Keragaan usahatani sapi bakalan (studi kasus: kelompok tani ternak tanjung lurah, nagari salimpauang, kabupaten Tanah Datar)
KERAGAAN USAHATANI SAPI BAKALAN
(Studi Kasus : Kelompok Tani Ternak Tanjung Lurah, Nagari
Salimpauang, Kabupaten Tanah Datar)
ALFA RYANDA
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Keragaan
Usahatani Sapi Bakalan (Studi Kasus: Kelompok Tani Ternak Tanjung Lurah,
Nagari Salimpauang, Kabupaten Tanah Datar) adalah benar karya saya dengan
arahan dari pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada
perguruan tinggi lain atau lembaga lain manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, November 2014
Alfa Ryanda
NIM. H34090140
ABSTRAK
ALFA RYANDA. Keragaan Usahatani Sapi Bakalan (Studi Kasus: Kelompok
Tani Ternak Tanjung Lurah, Nagari Salimpauang, Kabupaten Tanah Datar).
Dibimbing oleh DWI RACHMINA.
Nagari Salimpauang merupakan salah satu wilayah di Kecamatan
Salimpauang, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat dimana
penduduknya banyak mengusahakan penggemukan sapi. Namun untuk
mengembangkan usahanya, para peternak memiliki permasalahan seperti lahan,
pengolahan limbah, ketersediaan input, dan tenaga kerja. Salah satu solusi untuk
mengatasi permasalahan tersebut yaitu melalui pengelolaan dengan Kelompok
Tani Ternak Tanjung Lurah. Tujuan dari penelitian ini yaitu (1) Menganalisis
biaya dan penerimaan, dan (2) Menganalisis pendapatan dan rasio penerimaan dan
biaya. Hasil perhitungan pendapatan atas biaya tunai per ST per tahun dan nilai
R/C rasio yang paling besar diperoleh peternak skala besar. Sementara itu
perhitungan pendapatan atas biaya total per ST per tahun menghasilkan nilai
positif dan nilai R/C rasio lebih dari satu untuk semua skala, sehingga usaha
ternak menguntungkan. Usaha pada peternak skala besar yang lebih baik
dibandingkan skala kecil karena keuntungan yang diperoleh paling besar dan nilai
R/C rasio nya yang paling besar.
Kata kunci: analisis pendapatan, R/C rasio, usaha penggemukan sapi
ABSTRACT
ALFA RYANDA. Keragaan Farming of Bakalan Cattle (Case Study: Farmer and
Breeder Group of Tanjung Lurah, Nagari Salimpauang, Kabupaten Tanah Datar).
Supervised by DWI RACHMINA.
Nagari Salimpauang is located at Kecamatan Salimpauang, Kabupaten
Tanah Datar, West Sumatera Province where the majority of people do fattening
cattle husbandry for living. Meanwhile to develop the business, the breeders face
through several obstacles such as area availability, waste management, input
availability and labor. One of solution to solve those problems is by implementing
supervision with farmer and breeder group of Tanjung Lurah. This study was
aimed to (1) analyze cost and revenue, and (2) analyze profit and ratio of revenue
and cost. Measurement result of profit based on cash cost per livestock unit
(satuan ternak, ST) per year and biggest R/C ratio value were gained by wide–
scale breeder. Otherwise, calculation of profit based on cash cost per ST per year
indicated positive value and R/C ratio values which were more than 1 for every
scales, therefore the business is considered profitable. Business by wide–scale
breeder was better compared to small–scale one because of the most profit
obtained and biggest R/C ratio value.
Keywords: profit analysis, R/C ratio, fattening cattle business
KERAGAAN USAHATANI SAPI BAKALAN
(Studi Kasus : Kelompok Tani Ternak Tanjung Lurah, Nagari
Salimpauang, Kabupaten Tanah Datar,)
ALFA RYANDA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PRAKATA
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas segala berkah dan karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Juni
2013 ini ialah Keragaan Usahatani Sapi Bakalan (Studi Kasus : Kelompok Tani
Ternak Tanjung Lurah, Nagari Salimpauang, Nagari Salimpauang, Kecamatan
Salimpauang, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr.Ir.Dwi Rachmina.MSi selaku
dosen pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan dukungan dalam
penulisan skripsi ini. Selanjutnya, penulis ucapkan kepada Ayah Ir. Adrizal dan
Bunda Ir. Petra sebagai orang tua penulis yang senantiasa memberikan dukungan,
semangat, doa dan kasih sayang kepada penulis. Fadhil Adra sebagai saudara
kandung dari penulis yang telah memberiakan dukungan dan semangat kepada
penulis.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Siti Jahroh, Ph.D dan Ibu Eva
Yolynda Aviny, SP. MM sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan
dan saran pada ujian siding. Disamping itu, terima kasih kepada Bapak Yon Nasri
sebagai ketua kelompok ternak Tanjung Lurah dan beserta anggotanya yang telah
memberikan izin penelitian sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.
Rekan-rekan mahasiswa Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan
Manajemen Institut Pertanian Bogor angkatan 46, serta sahabat-sahabat lainnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi banyak pihak sebagai sumber ilmu dan
informasi.
Bogor, November 2014
Alfa Ryanda
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Pengusahaan Ternak Sapi Potong
Struktur Biaya dan Skala Usaha
Analisis Pendapatan Usaha
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis dan Pengolahan Data
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Karakteristik Nagari Salimpauang
Karakteristik Kelompok Ternak Tanjung Lurah
Karakteristik Responden
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Usaha Ternak Sapi
Analisis Pendapatan Usaha Ternak Sapi
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
xi
xi
xii
1
1
3
3
4
4
4
5
7
8
8
15
17
17
17
17
19
21
21
22
23
26
26
32
36
36
37
38
51
DAFTAR TABEL
1. Laju pertumbuhan sektor pertanian produk domestik bruto atas dasar
harga konstan 2000 menurut lapangan usaha (persen) tahun 20092012a
2. Populasi hewan ternak di Indonesia (000 ekor) tahun 2009-2011a
3. Populasi nasional jenis ternak sapi potong (ekor) tahun 2009-2012a
4. Daftar satuan ternak (ST) beberapa komoditas peternakan Indonesiaa
5. Daftar satuan ternak (ST) pada responden peternak Kelompok Ternak
Tanjung Lurah tahun 2013
6. Rata-rata jumlah kepemilikan ternak sapi pada peternak Kelompok
Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
7. Sebaran responden menurut lama pengusahaan ternak sapi pada
peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
8. Karakteristik umum peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun
2013
9. Rata-rata luas lahan dan kandang yang digunakan peternak
Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
10. Rata-rata jumlah pemberian dan jenis pakan ternak sapi pada
peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
11. Rata-rata jumlah pemberian dan jenis obat-obatan ternak sapi pada
peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
12. Rata-rata penggunaan tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja
luar keluarga (HOK/tahun/ST) pada peternak Kelompok Ternak
Tanjung Lurah tahun 2013
13. Rata-rata jumlah limbah ternak sapi pada peternak Kelompok Ternak
Tanjung Lurah tahun 2013
14. Rata-rata biaya kegiatan usaha ternak sapi per tahun per satuan ternak
(ST) pada peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
15. Rata-rata penerimaan tunai per tahun per satuan ternak (ST) pada
peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
16. Rata-rata pendapatan peternak per tahun per satuan ternak (ST) pada
peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
17. Rata-rata pendapatan rumah tangga per tahun pada peternak
Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
1
2
2
17
18
24
24
25
27
28
29
30
31
33
34
35
36
DAFTAR GAMBAR
1. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional
16
DAFTAR LAMPIRAN
1. Populasi Nasional Jenis Ternak Sapi Potong (ekor) tahun 2009 –
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
2012a
Populasi sapi potong provinsi Sumatera Barat tahun 2011
Jenis, harga, dan jumlah pemberian pakan ternak sapi pada responden
peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
Jenis, harga, dan jumlah pemberian obat-obatan ternak sapi pada
responden peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
Rata-rata biaya penyusutan kandang & peralatan ternak sapi pada
responden peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
Jumlah penjualan dan harga penjualan anakan sapi pada responden
peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
Harga dan jumlah limbah yang dihasilkan ternak sapi pada responden
peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
Dokumentasi penelitian
41
42
43
44
45
46
47
48
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya memiliki mata
pencaharian di sektor pertanian. Sektor pertanian di Indonesia memegang peranan
penting bagi pembangunan ekonomi secara nasional. Khususnya bidang
peternakan ikut berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Laju
pertumbuhan sektor peternakan produk domestik bruto atas dasar harga konstan
2000 menurut lapangan usaha yaitu tahun 2009 sebesar 3.45 %, tahun 2010
sebesar 4.27 %, tahun 2011 4.78 %, dan tahun 2012 sebesar 4.82 %. Rata-rata laju
pertumbuhan sektor pertanian produk domestik bruto atas dasar harga konstan
2000 menurut lapangan usaha khususnya peternakan tahun 2009-2012 adalah 0.46
%. Hal ini berarti sektor pertanian khususnya subsektor peternakan memiliki
potensi untuk dikembangkan (Tabel 1).
Tabel 1
Laju pertumbuhan sektor pertanian produk domestik bruto atas dasar
harga konstan 2000 menurut lapangan usaha (persen) tahun 20092012a
Lapangan Usaha
Tanaman bahan makanan
Tanaman perkebunan
Peternakan
Kehutanan
Perikanan
a
2009
4.97
1.73
3.45
1.82
4.16
2010
1.64
3.49
4.27
2.41
6.04
2011b
1.75
4.47
4.78
0.85
6.96
2012c
2.95
5.08
4.82
0.16
6.48
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, ;bAngka sementara, ; cAngka sangat sementara
Kegiatan pada bidang peternakan meliputi peternakan sapi potong,
peternakan sapi perah, peternakan kuda, peternakan kambing, peternakan domba,
peternakan babi, peternakan ayam buras, peternakan ayam ras petelur, peternakan
ayam ras pedaging, dan peternakan itik. Terdapat 2 jenis populasi ternak secara
umum yaitu populasi hewan ternak besar dan populasi hewan ternak kecil.
Populasi hewan ternak besar antara lain sapi, kerbau, kuda, dan babi. Sedangkan
populasi hewan ternak kecil meliputi kambing, domba, ayam, dan itik.
Populasi hewan ternak Indonesia meningkat setiap tahunnya, kecuali pada
hewan ternak kerbau. Rata-rata populasi hewan ternak Indonesia tahun 2009-2011
mengalami peningkatan sebesar 49 210 500 ekor setiap tahun. Besaran laju
pertumbuhan hewan ternak sapi potong menempati urutan pertama dari populasi
hewan ternak besar, sedangkan populasi hewan ternak ayam ras pedaging pada
populasi hewan ternak kecil (Tabel 2). Oleh sebab itu, kegiatan usaha ternak sapi
potong banyak dijalankan oleh masyarakat.
2
Tabel 2 Populasi hewan ternak di Indonesia (000 ekor) tahun 2009-2011a
Ternak
2009
2010
2011b
Sapi Potong
12 760
13 582
14 824
Sapi Perah
475
488
597
Kerbau
1 933
2 000
1 305
Kuda
399
419
416
Kambing
15 815
16 620
17 483
Domba
10 199
10 725
11 372
Babi
6 975
7 477
7 758
Ayam Buras
249 964
257 544
274 893
Ayam Ras Petelur
99 768
105 201
110 300
Ayam Ras Pedaging
991 281
986 872 1 041 968
Itik
42 318
44 302
49 392
Total
1 431 887 1 445 230 1 530 308
a
Laju (% / tahun)
2.1
0.23
- 0.64
0.02
1.69
1.19
0.79
25.33
10.7
51.5
7.19
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013,; bAngka sangat sementara
Ternak sapi potong merupakan salah satu jenis kegiatan yang banyak
dijalankan oleh masyarakat. Jumlah populasi nasional jenis ternak sapi potong
terbanyak tahun 2009-2012 adalah di pulau Jawa. Sementara pulau Sumatera
menempati urutan kedua (Tabel 3). Selanjutnya, provinsi Sumatera Barat yang
merupakan salah satu sentra peternakan di Indonesia menempati urutan keempat
pada populasi ternak sapi potong di pulau Sumatera dengan rincian tahun 2009
sebanyak 492 272 ekor, tahun 2010 sebanyak 513 255, tahun 2011 sebanyak 327
013, dan tahun 2012 sebanyak 349 001 (Lampiran 1). Oleh sebab itu, diharapkan
provinsi Sumatera Barat dapat menjadi produsen daging sapi terbesar khususnya
di pulau Sumatera bahkan bisa mencapai produsen daging sapi terbesar di
Indonesia.
Tabel 3
Pulau
Populasi nasional jenis ternak sapi potong (ekor) tahun 2009-2012a
2009
2010
2011
Sumatera
2 813 900 2 961 987 2 724 384
Jawa
5 650 365 5 988 337 7 512 273
Kalimantan
562 282
588 698
437 406
Sulawesi
1 664 661 1 816 526 1 790 318
Papua
98 134
115 918
123 260
Lainnya
1 970 496 2 110 105 2 236 732
Total
12 759 838 13 581 571 14 824 373
a
2012b
2 922 653
8 079 382
465 919
1 961 858
136 566
2 467 959
16 034 337
Laju
(% / tahun)
3.32
74.18
-2.94
9.08
1.17
15.19
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 (diolah),; bAngka sementara
Populasi hewan ternak sapi potong di Provinsi Sumatera Barat tidak hanya
berpusat pada wilayah tertentu saja, melainkan tersebar di seluruh kota dan
kabupaten. Penyebarannya paling banyak di kabupaten Pesisir Selatan, kabupaten
Padang Pariaman, kabupaten Limapuluhkota, kabupaten Solok, dan kabupaten
Tanah Datar (Lampiran 2). Sedangkan untuk daerah sentra peternakan sapi potong
3
di provinsi Sumatera Barat yaitu kabupaten Limapuluhkota, kabupaten Tanah
Datar, dan kabupaten Agam. Terdapat banyak kelompok tani yang mengelola
usaha ternak sapi potong pada daerah tersebut. Kelompok tani ini, ada yang
terdaftar secara resmi dan tidak terdaftar secara resmi di Dinas Peternakan
Provinsi Sumatera Barat. Bentuk kegiatan dari kelompok tani tersebut adalah
pembibitan dan sebagian budidaya.
Kelompok ternak Tanjung Lurah merupakan salah satu kelompok tani yang
melaksanakan kegiatan budidaya ternak sapi. Kelompok ini berlokasi di salah satu
daerah sentra peternakan yaitu nagari Salimpauang, kecamatan Salimpauang,
kabupaten Tanah Datar. Pemilihan kelompok ini disebabkan oleh berlokasi di
daerah sentra dan prestasi yang dimiliki. Kelompok ini memiliki banyak prestasi
antara lain memberikan pengetahuan, pengajaran, dan penerapan kepada
anggotanya mengenai biogas, dan pembuatan pakan. Kegiatan dari kelompok ini
adalah penggemukan, pembibitan, biogas, pembuatan pakan, dan pengolahan
kotoran (limbah) ternak menjadi pupuk.
Perumusan Masalah
Kelompok ternak Tanjung Lurah telah menjalankan program kegiatan usaha
ternak berupa penggemukan sapi dan pengolahan limbah. Awal mulanya berdiri
kelompok tani ini adalah adanya niat dari Bapak Yon (ketua) yang ingin
mengelola, mengembangkan, dan mengajak masyarakat sekitar Jorong Nan II
Suku, Nagari Salimpauang. Pada awalnya, Bapak Yon ini hanya merupakan
peternak sapi biasa yang memelihara dan menggembala sapi milik orang lain.
Sistem bagi hasil dari sistim pemeliharaan sapi yang dilakukan ini adalah
mendapatkan anakan sapi pertama. Selanjutnya, kelompok ini terdapat perbedaan
yang mencolok yaitu peternak skala kecil dan peternak skala besar. Perbedaan ini
didapatkan berdasarkan rata-rata jumlah kepemilikan sapi pada masing-masing
anggota kelompok.
Upaya penerapan kegiatan usaha ternak yang maksimal di kelompok
tersebut dihadapkan pada berbagai kendala yaitu lahan, tenaga kerja, dan
ketersediaan input. Luas lahan yang sempit sebesar 0.25 hektar yang dimiliki
merupakan kendala bagi kelompok dan anggota karena dapat tersendatnya modal.
Tingkat pengetahuan dan pengalaman peternak merupakan kendala dalam
menjalankan program kelompok ini.
Berdasarkan gambaran permasalahan yang terjadi di kelompok tani ternak
Tanjung Lurah, Nagari Salimpauang, Kabupaten Tanah Datar ini dapat dilakukan
perhitungan dan analisis untuk mengetahui seberapa besar perbedaan pada
masing-masing keragaan usahatani. Uraian tersebut, yang menjadi rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah dapat menghasilkan keuntungan atau tidak
pada kegiatan usahaternak yang dilakukan kelompok ternak Tanjung Lurah.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan
penelitian ini adalah:
4
1. Menganalisis biaya dan penerimaan peternak sapi bakalan di kelompok ternak
Tanjung Lurah, Nagari Salimpauang, Kabupaten Tanah Datar
2. Menganalisis pendapatan dan rasio penerimaan dan biaya peternak sapi
bakalan di kelompok ternak Tanjung Lurah, Nagari salimpauang, Kabupaten
Tanah Datar ?
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan bagi
semua pihak yang terkait, yaitu:
1. Bagi masyarakat dan para pelaku kegiatan agribisnis, diharapkan dapat
menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan
2. Sebagai bahan informasi dan rujukan untuk penelitian selanjutnya
3. Sebagai sarana bagi penulis untuk menerapkan teori yang selama ini diperoleh
saat kuliah terhadap permasalahan yang timbul di masyarakat.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi oleh:
1. Komoditi yang diteliti adalah ternak sapi dan objek penelitian adalah peternak
pada kelompok ternak Tanjung Lurah di nagari Salimpauang, kabupaten Tanah
Datar, provinsi Sumatera Barat
2. Analisis yang dipakai adalah pendapatan usahatani dan nilai R/C rasio dari sapi
tersebut dan terbatas hanya pada 1 tahun.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Pengusahaan Ternak Sapi Potong
Ternak sapi sebagai salah satu ternak besar khususnya di Indonesia yang
telah lama diusahakan oleh peternak. Ternak sapi memiliki manfaat yang lebih
luas dan bernilai ekonomis lebih besar daripada ternak lain. Usaha ternak sapi
merupakan usaha yang lebih menarik sehingga mudah merangsang pertumbuhan
usahanya. Hal ini bisa dibuktikan dengan perkembangan ternak sapi di Indonesia
lebih maju daripada ternak besar ataupun kecil lainnya.
Usaha ternak merupakan suatu proses mengkombinasikan faktor-faktor
produksi berupa lahan, ternak, tenaga kerja, dan modal untuk menghasilkan
produk peternakan. Keberhasilan usaha ternak sapi bergantung pada tiga unsur,
yaitu bibit, pakan, dan manajemen atau pengolaan. Manajemen mencakup
pengelolaan perkawinan, pemberian pakan, perkandangan dan kesehatan ternak.
Manajemen juga mencakup penanganan hasil ternak, pemasaran dan pengaturan
tenaga kerja.
5
Jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia saat ini adalah sapi asli
Indonesia dan sapi yang diimpor dari negara lain. Jenis-jenis sapi potong ini
masing-masingnya mempunyai sifat dan ciri tertentu, baik ditinjau dari bentuk
luarnya, ukuran tubuh, warna bulu, maupun dari genetiknya (laju
pertumbuhannya).
Adapun sapi potong yang dibudidayakan di Indonesia berasal dari sapi yang
diimpor meliputi sapi Simental dan sapi Brahman. Sapi Simental yang berasal dari
Swiss memiliki ciri bertanduk kecil, bulu berwarna coklat muda atau kekuningkuningan, serta pada bagian muka, lutut ke bawah, jenis gelambir dan ujung ekor
berwarna putih. Sedangkan sapi Brahman yang berasal dari india merupakan jenis
sapi potong yang banyak di kembangkan di negara Amerika.
Menurut Murtidjo (1989), pemeliharaan sapi potong pada dasarnya dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Usaha pemeliharaan sapi potong bertujuan untuk pengembangbiakan sapi
potong. Keuntungan yang diharapkan adalah keturunannya,
2. Usaha pemeliharaan sapi potong bakalan bertujuan memelihara sapi potong
dewasa, untuk selanjutnya digemukkan. Keuntungan yang diharapkan adalah
hasil penggemukan.
Secara garis besar ada dua bentuk usaha tani yang telah dikenal yaitu
usaha tani keluarga (family farming) dan perusahaan pertanian (plantation, estate,
enterprise). Pada umumnya yang dimaksud usaha tani adalah usaha keluarga
sedangkan yang lain adalah perusahaan pertanian. Faktor-faktor yang menjadi
peluang industri peternakan sapi potong di daerah padat penduduk, antara lain
adalah sumberdaya manusia, pakan hijauan, hasil pertanian lain, keragaman jenis
sapi, sarana/prasarana angkutan, dan sarana/prasarana komunikasi.
Struktur Biaya dan Skala Usaha
Menurut Rahim dan Hastuti (2008), pengeluaran usahatani sama artinya
dengan biaya usahatani. Biaya ini merupakan pengorbanan yang dilakukan oleh
produsen (petani, nelayan, peternak) dalam mengelola usahanya untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam hal ini, disebut usahatani untuk petani,
melaut untuk nelayan dan beternak untuk peternak. Biaya terbesar yang
dikeluarkan dalam proses produksi ialah biaya variabel, terutama biaya pakan dan
biaya tenaga kerja.
Termasuk ke dalam unsur-unsur pengeluaran usahatani adalah pembelian
sarana produksi, upah buruh tani, sewa temak kerja atau traktor, sewa alat-alat,
bangunan dan lahan, pembelian alat-alat, perbaikan alat-alat, ongkos
pengangkutan, pembayaran angsuran pokok kredit dan bunganya, pembayaran
pajak, dan sumbangan-sumbangan wajib lainnya, dan pengurangan nilai inventori.
Skala usaha dapat diterjemahkan sebagai ukuran usaha berdasarkan satuan
jumlah ternak produktif. Skala usaha yang optimum bagi seorang pengusaha
peternak, yang ditentukan oleh salah satu atau keseluruhan faktor produksi yang
dikuasai seperti tenaga kerja keluarga, ketersediaan lahan. Sedangkan faktor
umum penentuan skala usaha yang optimum ditentukan oleh efisiensi biaya dan
harga.
6
Saragih (2000) mengklasifikasikan tipologi usaha berdasarkan skala usaha
dan tingkat pendapatan peternak menjadi 4 kelompok sebagai berikut :
1) Peternakan sebagai usaha sambilan, petani yang mengusahakan berbagai
macam komoditi pertanian terutama pangan, dimana ternak sebagai usaha
sambilan untuk mencukupi kebutuhan sendiri (subsisten), dengan tingkat
pendapatan dari usahaternak kurang dari 30 persen.
2) Peternakan sebagai cabang usaha, peternak yang mengusahakan pertanian
campuran (mixed farming) dengan ternak sebagai cabang usahatani dengan
tingkat pendapatan yang berasal dari budidaya peternakan 30-70 persen (semi
komersial atau usaha terpadu).
3) Peternakan sebagai usaha pokok, peternak mengusahakan ternak sebagai
usaha pokok dan komoditi pertanian lainnya sebagai usaha sambilan (single
commodity) dengan tingkat pendapatan dari ternak sekitar 70 persen sampai
100 persen.
4) Peternakan sebagai usaha industri, peternak sebagai usaha industry
mengusahakan komoditas ternak secara khusus (specialized farming) dengan
tingkat pendapatan 100 persen dari usaha peternakan (komoditi pilihan).
Hasil penelitian Prajogo dan Ilham (2002) menunjukkan bahwa skala usaha
kepemilikan ternak sapi potong di Kabupaten Grobogan dan Wonosobo, rata-rata
pemilikan sapi induk berkisar 1-3 ekor/petani. Hal serupa juga terjadi di
kabupaten-kabupaten lain, seperti Lampung Tengah, Lamongan, Magetan,
Lombok Barat, dan Maros. Daerah dengan pola pemeliharaan sapi secara
ekstensif atau dilepas, pemilikan sapi potong bisa mencapai ratusan ekor, seperti
di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Sumba Timur di Nusa Tenggara Timur
dan Barru di Sulawesi Selatan.
Kecilnya skala usaha pemeliharaan sapi di daerah intensif disebabkan
peternakan merupakan usaha yang dikelola oleh rumah tangga petani, dengan
modal, tenaga kerja, dan manajemen yang terbatas. Kecilnya pemilikan ternak
juga karena umumnya usaha pembibitan atau penggemukan merupakan usaha
sampingan, selain usaha tani utama seperti padi, palawija, sayuran atau tanaman
perkebunan. Daerah pertanian ekstensif, cukup besarnya skala usaha disebabkan
padang rumput untuk penggembalaan cukup tersedia, sehingga kebutuhan tenaga
kerja dan biaya pakan dapat dikatakan hampir mendekati nol.
Capah (2008), melakukan penelitian mengenai pendapatan usahaternak sapi
perah di KUD Mandiri Cipanas, Kabupaten Bogor. Peternak responden dibagi
menjadi tiga skala yaitu skala I (kecil), skala II (sedang) dan skala III (besar).
Hasil penelitian menunjukan bahwa struktur biaya tetap pada ketiga skala adalah
sama, dengan biaya terbesar adalah biaya penyusutan ternak. Struktur biaya
variabel terbesar pada skala I adalah biaya tenaga kerja, sedangkan struktur biaya
variabel terbesar pada skala II dan III adalah biaya pakan. Semakin besar skala
usaha ternak sapi perah maka biaya produksi rata-rata per liter susu akan menjadi
semakin kecil dan semakin besar skala usaha ternak, maka semakin tinggi pula
tingkat penerimaannya.
Penelitian yang membahas hubungan struktur biaya dengan skala usaha
telah dilakukan oleh Bantani (2004), pada penelitiannya mengenai usaha
pemotongan ayam tradisional di Kelurahan Kebon Pedes, Bogor. Responden yang
diteliti dalam penelitian ini berjumlah 37 responden dengan proporsi 21 orang
7
merupakan kriteria Pemotong I dan 16 orang merupakan kriteria Pemotong II.
Hasil penelitiannya menunjukan bahwa biaya total per kg pada Pemotong I
semakin kecil pada setiap peningkatan skala usaha. Sedangkan pada Pemotong II
peningkatan skala usaha tidak mempengaruhi pada biaya total per kg usaha. Hal
ini terjadi karena biaya pembelian ayam hidup yang merupakan komponen biaya
terbesar usaha pemotongan ayam tradisional di Kelurahan Kebon Pedes pada
Pemotong II lebih besar dibanding Pemotong I, sedangkan harga jual produk
sama. Persentase biaya variabel berdasarkan skala usaha semakin besar seiring
dengan peningkatan skala usahanya, sedangkan persentase biaya tetap semakin
menurun.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut,
terdapat keterkaitan antara skala usaha dengan struktur biaya. Keterkaitan tersebut
terjadi karena struktur biaya sangat dipengaruhi oleh skala usaha. Secara umum
dapat dikatakan bahwa peningkatan skala usaha akan berakibat pada struktur
biaya yang lebih rendah untuk tiap unit satuan hasil produksi. Skala usaha yang
besar, secara teoritis akan dapat menghasilkan economies of scale yang tinggi.
Analisis Pendapatan Usaha
Analisis pendapatan berguna untuk mengetahui dan mengukur apakah
kegiatan usaha yang dilakukan berhasil atau tidak. Tujuan dilakukan analisis
pendapatan adalah untuk menggambarkan keadaan sekarang dari suatu kegiatan
dan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Tingkat
pendapatan usahaternak dipengaruhi oleh keadaan harga faktor produksi dan
harga hasil produksi, selain dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan ternak
yang dilakukan oleh peternak. Jumlah yang dijual (termasuk yang digunakan
untuk keperluan sendiri) dikalikan dengan harga, itulah yang disebut penerimaan.
Bila penerimaan dikurangi dengan biaya produksi hasilnya dinamakan pendapatan
(Rasyaf, 1996).
Menurut Tjakrawiralaksana (1983), penerimaan-penerimaan usahatani
mencakup banyak hal, yaitu tidak saja penerimaan yang diperoleh langsung dari
penjualan produksi, tetapi juga termasuk penerimaan-penerimaan yang berasal
dari hasil menyewakan dan atau penjualan benda-benda modal yang kelebihan
atau tidak terpakai lagi, menyewakan tenaga temak, dan penambahan nilai
inventori. Selain macam - macam penerimaan seperti yang tersebut tadi, masih
ada penerimaan lain yang seringkali tidak diperhitungkan, yaitu penerimaan
dalam bentuk fasilitas yang diterima petani dan keluarga dari usahataninya sendiri
(fasilitas menempati tempat tinggal, fasilitas menggunakan kendaran kalau ada,
dan fasilitas menggunakan produksi usahatani untuk konsumsi), penerimaan
dalam bentuk hadiah, dan subsidi dari pemerintah.
Untuk memperoleh ukuran pendapatan dan keuntungan usahatani menurut
Soekartawi et al. (1986) ada beberapa istilah yang harus dipahami. Pertama,
pendapatan kotor usahatani (gross farm income) didefinisikan sebagai nilai
produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu baik yang dijual maupun yang
tidak dijual. Istilah lain untuk pendapatan kotor usahatani ialah nilai produksi
(value of production) atau penerimaan kotor usahatani (gross return). Kedua,
pengeluaran total usahatani (total farm expenses) didefinisikan sebagai nilai
semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam produksi, tetapi tidak
8
termasuk tenaga keIja keluarga petani. Terakhir, selisih antara pendapatan kotor
usahatani dan penge1uaran total usahatani disebut pendapatan bersih usahatani
(net farm income).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2009) mengenai analisis
pendapatan peternak sapi potong di Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat
menunjukkan rata-rata pendapatan yang diterima peternak sebesar Rp 7 229
989/tahun. Rincian pengusahaannya sebagai berikut rata-rata jumlah ternak 2.91
ST (Satuan Ternak), rata-rata luas kandang 18.15 m2, rata-rata total biaya
produksi Rp 3 100 746/tahun, dan rata-rata total penerimaan Rp 10 335 735/tahun.
Analisis mengenai pendapatan usaha ternak dilakukan oleh Hertika (2009)
dengan komoditi sapi perah di Perusahaan X, Bogor. Penelitian ini mencoba
mengkaji tentang besar pendapatan, nilai R/C rasio, serta nilai titik impas pada
Perusahaan X, Bogor. Total biaya variabel dan biaya tetap yang dikeluarkan
Perusahaan X, Bogor, masing-masing sebesar Rp 378 510 065 dan Rp 338 473
671. Total penerimaan perusahaan adalah Rp 965 570 080, sehingga total
pendapatan Perusahaan X selama satu tahun sebesar Rp 248 586 344.
Nilai R/C rasio perusahaan adalah 1.35 yang dapat diartikan setiap rupiah
yang digunakan untuk kegiatan usaha akan memberikan penerimaan sebesar Rp
1.35. Untuk titik impas, yaitu saat dimana biaya sama dengan penerimaan, adalah
saat produksi susu sebesar 13,23 liter/ekor/hari dan saat induk yang dipelihara
sebanyak 49 ekor. Saat ini produksi susu Perusahaan X sebesar 14,99
liter/ekor/hari dan induk sapi yang dipelihara sebanyak 72 ekor. Berdasarkan hal
tersebut maka dapat dikatakan Perusahaan X memperoleh keuntungan.
Tingkat penerimaan, pengeluaran, dan pendapatan usaha ternak sapi potong
dengan rata - rata pemeliharan 0.59 satuan ternak (ST) di Kecamatan Cibalong,
Tasikmalaya, Jawa Barat masing-masing adalah Rp 1 809 512.82; Rp 477 213.99
dan Rp 1 323 298.83 untuk setiap responden per tahun (Rozana, 1998). Untuk
mengetahui tingkat keuntungan dari suatu usaha dapat dilakukan penghitungan
R/C rasio yaitu perbandingan total penerimaan dan total pengeluaran. Hasil
penelitian Rozana (1998) di Kecamatan Cibalong, Tasikmalaya dapat diketahui
bahwa semua R/C rasio total untuk usahatani, usahaternak sapi potong, dan
diversifikasi keduanya bernilai lebih besar dari 1. R/C rasio total untuk usahatani
2.94, untuk usaha ternak 3.79 dan diversifikasi 3.56. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa masing-masing cabang usaha bila dipisah maupun digabung layak
dikembangkan.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Konsep Usahatani
Usahatani adalah himpunan dari sumber-sumber alam yang diperlukan
untuk produksi pertanian, seperti tubuh tanah dan air, perbaikan-perbaikan yang
telah dilakukan atas tanah air itu, sinar matahari, bangunan-bangunan yang telah
dilakukan atas tanah dan sebagainya (Mosher 1966). Usahatani dapat berupa
usaha bercocok tanam atau memelihara ternak (Mubyarto, 1995). Pada umumnya,
ciri-ciri usahatani yang ada di Indonesia berlahan sempit, permodalan terbatas,
9
tingkat pengetahuan petani yang terbatas dan kurang dinamik, serta pendapatan
petani yang rendah (Soekartawi et al. , 1986).
Mubyarto (1995) membagi bidang pertanian menjadi dua, yaitu usahatani
pertanian rakyat dan perusahaan pertanian. Ditinjau dari segi ekonomi, pertanian
rakyat sebagai pertanian keluarga (pertanian sub sistem atau setengah sub sistem),
sedangkan perusahaan pertanian adalah perusahaan pertanian yang diusahakan
sepenuhnya secara komersil.
Dalam pertanian rakyat, hampir tidak ada usahatani yang memproduksi satu
macam hasil saja. Disamping hasil-hasil tanaman, usaha pertanian rakyat meliputi
usaha-usaha peternakan, perikanan, dan usaha pencarian hasil hutan. Usahatani
umumnya diusahakan dengan tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan hidup
(subsistensi) petani dan keluarganya. Faktor-faktor produksi atau modal yang
digunakannya sebagian besar berasal dari dalam usahatani sendiri (Mubyarto,
1995).
Rahim dan Diah (2008) menyatakan bahwa usahatani merupakan ilmu yang
mempelajari tentang cara petani mengelola input atau faktor-faktor produksi
(tanah, tenaga kerja, modal, teknologi, pupuk, benih dan pestisida) dengan efektif,
efisien dan berkelanjutan untuk dapat menghasilkan produksi yang tinggi
sehingga pendapatannya dapat meningkat. Dikatakan efisien bila petani dapat
mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki dengan sebaik-baiknya dan dikatakan
efektif bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output).
Hernanto (1995) menyatakan bahwa keberhasilan usahatani dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu faktor-faktor pada usahatani itu sendiri (internal) dan
faktor-faktor di luar usahatani (eksternal). Adapun faktor internal antara lain para
petani pengelola, lahan, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, jumlah keluarga,
dan kemampuan petani dalam mengaplikasikan penerimaan keluarga. Sedangkan
faktor eksternal yang berpengaruh pada keberhasilan usahatani adalah tersedianya
sarana transportasi dan komunikasi, aspek-aspek yang menyangkut pemasaran
hasil dan bahan usahatani (harga jual, harga saprodi, dan lain-lain), fasilitas kredit,
dan sarana penyuluhan bagi petani.
Suratiyah (2006) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang bekerja dalam
usahatani baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu:
1. Alam
Alam merupakan faktor yang sangat menentukan usahatani. Sampai dengan
tingkat tertentu manusia telah berhasil mempengaruhi faktor alam. Namun, pada
batas selebihnya faktor alam adalah penentu dan merupakan sesuatu yang harus
diterima apa adanya. Faktor alam dapat dibedakan menjadi dua, yakni faktor tanah
dan lingkungan alam sekitarnya. Faktor tanah misalnya jenis tanah dan kesuburan.
Faktor alam sekitar yakni iklim yang berkaitan dengan ketersediaan air, suhu dan
lain sebagainya. Alam mempunyai berbagai sifat yang harus diketahui karena
usaha pertanian adalah usaha yang peka terhadap pengaruh alam.
Iklim sangat menentukan komoditas yang akan diusahakan, baik tanaman
maupun ternak. Komoditas yang diusahakan harus cocok dengan iklim setempat
agar produktivitasnya tinggi dan memberikan manfaat yang lebih baik bagi
manusia. Iklim juga dapat berpengaruh pada cara mengusahakan serta teknologi
yang cocok dengan iklim tersebut. Tanah sebagai faktor alam juga sangat
menentukan keberhasilan usahatani. Ada tanah pasir yang sangat porous, ada
10
tanah kuarsa yang berbutir halus, tanah liat yang susah penggarapannya pada
waktu kering karena keras, ada tanah yang gembur dan subur sehingga sangat
menguntungkan. Pada tanah yang ringan tenaga kerja dapat dimanfaatkan secara
lebih baik. Penggarapan juga harus dilakukan lebih berat pada tanah keras.
Tanah merupakan faktor produksi yang penting karena tanah merupakan
tempat tumbuhnya tanaman, ternak dan usahatani keseluruhannya. Tentu saja
faktor tanah tidak terlepas dari pengaruh alam sekitarnya, yaitu: sinar matahari,
curah hujan, angin dan sebagainya. Tanah mempunyai sifat istimewa, antara lain:
bukan barang produksi, tidak dapat diperbanyak dan tidak dapat dipindah-pindah.
2. Tenaga Kerja
Tenaga kerja adalah salah satu unsur penentu, terutama bagi usahatani yang
sangat tergantung musim. Kelangkaan tenaga kerja berakibat mundurnya
penanaman sehingga berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, produktivitas dan
kualitas produk. Tenaga kerja merupakan faktor penting dalam usahatani keluarga
(family farms), khususnya tenaga kerja petani beserta anggotanya keluarganya.
Rumah tangga tani yang umumnya sangat terbatas kemampuannya dari segi
modal, peranan tenaga kerja keluarga sangat menentukan. Jika masih dapat
diselesaikan oleh tenaga kerja keluarga sendiri maka tidak perlu mengupah tenaga
luar, yang berarti dapat menghemat biaya usahatani.
Baik pada usahatani keluarga maupun perusahaan pertanian peranan tenaga
kerja belum sepenuhnya dapat diatasi dengan teknologi yang menghemat tenaga
(teknologi mekanis). Hal ini dikarenakan selain mahal, juga ada hal-hal tertentu
yang memang tenaga kerja manusia tidak dapat digantikan. Peranan anggota
keluarga yang lain sebagai tenaga kerja beserta tenaga luar yang diupah.
Beberapa hal yang membedakan antara tenaga kerja keluarga dan tenaga
luar, antara lain: komposisi menurut umur, jenis kelamin, kualitas dan kegiatan
kerja (prestasi kerja). Kegiatan kerja tenaga luar sangat dipengaruhi sistem upah,
lamanya waktu kerja, kehidupan sehari-hari, kecakapan dan umur tenaga kerja.
Kebutuhan tenaga kerja dapat diketahui dengan cara menghitung setiap kegiatan
tiap komoditas yang diusahakan, kemudian dijumlahkan untuk seluruh usahatani.
Kebutuhan tenaga kerja berdasarkan jumlah tenaga kerja keluarga yang tersedia
dibandingkan dengan kebutuhannya. Jika terjadi kekurangan berdasarkan
penghitungan maka tenaga luar keluarga dapat digunakan.
Satuan yang sering dipakai dalam perhitungan kebutuhan tenaga kerja
adalah man days atau HOK (hari orang kerja) dan jam orang kerja. Pemakaian
HOK ada kelemahannya karena masing-masing daerah berlainan (satu HOK di
daerah B belum tentu sama dengan satu HOK di daerah A) bila dihitung jam
kerjanya. Seringkali dijumpai upah borongan yang sulit dihitung, baik HOK
maupun jam orang kerja-nya. Banyaknya tenaga kerja yang diperlukan untuk
mengusahakan satu jenis komoditas per satuan luas dinamakan intensitas tenaga
kerja.
3. Modal
Modal adalah syarat mutlak berlangsungnya sebuah usaha, demikian pula
dengan usahatani. Penggolongan modal ini akan semakin rancu jika yang
dibicarakan adalah usahatani keluarga. Dalam usahatani keluarga cenderung
11
memisahkan faktor tanah dari alat-alat produksi yang lain. Hal ini dikarenakan
belum ada pemisahan yang jelas antara modal usaha dan modal pribadi.
Tanah, alam sekitarnya, dan tenaga kerja adalah faktor produksi asli,
sedangkan modal dan peralatan merupakan substitusi faktor produksi tanah dan
tenaga kerja. Dengan modal dan peralatan, faktor produksi tanah dan tenaga kerja
dapat memberikan manfaat yang jauh lebih baik bagi manusia. Dengan modal dan
peralatan maka penggunaan tanah dan tenaga kerja juga dapat dihemat. Oleh
karena itu, modal dapat dibagi menjadi dua, yaitu land saving capital dan labour
saving capital. Modal dikatakan land saving capital jika dengan modal tersebut
dapat menghemat penguasaan lahan, tetapi produksi dapat dilipatgandakan tanpa
harus memperluas areal. Contohnya pemakaian pupuk, bibit unggul, pestisida, dan
intensifikasi. Modal dikatakan labour saving capital jika dengan modal tersebut
dapat menghemat penggunaan tenaga kerja. Contohnya pemakaian traktor untuk
membajak, mesin penggiling padi (Rice Milling Unit, RMU) untuk memproses
padi menjadi beras, pemakaian thresher untuk penggabahan, dan sebagainya.
Dalam arti ekonomi perusahaan, modal adalah barang ekonomi yang dapat
dipergunakan untuk memproduksi kembali atau modal adalah barang ekonomi
yang dapat dipergunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan pendapatan.
Pengertian tanah bukan modal atau modal sebenarnya lebih difokuskan pada
perhitungan biaya usahatani (biaya tunai dan biaya diperhitungkan). Jika tanah
dihitung sebagai modal maka bunga atas tanah dimasukkan dalam perhitungan
usahatani. Namun, dalam usahatani keluarga pengeluaran bunga tanah tidak
kelihatan karena termasuk dalam pendapatan usahatani. Bunga tanah baru
kelihatan jika ingin mencari keuntungan usahatani, bukan pendapatan usahatani.
4. Pengelolaan atau Manajemen
Faktor produksi usahatani pada dasarnya adalah tanah dan alam sekitarnya,
tenaga kerja, modal serta peralatan. Namun, beberapa pendapat memasukkan
manajemen sebagai faktor produksi keempat walaupun tidak langsung.
Manajemen sebenarnya melekat pada tenaga kerja. Petani sebagai manajer atau
peran petani sebagai manajer, meliputi:
- Aktivitas Teknis
a) Memutuskan akan memproduksi apa dan bagaimana caranya
b) Memanfaatkan lahan
c) Membuat gambaran tentang teknologi dan peralatan yang akan digunakan
serta implikasinya pada penggunaan tenaga kerja
d) Menentukan skala usaha.
- Aktivitas Komersial
a) Menghitung berapa dan apa saja input yang dibutuhkan baik yang telah
dipunyai maupun yang akan dicari
b) Menentukan kapan, dari mana, dan berapa jumlah input yang diperoleh
c) Meramalkan penggunaan input dan produksi yang akan diperoleh
d) Menentukan pemasaran hasil, kepada siapa, di mana, kapan, dan kualitas
produksi atau hasil.
- Aktivitas Finansial
a) Mendapatkan dana sendiri, dari pinjaman kredit bank atau kredit lain
b) Menggunakan dana untuk memperoleh pendapatan dan keuntungan
12
c) Meramalkan kebutuhan dana untuk jangka panjang yang akan dating
(investasi untuk penggantian alat-alat atau perluasan usaha).
- Aktivitas Akuntansi
a) Membuat catatan tentang semua transaksi baik bisnis maupun pajak
b) Membuat laporan
c) Menyimpan data tentang usahanya.
Berdasarkan aktivitas-aktivitas tersebut, petani jelas sebagai manajer
dituntut mempunyai pengetahuan, pengalaman dan keterampilan usaha yang
terbaik. Manajemen yang melekat pada tenaga kerja akan sangat menentukan
bagaimana kinerjanya dalam usatani. Dengan manajemen yang berbeda meskipun
segala input sama akan diperoleh hasil yang berbeda. Dengan kata lain,
keberhasilan usahatani sangat tergantung pada upaya dan kemampuan manajer.
Manajemen adalah suatu seni (art) maka sulit untuk mengkuantifikasinya.
Menurut Kay dan Edwards (1994), manajemen usahatani menyangkut
keputusan yang mempengaruhi keuntungan dari bisnis usahatani. Dalam sistem
keuangan usahatani, ada tiga macam aktivitas bisnis yang harus dimasukkan.
Pertama, aktivitas produksi. Transaksi keuangan untuk kegiatan produksi
berhubungan dengan produksi tanaman dan ternak. Kedua, kegiatan investasi.
Kegiatan ini berhubungan dengan pembelian, penyusutan (depresiasi) dan
penjualan kekayaan (aset) berusia lama, misalnya lahan, gedung, mesin dan
pemeliharaan ternak. Ketiga, kegiatan pembiayaan, yaitu semua transaksi yang
berhubungan dengan peminjaman uang dan pembayaran bunga serta segala
macam utang pokok.
Usahatani atau usaha peternakan mempunyai beberapa ciri khas yang
mempengaruhi prinsip-prinsip manajemen dan teknik-teknik yang digunakan.
Usahatani dan usaha peternakan sering dianggap sebagai usaha yang lebih banyak
resikonya dalam hal output dan perubahan harga serta pengaruh cuaca terhadap
keseluruhan proses produksi (Kay dan Edwards, 1994).
Dalam usahatani dan usaha peternakan, pembagian kerja dan tugas
manajemen jarang dilakukan, kecuali untuk skala usaha besar (Kay dan Edwards,
1994). Petani dalam usahatani tidak hanya menyumbangkan tenaga saja, tetapi
lebih dari itu. Dia adalah pemimpin (manager) usahatani yang mengatur
organisasi produksi secara keseluruhan (Mubyarto, 1995).
Konsep Biaya Usahatani
Biaya usahatani adalah biaya yang digunakan untuk menghitung berapa
pendapatan kerja petani ketika modal dan nilai kerja keluarga diperhitungkan.
Biaya total usahatani adalah semua input yang habis terpakai atau dikeluarkan
didalam produksi (Soekartawi 2002). Menurut Hernanto (1995) ada empat
kategori biaya, yaitu:
Biaya usahatani merupakan pengorbanan yang dilakukan oleh produsen
(petani) dalam mengelola usahanya dalam mendapatkan hasil yang maksimal.
Biaya usahatani dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: biaya tunai dan biaya tidak
tunai (diperhitungkan). Biaya tunai adalah semua biaya yang dibayarkan dengan
uang, seperti biaya pembelian sarana produksi (bibit, pupuk dan obat) dan upah
tenaga kerja luar keluarga. Biaya yang diperhitungkan digunakan untuk
13
menghitung pendapatan petani yang sebenarnya dengan memperhitungkan
penyusutan alat dan nilai tenaga kerja dalam keluarga.
Soekartawi (2002) mengemukakan bahwa biaya usahatani adalah semua
pengeluaran yang dipergunakan dalam suatu usahatani. Biaya usahatani biasanya
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: (a) biaya tetap (fixed cost); dan (b) biaya tidak
tetap (variable cost). Mubyarto (1995) mengungkapkan bahwa biaya tetap adalah
jenis biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi,
misalnya sewa atau bunga tanah yang berupa uang. Biaya lain-lainya pada
umumnya termasuk biaya variabel karena besar kecilnya berhubungan langsung
dengan besarnya produksi, misalnya: pengeluaran-pengeluaran untuk bibit, biaya
persiapan dan pengolahan tanah. Pajak dapat merupakan biaya tetap kalau
besarnya ditentukan berdasarkan luas tanah (pajak tanah). Tetapi kalau pajak itu
berupa iuran pembangunan daerah (Ipeda) yang besarnya misalnya ditentukan
lima persen dari hasil produksi netto, maka biaya itu termasuk biaya variabel.
Pengertian biaya tetap dan variabel ini hanya pengertian jangka pendek, sebab
dalam jangka panjang biaya tetap dapat menjadi biaya variabel, misalnya: sewa
tanah, alat-alat pertanian dan bangunan dapat berubah.
Biaya tunai dan biaya diperhitungkan (tidak tunai) berasal dari biaya tetap
dan biaya variabel. Biaya tetap yang termasuk dalam biaya tunai adalah iuran
irigasi dan tanah. Sedangkan untuk biaya variabel, yaitu biaya input produksi dan
biaya tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Biaya diperhitungkan yang merupakan
biaya tetap adalah biaya penyusutan. Biaya diperhitungkan yang merupakan biaya
variabel adalah biaya untuk tenaga kerja dalam keluarga (TKDK).
Konsep Penerimaan Usahatani
Menurut Soekartawi et al (1986), menyatakan bahwa penerimaan tunai
usahatani adalah sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk
usahatani. Sedangkan mengenai bentuk penerimaan usahatani menurut Hernanto
(1995) dapat menggambarkan tingkat kemajuan ekonomi usahatani dalam
spesialisasi dan pembagian kerja. Besarnya proporsi penerimaan tunai dari total
penerimaan termasuk natura dapat digunakan sebagai perbandingan keberhasilan
petani satu terhadap petani yang lain.
Soekartawi (2002), mendefinisikan penerimaan usahatani dikaitkan dengan
sistematis perhitungan yang menyatakan bahwa penerimaan usahatani adalah
perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan tersebut
dapat dirumuskan sebagai berikut :
TR = Y . Py
Keterangan :
TR = Total penerimaan
Y = Produksi yang diperoleh dalam usahatani
Py = Harga Y
Oleh karena itu, dalam menghitung total penerimaan usahatani perlu
dipisahkan, yaitu antara analisis parsial usahatani dan analisis keseluruhan
usahatani. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menghitung penerimaan
usahatani adalah sebagai berikut :
14
1. Hati-hati dalam menghitung produksi pertanian, karena tidak semua produksi
pertanian itu dapat dipanen secara serentak.
2. Hati-hati dalam menghitung penerimaan, karena: (a) Produksi mungkin dijual
beberapa kali, sehingga diperlukan data frekuensi penjualan; (b) Produksi
mungkin dijual beberapa kali pada harga jual yang berbeda-beda. Jadi,
disamping frekuensi penjualan yang perlu diketahui juga harga jual pada
masing-masing penjualan tersebut.
3. Bila penelitian usahatani ini menggunakan responden petani, maka diperlukan
teknik wawancara yang baik untuk membantu petani mengingat kembali
produksi dan hasil penjualan yang diperolehnya selama setahun terakhir.
Pemilihan waktu setahun terakhir ini biasanya sering dipakai oleh para peneliti
untuk memudahkan perhitungan.
Konsep Pendapatan Usahatani
Pendapatan usahatani dilakukan untuk menghitung seberapa besar
penerimaan yang diterima petani dalam berusahatani yang dikurangi dengan
biaya. Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk mengukur keberhasilan
usahatani. Dengan adanya analisis pendapatan usahatani petani dapat mengetahui
gembaran keadaan aktual usahatani sehingga dapat melakukan evaluasi dengan
perencanaan kegiatan usahatani pada masa yang akan datang.
Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dengan semua biaya
(Soekartawi 2002). Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk mengetahui
keberhasilan usahatani dilihat dari pendapatan yang diterima petani. pendapatan
secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
π = TR – TC
Keterangan :
π
= pendapatan usahatani
TR
= total penerimaan
TC
= total biaya
Terdapat beberapa istilah yang dipergunakan dalam menganalisis
pendapatan usahatani menurut Soekartawi et al. (1986), diantaranya:
1. Penerimaan tunai usahatani merupakan nilai yang diterima dari penjualan
produk usahatani.
2. Pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk
pembelian barang dan jasa bagi usahatani.
3. Pendapatan tunai usahatani adalah produk usahatani dalam jangka waktu
tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual.
4. Pengeluaran total usahatani merupakan nilai semua yang habis terpakai atau
dikeluarkan dalam kegiatan produksi termasuk biaya yang diperhitungkan.
5. Pendapatan total usahatani adalah selisih antara penerimaan kotor usahatani
dengan pengeluaran total usahatani.
Selain pengertian diatas pendapatan juga dapat diartikan sebagai sisa dari
pengurangan nilai penerimaan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan.
Pendapatan yang diharapkan tentu saja memiliki nilai positif dan semakin besar
nilainya maka semakin baik, meskipun besar pendapatan tidak selalu
15
mencerminkan efisiensi yang tinggi karena pendapatan yang besar mungkin saja
diperoleh dari investasi yang jumlahnya besar pula.
Dalam melakukan analisis pendapatan usahatani diperlukan informasi
mengenai keadaan penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang
ditetapkan. Penerimaan usahatani merupakan nilai produksi yang diperoleh dalam
jangka waktu tertentu dan merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi total
dengan harga satuan dari hasil produksi tersebut. Sementara yang disebut
pengeluaran usahatani adalah nilai penggunaan faktor-faktor produksi dalam
melakukan proses produksi usahatani.
Konsep Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C rasio)
Analisis imbangan penerimaan dan biaya, dikenal dengan R/C (Return Cost
Ratio), adalah perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. R/C dihitung
dengan cara membandingkan penerimaan total dengan biaya total. Pendapatan
yang besar tidak selalu menunjukkan efisiensi yang tinggi (Soeharjo, 1973). Oleh
karena itu, analisa pendapatan selalu diikuti dengan pengukuran efisiensi. Salah
satu ukuran efisiensi adalah penerimaan untuk rupiah yang dikeluarkan (Revenue
Cost Ratio ata
(Studi Kasus : Kelompok Tani Ternak Tanjung Lurah, Nagari
Salimpauang, Kabupaten Tanah Datar)
ALFA RYANDA
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Keragaan
Usahatani Sapi Bakalan (Studi Kasus: Kelompok Tani Ternak Tanjung Lurah,
Nagari Salimpauang, Kabupaten Tanah Datar) adalah benar karya saya dengan
arahan dari pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada
perguruan tinggi lain atau lembaga lain manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, November 2014
Alfa Ryanda
NIM. H34090140
ABSTRAK
ALFA RYANDA. Keragaan Usahatani Sapi Bakalan (Studi Kasus: Kelompok
Tani Ternak Tanjung Lurah, Nagari Salimpauang, Kabupaten Tanah Datar).
Dibimbing oleh DWI RACHMINA.
Nagari Salimpauang merupakan salah satu wilayah di Kecamatan
Salimpauang, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat dimana
penduduknya banyak mengusahakan penggemukan sapi. Namun untuk
mengembangkan usahanya, para peternak memiliki permasalahan seperti lahan,
pengolahan limbah, ketersediaan input, dan tenaga kerja. Salah satu solusi untuk
mengatasi permasalahan tersebut yaitu melalui pengelolaan dengan Kelompok
Tani Ternak Tanjung Lurah. Tujuan dari penelitian ini yaitu (1) Menganalisis
biaya dan penerimaan, dan (2) Menganalisis pendapatan dan rasio penerimaan dan
biaya. Hasil perhitungan pendapatan atas biaya tunai per ST per tahun dan nilai
R/C rasio yang paling besar diperoleh peternak skala besar. Sementara itu
perhitungan pendapatan atas biaya total per ST per tahun menghasilkan nilai
positif dan nilai R/C rasio lebih dari satu untuk semua skala, sehingga usaha
ternak menguntungkan. Usaha pada peternak skala besar yang lebih baik
dibandingkan skala kecil karena keuntungan yang diperoleh paling besar dan nilai
R/C rasio nya yang paling besar.
Kata kunci: analisis pendapatan, R/C rasio, usaha penggemukan sapi
ABSTRACT
ALFA RYANDA. Keragaan Farming of Bakalan Cattle (Case Study: Farmer and
Breeder Group of Tanjung Lurah, Nagari Salimpauang, Kabupaten Tanah Datar).
Supervised by DWI RACHMINA.
Nagari Salimpauang is located at Kecamatan Salimpauang, Kabupaten
Tanah Datar, West Sumatera Province where the majority of people do fattening
cattle husbandry for living. Meanwhile to develop the business, the breeders face
through several obstacles such as area availability, waste management, input
availability and labor. One of solution to solve those problems is by implementing
supervision with farmer and breeder group of Tanjung Lurah. This study was
aimed to (1) analyze cost and revenue, and (2) analyze profit and ratio of revenue
and cost. Measurement result of profit based on cash cost per livestock unit
(satuan ternak, ST) per year and biggest R/C ratio value were gained by wide–
scale breeder. Otherwise, calculation of profit based on cash cost per ST per year
indicated positive value and R/C ratio values which were more than 1 for every
scales, therefore the business is considered profitable. Business by wide–scale
breeder was better compared to small–scale one because of the most profit
obtained and biggest R/C ratio value.
Keywords: profit analysis, R/C ratio, fattening cattle business
KERAGAAN USAHATANI SAPI BAKALAN
(Studi Kasus : Kelompok Tani Ternak Tanjung Lurah, Nagari
Salimpauang, Kabupaten Tanah Datar,)
ALFA RYANDA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PRAKATA
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas segala berkah dan karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Juni
2013 ini ialah Keragaan Usahatani Sapi Bakalan (Studi Kasus : Kelompok Tani
Ternak Tanjung Lurah, Nagari Salimpauang, Nagari Salimpauang, Kecamatan
Salimpauang, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr.Ir.Dwi Rachmina.MSi selaku
dosen pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan dukungan dalam
penulisan skripsi ini. Selanjutnya, penulis ucapkan kepada Ayah Ir. Adrizal dan
Bunda Ir. Petra sebagai orang tua penulis yang senantiasa memberikan dukungan,
semangat, doa dan kasih sayang kepada penulis. Fadhil Adra sebagai saudara
kandung dari penulis yang telah memberiakan dukungan dan semangat kepada
penulis.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Siti Jahroh, Ph.D dan Ibu Eva
Yolynda Aviny, SP. MM sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan
dan saran pada ujian siding. Disamping itu, terima kasih kepada Bapak Yon Nasri
sebagai ketua kelompok ternak Tanjung Lurah dan beserta anggotanya yang telah
memberikan izin penelitian sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.
Rekan-rekan mahasiswa Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan
Manajemen Institut Pertanian Bogor angkatan 46, serta sahabat-sahabat lainnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi banyak pihak sebagai sumber ilmu dan
informasi.
Bogor, November 2014
Alfa Ryanda
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Pengusahaan Ternak Sapi Potong
Struktur Biaya dan Skala Usaha
Analisis Pendapatan Usaha
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis dan Pengolahan Data
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Karakteristik Nagari Salimpauang
Karakteristik Kelompok Ternak Tanjung Lurah
Karakteristik Responden
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Usaha Ternak Sapi
Analisis Pendapatan Usaha Ternak Sapi
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
xi
xi
xii
1
1
3
3
4
4
4
5
7
8
8
15
17
17
17
17
19
21
21
22
23
26
26
32
36
36
37
38
51
DAFTAR TABEL
1. Laju pertumbuhan sektor pertanian produk domestik bruto atas dasar
harga konstan 2000 menurut lapangan usaha (persen) tahun 20092012a
2. Populasi hewan ternak di Indonesia (000 ekor) tahun 2009-2011a
3. Populasi nasional jenis ternak sapi potong (ekor) tahun 2009-2012a
4. Daftar satuan ternak (ST) beberapa komoditas peternakan Indonesiaa
5. Daftar satuan ternak (ST) pada responden peternak Kelompok Ternak
Tanjung Lurah tahun 2013
6. Rata-rata jumlah kepemilikan ternak sapi pada peternak Kelompok
Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
7. Sebaran responden menurut lama pengusahaan ternak sapi pada
peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
8. Karakteristik umum peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun
2013
9. Rata-rata luas lahan dan kandang yang digunakan peternak
Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
10. Rata-rata jumlah pemberian dan jenis pakan ternak sapi pada
peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
11. Rata-rata jumlah pemberian dan jenis obat-obatan ternak sapi pada
peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
12. Rata-rata penggunaan tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja
luar keluarga (HOK/tahun/ST) pada peternak Kelompok Ternak
Tanjung Lurah tahun 2013
13. Rata-rata jumlah limbah ternak sapi pada peternak Kelompok Ternak
Tanjung Lurah tahun 2013
14. Rata-rata biaya kegiatan usaha ternak sapi per tahun per satuan ternak
(ST) pada peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
15. Rata-rata penerimaan tunai per tahun per satuan ternak (ST) pada
peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
16. Rata-rata pendapatan peternak per tahun per satuan ternak (ST) pada
peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
17. Rata-rata pendapatan rumah tangga per tahun pada peternak
Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
1
2
2
17
18
24
24
25
27
28
29
30
31
33
34
35
36
DAFTAR GAMBAR
1. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional
16
DAFTAR LAMPIRAN
1. Populasi Nasional Jenis Ternak Sapi Potong (ekor) tahun 2009 –
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
2012a
Populasi sapi potong provinsi Sumatera Barat tahun 2011
Jenis, harga, dan jumlah pemberian pakan ternak sapi pada responden
peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
Jenis, harga, dan jumlah pemberian obat-obatan ternak sapi pada
responden peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
Rata-rata biaya penyusutan kandang & peralatan ternak sapi pada
responden peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
Jumlah penjualan dan harga penjualan anakan sapi pada responden
peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
Harga dan jumlah limbah yang dihasilkan ternak sapi pada responden
peternak Kelompok Ternak Tanjung Lurah tahun 2013
Dokumentasi penelitian
41
42
43
44
45
46
47
48
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya memiliki mata
pencaharian di sektor pertanian. Sektor pertanian di Indonesia memegang peranan
penting bagi pembangunan ekonomi secara nasional. Khususnya bidang
peternakan ikut berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Laju
pertumbuhan sektor peternakan produk domestik bruto atas dasar harga konstan
2000 menurut lapangan usaha yaitu tahun 2009 sebesar 3.45 %, tahun 2010
sebesar 4.27 %, tahun 2011 4.78 %, dan tahun 2012 sebesar 4.82 %. Rata-rata laju
pertumbuhan sektor pertanian produk domestik bruto atas dasar harga konstan
2000 menurut lapangan usaha khususnya peternakan tahun 2009-2012 adalah 0.46
%. Hal ini berarti sektor pertanian khususnya subsektor peternakan memiliki
potensi untuk dikembangkan (Tabel 1).
Tabel 1
Laju pertumbuhan sektor pertanian produk domestik bruto atas dasar
harga konstan 2000 menurut lapangan usaha (persen) tahun 20092012a
Lapangan Usaha
Tanaman bahan makanan
Tanaman perkebunan
Peternakan
Kehutanan
Perikanan
a
2009
4.97
1.73
3.45
1.82
4.16
2010
1.64
3.49
4.27
2.41
6.04
2011b
1.75
4.47
4.78
0.85
6.96
2012c
2.95
5.08
4.82
0.16
6.48
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, ;bAngka sementara, ; cAngka sangat sementara
Kegiatan pada bidang peternakan meliputi peternakan sapi potong,
peternakan sapi perah, peternakan kuda, peternakan kambing, peternakan domba,
peternakan babi, peternakan ayam buras, peternakan ayam ras petelur, peternakan
ayam ras pedaging, dan peternakan itik. Terdapat 2 jenis populasi ternak secara
umum yaitu populasi hewan ternak besar dan populasi hewan ternak kecil.
Populasi hewan ternak besar antara lain sapi, kerbau, kuda, dan babi. Sedangkan
populasi hewan ternak kecil meliputi kambing, domba, ayam, dan itik.
Populasi hewan ternak Indonesia meningkat setiap tahunnya, kecuali pada
hewan ternak kerbau. Rata-rata populasi hewan ternak Indonesia tahun 2009-2011
mengalami peningkatan sebesar 49 210 500 ekor setiap tahun. Besaran laju
pertumbuhan hewan ternak sapi potong menempati urutan pertama dari populasi
hewan ternak besar, sedangkan populasi hewan ternak ayam ras pedaging pada
populasi hewan ternak kecil (Tabel 2). Oleh sebab itu, kegiatan usaha ternak sapi
potong banyak dijalankan oleh masyarakat.
2
Tabel 2 Populasi hewan ternak di Indonesia (000 ekor) tahun 2009-2011a
Ternak
2009
2010
2011b
Sapi Potong
12 760
13 582
14 824
Sapi Perah
475
488
597
Kerbau
1 933
2 000
1 305
Kuda
399
419
416
Kambing
15 815
16 620
17 483
Domba
10 199
10 725
11 372
Babi
6 975
7 477
7 758
Ayam Buras
249 964
257 544
274 893
Ayam Ras Petelur
99 768
105 201
110 300
Ayam Ras Pedaging
991 281
986 872 1 041 968
Itik
42 318
44 302
49 392
Total
1 431 887 1 445 230 1 530 308
a
Laju (% / tahun)
2.1
0.23
- 0.64
0.02
1.69
1.19
0.79
25.33
10.7
51.5
7.19
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013,; bAngka sangat sementara
Ternak sapi potong merupakan salah satu jenis kegiatan yang banyak
dijalankan oleh masyarakat. Jumlah populasi nasional jenis ternak sapi potong
terbanyak tahun 2009-2012 adalah di pulau Jawa. Sementara pulau Sumatera
menempati urutan kedua (Tabel 3). Selanjutnya, provinsi Sumatera Barat yang
merupakan salah satu sentra peternakan di Indonesia menempati urutan keempat
pada populasi ternak sapi potong di pulau Sumatera dengan rincian tahun 2009
sebanyak 492 272 ekor, tahun 2010 sebanyak 513 255, tahun 2011 sebanyak 327
013, dan tahun 2012 sebanyak 349 001 (Lampiran 1). Oleh sebab itu, diharapkan
provinsi Sumatera Barat dapat menjadi produsen daging sapi terbesar khususnya
di pulau Sumatera bahkan bisa mencapai produsen daging sapi terbesar di
Indonesia.
Tabel 3
Pulau
Populasi nasional jenis ternak sapi potong (ekor) tahun 2009-2012a
2009
2010
2011
Sumatera
2 813 900 2 961 987 2 724 384
Jawa
5 650 365 5 988 337 7 512 273
Kalimantan
562 282
588 698
437 406
Sulawesi
1 664 661 1 816 526 1 790 318
Papua
98 134
115 918
123 260
Lainnya
1 970 496 2 110 105 2 236 732
Total
12 759 838 13 581 571 14 824 373
a
2012b
2 922 653
8 079 382
465 919
1 961 858
136 566
2 467 959
16 034 337
Laju
(% / tahun)
3.32
74.18
-2.94
9.08
1.17
15.19
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 (diolah),; bAngka sementara
Populasi hewan ternak sapi potong di Provinsi Sumatera Barat tidak hanya
berpusat pada wilayah tertentu saja, melainkan tersebar di seluruh kota dan
kabupaten. Penyebarannya paling banyak di kabupaten Pesisir Selatan, kabupaten
Padang Pariaman, kabupaten Limapuluhkota, kabupaten Solok, dan kabupaten
Tanah Datar (Lampiran 2). Sedangkan untuk daerah sentra peternakan sapi potong
3
di provinsi Sumatera Barat yaitu kabupaten Limapuluhkota, kabupaten Tanah
Datar, dan kabupaten Agam. Terdapat banyak kelompok tani yang mengelola
usaha ternak sapi potong pada daerah tersebut. Kelompok tani ini, ada yang
terdaftar secara resmi dan tidak terdaftar secara resmi di Dinas Peternakan
Provinsi Sumatera Barat. Bentuk kegiatan dari kelompok tani tersebut adalah
pembibitan dan sebagian budidaya.
Kelompok ternak Tanjung Lurah merupakan salah satu kelompok tani yang
melaksanakan kegiatan budidaya ternak sapi. Kelompok ini berlokasi di salah satu
daerah sentra peternakan yaitu nagari Salimpauang, kecamatan Salimpauang,
kabupaten Tanah Datar. Pemilihan kelompok ini disebabkan oleh berlokasi di
daerah sentra dan prestasi yang dimiliki. Kelompok ini memiliki banyak prestasi
antara lain memberikan pengetahuan, pengajaran, dan penerapan kepada
anggotanya mengenai biogas, dan pembuatan pakan. Kegiatan dari kelompok ini
adalah penggemukan, pembibitan, biogas, pembuatan pakan, dan pengolahan
kotoran (limbah) ternak menjadi pupuk.
Perumusan Masalah
Kelompok ternak Tanjung Lurah telah menjalankan program kegiatan usaha
ternak berupa penggemukan sapi dan pengolahan limbah. Awal mulanya berdiri
kelompok tani ini adalah adanya niat dari Bapak Yon (ketua) yang ingin
mengelola, mengembangkan, dan mengajak masyarakat sekitar Jorong Nan II
Suku, Nagari Salimpauang. Pada awalnya, Bapak Yon ini hanya merupakan
peternak sapi biasa yang memelihara dan menggembala sapi milik orang lain.
Sistem bagi hasil dari sistim pemeliharaan sapi yang dilakukan ini adalah
mendapatkan anakan sapi pertama. Selanjutnya, kelompok ini terdapat perbedaan
yang mencolok yaitu peternak skala kecil dan peternak skala besar. Perbedaan ini
didapatkan berdasarkan rata-rata jumlah kepemilikan sapi pada masing-masing
anggota kelompok.
Upaya penerapan kegiatan usaha ternak yang maksimal di kelompok
tersebut dihadapkan pada berbagai kendala yaitu lahan, tenaga kerja, dan
ketersediaan input. Luas lahan yang sempit sebesar 0.25 hektar yang dimiliki
merupakan kendala bagi kelompok dan anggota karena dapat tersendatnya modal.
Tingkat pengetahuan dan pengalaman peternak merupakan kendala dalam
menjalankan program kelompok ini.
Berdasarkan gambaran permasalahan yang terjadi di kelompok tani ternak
Tanjung Lurah, Nagari Salimpauang, Kabupaten Tanah Datar ini dapat dilakukan
perhitungan dan analisis untuk mengetahui seberapa besar perbedaan pada
masing-masing keragaan usahatani. Uraian tersebut, yang menjadi rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah dapat menghasilkan keuntungan atau tidak
pada kegiatan usahaternak yang dilakukan kelompok ternak Tanjung Lurah.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan
penelitian ini adalah:
4
1. Menganalisis biaya dan penerimaan peternak sapi bakalan di kelompok ternak
Tanjung Lurah, Nagari Salimpauang, Kabupaten Tanah Datar
2. Menganalisis pendapatan dan rasio penerimaan dan biaya peternak sapi
bakalan di kelompok ternak Tanjung Lurah, Nagari salimpauang, Kabupaten
Tanah Datar ?
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan bagi
semua pihak yang terkait, yaitu:
1. Bagi masyarakat dan para pelaku kegiatan agribisnis, diharapkan dapat
menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan
2. Sebagai bahan informasi dan rujukan untuk penelitian selanjutnya
3. Sebagai sarana bagi penulis untuk menerapkan teori yang selama ini diperoleh
saat kuliah terhadap permasalahan yang timbul di masyarakat.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi oleh:
1. Komoditi yang diteliti adalah ternak sapi dan objek penelitian adalah peternak
pada kelompok ternak Tanjung Lurah di nagari Salimpauang, kabupaten Tanah
Datar, provinsi Sumatera Barat
2. Analisis yang dipakai adalah pendapatan usahatani dan nilai R/C rasio dari sapi
tersebut dan terbatas hanya pada 1 tahun.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Pengusahaan Ternak Sapi Potong
Ternak sapi sebagai salah satu ternak besar khususnya di Indonesia yang
telah lama diusahakan oleh peternak. Ternak sapi memiliki manfaat yang lebih
luas dan bernilai ekonomis lebih besar daripada ternak lain. Usaha ternak sapi
merupakan usaha yang lebih menarik sehingga mudah merangsang pertumbuhan
usahanya. Hal ini bisa dibuktikan dengan perkembangan ternak sapi di Indonesia
lebih maju daripada ternak besar ataupun kecil lainnya.
Usaha ternak merupakan suatu proses mengkombinasikan faktor-faktor
produksi berupa lahan, ternak, tenaga kerja, dan modal untuk menghasilkan
produk peternakan. Keberhasilan usaha ternak sapi bergantung pada tiga unsur,
yaitu bibit, pakan, dan manajemen atau pengolaan. Manajemen mencakup
pengelolaan perkawinan, pemberian pakan, perkandangan dan kesehatan ternak.
Manajemen juga mencakup penanganan hasil ternak, pemasaran dan pengaturan
tenaga kerja.
5
Jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia saat ini adalah sapi asli
Indonesia dan sapi yang diimpor dari negara lain. Jenis-jenis sapi potong ini
masing-masingnya mempunyai sifat dan ciri tertentu, baik ditinjau dari bentuk
luarnya, ukuran tubuh, warna bulu, maupun dari genetiknya (laju
pertumbuhannya).
Adapun sapi potong yang dibudidayakan di Indonesia berasal dari sapi yang
diimpor meliputi sapi Simental dan sapi Brahman. Sapi Simental yang berasal dari
Swiss memiliki ciri bertanduk kecil, bulu berwarna coklat muda atau kekuningkuningan, serta pada bagian muka, lutut ke bawah, jenis gelambir dan ujung ekor
berwarna putih. Sedangkan sapi Brahman yang berasal dari india merupakan jenis
sapi potong yang banyak di kembangkan di negara Amerika.
Menurut Murtidjo (1989), pemeliharaan sapi potong pada dasarnya dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Usaha pemeliharaan sapi potong bertujuan untuk pengembangbiakan sapi
potong. Keuntungan yang diharapkan adalah keturunannya,
2. Usaha pemeliharaan sapi potong bakalan bertujuan memelihara sapi potong
dewasa, untuk selanjutnya digemukkan. Keuntungan yang diharapkan adalah
hasil penggemukan.
Secara garis besar ada dua bentuk usaha tani yang telah dikenal yaitu
usaha tani keluarga (family farming) dan perusahaan pertanian (plantation, estate,
enterprise). Pada umumnya yang dimaksud usaha tani adalah usaha keluarga
sedangkan yang lain adalah perusahaan pertanian. Faktor-faktor yang menjadi
peluang industri peternakan sapi potong di daerah padat penduduk, antara lain
adalah sumberdaya manusia, pakan hijauan, hasil pertanian lain, keragaman jenis
sapi, sarana/prasarana angkutan, dan sarana/prasarana komunikasi.
Struktur Biaya dan Skala Usaha
Menurut Rahim dan Hastuti (2008), pengeluaran usahatani sama artinya
dengan biaya usahatani. Biaya ini merupakan pengorbanan yang dilakukan oleh
produsen (petani, nelayan, peternak) dalam mengelola usahanya untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam hal ini, disebut usahatani untuk petani,
melaut untuk nelayan dan beternak untuk peternak. Biaya terbesar yang
dikeluarkan dalam proses produksi ialah biaya variabel, terutama biaya pakan dan
biaya tenaga kerja.
Termasuk ke dalam unsur-unsur pengeluaran usahatani adalah pembelian
sarana produksi, upah buruh tani, sewa temak kerja atau traktor, sewa alat-alat,
bangunan dan lahan, pembelian alat-alat, perbaikan alat-alat, ongkos
pengangkutan, pembayaran angsuran pokok kredit dan bunganya, pembayaran
pajak, dan sumbangan-sumbangan wajib lainnya, dan pengurangan nilai inventori.
Skala usaha dapat diterjemahkan sebagai ukuran usaha berdasarkan satuan
jumlah ternak produktif. Skala usaha yang optimum bagi seorang pengusaha
peternak, yang ditentukan oleh salah satu atau keseluruhan faktor produksi yang
dikuasai seperti tenaga kerja keluarga, ketersediaan lahan. Sedangkan faktor
umum penentuan skala usaha yang optimum ditentukan oleh efisiensi biaya dan
harga.
6
Saragih (2000) mengklasifikasikan tipologi usaha berdasarkan skala usaha
dan tingkat pendapatan peternak menjadi 4 kelompok sebagai berikut :
1) Peternakan sebagai usaha sambilan, petani yang mengusahakan berbagai
macam komoditi pertanian terutama pangan, dimana ternak sebagai usaha
sambilan untuk mencukupi kebutuhan sendiri (subsisten), dengan tingkat
pendapatan dari usahaternak kurang dari 30 persen.
2) Peternakan sebagai cabang usaha, peternak yang mengusahakan pertanian
campuran (mixed farming) dengan ternak sebagai cabang usahatani dengan
tingkat pendapatan yang berasal dari budidaya peternakan 30-70 persen (semi
komersial atau usaha terpadu).
3) Peternakan sebagai usaha pokok, peternak mengusahakan ternak sebagai
usaha pokok dan komoditi pertanian lainnya sebagai usaha sambilan (single
commodity) dengan tingkat pendapatan dari ternak sekitar 70 persen sampai
100 persen.
4) Peternakan sebagai usaha industri, peternak sebagai usaha industry
mengusahakan komoditas ternak secara khusus (specialized farming) dengan
tingkat pendapatan 100 persen dari usaha peternakan (komoditi pilihan).
Hasil penelitian Prajogo dan Ilham (2002) menunjukkan bahwa skala usaha
kepemilikan ternak sapi potong di Kabupaten Grobogan dan Wonosobo, rata-rata
pemilikan sapi induk berkisar 1-3 ekor/petani. Hal serupa juga terjadi di
kabupaten-kabupaten lain, seperti Lampung Tengah, Lamongan, Magetan,
Lombok Barat, dan Maros. Daerah dengan pola pemeliharaan sapi secara
ekstensif atau dilepas, pemilikan sapi potong bisa mencapai ratusan ekor, seperti
di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Sumba Timur di Nusa Tenggara Timur
dan Barru di Sulawesi Selatan.
Kecilnya skala usaha pemeliharaan sapi di daerah intensif disebabkan
peternakan merupakan usaha yang dikelola oleh rumah tangga petani, dengan
modal, tenaga kerja, dan manajemen yang terbatas. Kecilnya pemilikan ternak
juga karena umumnya usaha pembibitan atau penggemukan merupakan usaha
sampingan, selain usaha tani utama seperti padi, palawija, sayuran atau tanaman
perkebunan. Daerah pertanian ekstensif, cukup besarnya skala usaha disebabkan
padang rumput untuk penggembalaan cukup tersedia, sehingga kebutuhan tenaga
kerja dan biaya pakan dapat dikatakan hampir mendekati nol.
Capah (2008), melakukan penelitian mengenai pendapatan usahaternak sapi
perah di KUD Mandiri Cipanas, Kabupaten Bogor. Peternak responden dibagi
menjadi tiga skala yaitu skala I (kecil), skala II (sedang) dan skala III (besar).
Hasil penelitian menunjukan bahwa struktur biaya tetap pada ketiga skala adalah
sama, dengan biaya terbesar adalah biaya penyusutan ternak. Struktur biaya
variabel terbesar pada skala I adalah biaya tenaga kerja, sedangkan struktur biaya
variabel terbesar pada skala II dan III adalah biaya pakan. Semakin besar skala
usaha ternak sapi perah maka biaya produksi rata-rata per liter susu akan menjadi
semakin kecil dan semakin besar skala usaha ternak, maka semakin tinggi pula
tingkat penerimaannya.
Penelitian yang membahas hubungan struktur biaya dengan skala usaha
telah dilakukan oleh Bantani (2004), pada penelitiannya mengenai usaha
pemotongan ayam tradisional di Kelurahan Kebon Pedes, Bogor. Responden yang
diteliti dalam penelitian ini berjumlah 37 responden dengan proporsi 21 orang
7
merupakan kriteria Pemotong I dan 16 orang merupakan kriteria Pemotong II.
Hasil penelitiannya menunjukan bahwa biaya total per kg pada Pemotong I
semakin kecil pada setiap peningkatan skala usaha. Sedangkan pada Pemotong II
peningkatan skala usaha tidak mempengaruhi pada biaya total per kg usaha. Hal
ini terjadi karena biaya pembelian ayam hidup yang merupakan komponen biaya
terbesar usaha pemotongan ayam tradisional di Kelurahan Kebon Pedes pada
Pemotong II lebih besar dibanding Pemotong I, sedangkan harga jual produk
sama. Persentase biaya variabel berdasarkan skala usaha semakin besar seiring
dengan peningkatan skala usahanya, sedangkan persentase biaya tetap semakin
menurun.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut,
terdapat keterkaitan antara skala usaha dengan struktur biaya. Keterkaitan tersebut
terjadi karena struktur biaya sangat dipengaruhi oleh skala usaha. Secara umum
dapat dikatakan bahwa peningkatan skala usaha akan berakibat pada struktur
biaya yang lebih rendah untuk tiap unit satuan hasil produksi. Skala usaha yang
besar, secara teoritis akan dapat menghasilkan economies of scale yang tinggi.
Analisis Pendapatan Usaha
Analisis pendapatan berguna untuk mengetahui dan mengukur apakah
kegiatan usaha yang dilakukan berhasil atau tidak. Tujuan dilakukan analisis
pendapatan adalah untuk menggambarkan keadaan sekarang dari suatu kegiatan
dan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Tingkat
pendapatan usahaternak dipengaruhi oleh keadaan harga faktor produksi dan
harga hasil produksi, selain dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan ternak
yang dilakukan oleh peternak. Jumlah yang dijual (termasuk yang digunakan
untuk keperluan sendiri) dikalikan dengan harga, itulah yang disebut penerimaan.
Bila penerimaan dikurangi dengan biaya produksi hasilnya dinamakan pendapatan
(Rasyaf, 1996).
Menurut Tjakrawiralaksana (1983), penerimaan-penerimaan usahatani
mencakup banyak hal, yaitu tidak saja penerimaan yang diperoleh langsung dari
penjualan produksi, tetapi juga termasuk penerimaan-penerimaan yang berasal
dari hasil menyewakan dan atau penjualan benda-benda modal yang kelebihan
atau tidak terpakai lagi, menyewakan tenaga temak, dan penambahan nilai
inventori. Selain macam - macam penerimaan seperti yang tersebut tadi, masih
ada penerimaan lain yang seringkali tidak diperhitungkan, yaitu penerimaan
dalam bentuk fasilitas yang diterima petani dan keluarga dari usahataninya sendiri
(fasilitas menempati tempat tinggal, fasilitas menggunakan kendaran kalau ada,
dan fasilitas menggunakan produksi usahatani untuk konsumsi), penerimaan
dalam bentuk hadiah, dan subsidi dari pemerintah.
Untuk memperoleh ukuran pendapatan dan keuntungan usahatani menurut
Soekartawi et al. (1986) ada beberapa istilah yang harus dipahami. Pertama,
pendapatan kotor usahatani (gross farm income) didefinisikan sebagai nilai
produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu baik yang dijual maupun yang
tidak dijual. Istilah lain untuk pendapatan kotor usahatani ialah nilai produksi
(value of production) atau penerimaan kotor usahatani (gross return). Kedua,
pengeluaran total usahatani (total farm expenses) didefinisikan sebagai nilai
semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam produksi, tetapi tidak
8
termasuk tenaga keIja keluarga petani. Terakhir, selisih antara pendapatan kotor
usahatani dan penge1uaran total usahatani disebut pendapatan bersih usahatani
(net farm income).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2009) mengenai analisis
pendapatan peternak sapi potong di Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat
menunjukkan rata-rata pendapatan yang diterima peternak sebesar Rp 7 229
989/tahun. Rincian pengusahaannya sebagai berikut rata-rata jumlah ternak 2.91
ST (Satuan Ternak), rata-rata luas kandang 18.15 m2, rata-rata total biaya
produksi Rp 3 100 746/tahun, dan rata-rata total penerimaan Rp 10 335 735/tahun.
Analisis mengenai pendapatan usaha ternak dilakukan oleh Hertika (2009)
dengan komoditi sapi perah di Perusahaan X, Bogor. Penelitian ini mencoba
mengkaji tentang besar pendapatan, nilai R/C rasio, serta nilai titik impas pada
Perusahaan X, Bogor. Total biaya variabel dan biaya tetap yang dikeluarkan
Perusahaan X, Bogor, masing-masing sebesar Rp 378 510 065 dan Rp 338 473
671. Total penerimaan perusahaan adalah Rp 965 570 080, sehingga total
pendapatan Perusahaan X selama satu tahun sebesar Rp 248 586 344.
Nilai R/C rasio perusahaan adalah 1.35 yang dapat diartikan setiap rupiah
yang digunakan untuk kegiatan usaha akan memberikan penerimaan sebesar Rp
1.35. Untuk titik impas, yaitu saat dimana biaya sama dengan penerimaan, adalah
saat produksi susu sebesar 13,23 liter/ekor/hari dan saat induk yang dipelihara
sebanyak 49 ekor. Saat ini produksi susu Perusahaan X sebesar 14,99
liter/ekor/hari dan induk sapi yang dipelihara sebanyak 72 ekor. Berdasarkan hal
tersebut maka dapat dikatakan Perusahaan X memperoleh keuntungan.
Tingkat penerimaan, pengeluaran, dan pendapatan usaha ternak sapi potong
dengan rata - rata pemeliharan 0.59 satuan ternak (ST) di Kecamatan Cibalong,
Tasikmalaya, Jawa Barat masing-masing adalah Rp 1 809 512.82; Rp 477 213.99
dan Rp 1 323 298.83 untuk setiap responden per tahun (Rozana, 1998). Untuk
mengetahui tingkat keuntungan dari suatu usaha dapat dilakukan penghitungan
R/C rasio yaitu perbandingan total penerimaan dan total pengeluaran. Hasil
penelitian Rozana (1998) di Kecamatan Cibalong, Tasikmalaya dapat diketahui
bahwa semua R/C rasio total untuk usahatani, usahaternak sapi potong, dan
diversifikasi keduanya bernilai lebih besar dari 1. R/C rasio total untuk usahatani
2.94, untuk usaha ternak 3.79 dan diversifikasi 3.56. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa masing-masing cabang usaha bila dipisah maupun digabung layak
dikembangkan.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Konsep Usahatani
Usahatani adalah himpunan dari sumber-sumber alam yang diperlukan
untuk produksi pertanian, seperti tubuh tanah dan air, perbaikan-perbaikan yang
telah dilakukan atas tanah air itu, sinar matahari, bangunan-bangunan yang telah
dilakukan atas tanah dan sebagainya (Mosher 1966). Usahatani dapat berupa
usaha bercocok tanam atau memelihara ternak (Mubyarto, 1995). Pada umumnya,
ciri-ciri usahatani yang ada di Indonesia berlahan sempit, permodalan terbatas,
9
tingkat pengetahuan petani yang terbatas dan kurang dinamik, serta pendapatan
petani yang rendah (Soekartawi et al. , 1986).
Mubyarto (1995) membagi bidang pertanian menjadi dua, yaitu usahatani
pertanian rakyat dan perusahaan pertanian. Ditinjau dari segi ekonomi, pertanian
rakyat sebagai pertanian keluarga (pertanian sub sistem atau setengah sub sistem),
sedangkan perusahaan pertanian adalah perusahaan pertanian yang diusahakan
sepenuhnya secara komersil.
Dalam pertanian rakyat, hampir tidak ada usahatani yang memproduksi satu
macam hasil saja. Disamping hasil-hasil tanaman, usaha pertanian rakyat meliputi
usaha-usaha peternakan, perikanan, dan usaha pencarian hasil hutan. Usahatani
umumnya diusahakan dengan tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan hidup
(subsistensi) petani dan keluarganya. Faktor-faktor produksi atau modal yang
digunakannya sebagian besar berasal dari dalam usahatani sendiri (Mubyarto,
1995).
Rahim dan Diah (2008) menyatakan bahwa usahatani merupakan ilmu yang
mempelajari tentang cara petani mengelola input atau faktor-faktor produksi
(tanah, tenaga kerja, modal, teknologi, pupuk, benih dan pestisida) dengan efektif,
efisien dan berkelanjutan untuk dapat menghasilkan produksi yang tinggi
sehingga pendapatannya dapat meningkat. Dikatakan efisien bila petani dapat
mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki dengan sebaik-baiknya dan dikatakan
efektif bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output).
Hernanto (1995) menyatakan bahwa keberhasilan usahatani dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu faktor-faktor pada usahatani itu sendiri (internal) dan
faktor-faktor di luar usahatani (eksternal). Adapun faktor internal antara lain para
petani pengelola, lahan, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, jumlah keluarga,
dan kemampuan petani dalam mengaplikasikan penerimaan keluarga. Sedangkan
faktor eksternal yang berpengaruh pada keberhasilan usahatani adalah tersedianya
sarana transportasi dan komunikasi, aspek-aspek yang menyangkut pemasaran
hasil dan bahan usahatani (harga jual, harga saprodi, dan lain-lain), fasilitas kredit,
dan sarana penyuluhan bagi petani.
Suratiyah (2006) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang bekerja dalam
usahatani baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu:
1. Alam
Alam merupakan faktor yang sangat menentukan usahatani. Sampai dengan
tingkat tertentu manusia telah berhasil mempengaruhi faktor alam. Namun, pada
batas selebihnya faktor alam adalah penentu dan merupakan sesuatu yang harus
diterima apa adanya. Faktor alam dapat dibedakan menjadi dua, yakni faktor tanah
dan lingkungan alam sekitarnya. Faktor tanah misalnya jenis tanah dan kesuburan.
Faktor alam sekitar yakni iklim yang berkaitan dengan ketersediaan air, suhu dan
lain sebagainya. Alam mempunyai berbagai sifat yang harus diketahui karena
usaha pertanian adalah usaha yang peka terhadap pengaruh alam.
Iklim sangat menentukan komoditas yang akan diusahakan, baik tanaman
maupun ternak. Komoditas yang diusahakan harus cocok dengan iklim setempat
agar produktivitasnya tinggi dan memberikan manfaat yang lebih baik bagi
manusia. Iklim juga dapat berpengaruh pada cara mengusahakan serta teknologi
yang cocok dengan iklim tersebut. Tanah sebagai faktor alam juga sangat
menentukan keberhasilan usahatani. Ada tanah pasir yang sangat porous, ada
10
tanah kuarsa yang berbutir halus, tanah liat yang susah penggarapannya pada
waktu kering karena keras, ada tanah yang gembur dan subur sehingga sangat
menguntungkan. Pada tanah yang ringan tenaga kerja dapat dimanfaatkan secara
lebih baik. Penggarapan juga harus dilakukan lebih berat pada tanah keras.
Tanah merupakan faktor produksi yang penting karena tanah merupakan
tempat tumbuhnya tanaman, ternak dan usahatani keseluruhannya. Tentu saja
faktor tanah tidak terlepas dari pengaruh alam sekitarnya, yaitu: sinar matahari,
curah hujan, angin dan sebagainya. Tanah mempunyai sifat istimewa, antara lain:
bukan barang produksi, tidak dapat diperbanyak dan tidak dapat dipindah-pindah.
2. Tenaga Kerja
Tenaga kerja adalah salah satu unsur penentu, terutama bagi usahatani yang
sangat tergantung musim. Kelangkaan tenaga kerja berakibat mundurnya
penanaman sehingga berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, produktivitas dan
kualitas produk. Tenaga kerja merupakan faktor penting dalam usahatani keluarga
(family farms), khususnya tenaga kerja petani beserta anggotanya keluarganya.
Rumah tangga tani yang umumnya sangat terbatas kemampuannya dari segi
modal, peranan tenaga kerja keluarga sangat menentukan. Jika masih dapat
diselesaikan oleh tenaga kerja keluarga sendiri maka tidak perlu mengupah tenaga
luar, yang berarti dapat menghemat biaya usahatani.
Baik pada usahatani keluarga maupun perusahaan pertanian peranan tenaga
kerja belum sepenuhnya dapat diatasi dengan teknologi yang menghemat tenaga
(teknologi mekanis). Hal ini dikarenakan selain mahal, juga ada hal-hal tertentu
yang memang tenaga kerja manusia tidak dapat digantikan. Peranan anggota
keluarga yang lain sebagai tenaga kerja beserta tenaga luar yang diupah.
Beberapa hal yang membedakan antara tenaga kerja keluarga dan tenaga
luar, antara lain: komposisi menurut umur, jenis kelamin, kualitas dan kegiatan
kerja (prestasi kerja). Kegiatan kerja tenaga luar sangat dipengaruhi sistem upah,
lamanya waktu kerja, kehidupan sehari-hari, kecakapan dan umur tenaga kerja.
Kebutuhan tenaga kerja dapat diketahui dengan cara menghitung setiap kegiatan
tiap komoditas yang diusahakan, kemudian dijumlahkan untuk seluruh usahatani.
Kebutuhan tenaga kerja berdasarkan jumlah tenaga kerja keluarga yang tersedia
dibandingkan dengan kebutuhannya. Jika terjadi kekurangan berdasarkan
penghitungan maka tenaga luar keluarga dapat digunakan.
Satuan yang sering dipakai dalam perhitungan kebutuhan tenaga kerja
adalah man days atau HOK (hari orang kerja) dan jam orang kerja. Pemakaian
HOK ada kelemahannya karena masing-masing daerah berlainan (satu HOK di
daerah B belum tentu sama dengan satu HOK di daerah A) bila dihitung jam
kerjanya. Seringkali dijumpai upah borongan yang sulit dihitung, baik HOK
maupun jam orang kerja-nya. Banyaknya tenaga kerja yang diperlukan untuk
mengusahakan satu jenis komoditas per satuan luas dinamakan intensitas tenaga
kerja.
3. Modal
Modal adalah syarat mutlak berlangsungnya sebuah usaha, demikian pula
dengan usahatani. Penggolongan modal ini akan semakin rancu jika yang
dibicarakan adalah usahatani keluarga. Dalam usahatani keluarga cenderung
11
memisahkan faktor tanah dari alat-alat produksi yang lain. Hal ini dikarenakan
belum ada pemisahan yang jelas antara modal usaha dan modal pribadi.
Tanah, alam sekitarnya, dan tenaga kerja adalah faktor produksi asli,
sedangkan modal dan peralatan merupakan substitusi faktor produksi tanah dan
tenaga kerja. Dengan modal dan peralatan, faktor produksi tanah dan tenaga kerja
dapat memberikan manfaat yang jauh lebih baik bagi manusia. Dengan modal dan
peralatan maka penggunaan tanah dan tenaga kerja juga dapat dihemat. Oleh
karena itu, modal dapat dibagi menjadi dua, yaitu land saving capital dan labour
saving capital. Modal dikatakan land saving capital jika dengan modal tersebut
dapat menghemat penguasaan lahan, tetapi produksi dapat dilipatgandakan tanpa
harus memperluas areal. Contohnya pemakaian pupuk, bibit unggul, pestisida, dan
intensifikasi. Modal dikatakan labour saving capital jika dengan modal tersebut
dapat menghemat penggunaan tenaga kerja. Contohnya pemakaian traktor untuk
membajak, mesin penggiling padi (Rice Milling Unit, RMU) untuk memproses
padi menjadi beras, pemakaian thresher untuk penggabahan, dan sebagainya.
Dalam arti ekonomi perusahaan, modal adalah barang ekonomi yang dapat
dipergunakan untuk memproduksi kembali atau modal adalah barang ekonomi
yang dapat dipergunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan pendapatan.
Pengertian tanah bukan modal atau modal sebenarnya lebih difokuskan pada
perhitungan biaya usahatani (biaya tunai dan biaya diperhitungkan). Jika tanah
dihitung sebagai modal maka bunga atas tanah dimasukkan dalam perhitungan
usahatani. Namun, dalam usahatani keluarga pengeluaran bunga tanah tidak
kelihatan karena termasuk dalam pendapatan usahatani. Bunga tanah baru
kelihatan jika ingin mencari keuntungan usahatani, bukan pendapatan usahatani.
4. Pengelolaan atau Manajemen
Faktor produksi usahatani pada dasarnya adalah tanah dan alam sekitarnya,
tenaga kerja, modal serta peralatan. Namun, beberapa pendapat memasukkan
manajemen sebagai faktor produksi keempat walaupun tidak langsung.
Manajemen sebenarnya melekat pada tenaga kerja. Petani sebagai manajer atau
peran petani sebagai manajer, meliputi:
- Aktivitas Teknis
a) Memutuskan akan memproduksi apa dan bagaimana caranya
b) Memanfaatkan lahan
c) Membuat gambaran tentang teknologi dan peralatan yang akan digunakan
serta implikasinya pada penggunaan tenaga kerja
d) Menentukan skala usaha.
- Aktivitas Komersial
a) Menghitung berapa dan apa saja input yang dibutuhkan baik yang telah
dipunyai maupun yang akan dicari
b) Menentukan kapan, dari mana, dan berapa jumlah input yang diperoleh
c) Meramalkan penggunaan input dan produksi yang akan diperoleh
d) Menentukan pemasaran hasil, kepada siapa, di mana, kapan, dan kualitas
produksi atau hasil.
- Aktivitas Finansial
a) Mendapatkan dana sendiri, dari pinjaman kredit bank atau kredit lain
b) Menggunakan dana untuk memperoleh pendapatan dan keuntungan
12
c) Meramalkan kebutuhan dana untuk jangka panjang yang akan dating
(investasi untuk penggantian alat-alat atau perluasan usaha).
- Aktivitas Akuntansi
a) Membuat catatan tentang semua transaksi baik bisnis maupun pajak
b) Membuat laporan
c) Menyimpan data tentang usahanya.
Berdasarkan aktivitas-aktivitas tersebut, petani jelas sebagai manajer
dituntut mempunyai pengetahuan, pengalaman dan keterampilan usaha yang
terbaik. Manajemen yang melekat pada tenaga kerja akan sangat menentukan
bagaimana kinerjanya dalam usatani. Dengan manajemen yang berbeda meskipun
segala input sama akan diperoleh hasil yang berbeda. Dengan kata lain,
keberhasilan usahatani sangat tergantung pada upaya dan kemampuan manajer.
Manajemen adalah suatu seni (art) maka sulit untuk mengkuantifikasinya.
Menurut Kay dan Edwards (1994), manajemen usahatani menyangkut
keputusan yang mempengaruhi keuntungan dari bisnis usahatani. Dalam sistem
keuangan usahatani, ada tiga macam aktivitas bisnis yang harus dimasukkan.
Pertama, aktivitas produksi. Transaksi keuangan untuk kegiatan produksi
berhubungan dengan produksi tanaman dan ternak. Kedua, kegiatan investasi.
Kegiatan ini berhubungan dengan pembelian, penyusutan (depresiasi) dan
penjualan kekayaan (aset) berusia lama, misalnya lahan, gedung, mesin dan
pemeliharaan ternak. Ketiga, kegiatan pembiayaan, yaitu semua transaksi yang
berhubungan dengan peminjaman uang dan pembayaran bunga serta segala
macam utang pokok.
Usahatani atau usaha peternakan mempunyai beberapa ciri khas yang
mempengaruhi prinsip-prinsip manajemen dan teknik-teknik yang digunakan.
Usahatani dan usaha peternakan sering dianggap sebagai usaha yang lebih banyak
resikonya dalam hal output dan perubahan harga serta pengaruh cuaca terhadap
keseluruhan proses produksi (Kay dan Edwards, 1994).
Dalam usahatani dan usaha peternakan, pembagian kerja dan tugas
manajemen jarang dilakukan, kecuali untuk skala usaha besar (Kay dan Edwards,
1994). Petani dalam usahatani tidak hanya menyumbangkan tenaga saja, tetapi
lebih dari itu. Dia adalah pemimpin (manager) usahatani yang mengatur
organisasi produksi secara keseluruhan (Mubyarto, 1995).
Konsep Biaya Usahatani
Biaya usahatani adalah biaya yang digunakan untuk menghitung berapa
pendapatan kerja petani ketika modal dan nilai kerja keluarga diperhitungkan.
Biaya total usahatani adalah semua input yang habis terpakai atau dikeluarkan
didalam produksi (Soekartawi 2002). Menurut Hernanto (1995) ada empat
kategori biaya, yaitu:
Biaya usahatani merupakan pengorbanan yang dilakukan oleh produsen
(petani) dalam mengelola usahanya dalam mendapatkan hasil yang maksimal.
Biaya usahatani dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: biaya tunai dan biaya tidak
tunai (diperhitungkan). Biaya tunai adalah semua biaya yang dibayarkan dengan
uang, seperti biaya pembelian sarana produksi (bibit, pupuk dan obat) dan upah
tenaga kerja luar keluarga. Biaya yang diperhitungkan digunakan untuk
13
menghitung pendapatan petani yang sebenarnya dengan memperhitungkan
penyusutan alat dan nilai tenaga kerja dalam keluarga.
Soekartawi (2002) mengemukakan bahwa biaya usahatani adalah semua
pengeluaran yang dipergunakan dalam suatu usahatani. Biaya usahatani biasanya
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: (a) biaya tetap (fixed cost); dan (b) biaya tidak
tetap (variable cost). Mubyarto (1995) mengungkapkan bahwa biaya tetap adalah
jenis biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi,
misalnya sewa atau bunga tanah yang berupa uang. Biaya lain-lainya pada
umumnya termasuk biaya variabel karena besar kecilnya berhubungan langsung
dengan besarnya produksi, misalnya: pengeluaran-pengeluaran untuk bibit, biaya
persiapan dan pengolahan tanah. Pajak dapat merupakan biaya tetap kalau
besarnya ditentukan berdasarkan luas tanah (pajak tanah). Tetapi kalau pajak itu
berupa iuran pembangunan daerah (Ipeda) yang besarnya misalnya ditentukan
lima persen dari hasil produksi netto, maka biaya itu termasuk biaya variabel.
Pengertian biaya tetap dan variabel ini hanya pengertian jangka pendek, sebab
dalam jangka panjang biaya tetap dapat menjadi biaya variabel, misalnya: sewa
tanah, alat-alat pertanian dan bangunan dapat berubah.
Biaya tunai dan biaya diperhitungkan (tidak tunai) berasal dari biaya tetap
dan biaya variabel. Biaya tetap yang termasuk dalam biaya tunai adalah iuran
irigasi dan tanah. Sedangkan untuk biaya variabel, yaitu biaya input produksi dan
biaya tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Biaya diperhitungkan yang merupakan
biaya tetap adalah biaya penyusutan. Biaya diperhitungkan yang merupakan biaya
variabel adalah biaya untuk tenaga kerja dalam keluarga (TKDK).
Konsep Penerimaan Usahatani
Menurut Soekartawi et al (1986), menyatakan bahwa penerimaan tunai
usahatani adalah sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk
usahatani. Sedangkan mengenai bentuk penerimaan usahatani menurut Hernanto
(1995) dapat menggambarkan tingkat kemajuan ekonomi usahatani dalam
spesialisasi dan pembagian kerja. Besarnya proporsi penerimaan tunai dari total
penerimaan termasuk natura dapat digunakan sebagai perbandingan keberhasilan
petani satu terhadap petani yang lain.
Soekartawi (2002), mendefinisikan penerimaan usahatani dikaitkan dengan
sistematis perhitungan yang menyatakan bahwa penerimaan usahatani adalah
perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan tersebut
dapat dirumuskan sebagai berikut :
TR = Y . Py
Keterangan :
TR = Total penerimaan
Y = Produksi yang diperoleh dalam usahatani
Py = Harga Y
Oleh karena itu, dalam menghitung total penerimaan usahatani perlu
dipisahkan, yaitu antara analisis parsial usahatani dan analisis keseluruhan
usahatani. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menghitung penerimaan
usahatani adalah sebagai berikut :
14
1. Hati-hati dalam menghitung produksi pertanian, karena tidak semua produksi
pertanian itu dapat dipanen secara serentak.
2. Hati-hati dalam menghitung penerimaan, karena: (a) Produksi mungkin dijual
beberapa kali, sehingga diperlukan data frekuensi penjualan; (b) Produksi
mungkin dijual beberapa kali pada harga jual yang berbeda-beda. Jadi,
disamping frekuensi penjualan yang perlu diketahui juga harga jual pada
masing-masing penjualan tersebut.
3. Bila penelitian usahatani ini menggunakan responden petani, maka diperlukan
teknik wawancara yang baik untuk membantu petani mengingat kembali
produksi dan hasil penjualan yang diperolehnya selama setahun terakhir.
Pemilihan waktu setahun terakhir ini biasanya sering dipakai oleh para peneliti
untuk memudahkan perhitungan.
Konsep Pendapatan Usahatani
Pendapatan usahatani dilakukan untuk menghitung seberapa besar
penerimaan yang diterima petani dalam berusahatani yang dikurangi dengan
biaya. Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk mengukur keberhasilan
usahatani. Dengan adanya analisis pendapatan usahatani petani dapat mengetahui
gembaran keadaan aktual usahatani sehingga dapat melakukan evaluasi dengan
perencanaan kegiatan usahatani pada masa yang akan datang.
Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dengan semua biaya
(Soekartawi 2002). Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk mengetahui
keberhasilan usahatani dilihat dari pendapatan yang diterima petani. pendapatan
secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
π = TR – TC
Keterangan :
π
= pendapatan usahatani
TR
= total penerimaan
TC
= total biaya
Terdapat beberapa istilah yang dipergunakan dalam menganalisis
pendapatan usahatani menurut Soekartawi et al. (1986), diantaranya:
1. Penerimaan tunai usahatani merupakan nilai yang diterima dari penjualan
produk usahatani.
2. Pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk
pembelian barang dan jasa bagi usahatani.
3. Pendapatan tunai usahatani adalah produk usahatani dalam jangka waktu
tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual.
4. Pengeluaran total usahatani merupakan nilai semua yang habis terpakai atau
dikeluarkan dalam kegiatan produksi termasuk biaya yang diperhitungkan.
5. Pendapatan total usahatani adalah selisih antara penerimaan kotor usahatani
dengan pengeluaran total usahatani.
Selain pengertian diatas pendapatan juga dapat diartikan sebagai sisa dari
pengurangan nilai penerimaan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan.
Pendapatan yang diharapkan tentu saja memiliki nilai positif dan semakin besar
nilainya maka semakin baik, meskipun besar pendapatan tidak selalu
15
mencerminkan efisiensi yang tinggi karena pendapatan yang besar mungkin saja
diperoleh dari investasi yang jumlahnya besar pula.
Dalam melakukan analisis pendapatan usahatani diperlukan informasi
mengenai keadaan penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang
ditetapkan. Penerimaan usahatani merupakan nilai produksi yang diperoleh dalam
jangka waktu tertentu dan merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi total
dengan harga satuan dari hasil produksi tersebut. Sementara yang disebut
pengeluaran usahatani adalah nilai penggunaan faktor-faktor produksi dalam
melakukan proses produksi usahatani.
Konsep Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C rasio)
Analisis imbangan penerimaan dan biaya, dikenal dengan R/C (Return Cost
Ratio), adalah perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. R/C dihitung
dengan cara membandingkan penerimaan total dengan biaya total. Pendapatan
yang besar tidak selalu menunjukkan efisiensi yang tinggi (Soeharjo, 1973). Oleh
karena itu, analisa pendapatan selalu diikuti dengan pengukuran efisiensi. Salah
satu ukuran efisiensi adalah penerimaan untuk rupiah yang dikeluarkan (Revenue
Cost Ratio ata