93 L. hexandra
dan P. repens. Sedangkan Pyricularia dari padi berasal dari Setaria millet
Couch et al. 2005. Oleh karena itu Pyricularia pr10.a.S4 pada penelitian ini juga dapat ditempatkan sebagai P. oryzae.
Disisi lain yang perlu mendapat perhatian dengan berkembangnya pendekatan spesies, yaitu kemungkinan perubahan genetik yang terjadi pada
waktu patogen melakukan infeksi silang ke spesies yang berbeda. Pada penelitian ini ditemukan bahwa pergantian inang dapat menginduksi keragaman genetik
Bab 4. Pergantian inang d4 ke P. repens menghasilkan mutasi transisi dua nukleotida pada ITS. Selain itu juga menghasilkan perubahan genetik yang
dideteksi melalui AFLP, dan rep-Pot2. Inang rentan juga dapat menginduksi keragaman genetik inokulum, yaitu genotipe Cut1, PWL, AFLP, dan rep-Pot2.
Tingkat perubahan genotipe AFLP dari d4 setelah menginfeksi Panicum repens, dan padi Kencana bali sangat berbeda dibandingkan d4 setelah menginfeksi padi
Cisokan. Padi Kencana bali sangat rentan terhadap penyakit blas. Sedangkan padi Cisokan bersifat moderat resisten terhadap penyakit blas jika dilihat berdasarkan
tingkatan nilai padi diferensial Indonesia untuk menentukan ras fisiologi P. oryzae Mogi et al. 1991 .
Simpulan
Hasil amplifikasi menggunakan primer its1 dan its4 pada empat isolat Pyricularia
dari rumput dan padi d4, pr10.a.S4, ok6, dan ou6.S4 diperoleh sekuen DNA berukuran 543 pb. Sekuen tersebut terdiri atas bagian hilir 18S
rDNA, ITS1, 5.8S rDNA, ITS2, dan bagian hulu 26S rDNA. Isolat d4 dari rumput D. ciliaris
dan ok6 dari padi var. Kencana bali dari lokasi dan waktu yang sama, serta ou6.S4 asal padi dari lokasi dan waktu berbeda memiliki sekuen yang sama.
Sebaliknya sekuen pr10.a.S4 berbeda beberapa nukleotida terhadap d4, ok6, atau ou6.S4.
Sekuen ITS beserta 5.8S rDNA tidak dapat memisahkan d4 dan pr10.a.S4 yang berasal dari rumput terhadap ok6 dan ou6.S4 yang berasal dari padi.
Kesemuanya memiliki hubungan filogenetik sangat dekat dengan P. oryzae dari padi. Berdasarkan prioritas maka d4 dan pr10.a.S4 sebagai P. grisea. Sedangkan
ok6 dan ou6.S4 masih dapat juga disebut sebagai P. grisea berdasarkan kesamaan sekuen ITS dan 5.8S rDNAnya.
95
BAB VI PEMBAHASAN UMUM
Anamorf cendawan blas yang umumnya ditemukan di lapang. Teleomorfnya tidak pernah ditemukan di lapang Ou 1985. Kedudukan teleomorf
pada semua cendawan lebih tinggi daripada anamorf dalam tata namanya. Penggunaan nama anamorf telah diusulkan untuk mempunyai kedudukan yang
sama dengan teleomorfnya pada semua cendawan. Proposal telah diselesaikan oleh kepanitiaan kecil, dan akan dipresentasikan pada Konggres International
Code of Botanical Nomenclatur ICBN. Usulan penggunaan nama anamorf
secara resmi akan dipergunakan selama enam tahun atau 12 tahun sejak 2011 Rossman Samuels 2005.
Banyak spesies rumput yang dapat menjadi inang Pyricularia. Pyricularia mempunyai ± 50 jenis inang Ou 1985. Pyricularia pada masing-masing genotipe
inang kemungkinan mempunyai keragaman genetik yang berbeda walaupun dalam spesies inang yang sama. Sebagai contoh, sampel Pyricularia pada dua
rumput Cyperus rotundus memiliki tipe RFLP rDNA dan mtDNA berbeda Borromeo et al. 1993. Keragaman tersebut mungkin sebagai bentuk adaptasi
pada inang atau mungkin juga dua spesies rumput yang sama diinfeksi oleh Pyricularia
dari spesies rumput yang berbeda. Seperti dilaporkan oleh Kato et al. 2000 dan Mackill dan Bonman 1986, bahwa Pyricularia penginfeksi satu
spesies rumput dapat menginfeksi silang lebih dari satu spesies inang lainnya. Pyricularia
dari rumput dapat memiliki heterogenisitas lebih tinggi daripada Pyricularia dari padi, karena spesies-spesies rumput yang dapat menjadi
inang alternatif Pyricularia berada sepanjang waktu di suatu area pertanaman padi, sehingga keberadaan variasi genotipe inang yang berupa rumput lebih besar
daripada variasi genotipe padi. Sebaliknya, variasi genotipe varietas padi yang dapat menjadi inang Pyricularia lebih rendah dari rumput, dan varietas padi yang
ditanam berubah-ubah pada musim tanam. Selain itu, isolat yang tidak berasal dari padi umumnya tidak patogen terhadap padi, ataupun hanya memberikan reaksi
patogen lemah, yaitu hasil infeksinya tidak berkembang Singh dan Singh 1988, Couch et al. 2005. Kemungkinan aliran genetik cendawan blas ke rumput lebih
tinggi daripada ke padi. Heterogenisitas isolat-isolat pada satu bercak blas dari
96 rumput teramati dengan penanda SCAR Cut1, PWL2, dan Erg2 yang terdiri atas
dua macam fenotipe SCAR. Sebaliknya pada bercak blas dari inang padi, hanya tampak satu fenotipe penanda SCAR.
Kemiripan ukuran hasil amplifikasi penanda SCAR dan mag pada Pyricularia asal rumput dan padi menunjukkan kedua penanda ini masih
dipertahankan sejalan dengan terjadi proses spesiasi pada Pyricularia versi Couch dan Kohn 2002. Perjalanan spesiasi berupa perubahan yang sangat kecil,
sehingga hanya dapat diamati melalui analisis molekuler. Pengenalan spesies melalui pendekatan molekuler kadang-kadang akan menghasilkan kontroversi
atau menimbulkan semacam gairah seperti istilah spesies untuk mikologis Balajee et al. 2009. Hal ini ditunjukkan pada hubungan filogenetik antara
Pyricularia dari rumput D. ciliaris d4 dan dari P. repens pr10.a.S4 dengan Pyricularia dari padi ok6 dan ou6.S4. Keempat isolat secara filogenetik berada
dalam clade P. oryzae. Sedangkan Couch dan Kohn 2002 menempatkan bahwa Pyricularia dari Digitaria sebagai P. grisea. Perbedaan tersebut berdasarkan
substitusi beberapa nukleotida pada lokus actin, ß-tubulin, dan calmodulin. Pada hasil penelitian ini juga terdapat perbedaan karakter molekuler pada d4, ok6, dan
ou6.S4, yaitu pada fenotipe SCAR, AFLP, dan rep-Pot2 Tabel 16. Tabel 16 Karakterisasi Pyricularia asal rumput d4 dan padi ok6 dan ou6.S4
Perbedaan dapat muncul sebagai bentuk adaptasi ke inang pada waktu mengalami pergantian jenis inang. Pergantian genus inang d4 dapat menginduksi
perubahan fenotipe yang dideteksi melalui SCAR, AFLP, rep-Pot2, dan ras fisiologi, serta sekuen ITS rDNA. Sebaliknya pergantian inang pada spesies sama
menstabilkan perubahan tersebut. Teknik AFLP sangat sensitif menghasilkan profil fragmen DNA, dapat membedakan isolat klonal isolat-isolat konidium
tunggal yang diperoleh dari satu bercak. AFLP juga dapat membedakan berbagai Ragam karakter
Isolat d4 ok6 ou.6.S4
Inang D. ciliaris
padi padi Fenotipe SCAR Cut1, PWL2, Erg2
101 011
011 Fenotipe AFLP
Basal I
tidak dianalisis Sekuen ITS1, 5.8S rDNA, dan ITS2
Sama Fenotipe rep-Pot2
P1 P2
tidak dianalisis
97 galur khamir Zarzosoa et al. 2010. AFLP dinyatakan reproducible Vos et al.
1995, mungkin tidak selalu benar karena Krauss dan Peakall 1998 atau Winfield et al. 1998 menemukan pola fragmen DNA berbeda ketika sampel
dianalisis ulang. Metode yang dipakai pada waktu penyiapan genom dapat mempengaruhi pola fragmen DNA, misal terjadi pemotongan parsial akibat
kualitas DNA tidak baik, atau konsentrasi enzim restriksi yang digunakan untuk memotong genom tidak mencukupi Lin Kuo 1995.
Variasi isolat yang yang terdeteksi melalui AFLP pada penelitian ini mungkin juga berhubungan dengan pembelahan mitosis Pyricularia yang sering
aneuploid, seperti pada dua strain Pyricularia patogen padi Row et al. 1985. Kemungkinan lainnya minikromosom Pyricularia asal padi mengalami delesi dan
duplikasi, minikromosomnya banyak mengandung elemen transposon Chuma et al
. 2003, ataupun gen telomer helikase I TLH I yang bersifat tidak stabil akibat subkultur berulangkali Park et al. 2010.
Kemungkinan inang rentan dapat memberikan peluang lebih besar pada perubahan genetik patogen yang sedang menginfeksinya. Peristiwa ini
ditunjukkan pada d4 yang diinfeksikan ke padi Kencana bali ataupun P. repens. Begitu juga o173 yang digunakan sebagai pembanding, yaitu mengalami
perubahan yang lebih besar pada waktu diinfeksikan ke varietas padi yang lebih rentan. Strain d~c1.2 turunan d4 dari padi Cisokan mengalami perubahan yang
lebih tinggi ketika diinfeksikan ke Kencana bali daripada ke varietas yang sama. Cisokan merupakan padi dengan tingkatan moderat resisten terhadap penyakit
blas jika merujuk pada tingkatan padi diferensial Indonesia. Kemungkinan perubahan beberapa basa yang terdeteksi melalui penanda molekuler tertentu
merupakan akumulasi hasil adaptasi terhadap genotipe inang. Akumulasi perubahan akan menghasilkan keragaman genetik dalam populasi patogen, dan
akhirnya dapat berdampak pada spesiasi, khususnya spesiasi pada mikroba. Menurut Hamer et al. 1989, seleksi inang untuk genotipe patogen yang spesifik
terjadi selama pemuliaan dan budidaya padi. Perubahan nukleotida dapat juga akibat penataan kembali gen ataupun
oleh jenis mutasi lain substitusi, insersi, delesi, transversi, transisi. Kromosom IIIb Pyricularia asal padi merupakan lokasi rDNA yang mudah mengalami mutasi
98 kariotipik, dengan kecepatan 12.5 melalui pemanenan konidium. Mutasi ini
berupa kehilangan 1 Mb, tidak berpengaruh pada fingerprint DNA, ras fisiologi, ataupun kemampuan kawinnya Sone et al. 2000. Penyusunan ulang
rearragement kromosom akibat transposon dilaporkan bersifat netral secara genetik, tetapi dapat menghasilkan kombinasi penting untuk beradaptasi terhadap
lingkungan baru. Perubahan ini mempunyai potensi berpengaruh pada banyak aspek dari evolusi genom cendawan dan memberikan fleksibilitas terhadap
populasi untuk beradaptasi ke lingkungan baru Favaro et al. 2005. Penyebab lainnya pada perubahan sekuen nukleotida adalah pembentukan
heterokarion. Pada bercak blas padi yang diperoleh dari alam, terjadi anastomosis secara alami di bagian epidermis bawah daun dan di dalam jaringan pembuluh
daun yang terdapat bercak tahap awal Chen Wu 1977. Singh et al. 1983 melaporkan bahwa ditemukan sifat cendawan blas padi yang tidak stabil,
anastomosis hifa terjadi dalam kultur tersebut, dapat ditemukan sel hifa binukleat, nukleolus besar yang menunjukkan kemungkinan terjadi paraseksual, tetapi
pengamatan sitologi tidak menemukan kejadian fusi nukleus, sehingga menghasilkan heterodiploid.
Heterokariosis pada Pyricularia asal padi terjadi pada satu strain yang sama, tidak antara strain yang berbeda, dan heterokariosis diperlukan untuk
membentuk prototrof Genovesi Magill 1976. Sebaliknya, menurut Fatemi dan Nelson 1977, heterokariosis dapat terjadi pada intra isolat, ataupun inter isolat,
meskipun tidak semua pasangan intra isolat maupun inter isolat membentuk heterokarion Fatemi Nelson 1978. Heterokariosis merupakan mekanisme
untuk menghasilkan variasi dan adaptasi Tinline MacNeill 1969. Kejadian diploid heterozigot pada sel somatik cendawan filamen hampir merupakan
peristiwa genetik yang eksklusif. Semua cendawan berfilamen yang diteliti oleh Glass dan Kuldau 1992 memiliki sistem regulasi membentuk heterokarion. Pada
kultur cendawan blas rumput maupun padi juga ditemukan kejadian aneuploid pada waktu mitosis, keragaman yang ditimbulkannya mungkin memberikan
dampak terhadap variasi patogenisitasnya Row et al. 1985. Data
fingerprinting dan genetik molekuler, menunjukkan Pyricularia
mempunyai kemampuan dasar untuk patogen pada inang pada kisaran lebar
99 terhadap kultivar padi ataupun rumput. Namun kemampuannya tersebut terutama
dibatasi oleh spesifitas gen-gen inang. Jika terjadi mutasi pada gen kemampuan dasar untuk patogen inang, maka kemungkinan dapat terjadi peningkatan
patogenisitasnya Leong et al. 1994. Mikroevolusi ras pada cendawan patogen dihipotesiskan terjadi dalam model yang bertahap, yaitu klon mengalami mutasi
tingkat virulen yang berakumulasi secara berturut-turut, sehingga menghasilkan ras yang mampu menanggulangi beberapa gen resisten pada tanaman inang, atau
beberapa kultivar resisten Jimenez-Gasco et al. 2004. Istilah mikroevolusi sering digunakan sebagai proses spesiasi atau sebuah
populasi mengalami perubahan seiring dengan waktu. Proses yang menghasilkan mikroevolusi adalah mutasi, hanyutan genetik genetic drift, seleksi alam, dan
aliran gen. Mutasi merupakan sumber utama variasi genetik pada mikrob, seperti pada cendawan yang somatiknya adalah haploid Moore-Landecker 1996.
Sebelum genetika molekuler berkembang, mutasi diidentifikasi melalui efek pada fenotipe. Sampai saat ini, mutasi DNA yang paling kecil adalah sebuah perubahan
sekuen DNA yang dikenal sebagai mutasi titik. Mutasi titik yang berupa satu nukleotida diakibatkan oleh substitusi, delesi, atau insersi Hufbauer Roderick
2005. Hirata et al. 20007 mengasumsikan bahwa spesies Pyricularia melalui
proses spesiasi yang terus menerus. Menurut Taylor et al. 2000, perbedaan antara spesies dapat ditinjau secara teori species concept dan operasional
species recognition. Konsep spesies yang diterapkan pada kelompok Pyricularia berubah-ubah dengan semakin berkembangnya metode molekuler. Pada awalnya,
konsep spesies yang dipakai untuk mengenali cendawan adalah berdasarkan morfologi Giraud et al. 2000. Oleh karena itu pada awalnya para peneliti
menyebut cendawan blas sebagai P. grisea, bersinonim dengan P. oyzae dan M. grisea
sebagai teleomorfnya. Keduanya mempunyai morfologi serupa. Namun analisis filogenetik cendawan pada konsep spesies evolusi berdasarkan karakter
nukleotida dianggap lebih konsisten. Oleh karena itu pengenalan spesies secara filogenetik phylogenetic species recognition=PSR melalui silsilah lebih sesuai
untuk cendawan, dan sepertinya banyak digunakan oleh para mikologis. PSR ini biasanya didekati melalui analisis variasi gen tunggal. Kriteria spesies ini telah
100 diperluas dengan pendekatan multilokus yang tidak bertautan, dikenal sebagai
genealogical concordance phylogenetic species recognition GCPSR, Taylor et
al . 2000. Penggunaan satu lokus seringkali belum menghasilkan batasan spesies
yang tegas. Oleh karena itu, penentuan spesies berdasarkan GCPSR menggunakan beberapa lokus yang tegas, maka keragaman sekuen dalam spesies diketahui.
Berdasarkan pengetahuan ini, perbandingan analisis sekuen dari lokus tunggal dapat digunakan untuk identifikasi spesies secara cepat. Jalan pintas penggunaan
skor keidentikan pada keragaman genetik di dalam dan di antara sibling spesies dapat dibuktikan Summerbel et al. 2005.
Mikroevolusi tidak terdeteksi pada pergantian inang Pyricularia pada spesies sama yang diamati melalui penanda SCAR, sekuen ITS-rDNA, rep-Pot2
Gambar 26. Park et al. 2010 melaporkan bahwa tidak tampak perbedaan pola fingerprint
DNA berbagai jenis elemen transposon, yaitu Pot2, MGR586, MAGGY, LINE, dan Mg-SINE pada cendawan blas dari padi yang diinfeksikan
berulang-ulang pada inang padi. Selain itu juga dilaporkan bahwa subkultur pada medium buatan yang berulang kali tidak menghasilkan perbedaan, bersifat stabil.
Pyricularia oryzae dikenal sebagai patogen pada bagian aerial tanaman. Dufresne
dan Osbourn 2001 melaporkan P. oryzae memiliki kemampuan untuk menginfeksi akar dan dapat mengkolonisasi sampai bagian pucuk tanaman.
Inokulasi P. oryzae pada akar tanaman serealia dapat menyebabkan bercak di bagian aerial, dan pada permukaan akar dihasilkan mikrosklerotia yang berupa
struktur bulat coklat Sesma Osbourn 2004. Kemampuan P. oryzae dapat menginfeksi akar mungkin juga merupakan bagian dari mikroevolusinya,
sehingga P. oryzae dapat dikelompokkan sebagai patogen tular tanah. Peristiwa mikroevolusi P. oryzae juga dilaporkan oleh Andriantsimialona dan Tharreau
2008, yaitu genotipe dan patotipe pada struktur populasi M. grisea di Madagaskar mengalami perubahan dari agrosistem irigasi menjadi agrosistem
tanah kering upland. Contoh lainnya seperti kemunculan keragaman genetik P. oryzae
yang dilaporkan oleh Namai dan Iwade 2002; Namai 2011; Avila- Adame dan Koller 2003; Zhou et al. 2007 ataupun variasi sifat
patogenisitasnya Ou 1980, Prabhu et al. 2002.
Cut1
+
PWL2
-
Erg2
+
Sekuen ITS1,
ITS2, dan 5.8S rDNA
transisi pirimidina 1 nukleotida pada ITS1 dan 1 nukleotida pada
ITS2
Pola AFLP II
Pola rep Pot2
P3
Ras fisiologi 000
Panicum repens
tahap ke-2 tahap ke-1
tahap ke-1 tahap ke-2
Kencana bali Cisokan
Cisokan
Kencana bali Kencana bali
Cisokan
d~c~k1.8 d~c~c2.4 d~c1.3
d~c1.2
P. grisea d4 sebagai
inokulum dan penandanya d~k4.3 d~k~k2.3
d~k~c2.1
- - -
- Cut1 : +
- - -
+ + +
+ PWL2 : -
+ + +
+ + +
+ Erg2 : +
+ + +
stabil stabil stabil
Sekuen ITS beserta 5.8S rDNA: P. oryzae asal padi di GeneBank
stabil stabil stabil
III I I
Pola AFLP : basal III III
III P2 P2
P2 P2
Pola rep-PCR Pot2: P1 awal P2 P2
P2 tk tk
023 373
Ras fisiologi : 000 000 tk
tk
Gambar 26 Mikroevolusi Pyricularia d4 asal D. ciliaris pada pergantian inang ke padi dan rumput P. repens berdasarkan penanda AFLP, SCAR, rep-Pot2, dan ras fisiologi, serta sekuen ITS beserta 5.8S rDNA.
tk: tidak dikarakterisasi
101
102
103
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penanda SCAR Cut1, PWL2, dan Erg2, magB dan magC untuk Pyricularia
yang diperoleh dari rumput Cynodon dactylon, Eleusine indica, Digitaria ciliaris
, dan Panicum repens memiliki ukuran serupa seperti yang dimiliki oleh Pyricularia dari padi, yaitu ± 1700 pb Cut1, 900 pb PWL2, dan
1400 pb Erg2, 1330 pb magB dan 1550 bp magC. Sedangkan frekuensi penanda SCARnya adalah 78.1 Cut1, 54.8 PWL2, dan 95.1 Erg2.
Semua Pyricularia dari rumput memiliki magB 100, dan 97.6 memiliki magC. Selain itu penanda SCAR pada 41 sampel Pyricularia dari empat spesies
rumput yang diamati menghasilkan fenotipe A 011 sebesar 19.5, B 101 41.5, C 111 31.7, D 001 2.5, dan E 010 4.9.
Pergantian inang Pyricularia d4 yang berasal dari rumput D. ciliaris ke padi menghasilkan perubahan fenotipe Cut1, PWL2, AFLP, rep-Pot2, dan ras
fisiologinya, tetapi tidak mengalami perubahan sekuen ITS. Sebaliknya d4 berganti inang ke rumput lain P. repens mengalami perubahan fenotipe AFLP,
rep-Pot2, dan mutasi transisi 2 nukleotida ITS, tetapi tidak merubah fenotipe Cut1 dan PWL2, serta ras fisiologinya. Turunan d4 yang diperoleh dari inang padi tidak
mengalami perubahan fenotipe SCAR, AFLP, rep-Pot2, dan sekuen ITS setelah berganti inang pada varietas padi yang sama. Sebaliknya, turunan d4 yang
diperoleh dari padi var. Cisokan mengalami perubahan fenotipe AFLP yang lebih besar ketika berganti inang ke padi var. Kencana bali.
Sekuen ITS beserta 5.8S rDNA pada Pyricularia d4 dari rumput D. ciliaris
memiliki kesamaan dengan Pyricularia ok6 maupun ou6.S4 dari padi Jasinga Bogor dan Sukabumi. Sebaliknya pr10.a.S4 dari P. repens dan o173
pembanding masing-masing sekuennya berbeda enam nukleotida pada hulu 26S rDNA dan satu nukleotida pada 5.8S rDNA terhadap d4, ok6, atau ou6.S4.
Berdasarkan sekuen ITS beserta 5.8S rDNA, Pyricularia asal rumput dan padi menunjukkan hasil filogeni yang dekat, tidak memisah, berada pada satu clade
dengan Pyricularia oryzae, sehingga berdasarkan azas prioritas maka dapat disebut sebagai Pyricularia grisea.
104 Saran
Kualitas sampel DNA yang akan dianalisis melalui AFLP sebaiknya memiliki kualitas tinggi tingkat kemurnian 1.9, dan tidak banyak yang
terdegradasi, DNA banyak dalam keadaan utuh sehingga dapat mengurangi kegagalan pemotongan enzim restriksi dan amplifikasi yang akan berdampak pada
jumlah fragmen DNA pada hasil AFLP. Analisis pergantian inang Pyricularia dari beberapa rumput lainnya perlu
dilanjutkan untuk mengetahui peran genotipe inang dalam menghasilkan keragaman genetik patogen. Sampel dari daerah endemik blas diharapkan akan
mewakili berbagai spesies rumput yang dapat menjadi inang alternatif
Pyricularia.
105
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Nasution. 1993. Status dan pengendalian blas di Indonesia. Di dalam: Syam M, Hermanto, Arif M, Sunihardi, editor. Kinerja Penelitian Tanaman
Pangan. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III; Bogor, 23-25 Agu 1993. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian; 1995. hlm 583- 592.
Andriantsimialona RD, Tharreau D. 2008. Evolution of Magnaporthe grisea populations and adaptation to upland rice in the Vakinankaratra region of
Madagascar. Di dalam: ENDURE International Conference: Diversifying crop protection; La Grande-Motte, 12-15 Okt 2008.
Avila-Adame C, Koller W. 2003. Characterization of spontaneous mutants of Magnaporthe grisea. Curr Genet 42:332–338.
Avise JC. 1994. Molecular Markers, Natural History and Evolution. New York: Chapman Hall Inc.
Babujee L, Gnanamanickam SS. 2000. Molecular tools for characterization of rice blast pathogen Maganaporthe grisea population and molecular marker-
assisted breeding for disease resistance. Curr Sci India 3:248-257. Balajee SA, Borman AM, Brandt ME, Cano J, Estrella MC, Dannaoui E, Guarro
J, Haase G, Kibbler CC, Meyer W, O’Donnell K, Petti CA, Rodriguez- Tudela JL, Sutton D, Velegraki A, Wickes BL. 2009. Sequence-based
identification of Aspergillus, Fusarium, and Mucorales species in the Clinical Mycology Laboratory: Where are We and where should we go
from here. J Clin Microbiol 47:877-884.
Borromeo ES, Nelson RJ, Bonman JM, Leung H. 1993. Genetic differentiation among isolates of Pyricularia infecting rice and weed host.
Phytopathology 83:393-399. Burdon JJ, Silk J. 1997. Sources and patterns of diversity in plant-pathogenic
fungi. Phytopathology 87:664-669. Bustaman M, Mahrup. 2004. Penyimpanan Cendawan Blas Pyricularia grisea
untuk Jangka Panjang. Bogor: Balai Besar dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian.
Capossela A, Silander JA, Jansen RK, Bergen B, Talbot DR. 1992. Nuclear Ribosomal DNA variation among ramets and genets of white clover.
Evolution 46:1240-1247. Chao CT, Ellingboe AH. 1997. Genetic analysis of avirulencevirulence of on
isolate of Magnaporthe grisea from a rice field in Texas. Phytopathology 87:71-76.
Chen JT, Wu HK. 1977. Hyphal anastomosis in Pyricularia oryzae Cav. Protoplasma 92:281-287.
106
Chen YC, Eisner JD, Kattar MM, Rassoulian-Barrett SL, Lafe K, Bui U, Limaye AP, Cookson BD. 2001. Polymorphic internal transcribed spacer region 1
DNA sequences identify medically important yeasts. J Clinic Microbiol 39:4042–4051.
Chuma I, Tosa Y, Taga M, Nakayashiki, Mayama S. 2003. Meiotic behavior of a supernumerary chromosome in Magnaporthe oryzae. Curr Genet 43:191-
198. Couch BC, Fudal I, Lebrun MH, Tharreau D, Valent B, van Kim P, Notteghem
JL, Kohn LM. 2005. Origins of host-specific populations of the blast pathogen Magnaporthe oryzae in crop domestication with subsequent
expansion of pandemic clones on rice and weeds of rice. Genetics 170:613-630.
Couch BC, Kohn LM. 2002. A multilocus gene genealogy concordant with host preference indicates segregation of a new species, Magnaporthe oryzae,
from M. grisea. Mycologia 94:683–693. Crawford MS, Chumley FG, Weaver CG, Valent B. 1986. Characterization of the
heterokaryotic and vegetative diploid phases of Magnaporthe grisea. Genetics
114:1111-1129. Crow JF, Kimura M. 1970. An Introduction to Population Genetics Theory. New
York: Harper Row. [DBPT Deptan] Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Departemen Pertanian.
1992. Penyakit Padi [Laporan Akhir]. Jakarta: Kerjasama Teknis Indonesia-Jepang Bidang Perlindungan Tanaman Pangan ATA-162,
BPT Deptan.
Dean et al. 2005.The genome sequence of the rice blast fungus Magnaporthe grisea
. Nature 434:980-986. Dean RA. 1997. Signal pathways and appresorium morphogenesis. Annu Rev
Phytopathol 35:211-234.
[Deptan] Departemen Pertanian, Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2009. Seri Data Agribisnis
: Statistik Organisme Pengganggu Tanaman dan Bencana Alam
. Jakarta: Deptan. [DTPH] Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2000. Perkembangan
Serangan OPT Padi Selama 5 tahun 1994-1998 . Jakarta: Direktorat
Bina Perlindungan Tanaman. Dufresne M, Osbourn AE. 2001. Definition of tissue-specific and general
requirements for plant infection in a phytopathogenic fungus. Mol Plant Microbe Interact
14:300-3007. Ebbole DJ. 2007. Magnaporthe as a model for understanding host-pathogen
interactions. Annu Rev Phytopathol 45:437-456.
107 Eto Y, Ikeda K, Chuma I, Kataoka T, Kuroda S, Kikuchi N, Don LD, Kusaba M,
Nakayashiki H, Tosa Y, Mayama S. 2001. Comparative analyses of the distribution of various transposable elements in Pyricularia and their
activity during and after the sexual cycle. Mol Gen Genet 264:565-577.
Fang EGC, Dean RA. 2000. Site-directed mutagenesis of the magB gene affects growth and development in Magnaporthe grisea. Mol Plant Microbe
Interact 13:1214-1227.
Fatemi J, Nelson RR. 1977. Intra-Isolate Heterokaryosis in Pyricularia oryzae. Phytopathology
67:1523-1525. Fatemi J, Nelson RR. 1978. Inter-Isolate Heterokaryosis in Pyricularia oryzae.
Phytopathology 68:1791-1794.
Favaro LC de L, Araujo WL de, Azevedo JL de, Paccola-Meirelles LD. 2005. The biology and potential for genetic research of transposable elements in
filamentous fungi. Gen Mol Biol 28:804-813. Fernandez D, Ouinten M, Tantaoui A, Geiger JP. 1997. Molecular records of
micro-evolution within the Algerian population of Fusarium oxysporum f. sp. albedinis during its spread to new oases. Eur J Plan Pathol
103:485-490.
Filippi MC, Prabh AS, de Araujo LG, Faria JC de. 2002. Genetic diversity and virulence pattern in field populations of Pyricularia grisea from rice
cultivar Metica-1. Pesqui Agropecu Bras 37:1681-1688. [FRACT] Fungicide Resistance Action Committee. 2008. List of plant pathogenic
organisms resistant to disease control agents. [terhubung berkala]. http:www.frac.info. [31 Okt 2011].
Gee SF, Joly S, Soll DR, Meis JFGM, Verweij PE, Polacheck I, Sullivan DJ, Coleman DC. 2002. Identification of four distinct genotypes of Candida
dubliniensis and detection of microevolution in vitro and in vivo. J Clin
Microbiol 40:556–574.
Genovesi AD, Magill CW. 1976. Heterokaryosis and parasexuality in Pyricularia oryzae
Cavara. Can J Microbiol 22:531-536. George MLC, Nelson RJ, Zeigler RS, Leung H. 1998. Rapid population analysis
of Magnaporthe grisea by using rep-PCR and endogenous repetitive DNA sequence. Phytophatology 88:223-228.
Giraud T, Gladieux P, Gavrilets S. 2010. Linking the emergence of fungal plant diseases with ecological speciation. Trends Ecol Evol 25:387-395.
Glass NL, Kuldau GA. 1992. Mating type and vegetative incompatibility in filamentous Ascomycetes. Annu Rev Phytopathol 30:201-224.
Graser Y, Fari M El, Vilgalys R, Kuijipers AFA, de Hoog GS, Presber W, Tietz HJ. 1999. Phylogeny and taxonomy of the family Arthrodermataceae
Dermatophytes using sequence analysis of the ribosomal ITS region. Med Mycol
37:105-114.
108
Guarro J, Gene J, Stchigel AM. 1999. Developments in fungal taxonomy. Clin Microbiol Rev
12:454-500. Hamer JE, Farrall L, Orbach MJ, Vallent B, Chumley FG. 1989. Host species-
specific conservation of a family of repeated DNA sequences in the genome of a fungal plant pathogen. Proc Natl Acad Sci USA 86:9981-
9985.
Hayashi N, Li CY, Li JL. 1997. In vitro production on rice plants of perithecia of Magnaporthe grisea
from Yunnan, China. Mycol Res 101:1308-1310. Hebert TT. 1971. The perfect stage of Pyricularia. Phytopathology 61:83-87.
Higgs PG, Attwood TK. 2005. Bioinformatics and Molecular Evolution. Malden: Blackwell Science.
Hillis DM, Dixon MT. 1991. Ribosomal DNA: molecular evolution and phylogenetic inference. Q Rev Biol 66:411-453.
Hinrikson HP, Hurst SF, Aguirre L de, Morrison CJ. 2005. Molecular methods for the identification of Aspergillus species. Med Mycol Supl 43:S129-S137.
Hirata K, Kusaba M, Chuma I, Osue J, Nakayashiki H, Mayama S, Tosa Y. 2007. Speciation in Pyricularia inferred from multilocus phylogenetic analysis.
Mycol Res 111: 799–808.
Hufbauer RA, Roderick GK. 2005. Microevolution in biological control: mechanisms, patterns, and processes. Biol Control 35:227–239.
Ikeda KI, Nakayashiki H, Kataoka T, Tamba H, Hashimoto Y, Tosa Y, Mayama S. 2002. Repeat-induced point mutation RIP in Magnaporthe grisea:
Implication on its sexual cycle in the natural field context. Mol Microbiol 45:1355–1364.
[IRRI] International Rice Research Institute. 1996. Standard Evaluation System for
Rice. Ed ke-4. Manila: IRRI, hlm 52. Jimenez-Gasco MM de, Milgroom MG, Jimenez-Diaz R. 2004. Stepwise
evolution od races in Fusarium oxysporum f.sp. ciceris inferred from fingerprinting with repetitive DNA sequence. Phytopathology 94:228-
235.
Kang S, Lebrun MH, Farrall L, Valent B. 2001. Gain of virulence caused by insertion of a Pot3 transposon in a Magnaporthe grisea avirulence gene.
Mol Plant Microbe Interact 14:671-674.
Kato H, Yamamoto M, Yamaguchi-Ozaki T, Kadouchi H, Iwamoto Y, Nakayashiki H, Tosa Y, Mayama S, Mori N. 2000. Pathogenicity, mating
ability and DNA restriction fragment length polymorphisms of Pyicularia
population isolated from Gramineae, Bambusideae, and Zingiberaceae plants. J Gen Plant Pathol 66:30-47.