Efisiensi dan economies of scale sektor usaha syariah pada bank pembangunan daerah di Indonesia
EFISIENSI DAN
DAN ECONOMIES
ECONOMIES OF
OF SCALE
SCALE SEKTOR
SEKTOR USAHA
USAHA
EFISIENSI
SYARIAH
SYARIAHPADA
PADABANK
BANKPEMBANGUNAN
PEMBANGUNANDAERAH
DAERAHDI
DIINDONESIA
INDONESIA
QIYAMUDDIN ROBBANI
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI SYARIAH
DEPARTEMEN ILMU
ILMU EKONOMI
EKONOMI
DEPARTEMEN
FAKULTAS EKONOMI
EKONOMI DAN
DAN MANAJEMEN
MANAJEMEN
FAKULTAS
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efisiensi dan Economies
of Scale Sektor Usaha Syariah pada Bank Pembangunan Daerah di Indonesia adalah
benar karya saya dengan arahan Bapak Prof. Dr. Muhammad Firdaus, SP, M.Si dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Qiyamuddin Robbani
NIM H54100002
ABSTRAK
QIYAMUDDIN ROBBANI. Efisiensi dan Economies of Scale Sektor Usaha
Syariah pada Bank Pembangunan Daerah di Indonesia. Dibimbing oleh
MUHAMMAD FIRDAUS.
Bank Pembangunan Daerah (BPD) memiliki peranan penting dalam
percepatan pembangunan daerah dengan mengerahkan modal dan potensi
daerahnya masing-masing. Dari 26 BPD yang telah didirikan, 16 diantaranya telah
memiliki usaha syariah, baik berupa Unit Usaha Syariah (UUS) maupun Bank
Umum Syariah (BUS). Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia no. 11/10/PBI/2009,
UUS harus menjadi BUS pada tahun 2023 dengan persyaratan modal inti minimum
Rp500 miliar. Tahun 2014, Otoritas Jasa Keuangan memberikan kemudahan bagi
UUS yang akan berubah menjadi BUS dengan modal inti minimum hanya Rp100
miliar. Kemudahan ini perlu diimbangi dengan kinerja yang baik. Kinerja 14 usaha
syariah dan 26 usaha konvensional BPD diukur untuk mengetahui tingkat efisiensi
masing-masing menggunakan metode Distribution Free Approach selama periode
tahun 2008-2013. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa usaha konvensional BPD
lebih efisien dibandingkan usaha syariah. Usaha syariah yang mencapai economies
of scale hanya Bank Jawa Barat dan Banten Syariah sedangkan usaha konvensional
hampir seluruhnya mencapai economies of scale.
Kata kunci: Bank Syariah, distribution free approach, efisiensi, skala usaha
ABSTRACT
QIYAMUDDIN ROBBANI. Efficiency and Economies of Scale of Sharia
Regional Development Banks in Indonesia. Supervised by MUHAMMAD
FIRDAUS.
Regional Development Banks (BPD) has an important role in accelerating the
development of the region by deploying capital and potential of their respective
regions. Of 26 BPD who have established, 16 of them already have sharia unit, in
the form of Sharia Business Unit (UUS) or Islamic Banks (BUS). Based on Bank
Indonesia Regulation no. 11/10/PBI/2009, UUS must being BUS in 2023 with a
minimum core capital requirement of Rp500 billion. In 2014, the Financial Services
Authority (OJK) makes minimum core capital requirement only Rp100 billion.
Ease of this needs to be balanced with good performance. The performance of 14
sharia and 26 conventional businesses BPD is measured using Distribution Free
Approach method to determine the level of efficiency during the period 2008-2013.
The result shows that conventional BPD is more efficient than the sharia. Sharia
business sector that achieve economies of scale is only Bank of West Java and
Banten Sharia whereas conventional sector almost entirely achieve economies of
scale.
Keywords: Islamic Banks, distribution free approach, efficiency, economic scale
EFISIENSI DAN ECONOMIES OF SCALE SEKTOR USAHA
SYARIAH
SYARIAHPADA
PADABANK
BANKPEMBANGUNAN
PEMBANGUNANDAERAH
DAERAHDI
DIINDONESIA
INDONESIA
QIYAMUDDIN ROBBANI
QIYAMUDDIN ROBBANI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI SYARIAH
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
Judul Skripsi
Nama
NIM
: Efisiensi dan Economies of Scale Sektor Usaha Syariah pada
Bank Pembangunan Daerah di Indonesia
: Qiyamuddin Robbani
: H54100002
Disetujui oleh
Prof Dr Muhammad Firdaus, SP, MSi
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MAEc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wata’ala atas
segala nikmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Efisiensi dan
Economies of Scale Sektor Usaha Syariah pada Bank Pembangunan Daerah di
Indonesia” ini dapat diselesaikan. Skripsi ini menjadi syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi dalam Program Studi Ilmu Ekonomi Syariah, Departemen
Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Tujuan penelitian ini untuk
mendeskripsikan perkembangan kinerja sektor usaha syariah pada Bank
Pembangunan Daerah di Indonesia, serta menganalisis dan membandingkan tingkat
efisiensi dan economies of scale sektor tersebut dengan sektor usaha
konvensionalnya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Firdaus,
SP, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak saran dalam
penulisan skripsi ini dan Ibu Ranti Wiliasih, S.P, M.Si selaku dosen pembimbing
akademik. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga penulis,
istriku tercinta Kartika Nadya Haqiqa, Abi Arief Munandar, Ummi Rina Ningsih,
Aba Margaharta Iskandar, Ibu Narni Farmayanti, Salma Mustaqimah, Aa’ Mikael
Tohaga, M. Marogi Yoshi, Mary Haqiqa Izumi, Abdurrahman Fathony Syaukat dan
Sari Khairunnisa selaku teman satu bimbingan, Ahmad Fauzi dan Putri Eka Ayuni
S. atas diskusi dan koreksinya, keluarga Ekonomi Syariah Institut Pertanian Bogor,
khususnya angkatan 47, Forkom Alims, serta seluruh sahabat dan teman-teman atas
segala doa dan dukungannya.
Akhir kata, semoga karya ini dapat bermanfaat untuk perkembangan Ilmu
Ekonomi Syariah, khususnya di Indonesia.
Bogor, September 2014
Qiyamuddin Robbani
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ viii
PENDAHULUAN ...................................................................................................1
Latar Belakang......................................................................................................1
Perumusan Masalah ..............................................................................................3
Tujuan Penelitian ..................................................................................................4
Manfaat Penelitian ................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................5
Konsep Efisiensi ...................................................................................................5
Economies of Scale ...............................................................................................7
Penelitian Terdahulu .............................................................................................7
Kerangka Pemikiran .............................................................................................9
METODE PENELITIAN .......................................................................................10
Jenis dan Sumber Data .......................................................................................10
Model Penelitian .................................................................................................11
Metode Analisis dan Pengolahan Data ...............................................................12
HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................................16
Perkembangan Kinerja Usaha Syariah BPD ......................................................16
Hasil Estimasi Fungsi Biaya dan Evaluasi Model ..............................................25
Tingkat Efisiensi Sektor Usaha Syariah dan Konvensional Setiap BPD ...........26
Economies of Scale Sektor Usaha Syariah dan Konvensional Setiap BPD .......29
SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................31
Simpulan .............................................................................................................31
Saran ...................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................32
LAMPIRAN ...........................................................................................................35
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................39
DAFTAR TABEL
1 Jumlah Modal Inti BPD yang Memiliki Usaha Syariah di Indonesia Tahun
2013 ............................................................................................................. 3
2 Hasil Uji Hausman ..................................................................................... 25
3 Hasil Estimasi Fungsi Biaya Menggunakan FEM dengan Pembobotan
Cross Section dan White Cross Section Covariance ................................. 26
4 Statistik Deskriptif Variabel yang Digunakan dalam Analisis Efisiensi ... 27
5 Tingkat Efisiensi Unit Usaha Setiap BPD ................................................. 28
6 Perbandingan Tingkat Efisiensi Usaha Syariah dan Usaha Konvensional
Masing-Masing BPD ................................................................................. 29
7 Perbandingan Rata-Rata Economies of Scale (SCE) Usaha Syariah dan
Usaha Konvensional Masing-Masing BPD ............................................... 30
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
CAR, FDR, dan NPF Perbankan Syariah Tahun 2005-2012 ....................... 2
Kerangka Pemikiran Penelitian ................................................................. 10
Perkembangan Total Biaya Usaha Syariah BPD Tahun 2008-2013 ......... 17
Perkembangan Total Laba Tahun Berjalan Usaha Syariah BPD Tahun
2008-2013 .................................................................................................. 18
Perkembangan Total DPK Usaha Syariah BPD Tahun 2008-2013 ........... 19
Perkembangan Total Aset Usaha Syariah BPD Tahun 2008-2013 ........... 21
Perkembangan Jumlah Pinjaman yang Disalurkan dari Usaha Syariah BPD
Tahun 2008-2013 ....................................................................................... 22
Perkembangan Rasio BOPO Usaha Syariah BPD Tahun 2008-2013 ....... 23
Rata-Rata Rasio BOPO Usaha Syariah dan Usaha Konvensional BPD
Tahun 2008-2013 ....................................................................................... 24
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil Estimasi Fungsi Biaya Translog Menggunakan FEM dengan
Pembobotan Cross Section dan White Cross Section Covariance ............ 35
2 Peringkat Efisiensi Usaha Syariah dan Usaha Konvensional BPD
Berdasarkan Metode DFA ......................................................................... 36
3 Hasil Uji T Tingkat Efisiensi Sektor Usaha Syariah dan Konvensional ... 37
4 Hasil Perhitungan Economies of Scale Masing-Masing Sektor Usaha
Syariah dan Konvensional Setiap BPD ..................................................... 38
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bank Pembangunan Daerah (BPD) adalah bank yang didirikan di Daerah
Swatantra (Otonom) Tingkat I atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya. Pendirian
BPD mengacu pada Undang-Undang (UU) no. 13 tahun 1962 tentang KetentuanKetentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah. Fungsi BPD adalah untuk
mempercepat pembangunan yang merata di semua daerah dengan mengerahkan
modal dan potensi daerah masing-masing.
Sejak tahun 1962, sebanyak 26 BPD telah didirikan di berbagai daerah,
seperti Bank DKI, Bank Jawa Barat dan Banten (BJB), BPD DI Yogyakarta, Bank
Aceh, BPD Papua, dan lain-lain. Keseluruhan BPD tersebut tergabung dalam
Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (ASBANDA) yang dibentuk pada tahun 1999.
Salah satu peran penting ASBANDA adalah sebagai wadah aspirasi bagi setiap
kepentingan BPD dalam forum Federasi Perbankan Indonesia dengan segala
aktivitasnya. Akhir tahun 2010, ASBANDA beserta Bank Indonesia (BI)
menggulirkan program BPD Regional Championship (BRC). BRC merupakan
tahapan bagi BPD agar BPD menjadi tuan rumah di daerah sendiri dengan tiga pilar
utama, yaitu memiliki ketahanan kelembagaan yang kuat sehingga mampu
beroperasi secara efisien, memiliki kemampuan sebagai agent of regional
development, serta memiliki kemampuan melayani kebutuhan masyarakat.
Indonesia menganut dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam
kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API) untuk memberikan alternatif jasa
perbankan yang lebih lengkap kepada masyarakat. Sistem perbankan ganda
mengacu pada penggunaan sistem konvensional dan sistem syariah dalam usaha
bisnis perbankan di Indonesia. Sistem konvensional menggunakan bunga (interest)
untuk mencari keuntungan dalam bisnisnya sedangkan sistem syariah
menggunakan bagi hasil (profit atau revenue sharing) dan margin dari jasa yang
diberikan.
BPD termasuk perbankan yang menjalankan usaha syariah. Usaha syariah
pada BPD dimulai sekitar tahun 1998 semenjak dikeluarkannya UU no. 10 tahun
1998 yang merupakan perubahan dari UU no. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. UU
tersebut memberikan kesempatan bagi perbankan untuk mendirikan Unit Usaha
Syariah (UUS). Berdasarkan UU no. 10 tahun 1998, status BPD disamakan seperti
bank umum lainnya sehingga dapat melakukan usaha-usaha yang sama dengan
bank umum, termasuk mendirikan UUS. Perkembangan regulasi selanjutnya
ditandai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) no. 8/3/PBI/2006 yang
memungkinkan pembukaan layanan syariah di kantor cabang konvensional. Tahap
berikutnya perkembangan perekonomian syariah dari sisi regulasi ditandai dengan
disahkannya UU no. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah secara khusus.
Tahun 2011, pemerintah membentuk suatu badan independen yang berfungsi
untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi
terhadap seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, termasuk perbankan.
Lembaga ini disebut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan diatur berdasarkan UU no.
21 tahun 2011. Hadirnya OJK menjadi peluang sekaligus tantangan bagi sektor
perbankan syariah agar mampu meningkatkan kinerjanya dengan baik.
2
Kinerja industri keuangan syariah, khususnya sektor perbankan, relatif cukup
baik. Hal ini dapat dilihat dari 3 indikator, yaitu tingkat kecukupan modal atau
capital adequacy ratio (CAR), fungsi intermediasi yang tercermin dalam rasio
pembiayaan terhadap dana pihak ketiga atau financing to deposit ratio (FDR), dan
tingkat pembiayaan bermasalah atau non performing financing (NPF).
Gambar 1 menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2005-2012, tingkat
kecukupan modal industri perbankan syariah, yang mencakup Bank Umum Syariah
(BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS), masih berada diatas minimum 8%. Ratarata CAR industri perbankan syariah mencapai sekitar 15.2%. Kemudian rasio
pembiayaan terhadap dana pihak ketiga berada pada tingkat optimal dengan ratarata FDR sebesar 97.2%. Selain itu, tingkat pembiayaan bermasalah masih terjaga
dibawah 5% dengan rata-rata NPF sebesar 2.7%.
Sumber: Bank Indonesia (2012)
Gambar 1 CAR, FDR, dan NPF Perbankan Syariah Tahun 2005-2012
BPD juga memiliki peran penting dalam perkembangan industri perbankan
syariah di Indonesia. Sampai tahun 2013, 16 dari 26 BPD telah memiliki usaha
syariah. Dari total 23 Bank Umum Konvensional (BUK) yang memiliki UUS, 15
diantaranya merupakan UUS BPD sementara dari 11 BUS yang ada di Indonesia,
1 diantaranya merupakan BUS yang berasal dari BPD.
BPD yang telah memiliki UUS tersebut antara lain, Bank Aceh, Bank DKI,
BPD Jawa Tengah, BPD Jawa Timur, BPD Kalimantan Barat, BPD Kalimantan
Selatan, BPD Kalimantan Timur, BPD Nusa Tenggara Barat, BPD Riau Kepri,
BPD Sulawesi Selatan dan Barat, BPD Sumatera Barat, BPD Sumatera Selatan dan
Bangka Belitung, BPD Sumatera Utara, dan BPD Yogyakarta.
Pendirian UUS merupakan langkah awal untuk membentuk BUS. BPD yang
telah membentuk BUS dari unit usaha syariahnya adalah Bank Jawa Barat dan
Banten (BJB). BJB memutuskan untuk menjadikan unit usaha syariahnya menjadi
BUS pada tahun 2010. Oleh karena itu, Bank Jabar Banten Syariah (BJB Syariah)
berdiri pada tanggal 15 Januari 2010. UUS BJB sendiri sudah beroperasi selama 10
tahun semenjak tahun 2000.
3
Perumusan Masalah
Pendirian UUS diharapkan mampu menjadi rintisan awal bagi sektor
perbankan syariah di Indonesia. Setiap UUS diharuskan untuk mampu menjadi
BUS secara mandiri sehingga tidak terus menginduk kepada perbankan
konvensional. Berdasarkan PBI no. 11/10/PBI/2009 pasal 40, setiap Bank Umum
Konvensional (BUK) yang memiliki UUS wajib membentuk UUS menjadi BUS
apabila nilai aset UUS telah mencapai 50% dari total aset BUK induknya. Selain
itu, pemisahan UUS wajib dilakukan selambat-lambatnya 15 tahun sejak
berlakunya UU no. 21 tahun 2008. Artinya, BUK harus memisahkan unit usaha
syariahnya menjadi BUS paling lambat tahun 2023.
Untuk memisahkan UUS menjadi BUS membutuhkan modal yang cukup
besar. Berdasarkan PBI no. 11/10/PBI/2009, pembentukan UUS menjadi BUS
membutuhkan modal inti minimal 500 miliar rupiah dan dalam 10 tahun harus
mencapai modal inti 1 triliun rupiah. Tabel 1 menjelaskan modal inti masingmasing BPD yang memiliki usaha syariah pada tahun 2013. Dapat dilihat pada
Tabel 1 bahwa beberapa BPD masih memiliki modal di bawah 1 triliun rupiah, yaitu
BPD Kalimantan Barat, BPD Kalimantan Selatan, BPD Nusa Tenggara Barat, BPD
Yogyakarta, dan Bank Jambi. BPD yang memiliki modal inti di atas 5 triliun rupiah
hanya Bank Jawa Barat dan Banten.
Tabel 1 Jumlah Modal Inti BPD yang Memiliki Usaha Syariah di Indonesia Tahun
2013 (dalam juta rupiah)
Nama BPD
Modal Inti
1 490 312
Bank Aceh
2 507 946
Bank DKI
5 425 010
Bank Jawa Barat dan Banten
2 314 053
Bank Jawa Tengah
4 792 566
BPD Jawa Timur
971 321
BPD Kalimantan Barat
962 250
BPD Kalimantan Selatan
3 544 081
BPD Kalimantan Timur
584 529
BPD Nusa Tenggara Barat
1 869 721
BPD Riau Kepri
1 217 276
BPD Sulawesi Selatan dan Barat
1 215 898
BPD Sumatera Barat
1 535 399
BPD Sumatera Selatan dan Bangka Belitung
1 486 762
BPD Sumatera Utara
627 020
BPD Yogyakarta
664 329
Bank Jambi
Sumber: Bank Indonesia (2013)
Pada tahun 2014, OJK mengubah ketentuan persyaratan modal inti menjadi
minimal 100 miliar rupiah bagi BUK yang ingin memisahkan unit usaha syariahnya
menjadi BUS dengan syarat rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) tidak kurang dari 8%. Kemudahan ini perlu disertai dengan kinerja yang
baik agar BUS yang didirikan tidak lantas tutup di tengah jalan. Evaluasi kinerja
dapat dilakukan salah satunya dengan mengukur tingkat efisiensi dan economies of
4
scale masing-masing UUS dari setiap BPD sehingga dapat dilihat apakah masingmasing UUS tersebut mampu menjadi BUS.
Tingkat efisiensi merupakan salah satu indikator yang sering digunakan untuk
mengukur kinerja perbankan, termasuk perbankan syariah. BPD yang dituntut
untuk dapat menjadi agent of development bagi daerah tentunya harus memiliki
kinerja yang baik, salah satunya dari sisi efisiensi. Begitupula usaha syariah yang
dilakukan oleh BPD seharusnya dapat dilaksanakan secara efisien.
Secara ideologi, ekonomi syariah berusaha menerapkan prinsip-prinsip
syariah dalam setiap aktivitas mu’amalah (ekonomi). Islam mengajarkan
pemeluknya untuk tidak mubadzir atau berlebih-lebihan. Ini berarti efisiensi
seharusnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam menjalan usaha-usaha
yang berlandaskan syariah.
Selain tingkat efisiensi, indikator untuk mengukur kinerja perbankan juga
dapat dilihat dari economies of scale. Economies of scale dapat menggambarkan
kenaikan biaya relatif yang terjadi akibat dari kenaikan seluruh output secara
proporsional. Artinya, biaya per unit output yang dihasilkan akan semakin rendah
sehingga perbankan lebih efisien dan dapat menghasilkan keuntungan yang lebih
besar.
Oleh karena itu, permasalahan-permasalahan mendasar yang dapat
dirumuskan dalam penelitian ini, antara lain:
1. Apakah kinerja usaha syariah pada setiap BPD di Indonesia sudah baik?
2. Apakah terdapat perbedaan signifikan antara tingkat efisiensi sektor usaha
syariah BPD dengan sektor usaha konvensionalnya?
3. Apakah sektor usaha syariah BPD di Indonesia mampu mencapai tingkat
biaya yang lebih efisien ketika outputnya meningkat?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah sebelumnya, dapat
dirumuskan tujuan penelitian ini antara lain:
1. Mendeskripsikan perkembangan kinerja usaha syariah setiap BPD di
Indonesia.
2. Menganalisa dan membandingkan tingkat efisiensi usaha syariah dengan
usaha konvensional BPD di Indonesia.
3. Mengidentifikasi apakah sektor usaha syariah setiap BPD di Indonesia
mampu mencapai economies of scale.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai pertimbangan bagi para praktisi BPD,
terutama unit syariahnya, agar dapat mengevaluasi kembali kinerja usahanya.
Usaha yang dijalankan dengan efisien tentu berdampak pada pengoptimalan sumber
daya yang dimiliki sehingga menghasilkan output yang juga optimal. Dengan
begitu, tujuan BPD sebagai agen pembangunan daerah dapat terlaksana dengan
baik.
5
Penelitian ini juga dapat digunakan oleh Bank Indonesia maupun pemerintah,
khususnya Pemerintah Daerah, untuk memberikan regulasi yang sesuai bagi
masing-masing BPD agar terjalin sinergi yang baik antara legislator dan eksekutor.
Terakhir bagi kalangan akademisi, penelitian ini dapat menjadi rujukan untuk
penelitian selanjutnya terkait efisiensi, khususnya mengenai perbankan syariah.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Efisiensi
Efisiensi merupakan salah satu parameter untuk mengukur kinerja suatu
perusahaan. Efisiensi, khususnya efisiensi teknis, adalah kemampuan perusahaan
meminimalkan penggunaan input dalam suatu produksi untuk mendapatkan
sejumlah output tertentu atau kemampuan perusahaan memaksimumkan output
yang didapat dengan sejumlah input tertentu (Kumbhakar dan Lovell 2000). Zainal
dan Ismail (2010) menyebutkan bahwa efisiensi adalah sebuah proses terbaik suatu
perusahaan agar dapat menggunakan input untuk memproduksi output yang
diinginkan. Dalam dunia perbankan, efisiensi menjadi parameter kinerja yang
cukup populer karena dapat menjadi jawaban atas kesulitan-kesulitan dalam
menghitung ukuran kinerja (Hadad et al. 2003).
Ascarya dan Yumanita (2008) menyebutkan bahwa konsep efisiensi berakar
dari konsep mikroekonomi, yaitu teori produsen dan konsumen. Teori konsumen
mencoba untuk memaksimumkan kepuasan dari sisi konsumen sedangkan teori
produsen berusaha untuk memaksimumkan profit atau meminimumkan biaya
produksi.
Farrell (1957) menyebutkan bahwa keseluruhan efisiensi dari suatu
perusahaan terdiri dari dua jenis, yakni efisiensi teknis dan efisiensi harga. Ascarya
et al. (2009) juga menyebutkan bahwa efisiensi terdiri dari dua komponen, yang
disebut:
a. Efisiensi teknis (technical efficiency): kemampuan suatu perusahaan untuk
memaksimumkan output dari sejumlah input tertentu.
b. Efisiensi alokatif (allocative efficiency): kemampuan suatu perusahaan untuk
menggunakan sejumlah input secara proporsional berdasarkan harga input
tersebut.
Jika kedua komponen efisiensi tersebut dikombinasikan, dapat dihasilkan efisiensi
ekonomi (economic efficiency).
Konsep Efisiensi dalam Islam
Islam mengajarkan pemeluknya untuk tidak berperilaku berlebih-lebihan
(israf) dan boros (tabdzir) dalam penggunaan sumber daya, termasuk dalam
aktivitas ekonomi. Dalam Islam, salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
inefisiensi adalah perilaku israf dan tabzir. Khan (2003) mendefinisikan israf
sebagai perbuatan hilang kontrol diri, tidak seimbang, berlebihan, dan sia-sia.
Perilaku israf juga mencakup pengeluaran barang-barang yang halal, tetapi
berlebihan dari sisi kuantitas dan kualitas yang dibutuhkan. Allah
6
subhanahuwata’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-An’am [6] ayat 141 yang
artinya:
“…dan janganlah berlebihan-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Tabzir dapat didefinisikan sebagai perilaku boros. Istilah tabzir digunakan
secara khusus dalam aktivitas ekonomi sedangkan istilah israf memiliki cakupan
makna yang lebih luas tidak hanya terbatas dalam aktivitas ekonomi. Termasuk
diantara perilaku tabdzir adalah tidak memanfaatkan sumber daya secara optimal.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’ [17] ayat 26-27, Allah subhanahuwata’ala
berfirman:
“…dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu
sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Fauzi (2014) berpendapat bahwa aplikasi dari ayat tersebut pada perusahaan,
dalam hal ini lembaga keuangan, dapat dilihat dari tingkat efisiensi perusahaan
tersebut. Tingkat efisiensi suatu perusahaan dapat menggambarkan kinerja
perusahaan tersebut dalam menggunakan input yang ada untuk menghasilkan
output yang maksimum tanpa adanya penghamburan sumber daya yang dimiliki.
Konsep efisiensi dalam Islam tidak terbatas pada hubungan antara input dan
output semata. Islam mengajarkan agar dalam setiap aktivitas ekonomi (muamalah)
hendaknya tidak bertentangan dengan syariat yang telah diberikan melalui AlQur’an dan Hadist. Oleh karena itu, konsep efisiensi dalam Islam adalah
kemampuan suatu perusahaan untuk memperoleh output yang maksimal dari
sejumlah input tertentu dengan menggunakan cara-cara yang halal dan toyyib (baik)
sesuai firman Allah subhanahuwata’ala dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 168:
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang
terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan…”
Chapra (1992) menyebutkan bahwa inefisiensi alokatif dalam sumber daya
keuangan yang terjadi pada sistem perbankan konvensional merupakan sebuah
konsekuensi yang logis. Kredit yang diberikan lebih banyak kepada sektor swasta
dengan basis jaminan, sumber yang stabil untuk melayani utang, atau sektor
pemerintah yang dianggap minim risiko. Hal ini menyebabkan proposal keuangan
tidak dievaluasi dengan baik. Kredit menjadi tersedia untuk keperluan apapun
sehingga berkontribusi dalam kelebihan ekspansi sektor moneter serta
menyebabkan DPK tidak produktif dan sia-sia. Hal ini merupakan salah satu bentuk
perilaku berlebih-lebihan, terlebih menggunakan instrumen bunga (riba) yang jelas
dilarang oleh syariat.
Pengukuran Tingkat Efisiensi
Pengukuran tingkat efisiensi dapat menggunakan metode non-parametrik
maupun metode parametrik. Metode non-parametrik relatif lebih mudah dilakukan
karena tidak perlu merumuskan bentuk fungsi secara spesifik. Namun, metode
parametrik mampu mengestimasi random error sehingga dapat mengurangi
kesalahan dalam pengukuran tingkat efisiensi.
Salah satu metode non-parametrik yang cukup sering digunakan adalah
metode Data Envelopment Analysis (DEA). Metode parametrik, menurut Berger
dan Mester (1997), terbagi dalam metode Stochastic Frontier Approach (SFA),
Thick Frontier Approach (TFA), dan Distribution Free Approach (DFA).
7
Selain itu untuk mengukur tingkat efisiensi, dapat digunakan beberapa
pendekatan. Berger dan Mester (1997) membagi pendekatan tersebut menjadi tiga,
yaitu efisiensi biaya (cost efficiency), efisiensi laba standar (standard profit
efficiency), dan efisiensi laba alternatif (alternative profit efficiency).
Efisiensi biaya mengukur biaya terendah yang dibutuhkan suatu perusahaan
jika perusahaan tersebut beroperasi sama efisiennya dengan praktik perusahaan
terbaik terhadap biaya aktual yang dikeluarkan perusahaan tersebut. Artinya, suatu
bank dengan tingkat efisiensi biaya 0.70 memiliki efisiensi biaya 70% atau
mengeluarkan 30% biaya lebih besar dibandingkan bank yang paling efisien jika
dihadapkan pada kondisi yang sama.
Efisiensi laba standar dan efisiensi laba alternatif sama-sama mengukur
efisiensi melalui pendekatan laba. Efisiensi diukur dari laba aktual yang diperoleh
suatu perusahaan terhadap laba maksimum yang dapat dicapai perusahaan tersebut
bila beroperasi sama efisiennya dengan praktik perusahaan terbaik. Artinya, suatu
bank dengan tingkat efisiensi laba 0.70 berarti hanya mampu mendapat laba 70%
dari laba yang mampu dicapai bank yang paling efisien jika dihadapkan pada
kondisi yang sama. Perbedaan efisiensi laba standar dan laba alternatif terletak pada
output. Efisiensi laba standar mengukur laba berdasarkan harga output, sedangkan
efisiensi laba alternatif mengukur laba berdasarkan tingkat output.
Economies of Scale
Christensen dan Greene (1976) menyebutkan bahwa economies of scale
seringkali didefinisikan sebagai peningkatan relatif suatu output yang dihasilkan
dari penambahan secara proporsional dari seluruh input (increasing return to scale).
Dari sisi biaya, economies of scale menunjukkan kenaikan biaya relatif akibat dari
kenaikan seluruh output secara proporsional.
Suatu bank mencapai economies of scale ketika bank tersebut mampu
menghasilkan output yang lebih banyak dengan proporsi kenaikan biaya yang
relatif lebih kecil. Sebaliknya, suatu bank tidak mencapai economies of scale, atau
disebut diseconomies of scale, ketika proporsi kenaikan biayanya relatif lebih besar
untuk menghasilkan output yang lebih banyak. Artinya, bank yang mampu
mencapai economies of scale lebih efisien.
Penelitian Terdahulu
Berbagai penelitian mengenai efisiensi perbankan cukup banyak dilakukan
baik di dalam maupun di luar Indonesia dengan menggunakan metode parametrik
ataupun non-parametrik. Namun, penelitian yang menggunakan metode parametrik
untuk mengukur tingkat efisiensi perbankan syariah dan komparasinya dengan
perbankan konvensional masih cukup terbatas. Umumnya studi komparasi ini
masih menggunakan metode non-parametrik.
Pengukuran efisiensi menggunakan pendekatan parametrik sudah mulai
dilakukan sejak bertahun-tahun yang lalu. Salah satu penelitian yang cukup
berpengaruh dalam pengukuran efisiensi adalah penelitian Aigner, Lovell, dan
Schmidt (1977). Penelitian tersebut memperkenalkan fungsi stochastic frontier
8
dengan merumuskan struktur error pada model deterministic frontier yang
sebelumnya telah ditulis oleh Schmidt pada tahun 1976 sehingga didapatkan fungsi
sebagai berikut:
di mana:
�
=
�
=
�;
�
+
+
�
�
(2.1)
(2.2)
Struktur error ini dapat menggambarkan inefisiensi yang terjadi dalam sebuah
proses produksi. Nilai � merepresentasikan gangguan simetris sedangkan �
merupakan random error.
Penelitian lainnya yang memiliki pengaruh cukup besar dalam mengukur
efisiensi dengan pendekatan parametrik adalah penelitian Berger dan Mester
(1997). Penelitian tersebut menggunakan data hampir 6 000 bank komersial di
Amerika Serikat yang terus beroperasi selama periode 1990-1995. Dalam
penelitiannya, Berger dan Mester mengemukakan tiga konsep pendekatan dalam
mengukur efisiensi, yaitu pendekatan efisiensi biaya (cost efficiency), efisiensi laba
standar (standard profit efficiency), dan efisiensi laba alternatif (alternative profit
efficiency).
Penelitian terkait efisiensi perbankan syariah telah dilakukan antara lain oleh
Yudistira (2004), Hassan (2006), Mokhtar et al. (2006), Andryani (2008), Aliyar
(2010), Amirillah (2010), Abdalla dan Onour (2011), serta Rahman dan Rosman
(2013). Penelitian terkait komparasi tingkat efisiensi perbankan syariah dan
perbankan konvensional pernah dilakukan oleh Heralina (2005), Mediadianto
(2007), Ascarya dan Yumanita (2008), Bader et al. (2008), Ascarya et al. (2009),
Iqbal (2011), dan Puspitasari (2012). Penelitian yang secara khusus mengukur
tingkat efisiensi BPD di Indonesia sendiri pernah dilakukan oleh Abidin dan Endri
(2009) serta Wardani (2013) sedangkan penelitian yang secara khusus mengukur
efisiensi sektor usaha syariah BPD di Indonesia belum pernah dilakukan.
Heralina (2005) meneliti perbandingan efisiensi bank syariah dan bank
konvensional di Indonesia menggunakan metode DFA dan SFA. Penelitiannya
menggunakan fungsi biaya dengan bentuk translog yang direstriksi untuk
menghitung tingkat efisiensi perbankan syariah. Hasilnya kemudian dibandingkan
dengan tingkat efisiensi perbankan konvensional. Penelitian ini membuktikan
bahwa bentuk fungsi translog dapat memenuhi sifat-sifat fungsi biaya sehingga
dapat digunakan dalam mengukur tingkat efisiensi. Hasil penelitian ini juga
menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara efisiensi perbankan syariah
maupun konvensional. Selain itu, perbankan syariah di Indonesia secara rata-rata
dapat mencapai economies of scale.
Hasil penelitian Mediadianto (2007) menunjukkan bahwa bank syariah relatif
lebih efisien dibandingkan dengan bank konvensional, baik menggunakan
pendekatan aset maupun pendekatan produksi. Penelitiannya mengukur efisiensi
tiga bank syariah dan tiga bank konvensional yang memiliki aset setara dengan
menggunakan metode DEA. Penelitian ini juga melihat pengaruh karakteristik bank
terhadap tingkat efisiensi. Karakteristik yang signifikan memengaruhi tingkat
efisiensi adalah profitabilitas dan modal.
Penelitian efisiensi bank konvensional dan bank syariah di Indonesia
menggunakan metode DEA juga dilakukan oleh Ascarya dan Yumanita (2008).
9
Penelitian ini menggunakan jumlah bank, baik konvensional maupun syariah, yang
berbeda setiap tahunnya dalam kurun waktu 2003-2005. Tingkat efisiensi diukur
dua kali, yakni setiap tahun dan digabungkan (pooled) secara keseluruhan dalam
periode tiga tahun tersebut. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
perbankan syariah relatif lebih efisien secara keseluruhan dan teknis, tetapi relatif
kurang efisien dalam skala efisiensi. Selain itu, tenaga kerja menjadi prioritas utama
untuk dikembangkan agar dapat meningkatkan efisiensi perbankan, baik
konvensional maupun syariah.
Penelitian Bader et al. (2008) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
signifikan antara efisiensi perbankan syariah dengan efisiensi perbankan
konvensional. Penelitian ini menggunakan 3 pendekatan sekaligus, yaitu efisiensi
biaya, efisiensi penerimaan, dan efisiensi keuntungan. Bank syariah relatif lebih
efisien dalam pendekatan penerimaan dan keuntungan, sementara bank
konvensional relatif lebih efisien dalam pendekatan biaya.
Ascarya et al. (2009) juga melakukan penelitian menggunakan metode
parametrik, yakni SFA dan DFA. Sebanyak 52 bank konvensional dan 7 bank
syariah diteliti dalam periode 2002-2006 menggunakan bentuk translog dari fungsi
biaya. Hasil penelitian dengan metode DFA menunjukkan bank konvensional ratarata relatif lebih efisien dibanding bank syariah. Namun, hasil pengukuran dengan
metode SFA menunjukkan bahwa bank syariah mampu bersaing di tahun 2003
dengan tingkat efisiensi 0.840 yang lebih besar dibanding bank konvensional
dengan tingkat efisiensi hanya 0.760. Setelah itu, baik bank syariah maupun bank
konvensional sama-sama mencapai efisiensi optimal 1.
Penelitian lain mengukur tingkat efisiensi tiga BUS dan sepuluh BUK selama
periode 2006-2009. Hasil penelitian Iqbal (2011) tersebut menunjukkan bahwa
BUK lebih efisien dibandingkan BUS, tetapi tidak berbeda signifikan berdasarkan
hasil uji beda.
Puspitasari (2012) juga meneliti tingkat efisiensi BUS dan BUK. Sebanyak 4
BUS dan 8 BUK diukur menggunakan metode DEA. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa BUS efisien di tahun 2006-2008 dan 2011, sedangkan BUK
efisien di tahun 2006, 2006, 2010, dan 2011. BUK lebih unggul pada indikator
Capital Adequacy Ratio (CAR) dan Return on Assets (ROA), sedangkan BUS lebih
unggul pada indikator Financing to Deposit Ratio (FDR) dan Beban Operasional
terhadap Pendapatan Operasional (BOPO).
Penelitian economies of scale seringkali disandingkan dengan penelitian
terkait tingkat efisiensi. Hal ini disebabkan adanya keterkaitan antara tingkat
efisiensi dengan economies of scale. Hasil penelitian Heralina (2005) menunjukkan
bahwa terdapat korelasi yang kuat antara economies of scale dengan tingkat
efisiensi perbankan. Peningkatan economies of scale akan meningkatkan tingkat
efisiensi.
Kerangka Pemikiran
Setiap BUK diharuskan mengubah UUS-nya menjadi BUS selambatlambatnya tahun 2023. BPD sebagai salah satu BUK tidak memiliki kecukupan
modal sehingga sulit untuk membentuk BUS secara mandiri. Kemudahan
persyaratan dari OJK di tahun 2014 berupa modal inti minimum hanya sebesar
10
Rp100 miliar perlu diimbangi dengan kinerja yang baik sehingga mampu menjamin
keberlangsungan usaha setiap BUS. Evaluasi kinerja dapat dilakukan dengan
mengukur tingkat efisiensi dan economies of scale dari masing-masing sektor usaha
syariah BPD dan dibandingkan terhadap sektor usaha konvensionalnya.
BPD wajib mengubah UUS menjadi BUS
Modal inti BPD masih relatif kecil
Evaluasi Kinerja Sektor Usaha Syariah BPD
Tingkat
Efisiensi BPD
Konvensional
Tingkat
Efisiensi
BPD Syariah
Economies of
Scale BPD
Syariah
Economies of
Scale BPD
Konvensional
Kesimpulan
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data panel berupa data cross section dari setiap
BPD di Indonesia dan data time series mulai dari periode tahun 2008 sampai dengan
tahun 2013. Data yang diperoleh merupakan data sekunder berupa Laporan
Keuangan Publikasi setiap BPD dari Bank Indonesia dan masing-masing BPD, baik
usaha konvensional maupun syariah.
11
Penelitian ini tidak mengikutsertakan dua UUS BPD, yaitu UUS BPD Jambi
dan UUS BPD Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan BPD Jambi baru memulai usaha
syariah pada tahun 2012 sedangkan BPD Jawa Tengah pada triwulan ke-2 tahun
2008. BPD lainnya telah memulai usaha syariah sebelum tahun 2008 sehingga
tahun tersebut dapat dianggap sudah stabil dalam menjalankan bisnisnya. Oleh
karena itu, jumlah total unit cross section yang digunakan dalam penelitian ini
sebanyak 40 unit yang terdiri dari 26 unit BPD konvensional dan 14 unit sektor
usaha syariah BPD.
Model Penelitian
Penelitian ini menghitung tingkat efisiensi menggunakan pendekatan fungsi
biaya yang dikemukakan oleh Berger dan Mester (1997). Fungsi biaya tersebut
secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut:
=
, , , ,
�, �
di mana:
= variabel biaya
= vektor harga variabel input
= vektor jumlah variabel output
= jumlah fixed netput (opsional)
= variabel eksogen atau variabel lingkungan (opsional)
= faktor inefisiensi yang dapat meningkatkan biaya
�
= random error
�
(3.1)
Fungsi Transcendental Logarithmic (Translog)
Spesifikasi fungsi biaya yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
bentuk fungsi transcendental logarithmic (translog). Penggunaan fungsi translog
memungkinkan analisis yang lebih mendalam, misalnya elastisitas subtitusi yang
merupakan penurunan kedua dari fungsi produksi, biaya, atau utilitas (Greene
2012). Fungsi translog juga masuk akal untuk mendapatkan hubungan yang
sebenarnya antara biaya dan output (Schmidt 2005). Selain itu, bentuk fungsi
translog memungkinkan pengukuran economies of scale dari fungsi biaya tersebut.
Biaya yang dikeluarkan oleh perbankan dipengaruhi oleh faktor input dan
output. Faktor input yang paling besar memengaruhi adalah dana pihak ketiga
(DPK) dan tenaga kerja sebagai modal utama bagi perbankan untuk menjalankan
usahanya. Untuk mendapatkan tingkat harga dana (price of funds) dilakukan
pendekatan dengan membagi beban bagi hasil atau beban bunga dengan total DPK
( ). Untuk mendapatkan tingkat harga tenaga kerja (price of labour) dilakukan
pendekatan dengan membagi beban personalia terhadap total aktiva ( ).
Faktor output juga dianggap dapat memengaruhi biaya. Semakin banyak
output yang dihasilkan, semakin banyak pula biaya yang perlu dikeluarkan. Output
yang dihasilkan perbankan berupa jumlah pinjaman yang dikeluarkan ( � ) dan
jumlah sekuritas ( ). Pada usaha syariah, jumlah pinjaman yang dikeluarkan
berupa piutang murabahah, salam, istishna, maupun pembiayaan mudharabah dan
musyarakah. Pada usaha konvensional, jumlah pinjaman yang dikeluarkan berupa
12
kredit yang diberikan kepada nasabah. Jumlah sekuritas merupakan penggabungan
dari penempatan pada BI maupun bank lain, berupa giro atau surat-surat berharga
lainnya. Penelitian ini tidak menggunakan variabel fixed netput dan variabel
lingkungan karena kurangnya ketersediaan data pada laporan keuangan UUS.
Fungsi biaya dengan bentuk translog yang digunakan dalam penelitian ini
dapat dijabarkan sebagai berikut:
ln(
�
)=
di mana:
ln( � )
ln( � )
ln( � )
ln( � � )
ln( � )
�
�
½
½
+ ln( � ) + ln( � ) + ln( � � ) + ln( � ) +
ln( � )2 + ½ ln( � )2 + ½ ln( � � )2 +
ln( � )2 +
ln( � ln( � ) +
ln( � )ln( � � ) +
ln( � )ln( � )
+
ln( � )ln( � � )
+
ln( � )ln( � ) +
ln( � � )ln( � ) + � + �
(3.2)
= nilai logaritma natural dari total cost
= nilai logaritma natural dari price of funds
= nilai logaritma natural dari price of labour
= nilai logaritma natural dari jumlah pinjaman yang disalurkan
= nilai logaritma natural dari jumlah sekuritas
= faktor inefisiensi
= random error
Metode Analisis dan Pengolahan Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif dan analisis data panel statis. Analisis deskriptif digunakan untuk
menjelaskan perkembangan kinerja usaha syariah BPD. Kombinasi data cross
section dan time series pada data panel menyebabkan jumlah observasi yang lebih
besar sehingga dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas
antarvariabel, serta meningkatkan derajat kebebasan (Firdaus 2011). Baltagi (2005)
menyebutkan bahwa data panel memiliki beberapa keuntungan, antara lain:
1. Mengontrol heterogenitas individu. Penggunaan data panel mampu
mengontrol individu, perusahaan, keadaan, ataupun negara sehingga dapat
dianggap heterogen. Data cross section maupun time series tidak mampu
menangani risiko heterogenitas ini sehingga dapat menyebabkan hasil yang
bias.
2. Data panel memberikan data yang lebih informatif, variabilitas yang lebih
banyak, kolinearitas antarvariabel yang lebih sedikit, derajat kebebasan yang
lebih besar, dan lebih efisien.
3. Data panel lebih baik dalam mempelajari dinamika perubahan dari suatu
fenomena. Penggunaan data panel lebih baik karena meneliti secara berulang
kali suatu unit cross section dalam sebuah pengamatan (Gujarati 2004).
4. Data panel dapat mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak tampak
pada data cross section atau time series murni.
5. Data panel memungkinkan untuk membuat dan menguji lebih banyak
perilaku yang kompleks dalam model dibandingkan data cross section atau
time series murni.
13
6. Data panel mikro yang dikumpulkan dari individu, rumah tangga, atau
perusahaan relatif lebih akurat untuk diukur dibandingkan variabel yang
diukur pada level makro.
7. Di sisi lain, data panel makro dapat memiliki serangkaian waktu yang lebih
lama.
Perangkat lunak yang digunakan untuk mengolah data dalam penelitian ini
adalah Eviews 6, Microsoft Excel 2013, dan SPSS 16. Eviews 6 digunakan untuk
mengestimasi model terbaik yang akan digunakan, Microsoft Excel 2013 untuk
mengelompokkan dan menghitung nilai efisiensi dan economies of scale masingmasing BPD, dan SPSS 16 untuk menghitung uji beda antara tingkat efisiensi sektor
usaha syariah dengan tingkat efisiensi sektor usaha konvensional.
Data panel memiliki 2 bentuk pendekatan yang umum diaplikasikan, yaitu
Fixed Effects Model (FEM) dan Random Effects Model (REM). Keduanya
dibedakan berdasarkan asumsi ada atau tidaknya korelasi antara komponen error
dengan variabel bebas (Firdaus 2011).
Fixed Effects Model (FEM)
Pendekatan OLS mengasumsikan bahwa semua koefisien, baik intersep
maupun slope, dari persamaan regresi adalah konstan baik antarindividu maupun
antarwaktu. Asumsi ini jelas sangat terbatas. Menurut Gujarati (2004), pendekatan
tersebut, meskipun sederhana, dapat merusak gambaran yang sebenarnya dari
hubungan antara variabel dependen dan independen terhadap setiap individu.
Untuk mengatasi masalah ini, digunakan Model Efek Tetap atau Fixed Effects
Model (FEM). FEM menggunakan variabel-variabel dummy untuk memungkinkan
perubahan-perubahan intersep yang bervariasi antarindividu. Namun, koefisien
slope tetap diasumsikan konstan terhadap setiap individu. Hal ini yang
menyebabkan model disebut fixed atau tetap.
�
= ∑
� �
+
�
+
�
(3.3)
di mana:
= variabel dependen
�
= variabel independen
�
= intersep model yang berubah-ubah antarunit cross section
= slope
= variabel dummy
i
= individu ke-i; dan t = periode waktu ke-t
= error
Persamaan di atas telah ditambahkan N-1 variabel dummy ke dalam model
sehingga besarnya derajat kebebasan berkurang. FEM juga seringkali disebut
sebagai model Least-Squares Dummy Variable (LSDV) karena penggunaan
variabel dummy.
Random Effects Model (REM)
Penggunaan variabel dummy pada FEM dapat menyebabkan penurunan
derajat kebebasan atau degree of freedom. Hal tersebut pada akhirnya justru dapat
mengurangi efisiensi dari parameter yang akan diestimasi. Oleh karena itu,
14
digunakan Model Efek Acak atau Random Effects Model (REM) untuk mengatasi
masalah tersebut.
�
=
�
=
+
+
�
�
(3.4)
�
(3.5)
REM memasukkan perbedaan antarindividu maupun antarwaktu ke dalam
error ( � ) sehingga nilai intersep dan slope tetap. Perubahan variasi dari intersep
maupun slope ditangkap melalui error.
di mana:
,
� ~
,
� ~
~
,
�
2
2
2
�
+
�
+
= error component cross section
= error component time series
= error component combinations
Model ini mengasumsikan error secara individual tidak saling berkorelasi,
begitu juga error kombinasinya. Penggunaan REM dapat menghemat derajat
kebebasan sehingga memungkinkan untuk mendapat parameter hasil estimasi yang
lebih efisien dibanding FEM. Semakin efisien maka model akan semakin baik
(Firdaus 2011).
Uji Hausman
Uji Hausman adalah pengujian statistik yang digunakan untuk memilih model
terbaik antara FEM atau REM. Penggunaan FEM mengandung unsur trade-off yaitu
hilangnya derajat kebebasan dengan memasukkan variabel dummy. Namun,
penggunaan REM juga harus memerhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari
setiap komponen error yang dihasilkan (Holis 2006). Uji Hausman dilakukan
dengan hipotesis sebagai berikut:
H0: Menggunakan Random Effects Model (REM)
H1: Menggunakan Fixed Effects Model (FEM)
Penolakan hipotesis nol dilakukan dengan mencari nilai Statistik Hausman
dan membandingkannya dengan nilai Chi-square. Statistik Hausman dirumuskan
sebagai berikut:
H=(
� �
–
� )′(
�
–
-1
� �)
(
� �
di mana:
adalah matriks kovarians untuk parameter
adalah degree of freedom
–
�)
~� ( )
(3.6)
Apabila hasil pengujian nilai H lebih besar dari � tabel, maka cukup bukti
untuk penolakan H0 sehingga model yang digunakan adalah FEM. Begitu pula
sebaliknya, jika tidak cukup bukti untuk menolak H0 maka model yang digunakan
adalah REM.
15
Distribution Free Approach (DFA)
Berger dan Mester (1997) menyebutkan bahwa jika data panel tersedia,
metode DFA dapat digunakan. Metode DFA merupakan solusi dari kritik yang
dikemukakan oleh Berger dan Mester (1997) terhadap metode SFA karena seolahseolah menggunakan asumsi distribusi secara semena-mena. Metode ini
mengasumsikan bahwa terdapat efisiensi inti atau efisiensi rata-rata untuk masingmasing perusahaan dari waktu ke waktu. Persamaan (3.1) dapat dituliskan kembali
dengan memisahkan error term sebagai berikut:
ln
�
≡
�
,
,
�
�
,
+
�
�
+
(3.7)
�
Residual dari setiap regresi terdiri dari inefisiensi, � , dan komponen random
error, � . Namun, komponen random error diasumsikan nol ketika nilai residual
dirata-ratakan terhadap periode yang akan diamati sehingga di dapat nilai ̂� :
̂� =
∑
�
+
(3.8)
�
Nilai ̂ � menjadi patokan dalam perhitungan efisiensi biaya seperti dirumuskan oleh
Berger dan Mester (1997) dalam persamaan berikut:
�
=
̂
�
̂�
{exp[ ̂(
=
{exp[ ̂
�
,
�,
�
,
�
,
�, �,
�
)] × exp[ ( ̂ �
�
�
)]}
] × exp[ ( ̂ �� )]}
=
̂�
�
̂ ��
(3.9)
Tingkat efisiensi yang didapat
, ] yang
� akan berkisar antara
menunjukkan seberapa efisien bank � terhadap bank-bank lain yang diamati.
Overall Economies of Scale (SCE)
Perhitungan economies of scale (SCE) dalam penelitian ini mengikuti
perhitungan yang dikemukakan oleh Ray (1982). Economies of scale merupakan
turunan dari rumus fungsi biaya translog pada persamaan (3.2) terhadap output
yang dihasilkan (
�
sehingga didapatkan perhitungan sebagai berikut:
= [
+
ln
ln
+
� ln
= [ ∑�
� ln
+
ln
ln
+
�
+
ln
ln
ln
�
ln
+
−
]
+
ln
;� = ,
ln
]−
(3.10)
+
+
(3.11)
Nilai SCE > 1 menunjukkan bahwa suatu bank mencapai economies of scale
sedangkan nilai SCE < 1 menunjukkan bahwa suatu bank tidak mencapai
economies of scale atau disebut diseconomies of scale. Economies of scale
menunjukkan bahwa suatu bank dapat meningkatkan output dengan proporsi
kenaikan biaya yang relatif lebih rendah.
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Kinerja Usaha Syariah BPD
Perkembangan kinerja usaha syariah setiap BPD dapat dilihat dari beberapa
indikator seperti total biaya, total laba tahun berjalan, total DPK, total aset, jumlah
pinjaman yang disalurkan, dan rasio beban operasional terhadap pendapatan
operasional (BOPO). Setiap usaha syariah BPD dapat dilihat perkembangannya
berdasarkan indikator-indikator tersebut selama periode 2008 sampai dengan 2013
dan dibandingkan dengan rata-rata BPD konvensional.
Perkembangan Total Biaya
Total biaya merupakan akumulasi dari biaya atau beban operasional maupun
non-operasion
DAN ECONOMIES
ECONOMIES OF
OF SCALE
SCALE SEKTOR
SEKTOR USAHA
USAHA
EFISIENSI
SYARIAH
SYARIAHPADA
PADABANK
BANKPEMBANGUNAN
PEMBANGUNANDAERAH
DAERAHDI
DIINDONESIA
INDONESIA
QIYAMUDDIN ROBBANI
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI SYARIAH
DEPARTEMEN ILMU
ILMU EKONOMI
EKONOMI
DEPARTEMEN
FAKULTAS EKONOMI
EKONOMI DAN
DAN MANAJEMEN
MANAJEMEN
FAKULTAS
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efisiensi dan Economies
of Scale Sektor Usaha Syariah pada Bank Pembangunan Daerah di Indonesia adalah
benar karya saya dengan arahan Bapak Prof. Dr. Muhammad Firdaus, SP, M.Si dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Qiyamuddin Robbani
NIM H54100002
ABSTRAK
QIYAMUDDIN ROBBANI. Efisiensi dan Economies of Scale Sektor Usaha
Syariah pada Bank Pembangunan Daerah di Indonesia. Dibimbing oleh
MUHAMMAD FIRDAUS.
Bank Pembangunan Daerah (BPD) memiliki peranan penting dalam
percepatan pembangunan daerah dengan mengerahkan modal dan potensi
daerahnya masing-masing. Dari 26 BPD yang telah didirikan, 16 diantaranya telah
memiliki usaha syariah, baik berupa Unit Usaha Syariah (UUS) maupun Bank
Umum Syariah (BUS). Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia no. 11/10/PBI/2009,
UUS harus menjadi BUS pada tahun 2023 dengan persyaratan modal inti minimum
Rp500 miliar. Tahun 2014, Otoritas Jasa Keuangan memberikan kemudahan bagi
UUS yang akan berubah menjadi BUS dengan modal inti minimum hanya Rp100
miliar. Kemudahan ini perlu diimbangi dengan kinerja yang baik. Kinerja 14 usaha
syariah dan 26 usaha konvensional BPD diukur untuk mengetahui tingkat efisiensi
masing-masing menggunakan metode Distribution Free Approach selama periode
tahun 2008-2013. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa usaha konvensional BPD
lebih efisien dibandingkan usaha syariah. Usaha syariah yang mencapai economies
of scale hanya Bank Jawa Barat dan Banten Syariah sedangkan usaha konvensional
hampir seluruhnya mencapai economies of scale.
Kata kunci: Bank Syariah, distribution free approach, efisiensi, skala usaha
ABSTRACT
QIYAMUDDIN ROBBANI. Efficiency and Economies of Scale of Sharia
Regional Development Banks in Indonesia. Supervised by MUHAMMAD
FIRDAUS.
Regional Development Banks (BPD) has an important role in accelerating the
development of the region by deploying capital and potential of their respective
regions. Of 26 BPD who have established, 16 of them already have sharia unit, in
the form of Sharia Business Unit (UUS) or Islamic Banks (BUS). Based on Bank
Indonesia Regulation no. 11/10/PBI/2009, UUS must being BUS in 2023 with a
minimum core capital requirement of Rp500 billion. In 2014, the Financial Services
Authority (OJK) makes minimum core capital requirement only Rp100 billion.
Ease of this needs to be balanced with good performance. The performance of 14
sharia and 26 conventional businesses BPD is measured using Distribution Free
Approach method to determine the level of efficiency during the period 2008-2013.
The result shows that conventional BPD is more efficient than the sharia. Sharia
business sector that achieve economies of scale is only Bank of West Java and
Banten Sharia whereas conventional sector almost entirely achieve economies of
scale.
Keywords: Islamic Banks, distribution free approach, efficiency, economic scale
EFISIENSI DAN ECONOMIES OF SCALE SEKTOR USAHA
SYARIAH
SYARIAHPADA
PADABANK
BANKPEMBANGUNAN
PEMBANGUNANDAERAH
DAERAHDI
DIINDONESIA
INDONESIA
QIYAMUDDIN ROBBANI
QIYAMUDDIN ROBBANI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI SYARIAH
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
Judul Skripsi
Nama
NIM
: Efisiensi dan Economies of Scale Sektor Usaha Syariah pada
Bank Pembangunan Daerah di Indonesia
: Qiyamuddin Robbani
: H54100002
Disetujui oleh
Prof Dr Muhammad Firdaus, SP, MSi
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MAEc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wata’ala atas
segala nikmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Efisiensi dan
Economies of Scale Sektor Usaha Syariah pada Bank Pembangunan Daerah di
Indonesia” ini dapat diselesaikan. Skripsi ini menjadi syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi dalam Program Studi Ilmu Ekonomi Syariah, Departemen
Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Tujuan penelitian ini untuk
mendeskripsikan perkembangan kinerja sektor usaha syariah pada Bank
Pembangunan Daerah di Indonesia, serta menganalisis dan membandingkan tingkat
efisiensi dan economies of scale sektor tersebut dengan sektor usaha
konvensionalnya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Firdaus,
SP, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak saran dalam
penulisan skripsi ini dan Ibu Ranti Wiliasih, S.P, M.Si selaku dosen pembimbing
akademik. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga penulis,
istriku tercinta Kartika Nadya Haqiqa, Abi Arief Munandar, Ummi Rina Ningsih,
Aba Margaharta Iskandar, Ibu Narni Farmayanti, Salma Mustaqimah, Aa’ Mikael
Tohaga, M. Marogi Yoshi, Mary Haqiqa Izumi, Abdurrahman Fathony Syaukat dan
Sari Khairunnisa selaku teman satu bimbingan, Ahmad Fauzi dan Putri Eka Ayuni
S. atas diskusi dan koreksinya, keluarga Ekonomi Syariah Institut Pertanian Bogor,
khususnya angkatan 47, Forkom Alims, serta seluruh sahabat dan teman-teman atas
segala doa dan dukungannya.
Akhir kata, semoga karya ini dapat bermanfaat untuk perkembangan Ilmu
Ekonomi Syariah, khususnya di Indonesia.
Bogor, September 2014
Qiyamuddin Robbani
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ viii
PENDAHULUAN ...................................................................................................1
Latar Belakang......................................................................................................1
Perumusan Masalah ..............................................................................................3
Tujuan Penelitian ..................................................................................................4
Manfaat Penelitian ................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................5
Konsep Efisiensi ...................................................................................................5
Economies of Scale ...............................................................................................7
Penelitian Terdahulu .............................................................................................7
Kerangka Pemikiran .............................................................................................9
METODE PENELITIAN .......................................................................................10
Jenis dan Sumber Data .......................................................................................10
Model Penelitian .................................................................................................11
Metode Analisis dan Pengolahan Data ...............................................................12
HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................................16
Perkembangan Kinerja Usaha Syariah BPD ......................................................16
Hasil Estimasi Fungsi Biaya dan Evaluasi Model ..............................................25
Tingkat Efisiensi Sektor Usaha Syariah dan Konvensional Setiap BPD ...........26
Economies of Scale Sektor Usaha Syariah dan Konvensional Setiap BPD .......29
SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................31
Simpulan .............................................................................................................31
Saran ...................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................32
LAMPIRAN ...........................................................................................................35
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................39
DAFTAR TABEL
1 Jumlah Modal Inti BPD yang Memiliki Usaha Syariah di Indonesia Tahun
2013 ............................................................................................................. 3
2 Hasil Uji Hausman ..................................................................................... 25
3 Hasil Estimasi Fungsi Biaya Menggunakan FEM dengan Pembobotan
Cross Section dan White Cross Section Covariance ................................. 26
4 Statistik Deskriptif Variabel yang Digunakan dalam Analisis Efisiensi ... 27
5 Tingkat Efisiensi Unit Usaha Setiap BPD ................................................. 28
6 Perbandingan Tingkat Efisiensi Usaha Syariah dan Usaha Konvensional
Masing-Masing BPD ................................................................................. 29
7 Perbandingan Rata-Rata Economies of Scale (SCE) Usaha Syariah dan
Usaha Konvensional Masing-Masing BPD ............................................... 30
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
CAR, FDR, dan NPF Perbankan Syariah Tahun 2005-2012 ....................... 2
Kerangka Pemikiran Penelitian ................................................................. 10
Perkembangan Total Biaya Usaha Syariah BPD Tahun 2008-2013 ......... 17
Perkembangan Total Laba Tahun Berjalan Usaha Syariah BPD Tahun
2008-2013 .................................................................................................. 18
Perkembangan Total DPK Usaha Syariah BPD Tahun 2008-2013 ........... 19
Perkembangan Total Aset Usaha Syariah BPD Tahun 2008-2013 ........... 21
Perkembangan Jumlah Pinjaman yang Disalurkan dari Usaha Syariah BPD
Tahun 2008-2013 ....................................................................................... 22
Perkembangan Rasio BOPO Usaha Syariah BPD Tahun 2008-2013 ....... 23
Rata-Rata Rasio BOPO Usaha Syariah dan Usaha Konvensional BPD
Tahun 2008-2013 ....................................................................................... 24
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil Estimasi Fungsi Biaya Translog Menggunakan FEM dengan
Pembobotan Cross Section dan White Cross Section Covariance ............ 35
2 Peringkat Efisiensi Usaha Syariah dan Usaha Konvensional BPD
Berdasarkan Metode DFA ......................................................................... 36
3 Hasil Uji T Tingkat Efisiensi Sektor Usaha Syariah dan Konvensional ... 37
4 Hasil Perhitungan Economies of Scale Masing-Masing Sektor Usaha
Syariah dan Konvensional Setiap BPD ..................................................... 38
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bank Pembangunan Daerah (BPD) adalah bank yang didirikan di Daerah
Swatantra (Otonom) Tingkat I atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya. Pendirian
BPD mengacu pada Undang-Undang (UU) no. 13 tahun 1962 tentang KetentuanKetentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah. Fungsi BPD adalah untuk
mempercepat pembangunan yang merata di semua daerah dengan mengerahkan
modal dan potensi daerah masing-masing.
Sejak tahun 1962, sebanyak 26 BPD telah didirikan di berbagai daerah,
seperti Bank DKI, Bank Jawa Barat dan Banten (BJB), BPD DI Yogyakarta, Bank
Aceh, BPD Papua, dan lain-lain. Keseluruhan BPD tersebut tergabung dalam
Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (ASBANDA) yang dibentuk pada tahun 1999.
Salah satu peran penting ASBANDA adalah sebagai wadah aspirasi bagi setiap
kepentingan BPD dalam forum Federasi Perbankan Indonesia dengan segala
aktivitasnya. Akhir tahun 2010, ASBANDA beserta Bank Indonesia (BI)
menggulirkan program BPD Regional Championship (BRC). BRC merupakan
tahapan bagi BPD agar BPD menjadi tuan rumah di daerah sendiri dengan tiga pilar
utama, yaitu memiliki ketahanan kelembagaan yang kuat sehingga mampu
beroperasi secara efisien, memiliki kemampuan sebagai agent of regional
development, serta memiliki kemampuan melayani kebutuhan masyarakat.
Indonesia menganut dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam
kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API) untuk memberikan alternatif jasa
perbankan yang lebih lengkap kepada masyarakat. Sistem perbankan ganda
mengacu pada penggunaan sistem konvensional dan sistem syariah dalam usaha
bisnis perbankan di Indonesia. Sistem konvensional menggunakan bunga (interest)
untuk mencari keuntungan dalam bisnisnya sedangkan sistem syariah
menggunakan bagi hasil (profit atau revenue sharing) dan margin dari jasa yang
diberikan.
BPD termasuk perbankan yang menjalankan usaha syariah. Usaha syariah
pada BPD dimulai sekitar tahun 1998 semenjak dikeluarkannya UU no. 10 tahun
1998 yang merupakan perubahan dari UU no. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. UU
tersebut memberikan kesempatan bagi perbankan untuk mendirikan Unit Usaha
Syariah (UUS). Berdasarkan UU no. 10 tahun 1998, status BPD disamakan seperti
bank umum lainnya sehingga dapat melakukan usaha-usaha yang sama dengan
bank umum, termasuk mendirikan UUS. Perkembangan regulasi selanjutnya
ditandai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) no. 8/3/PBI/2006 yang
memungkinkan pembukaan layanan syariah di kantor cabang konvensional. Tahap
berikutnya perkembangan perekonomian syariah dari sisi regulasi ditandai dengan
disahkannya UU no. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah secara khusus.
Tahun 2011, pemerintah membentuk suatu badan independen yang berfungsi
untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi
terhadap seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, termasuk perbankan.
Lembaga ini disebut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan diatur berdasarkan UU no.
21 tahun 2011. Hadirnya OJK menjadi peluang sekaligus tantangan bagi sektor
perbankan syariah agar mampu meningkatkan kinerjanya dengan baik.
2
Kinerja industri keuangan syariah, khususnya sektor perbankan, relatif cukup
baik. Hal ini dapat dilihat dari 3 indikator, yaitu tingkat kecukupan modal atau
capital adequacy ratio (CAR), fungsi intermediasi yang tercermin dalam rasio
pembiayaan terhadap dana pihak ketiga atau financing to deposit ratio (FDR), dan
tingkat pembiayaan bermasalah atau non performing financing (NPF).
Gambar 1 menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2005-2012, tingkat
kecukupan modal industri perbankan syariah, yang mencakup Bank Umum Syariah
(BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS), masih berada diatas minimum 8%. Ratarata CAR industri perbankan syariah mencapai sekitar 15.2%. Kemudian rasio
pembiayaan terhadap dana pihak ketiga berada pada tingkat optimal dengan ratarata FDR sebesar 97.2%. Selain itu, tingkat pembiayaan bermasalah masih terjaga
dibawah 5% dengan rata-rata NPF sebesar 2.7%.
Sumber: Bank Indonesia (2012)
Gambar 1 CAR, FDR, dan NPF Perbankan Syariah Tahun 2005-2012
BPD juga memiliki peran penting dalam perkembangan industri perbankan
syariah di Indonesia. Sampai tahun 2013, 16 dari 26 BPD telah memiliki usaha
syariah. Dari total 23 Bank Umum Konvensional (BUK) yang memiliki UUS, 15
diantaranya merupakan UUS BPD sementara dari 11 BUS yang ada di Indonesia,
1 diantaranya merupakan BUS yang berasal dari BPD.
BPD yang telah memiliki UUS tersebut antara lain, Bank Aceh, Bank DKI,
BPD Jawa Tengah, BPD Jawa Timur, BPD Kalimantan Barat, BPD Kalimantan
Selatan, BPD Kalimantan Timur, BPD Nusa Tenggara Barat, BPD Riau Kepri,
BPD Sulawesi Selatan dan Barat, BPD Sumatera Barat, BPD Sumatera Selatan dan
Bangka Belitung, BPD Sumatera Utara, dan BPD Yogyakarta.
Pendirian UUS merupakan langkah awal untuk membentuk BUS. BPD yang
telah membentuk BUS dari unit usaha syariahnya adalah Bank Jawa Barat dan
Banten (BJB). BJB memutuskan untuk menjadikan unit usaha syariahnya menjadi
BUS pada tahun 2010. Oleh karena itu, Bank Jabar Banten Syariah (BJB Syariah)
berdiri pada tanggal 15 Januari 2010. UUS BJB sendiri sudah beroperasi selama 10
tahun semenjak tahun 2000.
3
Perumusan Masalah
Pendirian UUS diharapkan mampu menjadi rintisan awal bagi sektor
perbankan syariah di Indonesia. Setiap UUS diharuskan untuk mampu menjadi
BUS secara mandiri sehingga tidak terus menginduk kepada perbankan
konvensional. Berdasarkan PBI no. 11/10/PBI/2009 pasal 40, setiap Bank Umum
Konvensional (BUK) yang memiliki UUS wajib membentuk UUS menjadi BUS
apabila nilai aset UUS telah mencapai 50% dari total aset BUK induknya. Selain
itu, pemisahan UUS wajib dilakukan selambat-lambatnya 15 tahun sejak
berlakunya UU no. 21 tahun 2008. Artinya, BUK harus memisahkan unit usaha
syariahnya menjadi BUS paling lambat tahun 2023.
Untuk memisahkan UUS menjadi BUS membutuhkan modal yang cukup
besar. Berdasarkan PBI no. 11/10/PBI/2009, pembentukan UUS menjadi BUS
membutuhkan modal inti minimal 500 miliar rupiah dan dalam 10 tahun harus
mencapai modal inti 1 triliun rupiah. Tabel 1 menjelaskan modal inti masingmasing BPD yang memiliki usaha syariah pada tahun 2013. Dapat dilihat pada
Tabel 1 bahwa beberapa BPD masih memiliki modal di bawah 1 triliun rupiah, yaitu
BPD Kalimantan Barat, BPD Kalimantan Selatan, BPD Nusa Tenggara Barat, BPD
Yogyakarta, dan Bank Jambi. BPD yang memiliki modal inti di atas 5 triliun rupiah
hanya Bank Jawa Barat dan Banten.
Tabel 1 Jumlah Modal Inti BPD yang Memiliki Usaha Syariah di Indonesia Tahun
2013 (dalam juta rupiah)
Nama BPD
Modal Inti
1 490 312
Bank Aceh
2 507 946
Bank DKI
5 425 010
Bank Jawa Barat dan Banten
2 314 053
Bank Jawa Tengah
4 792 566
BPD Jawa Timur
971 321
BPD Kalimantan Barat
962 250
BPD Kalimantan Selatan
3 544 081
BPD Kalimantan Timur
584 529
BPD Nusa Tenggara Barat
1 869 721
BPD Riau Kepri
1 217 276
BPD Sulawesi Selatan dan Barat
1 215 898
BPD Sumatera Barat
1 535 399
BPD Sumatera Selatan dan Bangka Belitung
1 486 762
BPD Sumatera Utara
627 020
BPD Yogyakarta
664 329
Bank Jambi
Sumber: Bank Indonesia (2013)
Pada tahun 2014, OJK mengubah ketentuan persyaratan modal inti menjadi
minimal 100 miliar rupiah bagi BUK yang ingin memisahkan unit usaha syariahnya
menjadi BUS dengan syarat rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) tidak kurang dari 8%. Kemudahan ini perlu disertai dengan kinerja yang
baik agar BUS yang didirikan tidak lantas tutup di tengah jalan. Evaluasi kinerja
dapat dilakukan salah satunya dengan mengukur tingkat efisiensi dan economies of
4
scale masing-masing UUS dari setiap BPD sehingga dapat dilihat apakah masingmasing UUS tersebut mampu menjadi BUS.
Tingkat efisiensi merupakan salah satu indikator yang sering digunakan untuk
mengukur kinerja perbankan, termasuk perbankan syariah. BPD yang dituntut
untuk dapat menjadi agent of development bagi daerah tentunya harus memiliki
kinerja yang baik, salah satunya dari sisi efisiensi. Begitupula usaha syariah yang
dilakukan oleh BPD seharusnya dapat dilaksanakan secara efisien.
Secara ideologi, ekonomi syariah berusaha menerapkan prinsip-prinsip
syariah dalam setiap aktivitas mu’amalah (ekonomi). Islam mengajarkan
pemeluknya untuk tidak mubadzir atau berlebih-lebihan. Ini berarti efisiensi
seharusnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam menjalan usaha-usaha
yang berlandaskan syariah.
Selain tingkat efisiensi, indikator untuk mengukur kinerja perbankan juga
dapat dilihat dari economies of scale. Economies of scale dapat menggambarkan
kenaikan biaya relatif yang terjadi akibat dari kenaikan seluruh output secara
proporsional. Artinya, biaya per unit output yang dihasilkan akan semakin rendah
sehingga perbankan lebih efisien dan dapat menghasilkan keuntungan yang lebih
besar.
Oleh karena itu, permasalahan-permasalahan mendasar yang dapat
dirumuskan dalam penelitian ini, antara lain:
1. Apakah kinerja usaha syariah pada setiap BPD di Indonesia sudah baik?
2. Apakah terdapat perbedaan signifikan antara tingkat efisiensi sektor usaha
syariah BPD dengan sektor usaha konvensionalnya?
3. Apakah sektor usaha syariah BPD di Indonesia mampu mencapai tingkat
biaya yang lebih efisien ketika outputnya meningkat?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah sebelumnya, dapat
dirumuskan tujuan penelitian ini antara lain:
1. Mendeskripsikan perkembangan kinerja usaha syariah setiap BPD di
Indonesia.
2. Menganalisa dan membandingkan tingkat efisiensi usaha syariah dengan
usaha konvensional BPD di Indonesia.
3. Mengidentifikasi apakah sektor usaha syariah setiap BPD di Indonesia
mampu mencapai economies of scale.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai pertimbangan bagi para praktisi BPD,
terutama unit syariahnya, agar dapat mengevaluasi kembali kinerja usahanya.
Usaha yang dijalankan dengan efisien tentu berdampak pada pengoptimalan sumber
daya yang dimiliki sehingga menghasilkan output yang juga optimal. Dengan
begitu, tujuan BPD sebagai agen pembangunan daerah dapat terlaksana dengan
baik.
5
Penelitian ini juga dapat digunakan oleh Bank Indonesia maupun pemerintah,
khususnya Pemerintah Daerah, untuk memberikan regulasi yang sesuai bagi
masing-masing BPD agar terjalin sinergi yang baik antara legislator dan eksekutor.
Terakhir bagi kalangan akademisi, penelitian ini dapat menjadi rujukan untuk
penelitian selanjutnya terkait efisiensi, khususnya mengenai perbankan syariah.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Efisiensi
Efisiensi merupakan salah satu parameter untuk mengukur kinerja suatu
perusahaan. Efisiensi, khususnya efisiensi teknis, adalah kemampuan perusahaan
meminimalkan penggunaan input dalam suatu produksi untuk mendapatkan
sejumlah output tertentu atau kemampuan perusahaan memaksimumkan output
yang didapat dengan sejumlah input tertentu (Kumbhakar dan Lovell 2000). Zainal
dan Ismail (2010) menyebutkan bahwa efisiensi adalah sebuah proses terbaik suatu
perusahaan agar dapat menggunakan input untuk memproduksi output yang
diinginkan. Dalam dunia perbankan, efisiensi menjadi parameter kinerja yang
cukup populer karena dapat menjadi jawaban atas kesulitan-kesulitan dalam
menghitung ukuran kinerja (Hadad et al. 2003).
Ascarya dan Yumanita (2008) menyebutkan bahwa konsep efisiensi berakar
dari konsep mikroekonomi, yaitu teori produsen dan konsumen. Teori konsumen
mencoba untuk memaksimumkan kepuasan dari sisi konsumen sedangkan teori
produsen berusaha untuk memaksimumkan profit atau meminimumkan biaya
produksi.
Farrell (1957) menyebutkan bahwa keseluruhan efisiensi dari suatu
perusahaan terdiri dari dua jenis, yakni efisiensi teknis dan efisiensi harga. Ascarya
et al. (2009) juga menyebutkan bahwa efisiensi terdiri dari dua komponen, yang
disebut:
a. Efisiensi teknis (technical efficiency): kemampuan suatu perusahaan untuk
memaksimumkan output dari sejumlah input tertentu.
b. Efisiensi alokatif (allocative efficiency): kemampuan suatu perusahaan untuk
menggunakan sejumlah input secara proporsional berdasarkan harga input
tersebut.
Jika kedua komponen efisiensi tersebut dikombinasikan, dapat dihasilkan efisiensi
ekonomi (economic efficiency).
Konsep Efisiensi dalam Islam
Islam mengajarkan pemeluknya untuk tidak berperilaku berlebih-lebihan
(israf) dan boros (tabdzir) dalam penggunaan sumber daya, termasuk dalam
aktivitas ekonomi. Dalam Islam, salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
inefisiensi adalah perilaku israf dan tabzir. Khan (2003) mendefinisikan israf
sebagai perbuatan hilang kontrol diri, tidak seimbang, berlebihan, dan sia-sia.
Perilaku israf juga mencakup pengeluaran barang-barang yang halal, tetapi
berlebihan dari sisi kuantitas dan kualitas yang dibutuhkan. Allah
6
subhanahuwata’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-An’am [6] ayat 141 yang
artinya:
“…dan janganlah berlebihan-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Tabzir dapat didefinisikan sebagai perilaku boros. Istilah tabzir digunakan
secara khusus dalam aktivitas ekonomi sedangkan istilah israf memiliki cakupan
makna yang lebih luas tidak hanya terbatas dalam aktivitas ekonomi. Termasuk
diantara perilaku tabdzir adalah tidak memanfaatkan sumber daya secara optimal.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’ [17] ayat 26-27, Allah subhanahuwata’ala
berfirman:
“…dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu
sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Fauzi (2014) berpendapat bahwa aplikasi dari ayat tersebut pada perusahaan,
dalam hal ini lembaga keuangan, dapat dilihat dari tingkat efisiensi perusahaan
tersebut. Tingkat efisiensi suatu perusahaan dapat menggambarkan kinerja
perusahaan tersebut dalam menggunakan input yang ada untuk menghasilkan
output yang maksimum tanpa adanya penghamburan sumber daya yang dimiliki.
Konsep efisiensi dalam Islam tidak terbatas pada hubungan antara input dan
output semata. Islam mengajarkan agar dalam setiap aktivitas ekonomi (muamalah)
hendaknya tidak bertentangan dengan syariat yang telah diberikan melalui AlQur’an dan Hadist. Oleh karena itu, konsep efisiensi dalam Islam adalah
kemampuan suatu perusahaan untuk memperoleh output yang maksimal dari
sejumlah input tertentu dengan menggunakan cara-cara yang halal dan toyyib (baik)
sesuai firman Allah subhanahuwata’ala dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 168:
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang
terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan…”
Chapra (1992) menyebutkan bahwa inefisiensi alokatif dalam sumber daya
keuangan yang terjadi pada sistem perbankan konvensional merupakan sebuah
konsekuensi yang logis. Kredit yang diberikan lebih banyak kepada sektor swasta
dengan basis jaminan, sumber yang stabil untuk melayani utang, atau sektor
pemerintah yang dianggap minim risiko. Hal ini menyebabkan proposal keuangan
tidak dievaluasi dengan baik. Kredit menjadi tersedia untuk keperluan apapun
sehingga berkontribusi dalam kelebihan ekspansi sektor moneter serta
menyebabkan DPK tidak produktif dan sia-sia. Hal ini merupakan salah satu bentuk
perilaku berlebih-lebihan, terlebih menggunakan instrumen bunga (riba) yang jelas
dilarang oleh syariat.
Pengukuran Tingkat Efisiensi
Pengukuran tingkat efisiensi dapat menggunakan metode non-parametrik
maupun metode parametrik. Metode non-parametrik relatif lebih mudah dilakukan
karena tidak perlu merumuskan bentuk fungsi secara spesifik. Namun, metode
parametrik mampu mengestimasi random error sehingga dapat mengurangi
kesalahan dalam pengukuran tingkat efisiensi.
Salah satu metode non-parametrik yang cukup sering digunakan adalah
metode Data Envelopment Analysis (DEA). Metode parametrik, menurut Berger
dan Mester (1997), terbagi dalam metode Stochastic Frontier Approach (SFA),
Thick Frontier Approach (TFA), dan Distribution Free Approach (DFA).
7
Selain itu untuk mengukur tingkat efisiensi, dapat digunakan beberapa
pendekatan. Berger dan Mester (1997) membagi pendekatan tersebut menjadi tiga,
yaitu efisiensi biaya (cost efficiency), efisiensi laba standar (standard profit
efficiency), dan efisiensi laba alternatif (alternative profit efficiency).
Efisiensi biaya mengukur biaya terendah yang dibutuhkan suatu perusahaan
jika perusahaan tersebut beroperasi sama efisiennya dengan praktik perusahaan
terbaik terhadap biaya aktual yang dikeluarkan perusahaan tersebut. Artinya, suatu
bank dengan tingkat efisiensi biaya 0.70 memiliki efisiensi biaya 70% atau
mengeluarkan 30% biaya lebih besar dibandingkan bank yang paling efisien jika
dihadapkan pada kondisi yang sama.
Efisiensi laba standar dan efisiensi laba alternatif sama-sama mengukur
efisiensi melalui pendekatan laba. Efisiensi diukur dari laba aktual yang diperoleh
suatu perusahaan terhadap laba maksimum yang dapat dicapai perusahaan tersebut
bila beroperasi sama efisiennya dengan praktik perusahaan terbaik. Artinya, suatu
bank dengan tingkat efisiensi laba 0.70 berarti hanya mampu mendapat laba 70%
dari laba yang mampu dicapai bank yang paling efisien jika dihadapkan pada
kondisi yang sama. Perbedaan efisiensi laba standar dan laba alternatif terletak pada
output. Efisiensi laba standar mengukur laba berdasarkan harga output, sedangkan
efisiensi laba alternatif mengukur laba berdasarkan tingkat output.
Economies of Scale
Christensen dan Greene (1976) menyebutkan bahwa economies of scale
seringkali didefinisikan sebagai peningkatan relatif suatu output yang dihasilkan
dari penambahan secara proporsional dari seluruh input (increasing return to scale).
Dari sisi biaya, economies of scale menunjukkan kenaikan biaya relatif akibat dari
kenaikan seluruh output secara proporsional.
Suatu bank mencapai economies of scale ketika bank tersebut mampu
menghasilkan output yang lebih banyak dengan proporsi kenaikan biaya yang
relatif lebih kecil. Sebaliknya, suatu bank tidak mencapai economies of scale, atau
disebut diseconomies of scale, ketika proporsi kenaikan biayanya relatif lebih besar
untuk menghasilkan output yang lebih banyak. Artinya, bank yang mampu
mencapai economies of scale lebih efisien.
Penelitian Terdahulu
Berbagai penelitian mengenai efisiensi perbankan cukup banyak dilakukan
baik di dalam maupun di luar Indonesia dengan menggunakan metode parametrik
ataupun non-parametrik. Namun, penelitian yang menggunakan metode parametrik
untuk mengukur tingkat efisiensi perbankan syariah dan komparasinya dengan
perbankan konvensional masih cukup terbatas. Umumnya studi komparasi ini
masih menggunakan metode non-parametrik.
Pengukuran efisiensi menggunakan pendekatan parametrik sudah mulai
dilakukan sejak bertahun-tahun yang lalu. Salah satu penelitian yang cukup
berpengaruh dalam pengukuran efisiensi adalah penelitian Aigner, Lovell, dan
Schmidt (1977). Penelitian tersebut memperkenalkan fungsi stochastic frontier
8
dengan merumuskan struktur error pada model deterministic frontier yang
sebelumnya telah ditulis oleh Schmidt pada tahun 1976 sehingga didapatkan fungsi
sebagai berikut:
di mana:
�
=
�
=
�;
�
+
+
�
�
(2.1)
(2.2)
Struktur error ini dapat menggambarkan inefisiensi yang terjadi dalam sebuah
proses produksi. Nilai � merepresentasikan gangguan simetris sedangkan �
merupakan random error.
Penelitian lainnya yang memiliki pengaruh cukup besar dalam mengukur
efisiensi dengan pendekatan parametrik adalah penelitian Berger dan Mester
(1997). Penelitian tersebut menggunakan data hampir 6 000 bank komersial di
Amerika Serikat yang terus beroperasi selama periode 1990-1995. Dalam
penelitiannya, Berger dan Mester mengemukakan tiga konsep pendekatan dalam
mengukur efisiensi, yaitu pendekatan efisiensi biaya (cost efficiency), efisiensi laba
standar (standard profit efficiency), dan efisiensi laba alternatif (alternative profit
efficiency).
Penelitian terkait efisiensi perbankan syariah telah dilakukan antara lain oleh
Yudistira (2004), Hassan (2006), Mokhtar et al. (2006), Andryani (2008), Aliyar
(2010), Amirillah (2010), Abdalla dan Onour (2011), serta Rahman dan Rosman
(2013). Penelitian terkait komparasi tingkat efisiensi perbankan syariah dan
perbankan konvensional pernah dilakukan oleh Heralina (2005), Mediadianto
(2007), Ascarya dan Yumanita (2008), Bader et al. (2008), Ascarya et al. (2009),
Iqbal (2011), dan Puspitasari (2012). Penelitian yang secara khusus mengukur
tingkat efisiensi BPD di Indonesia sendiri pernah dilakukan oleh Abidin dan Endri
(2009) serta Wardani (2013) sedangkan penelitian yang secara khusus mengukur
efisiensi sektor usaha syariah BPD di Indonesia belum pernah dilakukan.
Heralina (2005) meneliti perbandingan efisiensi bank syariah dan bank
konvensional di Indonesia menggunakan metode DFA dan SFA. Penelitiannya
menggunakan fungsi biaya dengan bentuk translog yang direstriksi untuk
menghitung tingkat efisiensi perbankan syariah. Hasilnya kemudian dibandingkan
dengan tingkat efisiensi perbankan konvensional. Penelitian ini membuktikan
bahwa bentuk fungsi translog dapat memenuhi sifat-sifat fungsi biaya sehingga
dapat digunakan dalam mengukur tingkat efisiensi. Hasil penelitian ini juga
menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara efisiensi perbankan syariah
maupun konvensional. Selain itu, perbankan syariah di Indonesia secara rata-rata
dapat mencapai economies of scale.
Hasil penelitian Mediadianto (2007) menunjukkan bahwa bank syariah relatif
lebih efisien dibandingkan dengan bank konvensional, baik menggunakan
pendekatan aset maupun pendekatan produksi. Penelitiannya mengukur efisiensi
tiga bank syariah dan tiga bank konvensional yang memiliki aset setara dengan
menggunakan metode DEA. Penelitian ini juga melihat pengaruh karakteristik bank
terhadap tingkat efisiensi. Karakteristik yang signifikan memengaruhi tingkat
efisiensi adalah profitabilitas dan modal.
Penelitian efisiensi bank konvensional dan bank syariah di Indonesia
menggunakan metode DEA juga dilakukan oleh Ascarya dan Yumanita (2008).
9
Penelitian ini menggunakan jumlah bank, baik konvensional maupun syariah, yang
berbeda setiap tahunnya dalam kurun waktu 2003-2005. Tingkat efisiensi diukur
dua kali, yakni setiap tahun dan digabungkan (pooled) secara keseluruhan dalam
periode tiga tahun tersebut. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
perbankan syariah relatif lebih efisien secara keseluruhan dan teknis, tetapi relatif
kurang efisien dalam skala efisiensi. Selain itu, tenaga kerja menjadi prioritas utama
untuk dikembangkan agar dapat meningkatkan efisiensi perbankan, baik
konvensional maupun syariah.
Penelitian Bader et al. (2008) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
signifikan antara efisiensi perbankan syariah dengan efisiensi perbankan
konvensional. Penelitian ini menggunakan 3 pendekatan sekaligus, yaitu efisiensi
biaya, efisiensi penerimaan, dan efisiensi keuntungan. Bank syariah relatif lebih
efisien dalam pendekatan penerimaan dan keuntungan, sementara bank
konvensional relatif lebih efisien dalam pendekatan biaya.
Ascarya et al. (2009) juga melakukan penelitian menggunakan metode
parametrik, yakni SFA dan DFA. Sebanyak 52 bank konvensional dan 7 bank
syariah diteliti dalam periode 2002-2006 menggunakan bentuk translog dari fungsi
biaya. Hasil penelitian dengan metode DFA menunjukkan bank konvensional ratarata relatif lebih efisien dibanding bank syariah. Namun, hasil pengukuran dengan
metode SFA menunjukkan bahwa bank syariah mampu bersaing di tahun 2003
dengan tingkat efisiensi 0.840 yang lebih besar dibanding bank konvensional
dengan tingkat efisiensi hanya 0.760. Setelah itu, baik bank syariah maupun bank
konvensional sama-sama mencapai efisiensi optimal 1.
Penelitian lain mengukur tingkat efisiensi tiga BUS dan sepuluh BUK selama
periode 2006-2009. Hasil penelitian Iqbal (2011) tersebut menunjukkan bahwa
BUK lebih efisien dibandingkan BUS, tetapi tidak berbeda signifikan berdasarkan
hasil uji beda.
Puspitasari (2012) juga meneliti tingkat efisiensi BUS dan BUK. Sebanyak 4
BUS dan 8 BUK diukur menggunakan metode DEA. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa BUS efisien di tahun 2006-2008 dan 2011, sedangkan BUK
efisien di tahun 2006, 2006, 2010, dan 2011. BUK lebih unggul pada indikator
Capital Adequacy Ratio (CAR) dan Return on Assets (ROA), sedangkan BUS lebih
unggul pada indikator Financing to Deposit Ratio (FDR) dan Beban Operasional
terhadap Pendapatan Operasional (BOPO).
Penelitian economies of scale seringkali disandingkan dengan penelitian
terkait tingkat efisiensi. Hal ini disebabkan adanya keterkaitan antara tingkat
efisiensi dengan economies of scale. Hasil penelitian Heralina (2005) menunjukkan
bahwa terdapat korelasi yang kuat antara economies of scale dengan tingkat
efisiensi perbankan. Peningkatan economies of scale akan meningkatkan tingkat
efisiensi.
Kerangka Pemikiran
Setiap BUK diharuskan mengubah UUS-nya menjadi BUS selambatlambatnya tahun 2023. BPD sebagai salah satu BUK tidak memiliki kecukupan
modal sehingga sulit untuk membentuk BUS secara mandiri. Kemudahan
persyaratan dari OJK di tahun 2014 berupa modal inti minimum hanya sebesar
10
Rp100 miliar perlu diimbangi dengan kinerja yang baik sehingga mampu menjamin
keberlangsungan usaha setiap BUS. Evaluasi kinerja dapat dilakukan dengan
mengukur tingkat efisiensi dan economies of scale dari masing-masing sektor usaha
syariah BPD dan dibandingkan terhadap sektor usaha konvensionalnya.
BPD wajib mengubah UUS menjadi BUS
Modal inti BPD masih relatif kecil
Evaluasi Kinerja Sektor Usaha Syariah BPD
Tingkat
Efisiensi BPD
Konvensional
Tingkat
Efisiensi
BPD Syariah
Economies of
Scale BPD
Syariah
Economies of
Scale BPD
Konvensional
Kesimpulan
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data panel berupa data cross section dari setiap
BPD di Indonesia dan data time series mulai dari periode tahun 2008 sampai dengan
tahun 2013. Data yang diperoleh merupakan data sekunder berupa Laporan
Keuangan Publikasi setiap BPD dari Bank Indonesia dan masing-masing BPD, baik
usaha konvensional maupun syariah.
11
Penelitian ini tidak mengikutsertakan dua UUS BPD, yaitu UUS BPD Jambi
dan UUS BPD Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan BPD Jambi baru memulai usaha
syariah pada tahun 2012 sedangkan BPD Jawa Tengah pada triwulan ke-2 tahun
2008. BPD lainnya telah memulai usaha syariah sebelum tahun 2008 sehingga
tahun tersebut dapat dianggap sudah stabil dalam menjalankan bisnisnya. Oleh
karena itu, jumlah total unit cross section yang digunakan dalam penelitian ini
sebanyak 40 unit yang terdiri dari 26 unit BPD konvensional dan 14 unit sektor
usaha syariah BPD.
Model Penelitian
Penelitian ini menghitung tingkat efisiensi menggunakan pendekatan fungsi
biaya yang dikemukakan oleh Berger dan Mester (1997). Fungsi biaya tersebut
secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut:
=
, , , ,
�, �
di mana:
= variabel biaya
= vektor harga variabel input
= vektor jumlah variabel output
= jumlah fixed netput (opsional)
= variabel eksogen atau variabel lingkungan (opsional)
= faktor inefisiensi yang dapat meningkatkan biaya
�
= random error
�
(3.1)
Fungsi Transcendental Logarithmic (Translog)
Spesifikasi fungsi biaya yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
bentuk fungsi transcendental logarithmic (translog). Penggunaan fungsi translog
memungkinkan analisis yang lebih mendalam, misalnya elastisitas subtitusi yang
merupakan penurunan kedua dari fungsi produksi, biaya, atau utilitas (Greene
2012). Fungsi translog juga masuk akal untuk mendapatkan hubungan yang
sebenarnya antara biaya dan output (Schmidt 2005). Selain itu, bentuk fungsi
translog memungkinkan pengukuran economies of scale dari fungsi biaya tersebut.
Biaya yang dikeluarkan oleh perbankan dipengaruhi oleh faktor input dan
output. Faktor input yang paling besar memengaruhi adalah dana pihak ketiga
(DPK) dan tenaga kerja sebagai modal utama bagi perbankan untuk menjalankan
usahanya. Untuk mendapatkan tingkat harga dana (price of funds) dilakukan
pendekatan dengan membagi beban bagi hasil atau beban bunga dengan total DPK
( ). Untuk mendapatkan tingkat harga tenaga kerja (price of labour) dilakukan
pendekatan dengan membagi beban personalia terhadap total aktiva ( ).
Faktor output juga dianggap dapat memengaruhi biaya. Semakin banyak
output yang dihasilkan, semakin banyak pula biaya yang perlu dikeluarkan. Output
yang dihasilkan perbankan berupa jumlah pinjaman yang dikeluarkan ( � ) dan
jumlah sekuritas ( ). Pada usaha syariah, jumlah pinjaman yang dikeluarkan
berupa piutang murabahah, salam, istishna, maupun pembiayaan mudharabah dan
musyarakah. Pada usaha konvensional, jumlah pinjaman yang dikeluarkan berupa
12
kredit yang diberikan kepada nasabah. Jumlah sekuritas merupakan penggabungan
dari penempatan pada BI maupun bank lain, berupa giro atau surat-surat berharga
lainnya. Penelitian ini tidak menggunakan variabel fixed netput dan variabel
lingkungan karena kurangnya ketersediaan data pada laporan keuangan UUS.
Fungsi biaya dengan bentuk translog yang digunakan dalam penelitian ini
dapat dijabarkan sebagai berikut:
ln(
�
)=
di mana:
ln( � )
ln( � )
ln( � )
ln( � � )
ln( � )
�
�
½
½
+ ln( � ) + ln( � ) + ln( � � ) + ln( � ) +
ln( � )2 + ½ ln( � )2 + ½ ln( � � )2 +
ln( � )2 +
ln( � ln( � ) +
ln( � )ln( � � ) +
ln( � )ln( � )
+
ln( � )ln( � � )
+
ln( � )ln( � ) +
ln( � � )ln( � ) + � + �
(3.2)
= nilai logaritma natural dari total cost
= nilai logaritma natural dari price of funds
= nilai logaritma natural dari price of labour
= nilai logaritma natural dari jumlah pinjaman yang disalurkan
= nilai logaritma natural dari jumlah sekuritas
= faktor inefisiensi
= random error
Metode Analisis dan Pengolahan Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif dan analisis data panel statis. Analisis deskriptif digunakan untuk
menjelaskan perkembangan kinerja usaha syariah BPD. Kombinasi data cross
section dan time series pada data panel menyebabkan jumlah observasi yang lebih
besar sehingga dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas
antarvariabel, serta meningkatkan derajat kebebasan (Firdaus 2011). Baltagi (2005)
menyebutkan bahwa data panel memiliki beberapa keuntungan, antara lain:
1. Mengontrol heterogenitas individu. Penggunaan data panel mampu
mengontrol individu, perusahaan, keadaan, ataupun negara sehingga dapat
dianggap heterogen. Data cross section maupun time series tidak mampu
menangani risiko heterogenitas ini sehingga dapat menyebabkan hasil yang
bias.
2. Data panel memberikan data yang lebih informatif, variabilitas yang lebih
banyak, kolinearitas antarvariabel yang lebih sedikit, derajat kebebasan yang
lebih besar, dan lebih efisien.
3. Data panel lebih baik dalam mempelajari dinamika perubahan dari suatu
fenomena. Penggunaan data panel lebih baik karena meneliti secara berulang
kali suatu unit cross section dalam sebuah pengamatan (Gujarati 2004).
4. Data panel dapat mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak tampak
pada data cross section atau time series murni.
5. Data panel memungkinkan untuk membuat dan menguji lebih banyak
perilaku yang kompleks dalam model dibandingkan data cross section atau
time series murni.
13
6. Data panel mikro yang dikumpulkan dari individu, rumah tangga, atau
perusahaan relatif lebih akurat untuk diukur dibandingkan variabel yang
diukur pada level makro.
7. Di sisi lain, data panel makro dapat memiliki serangkaian waktu yang lebih
lama.
Perangkat lunak yang digunakan untuk mengolah data dalam penelitian ini
adalah Eviews 6, Microsoft Excel 2013, dan SPSS 16. Eviews 6 digunakan untuk
mengestimasi model terbaik yang akan digunakan, Microsoft Excel 2013 untuk
mengelompokkan dan menghitung nilai efisiensi dan economies of scale masingmasing BPD, dan SPSS 16 untuk menghitung uji beda antara tingkat efisiensi sektor
usaha syariah dengan tingkat efisiensi sektor usaha konvensional.
Data panel memiliki 2 bentuk pendekatan yang umum diaplikasikan, yaitu
Fixed Effects Model (FEM) dan Random Effects Model (REM). Keduanya
dibedakan berdasarkan asumsi ada atau tidaknya korelasi antara komponen error
dengan variabel bebas (Firdaus 2011).
Fixed Effects Model (FEM)
Pendekatan OLS mengasumsikan bahwa semua koefisien, baik intersep
maupun slope, dari persamaan regresi adalah konstan baik antarindividu maupun
antarwaktu. Asumsi ini jelas sangat terbatas. Menurut Gujarati (2004), pendekatan
tersebut, meskipun sederhana, dapat merusak gambaran yang sebenarnya dari
hubungan antara variabel dependen dan independen terhadap setiap individu.
Untuk mengatasi masalah ini, digunakan Model Efek Tetap atau Fixed Effects
Model (FEM). FEM menggunakan variabel-variabel dummy untuk memungkinkan
perubahan-perubahan intersep yang bervariasi antarindividu. Namun, koefisien
slope tetap diasumsikan konstan terhadap setiap individu. Hal ini yang
menyebabkan model disebut fixed atau tetap.
�
= ∑
� �
+
�
+
�
(3.3)
di mana:
= variabel dependen
�
= variabel independen
�
= intersep model yang berubah-ubah antarunit cross section
= slope
= variabel dummy
i
= individu ke-i; dan t = periode waktu ke-t
= error
Persamaan di atas telah ditambahkan N-1 variabel dummy ke dalam model
sehingga besarnya derajat kebebasan berkurang. FEM juga seringkali disebut
sebagai model Least-Squares Dummy Variable (LSDV) karena penggunaan
variabel dummy.
Random Effects Model (REM)
Penggunaan variabel dummy pada FEM dapat menyebabkan penurunan
derajat kebebasan atau degree of freedom. Hal tersebut pada akhirnya justru dapat
mengurangi efisiensi dari parameter yang akan diestimasi. Oleh karena itu,
14
digunakan Model Efek Acak atau Random Effects Model (REM) untuk mengatasi
masalah tersebut.
�
=
�
=
+
+
�
�
(3.4)
�
(3.5)
REM memasukkan perbedaan antarindividu maupun antarwaktu ke dalam
error ( � ) sehingga nilai intersep dan slope tetap. Perubahan variasi dari intersep
maupun slope ditangkap melalui error.
di mana:
,
� ~
,
� ~
~
,
�
2
2
2
�
+
�
+
= error component cross section
= error component time series
= error component combinations
Model ini mengasumsikan error secara individual tidak saling berkorelasi,
begitu juga error kombinasinya. Penggunaan REM dapat menghemat derajat
kebebasan sehingga memungkinkan untuk mendapat parameter hasil estimasi yang
lebih efisien dibanding FEM. Semakin efisien maka model akan semakin baik
(Firdaus 2011).
Uji Hausman
Uji Hausman adalah pengujian statistik yang digunakan untuk memilih model
terbaik antara FEM atau REM. Penggunaan FEM mengandung unsur trade-off yaitu
hilangnya derajat kebebasan dengan memasukkan variabel dummy. Namun,
penggunaan REM juga harus memerhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari
setiap komponen error yang dihasilkan (Holis 2006). Uji Hausman dilakukan
dengan hipotesis sebagai berikut:
H0: Menggunakan Random Effects Model (REM)
H1: Menggunakan Fixed Effects Model (FEM)
Penolakan hipotesis nol dilakukan dengan mencari nilai Statistik Hausman
dan membandingkannya dengan nilai Chi-square. Statistik Hausman dirumuskan
sebagai berikut:
H=(
� �
–
� )′(
�
–
-1
� �)
(
� �
di mana:
adalah matriks kovarians untuk parameter
adalah degree of freedom
–
�)
~� ( )
(3.6)
Apabila hasil pengujian nilai H lebih besar dari � tabel, maka cukup bukti
untuk penolakan H0 sehingga model yang digunakan adalah FEM. Begitu pula
sebaliknya, jika tidak cukup bukti untuk menolak H0 maka model yang digunakan
adalah REM.
15
Distribution Free Approach (DFA)
Berger dan Mester (1997) menyebutkan bahwa jika data panel tersedia,
metode DFA dapat digunakan. Metode DFA merupakan solusi dari kritik yang
dikemukakan oleh Berger dan Mester (1997) terhadap metode SFA karena seolahseolah menggunakan asumsi distribusi secara semena-mena. Metode ini
mengasumsikan bahwa terdapat efisiensi inti atau efisiensi rata-rata untuk masingmasing perusahaan dari waktu ke waktu. Persamaan (3.1) dapat dituliskan kembali
dengan memisahkan error term sebagai berikut:
ln
�
≡
�
,
,
�
�
,
+
�
�
+
(3.7)
�
Residual dari setiap regresi terdiri dari inefisiensi, � , dan komponen random
error, � . Namun, komponen random error diasumsikan nol ketika nilai residual
dirata-ratakan terhadap periode yang akan diamati sehingga di dapat nilai ̂� :
̂� =
∑
�
+
(3.8)
�
Nilai ̂ � menjadi patokan dalam perhitungan efisiensi biaya seperti dirumuskan oleh
Berger dan Mester (1997) dalam persamaan berikut:
�
=
̂
�
̂�
{exp[ ̂(
=
{exp[ ̂
�
,
�,
�
,
�
,
�, �,
�
)] × exp[ ( ̂ �
�
�
)]}
] × exp[ ( ̂ �� )]}
=
̂�
�
̂ ��
(3.9)
Tingkat efisiensi yang didapat
, ] yang
� akan berkisar antara
menunjukkan seberapa efisien bank � terhadap bank-bank lain yang diamati.
Overall Economies of Scale (SCE)
Perhitungan economies of scale (SCE) dalam penelitian ini mengikuti
perhitungan yang dikemukakan oleh Ray (1982). Economies of scale merupakan
turunan dari rumus fungsi biaya translog pada persamaan (3.2) terhadap output
yang dihasilkan (
�
sehingga didapatkan perhitungan sebagai berikut:
= [
+
ln
ln
+
� ln
= [ ∑�
� ln
+
ln
ln
+
�
+
ln
ln
ln
�
ln
+
−
]
+
ln
;� = ,
ln
]−
(3.10)
+
+
(3.11)
Nilai SCE > 1 menunjukkan bahwa suatu bank mencapai economies of scale
sedangkan nilai SCE < 1 menunjukkan bahwa suatu bank tidak mencapai
economies of scale atau disebut diseconomies of scale. Economies of scale
menunjukkan bahwa suatu bank dapat meningkatkan output dengan proporsi
kenaikan biaya yang relatif lebih rendah.
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Kinerja Usaha Syariah BPD
Perkembangan kinerja usaha syariah setiap BPD dapat dilihat dari beberapa
indikator seperti total biaya, total laba tahun berjalan, total DPK, total aset, jumlah
pinjaman yang disalurkan, dan rasio beban operasional terhadap pendapatan
operasional (BOPO). Setiap usaha syariah BPD dapat dilihat perkembangannya
berdasarkan indikator-indikator tersebut selama periode 2008 sampai dengan 2013
dan dibandingkan dengan rata-rata BPD konvensional.
Perkembangan Total Biaya
Total biaya merupakan akumulasi dari biaya atau beban operasional maupun
non-operasion