IMPLEMENTASI REFORMASI ORGANISASI PERIZINAN UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DI DINAS PERIZINAN KOTA YOGYAKARTA

(1)

TESIS

IMPLEMENTASI REFORMASI ORGANISASI PERIZINAN

UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN

PUBLIK DI DINAS PERIZINAN KOTA YOGYAKARTA

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Mencapai Derajat Sarjana S2

Disusun Oleh:

Isnaini Muallidin

22686/IV-1/2091/05

PASCA SARJANA ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA


(2)

     


(3)

(4)

DAFTAR ISI

HALAMAN

HALAMAN JUDUL I

HALAMAN PENGESAHAN Ii

PERNYATAAN Iii

DAFTAR ISI Iv

PRAKATA Viii

DAFTAR TABEL X

DAFTAR GAMBAR Xi

DAFTAR LAMPIRAN Xii

INTISARI Xiii ABSTRACT Xiv

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah 1

2. Permasalahan 11

3. Tujuan 11

BAB II KONSEP IMPLEMENTASI REFORMASI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

1. Pendahuluan 12

2. Kajian Pustaka 12

3. Kerangka Konseptual 15

3.1.Konsep Kualitas Pelayanan Sektor Publik 15 3.2.Konsep Reformasi Organisasi Sektor Publik 16 4. Implementasi Reformasi Organisasi Sektor Publik 23


(5)

4.2. Spesialisasi 25

4.3. Sentralisasi 26

5. Kerangka Berfikir Reformasi Organisasi 31

BAB III METODE DAN DEFINISI OPERASIONAL REFORMASI ORGANISMASI SEKTOR PUBLIK

1. Pendahuluan 34

2. Metode Penelitian 34

2.1. Lokasi dan Informen 34

2.2. Teknik Pengumpulan Data 35

2.3. Teknik Analisis Data 35

3. Definisi Konseptual 36

3.1. Reformasi Organisasi 36

3.2. Implementasi Reformasi Orgamnisasi 36

4. Definisi Operasional 37

4.1. Formalisasi 37

4.2. Sentralisasi 37

4.3 . Spesialisasi 37

BAB IV GAMBARAN UMUM DINAS PERIZINAN KOTA YOGYAKARTA

1. Pendahuluan 38

2. Sejarah Terbentuknya Dinas Perizinan 38

3. Visi, Misi, dan Kewenangan 41

4. Struktur Organisasi 42

5. Perlengkapan Sarana Dan Prasarana 45

6. Tugas dan Fungsi 46

7. Komposisi Sumberdaya Manusia 47


(6)

8.1. Bidang Tata Usaha Perizinan 50

8.2. Bidang Pelayanan Perizinan 51

8.3. Bidang Sistem Informasi dan Pengaduan 51

8.4. Bidang Data dan Pengembangan 51

BAB V KEBIJAKAN REORGANISASI PERIZINAN KOTA YOGYAKARTA

1. Pendahuluan 53

2. Penataan Organisasi Perizinan 53

3. Sistem Prosedur dan Waktu Perizinan 57

3.1. Mekanisme Pelayanan Perizinan 58

3.2. Mekanisme Pelayanan Legalisir 60

3.3. Mekanisme Pelayanan Duplikat 61

3.4. Mekanisme Pengaduan 63

4. Pelayanan Perizinan Berbasis Teknologi Informasi 67

BAB VI IMPLEMENTASI REFORMASI ORGANISASI DINAS PERIZINAN DALAM PERSPEKTIF FORMALISASI, SENTRALISASI, DAN SPESIALISASI

1. Pendahuluan 71

2. Formalisasi 72

2.1. Regulasi Perizinan 72

2.2. Regulasi Organisasi 79

3. Sentralisasi 81

3.1. Rentang Kontrol (Span of Control) 81

3.2. Mekanisme Pengambilan Keputusan 84

3.3. Pelimpahan Kewenangan 87

4. Spesialisasi 88

4.1. Pembagian dan Beban Tugas Staf 88


(7)

BAB VII KESIMPULAN

1. Kesimpulan 94

2. Saran 96


(8)

PRAKATA

Syukur ke hadirat Allah SWT, akhirnya tesis Implementasi Reformasi Organisasi Dinas Perizinan Kota Yogyakarta untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik ini dapat terselesaikan, walaupun banyak sekali kendala yang penulis alami.

Berkat dorongan dan semangat dari berbagai pihak yang telah memberikan bantuan baik material maupun non-material demi kelancaran dalam penulisan tesis ini, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Warsito Utomo, selaku pembimbing utama yang dengan kecermatan dan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan, saran dan masukan untuk kesempurnaan tesis ini.

2. Dra. Ambar Teguh Sulitiyani, M.Si, selaku pembimbing pendamping yang dorongan semangat, masukan dan sarannya, sangat membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

3. Bapak Drs Ratminto, M.Pol. Admin. Sebagai dosen penguji yang telah memberi kritik, saran dan masukan demi kesempurnaan penulisan ini.

4. Dr. Agus Heruanto Hadna, M.Si., Ketua Pengelola Program Studi Administrasi

Negara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi serta Mbak Ratna yang selalu mengingatkan dan mendeadline penulis dalam untuk segera menyelesaikan tesis ini.

5. Pimpinan Universitas Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberikan bantuan material maupun non-material demi kelancaran selama menempuh studi ini.

6. Drs. Said Tuhuleley, Dr. Fajar Mukti, Ir. Gatot Supangkat, MP., Ir. Heri Zulfiar MT, Budi Nugroho, S.IP, Sutrisno, SP,.MP, Sayuti, S.Pd., Tatang Suprono, Agus Budi Setiyawan, Zaini Ahsan, Imam Atazi, Isparyanto, Bambang Arintoko, Arie Paksi, Mita serta semua crew LP3M yang telah


(9)

memberikan kesempatan dan dorongan untuk menempuh pendidikan pasca sarjana di UGM.

7. Dra Ponjto Siwi, Sutarto, Hardono, Dodit Sugeng Murbowo, Haryanto, dan semua staf di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta yang telah memberi kesempatan serta kerja sama yang baik dalam penelitian dan penyusunan tesis ini.

8. Orang tuaku tercinta Bapak.Mustakim Genye (almarhum) dan Ibu Hj. Salmah serta Bapak Ibu Mertua Sarbun Amin Riyanto dan Sriyati, terima kasih untuk kasih sayang dan doa restunya. Segenap keluarga besar penulis, Kak Sari sekeluarga, Mbak Wulan sekeluarga, Iik sekeluarga, Iir sekeluarga, Didin, Dadang sekeluarga, Eli sekeluarga, Doni sekeluarga, Keluarga Besar Haji Ibrahim Sumbawa, dan Keluarga Besar Dea Putra Sumbawa, serta Keluarga Besar Joyo Mardiko Magetan, teriman kasih untuk semua dukungan moral maupun material.

9. Istriku tercinta Siti Marfu’ah dengan segenap cinta kasih, kesabaran dan pengertian tanpa batas untuk terus mengingatkan penulis serta anak-anakku tersayang Hafiz, Mirza, Azizah yang selalu menjadi inspirasi dan semangat bagi penulis.

10. Semua rekan-rekan di Program Studi Administrasi Negara angkatan 2005, untuk berbagai bantuan dan dorongan morilnya terutama kepada Mbak Marita, Anik, Supakun, Mahama Daree, Mada-O, S Akbar, Pak Jani, Pak Wahab, Pak Fadly, Pak Richard, Mahruddin, Tun, dll.

11. Semua rekan di Siomay Kang Ujang, terutama Sunoto, S.Ag sekeluarga dan Mukhyidin sekeluarga terima kasih atas semua doa dan dukungannya.

12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dalam kelancaran penulisan tesis ini.

Semoga amal dan budi baik Bapak/Ibu/Saudara mendapat kemuliaan dihadapan Allah SWT, Amin.


(10)

Penulis menyadari, tesis ini masih banyak mengandung kekurangan, sehingga kritik, saran dan masukan untuk kesempurnaan tesis ini sangat diperlukan. Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat.

Yogyakarta, Februari 2011


(11)

DAFTAR TABEL

HALAMAN

Tabel 1.1. Persyaratan Perizinan yang Tumpang Tindih 7 Tabel 1.2. Perbandingan Biaya dan Waktu Berdasarkan

Peraturan dan Kenyataan 8

Tabel 2.1. Perbedaan antara Organisasi Birokratik dan Organisasi Pasca Birokratik

22

Tabel 2.2. Konsekuensi Sentralisasi Terhadap Organisasi 28 Tabel 4.1. Komposisi Pegawai Berdasarkan Posisi dan Jumlah 47

Tabel 4.2 Komposisi Berdasarkan Jabatan 48

Tabel 4.3. Komposisi Pegawai Berdasarkan Golongan

Kepangkatan 49

Tabel 5.1. Perbandingan Reorganisasi Perizinan dari UPTSA

Menjadi Dinas Perizinan 56

Tabel 5.2. Jenis dan Waktu Penyelesaian Pelayanan Perizinan 66 Tabel 6.1. Jenis Perizinan Berdasarkan Regulasinya 75

Tabel 6.2. Jadwal Rapat di Dinas Perizinan 86


(12)

DAFTAR GAMBAR

HALAMAN

Gambar 2.1. Kerangkan Kerja Penelitian 32

Gambar 4.1. Struktur Organisasi Dinas Perizinan 45

Gambar 4.2. Sarana Gedung Dinas Perizinan 46

Gambar 5.1. Skema Pelayanan Perizinan 60

Gambar 5.2. Skema Mekanisme Pelayanan Legalisir dan Duplikat 63

Gambar 5.3. Skema Mekanisme Pelayanan Pengaduan 65

Gambar 5.4. Gambar Perlengkapan Touch Screen Pelayanan 69 Gambar 6.1. Gambar Akuntabilitas Routing Slip Berbasis TI 83


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Interview Guide

Lampiran 2 Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 01 Tahun 2000 tentang Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap Kota Yogyakrta

Lampiran 3. Peraturan Dareah Kota Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2005 tentang Pembentukan Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Perizinan

Lampiaran 4 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Susunan, Kedudukan Dan Tugas Pokok Dinas Daerah (Halaman. 1, 2, 12, dan 17).


(14)

INTISARI

Tujuuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran umum tentang implementasi reformasi organisasi perizinan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta

Untuk menjawab tujuan di atas, maka metode dalam penelitian ini mengacu jenis penelitian evaluasi yang mengkaji implementasi reformasi organisasi pelayanan perijinan di Dinas perizinan Kota Yogyakarta dengan teknis pengumpulan data menggunakan indepth interview dan observasi. Sedangkan informan dalam penelitian ini adalah Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, Kepala Bidang, Kepala Seksi, Staf, dan Konsumen. Untuk menganalisis data menggunakan teknik analisis kualitatif dengan model analisis interaktif, yaitu analisis yang bergerak dalam tiga komponen, yaitu; reduksi data, analisis data, dan penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Berdasarkan hasil temuan penelitian dapat diperoleh kesimpulan. Aspek formalisasi menujukkan bahwa regulasi perizinan seringkali mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dinamika sosial dan ekonomi kemasyarakatan serta belum semua jenis perizinan dibuatkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Aspek sentralisasi sudah baik terbukti dengan adanya sistem koordinasi yang intens setiap minggunya untuk mengatasi dan mengevaluasi terkait dengan masalah perizinan yang sedang diproses. Selain itu, ada lembar kendali (routing slip) yang merupakan alat kontrol dari dinas terhadap kinerja staf terkait kemacetan atau keterlambatan proses perizinan. Aspek spesialisasi, secara kuantitas dan kualitas sumberdaya manusianya sangat kurang. Namun, untuk mengatasi permasalahan tersebut, Dinas Perizinan melakukan capacity building dengan in house training dan pelatihan staf. Dengan adanya implementasi reformasi organisasi perizinan menjadi Dinas Perizinan telah meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik dengan hasil peniliaian dari customer berdasarkan Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) berada dalam kategori baik

Oleh karena itu, saran dan rekomendasi dalam penelitian ini adalah: Pertama, untuk regulasi perizinan yang ada di Dinas Perizinan sebaiknya semua jenis perizinan diatur dalam Peraturan Daerah (Perda), sehingga tingkat pengawasan dan penindakan punya kepastian oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Kedua, untuk menimgkatkan keterbatasan kuantitas dan kualitas staf di Dinas Perizinan, maka perlu dilakukan penambahan ketrampilan teknis bagi staf terkait dengan teknis perizinan yang memerlukan kompetensi yang sesuai dengan perizinan

Keyword; Reformasi Organisasi, Formalisasi, Sentralisasi, Spesialisasi, Dinas Perizinan


(15)

ABSTRACT

The purpose of this study was to obtain an overview of the implementation of the reform of licensing organizations to improve the quality of public services in Dinas Perizinan of Yogyakarta City.

To answer the above purposes, the method in this study refers to the type of evaluation research that examines the implementation of organizational reforms in Dinas Perizinan of Yogyakarta City with technical data collection using a depth interview and observation. While informants were taken from the Head Office of Dinas Perizinan, Division Head, Section Head, Staff, and Consumers. To analyze the data using qualitative analysis techniques with an interactive model, which moves in the analysis of three components, namely data reduction, data analysis, and drawing conclusions and verification.

Aspect formalization shows that licensing regulations are often amended in accordance with the development of social and economic dynamics of society and not all types of licensing be made in the form of local government regulation. For the aspect of centralization has been well proven by the intense coordination system each week to address and evaluate issues related to licensing which is being processed. In addition, there are routing slip which is a tool of official controls on performance related staff congestion or delay the licensing process. While from the aspect of specialization, in quantity and quality of its human resources are very less. However, to overcome this problem, Dinas Perizinan to do capacity building with in-house training and staff training. Second, With the reform of licensing organizations into Dinas Perizinan has increased the quality of service to the public with the results based on Community Satisfaction Index are in good category.

Therefore, the suggestions and recommendations in this study are: First, to the existing licensing regulation in Dinas Perizinan should be all kinds of licensing set out in the Local Government Regulation, so the level of supervision and enforcement have the assurance by the City Government of Yogyakarta. Second, to increase the limited quantity and quality of staff in Dinas Perizinan, it is necessary to increase technical skills for staff associated with the technical competence that require licensing in accordance with the licensing

Keyword: Reform of the Organization, formalization, centralization, specialization, Dinas Perizinan.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Sejak era 1980-an, reformasi sektor publik yang dipelopori Inggris dibawah Pemerintahan Margaret Thatcher dan Amerika Serikat dibawah Pemerintahan Ronald Reagen telah menjadi inspirasi bagi lahirnya gerakan global yang disertai desakan politik untuk menuntut perlunya pelayanan publik berorientasi pada rakyat (customer) sebagai salah satu tolok ukur bagi legitimasi, kredibilitas, dan sekaligus kapasitas politik suatu pemerintahan.

Dengan adanya pengaruh internasional, negara sedang berkembang tak terkecuali Indonesia, gelombang tekanan untuk mengubah wajah pemerintahan dan substansi operasi pelayanan publiknya datang dari institusi-institusi internasional, diantaranya adalah Intemational Monetary Fund (IMF) dan World Bank. Kedua institusi keuangan internasional ini mendesakkan tuntutan politik terhadap negara-negara sedang berkembang untuk "mendevolusikan" sistem pemerintahan yang sentralistik dan sistem pelayanan publiknya yang monopolistik dengan menganjurkan kebijakan memperkuat otonomi daerah, privatisasi sektor publik, dan pemberian kesempatan luas pada sektor-sektor diluar birokrasi pemerintah (Abdul Wahab, 2001;45).

Dampak dari tekanan tersebut, Indonesia mulai melakukan reformasi pemerintahannya sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Undang-undang tersebut memberi kerangka dasar


(17)

bagi pemerintah pusat dalam melakukan pengaturan terhadap Pemda di Indonesia. Dengan adanya aturan tersebut, maka penataan organisasi terhadap berbagai elemen yang berkaitan dengan pemerintah daerah sebagai manifestasi dari otonomi daerah menjadi suatu yang tak bisa dihindari untuk merubah paradigma lama yang sentralistik menuju ke arah yang lebih desentralistik.

Penataan organisasi daerah tersebut telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8/2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Kebijakan penataan ini lebih diarahkan pada upaya rightsizing, yaitu upaya penyederhanaan birokrasi pemerintah yang diarahkan untuk mengembangkan organisasi yang lebih proporsional, datar, hierarki yang pendek, dan kewenangan yang terdesentralisasi. Sehingga tujuan utama dari penataan tersebut adalah untuk memberdayakan Pemda agar mampu menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara ekonomis, efektif, efisien, dan akuntabel (URDI, 2000).

Selaras dengan tujuan di atas, desentralisasi atau otonomi daerah telah memberi peluang bagi pemerintah daerah dengan kewenangan yang dimilikinya berusaha memperkuat pelayanan publik yang berpihak pada kepentingan umum. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Soenarto (Bulletin Pengawasan, 2001) bahwa dengan adanya otonomi daerah telah memindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Dengan otonomi daerah, pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan dapat berjalan lebih cepat dan berkualitas. Keberhasilan


(18)

pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung pada kemampuan keuangan daerah, sumberdaya manusia yang dimiliki, serta kemampuan daerah untuk mengembangkan potensi yang ada. Oleh karena itu, daerah dengan segenap kemampuan yang ada, berusaha sekuat tenaga untuk menggali potensi ekonominya secara maksimal. Salah satu potensi ekonomi yang menjadi prioritas bagi pemasukan daerah adalah berasal dari pelayanan perizinan.

Dalam hal pelayanan perizinan, pemerintah pusat telah membuat pedoman bagi penyelenggaraan pelayanan publik (terutama perizinan) yang berorientasi pada masyarakat. Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara berinisiatif melakukan regulasi dengan menerbitkan tiga Keputusan Menteri (Kepmen) yang merupakan dasar hukum untuk dijadikan pedoman oleh pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Pertama, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Kedua, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 25/KEP/M.PAN/02/2004 tentang Pedoman Umum Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Pemerintah. Ketiga, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 26/KEP/M.PAN/02/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Selain regulasi dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Kementerian Dalam Negeri juga mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.


(19)

Regulasi tersebut disusun dalam paradigma di mana sebagian besar urusan pemerintah dalam pelayanan publik menjadi kewenangan daerah, sehingga keempat keputusan tersebut menjadi pedoman bagi penyusunan pelayanan sesuai dengan kemampuan daerah. Ini berarti pemerintah daerah dapat menetapkan sistem dan pola pelayanan publik yang disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan daerah, sehingga dapat memberikan pelayanan kepada publik dengan kualitas yang lebih baik (Sahetapy, 2004;7).

Berdasarkan kebijakan di atas, beberapa pemerintah daerah melakukan berbagai pembenahan dan terobosan inovatif dalam melakukan reformasi pelayanan yang terkait dengan perizinan. Upaya reformasi pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak hanya berusaha untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), melainkan juga sebagai tanggungjawab untuk melindungi masyarakatnya terhadap eksternalitas negatif dari aktifitas sosial ekonomi. Sebab dengan adanya pelayanan perizinan yang baik, maka akan tercipta lingkungan sosial ekonomi yang kondusif.

Suhirman (2002;9) mengatakan bahwa perizinan merupakan instrumen kebijakan pemerintah untuk melakukan pengendalian atas eksternalitas negatif yang mungkin ditimbulkan oleh aktifitas sosial maupun ekonomi. Perizinan juga merupakan instrumen untuk alokasi barang publik secara efisien, adil, mencegah asimetri informasi, dan perlindungan hukum atas kepemilikan atau penyelenggaraan kegiatan. Sebagai instrumen pengendalian, perizinan memerlukan rasionalitas yang jelas dan tertuang dalam bentuk kebijakan pemerintah sebagai sebuah acuan. Tanpa rasionalitas dan desain kebijakan yang


(20)

jelas, maka perizinan akan kehilangan maknanya sebagai instrumen untuk membela kepentingan masyarakat atas tindakan yang berdasarkan pada kepentingan individu.

Namun dalam realitasnya, sejak otonomi daerah dilaksanakan, perbaikan terhadap kinerja pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik yang terkait dengan perizinan masih dirasakan belum adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini diperkuat dengan hasil survei REDI dengan PEG-USAID dan TAF (The Asia Fondation) 2002 terhadap seribu empat belas pengusaha di dua belas propinsi di Indonesia menunjukkan bahwa selama penerapan otonomi daerah ternyata belum memberikan perbaikan yang signifikan pada iklim usaha di daerah. Bahkan di beberapa daerah, kondisi iklim usaha cenderung memburuk. Menurut Indra N. Fauzi (2003;7) terdapat tiga aspek masalah yang menyebabkan belum maksimalnya pelayanan perizinan.

Pertama, aspek birokrasi perizinan tidak transparan dan biaya tinggi. Dalam hal transparansi biaya pengurusan perizinan usaha, lima puluh delapan persen (58%) responden menyatakan masih belum transparan. Sedangkan dua puluh satu koma tujuh persen (21,7%) responden yang menyatakan biaya pengurusan izin saat ini sudah lebih transparan. Kurangnya transparansi biaya dalam pengurusan izin merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pelaku usaha harus membayar izin usaha lebih besar dari yang seharusnya.

Kedua, aspek pungutan liar. Pelaku pungutan liar setelah otonomi daerah ini makin bervariasi dengan modus yang bermacam-macam, sehingga membebani para pengusaha. Hasil analisis terhadap aspek pungutan berupa pajak dan retribusi


(21)

daerah menunjukkan lima puluh dua persen (52%) responden menyatakan membebani pengusaha.

Ketiga, aspek orientasi dan arah kebijakan pemerintah daerah. Pada aspek orientasi dan arah Pemda, sebagian responden mempunyai persepsi yang negatif terhadap hal tersebut, lima puluh tiga persen (53%) responden menyatakan bahwa saat ini Pemda lebih berorientasi pada peningkatan PAD.

Selain ketiga aspek di atas, pelayanan publik juga diperparah dengan adanya kelemahan dari birokrasi pemerintah dalam melaksanakan fungsi pelayanannya. Sebagaimana yang dikemukakan Mohammad Ismail (dalam Sudrajat, 2006) bahwa di Indonesia terdapat berbagai kelemahan birokrasi di dalam memberikan pelayanan publik, antara lain:

a. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi hampir disetiap tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan pertanggungjawaban instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.

b. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.

c. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang terkoordinasi. Akibatnya sering terjadi tumpang tindih atau pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan yang lain. Hasil penelitian yang dilakukan Rustiani


(22)

(2001) menunjukkan bahwa persoalan tumpang tindih muncul dalam soal persyaratan perizinan. tabel 1.1 menunjukkan contoh tumpang tindih pada aspek persyaratan perizinan.

Tabel 1.1. Persyaratan Perizinan yang Tumpang Tindih

TDP TDUP SIUP SIUK IUUG/HO

Akta pendirian perusahaan Akta pendirian Perusahaan Akta pendirian Perusahaan Akta pendirian Perusahaan Akta pendirian Perusahaan

KTP KTP KTP KTP KTP

SK pengesahan akta SK pengesahan akta SK pengesahan akta Daftar riwayat hidup IMB, site plan, denah dan situasi SIUP/SIUK Neraca

Perusahaan

TDUP FS/Proposal Sertifikat

tanah

NPWP NPWP NPWP NPWP NPWP

Ada biaya Tanpa biaya SITU/IUU G

IUUG/HO Pernyataan Tetangga - - Tanpa

biaya

Tanpa biaya Bukti pelunasan PBB

- - - - AMDAL

(jika

dibutuhkan) Ada biaya Sumber: Rustiani, 2001

d. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perizinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level. Sehingga penyelesaian pelayanan terlalu lama. Berkaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dilain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan dalam rangka penyelesaian masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan juga


(23)

sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk penyelesaian. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang yang dilakukan Rustiani (2001) yang mengemukakan bahwa perizinan sangat birokratis dan inkonsistensi terkait biaya dan waktu dalam penyelesaian pengurusan perizinan. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 1.2 dibawah ini.

Tabel 1.2. Perbandingan Biaya dan Waktu Berdasarkan Peraturan dan Kenyataan

Jenis Izin Biaya (Rp 000) Waktu (hari)

Peraturan Kenyataan Peraturan Kenyataan TDP PT 100

Kop 5 CV 25 Firma 25 PO 10 BPL 50 Asing 250

0 - 1.000 7 1 - 90

TDI 0 0 – 750 14 2 – 30

SIUP 0 0 - 1.000 5 1 – 90

IUI 0 1.000 14 30 – 90

MD 0 0 – 300 90 30 – 90

Sumber: Rustiani, 2001

e. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan dalam pelayanan (khususnya dalam pelayanan perizinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan. Berdasarkan tabel 1.1. dan tabel 1.2. di atas, menunjukkan bahwa banyak di antara syarat-syarat tersebut kurang atau bahkan tidak relevan dengan kegiatan usaha, sehingga pelayanan menjadi tidak efisien.

Idealnya adalah kebijakan perizinan haruslah diarahkan untuk memperbaiki kelembagaan, perilaku birokrat, dan prosedur yang memungkinkan


(24)

terciptanya iklim usaha yang mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Menurut Fahmi Radhi (Kedaulatan Rakyat, 2 Agustus 2006) upaya untuk menerapkan kebijakan perizinan yang memungkinkan terciptanya iklim usaha yang kondusif harus dilakukan dengan menerapkan kebijakan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) dan One Stop Service (OSS).

Sejak otonomi daerah, beberapa daerah telah menata ulang kebijakan perizinan dengan kebijakan UPT yang dikenal dengan Pelayanan Satu Atap. Pada dasarnya tidak ada perubahan berarti dengan UPT dalam pengurusan izin usaha masih melibatkan berbagai dinas terkait. Perubahannya adalah berbagai dinas terkait yang berwenang mengeluarkan izin ditempatkan di satu atap, sehingga pelaku usaha atau masyarakat tidak perlu bolak balik mendatangi beberapa dinas terkait yang sebelumnya terpisah tempatnya. Upaya lain yang bisa diterapkan dalam kebijakan perizinan adalah dengan menerapkan OSS. OSS agak berbeda dengan UPT yang masih melibatkan beberapa dinas terkait. OSS hanya melibatkan satu dinas saja, misalnya dengan membentuk Dinas Perizinan yang berwenang memproses dan memberikan izin usaha. Penerapan OSS ini dapat lebih menyederhanakan prosedur pemberian izin dan mempercepat proses perizinan usaha.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dari lima pemerintahan kabupaten/kota yang ada, baru pemerintahan Kota Yogyakarta yang mempunyai komitmen dalam melakukan pembenahan organisasi perizinan dengan menyusun langkah-langkah strategis untuk melakukan reformasi pelayanan perizinan dari Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) menjadi Dinas Perizinan (Hery


(25)

Zudianto, 2005). Sebagaimana diketahui, perizinan di Kota Yogyakarta setelah mengindentifikasi ada tujuh puluh enam jenis izin yang dilayani oleh tujuh belas instansi dan ada tiga belas non-perizinan bidang catatan sipil serta beberapa perizinan bidang kependudukan dan surat keterangan/pemberitahuan. Beberapa jenis perizinan pengurusannya diintegrasikan di UPTSA Kota Yogyakarta berdasarkan Keputusan Walikota Yogyakarta No. 01/2000 yang mulai operasional sejak Januari 2000.

Dalam prakteknya, pelayanan perizinan yang dilaksanakan oleh UPTSA Kota Yogyakarta terhadap masyarakat pengguna layanan belum bisa diharapkan dan masih banyak kelemahan, sehingga menjadi tidak efektif dan efisien. Ada beberapa hal yang menyebabkan tidak efektif dan efisien, antara lain: status organisasi UPTSA belum mandiri/dan non-struktural, sehingga koordinasi perizinan terhambat birokrasi; Kewenangan pelayanan perizinan terbatas pada tahap awal /front office, proses perizinan masih di instansi teknis, prosedur dan mekanisme pelayanan perizinan yang masih berbelit dan tidak efisien; persyaratan perizinan yang berdiri sendiri antarjenis perizinan, sehingga terjadi duplikasi persyaratan (misal IMBB, HO dan Izin Teknis), belum adanya Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk semua jenis perizinan, waktu proses perizinan belum sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, petugas pelayanan kurang menguasai permasalahan secara teknis (Dinas Perizinan, 2005).

Dengan berbagai permasalahan di atas, maka Pemerintah Kota Yogyakarta, berusaha memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan khususnya perizinan yang sesuai dengan harapan dan aspirasi masyarakat. Untuk


(26)

maksud tersebut, maka Pemerintah Kota Yogyakarta membentuk Dinas Perizinan Kota Yogyakarta yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Yogyakarta No. 17/2005 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perizinan Kota Yogyakarta yang disyahkan 1 Nopember 2005 dan mulai operasional Januari 2006.

Berdasarkan pemikiran di atas, maka penelitian ini akan mengkaji sejauhmana implementasi reformasi organisasi perizinan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.

2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah implementasi reformasi organisasi di Dinas Perizinan Kota Yogyakart untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik

3. Tujuan

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran umum tentang implementasi reformasi organisasi perizinan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.


(27)

BAB II

KONSEP IMPLEMENTASI

REFORMASI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

1. Pendahuluan

Bab ini akan membahas mengenai kerangka konsep implementasi reformasi sektor publik yang akan menjadi acuan dalam penelitian ini. Dalam menjelaskan konsep ini akan dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama akan membahas kajian pustaka yang terkait dengan referensi mutakhir yang didasarkan pada hasil penelitian atau kajian yang sudah dilakukan sebelummnya. Hasil kajian puskata ini akan dijadikan titik tolak dan justifikasi bahwa penelitian ini akan mengambil sisi lain dari penelitian atau kajian sebelumnya. Sedangkan bagian kedua akan menjelaskan kerangka konsep yang dijadikan rujukan terkait dengan reformasi organisasi. Konsep yang digunakan adalah konsep kualitas pelayanan sektor publik, konsep reformasi sektor publik, dimensi reformasi sektor publik, dan konsep implementasi reformasi sektor publik untuk meningkatkan kualitas pelayanan.

2. Kajian Pustaka

Reformasi organisasi telah menjadi kajian yang menarik bagi kalangan akademisi dan praktisi dibidang administrasi publik. Sebab dari berbagai studi dan penelitian tentang reformasi organisasi banyak diwarnai oleh disiplin lain. Hingga


(28)

saat ini, kajian reformasi organisasi lebih banyak dipengaruhi oleh disiplin psikologi, politik, dan ekonomi. Kajian dari aspek psikologi, teori organisasi publik banyak dikaitkan dengan perilaku dalam berorganisasi atau organisasi yang mempengaruhi manusia. Sedangkan dari aspek politik, teori reformasi organisasi publik dilihat dalam wilayah tarik-menarik antara kepentingan politik.

Namun, dalam perkembangannya, teori reformasi organisasi publik mengalami perubahan paradigma dari government ke governance yang dipengaruhi oleh pemikiran ekonomi (managerialism). Dalam hal ini, reformasi organisasi banyak dikaitkan dengan efisiensi, akuntabilitas, dan manajerial.

Dari perspektif di atas, kajian tentang reformasi organisasi sektor publik di Indonesia juga banyak diwarnai dengan pemikiran tersebut. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Muklir, dkk (2004) yang mengkaji proses reformasi struktur organisasi dikaitkan dengan adanya perubahan sikap dan perilaku aparatur Pemerintahan Kabupaten Aceh Utara dalam menyikapi otonomi khusus melalui pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur organisasi yang telah dibentuk lebih diarahkan pada budaya lokal. Dengan adanya perubahan struktur dan nomenklatur organisasi mencerminkan semakin tingginya tingkat kompleksitas, formalisasi, dan sentralisasi. Sedangkan perubahan sikap dan perilaku aparatur dalam menyikapi otonomi khusus dari aspek atensi, pemahaman, dan retensi ternyata hanya terjadi pada tingkat pimpinan di atas. Ditingkat menengah hanya sebatas atensi, pemahaman, dan penerimaan dan belum diwujudkan dalam bentuk retensi. Ditingkat bawah, retensi, pemahaman,


(29)

dan penerimaan masih belum optimal yang tercermin dari rendahnya perubahan sikap.

Penelitian yang dilakukan Muklir di atas, berbeda dengan penelitian yang dilakukan Weningsih (2004) yang melihat reformasi organisasi dari perspektif politik dengan melakukan Studi Evaluasi Pelaksanaan Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas di Pemerintah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan reformasi organisasi dan tata kerja di Dinas Pemerintah Kabupaten Banyumas yang memenuhi nilai standar sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 8/2003 yang layak berbentuk dinas hanya dua belas. Dalam menyusun struktur organisasi dan tata kerja tidak hanya sekedar persoalan administratif, tetapi cenderung mengarah pada persoalan politis karena untuk menyusun struktur organisasi dan tata kerja tersebut, peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sangatlah besar. Dalam pelaksanaannya Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kabupaten Banyumas menunjukkan tingkat efisiensi dan efektifitas pada posisi sedang, yaitu sebesar enam puluh empat koma delapan puluh persen (64,80%).

Hasil penelitian di atas memperlihatkan bahwa fokus kajian yang dilakukan dalam mereformasi organisasi pemerintahan di Indonesia lebih dikaitkan dengan perubahan pada sikap apatur dan perubahan pada struktur organisasi yang terkait dengan tarik menarik antara eksekutif dan legislatif, walaupun implementasinya memberi dampak positif bagi peningkatan efisiensi organisasi. Sedangkan untuk kajian reformasi organisasi dalam perspektif manajerial belum banyak dikaji.


(30)

Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk mengisi ruang kosong yang belum banyak dikaji terkait dengan implementasi reformasi organisasi dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Sehingga keaslian penelitian ini bisa dijadikan salah satu perspektif yang bisa memperkaya dan melakukan tambal sulam dari hasil penelitian sebelumnya.

3. Kerangka Konseptual

3.1. Konsep Kualitas Pelayanan Sektor Publik

Kualitas pelayanan pada sektor publik saat ini menjadi kata kunci untuk membangkitkan kembali kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Menurut Gaster (1996) ada tiga argumen bagi pemerintah untuk mempromosikan kebijakan kualitas dalam pelayanan publiknya. Pertama, kebijakan kualitas menguat di pemerintahan lokal disebabkan adanya desakan dari eksternal. Kedua, kebijakan kualitas akan memberikan kontribusi terhadap popularitas dan keberlangsungan dari pemerintah lokal. Ketiga, Kebijakan kualitas dapat membawa pemerintah lokal dan masyarakatnya lebih dekat dan fokus pada konsumen atau citizen sehingga menjadi baseline bagi pelayanan publik dan nilai-nilai demokratik.

Secara definitif, kualitas pelayanan dimaknai sebagai fitness for purpose atau fitness use dengan tujuan untuk mempertemukan kenyataan dan harapan dari konsumen. Haywood-Farmer (Ghobadian,1994) berpendapat bahwa organisasi pelayanan mempunyai kualitas yang tinggi (high quality), jika ia dapat mempertemukan preferensi dan harapan konsumen secara konsisten. Elemen kunci dalam mencapai hasil dari kualitas pelayanan adalah dengan


(31)

mengidentifikasi segala sesuatu yang memenuhi persyaratan yang disesuaikan dengan harapan konsumen. Untuk mampu mencapai kualitas pelayanan yang tinggi, maka ada tiga atribut dasar yang harus dipenuhi, yaitu: Pertama, fasilitas fisik, proses, dan prosedur pelayanan. Kedua, tingkah laku birokrat yang ramah dan komunikatif. Ketiga, pertimbangan profesionalisme dalam memberikan pelayanan.

Menurut Ghobadian (1994; 46-47), ada beberapa tantangan yang muncul dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, yaitu; lack of visibility, difficulties in assigning specific accountability, time requered to improve service quality, and delivery uncertinties. Untuk mengatasi tantangan ini, maka pemerintah perlu melakukan upaya peningkatan pelayanan publik dengan memfokuskan diri pada konsumen, memberdayakan front line staff, melatih dan memberikan motivasi pada staf, serta mempunyai visi yang jelas tentang kualitas.

Di Indonesia, dengan adanya model demokrasi saat ini telah terjadi perubahan kualitas pelayanan publik. Pemerintah daerah sebagai representasi masyarakatnya, secara otonom dapat melayani secara langsung kebutuhan masyarakatnya. Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, Pemerintah daerah dihadapkan pada tuntutan perubahan yang menyangkut responsibilitas personal, isu-isu kualitas, orientasi pada pengguna, orientasi pada hasil layanan, menjalankan mekanisme pasar, orientasi ke budaya inovasi dan diversifikasi (Supriyono, 2002).

3.2. Konsep Reformasi Organisasi Sektor Publik


(32)

Amstrong,1997) mengemukakan bahwa reformasi organisasi terjadi ketika gap antara kinerja organisasi dan harapan dapat diselaraskan supaya menjadi lebih nyata dan reformasi harus dipahami sebagai “the idea that, by making deliberate goal-directed choice between organizational forms, new forms can be created, which improve and lead to better result”.

Secara spesifik Pollitt (2000) melihat reformasi organisasi dengan merujuk pada perubahan institusi pemerintah dan prosedur yang menegaskan pada satu atau lebih karakteristik yang diakui secara luas dengan new public management (NPM) atau reinventing government.

Berangkat dari definisi di atas, kajian mengenai reformasi organisasi mengalami pasang surut sesuai dengan perkembangan pemikiran dalam ilmu administrasi publik. Perkembangan tersebut terjadi seiring dengan adanya kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh administrator publik (Muluk, 2006).

Menurut Antonius Tarigan (2003;29-30), perkembangan reformasi organisasi publik telah mengalami transformasi dari model administrasi publik klasik menuju model manajemen publik baru. Model administrasi publik klasik terfokus pada interaksi dan kerjasama di dalam organisasi pemerintah yang dibangun melalui hierarki. Model ini memberikan peran besar kepada pemerintah, baik dalam merumuskan kebijakan maupun dalam penyampaian pelayanan publik. Model administrasi publik klasik kemudian disempurnakan oleh model manajemen publik baru. Model ini menghadirkan pola organisasi yang lebih efisien, menciptakan fleksibilitas organisasi, menghindari adanya standarisasi dalam organisasi, mengembangkan pola pelayanan yang variatif, memperkuat


(33)

desentralisasi tanggungjawab kegiatan dan anggaran ketingkat yang paling bawah, pergeseran pola manajemen dari sistem hierarki menuju sistem contracting out dan memberikan perhatian pada membangun jaringan kerja (networking) dengan organisasi lain di luar pemerintah.

Di Indonesia, reformasi organisasi pemeritahan telah mengalami pasang surut yang diwarnai dengan pola dan kepentingan rezim yang berkuasa. Menurut Mifta Thoha (2005;6-7), pada awal perkembangan ilmu administrasi negara tahun 1950-an, pemerintah dalam hal ini, Presiden Soekarno melalui almarhum Perdana Menteri H. Djuanda melakukan reformasi administrasi negara dengan meniru dan mewarisi sistem pemeritahan Belanda. Reformasi kedua dilakukan ketika era rezim Orde Baru, dorongan untuk melakukan reformasi inipun diawali oleh keinginan untuk membangun bangsa dan negara untuk menyelenggarakan pemerintahan yang stabil, kuat, dan sentralistik. Suharto memegang kendali pemerintahan dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 44 dan 45/1974 sebagai tonggak dirombak dan disusunnya sistem dan struktur lembaga birokrasi pemerintah. Namun, setelah rezim Orde Baru tumbang dan diganti dengan rezim Orde Reformasi, upaya untuk melakukan perubahan sistem dan organisasi pemerintahan terdesentralisasi secara nyata dengan diberlakukannya UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Konsekuensi dari perubahan penyelenggaraan pemerintah daerah tersebut berakibat pada terjadinya perubahan struktur kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Penyerahan kewenangan ini selanjutnya berimplikasi pada perubahan beban tugas dan struktur organisasi. Perubahan struktrur pemerintahan di


(34)

Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 08/2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Perubahan struktur organisasi daerah ini dimaksudkan untuk mewujudkan tuntutan perubahan organisasi pemerintah agar mampu mendukung kemandirian daerah dan untuk mewujudkan organisasi pemerintahan daerah yang efisien dan efektif (Wediningsih, 2004;1-2). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8/2003 pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa organisasi perangkat daerah di bentuk berdasarkan pertimbangan-pertimbangan:

a. Kewenangan pemerintahan yang dimiliki oleh daerah. b. Karakteristik, potensi, dan kebutuhan daerah

c. Ketersediaan sumberdaya aparatur

d. Pengembangan pola kerjasama antardaerah dengan pihak ketiga.

Oleh karena itu, reformasi organisasi terjadi karena adanya tekanan dari berbagai aspek, seperti; sosial, ekonomi, dan teknologi. Dengan adanya tekanan tersebut, pemerintah berusaha memperkuat kinerjanya menjadi lebih efektif, efisien, akuntabilitas, dan berkualitas. Keberhasilan pemerintah dalam memperkuat kinerjanya juga sangat didukung oleh beberapa dimensi nilai dalam melakukan reformasi organisasi.

Reformasi organisasi sangat terkait dengan nilai, norma, dan prinsip-prinsip yang dijadikan acuan oleh sebuah organisasi dalam memberikan pelayanan kepada publik. Bila dilihat dalam konteks historis, dimensi reformasi organisasi selalu mengalami perubahan yang disesuaikan dengan konteks sejarah dan institusional (Toonen dan Raadscheldeers,1997). Perubahan ini dapat dilihat sejak


(35)

permulaan abad ini, seperti; produktifitas, efektifitas, efisiensi dan kontrol budget telah menjadi pemikiran dari reformasi organisasi dalam sistem negara barat. Begitu juga dengan dimensi lain, seperti: transparansi, kebutuhan untuk sistem streamlining, koordinasi, dan integrasi.

Oleh karena itu, dimensi reformasi organisasi publik dari masa ke masa mengalami perubahan. Di mana, dalam 1960-an reformasi organisasi lebih merujuk pada dimensi rasionalisasi dan demokratisasi. Sedangkan sejak 1980-an dan 1990-an, dimensi reformasi organisasi lebih di dominasi oleh manajerialisme dan citizen sebagai klien.

Menurut Kernaghan (2000;93-94), reformasi organisasi publik di beberapa negara terutama Eropa, Amerika, Australia, dan Selandia Baru telah dilakukan secara sporadis dengan merubah paradigma organisasi pemerintahannya dari organisasi birokratik bergerak menuju organisasi pasca birokratik. Kernaghan melihat perubahan tersebut dalam tiga dimensi, yaitu:

Pertama, dimensi kebijakan dan budaya manajemen. Dimensi kebijakan dan budaya manajemen, organisasi birokratik lebih berpusat pada organisasi yang lebih menitikberatkan pada kebutuhan organisasi itu sendiri; kekuasaan yang lebih menentukan melalui kontrol, komando, dan patuh pada perintah atasan; berpusat pada aturan yang mengacu pada prosedur baku organisasi, aturan-aturan dan constrain; Bertindak secara independen dengan sedikit konsultasi, kerjasama, dan koordinasi; berorientasi pada status quo berusaha untuk mengambil resiko dan kesalahan; berorientasi pada proses yang berpusat pada akuntabiltas untuk sebuah proses daripada hasil. Sedangkan pada organisasi pasca birokratik berpusat pada


(36)

citizen dengan meningkatkan kualitas pelayanan; kepemimpinan yang partisipatif dengan melakukan share values dan pembuatan keputusan yang melibatkan semua pihak (partisipatif); berpusat pada masyarakat dengan melakukan pemberdayaan terhadap pekerja; bertindak secara kolektif dengan melakukan konsultasi, kerjasama dan koordinasi; berorientasi pada perubahan dengan melakukan inovasi, risk taking, dan perbaikan yang terus menerus; berorientasi pada hasil dengan melakukan akuntabilitas yang berpusat pada hasil.

Kedua, dimensi struktur organisasi. Dimensi struktur organisasi birokratik bersifat sentralisasi dengan ciri hierarki dan kontrol secara terpusat; organisasinya bersifat departemental dengan beberapa program yang diberikan kepada konsumen dengan menggunakan operating. Sedangkan struktur organisasi pasca birokratik bersifat desentralisasi dalam hal kewenangan dan kontrol; bentuk organisasinya berbentuk non-departemental yang mana program dijalankan dengan menggunakan berbagai macam mekanisme.

Ketiga, dimensi pasar. Dimensi pasar dari organisasi birokratik berpusat pada anggaran yang bersumber pada anggaran Pemda; pelayanan publiknya bersifat monopolistik yang dikuasai oleh pemerintah. Sedangkan organisasi pasca birokratik berpusat pada pendapatan, di mana keuangan program sejauh mungkin berbasis cost recovery; pelayanan publiknya lebih bersifat kompetitif yang melibatkan sektor swasta dalam memberikan pelayanan. Secara lebih ringkas, perbedaan antara organisasi birokratik dengan organisasi pasca birokratik dapat dilihat pada tabel 2.1.


(37)

Tabel 2.1 Perbedaan antara Organisasi Birokratik dan Organisasi Pasca Birokratik Organisasi Birokratik Organisasi Pasca Birokratik

Dimensi Kebijakan dan Budaya Manajemen Berpusat pada organisasi

Menitikberatkan pada kebutuhan organisasi itu sendiri

Berpusat pada Citizen Kualitas pelayanan untuk citizen

(Clients/stakeholders) Kekuasaan yang menentukan Kontrol,

komando dan patuh pada perintah

Kepemimpinan yang partisipatif Shared values and pembuatan keputusan yang partisipatif

Berpusat pada aturan Aturan, prosedur dan constraints

Berpusat pada masyarakat Memberdayaan pekerja Bertindak secara independen Sedikit

konsultasi, kerjasama, dan koordinasi

Bertindak secara kolektif Konsultasi, kerjasama, dan koordinasi

Berorientasi status quo Menghindari resiko dan kesalahan

Berorientasi pada perubahan Inovasi, risk taking dan perbaikan terus-menerus Berorientasi pada proses Akuntabilitas

pada proses

Berorientasi pada hasil Akuntabilitas pada hasil

Dimensi Struktur

Tersentralisasi Hierarki dan Kontrol terpusat

Desentralisasi Desentralisasi kewenangan dan kontrol Bentuk departemental Beberapa

program diberikan melalui operating

Bentuk Non-departemental Program diberikan dengan bermacam-macam mekanisme

Dimensi Pasar

Berpusat pada Anggaran Keuangan program terbesar berasal dari anggaran pemerintah.

Berpusat pada Pendapatan Keuangan program sejauh mungkin berbasis cost recovery

Monopolistik Monopoli pemernitahan memberikan pelayanan

Kompetitif Kompetisi dengan sektor swasta dalam memberikan pelayanan Sumber: Kernaghan, 2000, 92

Berdasarkan tabel 2.1 di atas, pengaruh manajerialisme sangat mewarnai reformasi organisasi (Dixon.et.al.,1989). Tekanan manajerialisme ini menciptakan kebutuhan pada seperangkat perubahan organisasi dengan meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan yang baik, sehingga pemerintah mendapat kepercayaan


(38)

dari rakyatnya. Penerapan pendekatan manajemen profesional dalam sektor publik ini telah banyak disuarakan oleh para pakar dengan berbagai label, misalnya dengan nama managerialism, new public management, market based public administration, new public service, dan entrepreneurship government/ reinventing government. Apapun label yang dipergunakan yang jelas pendekatan manajemen profesional ini telah merubah fokus orientasi peran dan fungsi birokrasi dalam pemerintahan yang semula lebih mementingkan process menuju ke product atau dari rule government menuju ke good governence (Suryono, 2002b).

4. Implementasi Reformasi Organisasi Sektor Publik

Mazmanian dan Sabatier (dalam Abdul Wahab,2005;68-69) menjelaskan konsep atau makna implementasi sebagai pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya. Proses tersebut berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan oleh instansi pelaksana, kesediaan dilaksanakannya keputusan tersebut oleh kelompok sasaran, dampak nyata dari output tersebut, dampak keputusan dipersepsikan oleh badan yang mengambil keputusan yang akhirnya


(39)

dilakukan perbaikan penting terhadap undang-undang/peraturan yang bersangkutan.

Terkait dengan reformasi organisasi, konsep implementasi dapat dilihat dalam dua metode, yaitu unilateral dan share (Waldersee and Griffiths,2004; 425). Metode unilateral adalah lebih bersifat memberikan petunjuk (preskriptif), kontrol, dan urusan teknis didasarkan pada kewenangan untuk mengubah secara obyektif aspek formal dari suatu instansi. Metode ini cenderung bersifat top-down, prosedural, dan difokuskan pada alokasi sumberdaya, serta mengikuti garis kewenangan formal. Berbeda dengan metode share yang lebih menitikberatkan pada penguatan partisipatif, menggunakan teknik konsultatif yang secara langsung mempunyai target nilai, sikap, keahlian dari anggota organisasi. Metode ini secara tipikal bersifat partisipasi tim untuk melakukan redesign dan komite konsultasi.

Menurut Dumphy dan Stace (dalam Waldersee and Griffiths,2004;427) implementasi perubahan dalam organisasi yang berskala besar lebih dominan menggunakan metode top-down. Bahkan secara lebih teknis, Moon (1999;33-35) melihat efektifitas implementasi reformasi organisasi sektor publik sangat tergantung dengan pengembangan karakteristik dari organisasi publik itu sendiri. Karakteristik organisasi dapat dilihat dari aspek struktur organisasi. Dalam konteks reformasi struktur organisasi, beberapa studi organisasi melihat reformasi struktur organisasi dalam tiga aspek, yaitu; formalisasi, spesialisasi, dan sentralisasi (Melcher, 1994; Robbins, 1994; Moon, 1999; Andersen, 2002).


(40)

4.1. Formalisasi

Formalisasi merupakan salah satu bentuk karakteristik dari struktur organisasi, di mana pekerjaan dalam suatu organisasi distribusikan, dimasukkan dalam aturan-aturan, prosedur-prosedur dan perintah dalam bentuk tertulis. Ide dari formalisasi ini adalah untuk mengelola dan mengontrol pekerjaan (Andersen, 2002;345). Moon (1999;34) melihat formalisasi sebagai bagian dari aktifitas organisasi yang dimanifestasikan melalui dokumen tertulis, regulasi, dan policy manuals. Banyaknya aturan dan dokumen yang bersifat tertulis cenderung menyebabkan lambatnya proses administrasi dan kurangnya komunikasi dengan konsumen.

4.2. Spesialisasi.

Spesialisasi dalam organisasi pemerintahan terlihat dengan semakin meningkatnya volume pekerjaan, keikutsertaan aparatur dalam pelatihan dan penggunaan sistem kerja. Spesialisasi di percaya dapat memberikan kontribusi untuk peningkatan kinerja organisasi. Menurut Andersen (2002) spesialisasi dapat dilihat dalam tiga kategori, yaitu:

a. Diferensiasi horizontal menjelaskan seberapa banyak pekerjaan, profesi, dan bidang keahlian khusus yang ditemukan. Diferensiasi horizontal selalu menjelaskan seberapa banyak pelatihan keahlian dan pendidikan yang diberikan oleh organisasi yang berhubungan atau disesuaikan dengan tugas yang diberikan kepada pegawai.


(41)

b. Diferensiasi vertikal menjelaskan suatu pekerjaan dengan melihat kesesuaian pada tingkat pelimpahan kewenangan yang telah diberikan oleh organisasi dan seberapa besar tingkat rentang kontrol untuk setiap bidang. c. Diferensiasi spasial menjelaskan tentang keterkaitan pekerjaan dengan

lokasi fisik, dan masyarakat. Dalam konteks ini lebih menitikberatkan pada kompleksitas pekerjaan sangat terkait dengan lokasi bangunan atau penataan ruang dalam memberikan pelayanan serta sejauhmana komitmen organisasi berorientasi pada masyarakat.

4.3. Sentralisasi.

Sentralisasi merefleksikan tingkat kontrol top management dalam pengambilan keputusan. Menurut Muklir, dkk (2005;7) sentralisasi diukur dari tingkat keikutsertaan dalam pengambilan keputusan dan tingkat pelimpahan wewenang, baik sentralisasi keputusan strategis maupun sentralisasi keputusan taktis. Keputusan strategis adalah keputusan-keputusan yang berkenaan dengan masalah kebijakan jangka panjang, yaitu; tentang alokasi sumberdaya manusia dan uang, karena hal tersebut merupakan pusat bagi keputusan yang paling mendasar dalam organisasi. Pengukuran kedua adalah bagaimana kekuasaan itu didistribusikan di antara tugas-tugas pekerjaan yang merupakan tingkat hierarki wewenang, ini menyangkut keputusan-keputusan mengenai kegiatan sehari-hari dari setiap tugas yang perlu untuk operasi yang efisien dan lancar. Sentralisasi semacam ini sebagai sentralisasi keputusan-keputusan taktis.

Melcher (1994;188-189) melihat beberapa konsekuensi sentralisasi terhadap organisasi dilihat dalam proses, pola perilaku, dan kerawanan organisasi. Aspek


(42)

proses, sentralisasi dalam proses organisasi dapat dibagi dalam aspek koordinasi, pengambilan keputusan, dan komunikasi. Sentralisasi koordinasi membawa konsekuensi adanya koordinasi yang baik melalui pimpinan dan kebijakan yang keseragaman. Konsekuensi sentralisasi dalam proses pengambilan keputusan membawa manfaat terhadap organisasi secara keseluruhan penuh dengan pertimbangan, jika keputusan yang dibuat oleh top manajemen dan staf personalia serta dalam keadaan darurat, staf dan manajemen dapat memanfaatkan informasi dan membuat keputusan yang menentukan tanpa adanya penundaan.

Sedangkan aspek komunikasi dalam sistem yang tersentralistis membawa konsekuensi kebijakan, prosedur, dan aturan memberikan perangkat komunikasi yang standar untuk pengambilan keputusan; ini merupakan alat komunikasi ke bawah yang efisien.

Untuk aspek pola perilaku dibagi dalam aspek prakarsa dan motivasi dari manajemen dan keputusan dengan pekerjaan. Aspek prakarsa dan motivasi dari manajemen yang sentralistis membawa konsekuensi yang lebih tinggi dari top manajemen. Aspek keputusan dengan pekerjaan membawa konsekuensi personalia yang lebih tinggi dan lebih puas dengan pekerjaan mereka karena mengerjakan pekerjaan yang penuh tantangan.

Aspek kerawanan organisasi dibagi dalam aspek pengembangan personalia, tergantung pada top manajemen, dan perubahan. Aspek pengembangan personalia membawa konsekuensi pengalaman yang luas dari top manajemen dan staf personalia. Aspek tergantung pada top manajemen membawa konsekuensi pada loyalitas, kesanggupan, dan pengalaman dari beberapa top manajemen dan staf


(43)

personalia saja yang dibutuhkan untuk sukses organisasi. Sedangkan aspek perubahan membawa konsekuensi dapat dimulai dengan cepat dan terencana dengan baik. Konsekuensi sentralisasi terhadap organisasi secara ringkas dapat dilihat pada tabel 2.2:

Tabel 2.2. Konsekuensi Sentralisasi Terhadap Organisasi Sentralisasi Proses

Organisasi

Konsekuensi

Manfaat Mudarat

Koordinasi Koordinasi yang lebih baik melalui pimpinan dan kebijakan yang seragam.

Kebijakan seragam yang berlaku efektif dalam situasi yang kondisional. Pengambilan keputusan Organisasi secara

keseluruhan

dipertimbangkan, jika keputusan yang dibuat oleh top manajemen dan staf personalia.

Perspektif organisasi mungkin mengabaikan ciri atau masalah khusus dari bidang atau divisi dari unit kerja.

Dalam keadaan darurat, staf dan manajemen dapat memanfaatkan informasi dan membuat keputusan yang

menentukan tanpa adanya penundaan.

Proses keputusan yang normal menimbulkan kelambatan, arus

informasi ke atas dan arus informasi ke bawah membutuhkan waktu. Komunikasi Kebijakan, prosedur,

dan aturan memberikan perangkat komunikasi yang standar untuk pengambilan keputusan; ini merupakan alat komunikasi ke bawah yang efisien.

Ketergantungan pada saluran formal,

menurunnya kesempatan untuk umpan balik, meningkatnya jumlah pusat komunikasi melalui mana arus pesan akan mengurangi tingkat komunikasi ke atas dan antar unit kerja.

Pola Perilaku

Prakarsa dan motivasi dari manajemen dan staf

Inisiatif dan motivasi yang lebih tinggi dari top manajemen.

Menurunnya inisiatif dan motivasi dari manajemen di tingkat yang lebih rendah.


(44)

pekerjaan lebih tinggi lebih puas dengan pekerjaan mereka karena

mengerjakan pekerjaan yang penuh tantangan.

rendah tidak puas dengan pekerjaan mereka karena tidak mampu melakukan terobosan dan berinisiatif. Kerawanan Organisasi

Pengembangan personalia

Luasnya pengalaman dari top manajemen dan staf personalia.

Menghambat perkembangan personalia top manajemen tingkat rendah. Mereka tidak mengembangkan ruang lingkup, pertimbangan, dan orientasi untuk membuat keputusan. Tergantung pada top

manajemen

Loyalitas, kesanggupan, dan pengalaman dari beberapa top manajemen dan staf personalia saja yang dibutuhkan untuk sukses organisasi.

Jika top manajemen sakit atau meninggal, maka fungsi organisasi akan terganggu.

Perubahan: prakarsa dan pelaksanaan

Perubahan dapat di mulai dengan cepat.

Pelaksanaan perubahan yang diprakarsai oleh pusat mungkin akan ditolak keras atau ditolak secara pasif. Sumber: Melcher, 1994; 188-189

Berangkat dari karakteristik di atas, implementasi perubahan pada struktur organisasi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pada prinsipnya lebih berorientasi pada upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. Salah satu tujuan dari implementasi reformasi organisasi adalah sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas organisasi.

Dengan adanya efisiensi dan efektifitas, maka kualitas pelayanan publik yang berorientasi pada kepentingan rakyat dapat tercapai. Untuk mencapai kualitas pelayanan publik tersebut sangat tergantung dengan implementasi dari


(45)

perubahan yang ingin dicapai oleh sebuah organisasi. Costello (dalam Hoque and Moll, 2000) melihat ada tiga tipe implementasi perubahan organisasi dalam rangka meningkatkan pelayanan publik. Pertama, developmental. Perubahan developmental ini dapat dimaknai sebagai perbaikan organisasi secara praktis seperti membangun tim untuk mempersiapkan diri masuk dalam mekanisme pasar atau mencoba menerapkan teknologi baru. Kedua, transtitional. Perubahan transisional ini merujuk kepada implementasi struktur baru atau metode baru. Kehendaknya melakukan reorganisasi secara sungguh-sungguh dengan memasukkan teknik, metode, dan prosedur atau produk dari pelayanan publik. Ketiga, transformational, merujuk kepada memperkenalkan struktur baru yang merupakan hasil dari proses perubahan yang dikaitkan dengan visi dan strategi pelayanan publik. Contoh dari perubahan transformasi adalah merger, konsolidasi, dan restructuring.

Kingsley (dalam Suwondo, 2000) merekomendasikan perlunya reformasi karakter pemerintah daerah (internal reform) dengan mengimplementasikan beberapa teknik dalam meningkatkan kualitas pelayanan adalah Performance measurement dengan terdapatnya catatan laporan yang jelas dari hasil-hasil kegiatan dan mengukur efisiensi relatif, misalnya dengan biaya/harga per unit pelayanan yang diberikan. independent and objective audits, baik terhadap performance dan managemen keuangan. Performance contracts dengan tetap menjaga hubungan yang baik dengan pihak lain (pemerintah, swasta, dan NGOs). decentralization of responsibility within government dengan membagi habis tugas-tugas dan memberikan target yang jelas terhadap pejabat-pejabat


(46)

dibawahnya. Introducing customer orientation and access dengan mempublikasikan rencana-rencana dan laporan kegiatan, menetapkan one-stop-shops untuk memudahkan dalam pengurusan perizinan, dan sebagainya. A competitive mode of service provision dengan cara yang kompetitif dalam memberikan pelayanan antara pemerintah, swasta dan NGOs.

Dalam ISO 9000:2000 mengidentifikasikan delapan prinsip kualitas manajemen yang seharusnya ditanamkan dalam sistem manajemen kualitas untuk mendefinisikan apakah dan bagaimana seharusnya sebuah organisasi secara konsisten telah menyediakan pelayanan yang dibutuhkan oleh konsumen (O'Donoghue, 2003). Kedelapan strategi dan prinsip tersebut, antara lain: Pertama, fokus pada konsumen. Kedua, kepemimpinan. Ketiga, keterlibatan masyarakat. Keempat, pendekatan proses. Kelima, keinginan pada hasil. Keenam, pendekatan sistem ke manajemen. Ketujuh, perbaikan yang terus menerus. Kedelapan, pendekatan faktual dalam pengambilan keputusan.

5. Kerangka Berfikir (Framework) Penelitian

Reformasi kelembagaan yang dilakukan oleh pemeritahan Kota Yogyakarta, terutama yang terkait dengan perubahan organisasi dari UPTSA ke Dinas Perizinan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah No. 17/2005. Dengan adanya perubahan tersebut menarik untuk dikaji secara lebih mendalam mengenai keterkaitan reformasi organisasi tersebut dalam meningkat kualitas pelayanan publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta


(47)

Menurut Sudrajat (2006) dalam melakukan reformasi organisasi seringkali terdapat kelemahan dari sisi kelembagaan. Kelemahan tersebut terletak pada desain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hierarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit dan tidak terkoordinasi, kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan penyelenggaraan masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, sehingga pelayanan publik menjadi tidak efisien.

Sehingga penelitian implementasi reformasi organisasi di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik menggunakan pendekatan Moon (1999;33-35) dengan melihat salah satu dalam reformasi organisasi dari aspek struktur organisasi. Oleh karena itu, fokus kajian dalam penelitian ini hanya melihat reformasi organisasi dari aspek struktur organisasi yang meliputi; formalisasi, spesialisasi, dan sentralisasi dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Secara ringkas kerangka kerja (framework) dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1. dibawah ini:

Gambar 2.1. Kerangka Penelitian (Framework)

Dinas Perizinan

Kota  Yogyakarta 

Reformasi Organisasi

Pelayanan Berkualitas Implementasi

Reformasi Organisasi ‰Sentralisasi  ‰Spesilisasi  ‰Formalisasi 


(48)

Dengan adanya perubahan struktur organisasi, maka akan dikaji secara mendalam mengenai implementasi reformasi struktur organisasi Dinas Perizinan Kota Yogyakarta dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan bagi masyarakat. Sebab salah satu pertimbangan adanya perubahan organisasi perizinan menjadi dinas adalah untuk mewujudkan peningkatan pelayanan dibidang perizinan yang mensinergikan berbagai macam perizinan dalam wadah pelayanan satu atap.


(49)

BAB III

METODE PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL REFORMASI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

1. Pendahuluan

Bab ini akan membahas mengenai metode penelitian, definisi konsep, dan definisi operasional. Metode dalam penelitian akan membahas mengenai jenis penelitian, lokasi dan informen penelitian, teknik pengumpulan data, serta teknik analisis data. Untuk definisi konsep akan menjelaskan pada penegasan mengenai konsep yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Sedangkan definisi operasional akan membahas mengenai uraian detail dari definisi konseptual yang akan dijadikan acuan dalam menggali data di lapangan

2. Metode Penelitian

Metode dalam penelitian ini mengacu pada jenis penelitian evaluasi yang mengkaji implementasi reformasi organisasi pelayanan perizinan di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.

2.1. Lokasi dan Informan Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Dinas perizinan Kota Yogyakarta dengan alamat Jl. Kenari No. 56 Yogyakarta 55165. Sedangkan Informan dalam penelitian ini adalah Kepala Dinas, Kepala Bidang, Kepala Seksi, Kepala Bidang Tata Usaha, dan Konsumen di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.


(50)

2.2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (indepth interview) dengan kepala dinas, kepala bidang, kesekretariatan, dan konsumen, Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Selain wawancara mendalam, penelitian ini juga melakukan observasi atau pengamatan langsung mengenai proses pelayanan yang ada di Dinas Perizinan. Untuk melengkapi teknik wawancara dan observasi, penelitian ini juga menggunakan teknik dokumentasi untuk memperdalam dan mempertajam hasil temuan yang ada. Teknik dokumentasi ini dilakukan dengan mempelajari sumber yang berasal dari buku literatur, jurnal, majalah, surat kabar harian, internet dan sumber lain yang terkait.

2.3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik kualitatif dengan model analisis interaktif, yaitu analisis yang bergerak dalam tiga komponen, yaitu; Pertama, reduksi data (reduction). Kedua, sajian data (display.) Ketiga, penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing). (Miles dan Huberman, 1992;16-21). Reduksi data yang dimaksud adalah hasil wawancara dan obeservasi yang diperoleh kemudian diidentifikasi dengan data yang ada agar lebih fokus. Setelah melakukan identifikasi data, kemudian dideskripsikan dalam sajian data yang diperkuat dengan analisis untuk membuat kesimpulan.

Oleh karena itu, proses analisis dalam penelitian ini menggunakan triangulasi data dengan melakukan strukturisasi data primer dari hasil wawancara dan observasi untuk dianalisis. Kemudian memilah data sekunder yang terkait


(51)

dengan fokus kajian seperti aturan, kebijakan dari Perda (Peraturan Daerah), Perwal (Peraturan Walikota) sampai dengan Peraturan Kepala Dinas, serta publikasi baik dari buku dan jurnal. Data primer dan sekunder tersebut akan dianalisis secara detail dengan melakukan triangulasi data yang diperoleh dari sumber data primer dari hasil wawancara dan observasi. Dari hasil analisis, kemuadian ditarik kesimpulan sesuai dengan tujuan dalam penelitian.

3. Definisi Konseptual

Definisi konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.1. Reformasi organisasi

Reformasi organisasi adalah upaya strategis yang dilakukan Pemerintahan Kota Yogykarta dengan mengadakan perubahan terhadap struktur organisasi perizinan secara konkrit dalam rangka peningkatan pelayanan publik.

3.2. Implementasi reformasi

Implementasi organisasi adalah suatu proses penerapan hasil reformasi organisasi dengan merujuk pada tiga aspek, yaitu. Pertama, formalisasi yang berarti aktivitas organisasi yang diatur secara tertulis, baik aturan-aturan yuridis maupun regulasi perizinan. Kedua, sentralisasi berarti mekanisme kontrol, mekanisme pengambilan keputusan dalam organisasi dan pelimpahan kewenangan dari pimpinan ke staf. Ketiga, spesialisasi artinya terkait dengan pembagian tugas serta pengembangan kapasitas staf dalam pelayanan.


(52)

4. Definisi Operasional

Sesuai dengan definisi konsepsional di atas, maka definisi operasional dalam penelitian akan dijabarkan sebagai berikut:

4.1. Formalisasi dalam definisi opresional peneltian ini akan mengkaji dari dua aspek, yaitu:

a. Regulasi perizinan yang dilaksanakan oleh Dinas Perizinan b. Regulasi organisasi Dinas Perizinan.

4.2. Sentralisasi dalam definisi operasional penelitian ini akan mengkaji dari tiga aspek, yaitu:

a. Rentang Kontrol (Span of contro)l untuk setiap bagian. b. Mekanisme pengambilan keputusan

c. Pelimpahan kewenangan antara atasan dan bawahan.

4.3. Spesialisasi dalam definisi operasional penelitian ini akan mengkaji dari dua aspek, yaitu:

a. Pembagian tugas dan fungsi

b. Pengembangan kapasitas pekerja dalam pelayanan


(53)

BAB IV

GAMBARAN UMUM DINAS PERIZINAN

KOTA YOGYAKARTA

1. Pendahuluan

Bab ini akan membahas mengenai deskripsi secara umum perihal sejarah organisasi Dinas Perizinan yang diperkuat dengan Peraturan Daerah (Perda) No. 17/2005 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perizinan dan dijabarkan secara secara lebih rinci dalam Peraturan Walikota (Perwal) No. 187/ 2005 Tentang Penjabaran Fungsi dan Tugas Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, juga diperkuat dengan adanya Renstra Dinas Perizinan yang ditetapkan dalam Keputusan Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta No. 02/KEP/DINZIN/2007.

Ketiga perangkat aturan di atas, merupakan petunjuk bagi pelaksanaan tugas, fungsi, kewenangan, struktrur yang didukung oleh visi, misi, motto, dan komposisi sumberdaya manusia di Dinas Perizinan.

2. Sejarah Terbentuknya Dinas Perizinan

Pengelolaan perizinan oleh Pemerintahan Kota Yogyakarta mempunyai sejarah panjang, semula pelayanan perizinan masih terpusat pada instansi teknis dan sangat birokratis. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Yogyakarta mempunyai komitmen untuk menjadikan pelayanan perizinan menjadi leading sector yang bisa diandalkan. Upaya strategis yang dilakukan Pemerintahan Kota (Pemkot)


(54)

Yogyakarta adalah melakukan reorganisasi perizinan dengan sistem Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA). Berdasarkan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No.503/125/PUOD/1997 perihal Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Perizinan di Daerah, Pemkot Yogyakarta membentuk Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) dengan Keputusan Walikota No. 01/2000 dan mulai operasional pada 02 Januari 2000. Adapun tugas dan kewenangan dari UPTSA, yaitu:

a. UPTSA melayani Akta-akta Catatan Sipil, Izin Usaha (HO), Tanda Daftar Industri (TDI), Tanda Daftar Gudang (TDG), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Izin Mendirikan Bangun Bangunan (IMBB), Saluran Air Kotor (SAK), Saluran Air Hujan (SAH), In-GANG, Sewa Alat Berat, dan Izin Penggunaan Lahan (IPL).

b. Koordinator dan Sekretaris UPTSA dijabat oleh Asisten III dan Kepala Bagian Perkotaan Sekretaris Daerah Kota Yogyakarta.

c. Petugas pelayanan dari instansi teknis berganti-ganti/dengan sistem rolling d. Petugas pelayanan menggunakan seragam instansi asal.

e. Anggaran melekat di instansi lain (Bagian. Organisasi, KAPDE)

UPTSA mengalami perubahan sejak Januari 2002, dimana Kantor UPTSA dibenahi sarana pendukungnya (penataan interior, penambahan counter informasi, AC, hotline dan penataan fasilitas parkir) serta didukung sumberdaya manusia yang memadai. Kemudian pada 04 Maret 2002, lembaga perizinan diperkuat kewenangannya oleh Walikota Yogyakarta, di mana UPTSA melayani Akta-akta Capil, HO, TDI, TDG, SIUP, TDP, IMBB, SAK,SAH, In-GANG, Sewa Alat


(55)

Berat, dan IPL. Sedangkan koordinator dan sekretaris dijabat oleh pejabat non-struktural. Selain petugas pelayanan, sekretariat difungsikan dan semua menetap di UPTSA, Petugas UPTSA menggunakan seragam tersendiri, dan anggaran 2002 diintegrasikan dianggaran Sekretaris Daerah. Namun pada 2003, UPTSA diberi kewenangan sendiri dalam mengelola anggaran.

Berdasarkan hasil studi dari POLOKDA UGM (2000) dan pendampingan yang dilakukan The Asia Foundation bersama Prosumen Mandiri (2002) menemukan bahwa pelayanan perizinan yang dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta dibawah UPTSA memunculkan permasalahan yang oleh masyarakat (user) masih dirasakan sangat birokratis, sebab status organisasi UPTSA belum mandiri/dan struktural, sehingga koordinasi pelayanan perizinan atau non-perizinan terhambat birokrasi. Kewenangan pelayanan masih terbatas di front office sedangkan proses pelayanan dan pengurusan /perizinan di instansi teknis. Sistem teknologi layanan di UPTSA masih belum memadai (belum online dengan instansi teknis) dengan sumberdaya manusia yang ditugaskan tidak berwenang menyelesaikan permasalahan dan masih di instansi induk. Untuk waktu penyelesaian izin belum sesuai dengan yang diharapkan, karena kendala teknis di instansi yang bersangkutan.

Dengan adanya permasalahan di atas, Pemkot Yogyakarta membentuk tim kecil yang mengkaji bentuk organisasi perizinan yang ideal sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat, dunia bisnis, dan good governance. Hasil kajian tersebut disepakati untuk dibentuk Dinas yang menangani perizinan agar lebih leluasa, sehingga diusulkan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)


(56)

untuk menetapkan pelayanan perizinan dalam satuan dinas yang ditetapkan dalam Perda No. 7/2005 Tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perizinan. Dengan adanya Perda tersebut, Dinas Perizinan secara resmi berdiri dan mulai berjalan efektif sejak Januari 2006. Tujuan dibentuknya Dinas Perizinan adalah

a. Tidak adanya tumpang tindih (overlapping) pelayanan izin yang sama dari beberapa instansi;

b. Keterpaduan persyaratan dalam pelayanan izin;

c. Percepatan waktu proses penyelesaian pelayanan tidak melebihi standar waktu yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda);

d. Kepastian biaya pelayanan tidak melebihi dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah;

e. Kejelasan prosedur pelayanan dapat ditelusuri dan diketahui setiap tahapan proses pemberian perizinan dan non-perizinan sesuai dengan urutan prosedurnya;

f. Mengurangi berkas kelengkapan permohonan perizinan yang sama untuk dua atau lebih permohonan perizinan;

g. Pemberian hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan perizinan.

3. Visi, Motto, dan Kewenangan

Berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Nomor 02/KEP/DINZIN/2007 tentang Rencana Strategis (Renstra) secara jelas disebutkan bahwa Visi Dinas


(57)

Perizinan Kota Yogyakarta adalah:

Terwujudnya Pelayanan yang Pasti Dalam Biaya, Waktu, Persyaratan dan Akuntabel Dibidang Perizinan“ dengan motto “Bukan Janji Tapi Pasti”.

Untuk mewujudkan visi di atas, maka Dinas Perizinan mempunyai misi sebagai berikut :

a. Mewujudkan pelayanan internal

b. Meningkatkan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas. c. Melaksanakan penyederhanaan pelayanan perizinan

d. Melaksanakan Pengembangan dan Penerapan Teknologi Informasi e. Melaksanakan Pengelolaan Data Perizinan yang lebik baik

f. Melaksanakan penyelesaian pengaduan, advokasi dan pengawasan perizinan.

Sedangkan kewenangan yang diberikan kepada Dinas Perizinan sebagaimana yang tercantum dalam Perda Nomor 05 Tahun 2007 adalah sebagai berikut: Pemberian Izin, Penolakan Izin, Pembatalan Izin, Pencabutan Izin, Legalisasi Izin, Duplikat Izin, Pengawasan Izin.

4. Struktur Organisasi

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8/2003 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, Pemerintah Kota Yogyakarta membentuk organisasi pelayanan perizinan yang definitif berupa Dinas Perizinan. Dasar Pembentukan Dinas Perizinan adalah Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 17/2005 Tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perizinan,


(58)

dengan susunan Organisasi: 1. Kepala Dinas

2. Kepala Bagian Tata Usaha yang membawahi : 2.1. Kasubbag. Umum

2.2. Kasubbag. Keuangan, Perencanaan dan Evaluasi 3. Kepala Bidang Pelayanan yang membawahi :

3.1 Kasie. Administrasi Perizinan

3.2 Kasie. Koordinasi dan Penelitian Lapangan

4. Kepala Bidang Sistem Informasi dan Pengaduan yang membawahi : 4.1. Kasie. Sistem Informasi

4.2. Kasie. Pengaduan dan Advokasi

5. Kepala Bidang Data dan Pengembangan Kinerja 5.1.Kasie. Data dan Penelitian

5.2.Kasie. Pengembangan Kinerja

Mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 41/2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah dan Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 10/2008 tentang Pembentukan, Susunan, Kedudukan dan Tugas Pokok Dinas Daerah, Susunan organisasi Dinas Perizinan berubah menjadi :

1. Kepala Dinas

2. Sekretaris yang membawahi :

2.1. Kasubbag. Umum dan Kepegawaian 2.2. Kasubbag. Keuangan


(59)

3. Kepala Bidang Pelayanan yang membawahi :

3.1. Kasie. Advis Planing dan Administrasi Perizinan 3.2. Kasie. Koordinasi Lapangan dan Penelitian

4. Kepala Bidang Data dan Sistem Informasi yang membawahi : 4.1. Kasie. Data

4.2. Kasie. Sistem Informasi

5. Kepala Bidang Pengawasan dan Pengaduan Perizinan 5.1. Kasie. Pengawasan

5.2. Kasie. Pengaduan Perizinan dan Advokasi 6. Kepala Bidang Regulasi dan Pengembangan Kinerja

6.1. Kasie.. Regulasi


(60)

Gambar 4.1. Struktur Organisasi Dinas perizinan Kota Yogyakarta Tahun 2008

5. Perlengkapan Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana kerja yang ada di Dinas Perizinan untuk menunjang kelancaran tugas yang terkait dengan pelayanan publik terdiri dari: Sarana gedung yang luasnya dua ribu meter persegi (2000/m2) tertata dengan baik dan dilengkapi jaringan internet, intranet, dan hardware yang terdiri dari: sepuluh unit komputer untuk aplikasi pendaftaran, sembilan unit komputer untuk pelayanan perizinan, dua unit Touch Screen untuk informasi persyaratan dan aplikasi antrian, enam belas (16) unit PC komputer untuk administrasi perkantoran, lima unit Laptop untuk Kepala Dinas, Kepala Bagian Tata Usaha dan Kapala Bidang, dua buah

KEPALA

SEKRETARIS

SUB BAGIAN UMUM DAN KEPEGAWAIAN

SUB BAG KEU,

PERNC & EVALUASI

KABID. PENGAWASAN DAN

PENGADUAN KABID DATA DAN

SISTEM INFORMASI

KASI. ADVIS PLANNING DAN

ADM. PERIJINAN SEKSI KOORD &

PENLITIAN LAPANGAN KASIE. DATA KASI SISTEM INFORMASI KASIE. PENGAWASAN KASI. PENGADUAN DAN ADVOKASI KEL.JAB. KABID. PELAYANAN

SUB BAG ADM, DATA DAN PELAPORAN

KABID. REGULASI DAN PENGEMB. KINERJA KASIE. REGULSI KASIE. PENGEMBANGAN KINERJA


(61)

Camera Digital untuk Peninjauan, satu buah LCD, satu buah TV Flat 42 in sebagai monitor antrian.

Gambar 4.2. Sarana Gedung Dinas Perizinan Kota Yogyakarta

Sarana dan prasaran kantor di atas, berada pada posisi yang strategis sebab dari aspek letaknya berada bagian depan masuk ke kantor pemerintah Kota Yogyakarta. Sehingga akses masyarakat dalam pengurusan izin dapat dengan mudah dijangkau dan dilengkapi dengan kemudahan pelayanan yang dilengkapi dengan perangkat teknologi yang lebih praktis dan nyaman.

6. Tugas dan Fungsi

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 17/2005, Dinas Perizinan Kota Yogyakarta mempunyai fungsi pelaksanaan sebagian kewenangan dalam bidang perizinan. Untuk melaksanakan fungsi tersebut berdasarkan pasal 5, Dinas Perizinan mempunyai tugas:


(62)

b. Melaksanakan pembinaan, pemberian dan pembatalan perizinan. c. Menyelenggarakan pelayanan perizinan sesuai dengan kewenangannya. d. Melaksanakan sistem informasi dan pengaduan perizinan.

e. Melaksanakan pengelolaan data dan pengembangan.

f. Melaksanakan pemungutan retribusi sesuai dengan kewenangan yang diberikan.

g. Melaksanakan koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas di bidang perizinan.

h. Melaksanakan ketatausahaan dinas.

7. Komposisi Sumberdaya Manusia

Berdasarkan data kepegawaian Agustus 2007 diperoleh gambaran bahwa Dinas Perizinan Kota Yogyakarta memiliki tujuh puluh delapan orang pegawai yang terdiri dari tujuh puluh satu orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan tujuh orang Pegawai Tidak Tetap (PTT) dengan perincian sebagaimana yang dilihat pada tabel 4.1. dibawah ini:

Tabel 4.1. Komposisi Pegawai Berdasarkan Posisi dan Jumlah

N0 POSISI JUMLAH

(0rang)

1 Kepala Dinas 1

2 Bagian Tata Usaha

- Kepala Bagian Tata Usaha 1

- Kepala Sub Bagian Umum + Staf 7

- Kepala Sub Bagian Keuangan, PE + Staf 9

3 Bidang Pelayanan

- Kepala Bidang Pelayanan 1

- Kepala Seksi Administrasi Pelayanan + staf 22 - Kepala Seksi Koordinasi. Dan Penelitian Lapangan + 17


(1)

B. Sumber Perundang-undangan dan Peraturan Daerah

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. No. 63 tahun 20003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 01 Tahun 2000 tentang Pembentukan UnitPelayanan Satu Atap Kota Yogyakarta.

Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 321/KEP/2007 tentang Penetapan Waktu Pelayanan Perizinan di Pemerintah Kota Yogyakarta.

Keputusan Kepala Dinas Nomor 02/KEP/DINZIN/2007 tentang Rencana Strategis (Renstra).

Peraturan Daerah Nomor 17 tahun 2005 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tatakerja Dinas Perijinan Kota Yogyakarta.

Peraturan Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Nomor 01 Tahun 2006 tentang Sistem dan Prosedur Pelayanan Perizinan pada Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

Peraturan Pemerintah Nomor 08 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.

Pemerintah Pemerintah Nomor 41 tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah

Peraturan Walikota Nomor 187 Tahun 2005 Tentang Penjabaran Fungsi dan Tugas Dinas Perizinan Kota Yogyakarta

Peraturan Walikota Nomor 33 Tahun 2006 tentang Pelayanan Perizinan pada Pemerintahan Kota Yogyakarta.

Peraturan Walikota Nomor 09 Tahun 2007 tentang Pelayanan Perizinan pada Pemerintahan Kota Yogyakarta.

Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 503/125/PUOD Tahun 1997 perihal Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Perizinan di Daerah


(2)

C. Wawancara.

Candra (Konsumen), 10 Januari 2008

Dodit Sugeng Murbowo (Kabid. Informasi dan Data), 09 Januari 2008 Sutarto (Kabid. Pelayanan), 06 Januari 2008

Hardono (Kepala Kesekretariatan), 10 Januari 2008 Misbahurrahman (Konsumen), 10 Januari 2008 Pontjo Siwi (Kepala Dinas), 29 November


(3)

LAMPIRAN I

INTERVIEW GUIDE

(Kepala Dinas, Kepala Bidang, dan Kesekretariatan, Staf)

Reformasi Organisasi

1. Mengapa organisasi UPTSA dirubah menjadi Dinas Perijianan Kota Yogyakarta?

2. Bagaiamanakah proses reformasi organisasi di Dinas Perijinan Kota Yogyakarta?

3. Bagaiamana pendapat Bapak/ibu tentang pengertian pelayanan yang berkualitas?

4. Apa perbedaaan yang subtantif dengan adanya perubahan organasasi dari UPTSA ke Dinas Perijinan dalam meningkatkan kualitas pelayanan?

5. Bagaimanakah implementasi reformasi organisasi dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik di Dinas Perijinan Kota Yogyakrta?

Implementasi Reformasi Struktur Organisasi Formalisasi

6. Sejauhmana dokumen tertulis tentang petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis pelayanan digunakan untuk meningkatkan pelayanan pada publik? 7. Bagaimanakah sistem regulasi untuk memenej staf melalui aturan, rutinitas,

dan prosedur agar lebih efisien dan efektif?

8. Bagaimanakah pendapat Bapak/Ibu tentang tindakan atau sikap ketika memberikan pelayanan tidak diatur dalam petunjuk atau aturan?

9. Apakah implementasi aturan tertulis tersebut telah memberikan keleluasan bagi staf dalam memberikan pelayanan yang lebih berkualitas?


(4)

10. Apa usulan Bapak/Ibu terhadap aturan yang telah ada untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik?

Spesialisasi

11. Bagaimanakah peta sumber daya manusia yang ada di Dinas Perijinaan Kota Yogyakarta?

12. Apakah jumlah sumber daya yang ada di Dinas Perijinan Kota Yogyakarta ini sudah dapat memenuhi standar kualitas dalam memberikan pelayanan? 13. Bagaimanakah kebijakan dinas dalam mengatur volume kerja di Dinas

Perijinan Kota Yogyakarta?

14. Bagaimanakah pola pengembangan kapasitas staf yang terkait dengan peningkatkan pelayanan yang berkualitas?

15. Apakah hambatan yang dialami oleh Bapak/Ibu dalam memberikan pelayanan kepada publik?

16. Apakah konsidi fisik dan fasilitas yang ada telah mendukung dalam memberikan pelayananan publik yang lebih berkualitas?

Sentralisasi

17. Bagaimanakah mekanisme kontrol yang dilakukan oleh pimpinan terhadap staf yang paling bawah?

18. Bagaimanakah mekanisme pengambilan keputusan di Dinas Perijinan Kota Yogyakarta?

19. Bagaimanakah sistem operasional atau implementasi dari keputusan yang sudah dihasilkan atau disepakati?

20. Bagaimanakah pola hubungan (komunikasi dan koordinasi) antar street-level service providers dengan top manajemen?

21. Bagaimanakah pola hubungan antara service provider dengan konsumen? 22. Bagaimanakah sistem pelimpahan kewenangan yang diberikan oleh dinas


(5)

INTERVIEW GUIDE (Konsumen )

Reformasi Organisasi

1. Bagaimana menurut pendapat Bapak/Ibu tentang pelayanan yang berkualitas.

2. Bagaimanakah menurut peniliaan Bapak/Ibu tentang implementasi reformasi organisasi dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik di Dinas Perijinan Kota Yogyakrta?

Implementasi Reformasi Struktur Organisasi Formalisasi

3. Bagaimanakah pendapat Bapak/Ibu tentang aturan pelayanan yang ada di Dinas Perijinan?

4. Bagaimanakah pendapat Bapak/Ibu tentang birokrasi pelayanan di Dinas Perijinan?

5. Bagaimana menurut pendapat Bapak/Ibu tentang alur pelayanan yang telah ditetapkan?

Spesialisasi

6. Bagaimanakah menurut penilaian Bapak/Ibu tentang kemampuan staf dalam memberikan pelayana

7. Apa hambatan yang dialami oleh Bapak/Ibu dalam menerima pelayanan selama ini?

8. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang konsidi fisik dan fasilitas yang ada telah mendukung dalam memberikan pelayananan publik yang lebih berkualitas?

9. Apa masukan Bapak/Ibu mengenai kapasitas sumber daya manusia yang ideal dalam memberikan pelayanan yang lebih berkualitas?


(6)

Sentralisasi

10. Bagaimanakah pendapat Bapak/Ibu tentang pola hubungan antarbidang dalam memberikan pelayanan yang berkualitas di Dinas Perijinan ini? 11. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang mekanisme pengambilan keputusan

dalam memberikan pelayanan yang berkualitas di Dinas Perijinan?