BAB I Pendahuluan filsfat ilmu

BAB I Pendahuluan
Sejak hadirnya manusia di dunia sebagai makhluk di bumi, sebenarnya mereka telah
memiliki ilmu pengetahuan sebagai penolong hidupnya untuk bertahan dan melangsungkan
keberlanjutan generasinya hingga hari ini. Pemahaman tentang keilmuan memang sangat terbatas
hanya sebatas berpikir manusia. Dalam perspektif agama, ilmu bersumber dari sang khalik.
Ketika tuhan hendak menciptakan manusia, tentu saja telah dibekali dengan seperangkat alat
deteksi dan pengembangan ilmu pengetahuan. Semua alat deteksi itu telah diciptakan pada diri
manusia, berupa akal pikiran untuk mengkaji, dan melakukan riset di duni; demikian juga mata
hati dan perasaan untuk merenspon, menanggapi, menilai, memilih dan melahirkan keputusan
yang tepat dan benar, yang berpangkal dari suara hati yang kecil yang dikenal dengan “dhamir”,
yakni suara halus yang tidak pernah salah dalam memutuskan sesuatu. Dengan seperangkat alat
deteksi yang telah dikontribusi tuhan itulah manusia dapat memberdayakan dunia untuk
kemaslahatan makhluk.
Sejarah peradaban ilmu pengetahuan dari klasik hingga kontemporer tercatat, banyak
temuan ilmuwan yang tidak dapat terjawab secara tuntuas karena keterbatasan ilmu pengetahuan,
metodologi dan tentunya keterbatasan manusia itu sendiri. Padahal, manusia dengan otaknya
telah ditemukan computer yang super canggih sekalipun di dunia, namun hingga hari ini tetap
saja terbatas kemampuannya.
Dalam konteks ini, maka dapat dipahami tentang kebenaran, yakni kebenaran hakiki,
yakni kebenaran mutlak yang bersumber dari wahyu ilahi yang pada tataran tertentu ada yang
dapat disentuh oleh ilmu pengetahuan manusia dan akal pikiran manusia yang terbatas, dia hanya

bisa diterima sebagai kebenaran melalui keyakinan “dhamir” yang bersifat doktrinasi. Kedua,
kebenaran ilmiah ilmu pengetahuan yaitu kebenaran yang disandarkan pada teori kebenaran dan
bukti empiris yang diriset, ditelaahm dan dikembangkan melalui studi metodologis tentang
keilmuan yang bertolak pada kekuatan logika, penalaran manusia secara ilmiah.
Secara umum dikenal ada tiga criteria kebenaran ilmiah. Pertama, koherensi, yakni teori
kebenaran yang mendasarkan diri pada criteria kebenaran secara konsisten pada suatu
argumentasi, konsistensi berarti sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan di mana pun suatu
argument ilmu pengetahuan dikemukakan. Kedua, korespondensi, yakni teori kebenaranyang

mendasarkan diri pada criteria tentang kesesuaian antara materi yang dikandung suatu
pernyataan dan objek pernyataan, seperti manis, tawar, asin. Artinya, secara teoritis dan empiris
terbukti adanya dan tidak terbantahkan. Ketiga, pragmatis, yakni teori kebenaran yang
mendasarkan diri pada criteria tentang berfungsi atau tidaknya suatu pernyataan kebenaran
dalam lingkup ruang dan waktu. Suatu teori ilmu pengetahuan tidak terbatas oleh wilayah,
waktu, kelompok, situasi, dan kondisi tertentu, dia tetap benar.
Di atas berbagai pandangan dan keterbatasan berpikir manusia manusia inilah munculnya
suatu talaah mendalam tentang pengetahuan yang ditopang oleh filsafat hingga filsafat ilmu,
mulai dari filsafat yang berkembang pada zaman klasik atau kuno hingga zaman modern yang
telah disentuh oleh tegnologi informasi yang canggih. Semua itu tidak lain untuk menfasilitasi
keterbatasan manusia agar dapat menjawab, memaknai, dan memberikan prediksi terhadap

semua realitas (metafisik) termasuk hal-hal yang ada dalam pikiran dan kemungkina serta hal=hal yang bersentuhan dengan social ( humanoria), pada akhirnya tentu saja kemaslahatan
kehidupan manusia. Filsafat tidak melakukan studi atau eksperiment, tapi mengutarakan problem
secara persis, mencari solusi, memberikan argumentasi dan alasan secara tepat, proses ini
dinamakan dialektika.
Filsafat yaitu hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran
dengan sedalam-dalamnya (radic). Dengan kata lain, filsafat adalah ilmu yang mempelajari
dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu. Dalam kaitan dengan cara berpikir,
ada tigakarakteristik cara berpikir filsafat : pertama, sifat menyeluruh, maksudnya seorang
ilmuan tidak akan puas jika hanya mengenal ilmu hanya dari sudut pandang ilmu itu sendiri. Dia
ingin tahu hakikat ilmu dari sudut pandang lain. Kaitannya dengan moralitas, serta ingin yakin
apakah ilmu ini membawa kebahagiaan pada dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan tidak akan
merasa sombong dan mengaku paling hebat, ata di atas langit masih ada langit, sebagaimana
scorates menyatakan dia tidak tahu apa-apa.
Kedua, sikap mendasar, maksudnya sifat yang tidak begitu saja percaya bahwa ilmu itu
benar, mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan criteria itu dilakukan?
Apakah criteria itu sendiri itu benar? Lalu, benar itu sendiri apa? Seperti suatu pertanyaan yang
melingkar yang harus dimulai dengan menentukan titik awal sebuah lingkaran yang sekaligus

menjadi titik, akhirnya dibutuhkan suatu spekulatif baik dari segi proses, analisi, maupun
pembuktiannya. Sehingga dapat dipisahkan mana yang logis dan tidak.

Cakupan filsafat lebih luas dari ilmu, wilayah filsafat mencakup yang wujud dan tidak
wujud (empiris dan non empiris) cakupan ilmu empiris saja. Awal mulanya filsfat yang
melakukan pembahasan secara sistematis, rasional, logis dan empiris. Kemudian pada tataran
berikutnya berkembang dan bercabang sehingga menjadi ilmu yang lebih luas dab
berkesinambungan, maka dari sinilah timbulnya pemahaman untuk penyatuan filsafat dan ilmu
menjadi filsafat ilmu, yakni sebuah kajian khusus tentang hakikat ilmu pengetahuan.
Mengingat terbatasnya ilmu dan logika berpikir manusia “paradigm”dalam memprediksi,
memaknakan, dan memberikan deskripsi terhadap suatu objek pengetahuan, maka disinilah
pentingnya keberadaan filsafat untuk menebas dan merambah hal-hal baru atas suaru lahan
pengetahuan yang tidak dapat disentuh oleh ilmu. Dengan bersatunya filsafat dan ilmu menjadi
“filsafat ilmu” hampir semua jenis pengetahuan dapat dijelajahi dan didarati oleh filsafat ilmu.
Filsafat yaitu gerakan berpikir yang hidup di tengah situasi konkret dan dinamis.
Berfilsafat yaitu proses yang menjadikan kebijaksanaan (wisdom) intelektual dan social semakin
membumi di tengah manusia lainnya. Dengan demikian, filsafat menjadi lebih dekat dan karab
denga kehidupan manusia lain di dunia. Dalam penerapannya, filsafat ilmu bertugas memberi
landasan filosofis mulai dari memahami beragam konsep dan teori keilmuan hingga membekali
kemampuan dan membangun teori-teori ilmiah. Secara konkret fungsi filsafat dalam
mengembangkan disiplin ilmu masing-masing agar dapat menghasilkan satu teori baru keilmuan
yang dibantu oleh pendekatan metodologis dalam pengembangan ilmu, sehingga dengan
demikian ilmu dapat dioperasionalkan sesuai kebutuhan akademis ilmiah.

Ilmu yaitu serangkaian keterangan yang teratur, sistematis, rasional, logis, empiris,
universal, objektif, terbuka, dapat diukur, serta dapat diuji kebenarannya, baik secara teoritis
maupun praktis. Ilmu membatasi tuang lingkup penjelajahannya hanya pada pengalaman
manusia, ini disebabkan oleh keterbatasan metode yang digunakan dalam mengkaji kebenaran
secara empiris. Ilmu mengkaji hal-hal yang bersifat empiris dan dapat dibuktikan. Adapun
filsafat mencari jawaban terhadap masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu, dan jawabannya
bersifat spekulatif. Ini bermakna pa yang tidak dapat dikaji oleh ilmu maka filsafat berupaya

mencari jawabnanya, bahkan ilmu itu sendiri dapat dijadikan objek kajian filsafat. Namuin
demikian, filsafat dan ilmu mempunyai kesamaan dalam menghadapi objek kajian yakni berpikir
reflektif dan sistematis, meski demikian keduanya memiliki titik tekan yang berbeda. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa filsafat ilmu adalah studi gabungan yang terdiri atas beberapa
studi ilmu yang beraneka macam yang ditujukan untuk menetapkan batas yang tegas mengenai
satu disiplin ilmu tertentu.
Meminjam istilah Will Duran dalam Jujun Suriasumantri (2010), filsafat ilmu dapat
dikatakan suatau penelaahan untuk melahirkan satu disiplin ilmu baru, filsafat bagaikan pasukan
mariner yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infantry ( pasukan infantry adalah ilmu
dan pengetahuan), filsafat menyediakan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan, selanjutnya
ilmu berkembang sesuai dengan spesialis masing-masing, membelah gunung, merambah hutan
belantara, setelah duduknya ilmu, maka filsafat kembali kepangkalan laut untuk berspekulasi dan

berekplorasi dengan ilmu yang lain.
Dengan demikian, perkembangan filsafat tidak hanya menjadi induk dan sumber ilmu,
tetapi pada tataran berikutnya dia berkembang menjadi ilmu itu sendiri. Dalam perkembangan ini
filsafat bukan lagi menyeluruh, tapi menjadi sektoral sesuai sector ilmu masing-masing. Contoh
ilmu yang dilahirkan oleh filsafat : filsafat agama, filsafat hokum, filsafat pendidikan, filsafat
ilmu, dan filsafat manajemen.
Hal ini sesuai dengan tujuan filsafat di dunisa akademis, sebgaimana dikatakan Amsal
Bakhtiar (2011) : pertama, mendalami unsure-unsur pokok ilmu sehingga secara menyeluruh kita
dapat memahami sumber, hakikat, dan tujuan ilmu. Kedua, memahami sejarah pertumbuhan,
perkembangan dan kemajuan ilmu di berbagai bidang, sehingga kita mendapat gambaran tentang
proses ilmu secara historis dan kontemporer. Ketiga, menjadi pedoman para dosen, mahasiswa,
akademisi dan praktisi keilmuan untuk mendalami studi utamanya untuk membedakan perilahal
ilmiah dan non ilmian utama untuk membangun budaya akademis diperguruan tinggi. Keempat,
mendorong calon ilmuwan dan para akademisi untuk konsisten menggali dan mengembangkan
ilmu pengetahuan secara berkelanjutan. Kelima, mempertegas bahwa dalam persoalan ilmu
pengetahuan, seni dan agama tidak ada pertentangan dan tidak perlu dipertentangkan karena
ketiganya saling berkelit dan terbingkai menjadi sebuah konstruk keilmuan. Keenam,
mendudukkan secara proposional ranah ilmu pengetahuan dengan persoalan seni atau keindahan

dan agama berada dalam satu kutub yang sama dan tidak terpisahkan dia menjadi perekat yang

meneguhkan secara intregatif dan konektif.
Kemudian dilihat dari sudut karakter berpikir filsafat yang sangat menentukan dan
menjadi pembeda dari cara berpikir seumummnya, seperti dikemukakan oleh para filosof secara
lebih luas dapat dirinci, terdiri atas empat belas macam karakter berpikir, yakni, pertama,
berpikir rasional. Kedua, radikal ( radic =akar). Ketiga, kreatif inovatif. Keempat, berpikir
sistematis dan analisis. Kelima, berpikir universal. Keenam, berpikir komprehensif dan holistic.
Ketujuh, berpikir abstrak, kedelapan, berpikir spekulatif. Kesembilan, berpikir refletif,
kesepuluh, berpikir humanistic, kesebelas, berpikir kontekstual. Kedua belas, berpikir
eksistentensial. Ketiga belas, berpikir kontemplatif. Keempat belas, berpikir skeptic.
Pemikiran keilmuan secara filosofis ini telah membantu menyikap keluhuran manusia
dalam menemukan jalan keluar dari berbagai lingkaran kejagatan kebodohan dan kemiskinan.
Meskipun demikian, orang pun harus kritis dalam membangun pemikiran keilmuan, sehingga
tidak mendewakan pemikiran seperti paham rasionalisme. Dan tentu jangan pula sampai terjebak
dalam kebenaran ilmu yang hanya semata karena ilmu yang tidak ada keterlibatan dengan tuhan
di dalamnya, sebagaimana dikenal dengan paham absolutism ilmu seperti paradigm kuhn, serta
tentu saja kita jangan sampai terjebak dengan keraguan akan kebenaran ilmu sehingga kita
terperangkap dengan paham subjektifvsme.
Bagaimana canggih, maju, dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dia
tetap saja terbatas, sesuai dengan keterbatasan manusia dan metode sera ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dikembangkannya.