Kajian Model Varima Dan Gstarima Untuk Peramalan Inflasi Bulanan.

KAJIAN MODEL VARIMA DAN GSTARIMA
UNTUK PERAMALAN INFLASI BULANAN

ANDI SETIAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Kajian Model VARIMA
dan GSTARIMA untuk Peramalan Inflasi Bulanan” adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

Andi Setiawan
G152130474

RINGKASAN
ANDI SETIAWAN. Kajian Model VARIMA dan GSTARIMA untuk Peramalan
Inflasi Bulanan. Dibimbing oleh MUHAMMAD NUR AIDI dan I MADE
SUMERTAJAYA.
Pemodelan laju inflasi ibukota provinsi di Pulau Jawa dimaksudkan untuk
meramalkan inflasi bulanan yang tidak hanya terkait dengan waktu sebelumnya
tetapi juga dengan kota-kota di sekitarnya. Pada tahun 2013, kontribusi PDRB
provinsi-provinsi di Pulau Jawa terhadap PDB mencapai 57.99 persen. Inflasi
yang rendah dan terkendali menjadi prasyarat utama untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi yang diharapkan. Antisipasi lonjakan inflasi yang tinggi dengan
kebijakan yang tepat dilakukan berdasarkan hasil model peramalan yang akurat.
Model GSTARIMA merupakan pengembangan model deret waktu secara
simultan yang memasukkan pembobot lokasi dalam model. Model tersebut
digunakan jika pada data deret waktu terdapat unsur otoregresif, pembedaan, dan
rataan bergerak. Sedangkan pendekatan model VARIMA dalam hal ini

mengabaikan aspek lokasi dengan menganggap inflasi di masing-masing lokasi
sebagai peubah-peubah deret waktu.
Penelitian ini mempunyai tiga tujuan utama sebagai berikut:
(1) mendeskripsikan laju inflasi bulanan ibukota provinsi di Pulau Jawa; (2)
menduga parameter model inflasi bulanan dengan pendekatan VARIMA dan
GSTARIMA; dan (3) memperoleh model yang terbaik untuk meramalkan inflasi
bulanan ibukota provinsi di Pulau Jawa. Data yang digunakan adalah laju inflasi
bulanan enam ibukota provinsi di Pulau Jawa tahun 2001-2014 yang berasal dari
Badan Pusat Statistik
Hasil penelitian menunjukkan penambahan peubah boneka dalam
pemodelan terkait dengan penanganan pencilan pada data pengamatan mampu
menghasilkan presisi yang lebih baik. Model GSTARIMA(11,21)-I(0) yang
didasarkan orde tertinggi ARIMA masing-masing lokasi tidak layak digunakan
sebagai model peramalan karena sisaan berkorelasi. Model GSTAR(11) pembobot
kebalikan jarak terpilih sebagai model terbaik dengan nilai RMSEP terkecil.
Model tersebut lebih baik dibandingkan model GSTAR(11) pembobot langkah
ratu dan model VAR(1). Model dengan ordo waktu pendek sesuai digunakan
untuk peramalan jangka pendek.
Kata kunci: GSTARIMA, kebalikan jarak, langkah ratu, RMSE, VARIMA


SUMMARY
ANDI SETIAWAN. A Study of VARIMA and GSTARIMA Models to Forecast
Monthly Inflation. Supervised by MUHAMMAD NUR AIDI and I MADE
SUMERTAJAYA.
Modelling of inflation rate provincial capitals on Java Island intended to
forecast monthly inflation which not only be related with the previous time but
also with the around location. In the year 2013, contribution of GDRP from
provinces in Java to PDB reach 57.99 percent. Low and controlled inflation
become the especial prerequisite to reach the expected economics growth.
Anticipation of high inflation shock with the correct policy conducted based on
result accurate forecasting model.
GSTARIMA model represent the development time series multivariate
model including weighting of location in model. The model used if time series
data contained autoregressive, differencing, and moving average elements. While
approach VARIMA model in this case disregard the location aspect by assuming
inflation in each location as time series variables.
This research have three especial target as follows: (1) description monthly
rate inflation provincial capitals on Java Island; (2) estimate parameter of
monthly inflation model with the approach of VARIMA and GSTARIMA; and
(3) obtaining best model to forecast monthly inflation provincial capitals on Java

Island. The data used is rate monthly inflation at six provincial capitals in Java
Island in 2001-2014 from BPS-Statistics Indonesia.
Result of the research showed that the addition dummy variables in
modelling relation to overcoming outliers on observation, can yield better
presision of the forecasting model. GSTARIMA(11,21)-I(0) model that based on
highest order of ARIMA in each location is not proper used as forecasting model
because there are correlation on residuals. GSTAR(1) model with inverse
distance weighting chosen as the best model with the smallest value of RMSEP.
Its model is better than GSTAR(1) with queen contiguity weighting and VAR(1)
model. Model with short time order is suitable for short term forecasting.
Keywords: GSTARIMA, inverse distance, queen contiguity, RMSE, VARIMA

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

KAJIAN MODEL VARIMA DAN GSTARIMA
UNTUK PERAMALAN INFLASI BULANAN

ANDI SETIAWAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Statistika Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Anik Djuraidah, MS

Judul Tesis : Kajian Model VARIMA dan GSTARIMA untuk Peramalan Inflasi

Bulanan
Nama
: Andi Setiawan
NIM
: G152130474

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Muhammad Nur Aidi, MS
Ketua

Dr Ir I Made Sumertajaya, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Statistika Terapan


Dr Ir Indahwati, MSi

Tanggal Ujian : 30 Oktober 2015

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
“Kajian Model VARIMA dan GSTARIMA untuk Peramalan Inflasi Bulanan”.
Keberhasilan penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan petunjuk
dari berbagai pihak.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Muhammad Nur Aidi,
M.S. sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. I Made Sumertajaya,
M.Si. sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan,
arahan serta saran kepada penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu

Dr. Anik Djuraidah, MS sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan
masukan dan arahan dalam penyusunan tesis ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Pimpinan Badan Pusat Statistik (BPS) atas kesempatan yang
diberikan kepada penulis untuk menempuh jenjang Magister Statistika Terapan.
Ungkapan terima kasih terkhusus penulis sampaikan kepada orang tua, istri dan
kedua putriku tercinta serta seluruh keluarga besar atas do’a, dukungan dan
pengertiannya. Terima kasih pula kepada seluruh staf Program Studi Statistika
Terapan, teman-teman Statistika (S2 dan S3) dan Statistika Terapan (S2)
khususnya Kelas BPS atas bantuan dan kebersamaannya. Terima kasih tak lupa
penulis sampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per
satu yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan. Semoga
penelitian selanjutnya dapat lebih baik dari penelitian ini. Semoga penelitian ini
bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Bogor, Oktober 2015

Andi Setiawan

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

1
1
2


2 TINJAUAN PUSTAKA
3
Inflasi
3
Uji Stasioneritas
3
Model Vector Autoregressive Intergrated Moving Average (VARIMA)
4
Identifikasi Vektor Model Deret Waktu
5
Model Generalized Space Time Autoregressive Intergrated Moving
Average (GSTARIMA)
6
Matriks Pembobot Spasial
8
Uj Otokorelasi Spasial
8
Kriteria Pemilihan Model Terbaik
9
Uji Kelayakan Model

10
3 METODE PENELITIAN
Data
Metode Analisis

11
11
11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Data
Identifikasi Model ARIMA
Pemodelan VARIMA
Penyusunan Matriks Pembobot Spasial
Pemodelan GSTARIMA
Pemilihan Model Terbaik
Peramalan Jangka Pendek

13
13
15
15
18
19
21
23

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

24
24
24

DAFTAR PUSTAKA

25

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

41

DAFTAR TABEL
3.1
4.1
4.2
4.3
4.4
4.5
4.6
4.7
4.8
4.9

Peubah yang digunakan dalam penelitian
Matriks korelasi laju inflasi bulanan
Model ARIMA terbaik
Pendugaan parameter model VAR(1) pada masing-masing lokasi
dengan penambahan peubah boneka
Matriks pembobot kebalikan jarak
Matriks pembobot langkah ratu
Pendugaan parameter model GSTAR(11) dengan pembobot
kebalikan jarak
Pendugaan parameter model GSTAR(11) dengan pembobot langkah
ratu
Nilai RMSEP berdasarkan model peramalan jangka panjang (%)
Nilai RMSEP berdasarkan model peramalan jangka pendek

11
14
15
17
18
18
19
20
22
23

DAFTAR GAMBAR
3.1
4.1

Diagram alir penelitian
Perkembangan laju inflasi tahunan ibukota provinsi di Pulau Jawa
dengan rata-rata dibawah inflasi nasional 2001-2014
4.2
Perkembangan laju inflasi tahunan ibukota provinsi di Pulau Jawa
dengan rata-rata diatas inflasi nasional 2001-2014
4.3
Diagram kotak garis laju inflasi bulanan ibukota provinsi di Pulau
Jawa 2001-2013
4.4 Peta sebaran rata-rata laju inflasi bulanan ibukota provinsi di Pulau
Jawa 2014
4.5 Diagram kotak garis sisaan model VAR(1) awal
4.6 Skema MACF sisaan model VAR(1) dengan penambahan
peubah boneka
4.7
Skema MACF sisaan model GSTAR(11) dengan pembobot
kebalikan jarak
4.8
Skema MACF sisaan model GSTAR(11) dengan pembobot
langkah ratu
4.9
Plot data aktual dan data ramalan model VAR(1) laju inflasi
bulanan Kota Jakarta 2001-2013
4.10 Plot data aktual dan data ramalan model GSTAR(11) pembobot
kebalikan jarak laju inflasi bulanan Kota Jakarta 2001-2013
4.11 Plot data aktual dan data ramalan model GSTAR(11) pembobot
langkah ratu laju inflasi bulanan Kota Jakarta 2001-2013
4.12 Plot data aktual, data ramalan model VAR(1), model GSTAR(11)
pembobot kebalikan jarak, dan model GSTAR(11) pembobot
langkah ratu laju inflasi bulanan Kota Jakarta tahun 2014

12
13
13
14
15
16
17
21
21
21
22
22

23

DAFTAR LAMPIRAN
1 Plot data aktual dan data ramalan laju inflasi bulanan Kota Bandung
(a), Kota Semarang (b), Kota Yogyakarta (c), Kota Surabaya (d), dan
Kota Serang (e) 2001-2013
2 Uji stasioneritas data laju inflasi bulanan ibukota provinsi di Pulau
Jawa 2001-2013
3 Plot ACF dan PACF laju inflasi bulanan ibukota provinsi di Pulau
Jawa 2001-2013
4 Uji kebebasan sisaan model ARIMA
5 Uji kebebasan sisaan model terpilih
6 Uji kenormalan sisaan
7 Plot data aktual, data ramalan model VAR(1), model GSTAR(11)
pembobot kebalikan jarak, dan model GSTAR(11) pembobot langkah
ratu laju inflasi bulanan Kota Bandung (a), Kota Semarang (b), Kota
Yogyakarta (c), Kota Surabaya (d), dan Kota Serang (e) tahun 2014
8 Pendugaan parameter model GSTARIMA(11,21)-I(0)
9 Uji kebebasan sisaan model GSTARIMA(11,21)-I(0)

27
32
33
34
35
36

37
39
40

1

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Laju inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan
moneter dengan tetap memperhatikan pertumbuhan, perkembangan, dan kebijakan
ekonomi. Berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, mulai
tahun 2005 diberlakukan kerangka kerja penargetan inflasi yang ditandai dengan
pengumuman kepada publik tentang target inflasi beberapa waktu (tahun) ke
depan. Pembentukan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) sebagai tindak lanjut
dari kerangka kerja penargetan inflasi dikarenakan beragamnya tingkat inflasi
antar daerah sebagai penyusun inflasi nasional. Tim ini dibentuk untuk
mengendalikan inflasi yang berasal dari gangguan sisi penawaran atau inflasi noninti, sedangkan BI hanya dapat mempengaruhi inflasi inti yaitu inflasi barang dan
jasa yang perkembangan harganya sangat ditentukan oleh kinerja perekonomian
secara umum, seperti nilai tukar dan keseimbangan antara permintaan dan
penawaran. Gangguan dari sisi penawaran lebih dominan dalam mempengaruhi
perkembangan inflasi di Indonesia dibandingkan sisi permintaan (Solikin 2007).
Pentingnya pengendalian inflasi dikarenakan inflasi yang tinggi
menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Harga
barang dan jasa yang semakin meningkat menyebabkan pendapatan riil
masyarakat menurun yang bisa menimbulkan peningkatan kemiskinan,
pengangguran, penurunan Nilai Tukar Petani (NTP) dan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). Hiper inflasi terjadi ketika pergantian pemerintahan dari orde
lama ke orde baru pada tahun 1966 dengan laju inflasi sebesar 636 persen. Inflasi
berat terjadi ketika pergantian pemerintahan dari orde baru ke orde reformasi pada
tahun 1998 dengan laju inflasi sebesar 77.63 persen.
Indonesia merupakan negara kepulauan terluas di dunia dengan keragaman
karakteristik antar daerah, termasuk struktur ekonomi. Hal ini terkait dengan
faktor endogen maupun faktor eksogen dari wilayah tersebut. Memiliki sumber
daya tertentu yang melimpah di satu sisi dan di sisi lain mengalami keterbatasan
sumber daya yang lainnya. Hal tersebut menyebabkan perbedaan tingkat harga
yang berdampak pada keragaman tingkat inflasi antar daerah. Meskipun demikian
terdapat kedekatan secara spasial dan ekonomi. Penelitian mengenai inflasi
regional menyatakan terjadinya keterkaitan inflasi antar provinsi (Wimanda
2006). Dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasa, setiap daerah membutuhkan
daerah lain di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang tidak
dapat disediakan oleh daerah bersangkutan. Sehingga pergerakan inflasi selain
terkait dengan waktu sebelumnya, juga memiliki keterkaitan dengan daerah
lainnya yang dikenal dengan hubungan spasial.
Berdasarkan PDRB atas dasar harga berlaku tahun 2013, provinsi-provinsi
di Pulau Jawa memberikan kontribusi yang dominan terhadap PDB yaitu
mencapai 57.99 persen (1,637 trilyun rupiah). Hal ini menyebabkan pertumbuhan
ekonomi di Pulau Jawa sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
nasional. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan maka inflasi
yang rendah dan terkendali menjadi prasayarat utama. Peramalan inflasi ibukota

2

provinsi di Pulau Jawa diperlukan untuk mengantisipasi lonjakan inflasi yang
tinggi serta kebijakan yang tepat untuk mengendalikan inflasi tersebut.
Pada pemodelan data deret waktu, pergerakan data dapat terjadi bersamaan
atau mengikuti pergerakan data lainnya. ARIMA merupakan salah satu
pemodelan deret waktu peubah tunggal sedangkan VARIMA merupakan salah
satu pemodelan deret waktu peubah ganda. Pemodelan inflasi pada beberapa
lokasi dapat didekati dengan model VARIMA dengan menganggap lokasi-lokasi
tersebut sebagai peubah-peubah data deret waktu.
Analisis data ruang waktu merupakan pengembangan analisis data deret
waktu yang tidak hanya memperhatikan keterkaitan waktu sebelumnya tetapi juga
memperhatikan keterkaitan lokasinya. GSTAR (Generalized Space-Time
Autoregressive) dikenalkan oleh Borovkova et al. (2002). Model tersebut
membentuk parameter yang bisa berbeda baik untuk faktor waktu maupun lokasi.
Nainggolan (2010) memodelkan data inflasi tiga kota di Jawa Barat dengan
pendekatan GSTAR-ARCH. Laily (2013) melakukan pemodelan inflasi Kota
Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta dengan pendekatan GSTAR. GSTARIMA
(Generalized Space-Time Autoregressive Integrated Moving Average) sebagai
model umum dari GSTAR dapat digunakan untuk memodelkan inflasi di beberapa
lokasi jika pada data deret waktu tersebut terdapat unsur otoregresif, pembedaan,
dan rataan bergerak.
Penelitian ini mengkaji apakah pengaruh lokasi pada model GSTARIMA
lebih baik dari model VARIMA. Pembobot lokasi yang digunakan yaitu
pembobot kebalikan jarak dan pembobot langkah ratu. Penentuan ordo waktu
model GSTARIMA didasarkan ordo ARIMA tertinggi dari masing-masing lokasi
dan ordo VARIMA dari semua lokasi secara simultan. Kelebihan model
GSTARIMA adalah dugaan parameter yang lebih sedikit dibandingkan model
VARIMA serta memperhatikan pengaruh spasial dan waktu.

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan laju inflasi ibukota provinsi di Pulau Jawa.
2. Menduga parameter model inflasi bulanan dengan pendekatan VARIMA dan
GSTARIMA.
3. Memperoleh model terbaik untuk meramalkan inflasi bulanan ibukota provinsi
di Pulau Jawa.

13

2

TINJAUAN PUSTAKA
Inflasi

Inflasi adalah seluruh kenaikan harga output dalam perekonomian
(Mankiw 2007). Bank Indonesia mengartikan inflasi adalah meningkatnya hargaharga secara umum dan terus menerus. BPS menggunakan indeks harga
konsumen (IHK) sebagai indikator penghitungan inflasi. Inflasi adalah persentase
perubahan IHK pada suatu waktu.
Formulasi penghitungan laju inflasi dinayatakan dalam persen sebagai
berikut:
(1)
dengan,
: inflasi periode ke-t
: Indeks Harga Konsumen periode ke-t
: Indeks Harga Konsumen periode ke-(t-1)
Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan salah satu indikator ekonomi
yang digunakan untuk mengukur tingkat perubahan harga (inflasi/deflasi) di
tingkat konsumen, khususnya di daerah perkotaan. Perubahan IHK dari waktu ke
waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket komoditas yang dikonsumsi oleh
rumah tangga. IHK mencakup tujuh kelompok pengeluaran, yaitu: bahan
makanan; makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau; perumahan, air, listrik,
gas, dan bahan bakar; sandang; kesehatan; pendidikan, rekreasi, dan olah raga;
transport,komunikasi, dan jasa keuangan. Mulai Januari 2014, pengukuran inflasi
di Indonesia menggunakan IHK tahun dasar 2012=100. Perubahan mendasar
dalam penghitungan IHK baru (2012=100) dibandingkan IHK lama (2007=100).
Perubahan cakupan kota menjadi 82 kota dari semula 66 kota, mencakup 859
paket komoditas, dan diagram timbang yang didasarkan pada Survei Biaya Hidup
(SBH) 2012 yang dilaksanakan oleh BPS.
Inflasi dapat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari sisi penawaran
seperti tingginya permintaan terhadap barang/jasa namun yang ditawarkan
sedikit/langka. Sedangkan faktor yang bersifat kejutan seperti kenaikan harga
BBM dan adanya gangguan panen atau bencana alam. Penyebab inflasi antara
lain: tarikan permintaan konsumen, desakan biaya produksi, inflasi barang-barang
impor, serta ekspektasi pelaku ekonomi (Sukirno 2008). Beberapa teori yang
menjelaskan inflasi, yaitu: Teori Kuantitas, Keynesian Model, Mark-up Model,
dan Teori Struktural (Atmadja 1999).

Uji Stasioneritas
Pemodelan deret waktu mensyaratkan kestasioneran data yang digunakan.
Hal ini bertujuan agar model regresi yang diperoleh memiliki kemampuan
prediksi yang handal dan menghindari timbulnya regresi lancung (spurious

4

regression). Suatu data deret waktu dikatakan sudah stasioner jika nilai tengah
dan ragamnya konstan serta tidak terdapat pola musiman. Berdasarkan plot data
pengamatan terhadap waktu, data dikatakan stasioner jika secara stokastik
menunjukkan pola yang konstan dari waktu ke waktu dengan kecenderungan
fluktuasinya di sekitar nilai tengah dengan amplitudo yang relatif tetap.
Uji formal kestasioneran yang didasarkan pada uji akar unit adalah uji
Augmented Dickey Fuller (ADF). Uji ADF telah mempertimbangkan
kemungkinan adanya otokorelasi pada galat jika data yang digunakan tidak
stasioner. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui persamaan model nilai tengah nol
(zero mean) sebagai berikut:
(2)
dengan adalah data pengamatan pada waktu ke-t, adalah koefisien otoregresif
dan adalah galat yang bersifat white noise.
Hipotesis berdasarkan akar unit:
(data mengandung akar unit)
(data tidak mengandung akar unit)
Langkah selanjutnya adalah menghitung nilai statistik ADF dengan
statistik uji t sebagai berikut:
̂
(3)
̂

Hipotesis nol ditolak jika nilai statistik ADF (
) lebih besar dari nilai kritis
Tabel MacKinnon sehingga dapat disimpulkan bahwa data tidak mengandung
akar unit atau data sudah stasioner. Jika data tidak stasioner dalam nilai tengah
maka dilakukan pembedaan, sedangkan jika data tidak stasioner dalam ragam
dilakukan transformasi atau pemodelan ARCH atau GARCH.

Model Vector Autoregressive Integrated Moving Average (VARIMA)
Model VARIMA merupakan model deret waktu peubah ganda
pengembangan dari model ARIMA. Model ini menjelaskan keterkaitan antara
pengamatan dan galat pada suatu peubah pada waktu tertentu dengan pengamatan
dan galat pada peubah itu sendiri dan peubah lain pada waktu sebelumnya. Model
VARIMA merupakan model persamaan simultan karena didalamnya
dipertimbangkan beberapa peubah endogen secara bersamaan.
Model VARIMA(p,d,q) dengan p, d, dan q masing-masing merupakan
ordo otoregresif, pembedaan, dan rataan bergerak didefinisikan sebagai berikut
(Wei 2006):
(4)
dimana,
2

2

15

dengan,
: vektor pengamatan dengan
berukuran
: matriks parameter vektor otoregresif ordo ke-p berukuran
: matriks parameter vektor rataan bergerak ordo ke-q berukuran
B
: operator shift mundur
: operator pembedaan
: vektor acak white noise dengan
ketika

maka menjadi model VARMA dituliskan sebagai berikut:
(5)

ketika

dan

maka menjadi model VAR dituliskan sebagai berikut:
(6)

Identifikasi Vektor Model Deret Waktu
Identifikasi vektor model deret waktu pada prinsipnya sama halnya dengan
identifikasi model deret waktu peubah tunggal. Untuk N pengamatan (Z1, Z2, …,
Zn) maka identifikasi vektor model deret waktu berdasarkan pola matriks fungsi
korelasi silang contoh (Matrix Autocorrelation Function/MACF) dan matriks
fungsi korelasi parsial contoh (Matrix Partial Autocorrelation Function/MPACF).
MACF pada lag waktu ke-k dirumuskan sebagai berikut (Wei 2006):

dimana,
̂

̂


̂



̅

(7)
̅



̅

(8)

̅

dengan ̅ dan ̅ adalah rata-rata sampel dari komponen deret yang bersesuaian.
MACF contoh digunakan dalam identifikasi model rataan bergerak. Jika matriks
korelasinya bernilai nol setelah lag ke-q maka model yang bersesuaian adalah
VMA(q). MPACF pada lag waktu ke-k dirumuskan sebagai berikut (Wei 2006):

√(

(

̂

̂ √(

̂

̂

(9)

dengan ̂ dan ̂
adalah MSE terkecil penduga regresi linier. MPACF
digunakan dalam identikasi model VAR. Korelasi antara
dengan
bisa
diketahui setelah ketergantungan linear pada peubah
dihilangkan. Jika MPACF terpangkas pada lag ke-p maka model yang bersesuaian
adalah VAR(p).
Bentuk matriks dan grafik semakin kompleks apabila dimensi dari
vektornya semakin besar sehingga menyulitkan dalam mengidentifikasi vektor
model deret waktu. Untuk memudahkan hal ini maka diberi tanda (+) , (-), dan (·)
pada posisi ke- (i,j) dari matriks. Tanda (+) menunjukkan nilai yang lebih dari 2
kali dugaan galat baku (signifikan), tanda (-) menunjukkan nilai yang kurang dari
-2 kali dugaan galat baku (signifikan), dan tanda (·) menunjukkan nilai antara -2
dan 2 kali dugaan galat baku (tidak signifikan).

6

Model Generalized Space Time Autoregressive Intergrated Moving Average
(GSTARIMA)
Model ruang-waktu merupakan salah satu model yang menggabungkan
unsur ketergantungan waktu dan lokasi pada suatu data deret waktu peubah ganda.
Model ini merupakan pemodelan dari sejumlah pengamatan Zit yang terdapat pada
tiap N lokasi dalam suatu ruang (i 1,2, …, n) terhadap T periode waktu.
Segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi
sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh dari pada sesuatu yang jauh
(Tobler 1970). Untuk mengakomodasi adanya efek spasial maka pemilihan atau
penentuan bobot lokasi yang tepat diperlukan untuk membentuk matriks
pembobot spasial yang akan dimasukkan dalam model. Efek waktu dirumuskan
sebagai model deret waktu, dan efek lokasi dirumuskan sebagai matriks pembobot
spasial.
Model Space Time Autoregressive (STAR) merupakan model regresi diri
deret waktu dari Box-Jenkins yang dikembangkan di beberapa lokasi secara
simultan dan mempunyai karakteristik adanya keterantungan lokasi dan waktu
(Pfeiper & Deutsch 1980). Model STAR sesuai untuk lokasi-lokasi dengan
karakteristik homogen, karena model tersebut mengasumsikan parameter
otoregresif dan parameter ruang-waktu bernilai sama untuk semua lokasi.
Untuk memudahkan interpretasi model STAR, orde spasial dibatasi pada
orde 1. Model STAR dirumuskan sebagai berikut:


dengan,



(10)

: vektor pengamatan dengan
berukuran
: matriks diagonal parameter autoregressive pada lag waktu ke-k dan lag
spasial ke-l berukuran
: matriks pembobot spasial lag ke-l berukuran
dengan
adalah matriks identitas berukuran
: vektor acak white noise dengan
berukuran
Model GSTAR merupakan pengembangan model STAR dengan
parameter ruang-waktu bisa berbeda untuk setiap lokasi (Borovkova et al. 2002).
Tujuan pemodelan adalah untuk mengatasi fenomena lokasi yang bersifat
heterogen. Model GSTARIMA merupakan model umum dari GSTAR. Jika
merupakan vektor pengamatan dengan deret yang tidak stasioner maka dilakukan
pembedaan sehingga ́
menjadi stasioner. GSTARIMA
didefinisikan sebagai berikut:
́





́





(11)
dengan,
́
́
́
́
: vektor pengamatan dengan ́
berukuran
: matriks diagonal parameter autoregressive pada lag waktu ke-k dan lag
spasial ke-l berukuran
: matriks pembobot spasial lag ke-l berukuran
dengan
adalah matriks identitas berukuran

17

: matriks diagonal parameter moving average pada lag waktu ke-k dan lag
spasial ke-l berukuran
: vektor acak white noise dengan
berukuran
Parameter model persamaan (11) diduga dengan meminimumkan jumlah
sisaan kuadrat bersyarat:
Suatu model yang mengandung unsur rataan bergerak maka
nonlinier
dalam parameter. Pendugaan kuadrat terkecil nonlinier menggunakan teknik
pencarian iterasi. Iterasi berhenti jika kriteria konvergensi tercapai. Untuk
memperoleh konvergensi yang lebih baik dan cepat dapat menggunakan algoritma
Marqurdt yang merupakan kompromi metode Gauss-Newton dan metode turunan
tercuram (Draper & Smith 1981).
ketika
maka menjadi model GSTARMA
sehingga dirumuskan
sebagai berikut:
∑k 1 ∑vl k0 ̂ kl l t-k
(12)
- ∑k 1 ∑l k0 ̂ kl l ketika

dan

maka menjadi persamaan model GSTAR
i
kl

∑k 1 ∑l k0

i

wi1l

-

wi2l

… wi l

2 -

:

(13)

i

-

(0

untuk t
, 1, …, , i
…, , dimana wij 1 untuk i = j dan nol untuk
selainnya.
Penduga parameter otoregresif dengan metode kuadrat terkecil telah
diturunkan oleh Borovkova et al. (2008). Notasi baru didefinisikan sebagai
berikut:
i

dengan

i

(

i
i

t

, …,

i

i

l

0

0

( 1
( 1

∑nj i wijl

i

,

i

i

1

1

j

untuk

i

(ei

l ≥ 1 dan

, …, ei

1
1

0

t

i

,
i

i

i

0

0

( 1
i

0

)

( 1
i

0
i

i
i
i
i
i
.
( 10 , …, 1 1 , 20 , …, 2 2 , …, 0 , …,
Persamaan (13) dapat dinyatakan untuk semua lokasi secara simultan
sebagai model linier:

dan

i

(14)
dimana

,
( 1 , …,
, ( 1,…,
( 1 ,…,
1 , …,
Penduga kuadrat terkecil ̂ dirumuskan sebagai berikut:
̂

.
(15)

8

Matriks Pembobot Spasial
Hubungan kedekatan antar lokasi dapat dinyatakan dalam bentuk matriks
pembobot spasial. Matriks pembobot spasial kebalikan jarak merupakan salah satu
matriks pembobot tipe data spasial titik. Nilai dari bobot kebalikan jarak diperoleh
berdasarkan perhitungan jarak sebenarnya antar lokasi yang dalam
perhitungannya dapat menggunakan jarak koordinat lintang dan bujur antar titik
pusat lokasi yang diamati. Lokasi yang berdekatan mendapatkan nilai bobot yang
lebih besar dan demikian pula sebaliknya.

dengan,
=1/

{∑
dimana

(16)

merupakan jarak antar lokasi ke-i dan lokasi ke-j.

Salah satu metode untuk mendefinisikan hubungan kebertetanggaan antar
lokasi yang bergerak berdasarkan langkah ratu pada permainan catur adalah queen
contiguity (persinggungan sisi-sudut). Nilai 1 diberikan pada lokasi yang
berbatasan langsung dengan lokasi pengamatan, sedangkan lokasi lainnya
diberikan nilai 0. Matrik pembobot spasial dengan langkah ratu merupakan salah
satu matriks pembobot tipe data spasial area yang diperoleh dengan
menormalisasi matriks queen contiguity sehingga diperoleh jumlah per baris
adalah 1.
{

(17)

Uji Otokorelasi Spasial
Otokorelasi spasial merupakan penilaian korelasi pada suatu peubah antar
pengamatan atau lokasi. Adanya pola sistematik suatu peubah dalam ruang
menunjukkan korelasi spasial. Indeks Moran merupakan salah satu metode
penghitungan otokorelasi spasial yang dirumuskan sebagai berikut (Lee & Wong
2001):










̅

̅

̅

(18)

dengan,
N
: banyaknya lokasi pengamatan
Xi
: Nilai peubah pada suatu lokasi tertentu
Xj
: Nilai peubah pada lokasi yang lain
wij
: pembobot spasial yang diterapkan antara lokasi ke-i dan ke-j
Pengujian hipotesis satu arah dilakukan untuk mengetahui adanya
otokorelasi spasial. Terdapat dua jenis hipotesis alternatif (H1) yaitu otokorelasi
spasial positif atau otokorelasi spasial negatif. Hal tersebut disesuaikan dengan
nilai Indeks Moran yang diperoleh, jika Indeks Moran bernilai positif maka
hipotesis alternatifnya terdapat otokorelasi spasial positif, dan sebaliknya.

19

Adapun hipotesisnya sebagai berikut:
H0 : I = 0 (tidak terdapat otokorelasi spasial)
H1 : I > 0 (terdapat otokorelasi spasial positif)
H1 : I < 0 (terdapat otokorelasi spasial negatif)
Statistik uji diturunkan dari normal baku sebagai berikut:
(19)
dengan,
: nilai Indeks Moran
: nilai statistik uji Indeks Moran
: nilai harapan dari Indeks Moran
: simpangan baku dari Indeks Moran
dimana,







Hipotesis nol ditolak jika |
terdapat otokorelasi spasial.

|



∑ ∑
atau nilai-p <

yang berarti

Kriteria Pemilihan Model Terbaik
Penentuan model berdasarkan skema plot MACF dan MPACF secara teori
tidak praktis karena tergantung pada pengalaman peneliti. Salah satu kriteria
pemilihan dalam penentuan model terbaik pada data in-sample (data training)
adalah AICC (Akaike’s Information Criterion Corrected). Model terbaik adalah
model dengan nilai AICC paling kecil. AICC didefinisikan sebagai berikut (SAS
2011):
(|̂|
(20)

dengan,
̂ : matriks nilai dugaan kovarian sisaan model dengan penduga kemungkinan
maksimum
: banyaknya parameter yang diduga
T : banyaknya pengamatan
k : banyaknya peubah respon
Kriteria pemilihan model terbaik berdasarkan kesalahan peramalan untuk
data testing digunakan jika tujuan pembentukan model adalah untuk peramalan.
Kriteria yang digunakan adalah Root Mean Square Error Prediction (RMSEP)
terkecil yang merupakan ukuran perbedaan antara nilai prediksi dari model
dengan nilai sebenarnya dari observasi. Untuk model deret waktu peubah ganda
dengan lokasi, dan masing-masing merupakan banyaknya data training dan
data testing pada masing-masing lokasi, RMSEP gabungan didefinisikan sebagai
berikut:


√ ∑



̂

(21)

10

Uji Kelayakan Model
Suatu model sementara dapat dijadikan model peramalan apabila asumsi
kebebasan galat terpenuhi. Kebebasan sisaan secara sendiri-sendiri dapat dilihat
dari signifikansi uji Ljung-Box. Kebebasan sisaan secara simultan dapat dilihat
berdasarkan plot MACF sisaan dengan tanda positif (+), negatif (-), dan titik (·)
pada posisi ke-(i,j) dari matriks (Wei 2006 mengacu Tiao & Box 1981). Tanda
positif dan negatif menujukkan adanya korelasi sisaan yang signifikan, sedangkan
tanda titik menunjukkan tidak terdapat korelasi sisaan. Semakin banyak tanda (.)
menunjukkan asumsi kebebasan sisaan terpenuhi.
Ketika membentuk model dugaan, maka sisaan disyaratkan menyebar
normal ganda. Hal tersebut bertujuan agar dapat dilakukan uji signifikansi dari
dugaan parameter yang dihasilkan. Kenormalan sisaan secara sendiri-sendiri
dapat dilihat dari signifikansi uji Shapiro-Wilk W atau uji Kolmogorov-Smirnov.
Sedangkan kenormalan sisaan secara simultan dapat dilihat berdasarkan uji
normal ganda Mardia. Sisaan yang tidak berkorelasi dan menyebar secara acak
mengindikasikan bahwa model telah mampu menjelaskan keragaman peubah
respon.

111

3

METODE PENELITIAN
Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data
inflasi bulanan enam kota yang merupakan ibukota provinsi di Pulau Jawa
mewakili provinsi tahun 2001-2014 yang berasal dari Badan Pusat Statistik.

Peubah

Tabel 3.1 Peubah yang digunakan dalam penelitian
Keterangan
Tipe peubah
Laju inflasi Kota Jakarta
Numerik
Laju inflasi Kota Bandung
Numerik
Laju inflasi Kota Semarang
Numerik
Laju inflasi Kota Yogyakarta
Numerik
Laju inflasi Kota Surabaya
Numerik
Laju inflasi Kota Serang
Numerik

Satuan
Persen
Persen
Persen
Persen
Persen
Persen

Metode Analisis

1.

2.
3.
4.

5.

Tahapan analisis pada penelitian ini sebagai berikut:
Eksplorasi Data
Eksplorasi data dilakukan untuk melihat deskripsi laju inflasi bulanan ibukota
provinsi di Pulau Jawa meliputi enam kota, yaitu: Jakarta, Bandung, Semarang,
Yogyakarta, Surabaya, dan Serang.
Mendeteksi adanya otokorelasi spasial antar pengamatan yang saling
berdekatan dengan Uji Indeks Moran.
Memeriksa kestasioneran masing-masing peubah
Metode yang digunakan adalah uji Augmented Dickey Fuller (ADF).
Pembentukan model ARIMA masing-masing lokasi dengan tahapan sebagai
berikut:
a. Identifikasi model sementara
b. Pendugaan Parameter
Metode untuk mendapatkan parameter menggunakan metode kuadrat
terkecil untuk model otoregresif atau metode kemungkinan maksimum jika
terdapat unsur rataan bergerak.
c. Overfitting
Model sementara terpilih jika penambahan parameter tidak berbeda nyata.
d. Diagnostik model
Model sesuai jika sisaan bersifat white noise dengan uji Ljung-Box.
Pembentukan dan pengkajian model VARIMA dengan tahapan sebagai
berikut:
a. Penentuan model
Penentuan model berdasarkan ordo model dengan nilai AICC terkecil.
b. Pendugaan Parameter
Pendugaan parameter menggunakan metode kuadrat terkecil untuk model
VAR(p) atau metode kemungkinan maksimum jika terdapat unsur MA.

12

c. Diagnostik model
Model sesuai jika sisaan bersifat white noise dengan uji Ljung-Box serta
melihat plot MACF sisaan. Uji kenormalan sisaan uji Jarque-Bera.
6. Pembentukan dan pengkajian model GSTARIMA dengan tahapan sebagai
berikut:
a. Penentuan model
Penentuan ordo model GSTARIMA berdasarkan orde hasil identifikasi
model VARIMA dan orde tertinggi model ARIMA.
b. Pendugaan Parameter
Pendugaan parameter menggunakan metode kuadrat terkecil nonlinier
dengan algoritma Gauss-Newton atau algoritma Marqurdt berdasarkan
pembobot spasial yang dipilih yaitu pembobot kebalikan jarak dan
pembobot langkah ratu.
c. Diagnostik model
Model sesuai jika sisaan bersifat white noise dengan uji Ljung-Box. Uji
normal ganda sisaan dengan uji Mardia, sedangkan secara individu
menggunakan uji Shapiro-Wilk W.
7. Penarikan kesimpulan
Menentukan model terbaik berdasarkan nilai RMSEP terkecil pada data testing.
Perangkat lunak yang digunakan dalam pengolahan data adalah SAS 9.3
dan R 3.1.3. Gambar 3.1 menyajikan diagram alir penelitian:

Gambar 3.1. Diagram alir penelitian

113

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan laju inflasi tahunan ibukota provinsi di Pulau Jawa
Dalam kurun waktu 2001-2014 menunjukkan tren menurun. Rata-rata laju
inflasi tahunan nasional pada periode tersebut adalah 7.5 persen. Inflasi tertinggi
terjadi pada tahun 2005 mencapai 17.29% untuk inflasi nasional. Begitu juga
dengan laju inflasi ibukota provinsi di Pulau Jawa mencapai 15 hingga 19 persen
(Gambar 4.1 dan Gambar 4.2). Salah satu penyebabnya adalah kenaikan harga
BBM yang cukup tinggi pada bulan Oktober 2005 yang menyebabkan kenaikan
harga barang dan jasa lainnya. Inflasi bisa ditekan kurang dari 2 digit pada kurun
waktu 2009-2014.

15

10

Jakarta

5

Bandung

0

Surabaya
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014

Laju Inflasi (%)

20

Tahun

Gambar 4.1 Perkembangan laju inflasi tahunan ibukota provinsi di Pulau Jawa
dengan rata-rata dibawah inflasi nasional 2001-2014

Laju Inflasi (%)

20
15
10

Semarang

5

Yogyakarta
Serang
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014

0

Tahun

Gambar 4.2 Perkembangan laju inflasi ibukota provinsi di Pulau Jawa
dengan rata-rata diatas inflasi nasional 2001-2014

Deskripsi Data
Eksplorasi data laju inflasi bulanan dengan diagram kotak garis bergunan
untuk mengetahui pola sebaran data. Gambar 4.3 menunjukkan bahwa rata-rata
laju inflasi bulanan di masing-masing kota relatif sama. Secara umum, tingkat

14

keragaman laju inflasi Kota Serang lebih besar dibandingkan kota-kota lainnya.
Terdapat pencilan minor maupun pencilan ekstrim pada setiap kota.

Gambar 4.3 Diagram kotak garis laju inflasi bulanan
ibukota provinsi di Pulau Jawa 2001-2013
Tabel 4.1 menunjukkan adanya korelasi laju inflasi bulanan antar wilayah
cukup tinggi diatas 0.75. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan linier positif
laju inflasi bulanan antar wilayah. Laju inflasi pada bulan tertentu di setiap kota
cenderung sama. Korelasi tertinggi terjadi antara laju inflasi bulanan Kota Jakarta
dan Kota Semarang sedangkan korelasi terendah terjadi antara laju inflasi bulanan
Kota Serang dan Kota Surabaya.
Tabel 4.1 Matriks korelasi laju inflasi bulanan
Peubah Z1
Z2
Z3
Z4
Z5
Z6
Z1
1.00 0.87 0.91 0.86 0.89 0.82
Z2
0.87 1.00 0.87 0.84 0.82 0.83
Z3
0.91 0.87 1.00 0.87 0.90 0.84
Z4
0.86 0.84 0.87 1.00 0.83 0.80
Z5
0.89 0.82 0.90 0.83 1.00 0.78
Z6
0.82 0.83 0.84 0.80 0.78 1.00
Kecenderungan pengelompokan wilayah berdasarkan laju inflasi bulanan
dapat ditunjukkan pada Gambar 4.4. Rata-rata laju inflasi bulanan tahun 2014
pada wilayah barat cenderung lebih tinggi dibandingkan wilyah timur dan wilayah
tengah. Rata-rata laju inflasi bulanan tertinggi di Kota Serang (mewakili Provinsi
Banten) dan terendah di Kota Yogyakarta (mewakili Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta).

115

Gambar 4.4 Peta sebaran rata-rata laju inflasi bulanan ibukota provinsi
di Pulau Jawa 2014

Identifikasi Model ARIMA
Berdasarkan plot data inflasi bulanan di setiap kota pada Lampiran 1,
dapat ditunjukkan bahwa data deret waktu sudah stasioner pada level dan tidak
terdapat musiman. Uji ADF dilakukan untuk membuktikan kestasioneran data
secara formal. Hasil uji ADF di setiap kota pada Lampiran 2 diperoleh nilai-p
kurang dari taraf nyata 5 persen. Hal ini menunjukkan data deret waktu tidak
mengandung akar unit atau sudah stasioner pada level.
Identifikasi model ARIMA berdasarkan plot ACF dan PACF pada
Lampiran 3. Dapat ditunjukkan bahwa cut off terjadi pada lag 1 baik pada plot
ACF maupun PACF. Model tentatif untuk seluruh kota adalah ARIMA(1,0,0),
ARIMA(0,0,1), dan ARIMA(1,0,1). Berdasarkan overfitting diperoleh model
terbaik untuk masing-masing kota seperti ditunjukkan Tabel 4.2. Hasil uji LjungBox menunjukkan sisaan tidak berkorelasi (Lampiran 4).
Tabel 4.2 Model ARIMA terbaik
Lokasi
Model
RMSE
Jakarta
ARIMA(1,0,1) 0.81
Bandung
ARIMA(1,0,2) 0.88
Semarang
ARIMA(1,0,1) 0.92
Yogyakarta ARIMA(1,0,1) 0.74
Surabaya
ARIMA(1,0,1) 0.83
Serang
ARIMA(1,0,1) 0.93

Pemodelan VARIMA
Model VARIMA terbaik setelah dilakukan overfitting adalah VAR(1). Hal
ini didasarkan pada nilai AICC tekecil yaitu sebesar -9.6474. Berdasarkan uji
Ljung-Box pada masing-masing lokasi diperoleh nilai-p kurang dari 0.05 yang
berarti terdapat korelasi pada sisaan. Hasil uji F model otoregresif sisaan

16

diperoleh nilai-p lebih kecil 0.05 yang berarti terdapat korelasi pada sisaan.
Terdapat banyak pencilan yang berdampak pada ketidaknormalan sisaan seperti
ditunjukkan pada Gambar 4.5. Sebaran sisaan yang tidak berbentuk simetris
mengindikasikan sisaan tidak menyebar normal. Hasil uji Jarque-Bera untuk
masing-masing lokasi diperoleh nilai-p kurang dari 0.05 yang berarti asumsi
sisaan menyebar normal tidak terpenuhi.

Gambar 4.5 Diagram kotak garis sisaan model VAR(1) awal
Secara umum, tingginya laju inflasi pada bulan tertentu terkait dengan
kebijakan kenaikan harga bbm (bahan bakar minyak) bersubsidi yaitu bensin
premium dan solar. Pada akhir Bulan Juni 2001 terjadi kenaikan harga bbm ratarata sebesar 38 persen sedangkan pada Bulan Maret 2005 (t=51) terjadi kenaikan
harga bbm rata-rata sebesar 30 persen. Pada Bulan Oktober 2005 (t=58) terjadi
inflasi diatas 6 persen pada semua kota yang dipicu kenaikan harga bbm
bersubsidi diatas 87 persen. Pada Bulan Juni 2008 (t=90) terjadi inflasi diatas 2
persen pada semua kota yang didorong kenaikan harga bbm bersubsidi sekitar 30
persen pada akhir Bulan Mei 2008. Sedangkan pada Bulan Juli 2013 (t=151)
terjadi inflasi diatas 2 persen pada semua kota yang didorong kenaikan harga bbm
bersubsidi mencapai 44 persen pada akhir Juni 2013. Inflasi pada bulan tersebut
juga didorong oleh kenaikan harga pada kelompok bahan makanan dan kelompok
transpor, komunikasi dan jasa keuangan.
Presisi model berkurang jika terjadi perubahan laju inflasi yang signifikan.
Hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya pencilan sisaan. Pengamatan yang
merupakan pencilan diduga terkait dengan kejadian tertentu. Berdasarkan
pertimbangan tersebut maka untuk mendapatkan model terbaik dilakukan
penambahan peubah boneka. D1 bernilai 1 untuk kebijakan rata-rata persentase
kenaikan harga bbm bersubsidi diatas 50 persen pada tanggal 1-20 bulan berjalan
(bulan ke-t) atau tanggal 20 keatas pada bulan sebelumnya (bulan ke(t-1)). D2
bernilai 1 untuk kebijakan ratar-rata persentase kenaikan harga bbm sebesar 25
sampai 50 persen pada tanggal 1-20 bulan berjalan (bulan ke-t) atau tanggal 20
keatas pada bulan sebelumnya (bulan ke-(t-1)). D3 bernilai 1 jika terjadi
penurunan laju inflasi diatas 2 persen. Referensi bernilai 0 pada semua peubah
boneka.

117

Model VARIMA terbaik dengan penambahan peubah boneka setelah
dilakukan overfitting adalah VAR(1). Hal ini didasarkan pada nilai AICC tekecil
yaitu sebesar -11.13. Hasil pendugaan parameter model VAR(1) dapat dilihat
pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Pendugaan parameter model VAR(1) pada masing-masing lokasi
dengan penambahan peubah boneka
Dugaan pada masing-masing lokasi
Parameter
Z1
Z2
Z3
Z4
Z5
Z6
a
a
a
a
a
7.59
7.72
7.95
6.09
7.32
6.39a
a
a
a
a
a
1.73
1.78
1.99
1.77
1.67
1.98a
-2.40a
-1.56a
-3.02a
-1.97a
-2.04a
-3.01a
-0.11
0.01
-0.08
-0.06
-0.20
0.08
-0.04
0.00
-0.10
-0.16
-0.07
-0.06
-0.18
-0.08
-0.31a
-0.21
-0.26
-0.16
a
a
a
a
a
0.38
0.43
0.58
0.58
0.62
0.49a
0.40a
0.18
0.41a
0.34a
0.27a
0.24
a
a
0.13
0.10
0.20
0.14
0.21
0.09
a

Parameter nyata pada taraf uji 5%

Model VAR(1) untuk lokasi ke-i adalah sebagai berikut:
∑ 1

(22)

Model VAR(1) untuk Kota Jakarta adalah sebagai berikut:

Berdasarkan uji Ljung-Box, dapat disimpulkan bahwa sisaan tidak
berkorelasi. Secara simultan, asumsi kebebasan galat dapat dikatakan sudah
terpenuhi seperti ditunjukkan Gambar 4.6. Pada skema matriks korelasi silang
contoh terlihat didominasi tanda (.) yang berarti sisaan cenderung saling bebas.
Sedangkan tanda (+) dan (-) yang menunjukkan signifikansi korelasi sisaan hanya
berpencar pada sebagian kecil lag waktu saja, yaitu lag ke-3, lag ke-5, dan lag
ke-6. Hasil uji Jarque-Bera untuk masing-masing lokasi diperoleh nilai-p lebih
kecil dari 0.05 yang berarti sisaan tidak menyebar normal. Pengujian kebebasan
sisaan dan kenormalan sisaan masing-masing dapat dilihat pada Lampiran 5 dan
Lampiran 6.
Peubah/Lag
0
1
2
3
4
5
6
resZ1
++++++ ...... ...... ......
......
....+.
......
resZ2
++++++ ...... ...... .-....
......
......
......
resZ3
++++++ ...... ...... ......
......
.+....
......
resZ4
++++++ ...... ...... ......
......
......
......
resZ5
++++++ ...... ...... ......
......
++....
......
resZ6
++++++ ...... ...... .--...
......
......
+.+...
Gambar 4.6 Skema MACF sisaan model VAR(1) dengan penambahan
peubah boneka

18

Penyusunan Matriks Pembobot Spasial
Penyusunan matriks pembobot kebalikan jarak didasarkan pada jarak antar
lokasi pengamatan. Tabel 4.4 menunjukkan bahwa nilai pembobot kebalikan jarak
lebih besar untuk lokasi yang berdekatan, dan sebaliknya Hal ini diduga laju
inflasi untuk lokasi yang berdekatan memiliki ketertkaitan yang lebih besar
dibandingkan lokasi yang lebih jauh.

Wij
Z1
Z2
Z3
Z4
Z5
Z6

Tabel 4.4 Matriks pembobot kebalikan jarak
Z1
Z2
Z3
Z4
Z5
0.00
0.31
0.09
0.08
0.05
0.39
0.00
0.14
0.14
0.08
0.11
0.14
0.00
0.48
0.17
0.11
0.14
0.49
0.00
0.17
0.12
0.14
0.32
0.31
0.00
0.54
0.23
0.09
0.08
0.06

Z6
0.46
0.24
0.09
0.09
0.11
0.00

Pengujian efek spasial diperlukan untuk membuktikan adanya
ketergantungan spasial laju inflasi bulanan ibukota provinsi di Pulau Jawa.
Berdasarkan penghitungan pengaruh spasial pada rata-rata laju inflasi bulanan
tahun 2014 dengan pembobot kebalikan jarak diperoleh nilai Indeks Moran
sebesar 0.86. Hal ini menunjukkan terdapat korelasi spasial positif, yaitu rata-rata
laju inflasi bulanan pada wilayah yang berdekatan mirip atau cenderung
bergerombol. Hasil uji otokorelasi spasial diperoleh Z(I) = 3.17 > Z0.05 sehingga
tolak H0 yang berarti terdapat korelasi spasial positif yang nyata rata-rata laju
inflasi bulanan ibukota provinsi di Pulau Jawa pada taraf nyata 5 persen.
Pemilihan konsep contiguity (persinggungan) didasarkan pada asumsi
bahwa laju inflasi bulanan yang terjadi pada ibukota provinsi mewakili laju inflasi
bulanan provinsi tersebut. Nilai pembobot pada matriks pembobot spasial dengan
langkah ratu hanya terdapat pada lokasi tetangga yang berbatasan langsung
dengan lokasi pengamatan seperti ditunjukkan pada Tabel 4.5. Laju inflasi Kota
Jakarta merupakan laju inflasi Provinsi DKI Jakarta. Laju inflasi Kota Yogyakarta
diasumsikan mewakili laju inflasi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sedangkan untuk ibukota provinsi lainnya, laju inflasi diasumsikan mewakili laju
inflasi provinsi karena laju inflasi provinsi gabungan kota-kota didalamnya mulai
dihitung sejak tahun 2007.

Wij
Z1
Z2
Z3
Z4
Z5
Z6

Tabel 4.5 Matriks pembobot langkah ratu
Z1
Z2
Z3
Z4
Z5
0.00
0.50
0.00
0.00
0.00
0.33
0.00
0.33
0.00
0.00
0.00
0.33
0.00
0.33
0.33
0.00
0.00
1.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1.00
0.00
0.00
0.50
0.50
0.00
0.00
0.00

Z6
0.50
0.33
0.00
0.00
0.00
0.00

Berdasarkan penghitungan pengaruh spasial pada rata-rata laju inflasi
bulanan tahun 2014 dengan pembobot langkah ratu diperoleh nilai Indeks Moran

119

sebesar 0.85. Hal ini menunjukkan terdapat korelasi spasial positif, yaitu rata-rata
laju inflasi bulanan pada wilayah yang berdekatan mirip atau cenderung
bergerombol. Hasil uji otokorelasi spasial diperoleh Z(I) = 2.82 > Z 0.05 sehingga
tolak H0 yang berarti terdapat korelasi spasial positif yang nyata rata-rata laju
inflasi bulanan ibukota provinsi di Pulau Jawa pada taraf nyata 5 persen.

Pemodelan GSTARIMA
Penentuan ordo model GSTARIMA didasarkan pada ordo spasial dan ordo
waktu. Pada penelitian ini, ordo spasial dibatasi pada ordo ke-1, sedangkan ordo
waktu diturunkan dari ordo tertinggi model ARIMA atau ordo model VARIMA.
Pendugaan parameter untuk persamaan non linier membutuhkan proses iterasi
sehingga diperoleh fungsi objektif yang minimum dari metode estimasi. Model
GSTARIMA berdasarkan orde tertinggi ARIMA adalah GSTARIMA(11,21)-I(0).
Hasil pendugaan parameter untuk model GSTARIMA(11,21)-I(0) pembobot
kebalikan jarak dengan konvergensi sebesar 0.06 dan model GSTARIMA(11,21)I(0) pembobot langkah ratu dengan konvergensi sebesar 0.2 dapat dilihat pada
Lampiran 8. Namun demikian, kedua model tersebut tidak layak digunakan
sebagai model peramalan karena tidak terpenuhinya asumsi kebebasan galat
(dapat dilihat pada Lampiran 9).
Berdasarkan ordo model VARIMA yang terpilih yaitu VAR(1) maka
model GSTARIMA yang terpilih adalah GSTAR(11). Hasil pendugaan parameter
model GSTAR(11) dengan pembobot kebalikan jarak dan penambahan tiga
peubah boneka sebagian besar nyata pada taraf uji 5 persen (Tabel 4.6). Hal ini
menunjukkan model yang diperoleh cukup baik.
Tabel 4.6 Pendugaan parameter model GSTAR(11) dengan pembobot
kebalikan jarak
Parameter
Dugaan
Taksiran galat baku t-hitung nilai-p
7.16
0.22
32.12 0.00
1.75
0.09
20.44 0.00
-2.36
0.19
-12.32 0.00
0.13
0.11
1.22 0.23 a
0.02
0.11
0.16 0.88 a
-0.31
0.13
-2.40 0.02
0.59
0.12
4.95 0.00
0.11
0.13
0.90 0.37 a
0.14
0.12
1.22 0.23 a
0.39
0.10
3.84 0.00
0.65
0.12
5.28 0.00
0.97
0.15
6.55 0.00
0.03
0.11
0.27 0.79 a
0.44
0.13
3.47 0.00
0.43
0.13
3.32 0.00
a

Parameter tidak nyata pada taraf uji 5%
: Parameter otoregresif lag waktu ke-p dan lag spasial ke-l pada lokasi ke-i.

20

Hasil pendugaan parameter model GSTAR(11) dengan pembobot langkah
ratu dan penambahan tiga peubah boneka sebagian besar nyata pada taraf uji 5
persen (Tabel 4.7). Hal ini menunjukkan model yang diperoleh cukup baik. Nilai
dugaan parameter otoregresif bertanda negatif menunjukkan laju inflasi suatu kota
pada periode sebelumnya berpengaruh negatif terhadap laju inflasi sekarang.
Tabel 4.7 Pendugaan parameter model GSTAR(11) dengan pembobot
langkah ratu
Parameter
Dugaan
Taksiran galat baku t-hitung nilai-p
7.20
0.23
31.69 0.00
1.75
0.09
20.16 0.00
-2.26
0.19
-11.61 0.00
0.24
0.10
2.33
0.02
0.09
0.11
0.82
0.41a
-0.22
0.13
-1.62 0.11 a
0.64
0.11
5.97
0.00
0.41
0.13
3.25
0.00
0.21
0.12
1.78
0.08 a
0.28
0.09
3.03
0.00
0.53
0.12
4.52
0.00
0.84
0.15
5.52
0.00
-0.03
0.09
-0.28 0.78 a
0.11
0.12
0.93
0.35 a
0.34
0.13
2.70
0.01
a

Parameter tidak nyata pada taraf uji 5%

Model GSTAR(11) dengan penambahan peubah boneka untuk lokasi ke-i,
dengan i=1,2,…,6 dan j=1,2,…,6 adalah sebagai berikut:
∑l 0 ̂ 1l l (23)
Model GSTAR(11) pembobot kebalikan jarak berdasarkan Tabel 4.6 untuk
Kota Jakarta adalah sebagai berikut:

Model GSTAR (11) pembobot langkah ratu berdasarkan Tabel 4.7 untuk
Kota Jakarta adalah sebagai berikut:

Model GSTAR(11) pembobot kebalikan jarak dan pembobot langkah ratu
dapat dijadikan model ramalan jika sisaan tidak berkorelasi. Berdasarkan uji
Ljung-Box, dapat disimpulkan bahwa sisaan tidak berkorelasi (Lampiran 5).
Gambar 4.7 dan Gambar 4.8 menujukkan terpenuhinya asumsi kebebasan galat
secara simultan pada kedua model. Skema matriks korelasi silang contoh
menunujukkan dominasi tanda (.) yang berarti sisaan saling bebas. Sedangkan
tanda (+) dan (-) yang menunjukkan signifikansi korelasi sisaan hanya berpencar
pada sebagian k