Adaptasi Trenggiling Jawa (Manis Javanica) Terhadap Pemberian Formula Pakan Pengganti
ADAPTASI TRENGGILING JAWA (Manis javanica)
TERHADAP PEMBERIAN FORMULA PAKAN PENGGANTI
SEFI MAULIDA
DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Adaptasi Trenggiling
Jawa (Manis javanica) terhadap Pemberian Formula Pakan Pengganti adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2015
Sefi Maulida
NIM B04100137
ABSTRAK
SEFI MAULIDA. Adaptasi Trenggiling Jawa (Manis Javanica) terhadap
Pemberian Formula Pakan Pengganti. Dibimbing oleh CHAIRUN NISA’ dan
DEWI APRI ASTUTI.
Trenggiling Jawa (Manis javanica) merupakan salah satu mamalia yang
unik dan menarik. Satwa ini termasuk dalam golongan hampir punah dan
dilindungi, sehingga perlu mendapatkan perhatian untuk kelestariannya. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui waktu adaptasi trenggiling terhadap pemberian
formula pakan pengganti, jumlah konsumsi nutrien, tingkat kecernaan pakan serta
pengaruhnya terhadap pertambahan bobot badan trenggiling. Penelitian ini
menggunakan empat ekor trenggiling Jawa yang terdiri dari dua ekor betina dan
dua ekor jantan. Formula pakan untuk empat ekor trenggiling terdiri dari 237 g
kroto, 218 g (± 4 butir) telur ayam rebus, 89 g daging ayam mentah, 56 g ulat
hongkong, 185 g pelet ikan koi, 2 g tepung jangkrik, 440 ml air dan suplemen
yang terdiri atas 0.2 g kalsium, 0.025 g vitamin B kompleks, dan 0.006 g vitamin
K. Semua bahan diblender kecuali kroto dan ulat hongkong yang ditambahkan
utuh. Pakan diberikan dalam keadaan segar, sebanyak 4% dari bobot badan. Hasil
penelitian menunjukan proses adaptasi terhadap pemberian formula pakan
pengganti berlangsung rata-rata selama tujuh hari. Pakan dapat diadaptasi dengan
baik karena sesuai dengan palatabilitas dan pencernaan trenggiling. Pemberian
pakan sejumlah 4% BB dapat memenuhi kebutuhan energi hidup pokok
trenggiling dan berpengaruh terhadap kenaikan bobot badan rata-rata sebesar
7.04 g perhari.
Kata kunci: trenggiling Jawa (Manis javanica), adaptasi, formula pakan pengganti
ABSTRACT
SEFI MAULIDA. The Adaptation of Javan Pangolin (Manis javanica) to a Given
Substitute Feed Formula. Supervised by CHAIRUN NISA’ and DEWI APRI
ASTUTI.
Javan pangolin (Manis javanica) is one of the unique and interesting
mammals. The species is including rare and critically endangered wildlife, and
should receive attention for its conservation. The study aims to determine the
adaptation of pangolin to substitutes feed formula, nutrient intake, digestibility
rate and the effect on body weight gain. The study has used four Javan pangolins
consisting of two females and two males. Feed for four pangolin consists of 237 g
kroto, 218 g boiled eggs, 89 g raw chicken meat, 56 g meal worm, 185 g pellets
koi, 2 g crickets powder, 440 ml water and supplements consisting of 0.2 g
calcium, 0.025 g vitamin B complex, and 0.006 g vitamin K. All the ingredients
mixed in a blender except kroto and meal worm added whole. Feed was given
fresh state, as much as 4% of body weight. The results showed the process of
adaptation to the provision of substitutes feed formula lasts on average for seven
days. Feed can be adapted well due to accordance with palatability and digestion
of pangolins. Feeding as well as 4% BB have meet basic living energy and
however influence on the increase in body weight an average of 7.04 g daily.
Keywords: Javan pangolin (Manis javanica), adaptations, subtitutes feed formula
ADAPTASI TRENGGILING JAWA (Manis javanica)
TERHADAP PEMBERIAN FORMULA PAKAN PENGGANTI
SEFI MAULIDA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan segala rahmat, karunia dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Judul penelitian yang dipilih adalah
Adaptasi Trenggiling Jawa (Manis javanica) terhadap Pemberian Formula Pakan
Pengganti. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Drh
Chairun Nisa’, MSi, PAVet dan Prof Dr Ir Dewi Apri Astuti, MS selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, dorongan, nasehat serta
segala kemudahan yang diperoleh penulis mulai dari penelitian sampai penulisan
skripsi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada dosen pembimbing
akademik yaitu Drh Titiek Sunartatie, MSi. Ungkapan terima kasih sebesarbesarnya juga disampaikan kepada keluarga terutama ibu, bapak, kakak dan adik
serta seluruh keluarga besar atas segala doa, kasih sayang, dan dorongan moral
tanpa keluhan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman penelitian
Fitria Novita Andesip, teman-teman seperjuangan Acromion 47, Ganglion 48
serta sahabat setia Harlyn, Anna, Fitri, Mayah, Alfonsa, Dwi, Sinta, Nadia, Raja,
Firman, Abel, Gerard serta Danu atas segala kebersamaan dan dukungannya.
Penulis menyadari adanya kekurangan dan keterbatasan dalam skripsi ini.
Oleh karena itu, segala kritik dan saran terhadap skripsi ini sangat diharapkan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk pembaca dan yang berkepentingan.
Bogor, Oktober 2015
Sefi Maulida
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Trenggiling Jawa (Manis javanica)
Sistem Pencernaan Trenggiling
Pakan Trenggiling
Konsumsi dan Koefisien Cerna Bahan Pakan
METODE
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Formula Pakan Pengganti
Pemberian Pakan
Adaptasi Pakan Pengganti
Konsumsi Pakan
Konsumsi Zat Nutrien
Kecernaan Pakan
1. Kecernaan bahan kering
2. Kecernaan nutrien (protein kasar, lemak kasar, serat kasar
dan bahan ekstrak tanpa nitrogen)
Pengukuran Bobot Badan
Feed Convertion Rasio (FCR)
Koleksi Feses dan Preparasi Sampel untuk Analisis Proksimat
Parameter yang Diamati
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Adaptasi Trenggiling Jawa (Manis javanica) terhadap Pakan Pengganti
Konsumsi Pakan dan Kecernaan Zat Nutrien
Pertambahan Bobot Badan Trenggiling Jawa (Manis javanica)
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
vi
vi
1
1
2
2
2
2
3
4
5
5
5
5
6
6
7
7
7
7
7
7
7
8
8
8
8
8
9
9
10
13
15
15
15
16
19
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
Hasil analisis proksimat kroto dan rayap (% BK)
Susunan formula pakan pengganti (% BK)
Kandungan zat nutrien formula pakan alami dan pakan pengganti
Jumlah pakan dan tingkat konsumsi pakan pengganti selama masa
adaptasi
5. Kandungan bahan pakan pengganti yang dikonsumsi dan tingkat
kecernaan pakan trenggiling Jawa (Manis javanica)
6. Pertambahan bobot badan trenggiling Jawa (Manis javanica)
4
6
6
9
11
13
DAFTAR GAMBAR
Karakteristik morfologi trenggiling Jawa (Manis javanica)
Tampilan formula pakan pengganti dengan tekstur yang lunak
Cara pemberian pakan pengganti pada trenggiling Jawa (Manis javanica)
Grafik pertambahan bobot badan trenggiling Jawa (Manis javanica)
setiap minggu
5. Grafik pertambahan bobot badan trenggiling Jawa (Manis javanica)
selama penelitian
1.
2.
3.
4.
3
6
9
13
15
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Trenggiling Jawa (Manis javanica) merupakan mamalia yang unik karena
morfologi tubuhnya yang ditutupi oleh sisik-sisik keras mirip reptil, tidak
memiliki gigi (toothless) seperti unggas dan menggulung tubuhnya pada saat tidur
atau terancam (Breen 2003). Selain itu trenggiling memiliki daya penciuman lebih
baik dibandingkan dengan penglihatannya (Robinson 2005). Hal tersebut sangat
berhubungan dengan aktivitasnya yang lebih banyak terjadi pada malam hari
(nokturnal) serta aktif menemukan sarang semut dan rayap untuk mendapatkan
nutrien menggunakan daya penciumannya.
Trenggiling Jawa merupakan salah satu kekayaan fauna Indonesia yang unik
dan menarik. Satwa ini termasuk langka dan dilindungi berdasarkan UU
No. 5/1990 dan PP No. 17/1999 dan termasuk ke dalam daftar red list sebagai
critically endangered species menurut International Union for Conservation of
Nature (IUCN) (Challender et al. 2015). Namun, Convention on International
Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) masih
memasukkan trenggiling dalam kategori Appendix II yang berarti masih boleh
diperdagangkan dengan kuota sejak 7 Januari 1975 (Inskip dan Gillett 2005).
Pemerintah Indonesia telah memberlakukan aturan zero quota untuk perdagangan
trenggiling sejak tahun 2000. Akan tetapi perburuan dan perdagangan liar semakin
marak. Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan pasar karena adanya
kepercayaan sebagian masyarakat, khususnya masyarakat Cina, mengenai khasiat
sisik dan daging trenggiling. Sisik trenggiling dipercaya berkhasiat untuk
menyembuhkan keracunan, inflamasi, skabies, dan reumatik (Nowak 1999).
Penyelamatan dan pengelolaan populasi trenggiling secara ex situ dapat
dilakukan melalui penangkaran. Salah satu aspek yang sangat berpengaruh dalam
kegiatan penangkaran adalah penyediaan pakan. Pakan yang diberikan harus
sesuai dengan kebiasaan dan kebutuhan serta kualitas pakan trenggiling. Upaya ini
terkendala oleh pakan trenggiling yang spesifik, yaitu semut dan rayap yang
ketersediaannya di alam cukup terbatas sehingga harganya cukup mahal.
Beberapa kebun binatang di dunia, diantaranya Taipei Zoo dan Singapore Zoo
telah membuat formula pakan trenggiling. Sebagai contoh formula pakan yang
dibuat oleh Taipei Zoo yaitu terdiri dari larva lebah, kuning telur, apel, larva ulat,
bubuk ragi, bubuk kelapa, kalsium karbonat dan ditambahkan suplemen, vitamin
serta tanah (Yang et al. 2007). Singapore Zoo juga membuat formula pakan
mengadopsi dari Taipei Zoo yang terdiri dari telur ayam rebus, larva ulat, daging
cincang mentah, insectivore powder, kroto serta suplemen diantaranya kalsium
powder, kitin powder, vitamin B kompleks dan vitamin K (Vijayan et al. 2008).
Sejauh ini trenggiling di kedua kebun binatang tersebut telah beradaptasi dengan
baik terhadap formula pakan pengganti yang diberikan (Liushuai et al. 2015).
Pakan tersebut diformulasi khusus untuk menggantikan pakan alami sehingga
dapat menjamin ketersediaannya. Oleh karena itu maka penelitian yang bertujuan
mengadaptasikan trenggiling terhadap formula pakan pengganti sebagai pakan
alternatif ini penting untuk dilakukan.
2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu adaptasi trenggiling
terhadap pemberian formula pakan pengganti, jumlah konsumsi nutrien, serta
tingkat kecernaan dan pengaruhnya terhadap pertambahan bobot badan
trenggiling.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai formula
pakan pengganti yang dapat diadaptasi oleh trenggiling pada pemeliharaan
di kandang sebagai upaya untuk mendukung program konservasi ex situ.
TINJAUAN PUSTAKA
Trenggiling Jawa (Manis javanica)
Trenggiling Jawa merupakan salah satu jenis mamalia langka yang menjadi
kekayaan alam hayati Indonesia. Nama trenggiling berasal dari bahasa melayu
yakni pengguling atau guling yang artinya menggulung atau melingkar seperti
bola. Trenggiling Jawa di Indonesia tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan
dan beberapa pulau kecil di Kepulauan Riau, Pulau Lingga, Bangka, Belitung,
Nias, Pagai, Pulau Natuna, Karimata, Bali dan Lombok. Selain itu trenggiling
juga terdapat di Malaysia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar,
Thailand, dan Vietnam (Corbet dan Hill 1992).
Trenggiling termasuk kedalam ordo Pholidota yang hanya memiliki satu
famili yaitu Manidae dengan satu genus Manis. Terdapat delapan spesies
trenggiling yang terdistribusi di hutan-hutan tropis Asia dan Afrika. Tiga spesies
trenggiling Asia yaitu Manis javanica, M. crassicaudata, dan M. pentadactyla,
sedangkan empat spesies trenggiling Afrika yaitu M. gigantea, M. temminckii,
M. tricuspis, dan M. tetradactyla (Robinson 2005), serta satu spesies baru dari
trenggiling Asia yaitu M. culionensis (Gaubert dan Antunes 2005).
Trenggiling merupakan hewan soliter dan nokturnal. Tubuh hewan jantan
berukuran lebih besar dibandingkan betina. Lidah trenggiling dapat menjulur
panjang dan ditunjang oleh otot-otot ekstrinsik yang kuat dan berorigo pada
processus xyphoideus (Grzimek 1975). Karakteristik morfologi trenggiling adalah
tubuh bagian dorsal ditutupi oleh sisik mirip reptil, keempat kaki pendek dengan
kuku cakar, memiliki ekor yang panjang, serta menggulung tubuhnya pada saat
tidur dan terancam (Breen 2003) (Gambar 1). Selain itu trenggiling memiliki daya
penciuman lebih baik dibandingkan dengan penglihatannya (Robinson 2005). Hal
tersebut sangat berhubungan dengan aktivitasnya yang lebih banyak terjadi pada
malam hari (nokturnal) serta aktif menemukan sarang semut dan rayap untuk
mendapatkan pakan menggunakan daya penciumannya.
3
Gambar 1 Karakteristik morfologi trenggiling Jawa (Manis javanica)
Sistem Pencernaan Trenggiling
Trenggiling merupakan hewan insektivora, sehingga memiliki saluran
pencernaan sederhana. Trenggiling mempunyai beberapa keunikan yaitu memiliki
lidah yang dapat menjulur panjang, mempunyai bentuk seperti cacing (vermiform)
dan tidak memiliki frenulum yang mengikat lidah ke dasar mulut. Permukaan
dorsalnya memiliki sulcus medianus dan terdapat tiga tipe papilla yaitu papilla
filliformis, papilla fungiformis, dan papilla sirkumvallata yang terdapat putik
pengecap di bagian lateral intraepitel serta memiliki lyssa di ventral lidah seperti
halnya lidah anjing. Mukosa lidah tersusun oleh epitel pipih banyak lapis dengan
lapisan keratin yang tebal melapisi permukaan dorsal dan lebih tipis pada ventral
(Sari 2007).
Trenggiling tidak memiliki gigi seperti halnya unggas, memiliki lambung
tunggal dengan kurvatura minor yang pendek. Berbeda dengan lambung mamalia
pada umumnya, mukosa lambung trenggiling tersusun oleh epitel pipih banyak
lapis dengan lapisan keratin yang cukup tebal. Lambung trenggiling memiliki
kelenjar yang terdiri atas kelenjar mukus, kelenjar oxyntic yang tersembunyi
dibawah mukosa lambung dan kelenjar pilorus di bagian kaudal. Kelenjar mukus
tersusun oleh sel-sel mukus dan sel-sel endokrin. Kelenjar oxcyntic tersusun oleh
sel-sel mukus yang menyusun epitel permukaan, sel-sel leher, sel-sel parietal, selsel utama dan sel-sel endokrin. Kelenjar ini menyalurkan sekretanya ke lumen
lambung. Kelenjar pilorus tersusun atas sel-sel mukus dan sel-sel endokrin.
Berbeda dengan kedua kelenjar lainnya, kelenjar pilorus dilapisi oleh epitel
silindris sebagaimana umumnya mukosa lambung mamalia. Sebuah lipatan
mukosa yang besar berbentuk koma berjalan memanjang di distal kurvatura minor.
Mukosanya dilapisi oleh tonjolan-tonjolan yang disebut pyloric teeth
menggantikan ketiadaan gigi di ruang mulut. Adanya struktur ini ditunjang
dengan penebalan lapisan otot dan ditemukannya batu-batu kerikil pada lumen
lambung, memberikan dugaan bahwa daerah ini sebagai adaptasi terhadap jenis
pakan yang kasar atau keras, yaitu untuk melindungi mukosa lambung trenggiling
dari gesekan dengan eksoskeleton semut dan batu-batu kerikil yang termakan.
Bantuan kerikil atau butiran pasir yang tertelan berfungsi membantu proses
pencernaan trenggiling (Nisa’ et al. 2010).
4
Pakan Trenggiling
Trenggiling termasuk mamalia pemakan semut sehingga sering disebut
anteater (Feldhamer et al. 1999). Pakan utama dari trenggiling adalah semut
(Ordo Hymenoptera) dan rayap (Ordo Isoptera). Diantara keduanya semut merah
tanah (Myrmicaria sp.) merupakan pakan yang lebih disukai trenggiling (Heryatin
1983). Pada pemeliharaan trenggiling di kandang, pakan yang biasa diberikan
adalah kroto. Kroto merupakan campuran pupa dan larva semut rang-rang yang
dijual atau dimanfaatkan sebagai pakan burung berkicau dan umpan memancing
(Sari 2005). Dari hasil analisis proksimat, menunjukkan bahwa kroto dan rayap
memiliki kandungan protein, lemak dan energi total yang tinggi (Tabel 1).
Tabel 1 Hasil analisis proksimat kroto dan rayap (% BK)
Zat-zat Nutrien
Abu (%)
Protein (%)
Lemak (%)
Serat Kasar (%)
BETN (%)
Energi Total (kkal/kg)
Kroto
4.25
47.28
16.51
7.50
24.46
5 310
Rayap
5.29
72.79
12.31
8.72
0.89
4 937
Sumber: Krisna 2006
Pemberian kroto sebagai pakan lebih banyak bergantung kepada hasil
perbururan alam. Namun, ketersediaan kroto di alam tidak kontinyu dan
dipengaruhi oleh musim. Saat musim hujan, mortalitas semut rang-rang tinggi
karena tidak ada ketersediaan pakan di sekitar sarang, aktivitas mencari makan
rendah, dan kelembaban tinggi (Wojtusiak dan Godznska 1993).
Pakan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam kegiatan
pemeliharaan trenggiling untuk konservasi ex situ. Oleh karena pakan alami
trenggiling yaitu semut dan rayap cukup terbatas ketersediaannya di alam, maka
beberapa kebun binatang berupaya membuat pakan alternatif. Sebagai contoh
formula pakan untuk satu ekor trenggiling yang dibuat oleh Taipei Zoo yaitu
sebagai berikut: 100 g larva lebah, 10 g kuning telur, 65 g apel, 45 g larva ulat,
2.7 g bubuk ragi, 1.4 g bubuk kelapa, 0.9 g kalsium karbonat dan ditambahkan
1.5 g bubuk suplemen, 5 ml suplemen vitamin serta tanah sebanyak 5 g
(Yang et al. 2007). Singapore Zoo juga membuat formula pakan mengadopsi dari
Taipei Zoo yang terdiri dari 10 butir telur ayam rebus (± 625 g), 1 000 g larva ulat,
1 000 g daging cincang mentah, 10 sendok makan insectivore powder. Semua
bahan diblender dengan penambahan air sebanyak 800 ml yang dilakukan
bertahap sampai diperoleh pakan dengan kosistensi tertentu dan ditambahkan
terakhir kroto sebanyak 750 g serta suplemen diantaranya 1 sendok teh kalsium
powder, 2 sendok makan kitin powder, 1 tablet vitamin B kompleks dan vitamin
K. Formula pakan tersebut dibuat untuk delapan ekor trenggiling yang diberikan
setiap dua hari sekali (Vijayan et al. 2008).
5
Konsumsi dan Koefisien Cerna Bahan Pakan
Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh hewan dan zat nutrien
yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok
maupun produktivitas dari suatu hewan (Tillman et al. 1991). Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat konsumsi adalah umur, status fisiologi hewan (tumbuh,
bunting atau laktasi), kualitas pakan, palatabilitas jenis dan jumlah pakan serta
lingkungan (McDonald et al. 2002).
Salah satu faktor yang harus dipenuhi oleh bahan pakan ialah tingkat
kecernaan dari bahan pakan tersebut. Tingkat kecernaan pada dasarnya adalah
suatu upaya untuk mengetahui banyaknya zat nutrien yang diserap oleh saluran
pencernaan. Menurut McDonald et al. (2002), kecernaan pakan didefinisikan
sebagai bagian dalam pakan yang tercerna dan tidak dieksresikan melalui feses.
Pakan yang tercerna tersebut diasumsikan diserap oleh tubuh hewan. Biasanya
dinyatakan dalam dasar bahan kering dan apabila dinyatakan dalam persentase
maka disebut koefisien cerna. Peterson (2005) menyatakan bahwa tinggi
rendahnya daya cerna dipengaruhi oleh jenis hewan, umur hewan, jenis bahan
pakan dan susunan kimianya.
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di kandang pemeliharaan trenggiling yang
berlokasi pada Laboratorium Konservasi Ex situ Satwa Liar Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. Analisis
proksimat dilakukan di Laboraturium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan
Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat IPB.
Pengambilan data lapangan yang dilakukan mulai bulan Desember 2014 sampai
Juni 2015.
Bahan dan Alat
Penelitian ini menggunakan empat ekor trenggiling Jawa terdiri dari dua
ekor jantan dan dua ekor betina yang dipelihara di dalam kandang secara terpisah.
Kandang dibangun dengan desain khusus, yang berukuran 3 x 2 x 2 m3,
dilengkapi dengan enrichment berupa kotak kayu tempat bersembunyi/istirahat,
peralatan pakan dan minum, batang pohon untuk memanjat, dan kamera Closed
Circuit Television (CCTV). Bahan-bahan untuk formula pakan terdiri dari kroto,
telur ayam rebus, daging ayam mentah, ulat hongkong, pelet ikan koi, tepung
jangkrik, kalsium, vitamin B kompleks, vitamin K, dan air. Peralatan lain yang
digunakan adalah timbangan (pegas dan dudukan), kamera digital, blender, lemari
pendingin, dan neraca digital.
6
Metode Penelitian
Formula Pakan Pengganti
Bahan pakan diformulasi untuk empat ekor trenggiling, terdiri dari: 237 g
kroto, 218 g (± 4 butir) telur ayam rebus, 89 g daging ayam mentah, 56 g ulat
hongkong, 185 g pelet ikan koi, 2 g tepung jangkrik, 440 ml air dan suplemen
yang terdiri atas 0.2 g kalsium, 0.025 g vitamin B kompleks, dan 0.006 g vitamin
K. Semua bahan terlebih dahulu diblender dengan penambahan air yang
dilakukam secara bertahap sampai diperoleh konsistensi tertentu, kecuali kroto
dan ulat hongkong yang ditambahkan utuh sesaat sebelum diberikan (Gambar 2).
Hal ini dilakukan agar aroma asam formiat yang terkandung dalam kroto tidak
hilang. Asam formiat tersebut berfungsi sebagai aroma khas untuk trenggiling
dalam mencari pakannya. Beberapa bahan yang ditambahkan seperti telur dan
daging ayam sebagai sumber protein menggantikan kroto dan rayap, serta
penambahan tepung jangkrik sebagai sumber kitin. Komposisi pakan pengganti
disajikan dalam Tabel 2 dan komposisi zat nutrien pakan disajikan pada Tabel 3.
Gambar 2 Tampilan formula pakan pengganti dengan tekstur yang lunak
Tabel 2 Susunan formula pakan pengganti (% BK)
Bahan
Formula Pakan Pengganti (%)
32
34
13
10
10
1
100
Kroto
Telur ayam rebus
Daging ayam
Ulat hongkong
Pelet
Tepung jangkrik
Total
Tabel 3 Kandungan zat nutrien formula pakan alami dan pakan pengganti
Zat-zat Nutrien
Air (%)
Abu (%)
Lemak (%)
Protein (%)
Serat Kasar (%)
BETN (%)
Pakan Alami*
Segar
% BK
68.97
3.09
9.96
11.31
36.44
3.53
11.37
1.41
4.54
11.69
37.69
Pakan Pengganti
Segar
% BK
74.52
1.59
6.24
3.26
12.79
8.30
32.57
1.50
2.90
10.83
42.50
Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan
Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (2015)
Sumber: Andesip (2015)*
7
Pemberian Pakan
Pemberian pakan dilakukan setiap sore hari, saat trenggiling mulai
melakukan aktivitas. Pakan yang diberikan dalam keadaan segar dihitung
berdasarkan 4% dari bobot badan trenggiling. Pada individu A (BB = 5 470 g)
diberikan sebanyak 352 g, B (BB = 4 305 g) sebanyak 270 g, C (BB = 4 495 g)
sebanyak 289 g dan D (BB = 2 950 g) sebanyak 190 g. Pemberian sebanyak 4%
dari bobot badan dengan asumsi dapat memenuhi kebutuhan energi trenggiling.
Adaptasi Pakan Pengganti
Sebelum pemberian pakan pengganti trenggiling diberikan pakan alami
berupa 125 g kroto dengan campuran 10 g ulat hongkong dan 15 g pelet ikan koi
(Andesip 2015). Adaptasi pemberian formula pakan pengganti dilakukan sampai
pakan dikonsumsi habis sebelum dilakukannya pengambilan data. Pakan
diberikan setiap sore hari dan keesokan harinya pakan yang tersisa ditimbang
untuk mengetahui jumlah pakan yang dikonsumsi. Pengamatan dilakukan
terhadap waktu (hari) yang diperlukan oleh masing-masing trenggiling untuk
beradaptasi dengan formula pakan pengganti.
Konsumsi pakan
Konsumsi pakan (g/ekor/hari) diperoleh dengan cara mengurangi jumlah
pakan yang diberikan dengan pakan sisa setiap hari. Konsumsi BK pakan
diperoleh dengan mengalikan konsumsi pakan (g/ekor/hari) dengan presentase BK
pakan.
Konsumsi Zat Nutrien
Konsumsi zat nutrien (g/ekor/hari) diperoleh dengan cara mengalikan
konsumsi BK pakan (g/ekor/hari) dengan persentase kandungan zat nutrien.
Kecernaan Pakan
1. Kecernaan bahan kering
Kecernaaan bahan kering didapatkan dengan cara mengurangi bahan kering
konsumsi dengan bahan kering feses lalu dibagi dengan bahan kering yang
dikonsumsi kemudian dikalikan seratus persen. Koefisien cerna bahan kering
dihitung dengan menggunakan rumus :
2. Kecernaan nutrien (protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan bahan
ekstrak tanpa nitrogen)
Kecernaan nutrien didapatkan dengan cara mengurangi kandungan nutrien
bahan yang dikonsumsi dengan kandungan nutrien feses lalu dibagi dengan
jumlah pakan yang dikonsumsi kemudian dikalikan seratus persen. Koefisien
cerna nutrien dihitung dengan menggunakan rumus:
8
Pengukuran Bobot Badan
Pengukuran dilakukan dengan cara menimbang bobot badan trenggiling
yang dilakukan setiap minggu untuk melihat perkembangannya. Penimbangan
pertama dilakukan sebelum perlakuan sebagai data bobot badan awal.
Pertambahan bobot badan diperoleh dengan menghitung selisih bobot badan akhir
dengan bobot badan awal, sedangkan rata-rata pertambahan bobot badan perhari
diperoleh dengan menghitung selisih bobot badan akhir dengan bobot badan awal
dibagi dengan lama waktu penelitian.
Feed Convertion Ratio (FCR)
Rasio konversi pakan atau FCR adalah jumlah pakan yang dikonsumsi
untuk mendapatkan bobot badan tertentu. FCR diperoleh dari perbandingan
jumlah pakan yang dikonsumsi dengan penambahan bobot badan trenggiling.
Koleksi Feses dan Preparasi Sampel untuk Analisis Proksimat
Koleksi feses dilakukan dengan metode pengumpulan feses total. Feses
dikoleksi setiap hari dari masing-masing individu kemudian ditimbang. Preparasi
sampel untuk analisis proksimat meliputi pencampuran seluruh feses dari masingmasing individu, kemudian diambil sebanyak 20 g dari keseluruhan feses yang
sudah tercampur merata. Feses selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu
60 oC selama 24 jam, kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender dan
siap untuk dianalisis proksimat.
Parameter yang Diamati
Parameter yang diamati pada penelitian ini diantaranya adalah; waktu
adaptasi trenggiling terhadap pemberian formula pakan pengganti, jumlah
konsumsi nutrien, tingkat kecernaan pakan serta pengaruhnya terhadap
pertambahan bobot badan trenggiling.
Analisis Data
Seluruh data akan dianalisis secara deskriptif dan hasil akan ditampilkan
dalam bentuk tabel dan gambar.
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Adaptasi Trenggiling Jawa (Manis javanica) terhadap Pakan Pengganti
Sebelum dilakukan pengamatan terhadap tingkat konsumsi pakan dengan
pemberian formula pakan pengganti, dilakukan proses adaptasi sampai pakan
dikonsumsi habis. Tingkat konsumsi pada masa adaptasi diperlihatkan pada Tabel
4.
Tabel 4 Jumlah pakan dan tingkat konsumsi pakan pengganti selama masa
adaptasi
Individu/BB
Parameter
Hari ke- (g/ekor/hari)
3
4
5
6
1
2
Jumlah pakan
Jumlah konsumsi
Jumlah tersisa
Jumlah pakan
Jumlah konsumsi
Jumlah tersisa
352
250
102
270
270
0
352
352
0
270
20
250
352
237
115
270
270
0
352
319
33
270
270
0
352
239
113
270
270
0
Jumlah pakan
Jumlah konsumsi
Jumlah tersisa
Jumlah pakan
Jumlah konsumsi
Jumlah tersisa
289
228
61
190
190
0
289
289
0
190
190
0
289
205
84
190
190
0
289
136
153
190
190
0
289
289
0
190
190
0
Rataan
7
8
352
352
0
270
270
0
352
268
84
270
270
0
352
352
0
270
270
0
352
296.13±52.84
55.88±52.84
270
238.75±88.39
31.25±88.39
289
198
91
190
190
0
289
289
0
190
190
0
289
289
0
190
190
0
289
240.38±58
48.63±58
190
190
0
Jantan
A (5 470 g)
B (4 305 g)
Betina
C (4 495 g)
D (2 950 g)
Secara umum seluruh trenggiling yang mendapatkan perlakuan pakan
pengganti tidak menunjukan perubahan tingkah laku. Trenggiling mempunyai
kebiasaan sebelum makan dan minum seperti mengendus dan membaui pakan lalu
menjulurkan lidahnya secara cepat dan kadang-kadang kedua kaki depan
dimasukkan ke dalam tempat makan (Sawitri et al. 2012) (Gambar 3).
Gambar 3 Cara pemberian pakan pengganti pada trenggiling Jawa
(Manis javanica)
10
Proses adaptasi terhadap pemberian formula pakan pengganti rata-rata
berlangsung selama tujuh hari, karena pada hari ke delapan semua pakan
dikonsumsi habis, kecuali trenggiling B dan D yang sudah habis sejak hari
pertama pemberian. Hal ini diduga karena kedua trenggiling tersebut masih
berumur muda sehingga dalam masa pertumbuhan dibutuhkan jumlah pakan yang
lebih besar, berbeda dari trenggiling lainnya yang berumur lebih dewasa. Pada
hari kedua trenggiling B tidak mau makan dengan menunjukan aktivitas yang
berlebih dari biasanya, selain itu trenggiling A pada hari ke-3, 4 dan 5 berturutturut tidak mengkonsumsi pakan dengan habis sama halnya dengan betina C pada
hari ke-3 dan ke-4. Hal tersebut diduga karena betina C mengalami estrus
sehingga mengakibatkan penurunan nafsu makan. Menurut Yang et al. 2007,
masa perkawinan trenggiling terjadi pada bulan Mei sampai Juni. Dimana
penelitian ini berlangsung pada awal bulan Mei.
Selama proses adaptasi, rata-rata jumlah pakan tersisa paling banyak pada
trenggiling A, yaitu sebesar 55.88 g dari rata-rata total jumlah pakan yang
diberikan. Adanya pakan yang tersisa pada saat pemberian formula pakan
pengganti diduga disebabkan penambahan bahan pakan pengganti seperti telur
ayam rebus dan daging ayam mentah sebagai sumber protein pengganti kroto
masih memiliki palatabilitas rendah.
Trenggiling memberikan respon waktu yang berbeda-beda terhadap tingkat
konsumsi pakan pengganti. Proses adaptasi yang cepat pada trenggiling D diduga
disebabkan karena pemberian pakan dengan jumlah 190 g masih belum optimal
untuk pertumbuhannya, selain itu jumlah tersebut tidak berbeda jauh dengan
jumlah pemberian pakan sebelumnya yaitu sebanyak 150 g. Adapun pada individu
lainnya, pemberian pakan berdasarkan bahan segar 4% dari bobot badan memiliki
jumlah sekitar dua kali lipat dari pakan sebelumnya, sehingga membutuhkan
waktu adaptasi yang lebih lama untuk menghabiskan pakan yang diberikan.
Secara umum konsumsi dapat meningkat dengan semakin meningkatnya berat
badan, karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan meningkat dengan
semakin meningkatnya berat badan sehingga mampu menampung pakan dalam
jumlah lebih banyak.
Konsumsi Pakan dan Kecernaan Zat Nutrien
Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh hewan dimana zat
nutrien yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup
pokok maupun produktivitas dari suatu hewan (Tillman et al. 1991). Konsumsi
pakan pengganti dalam penelitian ini dihitung berdasarkan bahan kering yang
dikonsumsi oleh trenggiling. Tingkat konsumsi pakan mencerminkan pendekatan
palatabilitas pakan, yaitu keinginan dan kesukaan hewan terhadap suatu pakan.
Palatabilitas pakan tergantung pada beberapa hal yaitu penampilan dan bentuk
pakan, bau, rasa, tekstur dan temperatur lingkungan (Church dan Pond 1988).
Rataan kandungan bahan pakan yang dikonsumsi dan tingkat kecernaan pakan
trenggiling selama penelitian diperlihatkan pada Tabel 5.
11
Tabel 5 Kandungan bahan pakan pengganti yang dikonsumsi dan tingkat
kecernaan pakan trenggiling Jawa (Manis javanica)
Trenggiling
A
Jantan
B
C
Betina
D
Rataan
Peubah
BK
LK
PK
SK
BETN
BK
LK
PK
SK
BETN
BK
LK
PK
SK
BETN
BK
LK
PK
SK
BETN
BK
LK
PK
SK
BETN
Konsumsi (g)
93.00
3.03
7.72
1.40
10.09
48.06
1.57
3.99
0.72
8.09
76.57
2.50
6.36
1.15
8.29
74.72
2.44
6.20
1.12
5.21
73.09 ± 18.60
2.38 ± 0.60
6.07 ± 1.54
1.10 ± 0.28
7.92 ± 2.01
Feses (g)
25.56
0.24
1.40
0.65
2.03
15.24
0.11
0.83
0.28
1.64
14.23
0.03
0.90
0.40
1.33
33.92
0.14
1.88
0.75
0.95
22.24 ± 9.32
0.13 ± 0.09
1.25 ± 0.49
0.52 ± 0.27
1.64 ± 0.61
Tercerna (g)
67.44
2.79
6.32
0.74
8.04
32.82
1.46
3.16
0.44
6.27
62.34
2.47
5.46
0.74
6.96
40.80
2.30
4.33
0.37
4.26
50.85 ± 16.67
2.25 ± 0.54
4.81 ± 1.37
0.57 ± 0.20
6.27 ± 1.62
Koef. Cerna (%)
72.51
91.99
81.85
53.09
79.80
68.28
93.29
79.10
61.09
74.40
81.42
98.80
85.85
64.81
83.99
54.60
94.29
69.75
33.41
81.81
69.20 ± 11.17
94.59 ± 2.96
79.14 ± 6.84
53.10 ± 14.01
79.40 ± 5.22
Keterangan: BK: Bahan Kering, LK: Lemak Kasar, PK: Protein Kasar, SK: Serat Kasar,
BETN: Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
Konsumsi bahan kering pakan trenggiling dalam penelitian ini rata-rata
73.09 g atau 1.54% dari bobot badan. Hal ini sesuai dengan konsumsi bahan
kering hewan monogastrik, yaitu 1.5-3% dari bobot badan (Parakkasi 1986).
Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa, rataan konsumsi lemak sebesar 2.38 g atau
3.26% BK, rataan konsumsi protein sebesar 6.07 g atau 8.30% BK, rataan
konsumsi serat kasar sebesar 1.10 g atau 1.50% BK dan rataan konsumsi BETN
7.92 g atau 10.84% BK. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi
adalah umur, status fisiologi hewan (tumbuh, bunting atau laktasi), kualitas pakan,
palatabilitas jenis dan jumlah pakan serta lingkungan (McDonald et al. 2002).
Kecernaan pakan didefinisikan sebagai bagian dalam pakan yang tercerna
dan tidak dieksresikan melalui feses. Pakan yang tercerna tersebut diasumsikan
diserap oleh tubuh hewan. Biasanya dinyatakan dalam dasar bahan kering dan
apabila dinyatakan dalam persentase maka disebut koefisien cerna
(McDonald et al. 2002). Menurut Ranjhan dan Pathak (1979) faktor yang
mempengaruhi kecernaan pakan adalah umur hewan, jumlah pakan, pengolahan
pakan, komposisi pakan, dan rasio komposisi. Nilai kecernaan bahan kering,
lemak, protein, dan serat kasar dapat dilihat pada Tabel 5.
12
Nilai kecernaan bahan kering pakan rata-rata sebesar 69.20%. Nilai
koefisien cerna bahan kering pakan menunjukan tingkat kecernaan pakan pada
alat pencernaan dan besarnya nutrien suatu pakan bagi hewan, disamping
merupakan indikator kesanggupan hewan untuk memanfaatkan suatu jenis pakan
tertentu.
Hasil tingkat kecernaan pakan pada trenggiling terhadap formula pakan
pengganti menunjukkan kemampuan hewan ini dalam mencerna zat nutrien cukup
tinggi pada lemak dan protein, hal ini terlihat dari koefisien cerna lemak rata-rata
sebesar 94.59%. Tingginya nilai kecernaan lemak menunjukan bahwa hampir
seluruh lemak yang terdapat dalam pakan mampu diserap oleh trenggiling.
Pencernaan lemak terutama terjadi di dalam usus, karena di dalam mulut dan
lambung tidak terdapat enzim lipase yang dapat menghidrolisis lemak, sehingga
membutuhkan bantuan empedu yang dihasilkan oleh hati dan enzim lipase yang
dihasilkan oleh pankreas (Guyton dan Hall 2006).
Sama halnya dengan lemak, protein untuk dapat diserap oleh tubuh maka
protein harus dipecah terlebih dahulu menjadi struktur yang lebih sederhana yaitu
asam amino. Asam amino dari protein yang secara terus menerus diperlukan bagi
pertumbuhan sel dan pembentukan jaringan tubuh. Melalui sistem peredaran
darah, asam amino tersebut kemudian diserap oleh seluruh jaringan tubuh yang
memerlukannya (Devi 2010). Dari Tabel 5 rataan nilai koefisien cerna protein
sebesar 79.14%. Nilai koefisien cerna protein lebih rendah dibandingkan dengan
lemak, hal tersebut diduga akibat adanya zat anti tripsin pada kacang kedelai yang
terkandung dalam pelet ikan koi. Anti tripsin yaitu suatu senyawa yang dapat
menghambat kerja enzim tripsin atau enzim pemecah protein dalam sistem
pencernaan. Zat anti tripsin akan mengikat enzim tripsin dalam usus halus
sehingga proses pencernaan protein terganggu. Dengan demikian enzim tripsin
yang telah berikatan dengan anti tripsin akan kehilangan fungsi sebagai enzim
pencerna protein sehingga proses hidrolisis protein menjadi asam amino akan
terganggu (Soetrisno dan Suryana 1991). Selain itu kehadiran kitin yang berasal
dari tepung jangkrik akan menurunkan kecernaan nutrien.
Menurut Linder (1992), serat kasar adalah bagian dari makanan yang tidak
dapat tercerna secara enzimatis oleh enzim yang dproduksi oleh saluran
pencernaan manusia dan hewan sehingga bukan sebagai sumber zat nutrien. Dari
hasil analisis proksimat, serat kasar formula pakan pengganti sebesar 2.9 % yang
diduga terdiri dari kitin dan hemiselulosa. Kitin berasal dari eksoskeleton kroto,
ulat hongkong dan tepung jangkrik sedangkan hemiselulosa berasal dari pelet ikan
koi dengan komposisi kedelai dan jagung di dalamnya. Kitin sendiri hanya bisa
dipecah oleh enzim kitinase. Sel-sel penghasil enzim kitinase di temukan pada
daerah kelenjar oxcyntic, meskipun hasilnya perlu dipelajari lebih lanjut (Nisa’
2005).
Tingkat kecernaan serat kasar pakan lebih rendah dibandingkan dengan
tingkat kecernaan protein dan lemak. Menurut Lin et al. (2015), trenggiling
mampu mencerna serat kasar berkisar antara 13-28%, dari penelitian ini
didapatkan hasil yang lebih tinggi yaitu rata-rata sebesar 53.10%. Menurut Krisna
(2006), trenggiling kurang mampu dalam mencerna serat kesar. Tingginya
kecernaan serat kasar pada penelitian ini dikarenakan kadar serat kasar yang
rendah pada pakan, selain itu diduga disebabkan oleh penambahan pelet ikan koi
dalam pakan yang memiliki kandungan serat kasar berupa hemiselulosa.
13
Hemiselulosa memiliki struktur kimia yang lebih sederhana dibandingkan dengan
kitin, sehingga relatif lebih mudah untuk dihidrolisis dibandingkan dengan kitin
yang terkandung dalam kroto, ulat hongkong dan tepung jangkrik. Pada daerah
kelenjar oxcyntic lambung trenggiling terdapat sel-sel parietal yang berfungsi
menghasilkan asam klorida (HCl) dalam jumlah banyak (Nisa’ et al. 2010).
Keberadaan HCl ini diduga berperan penting dalam memecah hemiselulosa.
Menurut Suparjo (2008), hemiselulosa relatif lebih mudah dihidrolisis dengan
asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa
dan arabinosa. Tillman et al. (1998), menyatakan bahwa dalam saluran
pencernaan hewan golongan non ruminansia, fungsi hemiselulosa dan selulosa
tidak spesifik, tetapi penting dalam meningkatkan gerak peristaltik pada
pencernaan, sebagai sumber energi bagi mikroorganisme dalam lambung dan
sebagai bahan pengisi lambung.
Pertambahan Bobot Badan Trenggiling Jawa (Manis javanica)
Salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan hewan
adalah dengan mengukur pertambahan bobot badan dalam periode waktu tertentu.
Besarnya tingkat pertumbuhan hewan merupakan manifestasi dari pemanfaatan
pakan oleh tubuh hewan yang sangat bergantung pada kualitas pakannya.
Pertambahan bobot badan setiap trenggiling selama penelitian dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 6 Pertambahan bobot badan trenggiling Jawa (Manis javanica)
Trenggiling
Jantan
A
B
C
D
Betina
Rataan
BB Awal (g/ekor)
5 470
4 305
4 495
2 950
4 305 ± 1 037.52
Peubah
BB akhir (g/ekor)
5 985
5 030
4 840
3 140
4 749 ± 1 183.75
PBB (g/ekor/hari)
8.70
11.51
5.48
3.02
7.04 ± 3.71
FCR
2.15
2.05
2.19
2.10
2.13 ± 0.06
Keterangan: BB: bobot badan, PBB: pertambahan bobot badan, FCR: feed convertion ratio
Secara umum, pertambahan bobot badan trenggiling bervariasi setiap
minggunya, dari minggu pertama sampai akhir penelitian (Gambar 4). Rataan
pertambahan bobot badan trenggiling A, B, C dan D selama penelitian masingmasing 8.70, 11.51, 5.48, dan 3.02 g/ekor/hari.
Bobot Badan (g)
7000
6000
Trenggiling:
5000
Jantan A
4000
Jantan B
3000
Betina C
2000
Betina D
1000
0
O
A
M-1 M-2 M-3 M-4 M-5 M-6 M-7 M-8
Gambar 4 Grafik pertambahan bobot badan trenggiling Jawa (Manis javanica)
setiap minggu
14
Pemberian pakan pada trenggiling D tidak dapat meningkatkan pertambahan
bobot badan trenggiling yang lebih besar dibandingkan dengan lainnya. Hal ini
diduga karena trenggiling D masih berumur muda sehingga pakan yang
dikonsumsi trenggiling D belum optimal untuk pertumbuhannya, selain itu selama
penelitian berlangsung trenggiling D teramati lebih aktif dibandingkan dengan
individu lainnya. Hal ini sesuai dengan Krisna (2006), yang mengatakan bahwa
pertambahan bobot badan dapat dipengaruhi olek aktivitas hewan. Pertambahan
bobot badan yang rendah dapat karena pakan yang dikonsumsi oleh hewan tidak
semua diserap oleh tubuh dan dijadikan timbunan lemak melainkan sebagian
terbuang dalam feses.
Pertambahan bobot badan harian tertinggi dicapai oleh trenggiling B yaitu
11.51 g/ekor/hari. Laju pertumbuhan yang tinggi dengan pakan yang baik akan
berpengaruh terhadap nilai konversi pakan, semakin rendah nilai konversi pakan
maka pakan semakin dapat dimanfaatkan oleh trenggiling dengan efisien.
Konversi pakan merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi untuk mendapatkan
bobot badan tertentu. Rasio konversi pakan pada trenggiling B (2.05) memiliki
konversi yang relatif lebih rendah dibandingkan trenggiling lain. Hasil rataan
konversi pakan pada penelitian ini masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan
pakan alami yang menghasilkan nilai rata-rata sebesar 1.44 (Andesip 2015). Hal
ini disebabkan karena kandungan protein pada formula pakan pengganti lebih
redah dibandingkan pakan alami. Protein pada pakan pengganti sebesar 32.57%
sedangkan pakan alami 36.44% (Andesip 2015). Menurut Bintang et al. (1999),
konversi pakan dapat dipengaruhi oleh kandungan nutrien pakan (protein dan
energi) yang lebih tinggi akan lebih efisien dalam pengolahan bahan pakan
sehingga konversi pakan yang dihasilkan cenderung lebih rendah (lebih efisien).
Adapun pengelompokan berdasarkan jenis kelamin antara kelompok jantan
dan kelompok betina pada Tabel 5 menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan
pada jantan lebih tinggi daripada betina (Gambar 5). Hal ini sesuai dengan
pendapat Breen (2003), bahwa ukuran tubuh trenggiling jantan lebih besar dan
lebih panjang dibandingkan dengan betina. Rata-rata panjang tubuhnya adalah 75150 cm dengan panjang ekor sekitar 45-65% dari panjang total tubuh. Selain itu
pertambahan bobot badan diduga dapat dipengaruhi oleh adanya hormon
testosteron. Pada hewan jantan setelah memasuki usia pubertas hormon
testosteron akan menyebabkan maskulinasi seperti pembentukan massa otot,
perubahan suara, libido, pertumbuhan organ kelamin eksternal dan
spermatogenesis (Roth dan Page 2011). Sedangkan pada betina hormon yang
lebih mendominasi adalah estrogen dibandingkan dengan testosteron, dimana
estrogen lebih berperan penting dalam perkembangan formasi tulang dan
pertumbuhan organ kelamin betina (Campion et al. 1989). Pertambahan bobot
badan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis hewan, jenis kelamin,
umur dan keseimbangan zat-zat nutrien dalam pakan (NRC 1985).
15
7000
Bobot Badan (g)
6000
5000
4000
3000
BB Awal
BB Akhir
2000
1000
0
A
B
C
Jantan
D
Betina
Trenggiling
Gambar 5 Grafik pertambahan bobot badan trenggiling Jawa (Manis javanica)
selama penelitian
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Proses adaptasi berlangsung rata-rata selama tujuh hari dengan pemberian
formula pakan pengganti yang terdiri dari pakan alami yaitu kroto dan
subtitusinya berupa ulat hongkong, telur ayam rebus, daging ayam mentah, tepung
jangkrik, dan suplemen (kalsium, vitamin B kompleks & vitamin K) dapat
diadaptasi dengan baik karena sesuai dengan palatabilitas dan pencernaan
trenggiling. Pemberian pakan sejumlah 4% BB dapat memenuhi kebutuhan energi
hidup pokok trenggiling dan berpengaruh terhadap kenaikan bobot badan rata-rata
7.04 g perhari.
Saran
Penelitian ini merupakan formula awal sehingga diperlukan penelitian lebih
lanjut dengan subsitusi jumlah ulat hongkong lebih banyak dibanding kroto yang
memiliki nilai ekonomis lebih tinggi. Selain itu juga perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui pengaruh formula pakan pengganti terhadap perilaku dan
aktivitas reproduksi trenggiling.
16
DAFTAR PUSTAKA
Andesip FN. 2015. Status nutrisi, tingkat kecernaan dan performa trenggiling
Jawa (Manis javanica) yang diberi campuran pakan alami. [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Bintang IAK, Sinurat AP, Murtisari T, Pasaribu T, Purwadaria T, Haryati T. 1999.
Penggunaan bungkil inti sawit dan produk fermentasinya dalam ransum itik
sedang bertumbuh. J Ilmu Ternak Vet. 4 (3) : 179 -185.
Breen K. 2003. Manis javanica [Internet]. [diunduh pada tanggal 22 Agustus
2015]. Tersedia pada:http://animaldiversity.org/accounts/Manis-javanica/.
Campion DR, Hausman GJ, Martin RJ. 1989. Animal Growth Regulation. New
York (US): Plenum Pr.
Challender D, Nguyen VT, Shepherd C, Krishnasamy K,Wang A, Lee B, Panjang
E, Fletcher L, Heng S, Seah Han Ming J, Olsson A, Nguyen TTA, Nguyen
VQ, Chung Y. 2015. Manis javanica. The IUCN Red List of Threatened
Species 2014: e.T12763A45222303. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.
20142.RLTS.T12763A45222303.en.
Church DC, Pond WG. 1988. Basic Animal Nutrition and Feeding. 3th Ed. New
York (US): John Wiley and Sons.
Corbet GB, Hill JE. 1992. The Mammal of Indomalayan Region: A systematic
Review. Natural History Museum Publikations, London (GB): Oxford
Univerty Pr.
Devi N. 2010. Nutrition and Food. Jakarta (ID): PT Kompas Media Nusantara.
Feldhamer GA, Drickamer CL, Vessey SH, Merritt JF. 1999. Adaptation,
Diversity, and Ecology Mamalogy. Boston (US): The McGrawHill
Companies. 85 (252).
Gaubert P, Antunes A. 2005. Assessing the taxonomic status of the Palawan
pangolin Manis culionensis (Pholidota) using discrete morphological
characters. J Mammal. 86 (6).
Grzimek B. 1975. Animal Life Encyclopedia. Vol II. Mammals II. New York
(US): Van Nostrand Reinhold Company.
Guyton AC, Hall EJ. 2006. Medical Physiology. 11th Ed. Philadelphia (US):
Elsivier.
Heryatin T. 1983. Beberapa aspek trenggiling di suaka alam gunung honje timur
dan perkebunan teh cigombong, cisadea cianjur selatan [skripsi]. Bandung
(ID): Universitas Negeri Padjajaran Bandung.
Inskip T, Gillett HJ. 2005. Checklist of CITES species and annoted CITES
Appendices and reservations. CITES Secretariat and UNEP-WCMC,
Geneva and Cambridge.
Krisna R. 2006. Kandungan nutrisi pakan trenggiling (Manis javanica) dan kaitan
terhadap pertumbuhannya. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Lin MF, Chang CY, Yang CW, Dierenfeld ES. 2015. Aspects of digestive
anatomy, feed intake and digestion in the Chinese pangolin (Manis
pendadactyla) at Taipei zoo. Zoo Biol. 34 (3): 262-70. Doi:
10.1002/zoo.21212. Epub 2015 Apr 23.
17
Linder CM. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Aminuddin Parakkasi,
penerjemah; Jakarta (ID): UI Pr. Terjemahan dari: Nutritional Biochemistry
and Metabolism.
Liushuai H, Shiping G, Fumin W, Weiye L, Yan G, Xiaonan L, Fanghui H. 2015.
Captive breeding of pangolins: current status, problems and future prospects.
Zoo Keys. 507-99-114. Doi: 10.3897/zookeys.507.6970.
McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JED, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition.
6th Ed. Gosport (UK): Ashford Colour Pr. Ltd.
[NRC] National Research Council. 1985. Nutrient Requirements of Sheep. 11th Ed.
Philadelphia (US): Lea and Febiger. p: 235-239.
Nisa’ C. 2005. Morphological studies of the stomach of Malayan Pangolin Manis
javanica. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nisa’ C, Agungpriyono S, Katimura N, Sasaki M, Yamada J, Sigit K. 2010.
Morphological features of the stomach of Malayan Pangolin, Manis
javanica. J Anat. Histol. Embryol. 39 (2010): 432 – 439.
Nowak R. 1999. Walker’s Mammals of the World. 6th Ed. Baltimore (US): The
Jhe Jhons Hopkins University Pr.
Parakkasi A. 1986. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Monogastrik. Jakarta (ID):
Universitas Indonesia Pr.
Peterson PR. 2005. Forage for goat Production. Blacksburg (US): Dept. Virginia
Tech University.
Ranjhan SK, Pathak NN. 1979. Management and Feeding of Buffaloes. New
Delhi (IN): Vikas Publishing House Pvt. Ltd. p: 133-135.
Robinson PT. 2005. Pholidota (Pangolins) in Fowler ME and Miller RE. Zoo and
Wild Animal Medicine. 5th Ed. Misoury (US): Saunders.
Roth MY, Page ST. 2011. A Role For Dihydrotestosterone Treatment In Older
Men. Asian J of Andrology. 13:199–200.
Sari GK. 2005. Tingkat kesukaan semut rangrang (Oecophylla smaragdina) pada
berbagi ransum pakan yang berbeda. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Sari RM. 2007. Kajian morfologi lidah trenggiling (Manis javanica). [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sawitri R, Bismark M, Takandjandji M. 2012. Perilaku trenggiling (Manis
javanica desmarest, 1822) di penangkaran Purwodadi, Deli Serdang,
Sumatera Utara (Pangolin behaviour in captive breeding at Purwodadi,
Deli Serdang, North Sumatra). J Penel Hut Konserv Alam. 9 (3): 285 – 297.
Soetrisno USS dan Suryana P. 1991. Pengembangan prosedur analisis zat
antitripsin (Tripsin in-hibitor) pada sumber protein nabati. J Penel Gizi
Makanan. 14: 153-158.
Suparjo. 2008. Degradasi Komponen Lignoselulosa Oleh Kapang Pelapuk Putih.
[Internet]. [diunduh pada tanggal 22 Agustus 2015]. Tersedia pada:
http://jajo66. Wordpress.com.
Tillman AD, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo S. 1998. Ilmu
Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr.
18
Vijayan M, Yeong C, Ling D. 2008. Captive management of Malayan pangolins
Manis javanica in the Night Safari. In: Pantel S, Chin SY (Eds) Proceedings
of the Workshop on Trade and Conservation of Pangolins Native to South
and Southeast Asia. TRAFFIC Southeast Asia, Singapore Zoo, Singapore.
119–129.
Wojtusiak J, Godznska EZ. 1993. Factors influencing the responses to nest
damage in the Africa weaver ant, Oecophylla longinoda (Latrille). Acta
Neurobiola Exp. 53 (2): 401-408.
Yang CW, Chen S, Chang CY, Lin MF, Block E, Lorentsen R, Chin JSC,
Dierenfeld ES. 2007. History and dietary husbandry of pangolins in
captivity. Zoo Biology. 26: 223–230. Doi: 10.1002/zoo.20134.
19
RIWAYAT HIDUP
Sefi Maulida dilahirkan di Pandeglang pada tanggal 19 Oktober 1991 dari
pasangan Bapak H. Mohamad Udi Zuhdi dan Ibu Hj. Na’ah. Penulis merupakan
anak kedua dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah
Dasar Negeri Teluk 1 Labuan pada tahun 2004. Selanjutnya pada tahun 2007
penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1
Labuan. Pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Pandeglang diselesaikan
pada tahun 2010, dan pada tahun yang sama penulis diterima di Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai anggota
dan pengurus Himpunan Profesi Satwa Liar Fakultas Kedokteran Hewan pada
tahun 2011-2013, dan aktif sebagai anggota Seni dan Teatrikal Ilmiah pada tahun
2012-2013.
TERHADAP PEMBERIAN FORMULA PAKAN PENGGANTI
SEFI MAULIDA
DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Adaptasi Trenggiling
Jawa (Manis javanica) terhadap Pemberian Formula Pakan Pengganti adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2015
Sefi Maulida
NIM B04100137
ABSTRAK
SEFI MAULIDA. Adaptasi Trenggiling Jawa (Manis Javanica) terhadap
Pemberian Formula Pakan Pengganti. Dibimbing oleh CHAIRUN NISA’ dan
DEWI APRI ASTUTI.
Trenggiling Jawa (Manis javanica) merupakan salah satu mamalia yang
unik dan menarik. Satwa ini termasuk dalam golongan hampir punah dan
dilindungi, sehingga perlu mendapatkan perhatian untuk kelestariannya. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui waktu adaptasi trenggiling terhadap pemberian
formula pakan pengganti, jumlah konsumsi nutrien, tingkat kecernaan pakan serta
pengaruhnya terhadap pertambahan bobot badan trenggiling. Penelitian ini
menggunakan empat ekor trenggiling Jawa yang terdiri dari dua ekor betina dan
dua ekor jantan. Formula pakan untuk empat ekor trenggiling terdiri dari 237 g
kroto, 218 g (± 4 butir) telur ayam rebus, 89 g daging ayam mentah, 56 g ulat
hongkong, 185 g pelet ikan koi, 2 g tepung jangkrik, 440 ml air dan suplemen
yang terdiri atas 0.2 g kalsium, 0.025 g vitamin B kompleks, dan 0.006 g vitamin
K. Semua bahan diblender kecuali kroto dan ulat hongkong yang ditambahkan
utuh. Pakan diberikan dalam keadaan segar, sebanyak 4% dari bobot badan. Hasil
penelitian menunjukan proses adaptasi terhadap pemberian formula pakan
pengganti berlangsung rata-rata selama tujuh hari. Pakan dapat diadaptasi dengan
baik karena sesuai dengan palatabilitas dan pencernaan trenggiling. Pemberian
pakan sejumlah 4% BB dapat memenuhi kebutuhan energi hidup pokok
trenggiling dan berpengaruh terhadap kenaikan bobot badan rata-rata sebesar
7.04 g perhari.
Kata kunci: trenggiling Jawa (Manis javanica), adaptasi, formula pakan pengganti
ABSTRACT
SEFI MAULIDA. The Adaptation of Javan Pangolin (Manis javanica) to a Given
Substitute Feed Formula. Supervised by CHAIRUN NISA’ and DEWI APRI
ASTUTI.
Javan pangolin (Manis javanica) is one of the unique and interesting
mammals. The species is including rare and critically endangered wildlife, and
should receive attention for its conservation. The study aims to determine the
adaptation of pangolin to substitutes feed formula, nutrient intake, digestibility
rate and the effect on body weight gain. The study has used four Javan pangolins
consisting of two females and two males. Feed for four pangolin consists of 237 g
kroto, 218 g boiled eggs, 89 g raw chicken meat, 56 g meal worm, 185 g pellets
koi, 2 g crickets powder, 440 ml water and supplements consisting of 0.2 g
calcium, 0.025 g vitamin B complex, and 0.006 g vitamin K. All the ingredients
mixed in a blender except kroto and meal worm added whole. Feed was given
fresh state, as much as 4% of body weight. The results showed the process of
adaptation to the provision of substitutes feed formula lasts on average for seven
days. Feed can be adapted well due to accordance with palatability and digestion
of pangolins. Feeding as well as 4% BB have meet basic living energy and
however influence on the increase in body weight an average of 7.04 g daily.
Keywords: Javan pangolin (Manis javanica), adaptations, subtitutes feed formula
ADAPTASI TRENGGILING JAWA (Manis javanica)
TERHADAP PEMBERIAN FORMULA PAKAN PENGGANTI
SEFI MAULIDA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan segala rahmat, karunia dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Judul penelitian yang dipilih adalah
Adaptasi Trenggiling Jawa (Manis javanica) terhadap Pemberian Formula Pakan
Pengganti. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Drh
Chairun Nisa’, MSi, PAVet dan Prof Dr Ir Dewi Apri Astuti, MS selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, dorongan, nasehat serta
segala kemudahan yang diperoleh penulis mulai dari penelitian sampai penulisan
skripsi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada dosen pembimbing
akademik yaitu Drh Titiek Sunartatie, MSi. Ungkapan terima kasih sebesarbesarnya juga disampaikan kepada keluarga terutama ibu, bapak, kakak dan adik
serta seluruh keluarga besar atas segala doa, kasih sayang, dan dorongan moral
tanpa keluhan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman penelitian
Fitria Novita Andesip, teman-teman seperjuangan Acromion 47, Ganglion 48
serta sahabat setia Harlyn, Anna, Fitri, Mayah, Alfonsa, Dwi, Sinta, Nadia, Raja,
Firman, Abel, Gerard serta Danu atas segala kebersamaan dan dukungannya.
Penulis menyadari adanya kekurangan dan keterbatasan dalam skripsi ini.
Oleh karena itu, segala kritik dan saran terhadap skripsi ini sangat diharapkan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk pembaca dan yang berkepentingan.
Bogor, Oktober 2015
Sefi Maulida
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Trenggiling Jawa (Manis javanica)
Sistem Pencernaan Trenggiling
Pakan Trenggiling
Konsumsi dan Koefisien Cerna Bahan Pakan
METODE
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Formula Pakan Pengganti
Pemberian Pakan
Adaptasi Pakan Pengganti
Konsumsi Pakan
Konsumsi Zat Nutrien
Kecernaan Pakan
1. Kecernaan bahan kering
2. Kecernaan nutrien (protein kasar, lemak kasar, serat kasar
dan bahan ekstrak tanpa nitrogen)
Pengukuran Bobot Badan
Feed Convertion Rasio (FCR)
Koleksi Feses dan Preparasi Sampel untuk Analisis Proksimat
Parameter yang Diamati
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Adaptasi Trenggiling Jawa (Manis javanica) terhadap Pakan Pengganti
Konsumsi Pakan dan Kecernaan Zat Nutrien
Pertambahan Bobot Badan Trenggiling Jawa (Manis javanica)
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
vi
vi
1
1
2
2
2
2
3
4
5
5
5
5
6
6
7
7
7
7
7
7
7
8
8
8
8
8
9
9
10
13
15
15
15
16
19
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
Hasil analisis proksimat kroto dan rayap (% BK)
Susunan formula pakan pengganti (% BK)
Kandungan zat nutrien formula pakan alami dan pakan pengganti
Jumlah pakan dan tingkat konsumsi pakan pengganti selama masa
adaptasi
5. Kandungan bahan pakan pengganti yang dikonsumsi dan tingkat
kecernaan pakan trenggiling Jawa (Manis javanica)
6. Pertambahan bobot badan trenggiling Jawa (Manis javanica)
4
6
6
9
11
13
DAFTAR GAMBAR
Karakteristik morfologi trenggiling Jawa (Manis javanica)
Tampilan formula pakan pengganti dengan tekstur yang lunak
Cara pemberian pakan pengganti pada trenggiling Jawa (Manis javanica)
Grafik pertambahan bobot badan trenggiling Jawa (Manis javanica)
setiap minggu
5. Grafik pertambahan bobot badan trenggiling Jawa (Manis javanica)
selama penelitian
1.
2.
3.
4.
3
6
9
13
15
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Trenggiling Jawa (Manis javanica) merupakan mamalia yang unik karena
morfologi tubuhnya yang ditutupi oleh sisik-sisik keras mirip reptil, tidak
memiliki gigi (toothless) seperti unggas dan menggulung tubuhnya pada saat tidur
atau terancam (Breen 2003). Selain itu trenggiling memiliki daya penciuman lebih
baik dibandingkan dengan penglihatannya (Robinson 2005). Hal tersebut sangat
berhubungan dengan aktivitasnya yang lebih banyak terjadi pada malam hari
(nokturnal) serta aktif menemukan sarang semut dan rayap untuk mendapatkan
nutrien menggunakan daya penciumannya.
Trenggiling Jawa merupakan salah satu kekayaan fauna Indonesia yang unik
dan menarik. Satwa ini termasuk langka dan dilindungi berdasarkan UU
No. 5/1990 dan PP No. 17/1999 dan termasuk ke dalam daftar red list sebagai
critically endangered species menurut International Union for Conservation of
Nature (IUCN) (Challender et al. 2015). Namun, Convention on International
Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) masih
memasukkan trenggiling dalam kategori Appendix II yang berarti masih boleh
diperdagangkan dengan kuota sejak 7 Januari 1975 (Inskip dan Gillett 2005).
Pemerintah Indonesia telah memberlakukan aturan zero quota untuk perdagangan
trenggiling sejak tahun 2000. Akan tetapi perburuan dan perdagangan liar semakin
marak. Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan pasar karena adanya
kepercayaan sebagian masyarakat, khususnya masyarakat Cina, mengenai khasiat
sisik dan daging trenggiling. Sisik trenggiling dipercaya berkhasiat untuk
menyembuhkan keracunan, inflamasi, skabies, dan reumatik (Nowak 1999).
Penyelamatan dan pengelolaan populasi trenggiling secara ex situ dapat
dilakukan melalui penangkaran. Salah satu aspek yang sangat berpengaruh dalam
kegiatan penangkaran adalah penyediaan pakan. Pakan yang diberikan harus
sesuai dengan kebiasaan dan kebutuhan serta kualitas pakan trenggiling. Upaya ini
terkendala oleh pakan trenggiling yang spesifik, yaitu semut dan rayap yang
ketersediaannya di alam cukup terbatas sehingga harganya cukup mahal.
Beberapa kebun binatang di dunia, diantaranya Taipei Zoo dan Singapore Zoo
telah membuat formula pakan trenggiling. Sebagai contoh formula pakan yang
dibuat oleh Taipei Zoo yaitu terdiri dari larva lebah, kuning telur, apel, larva ulat,
bubuk ragi, bubuk kelapa, kalsium karbonat dan ditambahkan suplemen, vitamin
serta tanah (Yang et al. 2007). Singapore Zoo juga membuat formula pakan
mengadopsi dari Taipei Zoo yang terdiri dari telur ayam rebus, larva ulat, daging
cincang mentah, insectivore powder, kroto serta suplemen diantaranya kalsium
powder, kitin powder, vitamin B kompleks dan vitamin K (Vijayan et al. 2008).
Sejauh ini trenggiling di kedua kebun binatang tersebut telah beradaptasi dengan
baik terhadap formula pakan pengganti yang diberikan (Liushuai et al. 2015).
Pakan tersebut diformulasi khusus untuk menggantikan pakan alami sehingga
dapat menjamin ketersediaannya. Oleh karena itu maka penelitian yang bertujuan
mengadaptasikan trenggiling terhadap formula pakan pengganti sebagai pakan
alternatif ini penting untuk dilakukan.
2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu adaptasi trenggiling
terhadap pemberian formula pakan pengganti, jumlah konsumsi nutrien, serta
tingkat kecernaan dan pengaruhnya terhadap pertambahan bobot badan
trenggiling.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai formula
pakan pengganti yang dapat diadaptasi oleh trenggiling pada pemeliharaan
di kandang sebagai upaya untuk mendukung program konservasi ex situ.
TINJAUAN PUSTAKA
Trenggiling Jawa (Manis javanica)
Trenggiling Jawa merupakan salah satu jenis mamalia langka yang menjadi
kekayaan alam hayati Indonesia. Nama trenggiling berasal dari bahasa melayu
yakni pengguling atau guling yang artinya menggulung atau melingkar seperti
bola. Trenggiling Jawa di Indonesia tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan
dan beberapa pulau kecil di Kepulauan Riau, Pulau Lingga, Bangka, Belitung,
Nias, Pagai, Pulau Natuna, Karimata, Bali dan Lombok. Selain itu trenggiling
juga terdapat di Malaysia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar,
Thailand, dan Vietnam (Corbet dan Hill 1992).
Trenggiling termasuk kedalam ordo Pholidota yang hanya memiliki satu
famili yaitu Manidae dengan satu genus Manis. Terdapat delapan spesies
trenggiling yang terdistribusi di hutan-hutan tropis Asia dan Afrika. Tiga spesies
trenggiling Asia yaitu Manis javanica, M. crassicaudata, dan M. pentadactyla,
sedangkan empat spesies trenggiling Afrika yaitu M. gigantea, M. temminckii,
M. tricuspis, dan M. tetradactyla (Robinson 2005), serta satu spesies baru dari
trenggiling Asia yaitu M. culionensis (Gaubert dan Antunes 2005).
Trenggiling merupakan hewan soliter dan nokturnal. Tubuh hewan jantan
berukuran lebih besar dibandingkan betina. Lidah trenggiling dapat menjulur
panjang dan ditunjang oleh otot-otot ekstrinsik yang kuat dan berorigo pada
processus xyphoideus (Grzimek 1975). Karakteristik morfologi trenggiling adalah
tubuh bagian dorsal ditutupi oleh sisik mirip reptil, keempat kaki pendek dengan
kuku cakar, memiliki ekor yang panjang, serta menggulung tubuhnya pada saat
tidur dan terancam (Breen 2003) (Gambar 1). Selain itu trenggiling memiliki daya
penciuman lebih baik dibandingkan dengan penglihatannya (Robinson 2005). Hal
tersebut sangat berhubungan dengan aktivitasnya yang lebih banyak terjadi pada
malam hari (nokturnal) serta aktif menemukan sarang semut dan rayap untuk
mendapatkan pakan menggunakan daya penciumannya.
3
Gambar 1 Karakteristik morfologi trenggiling Jawa (Manis javanica)
Sistem Pencernaan Trenggiling
Trenggiling merupakan hewan insektivora, sehingga memiliki saluran
pencernaan sederhana. Trenggiling mempunyai beberapa keunikan yaitu memiliki
lidah yang dapat menjulur panjang, mempunyai bentuk seperti cacing (vermiform)
dan tidak memiliki frenulum yang mengikat lidah ke dasar mulut. Permukaan
dorsalnya memiliki sulcus medianus dan terdapat tiga tipe papilla yaitu papilla
filliformis, papilla fungiformis, dan papilla sirkumvallata yang terdapat putik
pengecap di bagian lateral intraepitel serta memiliki lyssa di ventral lidah seperti
halnya lidah anjing. Mukosa lidah tersusun oleh epitel pipih banyak lapis dengan
lapisan keratin yang tebal melapisi permukaan dorsal dan lebih tipis pada ventral
(Sari 2007).
Trenggiling tidak memiliki gigi seperti halnya unggas, memiliki lambung
tunggal dengan kurvatura minor yang pendek. Berbeda dengan lambung mamalia
pada umumnya, mukosa lambung trenggiling tersusun oleh epitel pipih banyak
lapis dengan lapisan keratin yang cukup tebal. Lambung trenggiling memiliki
kelenjar yang terdiri atas kelenjar mukus, kelenjar oxyntic yang tersembunyi
dibawah mukosa lambung dan kelenjar pilorus di bagian kaudal. Kelenjar mukus
tersusun oleh sel-sel mukus dan sel-sel endokrin. Kelenjar oxcyntic tersusun oleh
sel-sel mukus yang menyusun epitel permukaan, sel-sel leher, sel-sel parietal, selsel utama dan sel-sel endokrin. Kelenjar ini menyalurkan sekretanya ke lumen
lambung. Kelenjar pilorus tersusun atas sel-sel mukus dan sel-sel endokrin.
Berbeda dengan kedua kelenjar lainnya, kelenjar pilorus dilapisi oleh epitel
silindris sebagaimana umumnya mukosa lambung mamalia. Sebuah lipatan
mukosa yang besar berbentuk koma berjalan memanjang di distal kurvatura minor.
Mukosanya dilapisi oleh tonjolan-tonjolan yang disebut pyloric teeth
menggantikan ketiadaan gigi di ruang mulut. Adanya struktur ini ditunjang
dengan penebalan lapisan otot dan ditemukannya batu-batu kerikil pada lumen
lambung, memberikan dugaan bahwa daerah ini sebagai adaptasi terhadap jenis
pakan yang kasar atau keras, yaitu untuk melindungi mukosa lambung trenggiling
dari gesekan dengan eksoskeleton semut dan batu-batu kerikil yang termakan.
Bantuan kerikil atau butiran pasir yang tertelan berfungsi membantu proses
pencernaan trenggiling (Nisa’ et al. 2010).
4
Pakan Trenggiling
Trenggiling termasuk mamalia pemakan semut sehingga sering disebut
anteater (Feldhamer et al. 1999). Pakan utama dari trenggiling adalah semut
(Ordo Hymenoptera) dan rayap (Ordo Isoptera). Diantara keduanya semut merah
tanah (Myrmicaria sp.) merupakan pakan yang lebih disukai trenggiling (Heryatin
1983). Pada pemeliharaan trenggiling di kandang, pakan yang biasa diberikan
adalah kroto. Kroto merupakan campuran pupa dan larva semut rang-rang yang
dijual atau dimanfaatkan sebagai pakan burung berkicau dan umpan memancing
(Sari 2005). Dari hasil analisis proksimat, menunjukkan bahwa kroto dan rayap
memiliki kandungan protein, lemak dan energi total yang tinggi (Tabel 1).
Tabel 1 Hasil analisis proksimat kroto dan rayap (% BK)
Zat-zat Nutrien
Abu (%)
Protein (%)
Lemak (%)
Serat Kasar (%)
BETN (%)
Energi Total (kkal/kg)
Kroto
4.25
47.28
16.51
7.50
24.46
5 310
Rayap
5.29
72.79
12.31
8.72
0.89
4 937
Sumber: Krisna 2006
Pemberian kroto sebagai pakan lebih banyak bergantung kepada hasil
perbururan alam. Namun, ketersediaan kroto di alam tidak kontinyu dan
dipengaruhi oleh musim. Saat musim hujan, mortalitas semut rang-rang tinggi
karena tidak ada ketersediaan pakan di sekitar sarang, aktivitas mencari makan
rendah, dan kelembaban tinggi (Wojtusiak dan Godznska 1993).
Pakan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam kegiatan
pemeliharaan trenggiling untuk konservasi ex situ. Oleh karena pakan alami
trenggiling yaitu semut dan rayap cukup terbatas ketersediaannya di alam, maka
beberapa kebun binatang berupaya membuat pakan alternatif. Sebagai contoh
formula pakan untuk satu ekor trenggiling yang dibuat oleh Taipei Zoo yaitu
sebagai berikut: 100 g larva lebah, 10 g kuning telur, 65 g apel, 45 g larva ulat,
2.7 g bubuk ragi, 1.4 g bubuk kelapa, 0.9 g kalsium karbonat dan ditambahkan
1.5 g bubuk suplemen, 5 ml suplemen vitamin serta tanah sebanyak 5 g
(Yang et al. 2007). Singapore Zoo juga membuat formula pakan mengadopsi dari
Taipei Zoo yang terdiri dari 10 butir telur ayam rebus (± 625 g), 1 000 g larva ulat,
1 000 g daging cincang mentah, 10 sendok makan insectivore powder. Semua
bahan diblender dengan penambahan air sebanyak 800 ml yang dilakukan
bertahap sampai diperoleh pakan dengan kosistensi tertentu dan ditambahkan
terakhir kroto sebanyak 750 g serta suplemen diantaranya 1 sendok teh kalsium
powder, 2 sendok makan kitin powder, 1 tablet vitamin B kompleks dan vitamin
K. Formula pakan tersebut dibuat untuk delapan ekor trenggiling yang diberikan
setiap dua hari sekali (Vijayan et al. 2008).
5
Konsumsi dan Koefisien Cerna Bahan Pakan
Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh hewan dan zat nutrien
yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok
maupun produktivitas dari suatu hewan (Tillman et al. 1991). Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat konsumsi adalah umur, status fisiologi hewan (tumbuh,
bunting atau laktasi), kualitas pakan, palatabilitas jenis dan jumlah pakan serta
lingkungan (McDonald et al. 2002).
Salah satu faktor yang harus dipenuhi oleh bahan pakan ialah tingkat
kecernaan dari bahan pakan tersebut. Tingkat kecernaan pada dasarnya adalah
suatu upaya untuk mengetahui banyaknya zat nutrien yang diserap oleh saluran
pencernaan. Menurut McDonald et al. (2002), kecernaan pakan didefinisikan
sebagai bagian dalam pakan yang tercerna dan tidak dieksresikan melalui feses.
Pakan yang tercerna tersebut diasumsikan diserap oleh tubuh hewan. Biasanya
dinyatakan dalam dasar bahan kering dan apabila dinyatakan dalam persentase
maka disebut koefisien cerna. Peterson (2005) menyatakan bahwa tinggi
rendahnya daya cerna dipengaruhi oleh jenis hewan, umur hewan, jenis bahan
pakan dan susunan kimianya.
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di kandang pemeliharaan trenggiling yang
berlokasi pada Laboratorium Konservasi Ex situ Satwa Liar Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. Analisis
proksimat dilakukan di Laboraturium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan
Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat IPB.
Pengambilan data lapangan yang dilakukan mulai bulan Desember 2014 sampai
Juni 2015.
Bahan dan Alat
Penelitian ini menggunakan empat ekor trenggiling Jawa terdiri dari dua
ekor jantan dan dua ekor betina yang dipelihara di dalam kandang secara terpisah.
Kandang dibangun dengan desain khusus, yang berukuran 3 x 2 x 2 m3,
dilengkapi dengan enrichment berupa kotak kayu tempat bersembunyi/istirahat,
peralatan pakan dan minum, batang pohon untuk memanjat, dan kamera Closed
Circuit Television (CCTV). Bahan-bahan untuk formula pakan terdiri dari kroto,
telur ayam rebus, daging ayam mentah, ulat hongkong, pelet ikan koi, tepung
jangkrik, kalsium, vitamin B kompleks, vitamin K, dan air. Peralatan lain yang
digunakan adalah timbangan (pegas dan dudukan), kamera digital, blender, lemari
pendingin, dan neraca digital.
6
Metode Penelitian
Formula Pakan Pengganti
Bahan pakan diformulasi untuk empat ekor trenggiling, terdiri dari: 237 g
kroto, 218 g (± 4 butir) telur ayam rebus, 89 g daging ayam mentah, 56 g ulat
hongkong, 185 g pelet ikan koi, 2 g tepung jangkrik, 440 ml air dan suplemen
yang terdiri atas 0.2 g kalsium, 0.025 g vitamin B kompleks, dan 0.006 g vitamin
K. Semua bahan terlebih dahulu diblender dengan penambahan air yang
dilakukam secara bertahap sampai diperoleh konsistensi tertentu, kecuali kroto
dan ulat hongkong yang ditambahkan utuh sesaat sebelum diberikan (Gambar 2).
Hal ini dilakukan agar aroma asam formiat yang terkandung dalam kroto tidak
hilang. Asam formiat tersebut berfungsi sebagai aroma khas untuk trenggiling
dalam mencari pakannya. Beberapa bahan yang ditambahkan seperti telur dan
daging ayam sebagai sumber protein menggantikan kroto dan rayap, serta
penambahan tepung jangkrik sebagai sumber kitin. Komposisi pakan pengganti
disajikan dalam Tabel 2 dan komposisi zat nutrien pakan disajikan pada Tabel 3.
Gambar 2 Tampilan formula pakan pengganti dengan tekstur yang lunak
Tabel 2 Susunan formula pakan pengganti (% BK)
Bahan
Formula Pakan Pengganti (%)
32
34
13
10
10
1
100
Kroto
Telur ayam rebus
Daging ayam
Ulat hongkong
Pelet
Tepung jangkrik
Total
Tabel 3 Kandungan zat nutrien formula pakan alami dan pakan pengganti
Zat-zat Nutrien
Air (%)
Abu (%)
Lemak (%)
Protein (%)
Serat Kasar (%)
BETN (%)
Pakan Alami*
Segar
% BK
68.97
3.09
9.96
11.31
36.44
3.53
11.37
1.41
4.54
11.69
37.69
Pakan Pengganti
Segar
% BK
74.52
1.59
6.24
3.26
12.79
8.30
32.57
1.50
2.90
10.83
42.50
Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan
Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (2015)
Sumber: Andesip (2015)*
7
Pemberian Pakan
Pemberian pakan dilakukan setiap sore hari, saat trenggiling mulai
melakukan aktivitas. Pakan yang diberikan dalam keadaan segar dihitung
berdasarkan 4% dari bobot badan trenggiling. Pada individu A (BB = 5 470 g)
diberikan sebanyak 352 g, B (BB = 4 305 g) sebanyak 270 g, C (BB = 4 495 g)
sebanyak 289 g dan D (BB = 2 950 g) sebanyak 190 g. Pemberian sebanyak 4%
dari bobot badan dengan asumsi dapat memenuhi kebutuhan energi trenggiling.
Adaptasi Pakan Pengganti
Sebelum pemberian pakan pengganti trenggiling diberikan pakan alami
berupa 125 g kroto dengan campuran 10 g ulat hongkong dan 15 g pelet ikan koi
(Andesip 2015). Adaptasi pemberian formula pakan pengganti dilakukan sampai
pakan dikonsumsi habis sebelum dilakukannya pengambilan data. Pakan
diberikan setiap sore hari dan keesokan harinya pakan yang tersisa ditimbang
untuk mengetahui jumlah pakan yang dikonsumsi. Pengamatan dilakukan
terhadap waktu (hari) yang diperlukan oleh masing-masing trenggiling untuk
beradaptasi dengan formula pakan pengganti.
Konsumsi pakan
Konsumsi pakan (g/ekor/hari) diperoleh dengan cara mengurangi jumlah
pakan yang diberikan dengan pakan sisa setiap hari. Konsumsi BK pakan
diperoleh dengan mengalikan konsumsi pakan (g/ekor/hari) dengan presentase BK
pakan.
Konsumsi Zat Nutrien
Konsumsi zat nutrien (g/ekor/hari) diperoleh dengan cara mengalikan
konsumsi BK pakan (g/ekor/hari) dengan persentase kandungan zat nutrien.
Kecernaan Pakan
1. Kecernaan bahan kering
Kecernaaan bahan kering didapatkan dengan cara mengurangi bahan kering
konsumsi dengan bahan kering feses lalu dibagi dengan bahan kering yang
dikonsumsi kemudian dikalikan seratus persen. Koefisien cerna bahan kering
dihitung dengan menggunakan rumus :
2. Kecernaan nutrien (protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan bahan
ekstrak tanpa nitrogen)
Kecernaan nutrien didapatkan dengan cara mengurangi kandungan nutrien
bahan yang dikonsumsi dengan kandungan nutrien feses lalu dibagi dengan
jumlah pakan yang dikonsumsi kemudian dikalikan seratus persen. Koefisien
cerna nutrien dihitung dengan menggunakan rumus:
8
Pengukuran Bobot Badan
Pengukuran dilakukan dengan cara menimbang bobot badan trenggiling
yang dilakukan setiap minggu untuk melihat perkembangannya. Penimbangan
pertama dilakukan sebelum perlakuan sebagai data bobot badan awal.
Pertambahan bobot badan diperoleh dengan menghitung selisih bobot badan akhir
dengan bobot badan awal, sedangkan rata-rata pertambahan bobot badan perhari
diperoleh dengan menghitung selisih bobot badan akhir dengan bobot badan awal
dibagi dengan lama waktu penelitian.
Feed Convertion Ratio (FCR)
Rasio konversi pakan atau FCR adalah jumlah pakan yang dikonsumsi
untuk mendapatkan bobot badan tertentu. FCR diperoleh dari perbandingan
jumlah pakan yang dikonsumsi dengan penambahan bobot badan trenggiling.
Koleksi Feses dan Preparasi Sampel untuk Analisis Proksimat
Koleksi feses dilakukan dengan metode pengumpulan feses total. Feses
dikoleksi setiap hari dari masing-masing individu kemudian ditimbang. Preparasi
sampel untuk analisis proksimat meliputi pencampuran seluruh feses dari masingmasing individu, kemudian diambil sebanyak 20 g dari keseluruhan feses yang
sudah tercampur merata. Feses selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu
60 oC selama 24 jam, kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender dan
siap untuk dianalisis proksimat.
Parameter yang Diamati
Parameter yang diamati pada penelitian ini diantaranya adalah; waktu
adaptasi trenggiling terhadap pemberian formula pakan pengganti, jumlah
konsumsi nutrien, tingkat kecernaan pakan serta pengaruhnya terhadap
pertambahan bobot badan trenggiling.
Analisis Data
Seluruh data akan dianalisis secara deskriptif dan hasil akan ditampilkan
dalam bentuk tabel dan gambar.
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Adaptasi Trenggiling Jawa (Manis javanica) terhadap Pakan Pengganti
Sebelum dilakukan pengamatan terhadap tingkat konsumsi pakan dengan
pemberian formula pakan pengganti, dilakukan proses adaptasi sampai pakan
dikonsumsi habis. Tingkat konsumsi pada masa adaptasi diperlihatkan pada Tabel
4.
Tabel 4 Jumlah pakan dan tingkat konsumsi pakan pengganti selama masa
adaptasi
Individu/BB
Parameter
Hari ke- (g/ekor/hari)
3
4
5
6
1
2
Jumlah pakan
Jumlah konsumsi
Jumlah tersisa
Jumlah pakan
Jumlah konsumsi
Jumlah tersisa
352
250
102
270
270
0
352
352
0
270
20
250
352
237
115
270
270
0
352
319
33
270
270
0
352
239
113
270
270
0
Jumlah pakan
Jumlah konsumsi
Jumlah tersisa
Jumlah pakan
Jumlah konsumsi
Jumlah tersisa
289
228
61
190
190
0
289
289
0
190
190
0
289
205
84
190
190
0
289
136
153
190
190
0
289
289
0
190
190
0
Rataan
7
8
352
352
0
270
270
0
352
268
84
270
270
0
352
352
0
270
270
0
352
296.13±52.84
55.88±52.84
270
238.75±88.39
31.25±88.39
289
198
91
190
190
0
289
289
0
190
190
0
289
289
0
190
190
0
289
240.38±58
48.63±58
190
190
0
Jantan
A (5 470 g)
B (4 305 g)
Betina
C (4 495 g)
D (2 950 g)
Secara umum seluruh trenggiling yang mendapatkan perlakuan pakan
pengganti tidak menunjukan perubahan tingkah laku. Trenggiling mempunyai
kebiasaan sebelum makan dan minum seperti mengendus dan membaui pakan lalu
menjulurkan lidahnya secara cepat dan kadang-kadang kedua kaki depan
dimasukkan ke dalam tempat makan (Sawitri et al. 2012) (Gambar 3).
Gambar 3 Cara pemberian pakan pengganti pada trenggiling Jawa
(Manis javanica)
10
Proses adaptasi terhadap pemberian formula pakan pengganti rata-rata
berlangsung selama tujuh hari, karena pada hari ke delapan semua pakan
dikonsumsi habis, kecuali trenggiling B dan D yang sudah habis sejak hari
pertama pemberian. Hal ini diduga karena kedua trenggiling tersebut masih
berumur muda sehingga dalam masa pertumbuhan dibutuhkan jumlah pakan yang
lebih besar, berbeda dari trenggiling lainnya yang berumur lebih dewasa. Pada
hari kedua trenggiling B tidak mau makan dengan menunjukan aktivitas yang
berlebih dari biasanya, selain itu trenggiling A pada hari ke-3, 4 dan 5 berturutturut tidak mengkonsumsi pakan dengan habis sama halnya dengan betina C pada
hari ke-3 dan ke-4. Hal tersebut diduga karena betina C mengalami estrus
sehingga mengakibatkan penurunan nafsu makan. Menurut Yang et al. 2007,
masa perkawinan trenggiling terjadi pada bulan Mei sampai Juni. Dimana
penelitian ini berlangsung pada awal bulan Mei.
Selama proses adaptasi, rata-rata jumlah pakan tersisa paling banyak pada
trenggiling A, yaitu sebesar 55.88 g dari rata-rata total jumlah pakan yang
diberikan. Adanya pakan yang tersisa pada saat pemberian formula pakan
pengganti diduga disebabkan penambahan bahan pakan pengganti seperti telur
ayam rebus dan daging ayam mentah sebagai sumber protein pengganti kroto
masih memiliki palatabilitas rendah.
Trenggiling memberikan respon waktu yang berbeda-beda terhadap tingkat
konsumsi pakan pengganti. Proses adaptasi yang cepat pada trenggiling D diduga
disebabkan karena pemberian pakan dengan jumlah 190 g masih belum optimal
untuk pertumbuhannya, selain itu jumlah tersebut tidak berbeda jauh dengan
jumlah pemberian pakan sebelumnya yaitu sebanyak 150 g. Adapun pada individu
lainnya, pemberian pakan berdasarkan bahan segar 4% dari bobot badan memiliki
jumlah sekitar dua kali lipat dari pakan sebelumnya, sehingga membutuhkan
waktu adaptasi yang lebih lama untuk menghabiskan pakan yang diberikan.
Secara umum konsumsi dapat meningkat dengan semakin meningkatnya berat
badan, karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan meningkat dengan
semakin meningkatnya berat badan sehingga mampu menampung pakan dalam
jumlah lebih banyak.
Konsumsi Pakan dan Kecernaan Zat Nutrien
Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh hewan dimana zat
nutrien yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup
pokok maupun produktivitas dari suatu hewan (Tillman et al. 1991). Konsumsi
pakan pengganti dalam penelitian ini dihitung berdasarkan bahan kering yang
dikonsumsi oleh trenggiling. Tingkat konsumsi pakan mencerminkan pendekatan
palatabilitas pakan, yaitu keinginan dan kesukaan hewan terhadap suatu pakan.
Palatabilitas pakan tergantung pada beberapa hal yaitu penampilan dan bentuk
pakan, bau, rasa, tekstur dan temperatur lingkungan (Church dan Pond 1988).
Rataan kandungan bahan pakan yang dikonsumsi dan tingkat kecernaan pakan
trenggiling selama penelitian diperlihatkan pada Tabel 5.
11
Tabel 5 Kandungan bahan pakan pengganti yang dikonsumsi dan tingkat
kecernaan pakan trenggiling Jawa (Manis javanica)
Trenggiling
A
Jantan
B
C
Betina
D
Rataan
Peubah
BK
LK
PK
SK
BETN
BK
LK
PK
SK
BETN
BK
LK
PK
SK
BETN
BK
LK
PK
SK
BETN
BK
LK
PK
SK
BETN
Konsumsi (g)
93.00
3.03
7.72
1.40
10.09
48.06
1.57
3.99
0.72
8.09
76.57
2.50
6.36
1.15
8.29
74.72
2.44
6.20
1.12
5.21
73.09 ± 18.60
2.38 ± 0.60
6.07 ± 1.54
1.10 ± 0.28
7.92 ± 2.01
Feses (g)
25.56
0.24
1.40
0.65
2.03
15.24
0.11
0.83
0.28
1.64
14.23
0.03
0.90
0.40
1.33
33.92
0.14
1.88
0.75
0.95
22.24 ± 9.32
0.13 ± 0.09
1.25 ± 0.49
0.52 ± 0.27
1.64 ± 0.61
Tercerna (g)
67.44
2.79
6.32
0.74
8.04
32.82
1.46
3.16
0.44
6.27
62.34
2.47
5.46
0.74
6.96
40.80
2.30
4.33
0.37
4.26
50.85 ± 16.67
2.25 ± 0.54
4.81 ± 1.37
0.57 ± 0.20
6.27 ± 1.62
Koef. Cerna (%)
72.51
91.99
81.85
53.09
79.80
68.28
93.29
79.10
61.09
74.40
81.42
98.80
85.85
64.81
83.99
54.60
94.29
69.75
33.41
81.81
69.20 ± 11.17
94.59 ± 2.96
79.14 ± 6.84
53.10 ± 14.01
79.40 ± 5.22
Keterangan: BK: Bahan Kering, LK: Lemak Kasar, PK: Protein Kasar, SK: Serat Kasar,
BETN: Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
Konsumsi bahan kering pakan trenggiling dalam penelitian ini rata-rata
73.09 g atau 1.54% dari bobot badan. Hal ini sesuai dengan konsumsi bahan
kering hewan monogastrik, yaitu 1.5-3% dari bobot badan (Parakkasi 1986).
Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa, rataan konsumsi lemak sebesar 2.38 g atau
3.26% BK, rataan konsumsi protein sebesar 6.07 g atau 8.30% BK, rataan
konsumsi serat kasar sebesar 1.10 g atau 1.50% BK dan rataan konsumsi BETN
7.92 g atau 10.84% BK. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi
adalah umur, status fisiologi hewan (tumbuh, bunting atau laktasi), kualitas pakan,
palatabilitas jenis dan jumlah pakan serta lingkungan (McDonald et al. 2002).
Kecernaan pakan didefinisikan sebagai bagian dalam pakan yang tercerna
dan tidak dieksresikan melalui feses. Pakan yang tercerna tersebut diasumsikan
diserap oleh tubuh hewan. Biasanya dinyatakan dalam dasar bahan kering dan
apabila dinyatakan dalam persentase maka disebut koefisien cerna
(McDonald et al. 2002). Menurut Ranjhan dan Pathak (1979) faktor yang
mempengaruhi kecernaan pakan adalah umur hewan, jumlah pakan, pengolahan
pakan, komposisi pakan, dan rasio komposisi. Nilai kecernaan bahan kering,
lemak, protein, dan serat kasar dapat dilihat pada Tabel 5.
12
Nilai kecernaan bahan kering pakan rata-rata sebesar 69.20%. Nilai
koefisien cerna bahan kering pakan menunjukan tingkat kecernaan pakan pada
alat pencernaan dan besarnya nutrien suatu pakan bagi hewan, disamping
merupakan indikator kesanggupan hewan untuk memanfaatkan suatu jenis pakan
tertentu.
Hasil tingkat kecernaan pakan pada trenggiling terhadap formula pakan
pengganti menunjukkan kemampuan hewan ini dalam mencerna zat nutrien cukup
tinggi pada lemak dan protein, hal ini terlihat dari koefisien cerna lemak rata-rata
sebesar 94.59%. Tingginya nilai kecernaan lemak menunjukan bahwa hampir
seluruh lemak yang terdapat dalam pakan mampu diserap oleh trenggiling.
Pencernaan lemak terutama terjadi di dalam usus, karena di dalam mulut dan
lambung tidak terdapat enzim lipase yang dapat menghidrolisis lemak, sehingga
membutuhkan bantuan empedu yang dihasilkan oleh hati dan enzim lipase yang
dihasilkan oleh pankreas (Guyton dan Hall 2006).
Sama halnya dengan lemak, protein untuk dapat diserap oleh tubuh maka
protein harus dipecah terlebih dahulu menjadi struktur yang lebih sederhana yaitu
asam amino. Asam amino dari protein yang secara terus menerus diperlukan bagi
pertumbuhan sel dan pembentukan jaringan tubuh. Melalui sistem peredaran
darah, asam amino tersebut kemudian diserap oleh seluruh jaringan tubuh yang
memerlukannya (Devi 2010). Dari Tabel 5 rataan nilai koefisien cerna protein
sebesar 79.14%. Nilai koefisien cerna protein lebih rendah dibandingkan dengan
lemak, hal tersebut diduga akibat adanya zat anti tripsin pada kacang kedelai yang
terkandung dalam pelet ikan koi. Anti tripsin yaitu suatu senyawa yang dapat
menghambat kerja enzim tripsin atau enzim pemecah protein dalam sistem
pencernaan. Zat anti tripsin akan mengikat enzim tripsin dalam usus halus
sehingga proses pencernaan protein terganggu. Dengan demikian enzim tripsin
yang telah berikatan dengan anti tripsin akan kehilangan fungsi sebagai enzim
pencerna protein sehingga proses hidrolisis protein menjadi asam amino akan
terganggu (Soetrisno dan Suryana 1991). Selain itu kehadiran kitin yang berasal
dari tepung jangkrik akan menurunkan kecernaan nutrien.
Menurut Linder (1992), serat kasar adalah bagian dari makanan yang tidak
dapat tercerna secara enzimatis oleh enzim yang dproduksi oleh saluran
pencernaan manusia dan hewan sehingga bukan sebagai sumber zat nutrien. Dari
hasil analisis proksimat, serat kasar formula pakan pengganti sebesar 2.9 % yang
diduga terdiri dari kitin dan hemiselulosa. Kitin berasal dari eksoskeleton kroto,
ulat hongkong dan tepung jangkrik sedangkan hemiselulosa berasal dari pelet ikan
koi dengan komposisi kedelai dan jagung di dalamnya. Kitin sendiri hanya bisa
dipecah oleh enzim kitinase. Sel-sel penghasil enzim kitinase di temukan pada
daerah kelenjar oxcyntic, meskipun hasilnya perlu dipelajari lebih lanjut (Nisa’
2005).
Tingkat kecernaan serat kasar pakan lebih rendah dibandingkan dengan
tingkat kecernaan protein dan lemak. Menurut Lin et al. (2015), trenggiling
mampu mencerna serat kasar berkisar antara 13-28%, dari penelitian ini
didapatkan hasil yang lebih tinggi yaitu rata-rata sebesar 53.10%. Menurut Krisna
(2006), trenggiling kurang mampu dalam mencerna serat kesar. Tingginya
kecernaan serat kasar pada penelitian ini dikarenakan kadar serat kasar yang
rendah pada pakan, selain itu diduga disebabkan oleh penambahan pelet ikan koi
dalam pakan yang memiliki kandungan serat kasar berupa hemiselulosa.
13
Hemiselulosa memiliki struktur kimia yang lebih sederhana dibandingkan dengan
kitin, sehingga relatif lebih mudah untuk dihidrolisis dibandingkan dengan kitin
yang terkandung dalam kroto, ulat hongkong dan tepung jangkrik. Pada daerah
kelenjar oxcyntic lambung trenggiling terdapat sel-sel parietal yang berfungsi
menghasilkan asam klorida (HCl) dalam jumlah banyak (Nisa’ et al. 2010).
Keberadaan HCl ini diduga berperan penting dalam memecah hemiselulosa.
Menurut Suparjo (2008), hemiselulosa relatif lebih mudah dihidrolisis dengan
asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa
dan arabinosa. Tillman et al. (1998), menyatakan bahwa dalam saluran
pencernaan hewan golongan non ruminansia, fungsi hemiselulosa dan selulosa
tidak spesifik, tetapi penting dalam meningkatkan gerak peristaltik pada
pencernaan, sebagai sumber energi bagi mikroorganisme dalam lambung dan
sebagai bahan pengisi lambung.
Pertambahan Bobot Badan Trenggiling Jawa (Manis javanica)
Salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan hewan
adalah dengan mengukur pertambahan bobot badan dalam periode waktu tertentu.
Besarnya tingkat pertumbuhan hewan merupakan manifestasi dari pemanfaatan
pakan oleh tubuh hewan yang sangat bergantung pada kualitas pakannya.
Pertambahan bobot badan setiap trenggiling selama penelitian dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 6 Pertambahan bobot badan trenggiling Jawa (Manis javanica)
Trenggiling
Jantan
A
B
C
D
Betina
Rataan
BB Awal (g/ekor)
5 470
4 305
4 495
2 950
4 305 ± 1 037.52
Peubah
BB akhir (g/ekor)
5 985
5 030
4 840
3 140
4 749 ± 1 183.75
PBB (g/ekor/hari)
8.70
11.51
5.48
3.02
7.04 ± 3.71
FCR
2.15
2.05
2.19
2.10
2.13 ± 0.06
Keterangan: BB: bobot badan, PBB: pertambahan bobot badan, FCR: feed convertion ratio
Secara umum, pertambahan bobot badan trenggiling bervariasi setiap
minggunya, dari minggu pertama sampai akhir penelitian (Gambar 4). Rataan
pertambahan bobot badan trenggiling A, B, C dan D selama penelitian masingmasing 8.70, 11.51, 5.48, dan 3.02 g/ekor/hari.
Bobot Badan (g)
7000
6000
Trenggiling:
5000
Jantan A
4000
Jantan B
3000
Betina C
2000
Betina D
1000
0
O
A
M-1 M-2 M-3 M-4 M-5 M-6 M-7 M-8
Gambar 4 Grafik pertambahan bobot badan trenggiling Jawa (Manis javanica)
setiap minggu
14
Pemberian pakan pada trenggiling D tidak dapat meningkatkan pertambahan
bobot badan trenggiling yang lebih besar dibandingkan dengan lainnya. Hal ini
diduga karena trenggiling D masih berumur muda sehingga pakan yang
dikonsumsi trenggiling D belum optimal untuk pertumbuhannya, selain itu selama
penelitian berlangsung trenggiling D teramati lebih aktif dibandingkan dengan
individu lainnya. Hal ini sesuai dengan Krisna (2006), yang mengatakan bahwa
pertambahan bobot badan dapat dipengaruhi olek aktivitas hewan. Pertambahan
bobot badan yang rendah dapat karena pakan yang dikonsumsi oleh hewan tidak
semua diserap oleh tubuh dan dijadikan timbunan lemak melainkan sebagian
terbuang dalam feses.
Pertambahan bobot badan harian tertinggi dicapai oleh trenggiling B yaitu
11.51 g/ekor/hari. Laju pertumbuhan yang tinggi dengan pakan yang baik akan
berpengaruh terhadap nilai konversi pakan, semakin rendah nilai konversi pakan
maka pakan semakin dapat dimanfaatkan oleh trenggiling dengan efisien.
Konversi pakan merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi untuk mendapatkan
bobot badan tertentu. Rasio konversi pakan pada trenggiling B (2.05) memiliki
konversi yang relatif lebih rendah dibandingkan trenggiling lain. Hasil rataan
konversi pakan pada penelitian ini masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan
pakan alami yang menghasilkan nilai rata-rata sebesar 1.44 (Andesip 2015). Hal
ini disebabkan karena kandungan protein pada formula pakan pengganti lebih
redah dibandingkan pakan alami. Protein pada pakan pengganti sebesar 32.57%
sedangkan pakan alami 36.44% (Andesip 2015). Menurut Bintang et al. (1999),
konversi pakan dapat dipengaruhi oleh kandungan nutrien pakan (protein dan
energi) yang lebih tinggi akan lebih efisien dalam pengolahan bahan pakan
sehingga konversi pakan yang dihasilkan cenderung lebih rendah (lebih efisien).
Adapun pengelompokan berdasarkan jenis kelamin antara kelompok jantan
dan kelompok betina pada Tabel 5 menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan
pada jantan lebih tinggi daripada betina (Gambar 5). Hal ini sesuai dengan
pendapat Breen (2003), bahwa ukuran tubuh trenggiling jantan lebih besar dan
lebih panjang dibandingkan dengan betina. Rata-rata panjang tubuhnya adalah 75150 cm dengan panjang ekor sekitar 45-65% dari panjang total tubuh. Selain itu
pertambahan bobot badan diduga dapat dipengaruhi oleh adanya hormon
testosteron. Pada hewan jantan setelah memasuki usia pubertas hormon
testosteron akan menyebabkan maskulinasi seperti pembentukan massa otot,
perubahan suara, libido, pertumbuhan organ kelamin eksternal dan
spermatogenesis (Roth dan Page 2011). Sedangkan pada betina hormon yang
lebih mendominasi adalah estrogen dibandingkan dengan testosteron, dimana
estrogen lebih berperan penting dalam perkembangan formasi tulang dan
pertumbuhan organ kelamin betina (Campion et al. 1989). Pertambahan bobot
badan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis hewan, jenis kelamin,
umur dan keseimbangan zat-zat nutrien dalam pakan (NRC 1985).
15
7000
Bobot Badan (g)
6000
5000
4000
3000
BB Awal
BB Akhir
2000
1000
0
A
B
C
Jantan
D
Betina
Trenggiling
Gambar 5 Grafik pertambahan bobot badan trenggiling Jawa (Manis javanica)
selama penelitian
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Proses adaptasi berlangsung rata-rata selama tujuh hari dengan pemberian
formula pakan pengganti yang terdiri dari pakan alami yaitu kroto dan
subtitusinya berupa ulat hongkong, telur ayam rebus, daging ayam mentah, tepung
jangkrik, dan suplemen (kalsium, vitamin B kompleks & vitamin K) dapat
diadaptasi dengan baik karena sesuai dengan palatabilitas dan pencernaan
trenggiling. Pemberian pakan sejumlah 4% BB dapat memenuhi kebutuhan energi
hidup pokok trenggiling dan berpengaruh terhadap kenaikan bobot badan rata-rata
7.04 g perhari.
Saran
Penelitian ini merupakan formula awal sehingga diperlukan penelitian lebih
lanjut dengan subsitusi jumlah ulat hongkong lebih banyak dibanding kroto yang
memiliki nilai ekonomis lebih tinggi. Selain itu juga perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui pengaruh formula pakan pengganti terhadap perilaku dan
aktivitas reproduksi trenggiling.
16
DAFTAR PUSTAKA
Andesip FN. 2015. Status nutrisi, tingkat kecernaan dan performa trenggiling
Jawa (Manis javanica) yang diberi campuran pakan alami. [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Bintang IAK, Sinurat AP, Murtisari T, Pasaribu T, Purwadaria T, Haryati T. 1999.
Penggunaan bungkil inti sawit dan produk fermentasinya dalam ransum itik
sedang bertumbuh. J Ilmu Ternak Vet. 4 (3) : 179 -185.
Breen K. 2003. Manis javanica [Internet]. [diunduh pada tanggal 22 Agustus
2015]. Tersedia pada:http://animaldiversity.org/accounts/Manis-javanica/.
Campion DR, Hausman GJ, Martin RJ. 1989. Animal Growth Regulation. New
York (US): Plenum Pr.
Challender D, Nguyen VT, Shepherd C, Krishnasamy K,Wang A, Lee B, Panjang
E, Fletcher L, Heng S, Seah Han Ming J, Olsson A, Nguyen TTA, Nguyen
VQ, Chung Y. 2015. Manis javanica. The IUCN Red List of Threatened
Species 2014: e.T12763A45222303. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.
20142.RLTS.T12763A45222303.en.
Church DC, Pond WG. 1988. Basic Animal Nutrition and Feeding. 3th Ed. New
York (US): John Wiley and Sons.
Corbet GB, Hill JE. 1992. The Mammal of Indomalayan Region: A systematic
Review. Natural History Museum Publikations, London (GB): Oxford
Univerty Pr.
Devi N. 2010. Nutrition and Food. Jakarta (ID): PT Kompas Media Nusantara.
Feldhamer GA, Drickamer CL, Vessey SH, Merritt JF. 1999. Adaptation,
Diversity, and Ecology Mamalogy. Boston (US): The McGrawHill
Companies. 85 (252).
Gaubert P, Antunes A. 2005. Assessing the taxonomic status of the Palawan
pangolin Manis culionensis (Pholidota) using discrete morphological
characters. J Mammal. 86 (6).
Grzimek B. 1975. Animal Life Encyclopedia. Vol II. Mammals II. New York
(US): Van Nostrand Reinhold Company.
Guyton AC, Hall EJ. 2006. Medical Physiology. 11th Ed. Philadelphia (US):
Elsivier.
Heryatin T. 1983. Beberapa aspek trenggiling di suaka alam gunung honje timur
dan perkebunan teh cigombong, cisadea cianjur selatan [skripsi]. Bandung
(ID): Universitas Negeri Padjajaran Bandung.
Inskip T, Gillett HJ. 2005. Checklist of CITES species and annoted CITES
Appendices and reservations. CITES Secretariat and UNEP-WCMC,
Geneva and Cambridge.
Krisna R. 2006. Kandungan nutrisi pakan trenggiling (Manis javanica) dan kaitan
terhadap pertumbuhannya. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Lin MF, Chang CY, Yang CW, Dierenfeld ES. 2015. Aspects of digestive
anatomy, feed intake and digestion in the Chinese pangolin (Manis
pendadactyla) at Taipei zoo. Zoo Biol. 34 (3): 262-70. Doi:
10.1002/zoo.21212. Epub 2015 Apr 23.
17
Linder CM. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Aminuddin Parakkasi,
penerjemah; Jakarta (ID): UI Pr. Terjemahan dari: Nutritional Biochemistry
and Metabolism.
Liushuai H, Shiping G, Fumin W, Weiye L, Yan G, Xiaonan L, Fanghui H. 2015.
Captive breeding of pangolins: current status, problems and future prospects.
Zoo Keys. 507-99-114. Doi: 10.3897/zookeys.507.6970.
McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JED, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition.
6th Ed. Gosport (UK): Ashford Colour Pr. Ltd.
[NRC] National Research Council. 1985. Nutrient Requirements of Sheep. 11th Ed.
Philadelphia (US): Lea and Febiger. p: 235-239.
Nisa’ C. 2005. Morphological studies of the stomach of Malayan Pangolin Manis
javanica. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nisa’ C, Agungpriyono S, Katimura N, Sasaki M, Yamada J, Sigit K. 2010.
Morphological features of the stomach of Malayan Pangolin, Manis
javanica. J Anat. Histol. Embryol. 39 (2010): 432 – 439.
Nowak R. 1999. Walker’s Mammals of the World. 6th Ed. Baltimore (US): The
Jhe Jhons Hopkins University Pr.
Parakkasi A. 1986. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Monogastrik. Jakarta (ID):
Universitas Indonesia Pr.
Peterson PR. 2005. Forage for goat Production. Blacksburg (US): Dept. Virginia
Tech University.
Ranjhan SK, Pathak NN. 1979. Management and Feeding of Buffaloes. New
Delhi (IN): Vikas Publishing House Pvt. Ltd. p: 133-135.
Robinson PT. 2005. Pholidota (Pangolins) in Fowler ME and Miller RE. Zoo and
Wild Animal Medicine. 5th Ed. Misoury (US): Saunders.
Roth MY, Page ST. 2011. A Role For Dihydrotestosterone Treatment In Older
Men. Asian J of Andrology. 13:199–200.
Sari GK. 2005. Tingkat kesukaan semut rangrang (Oecophylla smaragdina) pada
berbagi ransum pakan yang berbeda. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Sari RM. 2007. Kajian morfologi lidah trenggiling (Manis javanica). [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sawitri R, Bismark M, Takandjandji M. 2012. Perilaku trenggiling (Manis
javanica desmarest, 1822) di penangkaran Purwodadi, Deli Serdang,
Sumatera Utara (Pangolin behaviour in captive breeding at Purwodadi,
Deli Serdang, North Sumatra). J Penel Hut Konserv Alam. 9 (3): 285 – 297.
Soetrisno USS dan Suryana P. 1991. Pengembangan prosedur analisis zat
antitripsin (Tripsin in-hibitor) pada sumber protein nabati. J Penel Gizi
Makanan. 14: 153-158.
Suparjo. 2008. Degradasi Komponen Lignoselulosa Oleh Kapang Pelapuk Putih.
[Internet]. [diunduh pada tanggal 22 Agustus 2015]. Tersedia pada:
http://jajo66. Wordpress.com.
Tillman AD, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo S. 1998. Ilmu
Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr.
18
Vijayan M, Yeong C, Ling D. 2008. Captive management of Malayan pangolins
Manis javanica in the Night Safari. In: Pantel S, Chin SY (Eds) Proceedings
of the Workshop on Trade and Conservation of Pangolins Native to South
and Southeast Asia. TRAFFIC Southeast Asia, Singapore Zoo, Singapore.
119–129.
Wojtusiak J, Godznska EZ. 1993. Factors influencing the responses to nest
damage in the Africa weaver ant, Oecophylla longinoda (Latrille). Acta
Neurobiola Exp. 53 (2): 401-408.
Yang CW, Chen S, Chang CY, Lin MF, Block E, Lorentsen R, Chin JSC,
Dierenfeld ES. 2007. History and dietary husbandry of pangolins in
captivity. Zoo Biology. 26: 223–230. Doi: 10.1002/zoo.20134.
19
RIWAYAT HIDUP
Sefi Maulida dilahirkan di Pandeglang pada tanggal 19 Oktober 1991 dari
pasangan Bapak H. Mohamad Udi Zuhdi dan Ibu Hj. Na’ah. Penulis merupakan
anak kedua dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah
Dasar Negeri Teluk 1 Labuan pada tahun 2004. Selanjutnya pada tahun 2007
penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1
Labuan. Pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Pandeglang diselesaikan
pada tahun 2010, dan pada tahun yang sama penulis diterima di Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai anggota
dan pengurus Himpunan Profesi Satwa Liar Fakultas Kedokteran Hewan pada
tahun 2011-2013, dan aktif sebagai anggota Seni dan Teatrikal Ilmiah pada tahun
2012-2013.