut seolah bekerjasama sebagai penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas. Menurut Warpani (2002) yang bersumber dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, besarnya persentase masing-masing faktor penyebab kecelakaan lalu lintas di Indonesia yaitu faktor manusia sebesar 93,52%, faktor kendaraan sebesar 2,76%, faktor jalan sebesar 3,23%, dan faktor lingkungan sebesar 0,49% (Sangki, 2012:35).

1. Faktor manusia.

Faktor manusia merupakan faktor yang paling dominan. Hampir semua kejaidan kecelakaan lalu lintas didahului oleh pelanggaran lalu lintas. Pelanggaran dapat terjadi karena sengaja melanggar, ketidaktahuan terhadap arti aturan yang berlaku maupun tidak melihat ketentuan yang diberlakukan atau pura-pura tidak tahu.

Manusia sebagai pengemudi memiliki faktor-faktor fisiologis dan psikologis. Faktor fisiologis terdiri dari sistem syaraf, pengelihatan, pendengaran,


(38)

stabilitas perasaan, kelelahan dan lainnya. Sedangkan faktor psikologis antara lain yaitu motivasi, intelegensi, pelajaran/pengalaman, emosi, kedewasaan, kebiasaan. Kombinasi dari faktor-faktor tersebut menghasilkan waktu reaksi yang disebut dengan suatu rangkaian kejadian yang dialami oleh pengemudi dalam melakukan bentuk tindakan akhir sebagai reaksi adanya gangguan dalam masa mengemudi yang diukur dalam satuan waktu (detik), (Dwiyogo dan Raditya, 2006:9).

2. Faktor kendaraan.

Kendaraan, tercatat menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas yang berakibat fatal. Kecelakaan lalu lintas yang diakibatkan dari rem blong sering terjadi, selain itu juga kondisi ban yang kurang baik. Kaitannya dengan keselamatan umum, kendaraan yang digunakan di jalan raya seharusnya sudah mendapatkan sertifikasi layak jalan yang sudah dikeluarkan oleh Dinas/Kantor Perhubungan setempat sebelum dioperasikan, (Dwiyogo dan Raditya, 2006:12)

3. Faktor jalan.

Faktor jalan juga berperan penting dalam terjadinya suatu kecelakaan. Disamping bentuk fisik jalan yang dipengaruhi oleh geometric design dan konstruksi jalan, kondisi jalan yang tidak menentu seperti jalanan yang berlubang dapat menyebabkan kecelakaan bagi pengguna jalan terutama pengendara motor.


(39)

4. Faktor lingkungan.

Faktor ini khususnya dalam cuaca gelap pada malam hari dapat mengurangi jarak pandang pengemudi kendaraan dalam mengendarai kendaraan sehingga sering terjadi kecelakaan.

Berikut beberapa pasal mengenai kecelakaan lalu lintas (Sangki, 2012:6):

1. Pasal 280 = kendaraan tidak dipasang Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB); sanksi pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

2. Pasal 281 = tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) ; sanksi pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

3. Pasal 282 = tidak mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas kepolisian; sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

4. Pasal 283 = mengemudi secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi ; sanksi pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).

5. Pasal 284 = tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki atau pesepeda; pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

6. Pasal 285 = kendaraan tidak memenuhi persyaratan teknis dan layak jalan (kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot dan kedalaman alur ban;


(40)

sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

7. Pasal 287 = melanggar rambu lalu lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas; sanksi pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) = melanggar aturan gerakan lalu lintas atau tata cara berhenti dan parkir; sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) = melanggar ketentuan mengenai penggunaan atau hak utama bagi kendaraan bermotor yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar; sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau dendan paling banyak Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) = melanggar batas kecepatan paling tinggi atau paling rendah ; pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda Paling Banyak Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

8. Pasal 288 = tidak dapat menunjukan STNK atau STCKB ; sanksi pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp. 500.000,-(lima ratus ribu rupiah) = tidak dapat menunjukan Surat Izin Mengemudi (SIM) ; sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

9. Pasal 291 = tidak menggunakan helm SNI ; sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) = membiarkan penumpang tidak menggunakan helm; sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah).


(41)

10. Pasal 293 = tidak menyalakan lampu pada malam hari dan kondisi tertentu; sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) = tidak menyalakan lampu pada siang hari; sanksi pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp. 100.000,- (seratur ribu rupiah).

11. Pasal 294 = berbelok atau berbalik arah tanpa memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atu isyarat tangan; sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

12. Pasal 295 = berpindah lajur atau bergerak ke samping tanpa memberikan isyarat ; sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

13. Pasal 296 = tidak berhenti pada perlintasan antara kereta api dan jalan ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup dan/atau isyarat lain ; sanksi pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).

14. Pasal 310 ayat (1) = karena kelalaian mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang ; Sanksi Pidana Penjara Paling Lama 6 (enam) bulan dan/atau denda Paling Banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), ayat (2) = karena kelalaian mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang; Sanksi Pidana Penajara Paling Lama 1 (satu) tahun dan/atau denda Paling Banyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah), ayat (3) = karena kelalaian mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat ; sanksi pidana penjara paling


(42)

lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) = mengakibatkan orang lain meninggal dunia; sanksi pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).

15. Pasal 311 = dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang; sanksi pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,-(tiga juta rupiah) = jika mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang; sanksi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah) = jika mengakibatkan kecelakaan lalu lintas korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang; sanksi pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah) = jika korban luka berat ; sanksi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) = jika korban meninggal dunia; sanksi pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 24.000.000,- (dua puluh empat juta rupiah).

Menurut pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas mengatur ketentuan pidana bagi pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas, yaitu:

1. Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya menyebabkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (2),


(43)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

2. Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya menyebabkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan/atau kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).

3. Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya menyebabkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

4. Dalam hal kecelakaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahaun dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

D. Klasifikasi Kecelakaan Lalu Lintas

Korban kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disebutkan dalam Pasal 93 ayat (2), antara lain;

1. Korban mati 2. Korban luka berat 3. Korban luka ringan


(44)

Korban mati (fatality), sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah korban yang pasti mati sebagai akibat kecelakaan lalu lintas dalam jangka waktu paling lama 30 hari setelah kecelakaan tersebut. (ayat 3)

Korban luka berat (serious injury), sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah korban yang karena luka-lukanya menderita cacat tetap atau harus dirawat dalam jangka waktu 30 hari sejak terjadinya kecelakaan. (ayat 4)

Korban luka ringan (light injury), sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah korban yang tidak masuk dalam pengertian di atas, (ayat 3) dan (ayat 4).

Seperti yang dikatakan Pasal 229 ayat (4) UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat tergolong kecelakaan lalu lintas berat. Dalam hal ini yang dimaksud luka berat dijelaskan dalam penjelasan Pasal 229 ayat (4) yaitu luka yang mengakibatkan korban:

1. Jatuh sakit dan tidak ada harapan sembuh sama sekali atau menimbulkan bahaya maut.

2. Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan. 3. Kehilangan salah satu pancaindra.

4. Menderita cacat berat atau lumpuh.

5. Terganggu daya pikir selama 4 (empat) minggu lebih. 6. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

7. Luka yang membutuhkan perawatan di rumah sakit lebih dari 30 hari.

Sedangkan yang dimaksud luka ringan yang dijelaskan dalam penjelasan Pasal 229 ayat (3) adalah sebagai berikut:“Yang dimaksud luka ringan adalah luka


(45)

yang mengakibatkan korban menderita sakit yang tidak memerlukan perawatan

inap di rumah sakit atau selain yang diklasifikasikan dalam luka berat” (UU

LLAJ, 2009).

Menurut Dwiyogo dan Raditya (2006:5), sebagai pengelola jalan tol di Indonesia PT Jasa Marga memiliki definisi yang berbeda tentang korban kecelakaan, yaitu: 1. Luka ringan adalah keadaan korban mengalami luka-luka yang tidak

membahayakan jiwa dan atai tidak memerlukan pertolongan atau perawatan lebih lanjut di rumah sakit, terdiri dari:

a. Luka kecil dengan pendarahan sedikit dan penderita sadar. b. Luka bakar dengan luas kurang dari 15%.

c. Keseleo dari anggota badan yang ringan tanpa komplikasi,

d. Penderita-penderita di atas semuanya dalam keadaan sadar tidak pingsan atau muntah-muntah.

2. Luka berat adalah korban mengalami luka-luka yang dapat membahayakan jiwanya dan memerlukan pertolongan atau perawatan lebih lannjut dengan segera di rumah sakit, terdiri dari:

a. Luka yang menyebabkan keadaan penderita menurun, biasanya jika mengenai kepala atau batang kepala.

b. Luka bakar yang luasnya meliputi 25% dengan luka baru.

c. Patah tulang anggota badan dengan komplikasi disertai rasa nyeri yang hebat dan pendarahan hebat.


(46)

e. Benturan/luka yang mengenai badan penderita yang menyebabkan kerusakan alat-alat dalam, misal; dada, perut, usus, kandung kemih, ginjal, hati, tulang belakang, dan batang kepala.

3. Meninggal adalah keadaan dimana penderita terdapat tanda-tanda kematian secara fisik. Korban meninggal adalah korban kecelakaan yang meninggal di lokasi kecelakaan atau meninggal selama perjalanan ke rumah sakit.

E. Alternatif Pemecahan Masalah Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas

Banyaknya permintaan masyarakat terhadap penyelesaian masalah pelanggaran lalu lintas, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tentang kecelakaan lalu lintas dengan menggunakan pendekatan kekeluargaan agar segera terselesaikan. Pada saat penyelesaian dengan pendekatan kekeluargaan tersebut yaitu pihak korban dan pihak tersangka melakukan pertemuan guna bermusyawarah, dalam musyawarah tersebut kedua belah pihak sama-sama memberitahu apa yang diinginkan, apabila terjadi sebuah kesepakatan maka hasilnya dibuat dalam bentuk surat kesepakatan damai. Penyelesaian di luar pengadilan tersebut dilakukan dengan adanya kewenangan diskresi kepolisian yang berhak melakukan tindakan lain dengan penilain pribadi dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Namun, penyelesaian tersebut tetap dilaksanakan guna mencapai keadilan restoratif. Pada penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh anggota polisi yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.


(47)

Secara umum kewenangan ini dikenal dengan “Diskresi Kepolisian” yang

keabsahannya didasarkan pada pertimbangan keperluannya untuk pelaksanaan tugas dan kewajibannya (Faoziah, 2014:27).

Menurut Soerjono Soekanto (1982:77) penyelesaian masalah atau konflik dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:

1. Konsiliasi (Consiliation)

Konsiliasi merupakan pengendalian konflik melalui lembaga-lembaga tertentu untuk memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara pihak-pihak yang bertikai mengenai persoalan yang mereka pertentangkan. Tidak semua konsiliasi dapat dilakukan pada semua konflik yang terjadi. Proses konsiliasi dapat berhasil sebagai pengendali konflik jika setiap pihak menyadari perlunya pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan secara jujur bagi semua pihak, terorganisasinya berbagai kekuatan sosial yang saling bertentangan, dan setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus mematuhi aturan-aturan permainan tertentu.

2. Perwasitan (Arbitration)

Dalam arbitration diperlukan pihak ketiga yang mempunyai kekuasaan dan wewenang yang lebih tinggi daripada pihak-pihak yang bertikai. Oleh karena kekuasaan dan kewenangan itu, pihak ketiga mampu memaksakan keputusan kepada pihak-pihak yang bertikai. Biasanya pihak yang bertikai akan menerima apa yang menjadi keputusan wasit. Wasit umumnya dilakukan oleh lembaga pengadilan.


(48)

3. Mediasi (Mediation)

Dalam proses pengendalian konflik mediasi, pihak-pihak yang bertikai sepakat menunjuk pihak ketiga sebagai penengah. Berbeda dengan perwasitan, dalam mediasi pihak ketiga tidak mempunyai kekuasaan dan wewenang. Status yang dimiliki pihak penengah sama dengan pihak-pihak yang bertikai. Oleh karena statusnya sama, berarti pihak ketiga atau mediator tidak mempunyai kekuasaan dan kewenangan untuk melaksanakan keputusan. Dalam hal ini tugas seorang mediator adalah memberi nasihat. Umumnya nasihat-nasihat tersebut tidak mengikat pihak-pihak yang berkonflik. Melalui proses ini, pihak-pihak yang bertentangan mempunyai kemungkinan untuk menarik diri dari pertikaian tersebut tanpa harus menurunkan harga diri.

4. Koersi (Coersion)

Paksaan merupakan salah satu bentuk penyelesaian konflik dengan cara paksaan baik secara fisik maupun psikologis. Umumnya proses ini terjadi jika salah satu pihak berada pada posisi yang lemah dan satu pihak di posisi yang kuat. Paksaan fisik biasa digunakan untuk menarik diri dari pertikaian tersebut tanpa harus menurunkan harga diri.

5. Detente

Dalam hal ini detente adalah mengurangi ketegangan hubungan antara dua pihak yang bertikai. Cara ini biasanya digunakan sebagai usaha pendekatan dalam mencapai perdamaian. Oleh karena itu, pada proses ini belum ada penyelesaian konflik secara pasti yang tentunya belum ada pihak yang


(49)

dinyatakan kalah atau memang. Detente hanya upaya pendekatan untuk menentukan cara tepat penyelesaian konflik.

6. Ajudikasi (Ajudication)

Ajudikasi adalah salah satu penyelesaian masalah melalui jalur pengadilan. 7. Kompromi (Compromition)

Salah satu bentuk akomodasi dimana pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian.

F. Kerangka Pikir

Menurut Soerjono Soekanto (1990:239), status sosial atau kedudukan sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya. Setiap orang memiliki status sosial yang berbeda sesuai dengan cara memperoleh dan cara pandang masyarakat terhadap orang tersebut.

Status sosial selalu berkaitan erat dengan stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, hak istimewa, dan prestise. Stratifikasi sosial sebagai suatu pola penempatan kategori kelas sosial berdasarkan hak-hak yang berbeda. Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya menurut Sorokin, dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggungjawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat. Bentuk-bentuk lapisan masyarakat berbeda-beda dan banyak sekali. Lapisan-lapisan tersebut ada, sekalipun dalam masyarakat


(50)

kapitalis, demokratis, komunis dan lain sebagainya. Kriteria-kriteria yang umumnya diakui oleh masyarakat menurut Soerjono Soekanto adalah kriteria kekayaan, kekuasaan, keturunan, dan pendidikan.

Seseorang yang berada di lapisan masyarakat yang tinggi, dalam hubungan antarmanusia akan cenderung lebih dipermudah dalam artian memiliki tingkat keuntungan yang tinggi, salah satunya dalam berurusan dengan hukum, misalnya keterlibatan dalam kecelakaan lalu lintas.

Kecelakaan lalu lintas menurut Pasal 1 angka 24 UU No. 22 Tahun 2009 tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ) adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan atau pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan kerugian harta benda.

Alternatif penyelesaian tindak pidana kecelakaan lalu lintas seharusnya mengikuti hukum yang berlaku yaitu melalui pengadilan. Namun, banyak kasus kecelakaan yang sengaja diselesaikan di jalan atau tempat kejadian. Hal ini dibenarkan oleh aparat kepolisian karena penyelesaian yang seperti ini didasarkan pada dikresi kepolisian yang dijelaskan pada Pasal 18 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang


(51)

G. Bagan Kerangka Pikir

Melalui penjelasan di atas, maka bagan alur kerangka pemikirannya dapat digambarkan seperti di bawah ini.

Gambar.1. Bagan Kerangka Pikir

Keterangan:

: pengaruh

: jenis

H. Hipotesis

1. Hipotesis Alternatif (Ha)

“Adapengaruh status sosial terhadap alternatif pemecahan masalah tindak pidana

kecelakaan lalu lintas”

2. Hipotesis Nihil (Ho)

“Tidak ada pengaruh status sosial terhadap alternatif pemecahan masalah tindak pidana kecelakaan.

Status Sosial (x) Indikator

1. Kekayaan 2. Kekuasaan 3. Pendidikan

Alternatif Pemecahan Masalah

(y)

Pendekatan Kekeluargaan

Pendekatan Hukum 1. Tinggi

2. Sedang 3. Rendah


(52)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan metode kuantitatif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang bermaksud mengadakan pemeriksaan dan pengukuran-pengukuran terhadap gejala tertentu. Sedangkan kuantitatif berupaya mencari penjelasan terjadinya sebuah gejala sosial dengan mengaitkannya dengan gejala sosial yang lain. Penelitian kuatitatif juga dapat diartikan sebagai penelitian yang menggunakan angka (numerical) dari hasil observasi dengan maksud untuk menjelaskan fenomena dari observasi (Firdaus, 2012:43).

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan gejala/satuan yang ingin diteliti berada pada suatu wilayah penelitian yang memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian, atau keseluruhan unit atau individu dalam ruang lingkup yang akan diteliti (Prasetyo dan Jannah, 2008:119). Populasi dalam penelitian ini adalah korban dan pelaku kecelakaan lalu lintas yang ada sesuai dengan data dari kepolisian dua tahun terakhir yaitu sebanyak 75 kasus pada tahun 2013 serta 64 kasus pada tahun 2014 sampai dengan bulan Oktober yaitu sebanyak 139.


(53)

2. Sampel

Menurut Baily, sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin diteliti. Oleh karena itu, sampel harus dilihat sebagai suatu pendugaan terhadap populasi dan bukan populasi itu sendiri (Prasetyo dan Jannah, 2008:119).

Dalam hal ini, peneliti menggunakan teknik sampling yaitu probability sampling

merupakan teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama kepada setiap anggota populasi untuk menjadi sampel dengan menggunakan

simple random sampling, yaitu merupakan teknik pengambilan sampel yang paling sederhana. Sampel diambil secara acak, tanpa memerhatikan tingkatan yang ada dalam populasi, tiap elemen populasi memiliki peluang yang sama dan diketahui untuk terpilih sebagi objek. Dalam hal ini sampel dipilih secara acak dari jumlah populasi yaitu sebanyak 139. Jumlah sampel ditentukan menggunakan rumus slovin yang dapat merepresentasi populasi yang ada dan dapat mengurangi bias dalam pengambilan sampel dengan tingkat kesalahan 20% yang sangat cocok dengan teknik pengambilan data menggunakansimple random sampling.

2 1 Nd

N n

 

Keterangan:

n : jumlah sampel

N : jumlah populasi

d : presisi (tingkat kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolelir (diinginkan), yaitu sebesar 20% atau 0,2)


(54)

2

) 2 , 0 ( 139 1

139

 

n

= 24,82

Berdasarkan rumus slovin di atas didapatkan hasil perhitungan 24,82. Jadi, jumlah sampel yang didapat adalah 25 (24,82 dibulatkan) dari jumlah populasi sebanyak 139 dengan tingkat kesalahan 20%.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Metro. Kota Metro merupakan kota yang memiliki tingkat heterogenitas yang cukup tinggi dengan angka kecelakaan selama setahun mencapai 75 kasus pada tahun 2013 dan 64 kasus pada tahun 2014 sampai dengan bulan Oktober sehingga dapat dijadikan tempat penelitian.

D. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan suatu definisi yang didasarkan pada kerakteristik yang dapat diobservasi dari apa yang sedang didefinisikan (Sarwono, 2006:67). 1. Status Sosial

Status sosial dapat diartikan sebagai kedudukan seseorang yang ada di masyarakat sesuai dengan hak dan tanggung jawab yang dimilikinya.

Indikator: a. Pendidikan

Pendidikan berkaitan dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang serta tingkat pendidikan seseorang (Soekanto, 1990:237). Ukuran pendidikan ini sama seperti ukuran kekayaan yang disesuaikan dengan hasil penelitian.


(55)

b. Kekuasaan/Pekerjaan

Kekuasaan berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menentukan kehendaknya terhadap orang lain (yang dikuasai) (Maryati dan Suryawati, 2006:21).

a) Kekuasaan tinggi, apabila menduduki jabatan yang tinggi (pimpinan, pemilik tanah).

b) Kekuasaan rendah, apabila tidak menduduki jabatan (karyawan biasa, buruh)

c. Kekayaan/Pendapatan

Kekayaan berkaitan dengan pendapatan dan ekonomi. Semakin besar pendapatan seseorang, maka semakin besar pula kesempatan bagi seseorang untuk memiliki banyak harta benda (Setyawan, 2014:43). Dalam hal ini, indikator disesuaikan dengan hasil yang didapatkan dari penelitian di lapangan

2. Alternatif Pemecahan Masalah

Alternatif pemecahan masalah adalah suatu pilihan diantara dua atau beberapa kemungkinan dari penyelesaian masalah.

Indikator:

a. Pendekatan Kekeluargaan

Pendekatan kekeluargaan merupakan suatu penyelesaian masalah dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat (win-win solution).


(56)

b. Pendekatan Hukum

Pendekatan hukum merupakan suatu penyelesaian masalah melalui jalur hukum (proses pengadilan).

E. Teknik Pengambilan Data

1. Kuesioner

Kuesioner adalah suatu daftar yang berisikan rangkaian pertanyaan terstruktur/sistematis yang digunakan untuk mengukur variabel-variabel, hubungan antarvariabel, maupun opini dari responden (Prasetyo dan Jannah, 2008:143). Dalam hal ini, kuesioner sangat cocok digunakan karena dalam penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, dimana kuesioner memiliki keunggulan yaitu dapat menjangkau banyak responden dengan waktu yang cepat. Tujuan pokok dari kuesioner adalah, untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan survai, dan memperoleh informasi dengan realibilitas dan validitas setinggi mungkin. Kuesioner ini diberikan pada responden yang tersebar di Kota Metro yang menjadi korban dan pelaku kecelakaan lalu lintas.

2. Wawancara

Wawancara digunakan dalam penelitian ini sebagai pendukung dan pelengkap data yang digunakan untuk menginterpretasikan hasil perhitungan yang dilakukan dalam SPSS. Wawancara ini juga dilakukan untuk melengkapi data yang tidak didapatkan dalam kuesioner. Wawancara merupakan cara memperoleh data atau informasi dengan cara tanya jawab


(57)

fleksibel namun terstruktur berupa rangkaian pertanyaan (Sarwono, 2006:224).

3. Studi Pustaka

Mengumpulkan data dari buku-buku, skripsi-skripsi, jurnal-jurnal, internet, dan literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian. Studi pustaka ini memiliki kegunaan untuk melengkapi segala sesuatu yang dibutuhkan dalam penelitian serta menjadi refrensi penelitian.

F. Teknik Pengolahan Data

1. Editing

Pada tahap ini, peneliti memeriksa kembali (klarifikasi, keterbacaan, konsistensi dan kelengkapan data) kuesioner yang telah terisi di lapangan, (Sarwono, 2006:135). Tahap ini dilakukan untuk mengkoreksi hal-hal yang belum terjawab atau pertanyaan-pertanyaan yang terlewat oleh responden sehingga dapat jelas dan dapat melengkapi data dan informasi yang dibutuhkan.

2. Coding

Pada tahap ini peneliti melakukan proses pengklasifikasian jawaban-jawaban responden menurut macamnya. Klasifikasi ini dilakukan dengan jalan menandai masing-masing jawaban dengan kode tertentu dalam bentuk angka, (Sarwono, 2006:136). Dalam hal ini jawaban Ya beri kode 2, serta jawaban Tidak diberi kode 1.


(58)

3. Tabulating

Pada tahap ini peneliti merumuskan data ke dalam kolom-kolom tabel atau mengelompokkan jawaban-jawaban yang serupa dengan teliti dan teratur. Proses ini dilakukan sampai dengan terwujudnya tabel-tabel yang selanjutnya digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh. Tabulasi juga digunakan untuk menciptakan statistik deskriptif variabel-variabel yang diteliti atau variabel yang akan ditabulasi silang, (Sarwono, 2006:137).

4. Intepretating

Pada tahap ini data yang terkumpul diinterpretasikan atau ditafsirkan agar kesimpulan-kesimpulan penting mudah ditangkap oleh pembaca. Selain itu,

interpretating digunakan untuk menganalisa data yang telah dihitung menggunakan perhitungan SPSS agar dapat dibaca dengan mudah oleh pembaca.

G. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kuantitatif, dengan uji regresi linear sederhana yaitu jenis statistika yang dipakai untuk melihat daya prediksi variabel independen (predictor) terhadap variabel dependen (kriterium). Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan bantuan program SPSS.

Uji regresi linear sederhana digunakan untuk menjelaskan bagaimana satu variabel dihubungkan dengan variabel lain, dengan variabel X (status sosial) dengan variabel Y (alternatif pemecahan masalah) (Yusri, 2009:219).


(59)

Regresi adalah proses memasukkan variabel independen ke dalam model untuk memprediksi variabel dependen. Proses tersebut dapat dilakukan secara simultan maupun satu persatu. Dalam analisis regresi, dikembangkan sebuah formula persamaan, yaitu formula matematika yang mencari nilai variabel tergantung (dependent) dari nilai variabel bebas(independent)yang diketahui.

Rumus:

Keterangan:

b = garisprediksi

a = konstanta (intercept)

y =variabel dependen

x =variabel independen

Pengujian hipotesis penelitian ini dilakukan dengan membandingkan nilai Fhitung dan Ftabelpada taraf signifikan 0,05, ketentuan yang dipakai dalam perbandingan ini adalah sebagai berikut :

Jika Fhitung> Ftabel pada taraf signifikan 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima, berarti ada pengaruh status sosial terhadap alternatif pemecahan masalah tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang ada di Kota Metro.


(60)

IV. GAMBARAN WILAYAH

A. Sejarah Singkat Kota Metro

Pada jaman pemerintahan Belanda Kota Metro masih berupa hutan belantara yang merupakan bagian dari wilayah Marga Nuban yang kemudian dibuka oleh para kolonisasi pada tahun 1936. Pada tahun 1937 resmi diserahkan oleh Marga Nuban dan sekaligus diresmikan sebagai Pusat Pemerintahan Onder Districk (setingkat kecamatan). Pada jaman pemerintahan Jepang, onder distrik tersebut tetap diakui dengan nama Sonco (camat). Pada jaman pelaksanaan kolonisasi selain Metro juga terbentuk onder distrik yaitu Pekalongan, Batanghari, Sekampung, dan Trimurjo. Kelimaonder districkini mendapat rencana pengairan teknis bersumber dari Way Sekampung yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh para kolonisasi-kolonisasi yang sudah bermukim di bedeng-bedeng dimulai dari bedeng 1 bertempat di Trimurjo dan bedeng 62 di Sekampung, yang kemudian bedeng tersebut diberi nama seperti bedeng 21 Yosodadi, (Kota Metro dalam Angka, 2014:iv).

Kata Metro (mitro) yang berarti sahabat, dilatarbelakangi dari kolonisasi yang datang dari berbagi daerah di luar wilayah Sumatera. Pada jaman kemerdekaan, nama Kota Metro tetap Metro dan tidak diubah. Sesuai dengan berlakunya Pasal 2 Peraturan Peralihan UUD 1945, maka Metro menjadi Kabupaten yang dikepalai


(61)

oleh seorang Bupati pada tahun 1945, yang pada waktu itu Bupati pertama yang menjabat adalah Burhanuddin (1945-1948). Sebelum menjadi Kota Administratif Metro, Metro merupakan suatu wilayah kecamatan yakni kecamatan Metro Raya dengan 6 kelurahan dan 11 desa (Kota Metro dalam Angka, 2014:iv).

Atas dasar Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1986 tanggal 14 Agustus 1986 dibentuk Kota Administratif Metro yang terdiri dari Kecamatan Metro Raya dan Bantul yang diresmikan pada tanggal 9 September 1987 oleh Menteri Dalam Negeri. Dalam perkembangannya, lima desa di seberang Way Sekampung dibentuk menjadi 1 kecamatan yaitu Kecamatan Metro Kibang dan dimasukkan ke dalam wilayah pembantu Bupati Lampung Tengah wilayah Sukadana (sekarang masuk menjadi Kabupaten Lampung Timur).

Pada tahun yang sama terbentuk 2 wilayah yaitu Sukadana dan Gunung Sugih. Melihat kondisin dan potensi yang cukup besar serta ditunjang dengan sarana dan prasarana yang memadai, Kota Administratif Metro tumbuh pesat sebagai pusat perdagangan, pendidikan, kebudayaan, dan juga pusat pemerintahan. Wajar jika dengan kondisi tersebut Kota Administratif Metro ditingkatkan statusnya menjadi Kota Madya Metro. Harapan untuk memperoleh otonomi daerah terjadi pada tahun 1999, dengan dibentuknya Kota Metro sebagai daerah otonom berdasarkan UU No. 12 tahun 1999 tanggal 20 April 1999 dan diresmikan pada tanggal 27 April 1999 di Jakarta bersama dengan Kota Dumai (Riau), Kota Cilegon dan Kota Depok, Kota Banjarbaru, dan Kota Ternate. Kota Metro pada saat diresmikan terdiri dari 2 kecamatan (Kota Metro dalam Angka, 2014:vi).


(1)

92

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian pada bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Tidak ada pengaruh yang signifikan, pendidikan seseorang terhadap alternatif pemecahan masalah tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Kota Metro. Jadi, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang belum tentu memilih alternatif pemecahan masalah tindak pidana kecelakaan lalu lintas melalui jalur hukum atau semakin rendah tingkat pendidikan seseorang belum tentu memilih alternatif pemecahan masalah tindak pidana kecalakaan lalu lintas melalui jalur kekeluargaan.

2. Tidak ada pengaruh yang signifikan, kekayaan seseorang terhadap alternatif pemecahan masalah tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Kota Metro. Jadi, semakin kaya seseorang belum tentu memilih alternatif pemecahan masalah tindak pidana kecelakaan lalu lintas melalui jalur hukum atau semakin rendah kekayaan seseorang belum tentu memilih alternatif pemecahan masalah tidak pidana kecelakaan lalu lintas melalui jalur kekeluargaan.

3. Tidak ada pengaruh yang signifikan, kehormatan/jabatan seseorang terhadap alternatif pemecahan masalah tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang


(2)

93

terjadi di Kota Metro. Jadi, semakin tinggi kehormatan/jabatan seseorang belum tentu memilih alternatif pemecahan masalah tindak pidana kecelakaan lalu lintas melalui jalur hukum atau semakin rendah jabatan seseorang belum tentu memilih alternatif pemecahan masalah tindak pidana kecelakaan lalu lintas melalui jalur kekeluargaan.

4. Dapat ditarik kesimpulan bahwa status sosial yang meliputi tingkat pendidikan, kekayaan, maupun kehormatan/jabatan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap alternatif pemecahan masalah tindak pidana kecelakaan lalu lintas.

5. Baik status sosial yang tinggi maupun rendah yang menjadi korban maupun pelaku, dari hasil penelitian lebih memilih alternatif pemecahan masalah tindak pidana kecelakaan lalu lintas melalui jalur kekeluargaan (win-win solution).Hal tersebut sesuai dengan jenis akomodasi kompromi yaitu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian yang dirasa sesuai dengan keinginan masing-masing pihak.

6. Pemilihan alternatif pemecahan masalah tindak pidana kecelakaan lalu lintas tidak didasari oleh status sosial yang tinggi, sedang, ataupun rendah. Pemilihan alternatif tersebut didasari oleh mudah atau tidaknya proses yang akan dijalani untuk menyelesaikan kasus kecelakaan tersebut, tanpa mempersulit atau merugikan salah satu pihak yang terlibat.

B. Saran

Berdasarkan kajian studi ini, peneliti memberikan saran yang bertujuan untuk merekomendasikan kepada pihak-pihak terkait supaya penelitian ini nantinya


(3)

94

dapat menyumbangkan pemikiran dalam penyelesaian masalah tindak pidana kecelakaan lalu lintas di Kota Metro.

1. Dalam penelitian ini diketahui sebanyak 11 jalan di Kota Metro menjadi jalan rawan kecelakaan lalu lintas, bagi pemerintah diharapkan dapat memberikan pengamanan lebih atau memberikan rambu-rambu lalu lintas yang jelas di titik-titik tersebut agar dapat meminimalisir kecelakaan lalu lintas.

2. Dalam penelitian ini diketahui sebanyak 20 orang responden atau 66,7% adalah responden yang berada di kelompok umur 15-25 tahun. Kelompok umur tersebut termasuk kelompok umur yang masih muda, sehingga diharapkan kepada aparat kepolisian dan pemerintah lebih sering mengadakan sosialisasi tentah tertib lalu lintas ke sekolah-sekolah, ke perguruan tinggi, maupun ke masyarakat umum tentang tertib lalu lintas. Hal tersebut akan menekan tingginya kecelakaan lalu lintas yang ada di Kota Metro.

3. Dari hasil penelitian mayoritas responden berada pada status sosial yang rendah yaitu sebanyak 18 responden atau sebesar 72%, maka diharapkan bagi pemerintah untuk meningkatkan perekonomian masyarakat di Kota Metro dengan berbagai cara mulai dari peningkatan kualitas pendidikan dan kualitas sumber daya masyarakatnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. 1992. Sosiologi (Skematika, Teori, dan Terapan). Bandar Lampung: Sinar Grafika Offset

Azis, M. Firdaus. 2012.Metode Penelitian. Tangerang: Jelajah Nusa

Dwi, J Narwoko dan Bagong Suyanto. 2011. Sosiologi (Teks Pengantar dan Terapan).Jakarta: Kencana

Fathoni, Abdurrahmat. 2011. Metode Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta: PT Rineka Cipta

J.Supranto. 2001.Statistik(Teori dan Aplikasi). Jakarta: Erlangga

Maijor, J.B.A.F. Polak. 1960.Sosiologi (Suatu Buku Pengantar Ringkas).Jakarta: Ichtiar Baru

Martono, Nanang. 2012.Metode Penelitian Kuantitatif (Analisis Isi dan Analisis Data Sekunder). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Maryati, Kun dan Juju Suryawati. 2006.Sosiologi. Jakarta: Esis Moeljatno. 2009.Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta

Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Prasetyo, Teguh. 2012.Hukum Pidana. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Roucek, J.S dan R.L Warren. 1984. Sociology an Introduction. Jakarta: Bina Aksara

Saleh, Roeslan. 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Aksara Baru

Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada


(5)

. 1990.Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

. 1993.Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Yusri. 2009.Statistika Sosial (Aplikasi dan Interpretasi). Yogyakarta: Graha Ilmu SUMBER LAIN

A, Reja Simanjutak. 2009. “Penerapan Hukum Terhadap Perilaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Yang Menyebabkan Korban Meninggal Dunia Sesuai dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009”. (Kasus di Polres Bengkayang). Jurnal Penelitian(diakses pada tanggal 7 Oktober 2014 pukul 19:49)

B. Singgalingging. 2013. “Analisis Hubungan Kelembagaan antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia”. (Studi di Bank Indonesia). Thesis. Medan: Universitas Sumatera Utara. (diakses pada tanggal 13 Januari 2015 pukul 20:36)

Format Penulisan Karya Ilmiah.2013.Bandar Lampung:Universitas Lampung Kepolisian Negara RI, Daerah Lampung, POLRES Metro. 2013-2014

Manurung, JRH. 2012. “Hubungan Faktor-Faktor Penyebab Dan Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Pada Pengendara Sepeda Motor Di Kota Medan”.

(Studi di Kota Medan). Jurnal Penelitian. (diakses pada tanggal 11 November 2014 pukul 19:31)

Nasikhah, Naely Faoziyah. 2014. “Penyelesaian Non-penal dalam Kecelakaan Lalu Lintas”.Jurnal Penelitian.Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga. (diakses pada tanggal 6 November 2014 pukul 09:38)

Poernomo, Dwi. 2001. ”Tingkat Pendidikan Wanita terhadap Usia Kawin di Desa dan Di Kota”. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro (diakses pada tanggal 14 Desember 2014 pukul 10:23)

Priyo, Dwiyogo dan Radityo Heru Prabowo. 2006. ”Studi Identifikasi Daerah Rawan Kecelakaan (Black Spot dan Blacksite) pada Jalan Tol Jagorawi”. Thesis. Semarang: Universitas Diponegoro (diakses pada tanggal 20 Juni 2015 pukul 09:45)

Ratnasari, Fitria, dkk. 2014. “Hubungan Karakteristik Remaja dengan Kejadian

Kecelakaan Lalu Lintas pada Komunitas Sulut King Community (SKC)


(6)

Setyawan, Ari Chandra. 2014. “Model Pendekatan Teori Konsumsi dalam Membeuat Proyeksi Potensi Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Bank Umum Di Kota Surabaya”. Thesis. Surabaya: UPN Jatim (diakses pada tanggal 20 Januari 2014 pukul 07:34)

Utami, Octavianti. 2013. “Hubungan antara Pemanfaatan E-Learning dengan Motivasi Belajar Siswa”. Jurnal Penelitian. Universitas Pendidikan Indonesia. (diakses pada tanggal 17 November 2014 pukul 07:51)

V, Agio Sangki. 2012. “Tanggung Jawab Pidana Pengemudi Kendaraan Yang Mengakibatkan Kematian Dalam Kecelakaan Lalu Lintas”. Jurnal Penelitian. Halaman 35. (diakses pada tanggal 11 November 2014 pukul 18:19)