Karakteristik Morfologi Organ Reproduksi Jantan Trenggiling (Manis javanica).

KARAKTERISTIK MORFOLOGI ORGAN REPRODUKSI
JANTAN TRENGGILING (Manis javanica)

YUSRIZAL AKMAL

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Morfologi
Organ Reproduksi Jantan Trenggiling (Manis javanica) adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014
Yusrizal Akmal
NIM B152120011

RINGKASAN
YUSRIZAL AKMAL. Karakteristik Morfologi Organ Reproduksi Jantan
Trenggiling (Manis javanica). Dibimbing oleh CHAIRUN NISA’ dan SAVITRI
NOVELINA.
Trenggiling adalah hewan soliter dengan reproduksi yang lambat. Akibat
meningkatnya eksploitasi trenggiling karena permintaan pasar terutama dari Cina,
maka terjadilah perburuan liar di alam sehingga populasi di alam menurun secara
drastis. Untuk itu diperlukan suatu upaya konservasi, sehingga populasi trenggiling
dapat dipertahankan dan lebih dikembangkan lagi. Organ reproduksi merupakan
salah satu hal yang penting dalam menunjang upaya konservasi suatu spesies,
terlebih bagi spesies yang populasinya sudah terancam punah seperti trenggiling
(M. javanica). Sampai saat ini, data mengenai informasi karakteristik morfologi
organ reproduksi jantan trenggiling baik makroanatomi maupun mikroanatomi
masih sangat terbatas. Oleh karena itu penelitian yang bertujuan untuk
mempelajari karakteristik morfologi organ reproduksi jantan trenggiling
(M. javanica) secara makroanatomi dan mikroanatomi perlu dilakukan untuk

memberikan informasi dasar guna menunjang upaya penangkaran.
Organ reproduksi jantan dari lima ekor trenggiling digunakan pada
penelitian ini. Pengamatan makaroanatomi dilakukan terhadap posisi in situ dan
morfometri, yang meliputi pengukuran panjang, lebar, tebal dari masing-masing
bagian organ reproduksi dan tambahan pengukuran bobot untuk testis. Untuk
pengamatan mikroanatomi, sampel masing-masing bagian organ reproduksi
diproses dengan teknik histologi dengan metode parafin dan disayat dengan
ketebalan 3-5 µm. Preparat diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin eosin (HE)
untuk pengamatan struktur umum, Masson’s trichrome (MT) untuk pengamatan
jaringan ikat, serta alcian blue (AB ) pH 2.5 dan periodic acid Schiff (PAS) untuk
mengamati distribusi karbohidrat netral dan asam pada masing-masing kelenjar
asesoris. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk
tabel dan gambar.
Trenggiling memiliki organ reproduksi yang terdiri atas sepasang testes,
epididymis dan ductus deferens yang selanjutnya bermuara ke urethra yang
terdapat di dalam penis. Sepasang testes ascrotalis (tidak terbungkus oleh
scrotum) terletak di subcutanea daerah inguinales. Testis dexter dan sinister
memiliki bentuk dan ukuran yang relatif sama. Ukuran rata-rata testis adalah
panjang 3.78±0.12 cm, lebar 1.24±0.02 cm, tebal 0.90±0.03 cm, dan bobot
5.64±0.04 g. Epididymis terdiri atas caput, corpus dan cauda, memiliki panjang

rata-rata 4.78±0.02 cm, dengan posisi menyilang craniomedial pada corpus testis.
Panjang rata-rata ductus deferens 8.98±0.31 cm, sedangkan penis memiliki ukuran
rata-rata panjang dan diameter 5.39±1,63 cm dan 0.64±0.03 cm. Ditemukannya
testes ascrotalis di subcutanea daerah inguinales merupakan hasil yang menarik
dari penelitian ini yang diduga terkait dengan perilaku trenggiling menggulung
tubuh.
Testis tersusun atas tubuli seminiferi yang dipisahkan oleh jaringan
interstisial. Dinding tubuli seminiferi disusun oleh membran basal tubuli, sel-sel
epitel germinal (spermatogonia, spermatosit dan spermatid) dan sel-sel Sertoli.
Epididymis tersusun atas epitel silindris sebaris bersilia yang dikelilingi oleh

jaringan ikat longgar sedangkan ductus deferens tersusun atas epitel silindris
banyak baris semu bersilia yang dikelilingi oleh jaringan ikat longgar dan lapisan
otot polos. Penis berukuran kecil, pendek, tidak memiliki glands penis dan bertipe
muscolocavernosus.
Kelenjar asesoris trenggiling jantan terdiri atas glandula vesicularis dan
prostata yang teramati secara makroanatomi serta glandula bulbourethralis yang
hanya teramati secara mikroskopis. Rataan panjang dan ketebalan glandula
vesicularis adalah 1.07 cm dan 0.41 cm, serta panjang dan ketebalan prostata
adalah 1.17 cm dan 0.54 cm. Kelenjar asesoris berlobulasi dengan jaringan ikat

yang cukup tebal menyisip lobus dan lobulus. Glandula vesicularis bertipe
kelenjar serous, sedangkan prostata bertipe kelenjar seromukus dengan dominan
mukus dan glandula bulbourethralis bertipe kelenjar mukus. Sekreta glandula
vesicularis mengandung karbohidrat netral dengan intensitas lemah dan tidak
mengandung karbohidrat asam. Prostata mengandung karbohidrat netral dengan
intensitas sedang, serta karbohidrat asam dengan intensitas lemah sampai negatif.
Adapun sekreta glandula bulbourethralis mengandung karbohidrat netral dan
asam dengan kosentrasi tinggi. Hal ini diduga terkait dengan peran glandula
vesicularis dan prostata sebagai penghasil plasma semen, sedangkan glandula
bulbourethralis berperan sebagai penghasil plasma semen maupun sebagai
pembilas saluran urethra.
Kata-kata kunci: trenggiling (M. javanica), organ reproduksi jantan

SUMMARY
YUSRIZAL AKMAL. Morphological Characteristics of the Male Reproductive
Organs of Pangolin (Manis javanica). Supervised by CHAIRUN NISA’ and
SAVITRI NOVELINA.
Pangolin is solitary animal with slow reproductive rate. Due to increasing
exploitation of pangolin as market demand, especially from China, there was
poaching in nature that caused the population in wild decreases dramatically.

Reproductive organ is one of the important things in the conservation of species,
especially for species that is already endangered such as pangolin (M. javanica). It
required an effort of conservation, so the pangolin populations can be maintained
and developed further. Recently, information of the morphological characteristics
of male reproductive organs of pangolin, both macroanatomy and mikroanatomy,
is still limited. Therefore, the study aims to find out the morphological
characteristics of the male reproductive organs of pangolin (M. javanica) at
macroscopic and microscopic level which were needs to provide basic
information to support breeding activity.
Five male reproductive organs of pangolin were used in the study. For
macroscopic observation, data were collected for in situ position and
morphometry, which includes measurements of length, width, and thickness of
each part of the reproductive organs and added measurements of weight of testes.
For microscopic observation, samples of each part of the reproductive organs was
processed by histological techniques with paraffin method. Block paraffin were
cut 3-5 µm and stained with hematoxylin eosin staining (HE), Masson's trichrome
(MT), and Alcian blue (AB) pH 2.5 and periodic acid Schiff (PAS) for
observation of general structure, connective tissue, and distribution of neutral and
acidic carbohydrates at each accessories gland respectively. The data were
analyses descriptively and was performed as tables and pictures.

The reproductive organs of the pangolin consisted of a pair of testes,
epididymis and deferent duct which leads to the urethra in the penis. A pair of
ascrotal testes was located in subcutis of inguinal area. The shape and size of right
and left testes was relatively similar. The average size of the testes was 3.78±0.12
cm in length, 1.24±0.02 cm in width, 0.90±0.03 cm in thick and 5.64±0.04 g in
weight. Epididymis formed head, body and tail which running oblique
craniomedial at the body testis with average of length was 4.78±0.02 cm. The
deferent duct measured of average length was 8.98±0.31 cm. The average size of
length and diameter of penis was 5.39±1.63 cm and 0.64±0.03 cm respectively.
The finding of ascrotal testes in subcutis of inguinal was an interesting result of
the study which thought to be related to the behavior of pangolin to rolling up the
body.
The testes were composed of seminiferous tubules separated by interstitial
tissue. Seminiferous tubules composed of basal membrane, germinal cells
(spermatogonium, spermatocyte and spermatid) and Sertoli cells. Epididymis was
composed of ciliated simple columnar epithelium surrounded by loose connective
tissue. The deferent duct epithelium was composed of ciliated pseudostratified
columnar epithelium surrounded by loose connective tissue and smooth muscle
layers. The size of penis was small, short, have not bulbus glandis, and was
muscolocavernosus type.


The accessories gland of male reproduction organs of pangolin was
consists of vesicular gland and prostate that were observed macroscopically and
bulbourethral glands which were observed microscopically. The average of length
and thickness of vesicular gland, was 1.07 cm and 0.41 cm, and the length and
thickness of the prostate was 1.17 cm and 0.54 cm. The accessories gland were
lobulated with thick connective tissues inserted into each lobes and lobules. The
vesicular gland was serous type, the prostate was seromucous type with the
mucous was dominantly, whereas the bulbourethral gland was mucous type. The
secretion of vesicular gland was containing of neutral carbohydrate at weak
intensity and was not an acidic carbohydrates. The prostate secreted both neutral
and acidic carbohydrates with moderate and weak intensity respectively. While
the bulbourethral gland secreted both neutral and acidic carbohydrates with strong
intensity. It presumed that the vesicular gland and prostate were served to produce
the plasma cement, while the bulbourethral gland was served as the plasma
cement producer and as rinses the urethral duct.
Key words: pangolin (M. javanica), the male reproductive organs

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KARAKTERISTIK MORFOLOGI ORGAN REPRODUKSI
JANTAN TRENGGILING (Manis javanica)

YUSRIZAL AKMAL

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Anatomi dan Perkembangan Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr Drh Heru Setijanto, PAVet (K)

Judul Tesis : Karakteristik Morfologi Organ Reproduksi Jantan Trenggiling
(Manis javanica).
Nama
: Yusrizal Akmal
NIM
: B152120011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Drh Chairun Nisa’, MSi, PAVet
Ketua

Dr Drh Savitri Novelina, MSi, PAVet

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Anatomi dan Perkembangan Hewan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Drh Chairun Nisa’, MSi, PAVet

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 29 Agustus 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Subyek yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah
trenggiling, dengan judul Karakteristik Morfologi Organ Reproduksi Jantan
Trenggiling (Manis javanica).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Drh Chairun Nisa’, MSi,
PAVet dan Ibu Dr Drh Savitri Novelina, MSi, PAVet selaku pembimbing, yang
telah banyak membimbing, membantu, memberi saran, masukan dan koreksi
selama menyusun karya ilmiah ini, serta Bapak Dr Drh Heru Setijanto, PAVet (K)
yang telah memberi masukan dan koreksi selaku penguji. Tidak lupa pula penulis
mengucapkan terima kasih kepada Dr Drh Nurhidayat, MS, PAVet, Prof Dr Drh
Srihadi Agungpriyono, PAVet (K), Drh Supratikno, MSi, PAVet dan Drh Danang
Dwi Cahyadi yang telah memberi saran.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
atas pemberian beasiswa unggulan, kepada Sekolah Pascasarjana IPB atas
kesempatan menempuh pendidikan S2, serta kepada Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam atas sumbangan spesimen yang
diberikan sebagai tambahan bahan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya serta kepada berbagai pihak yang tidak dapat disebut satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014

Yusrizal Akmal

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Trenggiling
Organ Reproduksi Jantan
Testis
Scrotum
Epididimis
Ductus Deferens
Kelenjar asesoris
Penis
3 METODE
Bahan
Metode Penelitian
A. Pengamatan Makroanatomi
B. Pengamatan Mikroanatomi
Analisis Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Makroanatomi
Mikroanatomi
Pembahasan

1
2
3
3
3
4
5
5
6
6
6
8
9
9
9
9
9
10
11
11
11
15
23

5 SIMPULAN

26

DAFTAR PUSTAKA

27

LAMPIRAN

32

RIWAYAT HIDUP

36

DAFTAR TABEL
1 Morfometri organ reproduksi jantan trenggiling
2 Morfometri kelenjar asesoris organ reproduksi jantan trenggiling
3 Distribusi dan intensitas karbohidrat netral dan asam kelenjar asesoris
organ reproduksi jantan trenggiling

11
13
21

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Morfologi organ reproduksi jantan pada anjing
Morfologi kelenjar asesoris hewan jantan
Potongan melintang dari penis anjing.
Pengambilan sampel pada organ reproduksi jantan trenggiling
Diagram alir dan disain penelitian
Posisi testis trenggiling
Posisi in situ organ reproduksi jantan trenggiling
Gambaran makroanatomi kelenjar asesoris reproduksi jantan trenggiling
Gambaran mikroanatomi testis trenggiling jantan
Tipe sel epitel germinal tubuli seminiferi testis
Gambaran mikroanatomi ductus epididymis
Gambaran mikroanatomi ductus deferens dan ampulla
Gambaran mikroanatomi penis trenggiling
Gambaran mikroanatomi glandula vesicularis
Gambaran mikroanatomi prostata
Gambaran mikroanatomi glandula bulbourethralis
Sebaran karbohidrat kelenjar asesoris jantan trenggiling

4
7
8
10
10
12
12
14
15
16
17
18
19
19
20
21
22

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Prosedur pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)
Prosedur pewarnaan Masson Trichome (MT)
Prosedur pewarnaan periodic acid Schiff (PAS)
Prosedur pewarnaan alcian blue (AB) pH 2.5

32
33
34
35

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara megabioversitas yang kaya dengan
keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah Brasil. Dengan luas total
daratan sekitar 1,3% dari seluruh permukaan bumi, Indonesia memiliki 12% jenis
mamalia, 17% jenis aves dan 15% jenis amphibia (LIPI 2013). Namun sampai
saat ini informasi ilmiah mengenai keanekaragaman hayati tersebut masih relatif
sedikit dipublikasikan. Sementara itu eksploitasi keanekaragaman hayati terjadi
dengan intensitas yang semakin tinggi karena permintaan pasar yang tinggi.
Trenggiling (Manis javanica) merupakan hewan yang dilindungi oleh
pemerintah RI berdasarkan UU No. 5/1990 tentang konservasi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya serta PP No. 7/1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan
dan satwa. Menurut IUCN pada tahun 2008 (International Union for the
Conservation of Nature and Natural Resources), trenggiling masuk ke dalam
kategori endangered yaitu status konservasi yang diberikan kepada spesies dengan
risiko kepunahan di alam yang tinggi pada waktu akan datang, sehingga masuk
dalam daftar Red List. Namun menurut Konvensi Internasional Perdagangan
Tumbuhan dan Hewan Langka (CITES: Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora), trenggiling masuk kategori
appendix II yang artinya pada saat ini trenggiling tidak termasuk kedalam kategori
terancam punah, namun memiliki kemungkinan terancam punah jika
perdagangannya tidak diatur (Lim dan Peter 2007). Meskipun trenggiling
dilindungi, diduga populasinya semakin menurun akibat kehilangan habitat,
perburuan dan perdagangan liar (Challender et al. 2011).
Trenggiling merupakan salah satu hewan yang telah mendapat perhatian
khusus oleh CITES sejak tahun 1985. Hal ini dikarenakan semakin maraknya
perdagangan ilegal trenggiling, akibat meningkatnya permintaan pasar terutama
dari Cina. Sebagian masyarakat, khususnya masyarakat Cina, memiliki
kepercayaaan bahwa sisik trenggiling berkhasiat sebagai obat antiseptik,
antiinflamasi serta dapat menyembuhkan beberapa penyakit seperti scabies dan
rematik (Nowak 1997), sedangkan jantung, usus dan kepala trenggiling digunakan
untuk obat penyakit asma dan jantung (Akpona et al. 2008). Hal tersebut
menyebabkan perburuan liar terhadap satwa ini semakin meningkat, sehingga
diduga populasinya di alam menurun secara drastis. Indonesia telah
memberlakukan zero kuota untuk trenggiling sejak tahun 2000, namun sejak saat
itu pula perdagangan secara ilegal terus meningkat dari tahun ke tahun. Informasi
pada akhir April 2013 Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan menyita 8 ton daging trenggiling dari tiga
kasus penyelundupan trenggiling di Tanjung Priok yang akan dilakukan
pemusnahan di Hutan Konservasi CIFOR Bogor (Putra 2013). Hampir 4 ton sisik
dan lebih dari 1.200 (247 yang hidup dan 991 yang mati) trenggiling telah disita
dari perdagangan ilegal trenggiling selama enam bulan pertama tahun 2014,
setidaknya 17 kasus perdagangan ilegal trenggiling telah dilaporkan di enam
negara Asia: Indonesia, China (termasuk Hong Kong), India, Nepal, Pakistan, dan
Thailand (Cota-Larson 2014). Volume ekspor trenggiling secara ilegal dalam satu

2
bulan terakhir mencapai 10-20 ton dengan omzet ratusan milyar rupiah (Hamzah
2012). Dalam kurun waktu 10-20 tahun mendatang populasi trenggiling di
Indonesia dikhawatirkan akan habis dan akan menjadi sejarah jika tidak dilakukan
berbagai upaya pencegahan.
Trenggiling merupakan salah satu mamalia yang unik dan menarik.
Beberapa keunikan adalah morfologi tubuhnya ditutupi sisik-sisik yang keras
seperti reptil, tidak memiliki gigi (toothless), lidah dapat menjulur panjang dan
menggulung tubuh jika terancam (Breen 2012), serta memiliki pyloric teeth di
daerah pilorus (Nisa’ et al. 2010) menggantikan ketiadaan gigi. Selain itu
kemampuan penciuman trenggiling lebih baik dibandingkan dengan kemampuan
penglihatannya (Robinson 2005). Hal tersebut sangat berhubungan dengan
aktivitasnya yang lebih banyak terjadi pada malam hari (nokturnal), serta aktif
menemukan sarang semut dan rayap untuk mendapatkan makanan dengan
menggunakan kuku cakar yang kuat pada keempat kakinya (Payne dan Francis
1998). Makanan utama dari trenggiling adalah semut (Ordo Hymenoptera) dan
rayap (Ordo Isoptera) (Lekagul dan McNeely 1977). Semut merah tanah
(Myrmicaria sp) merupakan makanan yang lebih disukai trenggiling (Heryatin
1983).
Pemanfaatan satwa liar yang diambil dari alam, dikhawatirkan akan dapat
menyebabkan penurunan jumlah populasi, sehingga perlu adanya suatu upaya
penanganan yang mengarah pada kegiatan konservasi baik in situ maupun ex situ.
Salah satu upaya antisipasi yang dilakukan untuk mengatasi penurunan populasi
dan mempertahankan populasi trenggiling di alam yang mulai terancam punah
adalah dengan penangkaran, sebagai bentuk konservasi. Prinsip yang harus
diperhatikan dalam upaya penangkaran adalah memenuhi kebutuhan trenggiling
untuk hidup layak dengan mengkondisikan lingkungan seperti pada habitat alami,
sehingga trenggiling dapat bereproduksi dengan baik (Sawitri et al. 2012). Selain
itu informasi tentang status biologi reproduksi dari satwa liar termasuk trenggiling
sangat penting untuk pelaksanaan kegiatan konservasi ex situ. Salah satu aspek
yang mendukung dalam bidang reproduksi satwa liar adalah pengetahuan tentang
anatomi dan fisiologi dari organ reproduksi baik betina maupun jantan, yang dapat
digunakan untuk proses pembudidayaan, perkembangbiakkan, serta bahan
penentu kebijakan dalam pengelolaan kehidupan satwa di penangkaran (Tethool
2011).
Sejauh saat ini, informasi mengenai karakteristik morfologi organ
reproduksi jantan trenggiling (M. javanica) baik makroanatomi maupun
mikroanatomi masih sedikit dilaporkan. Oleh karena itu penelitian ini perlu
dilakukan agar informasi yang diperoleh dapat menunjang upaya penangkaran,
sehingga populasi trenggiling dapat dipertahankan dan lebih dikembangkan lagi.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik morfologi organ
reproduksi jantan trenggiling (M. javanica) secara makroanatomi, mikroanatomi
serta distribusi kandungan karbohidrat pada kelenjar asesorius.

3
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi baru dalam biologi
reproduksi khususnya tentang karakteristik morfologi organ reproduksi jantan
pada trenggiling (M. javanica). Selain itu informasi tersebut dapat menjadi data
dasar dan informasi yang penting dalam upaya perkembangbiakkan dan preservasi
sumber genetik trenggiling (M. javanica), serta acuan bagi mahasiswa,
masyarakat, pemerhati satwa, pemerintah daerah dan semua pihak yang
berkeinginan untuk melaksanakan budidaya trenggiling.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Trenggiling (Manis javanica. Desmarest, 1822)
Menurut Lekagul dan McNeely 1977; Voughan 1978; Corbet dan Hill 1992;
Rahm 1990; Nowak 1997) trenggiling jawa memiliki klasifikasi sebagai berikut:
Ordo
: Pholidota
Famili
: Manidae
Genus
: Manis
Spesies
: Manis javanica.
Nama trenggiling berasal dari bahasa melayu yakni "penggulling" atau
"gulling" yang berarti suatu aktivitas menggulungkan atau melingkarkan tubuhnya
(Lekagul dan McNeely 1977; Rahm 1990). Trenggiling (M. javanica) merupakan
spesies mamalia yang unik dan menarik, karena sisik yang menutupi bagian dorsal
tubuhnya membuat trenggiling lebih mirip seperti reptil dari pada mamalia (Stone
1990; Nowak 1997). Trenggiling (M. javanica) tidak memiliki gigi seperti unggas,
sehingga makanan tidak mengalami proses pencernaan di dalam mulut, melainkan
langsung digiling di dalam lambungnya dengan bantuan batu kerikil yang tertelan
serta adanya lapisan otot yang tebal di daerah pilorus dan tonjolan-tonjolan itu
yang disebut pyloric teeth (Nisa’ 2005).
Sebelumnya trenggiling ini diklasifikasikan ke dalam ordo Edentata yang
didasarkan dari gabungan morfologi dan ketiadaan gigi. Namun, persamaan
antara trenggiling dan Edentata adalah hasil dari kesamaan adaptasi dari kebiasaan
makan dan tidak menunjukan adanya hubungan kekerabatan (Lekagul dan
McNeely 1977; Rahm 1990; Stone 1990; Stevens dan Hume 1995; Nowak 1997).
Sejauh ini diketahui terdapat delapan spesies trenggiling yaitu empat spesies
hidup di hutan-hutan tropis Asia (Manis crassicaudata, M. Pentadactyla,
M. Javanica dan M. culionensis) dan empat spesies hidup di hutan-hutan tropis
Afrika (M. tricupis, M. tetradactyla, M. gigantea dan M. temmincki) (Rahm 1990).
Trenggiling di Indonesia tersebar di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan
beberapa pulau kecil seperti kepulauan Riau, Pulau Lingga, Bangka, Belitung,
Nias, Pagai, Pulau Natuna, Karimata, Bali dan Lombok (Corbet dan Hill 1992).
Trenggiling Jawa (M. javanica) mempunyai panjang tubuh 50-60 cm, panjang
ekor 50-80 cm, dengan warna sisik kuning sawo sampai cokelat kehitam-hitaman
dan kulit berwarna agak putih (Amir 1978). Pada umumnya trenggiling

4
merupakan hewan nokturnal dan terestrial, kecuali M. tetradactyla yaitu diurnal
dan arboreal. Pada siang hari trenggiling lebih banyak menghabiskan waktunya
untuk tidur di dalam lubang-lubang atau dibawah dedaunan atau di celah-celah
pohon (Rahm 1990).
Organ Reproduksi Jantan

Anatomi organ reproduksi jantan bervariasi pada berbagai spesies hewan.
Variasi tersebut berhubungan erat dengan fungsi reproduksinya serta penyesuaian
terhadap anatomi organ reproduksi betina. Secara umum, organ reproduksi jantan
terdiri dari gonad (testis yang memproduksi spermatozoa dan hormon testosteron),
saluran kelamin (ductus efferent), ductus epididymidis (caput, corpus dan cauda),
ductus deferens dan organ kopulatoris yaitu penis (Toelihere 1981; Cunningham
2002) serta kelenjar asesoris (ampulla, glandula vesicularis, prostata dan
glandula bulbourethralis) (Gambar 1). Testis terbungkus di dalam kantung
scrotum dan memiliki saluran-saluran yaitu ductus epididymidis dan ductus
deferens. Scrotum memberikan lingkungan yang lebih cocok yaitu temperatur
yang lebih rendah untuk menjaga spermatozoa agar tetap fertil sehingga mampu
mencapai organ reproduksi betina dan membuahi ovum. Alat penyalur
spermatozoa dimulai dari tubuli recti, rete testis (terdapat dalam testis), ductus
efferent, ductus epididymidis (terdapat dalam epididimis), ductus deferens dan
urethra. Ductus epididymidis terdiri dari tiga bagian yaitu caput epididymidis,
corpus epididymidis dan cauda epididymidis (Colville dan Bassert 2002).

4
3
7
8

6

5
9
10
2
11
13
1

12

Gambar 1 Morfologi organ reproduksi jantan pada anjing. Testis (1), ductus
epididymis (2), ductus deferens (3), prostata (4), uretrha (5), vesica
urinaria (6), ureter (7), m. retractor penis (8), corpus spongiosum
penis (9), corpus cavernosum penis (10), bulbus glandis (11),
preputium (12), os penis (13), rectum (14). (Sumber: Evans dan De
Lahunta 2013).

5
Testis
Testis merupakan organ kelamin primer pada sistem reproduksi hewan
jantan. Pada mamalia umumnya testis berada di luar tubuh dan di bungkus oleh
scrotum. Testis berjumlah sepasang, umumnya berbentuk oval dengan ukuran
yang bervariasi bergantung spesies (Colville dan Bassert 2002). Kambing dan
domba memiliki testes berbentuk lonjong, berukuran panjang 0.75-1.15 cm,
diameter 0.35-0.68 cm dan bobot 250-300 g (Hafez 1987). Ukuran testis dexter
dan sinister rusa timor pada tahap ranggah keras adalah: panjang ±9.178 cm dan
±9.094 cm, diameter ±4.343 cm dan ±4.238 cm dan bobot ±187.85 g (Handarini
2006). Ruminansia lainnya yaitu kancil memiliki ukuran testis dengan panjang
±1.233 cm, diameter ±0.820 cm dan bobot ±0.81 g (Najamudin 2010). Pada sapi,
perkembangan testes secara pesat terjadi pada umur sembilan bulan dan terdapat
korelasi positif antara berat testis dengan jumlah spermatozoa yang diproduksi
(Toelihere 1981).
Testis dibungkus oleh tunica albuginea dan tunica vaginalis. Tunica
albuginea merupakan jaringan ikat berwarna putih, mengandung serabut fibrosa
dan serabut-serabut otot licin yang langsung membungkus testis (Noakes et al.
2001). Di bagian tengah testis, jaringan ikat ini berhubungan dengan mediastinum
testis. Tunica vaginalis merupakan jaringan ikat yang membungkus testis di
superfisial tunica albuginea.
Fungsi dari testis terbagi menjadi dua, yaitu sebagai kelenjar endokrin yang
menghasilkan hormon reproduksi jantan (androgen) yaitu testosteron dan sebagai
kelenjar eksokrin yang menghasilkan spermatozoa dalam proses spermatogenesis
(Hafez 1987). Spermatozoa akan membuahi oosit pada hewan betina sewaktu
terjadi kopulasi dan fertilisasi. Testis disusun oleh jaringan parenkim yaitu tubuli
seminiferi dan dipisahkan oleh jaringan intersisial membentuk lobuli testis. Tubuli
seminiferi merupakan saluran-saluran kecil tempat berlangsungnya proses
spermatogenesis, dan didalamnya terdapat spermatogonia (germ cells) dan sel
sertoli (nurse cells). Jaringan intersisial yang memisahkan tubulus seminiferus
terdiri atas sel-sel interstisial, sel Leydig, pembuluh darah dan sel-sel makrofag
(Colville dan Bassert 2002, Frandson et al. 2009). Sel Leydig dapat ditemukan
sebagai sel-sel tunggal atau berkelompok, dan berfungsi untuk menghasilkan
hormon testosteron (Aughey dan Frye 2001). Pada bagian mediastinum testis,
tubuli bergabung membentuk rete testis dan selanjutnya berhubungan dengan
bagian caput epididymidis melalui ductus efferent. Testis digantung oleh funiculus
spermaticus yang mengandung unsur-unsur seperti vena, saraf dan arteri dari
cavum abdominalis ke dalam scrotum melalui canalis inguinalis (Toelihere 1993).
Scrotum
Scrotum adalah kulit berkantung yang ukuran, bentuk dan lokasinya
menyesuaikan dengan testis yang berada di dalamnya. Kulit scrotum tipis, lembut
dan relatif kurang berambut. Di profundal dari kulit scrotum terdapat tunica
dartos yang berkontraksi pada cuaca dingin dan membantu mempertahankan
posisi terhadap dinding abdominal. Tunica dartos melintas bidang median antara
dua testes dan membantu membentuk septum scrotalis, yang membagi testes
menjadi dua bagian, yaitu testis dexter dan sinister (Frandson et al. 2009).
Scrotum pada domba lebih pendek dan tidak mempunyai leher dibandingkan
dengan sapi (Hafez 1987). Scrotum berfungsi sebagai pengatur suhu
(thermoregulator) untuk testis dan epididymis (Evans dan De Lahunta 2013).

6
Epididymis
Epididymis merupakan kumpulan dari ductus epididymis yang dilapisi oleh
jaringan ikat membentuk struktur memanjang yang bertaut rapat dengan testis
(Biscoe dan Renfree 1987). Epididymis menghubungkan ductus efferent pada
testis dengan ductus deferens (vas deferens) (Frandson et al. 2009). Epididymis
mempunyai peranan sebagai jalan spermatozoa dari tubuli seminiferi,
penyimpanan sementara spermatozoa, tempat pematangan spermatozoa dan
proses pengentalan (konsentrasi) spermatozoa. Pada ujung proksimal testis, caput
epididymidis menjadi pipih dan bersambung ke corpus epididymidis. Pada ujung
distal testis, corpus membentuk cauda epididymidis (Salisbury dan VanDemark
1961). Cauda epididymis merupakan tempat penyimpanan spermatozoa dan
mengandung sekitar 75% total spermatozoa epididymis (Hafez 1987). Secara
umum di dalam epididymis ini spermatozoa akan mendapatkan energi dan
mengalami perubahan baik morfologi maupun fisiokimia, sehingga sel
spermatozoa ini mampu bergerak secara aktif (Anwar 1985).
Ductus Deferens
Ductus deferens menghubungkan cauda epididymidis dengan urethra di
bagian pelvis. Ductus deferens meninggalkan cauda epididymidis kemudian
berjalan melalui canalis inguinalis. Selanjutnya sepasang ductus deferens bersatu
dan bermuara ke urethra. Pada masing-masing pangkal ductus deferens yang
bermuara ke urethra terdapat pembesaran, disebut ampulla dan terletak di atas
vesica urinaria (Prastowo, 2008). Ampulla dapat mengandung kelenjar yang
merupakan komponen pembentuk semen (Colville dan Bassert 2002). Lapisan
tebal dari otot halus pada dindingnya menyebabkan ductus deferens menjadi
sangat kompak (Colville dan Bassert 2002), untuk menunjang fungsinya
mengangkut spermatozoa dari epididymis menuju ke urethra pada saat ejakulasi.
Kelenjar asesoris
Kelenjar asesoris organ reproduksi jantan terdiri dari ampulla, glandula
vesicularis, prostata dan glandula bulbourethralis (Gambar 2). Namun, tidak
semua hewan jantan memiliki semua tipe kelenjar asesoris tersebut. Pada
beberapa spesies hewan, kelenjar asesoris ini tidak sama perkembangannya
(Colville dan Bassert 2002). Kelenjar asesoris pada hewan jantan menghasilkan
plasma semen sebagai media transport sperma, menyediakan nutrisi yang baik
bagi sperma dan berperan sebagai buffer saat berada di saluran reproduksi betina
yang bersifat asam (Frandson et al. 2009).
Ampulla merupakan pembesaran di pangkal ductus deferens, yang
berkembang baik pada kuda, sapi, domba, sedikit berkembang pada anjing, namun
tidak ada pada babi. Panjang ampulla pada domba yaitu ±7.0 cm (Toelihere
1981), rusa timor ±7.253 cm (Nalley 2006) dan kancil ±1.733 cm (Najamudin
2010). Ampulla mengandung kelenjar yang bermuara ke dalam ductus deferens
dan turut menghasilkan plasma semen (Frandson et al. 2009). Hasil sekresi
ampulla mengandung fruktosa dan asam sitrat, meskipun substansi ini lebih
banyak dihasilkan oleh glandula vesicularis (Hafez, 1987).

7

Gambar 2 Morfologi kelenjar asesoris hewan jantan. (A) Kuda ,(B) Sapi,
(C) Babi, (D) Anjing. (1) Ampulla, (2) glandula vesicularis,
(3) prostata, (4) glandula bulbourethralis, (5) penis, (6) vesica
urinaria. (Sumber: Modifikasi Dari Colville dan Bassert 2002).
Glandula vesicularis terletak di sisi lateral dari pangkal ampulla. Saluran
dari glandula vesicularis memasuki urethra pada daerah yang sama dengan
ductus deferens. Glandula vesicularis terdapat pada hewan domestik kecuali
anjing dan kucing (Colville dan Bassert 2002). Ukuran glandula vesicularis
domba adalah panjang 0.4 cm, lebar 0.2 cm, tinggi 0.15 cm dan bobot 5 g
(Toelihere 1981). Glandula vesicularis pada kancil berukuran panjang ±1.800 cm,
tebal ±0.573 cm dan bobot ±0.029 g (Najamudin 2010). Adapun glandula
vesicularis pada rusa timor berukuran panjang ±4.536 cm (Nalley 2006) Hasil
sekresi kelenjar ini mengandung heksosa, fruktosa dan asam sitrat dengan
konsentrasi tinggi yang selanjutnya akan disekresikan ke coliculus seminalis
(Hafez 1987).
Prostata merupakan kelenjar yang tidak berpasangan dan mengelilingi
urethra di daerah pelvis. Prostata dapat ditemukan sebagai corpus prostat dan
pars diseminata. Corpus prostat merupakan badan kompak yang berada pada
bagian dorsal urethra, sedangkan pars diseminata tersebar di dalam dinding
urethra. Pada anjing dan kucing, corpus prostat berukuran besar, berbentuk
globular dan mengelilingi keseluruhan dinding urethra (anjing) atau sebagian
besar dinding urethra (kucing). Kuda hanya memiliki corpus prostat yang
berukuran besar dan terdiri atas dua lobus lateral yang dihubungkan oleh istmus.
Sapi dan rusa timur memiliki corpus prostaat dan pars diseminata, sedangkan
pada kambing dan domba, hanya memiliki pars diseminata (Getty 1975; King
1993; Nalley 2006). Prostat pada kancil memiliki panjang ±1.733 cm, tebal
±0.653 cm dan bobot ±0.43 g (Najamudin 2010), sedangkan pada rusa timor
memiliki corpus prostat dengan panjang ±2.061 cm (Nalley 2006).
Glandula bulbourethralis yang dikenal dengan kelenjar Cowper, adalah
sepasang kelenjar yang terletak di dorsal urethra di cranial dari arcus ischiadicus
dan di caudal dari kelenjar asesoris lainnya. Glandula bulbourethralis ditemukan
pada semua jenis hewan, kecuali anjing, berukuran sedang pada kuda dan
ruminansia, serta berukuran besar pada babi (Dyce et al. 2002). Kelenjar ini di
lapisi oleh kapsula tebal yang turut membentuk septum kelenjar dan banyak
mengandung otot polos untuk membantu mengeluarkan sekretanya. Glandula
bulbourethralis pada domba berukuran panjang ±0.15 cm, lebar ±0.1 cm, tinggi
±0.1 cm dan bobot ±3 g (Toelihere 1981), sedangkan pada kancil memiliki
panjang ± 0.826 cm, tebal ±0.547 cm dan bobot ±0.86 g (Najamudin 2010).

8

Gambar 3 Potongan melintang dari penis anjing. M. cavernosus (1), corpus
cavernosum (2), corpus spongiosum (3), uretrha (4), m. retractor
penis (5), preputium (6), os. penis (7), glans penis (8), bulbus
glandis (9). (Sumber: Kardong 2009).
Penis
Penis merupakan alat kopulasi hewan jantan berfungsi sebagai organ yang
menyalurkan plasma semen ke dalam saluran reproduksi betina dan sebagai
tempat pengeluaran urin (Senger 2005; Hafez 1987). Penis dibungkus oleh kulit
yang disebut preputium. Penis dapat dibagi atas radix penis, corpus penis dan
glans penis (Gambar 3). Corpus penis terdiri dari corpus cavernosum dan corpus
cavernosum urethrae (corpus spongiosum). Ujung penis disebut glans penis
(Colville dan Bassert 2002).
Terdapat dua tipe penis yaitu tipe fibroelastic dan musculocavernosus. Penis
bertipe fibroelastic dimiliki oleh hewan ruminansia dan babi dengan fleksura
sigmoidea di bagian corpus penis. Pada saat ereksi fleksura sigmoidea akan
meregang akibat relaksasi musculus retractor penis, sehingga penis keluar dari
preputium dan sedikit membesar (Pineda 2003). Walaupun mengalami
pembesaran, panjang dan diameternya hampir sama dengan kodisi relaksasi,
karena jumlah jaringan erektil relatif sedikit dibandingkan dengan jumlah jaringan
pengikat (Frandson et al. 1992). Tipe muscolocavernosus terdapat pada kuda,
manusia dan carnivora. Pada tipe ini tidak memiliki fleksura sigmoidea tapi
memiliki corpus cavernosum yang lebih subur dibandingkan dengan tipe penis
fibroelastic (Fahrudin et al. 2008). Pada saat ereksi terjadi penambahan diameter
maupun panjang penis akibat sirkulasi darah arteri meningkat dan sirkulasi darah
vena menurun (Wespes dan Schulman 1993), serta jaringan erektil (jaringan
kavernosus) yang jumlahnya relatif lebih banyak dibandingkan dengan jumlah
tunica albugenia dan jaringan pengikat lainnya (Frandson et al. 1992).
Penis domba berukuran panjang 35 cm dengan glans penis 5-7.5 cm,
berdiameter relatif kecil 1.5-2 cm, dan mempunyai penjuluran sepanjang 4-5 cm
yang merupakan bagian terminal urethra dan disebut processus urethralis
(Toelihere 1981). Penis rusa timor memiliki panjang ±43.75 cm dengan glans
penis ±3.5cm (Nalley 2006). Penis kancil memiliki panjang ±14.233 cm dengan
glans penis ±4.433 cm dan diameter 0.40 cm (Najamudin 2010).

9

3 METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Riset Anatomi, Bagian Anatomi,
Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi.
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian pada
bulan Agustus 2013 sampai dengan Mei 2014.
Bahan
Penelitian ini menggunakan organ reproduksi jantan dari lima ekor
trenggiling (M. javanica). Empat ekor trenggiling jantan berasal dari hasil sitaan
yang dihibahkan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam (Dirjen PHKA) pada tahun 2013 dan sudah diawetkan dalam formalin 10%,
sedangkan satu sampel organ reproduksi jantan berasal dari penelitian Nisa’ pada
tahun 2005 yang telah difiksasi dalam larutan Bouin selama 48 jam dan
dipindahkan ke dalam alkohol 70%.
Metode Penelitian
A. Pengamatan makroanatomi
Pengamatan secara makroanatomi dilakukan terhadap posisi in situ, bentuk
dan ukuran organ reproduksi jantan trenggiling (M. javanica) yang meliputi testes,
saluran reproduksi dan penis. Pengukuran bobot tubuh dilakukan dengan
menggunakan timbangan besar merek Berkel kekuatan 25 kg dan testes
menggunakan timbangan analitik merek Ohause berkapasitas 200 g. Pengukuran
panjang, diameter/lebar dan tebal dilakukan dengan menggunakan kaliper dalam
satuan cm. Semua hasil pengamatan didokumentasikan menggunakan kamera
digital Canon EOS 400D.

B. Pengamatan mikroanatomi
Untuk pengamatan mikroanatomi, sampel jaringan diambil dari masingmasing bagian organ reproduksi jantan, yaitu secara melintang dari bagian
cranial, medial dan caudal serta secara memanjang (Gambar 4).
Sampel jaringan dipotong dengan ukuran 0.5 sampai 1 cm2 dan diproses
secara standar histologi sampai menjadi blok parafin. Selanjutnya dilakukan
sayatan dengan alat mikrotom putar dengan ketebalan antara 3 sampai 5 µm.
Sayatan jaringan disimpan dalam inkubator selama 24 jam dan selanjutnya
dilakukan proses pewarnaan hematoksilin eosin (HE) untuk pengamatan struktur
umum jaringan serta Masson’s trichrome (MT) untuk pengamatan jaringan ikat
Sedangkan pengamatan khusus untuk melihat komposisi karbohidrat netral dan
asam digunakan teknik pewarnaan AB pH 2.5 dan PAS (Kiernan 1990). Hasil
pengamatan mikroanatomi didokumentasikan menggunakan mikroskop cahaya
(Nikon® Eclipse E600) yang dilengkapi alat mikrofotografi digital (Canon® EOS
700D).

10

Gambar 4 Pengambilan sampel pada organ reproduksi jantan trenggiling.
Testis kiri (A): bagian cranial (a), tengah (b), caudal (c) dan
testis kanan (B): bagian memanjang (d). Ductus deferens
(C): bagian cranial (e), tengah (f) dan caudal (g). Vesica
urinaria (D). Kelenjar asesoris (E): bagian (h dan i). Penis (F):
bagian radix (j), corpus (k) dan glans penis (l).

Analisis Data
Semua hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam
bentuk tabel dan gambar.

Gambar 5 Diagram alir dan disain penelitian

11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Makroanatomi
Organ reproduksi jantan trenggiling terdiri atas sepasang testes, epididymis
(membentuk caput, corpus dan cauda), ductus deferens dan urethra yang terdapat
di dalam penis. Morfometri organ reproduksi jantan trenggiling setelah difiksasi
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Morfometri organ reproduksi jantan trenggiling.
Organ Reproduksi*
Testis
Dexter
Sinister
Rataan
Epididymis
Dexter
Sinister
Rataan
Ductus deferens
Dexter
Sinister
Rataan
Penis
Corpus penis
Glans penis

Panjang
(cm)

Parameter Pengukuran
Diameter/
Tebal
(cm)
lebar (cm)

Bobot
(g)

3.69±0.74
3.86±0.76
3.78±0.12

1.25±0.09
1.23±0.13
1.24±0.02

0.88±0.21
0.92±0.15
0.90±0.03

5.61±1.90
5.66±1.92
5.64±0.04

4.79±2.33
4.76±2.09
4.78±0.02

0.36±0.06
0.39±0.05
0.38±0.02

-

-

8.75±7.67
9.19±7.97
8.98±0.31
5.39±1.63
3.89±0.92
0.97±0.10

-

-

-

0.64±0.03
0.61±0.11
0.48±0.21

-

-

*Sampel organ reproduksi yang telah difiksasi dan tanda (-) tidak dilakukan pengukuran

Sepasang testis trenggiling berbentuk oval yang terletak di subcutanea
daerah inguinales di profundal m. cutaneus yang tebal dan tidak dibungkus oleh
scrotum (testes ascrotalis) (Gambar 6A). Testis berukuran rata-rata panjang
3.78±0.12 cm, lebar 1.24±0.02 cm, tebal 0.90±0.03 cm, dan bobot 5.64±0.04 g
(Tabel 1). Testis dibungkus oleh tunica vaginalis yang terdiri atas dua lapis yang
saling melekat, yaitu: lamina perietalis di superfisial dan lamina visceralis di
profundal membungkus saluran-saluran seperti epididymis dan ductus deferens.
Pada lapis profundal, testis dibungkus oleh tunica albuginea yang langsung
berhubungan dengan jaringan parenkim testis (Gambar 6B, 9C). Karena tidak
mempunyai scrotum, testis trenggiling tidak dibungkus oleh tunica dartos yang
umumnya melekat pada kulit scrotum. Ditemukannya testes ascrotalis merupakan
hasil yang menarik dari penelitian ini.

12

1
9
10

5

5
3

4’

2
4

4

1

6
8

1
7

Gambar 6 Posisi testis trenggiling yang terletak di subcutanea daerah
inguinales (A), dibungkus oleh kapsula jaringan ikat (B), testis
tampak ventral (C) dan testis tampak dorsal (D). Testis (1), tunica
vaginalis (2), tunica albugenia (3), funiculus spermaticus (4),
pembuluh darah (4’), caput epididymidis (5), corpus epididymidis
(6), cauda epididymidis (7), ductus deferens (8), otot paha medial
(9), dan m. cutaneus (10). Bar: A=1 cm; B-D=0.5 cm.

6

6
5

12
6
6
7

7

1

1
2
1

2
9

2

1
8

10

3

3

2

4
11

11

Gambar 7 Posisi in situ organ reproduksi jantan trenggiling setelah dikeluarkan
dari tubuh, (A) tampak ventral dan (B) tampak dorsal. Sepasang
testis (1) berbentuk oval dihubungkan oleh ductus deferens (2) yang
ujungnya terdapat glandula vesicularis (3), serta prostata pada
pangkal urethra (4). Sepasang ureter (5) dari ginjal (6) juga
bermuara ke urethra di pangkal vesica urinaria (7). Penis (8) yang
berukuran kecil dan diselubungi oleh preputium (9) terdapat di
daerah perineum tepat di ventral anus (10), dengan sepasang
glandulae anales (11) terdapat di dexter dan sinister. Usus besar
(12) terdapat di dorsal vesica urinaria. Bar: A dan B=1 cm.

13
Saluran kelamin jantan terdiri atas ductus epididymidis, ductus deferens,
dan urethra. Ductus epididymidis merupakan suatu saluran panjang berkelokkelok dan membentuk struktur memanjang yang bertaut rapat dengan testis
disebut dengan epididymis. Epididymis membentuk caput, corpus dan cauda.
Caput epididymidis berbentuk pipih, cembung dan terletak di craniomedial testis,
bersambung ke corpus epididymidis dan cauda epididymidis di ujung distal testis.
Sebagian ductus deferens bertaut rapat dengan bagian dorsal testis (Gambar 6D,
7B). Panjang rata-rata epididymis dan ductus deferens berturut-turut adalah
4.78±0.02 cm dan 8.98±0.31 cm (Tabel 1).
Penis trenggiling terletak di daerah perineum tepat di ventral anus dan
mengarah ke cranialventrad. Penis dibungkus oleh lipatan kulit yang disebut
preputium. Penis terdiri atas bagian radix, corpus, dan glans penis. Radix penis
mempunyai dua akar (crura) yang bertaut ke os pubis dan bagian dorsal bertaut
pada glandulae anales yang terdapat di sekitar anus (Gambar 7B). Corpus penis
diselubungi oleh preputium dan dilanjutkan dengan bagian bebas yang disebut
glans penis (Gambar 7A). Bagian ujung dari glans penis pada trenggiling
menyempit dan tidak memiliki bulbus glandis. Panjang keseluruan penis adalah
5.39±1.63 cm dengan panjang glans penis 0.97±0.10 cm. Adapun diameter bagian
corpus dan glans penis berturut-turut adalah 0.61±0.11 cm dan 0.48±0.21cm
(Tabel 1).
Kelenjar asesoris pada trenggiling terdiri atas glandula vesicularis, prostata
dan glandula bulbourethralis. Morfometri kelenjar asesoris organ reproduksi
jantan trenggiling setelah difiksasi disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Morfometri kelenjar asesoris organ reproduksi jantan trenggiling
Kelenjar asesoris organ reproduksi jantan trenggiling
Morfometri
Panjang (cm)
Tebal (cm)

Glandula vesikularis

Prostata

Bulbourethralis*

1.07

1.17

-

0.41

0.54

-

*Glandula bulbourethralis (tidak tampak secara makroskopis)

Glandula vesicularis terdapat sepasang terletak pada pangkal ampulla
dexter dan sinister yang akan bermuara ke urethra berupa pembesaran berbentuk
kerucut dengan sisi yang lebar di bagian caudal dan menonjol ke arah ventrad
(Gambar 8). Rataan panjang dan ketebalan glandula vesicularis trenggiling adalah
1.07 cm dan 0.41 cm (Tabel 2). Pada trenggiling tidak terdapat pembesaran pada
ductus deferens yang disebut ampulla seperti pada sebagian besar hewan, ductus
deferens akan membesar sebelum bergabung dengan urethra. Prostata terdapat
pada pertemuan kedua struktur kerucut tersebut, teramati pembesaran pada
pangkal urethra yang juga menonjol ke arah ventrad (Gambar 8). Panjang dan
ketebalan prostata trenggiling adalah 1.17 cm dan 0.54 cm (Tabel 2). Secara
makroanatomi glandula bulbourethralis tidak terlihat karena di tutupi oleh otototot di radix penis dan glandula tersebut menempel pada glandula anales.

14

1

5

1

4
2
3

2

2

5
3
6

4

4

5
1

2

2
3

4

4

6

Gambar 8 Gambaran makroanatomi kelenjar asesoris reproduksi jantan
trenggiling. Tampak lateral (A), tampak dorsal (B) dan tampak
ventral (C). ductus deferens (1), glandula vesicularis (2), prostata
(3), glandulae anales (4), vesica urinaria (5), Penis (6).
Bar: A-C=0.5 cm

15
Mikroanatomi
Testis disusun oleh tubuli seminiferi yang dipisahkan oleh jaringan
interstisial. Membran basal tubuli, sel-sel epitel germinal (spermatogonia,
spermatosit dan spermatid) dan sel Sertoli membentuk dinding tubuli seminiferi
(Gambar 9). Pada jaringan interstisial (intertubuli seminiferi) terdapat sel-sel
Leydig dan pembuluh darah. Pada bagian mediastinum testis, tubuli seminiferi
bergabung membentuk rete testis kemudian melalui ductus efferent menuju
epididymis melalui ujung proksimal dari testis yang langsung berhubungan
dengan bagian caput epididymidis.

2

1

8

1

7

2

5

4

3

6

9
1

2

3

Gambar 9 Gambaran mikroanatomi testis trenggiling. Potongan melintang
testis (A), B (Inset A) dan pembungkus testis (C). Tubuli seminiferi
(1), jaringan interstisial (2), sel Leydig (3), membran basal (4), sel
Sertoli (5), spermatogonia (6), spermatosit (7), spermatid (8) dan
tunica albuginea (9). Pewarnaan HE: A dan B dan MT: C. Bar: A,
C=100 μm; B=50 μm.

16
Pada penelitian ini dapat diamati adanya proses spermatogenesis pada tubuli
seminiferi trenggiling yang menunjukkan perkembangan sepermatogonia menjadi
spermatid sampai spermatozoa. Spermatogonia akan berkembang menjadi
spermatogonia A dan selanjutnya menjadi spermatogonia B. Spermatogonia A
memiliki inti berwarna pucat dengan sebagian besar sitoplasma tertutup inti dan
terletak di membran basal. Spermatogonia B memiliki inti berwarna gelap dan
terletak di membran basal dalam jumlah lebih banyak dibandingkan
spermatogonia A. Setelah mengalami mitosis, spermatogonia B berkembang
menjadi spermatosit primer yang dapat dibedakan berdasarkan kandungan
kromatinnya menjadi: preleptotene, leptotene, zygotene, pachytene dan diplotene.
Preleptotene merupakan hasil pembelahan spermatogonia B tahap awal. Leptotene
memiliki inti sel kecil dengan struktur kromatin membentuk untaian tipis yang
mulai menyebar. Zygotene memiliki inti sel dengan kromatin mengumpul
berbentuk setengah lingkaran (bulan sabit). Pachytene memiliki inti sel berukuran
besar dengan sebaran kromatin merata. Diplotene merupakan tahap akhir dari
spermatosid primer di tandai dengan sel yang membesar, memiliki inti besar dan
sitoplasma yang banyak. Spermatosit primer mengalami pembelahan meiosis
menjadi spermatosit sekunder. Tahap ini sangat pendek, sehingga jarang
ditemukan dan berdiferensiasi dengan cepat menjadi spermatid. Spermatid terdiri
dari bentuk bulat (round) dan lonjong (elongated). Spermatid elongated sudah
mengalami fase maturasi dan terletak di ujung adluminal dinding tubuli seminiferi.
Perkembangan selanjutnya spermatid elongated menjadi spermatozoa dan
dilepaskan ke lumen tubuli seminiferi testis (spermiasis), sehingga banyak
ditemukan di lumen tubuli (Gambar 10).

8
8

8

6

2

3
4
1
2
11

3

1

10
7
6
9

9
5

5
6
9

2

Gambar 10 Tipe sel epitel germinal tubuli seminiferi testis (A-D).
Spermatogonia A (1), dan spermatogonia B (2); spermatosit primer:
preleptotene (3), leptotene (4), zygotene (5), pachytene (6), dan
diplotene (7); spermatid: round (8), elongated (9), spermatozoa
(10), sel Sertoli (11). Perwarnaan HE. Bar: A-D=20 μm.

17
1
1

2

4

3
2

2

1

3
3

1
1
2
1
3

3

4

2

2

3

3

1
2

3

4

1

2

4

Gambar 11 Gambaran mikroanatomi ductus epididymis. Bagian caput (A, D),
corpus (B, E), cauda (C, F), inset C (G) dan inset F (H).
Epitel silindris sebaris (1), silia (2), lapisan jaringan ikat (3),
spermatozoa (4). Pewarnaan HE: A, B, C, G dan MT: D, E, F. H.
Bar: A, B, D, E, F =10 μm; G dan H=50 μm.
Epididymis tersusun atas epitel silindris sebaris bersilia yang dikelilingi
oleh jaringan ikat dan lumennya berisi spermatozoa (Gambar 11). Cauda
epididymidis mempunyai diameter lumen terluas diantara caput dan corpus
epididymidis. Ductus d