Kajian sumberdaya lamun untuk pengembangan ekowisata di desa teluk bakau, Kepulauan Riau

(1)

SALOMO ANDERSON RICKY SANTO SITORUS

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

Salomo Anderson R. S. Sitorus. C24062316. Kajian Sumberdaya Lamun untuk Pengembangan Ekowisata di Desa Teluk Bakau, Kepulauan Riau. Dibawah bimbingan Ir. Agustinus M. Samosir, M. Phil dan Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M. Sc.

Padang lamun merupakan ekosistem di wilayah pesisir yang memiliki keanekaragaman-hayati yang tinggi dan penyumbang nutrisi yang sangat potensial bagi kesuburan perairan di sekitarnya. Selain itu, padang lamun mempunyai fungsi lain yaitu fungsi ekologis, fungsi sosial dan fungsi ekonomis. Antara ketiga fungsi tersebut salah satu fungsi sumberdaya lamun adalah menjadi obyek wisata. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan agar berkelanjutan perlu diperhatikan keseimbangan. Dalam hal ini, pengembangan ekowisata yang berbasiskan konservasi yang akan mempertimbangkan keseimbangan ekologis, kesesuaian kawasan dan daya dukung kawasan wisata; dengan mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dihadapi (Soemarwoto, 2004). Sehingga diperoleh strategi yang dapat diterapkan dalam pengelolaan wisata terhadap keberlanjutan sumberdaya.

Untuk mengetahui sebaran lamun dilakukan dengan metode UTSG yang merupakan gabungan antara “Line Intersecpt Transect”dan metode “Stop and Go” yang biasa digunakan untuk mengamati Terumbu Karang. Alat yang digunakan dalam survey ini antara lain: GPS (Geographic Position System), Kertas waterproof, buku identifikasi lamun, peta Pulau Bintan, rollmeter, transek kuadrat berskala 1x1 m, kamera digital dan alat dasar selam. Selanjut alat yang digunakan dalam pengukuran parameter fisika adalah tongkat beskala, plastik dan sekop. Untuk mengetahui nilai IKW parameter – parameter yang digunakan adalah tutupan lamun, kecerahan air, jenis ikan, jenis lamun, jenis substrat, kecepatan arus dan kedalaman lamun.

Hasil pengukuran lapangan pada perairan Desa Teluk Bakau di tumbuhi 10 jenis lamun yang tersebar di 5 lokasi. Jenis lamun yang ditemukan pada stasiun 1 adalah

Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata. Pada stasiun 2 ditemukan jenis lamun,

antara lain Thalassia hemprichii, Halodule pinifolia, Halophila minor, Enhalus


(3)

uninervis, Halophila sp, Halodule pinifolia dan Cymodocea rotundata. Sedangkan stasiun 5 ditemukan jenis Thalassia hemprichii, Halodule pinifolia, Cymodocea

serrulata, Thalassodendron ciliatum, Syringodium isotifolium dan Enhalus

acoroides. Untuk kesesuaian bagi ekowisata nilai IKW yang diteliti pada 5 lokasi

berbeda – beda; masing – masing sebesar 52,63% (stasiun 1), 47.37% (stasiun 2), 68.42% (stasiun 3), 66,67% (stasiun 4) dan 85,96% (stasiun 5). Secara keseluruhan perairan Teluk Bakau memiliki kategori wisata sesuai sehingga Desa Teluk Bakau dapat dikembangkan sebagai kawasan ekowisata padang lamun. Hasil perhitungan daya dukung kawasan dan daya dukung pemanfaatan diperoleh nilai daya dukung kawasan (DDK) sebesar 18507 orang dan nilai daya dukung pemanfaatan (DDP) sebesar 1851 orang/ hari. Selain potensi diatas ada beberapa kendala yang ditemukan adalah koordinasi antara pengelola kawasan dan berbagai pihak, sarana dan prasarana belum memadai, kesadaran masyarakat yang masih rendah dan kegiatan pengunjung yang tidak ramah lingkungan, serta limbah domestik.

Kata kunci : jenis lamun, Indeks Kesesuaian Wisata, Daya Dukung Kawasan dan SWOT (strength, weakness, oppurtunty, threat)


(4)

SALOMO ANDERSON R. S SITORUS C24062316

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(5)

Ekowisata di Desa Teluk Bakau, Kepulauan Riau Nama : Salomo Anderson Ricky Santo Sitorus

Nomor pokok : C24062316

Program studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui :

Komisi Pembimbing Komisi Pembimbing 2

Ir. Agustinus M. Samosir, M. Phil Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M. Sc NIP.19611211 198703 1003 NIP. 19630731 198803 1 002

Mengetahui :

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc NIP.19660728 199103 1 002


(6)

Kajian Sumberdaya Lamun untuk Pengembangan Ekowisata di Desa Teluk Bakau, Kepulauan Riau

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 10 Mei 2011

Salomo Anderson R. S. Sitorus C24062316


(7)

yang telah memberikan rahmat dan karunianya yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul Potensi Sumberdaya Lamun Sebagai Penunjang Ekowisata Di Pulau Bintan, Kepulauan Riau; disusun berdasarkan tujuan penelitian yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2010, dan merupakan salah satu syarat untuk melakukan penelitian pada Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Intitut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ir. Agustinus M. Samosir, M.phil selaku ketua komisi dosen pembimbing dan Ketua Komisi Pendidikan S1, dan Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M. Sc selaku pembimbing anggota serta seluruh pihak yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan dan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari usulan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, dikarenakan keterbatasan penulis. Namun demikian, penulis mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.

Bogor,11 Mei 2011

Salomo A. R. S Sitorus C24062316


(8)

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ir. Agustinus M. Samosir, M. Phil dan Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan nasehat serta, masukan kepada penulis selama penelitian sampai kepada penyusunan skripsi ini.

2. Keluarga tercinta; Ayahnda Panggabean Sitorus (Alm), Ibunda Linda Manurung, adikku Austin Efflin W. R Sitorus dan Emelia Elizhabet Sitorus yang telah memberikan doa, dukungan, semangat dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini.

3. P2O-LIPI Jakarata : Pak Hutomo, Pak Tri Edi, Pak Sam, dan Pak Happy yang membantu penulis dengan memberikan nasehat dan saran masukan untuk penelitian saya.

4. Kepala BAPPEDA Bintan, Camat Gunung KIjang dan Kepala Desa Teluk Bakau yang telah memberikan izin penelitian lamun di Teluk Bakau. Bang Dul dan Bang Zahid selaku Fasilitator lapangan yang telah banyak membantu penelitian penulis. Keluarga besar H. Sitorus dan H. Manurung yang telah memberikan fasilitas tempat tinggal selama penelitian penulis berlangsung. Para Staf Tata usaha MSP atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis. Presli Nainggolan, Dwicko Patrick Sukma Saragih, Parulian Sinaga, R. H. Restama Gustar, Ino Alda Sitorus, dan Daniel Januar Prakasa Haraditha Siahaan. Yang telah memberikan dukungan dan masukan, bantuan kepada penulis selama masa perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini.

5. Keluarga Besar MSP 42, 43, dan 44 atas dukungan dan kebersamaannya selama ini serta seluruh pihak yang membantu.

6. Civitas Cipayung, Khususnya GMKI yang telah memberikan dukungan Doa dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini


(9)

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 07 Agustus 1987 yang merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Ir. Panggabean Sitorus, MBA (Alm) dan Ibu Linda Manurung. Pendidikan formal penulis dimulai di SD Budi Mulia (1994 – 1999), SDN Pengadilan 5 Bogor (1999 – 2000), SLTP Negeri 2 Bogor (2000 – 2003), SMA Negeri 9 Bogor (2003 – 2006). Penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Setelah melewati tahap Tingkat Persiapan Bersama selama satu tahun, penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam mengikuti kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen (UKM PMK), Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) dan beberapa kegiatan mahasiswa lainnya.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana, penulis menyusun skripsi dengan judul “Kajian Sumberdaya Lamun untuk Pengembangan Ekowisata di Desa Teluk Bakau, Kepulauan Riau”.


(10)

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang ... 1

1.2. Perumusan masalah ... 2

1.3. Tujuan ... 3

1.4. Manfaat ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teluk Bakau ... 4

2.2. Padang Lamun ... 4

2.2.2. Faktor – faktor lingkungan ... 6

Kedalaman dan kecerahan ... 6

Padatan Tersuspensi Total ... 7

Arus ... 7

Nutrien ... 8

2.2.3. Kriteria baku kerusakan padang lamun ... 9

2.3. Ekowisata ... 9

Pengembangan kegiatan ekowisata yang berkelanjutan ... 11

III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penilitian ... 14

3.2. Alat dan Bahan ... 15

3.3. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ... 15

3.4. Metode Pengambilan Sampel... 16

3.4.1. Metode Pengukuran Lamun ... 16

3.4.2. Persentase Tutupan Lamun ... 17

3.4.3. Identifikasi Ikan ... 18

3.5. Metode Pengamatan Parameter Lingkungan ... 18

3.4.1. Kecerahan perairan ... 18

3.4.2. Jenis substrat ... 18

3.4.3. Kecepatan arus ... 18

3.4.1. Kedalaman ... 19

3.4.2. Studi pustaka ... 19

3.6. Analisis Data ... 19

3.6.1. Indeks Kesesuaian Wisata ... 19

3.6.2. Wisata bahari ... 19

3.6.1. Analisis Daya Dukung ... 20


(11)

4.2.1. Bentang Alam ... 26

4.2.2. Kualitas Air ... 28

4.3. Kesesuaian Perairan untuk ekowisata dan daya dukung kawasan ... 32

4.3.1. Indeks Kesesuaian Wisata ... 32

4.3.2. Daya Dukung ... 36

4.4. Kondisi Lingkungan Sosial ... 36

4.4.1. Karakterististik responden wisatawan ... 36

4.4.2. Persepsi responden wisatawan ... 41

4.4.3. Karakterististik masyarakat setempat ... 44

4.4.4. Persepsi responden wisatawan ... 46

4.5. Sarana dan prasarana Teluk Bakau ... 51

4.6. SWOT, Strategi Pengelolaan dan Zonanisasi ... 53

4.6.1. Penentuan kekuatan, kelemahan, ancaman dan pelu – ang kawasan perairan Teluk Bakau ... 53

4.6.2. Analisis dan penilaian faktor internal dan eksternal ... 57

4.6.3. Pembuatan matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan matriks External Factor Evaluation (EFE) ... 58

4.6.4. Pembuatan matriks SWOT... 60

4.6.5. Pembuatan table rangking alternatif pengelolaan ... 62

4.6.6. Opsi dan prioritas pengelolaan wisata lamun di Teluk Bakau ... 63

4.6.7. Rencana zonasi wisata ... 63

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 65

5.2. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66


(12)

Halaman

1. Komponen pengumpulan data ... 15

2. Matriks kesesuaian lahan untuk ekowisata bahari kategori wisata lamun ... 19

3. Potensi ekologis pengunjung (K) dan Luas Area Kegiatan21 4. Matriks SWOT ... 24

5. Penyebaran sumberdaya lamun di Teluk Bakau ... 25

6. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan ... 28

7. Persentase kesesuaian lahan untuk ekowisata lamun di perairan Teluk Bakau ... 33

8. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Sosial Ekonomi di Desa Teluk Bakau ... 51

9. Tingkat kepentingan faktor internal kawasan ekowisata lamun di Teluk Bakau ... 58

10. Tingkat kepentingan faktor eksternal kawasan ekowisata lamun di Teluk Bakau ... 58

11. Penilaian bobot faktor strategis internal kawasan ekowisata lamun di Teluk Bakau ... 59

12. Penilaian bobot faktor strategis eksternal kawasan ekowisata lamun di Teluk Bakau ... 59

13. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) kawasan ekowisata lamun di Teluk Bakau ... 59

14. Matriks eksternal Factor Evaluation (EFE) kawasan ekowisata lamun di Teluk Bakau ... 60

15. Matrik SWOT ... 61

16. Perangkaian alternatif strategi ... 62

17. Kegiatan wisata yang sudah ada ... 64


(13)

Halaman

1. Diagram alir penelitian... 3

2. Lokasi penelitian ... 14

3. Pengambilan titik sample ... 17

4. Karakteristik Teluk Bakau ... 27

5. Peta kesesuaian kawasan wisata ... 34

6. Komposisi jenis kelamin wisatwan ... 37

7. Komposisi usia wisatwan ... 37

8. Asal wisatawan ... 38

9. Komposisi Tingkat pendidikan ... 39

10. Jenis pekerjaan wisatawan ... 39

11. Tingkat pendapatan wisatawan perbulan ... 40

12. Biaya yang dikeluarkan wisatawan ... 41

13. Pengetahuan wisatawan terhadap sumberdaya lamun ... 41

14. Persepsi wisatawan ... 43

15. Komposisi jenis kelamin masyarakat ... 44

16. Komposisi usia masyarakat ... 44

17. `Tingkat pendidikan masyarakat ... 45

18. Jenis perkerjaan masyarakat... 45

19. Pendapatan per bulan masyarakat ... 46

20. Pengetahuan masyarakat sekitar terhadap sumberdaya lamun ... 47

21. Aspirasi dan persepsi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata lamun di perairan Teluk Bakau ... 48

22. Persepsi dan preferansi masyarak.at terhadap pengembangan ekowisata lamun di perairan Teluk Bakau ... 49

23. Dukungan masyarakat dalam pengembangan ekowisata lamun di Desa Teluk Bakau ... 51


(14)

Halaman

1. Data sampling ... 69

2. Sebaran spasial lamun ... 77

3. Baku mutu air laut untuk biota laut ... 78

4. Persen penutupan standar menurut McKenzie ... 79

5. Metode analisis ... 80

6. Contoh perhitungan Indeks Kesesuaian Wisata ... 81

7. Peta sebaran lamun berdasarkan persentase penutupan ... 84

8. Peta sebaran lamun berdasarkan kecerahan perairan ... 85

9. Peta sebaran lamun berdasarkan jenis ikan ... 86

10. Peta sebaran lamun berdasarkan jenis substrat ... 87

11. Peta sebaran lamun berdasarkan kecepatan arus (cm/s) ... 88

12. Peta sebaran lamun berdasarkan kedalaman (m) ... 89

13. Contoh perhitungan daya dukung ... 90

14. Kuisioner ... 91

15. Spesies ikan yang berasosiasi dengan lamun ... 99


(15)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lamun adalah tumbuhan akuatik berbunga (kelas Angiospermae) yang mampu beradaptasi dengan kehidupan di lingkungan laut. Tumbuhan lamun hidup di perairan pantai yang dangkal di daerah tropis dan subtropis. Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem bahari yang paling produktif, sehingga mampu mendukung potensi sumberdaya yang tinggi pula (Agardi, 2003).

Di seluruh dunia terdapat sekitar 50 jenis lamun, di mana 13 jenis ditemukan di Indonesia. 3 di antaranya yang dominan adalah Halophila spinulosa, Enhalus

acoroides dan Thalassia hemprichii. Padang lamun memiliki fungsi ekologis dan

nilai ekonomis yang sangat penting bagi manusia. Menurut Nybakken 1988 in pksplipb.or.id 2009, fungsi ekologis padang lamun adalah: (1) sumber utama produktivitas primer, (2) sumber makanan bagi organisme dalam bentuk detritus, (3) penstabil dasar perairan dengan sistem perakarannya yang dapat menangkap sediment (trapping sediment), (4) tempat berlindung bagi biota laut, (5) tempat perkembangbiakan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), serta sumber makanan (feeding ground) bagi biota-biota perairan laut, (6) pelindung pantai dengan cara meredam arus, (7) penghasil oksigen dan mereduksi CO2 di dasar perairan. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain sebagai produsen ikan dan tujuan wisata.

Wisata merupakan bentuk pemanfaatan sumberdaya alam untuk kepuasan manusia (Yulianda, 2007). Sedangkan menurut Ceballos-lascurain (1996) ekowisata adalah suatu perjalanan wisata alami yang belum terganggu dengan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Belakangan ini kondisi lamun dibanyak tempat di Indonesia terus mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal seperti aktivitas pengunjung, kegiatan pembangunan, pencemaran, gangguan musim dan lainnya yang dapat menurunkan fungsi dan mengganggu keseimbangan ekologis di lingkungan laut.

Adanya kegiatan wisata yang dapat merusak tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai ekowisata lamun. Harapannya dapat mengoptimalkan pemanfaatan supaya lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.


(16)

1.2. Perumusan Masalah

Beberapa permasalahan yang ada di padang lamun Teluk Bakau antara lain bagaimana supaya kegiatan wisatawan tidak merusak sumberdaya lamun, bagaimana menata kawasan wisata yang telah ditetapkan dan bagaimana mengendalikan pengembangan wisata agar tidak meminggirkan masyarakat yang berada dalam kawasan wisata serta apa sarana dan prasarana penunjang yang masih bisa dikembangkan dan bagaimana dampak reklamasi pantai untuk kepentingan industri, wisata, pertambakan dan pemukiman.

Untuk mendapatkan jawaban, ada beberapa hal yang perlu dikaji antara lain faktor ekologis apakah wisata yang ada sudah sesuai, berapa daya dukung kawasan terhadap pengunjung agar sumberdaya alam terpelihara, langkah – langkah pengelolaan agar kegiatan wisata lamun dapat berkelanjutan.


(17)

Gambar 1. Diagram alir penelitian

1.3 Tujuan

Tujuan dilakukan penelitian adalah untuk mengidentifikasi potensi sumberdaya lamun di Pulau Bintan dan menentukan strategi pengembangan sumberdaya lamun untuk kegiatan ekowisata.

1.4. Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi mengenai pembuatan zonasi wisata, membuat rencana strategi wisata dan rencana aksi pengelolaan.

Masyarakat dan pengunjung

Lingkungan hayati Instansi

pemerintah dan swasta

Potensi Sumberdaya

Lamun

Strategi Pengelolaan Wisata Terhadap

Keberlanjutan Sumberdaya Lamun

Analisis SWOT Kesesuaian

Wisata

Daya Dukung Lingkungan


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teluk Bakau

Pulau Bintan merupakan salah satu bagian gugus pulau yang berada di wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Teluk Bakau terletak pada wilayah pesisir pantai timur kabupaten Bintan, secara administratif merupakan bagian dari Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan. Desa ini memiliki panjang 112,12 km, dengan batas – batas wilayah sebagai berikut:

 Sebelah utara berbatasan Desa Malang Rapat

 Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Kawal

 Sebelah barat berbatasan dengan Desa Tuapana

 Sebelah timur berbatasan dengan Laut Cina Selatan

Pulau Bintan termasuk daerah yang beriklim tropis basah; curah hujan rata-rata ± 2.214 mm/tahun,berkisar antara 2.000-2.500 mm/th, dengan hari hujan ±110 hari. Curah hujan tertinggi pada bulan Desember (347 mm), terendah pada bulan Agustus (101 mm). Suhu rata-rata bulanan selama 5 (1996-2000) antara 22,5o C-26,2oC , suhu terendah rata-rata 23,9oC dan tertinggi rata-rata 31,8o. Cuaca di daratan Pulau Bintan cukup terik dan panas pada siang hari, namun di wilayah pantai cuaca cukup nyaman karena mendapat pengaruh dari angin laut yang dapat menyeimbangkan cuaca terik tersebut. Kelembapan udara berkisar antara 83%-89%.

2.2. Padang Lamun

2.2.1. Klasifikasi Lamun

Lamun adalah kelompok tumbuhan berbunga yang dapat beradaptasi dengan lingkungan laut. Lamun hidup di perairan laut yang dangkal, mempunyai tunas berdaun tegak, berbunga, berbuah dan menghasilkan biji (Romimohtarto dan Juwana, 2005). Komunitas lamun berada diantara batas terendah daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu di mana cahaya matahari masih dapat mencapai dasar laut (Sitania, 1998 in Wimbaningrum,2002). Lamun (seagrass) termasuk dalam subkelas Monocotyledoneae dalam kelompok tumbuhan berbunga


(19)

(Angiospermeae). Secara lengkap klasifikasi beberapa jenis lamun yang terdapat di perairan Indonesia (Azkab, 1999), sebbagai berikut:

Divisi : Anthophyta

Kelas : Angiospermeae

Subkelas : Monocotyledoneae Ordo : Helobiae

Famili: Hydrocharitaceae Genus : Enhalus

Spesies : Enhalus acoroides Genus : Halophila

Spesies : Halophila decipiens Halophila minor Halophila ovalis Halophila spinulosa Genus : Thalassia

Spesies : Thalassia hemprichii Famili: Potamogetonaceae

Genus : Cymodocea

Spesies : Cymodocea rotundata Cymodocea serrulata

Genus : Halodule

Spesies : Halodule pinifolia Halodule uninervis

Genus : Syringodium

Spesies : Syringodium isotifolium Genus : Thalassodendron

Lamun mempunyai beberapa sifat yang berasosiasi dengan lingkungan laut, yaitu mampu hidup di media air asin, mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, mempunyai system perakaran yang berkembang biak, mampu melakukan daur generative dalam keadaan terbenam dan mampu bersaing atau kompetisi dengan organism lain di bawah kondisi lingkungan yang kurang stabil (Argadi, 2003). Sebagian besar lamun mempunyai bentuk morfologi luar yang hampir sama.


(20)

Lamun mempunyai daun – daun panjang, tipis dan mirip pita yang mempunyai saluran – saluran air, serta bentuk pertumbuhan monopidal. Lamun tumbuh dari rhizome yang merambat. Bagian tubuh lamun dapat dibedakan ke dalam morfologi yang tampak seperti daun, bunga dan buah (Nyabakken, 1992).

Padang lamun memiliki 3 tipe vegetasi padang lamun, yaitu 1. Padang lamun vegetasi tunggal

2. Padang lamun yang berasosiasi dengan dua atau tiga spesies padang lamun, tipe seperti ini sering dijumpai dibandingkan tipe tunggal

3. Padang lamun vegetasi campuran (mixed seagrass beds), umumnya terdiri dari spesies-spesies Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata,

Cymodoceae serrulata, Syringodium isoetifolium, Halodule unniversis dan

Halodule ovalis.

Padang lamun di perairan Indonesia umumnya termasuk padang vegetasi campuran (Azkab, 1999). Ekosistem padang lamun di Indonesia sering di jumpai di daerah pasang surut bawah (inner intertidal) dan subtidal atas (upper subtidal). Dilihat dari pola zonasi lamun secra horizontal, ekosistem lamun terletak diantara dua ekosistem penting yaitu ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang. Ekosistem lamun sangat berhubungan erat dan berinteraksi serta sebagai mata rantai (link) dan sebagai penyangga (buffer) dengan mangrove di pantai dan terumbu karang ke arah laut.

2.2.2. Faktor - faktor Lingkungan Kedalaman dan Kecerahan

Kecerahan perairan menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan sangat penting karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis. Semakin tinggi nilai kecerahan, semakin tinggi pula tingkat penetrasi cahaya ke kolom perairan. Nilai ini sangat bergantung pada keadaan cuaca, waktu pengukuran dan padatan tersuspensi. Penetrasi cahaya matahari atau kecerahan sangat penting sekali, karena akan mempengaruhi pertumbuhan lamun.

Daya jangkau atau kemampuan tumbuh lamun untuk sampai pada kedalaman tertentu sangat dipengaruhi oleh saturasi cahaya setiap individu lamun. Distribusi


(21)

padan lamun hanya terbatas pada perairan yang tidak terlalu dalam, namun pada perairan yang jernih lamun dapat ditemukan hingga kedalaman lebih dari 30 meter. Distribusi kedalaman tergantung dari hubungan beberapa faktor, yaitu gelombang, arus, substrat, turbiditas dan penetrasi cahaya (BTNKpS 2008).

Padatan tersuspensi total (TSS)

Pada tersuspensi total (TSS) adalah bahan – bahan tersuspensi (diameter > 1 µm) yang tertahan pada saringan miliopore dengan diameter pori 0,45 µm. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad – jasad renik yang terutama disebabkan kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air (Effendie 2003).

Arus

Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut dan gerakan perodik jangka panjang. Arus yang disebabkan oleh gerakan periodik jangka panjang adalah arus yang disebabkan oleh pasang surut. Arus yang disebabkan oleh pasang surut biasanya banyak diamati di perairan teluk dan pantai (Nontji 2007). Pergerakan air sangat menentukan pertumbuhan tanaman air, baik yang mengapung maupun yang menancap di dasar perairan. Kecepatan arus yang sangat tinggi dan tubulensi dapat mengakibatkan naiknya padatan tersuspensi yang berlanjut pada reduksi penetrasi cahaya ke dalam air atau turunnya kecerahan air. Kondisi ini dapat menyebabkan rendahnya laju produksi tumbuhan lamun (Supriharyono 2009).

Hara (Nitrogen dan Orthofosfat)

Nutrient atau senyawa inorganic essensial terlarut berperan dalam fungsi metabolic biota laut, terutama untuk kehidupan dan pertumbuhan produktivitas primer (Sanusi 2006). Beberapa nutrient yang penting dalam perairan laut nitrogen dan fosfor.

Nitrogen ditemukan dalam jumlah yang melimpah di atmosfer, tetapi nitrogen tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh makhluk hidup (Dugan 1972 in Effendi 2003). Sumber utama nitrogen di perairan tidak terdapat dalam


(22)

bentuk gas. Di perairan, nitrogen berupa nitrogen anorganik dan nitrogen organik. Nitrogen anorganik terdiri atas ammonia, ammonium, nitrit, nitrat dan molekul nitrogen dalam bentuk gas (Effendi 2003).

Ammonia dalam perairan berasal dari proses amonifikasi yaitu pemecahan nitrogen organik dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam air dan tanah,yang berasal dari hasil dekomposisi bahan organik oleh mikroba dan jamur. Reduksi nitrat pada kondisi anaerob juga menghasilkan gas amonia dan gas – gas lain, misalnya N2O, NO2, NO dan N2 (Novotny dan Olem, 1994). Sumber amonia adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari difusi udara atmosfer, limbah industri, dan domestik. Menurut Guldman dan Horne, 1983 in Gurning, 2005 amonia berada di ekosistem akuatik umumnya dalam bentuk ion terionisasi NH4+ (amonium). Amonia jarang ditemukan pada perairan yang memiliki oksigen yang cukup.

Nitrit merupakan bentuk peralihan antara nitrat dan amonia (nitrifikasi) serta antara nitrat dan nitrogen (denitrifikasi). Pada linkungan alami proses nitirifikasi sangat penting karena nitrogen (N2) diserap oleh tanaman dalam bentuk nitrat. Nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan alami. Kadar nitrit lebih kecil daripada nitrat, karena nitrit bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen dan bersifat toksik (Novotny dan Olem, 1994). Kadar nitrit lebih besar dari 0,05 mg/ldapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang sangat sensitif.

Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami dan sangat mudah larut dalam air serta bersifat stabil. Nitrat merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat tidak bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Pada kondisi anerob, nitrat akan mengalami denitrifikasi menjadi amonia (Effendi 2003).

Di perairan, unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen. Melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organic yang berupa patikulat. Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat terlebih dahulu,sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfor (Effendi, 2003).

Sumber utama fosfat berasal dari daratan, yaitu melalui pelapukan batuan (aloton) yang masuk ke dalam laut terutama melalui aliran sungai. Selain itu,


(23)

buangan limbah organik seperti deterjen yang masuk ke laut atau perairan estuary akan memberikan sumbangan fosfat dalam bentuk polifosfat (Sanusi 2006).

2.2.3. Kriteria baku kerusakan padang lamun dan penyebab kerusakan

Kriteria padang lamun berdasarkan persentase penutupan yang dibagi menjadi dua kondisi yaitu baik dan rusak. Kondisi baik lamun yaitu dengan persentase ≥ 60% terdiri dari kategori kaya (sehat), sedangkan kondisi rusak terdiri dari dua kategori yaitu kurang kaya (kurang sehat) dengan persentase 30% - 59,9% dan miskin dengan persentase ≤ 29,9% (KepMenLH No 200/2004).

Pencemaran merupakan masuknya bahan atau partikel pengganggu ke dalam ekosistem yang menimbulkan dampak negative bagi sumberdaya padang lamun (Dahuri 2003). Beberapa pencemaran yang dapat mempengaruhi padang lamun antara lain pencemaran minyak mentah (tarbal), pencemaran limbah cair, buangan air rumah tangga, makroalga blooming dan sedimentasi. Perubahan cepat ang terjadi di pulau pemukiman dan resort wisata yang diikuti kegiatan pembangunan untuk pribadi dan tujuan komersial akan merubah bentang alam dan menyebabkan perubahan habitat komunitas lamun.

2.3. Ekowisata lamun

Padang lamun merupakan ekosistem wilayah pesisir yang memiliki peranan dan manfaat dari segi ekonomis dan ekologis. Dari segi ekonomis lamun dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, pakan ternak, bahan baku kertas, bahan kerajinan, pupuk dan obat. Secara ekologis lamun memiliki fungsi penting menurut Nyabakken (1992), yaitu :

1. Sebagai produsen priemer.

2. Sebagai sumber makan bagi berbagai biota.

3. Sebagai habitat biota laut seperti moluska, crustacean dan cacing. 4. Melindungi pantai dari erosi dan abrasi serta perangkap sedimen.

5. Sebagai daerah asuhan, tempat perlindungan dan sebagai tempat memijah berbagai jenis ikan.

6. Sebagai tempat pengasuhan dan tempat mencari makan (feeding ground) berbagai jenis ikan.


(24)

Wisata merupakan sutatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang mengandalakan jasa alam untuk kepuasan manusia. Kegiatan manusia untuk kepentingan wisata dikenal dengan pariwisata (Yulianda, 2007). Wisata merupakan perjalan sementara seseorang ke tempat tertentu selain menuju tempat kerja ataupun tempat tinggal (Marhienson dan Wall, 1982 in Gunn, 1994)

Menurut Ceballos-lascurain (1996) ekowista merupakan suatu perjalanan ke tempat-tempat alami yang belum tergangu yang bertanggung jawab terhadap lingkungan untuk menikmati dan menghargai alam. Sedangkan menurut Wallace and Pierce (1996) in Björk (2000) ekowisata adalah perjalanan ke temapat alami yang belum tergangu utuk pendidikanatu sekedar menikmati flora, fauna, geologi, dan ekosistem sebagimana orang yang hidup berdampingan dengan alam sehingga konservasi dan pengembangan berkelanjutan dapat terlaksana.

Bagian terpenting dalam kegiatan ekowisata adalah untuk mengubah budaya dalam kaitannya dengan lingkungan, seperti promosi tentang daur ulang, efesiensi energy dan mnciptakan lapangan kerja bagi penduduk lokal (Srinivas, 2005). Menurut Reynolds dan Braithwaite (1999) tujuan yang harus diperhatikan dalam ekowisata adalah sebagi berikut:

a.Agar turis atau pelaku perjalanan memiliki kepuasan dan sikap hidup lebih menjaga alam.

b.Agar dapat mengurangi degdrasi lingkungan serta memilki kotribusi dalam pengembangan lingkungan yang sehat.

c.Agar dapat ditentukan seberapa banyak pengunjung yang diperbolehkan dalam waktu tertentu.

Ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut. Pengelolaan ekowisata bahari merupakan suatu konsep pengelolaan yang merupakan konsep pengelolaan yang memprioritaskan kelestarian memanfaatkan sumberdaya masyarakat (Yulianda, 2007). Ekowisata bahari adalah perjalanan yang bertanggung jawab ke alam laut dengan tetap memelihara lingkungan dan meningkatkan pendapatan penduduk lokal

(The Internasional Ecotorism Society, 2001). Menurut Cater (2003) in Garrod dan

Wilson, 2004 ekowisata bahari atau satu komponen dari sektor ekowisata yang lebih luas dianggap akan tumbuh dengan cepat baik nilainya.


(25)

Pengembangan kegiatan ekowisata yang berkelanjutan

Kesuksesan pengembangan ekowisata sangat ditentukan oleh peran dari masing – masing pelaku ekowisata yaitu industri pariwisata, wisatawan, masyarakat lokal, pemerintah dan instansi non pemerintah serta akademisi. Para pelaku ekowisata mempunyai peran dan karakter tersendiri, yaitu :

1. Industri pariwisata yang mengoperasikan ekowisata merupakan industri pariwisata yang peduli terhadap pentingnya pelestarian alam dan keberlanjutan pariwisata dan mempromosikanserta menjual program wisata yang berhubungan degan flora dan fauna serta alam

2. Wisatawan merupakan wisatawan yang peduli terhadap lingkungan

3. Masyarakat lokal dilibatkan dalam perencanaan, penerapan dan pengawasan pembangunan dan pengevaluasian pembangunan

4. Pemerintah berperan dalam pembuatan peraturan – peraturan yang mengatur tentang pembangunan fasilitas ekowisata agar tidak terjadi eksploitasi terhadap lingkungan yang berlebihan

5. Akademisi bertugas untuk mengkaji tentang pengertian ekowisata dan mengadakan penelitian untuk menguji apakah prinsip – prinsip yang dituangkan dalam pengertian ekowisata sudah diterapkandalam prakteknya. Pembangunan ekowisata yang berkelanjutan akan berhasil apabila karakter atau peran yang dimiliki oleh masing – masing pelaku ekowisata dimainkan sesuai dengan perannya. Berkerjasama secara holistik diantara para stakeholders, memperdalam pengertian dan kesadaran terhadap pelestarian alam dan menjamin keberlanjutan kegiatan ekowisata tersebut (France 1997 in Nancy 2007). Menurut Springuel (2000) perencanaan ekowisata yang baik harus meliputi empat hal,yaitu :

1. Kerjasama antara pemerintah dengan lembaga non profit untuk melaksanakan pendidikan bagi masyarakat, pengawasan terhadap lingkungan yang sehat dari pengunjung serta penerapan dari perencanaan perlindungan habitat.

2. Identifikasi daya dukung sosial dan daya dukung ekologis.

3. Penetapan duta lingkungan yang bertujuan untuk mempromosikan sesuatau yang berhubungan dengan mennjaga lingkungan.


(26)

Menurut English (2005) Ekowisata yang benar harus menjamin, antara lain : 1.Sebagian besar laba yang didapatkan, dikembalikan terhadap usaha

konservasi.

2.Peranan penduduk lokal, mulai dari masukan, dukungan dan keuntungan yang didapatkan.

3. Tidak menimbulkan dampak kerusakan ekologis dan sosial yang baru

4.Pendekatan secara ilmiah dalam pengamatan kehidupan alami agar menjaga keamanan manusia dan hewan.

5. Nilai-nilai budaya penduduk lokal 6. Kepuasan bagi pengunjung.

Ekowisata bahari terbagi menjadi 2 kegiatan yaitu kegiatan di darat (pantai) dan kegiatan di laut (Soemarwoto 2004). Terdapat 3 ekosistem penting penyusun pesisir yang dapat dijadikan daerah ekowisata bahari dari daerah mulai daratan hingga laut yaitu ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Kegiatan ekowisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu wisata pantai dan wisata bahari. Kegiataan wisata pantai yang dapat dikembangkan (Yulianda 2007), antara lain :

1. Rekreasi pantai 2. Panorama

3. Resort/ peristirahatan 4. Berenang/berjemur 5. Olahraga pantai 6. Berperahu/memancing 7. Wisata mangrove

Kegiatan ekowisata bahari yang dapat dikembangkan (Yulianda 2007), antara lain :

1. Rekreasi pantai dan laut 2. Resort/ perhotelan

3. Wisata selam, jet sky, banana boat, perahu kaca, perahu selam

4. Wisata ekosistem lamun, wisata nelayan, wisata pulau, wisata pendidikan, wisata pancing


(27)

5. Wisata satwa (penyu, duyung, paus, lumba – lumba, burung, mamalia dan buaya).


(28)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di desa Teluk Bakau, Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Kawasan lokasi tersebut merupakan salah satu daerah perlindungan Lamun sepanjang Laut Cina selatan. Lokasi pengamatan pada pulau Bintan terletak pada 00 40' LU - 10 15' LU hingga1040 00' BT - 1040 53' BT. Pengambilan contoh dilakukan sekali pada 5 stasiun penelitian.berbeda – beda karakteristiknya.

Gambar 2. Lokasi penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan, yaitu : Tahap pertama pengumpulan data dan informasi mengenai objek penelitian, berupa studi pustaka. Tahapan kedua adalah tahapan penanganan dan identifikasi sampel pada bulan


(29)

Agustus 2010, dan tahapan ketiga, pengolahan data berdasarkan metode analisa yang telah ditetapkan.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penggumpulan data primer pada penelitian ini antara lain: GPS (Global Positiony System), Kertas waterproof, rollmeter, transek kuadrat berskala 1x1 m, kamera digital dan alat dasar selam. Selanjut alat yang digunakan dalam pengukuran parameter fisika adalah tongkat berskala, plastik, dan sekop. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta lokasi penelitian kawasan pulau Bintan dan buku identifikasi lamun.

3.3. Jenis dan Teknik Pengambilan Data Tabel 1. Komponen pengumpulan data

No. Komponen

Data

Jenis data Sumber

Data

Teknik Pengambilan Data

Primer Sekunder

1. Keadaan umum

lokasi

 Laporan Studi pustaka

Geografi √ √ Responden,

laporan

Wawancara, studi pustaka

Demografi √ √ Responden,

laporan

Pendidikan √ √ Responden,

laporan

Wawancara, studi

pustaka

Sarana dan prasarana √ √ Responden,

lapangan, laporan

Wawancara,observasi, studi pustaka

Transportasi dan

komunikasi

√ √ Responden,

lapangan, laporan

Wawancara,observasi, studi pustaka

Agama √ √ Responden,

lapangan, laporan

Wawancara,observasi, studi pustaka

2. Lamun

Persentase penutupan √ Laporan,

lapangan

Observasi

Jenis lamun √ Laporan,

lapangan

Observasi, studi

pustaka

Jenis ikan √ √ Laporan,

lapangan

Observasi, studi


(30)

Jenis substrat √ Laporan, lapangan

Observasi, studi

pustaka

Kecepatan arus √ Laporan,

lapangan

Observasi, studi

pustaka

Kedalaman √ lapangan Observasi

3. Sumber daya manusia

Masyarakat √ Responden,

lapangan

Wawancara, observasi

pengunjung √ Responden,

lapangan

Wawancara, observasi

Pemerintah dan instansi yang terkait dengan survei

√ Responden Wawancara

4. Isu-isu yang

berkembang

√ √ Responden,

lapangan

Wawancara, observasi

5. Kebijakan pengelola √ √ Responden,

lapangan

Wawancara, observasi

3.4. Metode Pengambilan Sampel 3.4.1. Metode pengukuran lamun

Cara pengumpulan data menggunakan metode step and go adalah dengan mengamati dan melakukan pengukuran langsung atau kondisi ekosistem lamun. Langkah-langkah pengukuran struktur komunitas lamun adalah sebagai berikut. a. Metode yang digunakan yaitu transek dan petak contoh (Transect plot). Metode

transek dan petak contoh (transect plot) adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu komunitas dengan mendekati petak contoh yang berada pada garis yang di tarik melewati wilayah ekosistem tersebut (gambar )

b. Disetiap stasiun pengamatan diletakan transek-transek garis dari arah darat kearah laut (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi padang lamun) di daerah intertidal sampai mendekati tubir laut. Transek hanya diletakkan pada zona padang lamun yang mengalami perubahan di jalur pengamatan (misalnya: zona padang lamun yang hanya terdapat satu jenis, campuran dan daerah yang kosong) sampai batas tubir. Tubir laut disetiap daerah berbeda-beda setiap arah mata angin sehingga jumlah substasiun yang berbeda-beda setiap arah mata angin sehingga jumlah substasiun di tiap stasiun pun berbeda.


(31)

c. Pada transek kuadrat berukuran 50 cm x 50 cm, dibuat kotak-kotak sebesar 10 cm x 10 cm sehingga transek berjumlah 25 kotak, hal ini agar mempermudah mengidentifiasi lamun. Pengambilan contoh jenis lamun akan dihitung secara acak dan dihitung jumlah individu setiap jenis.

Gambar 3. Pengambilan contoh

Dari metode diatas, dapat dilakukan observasi langsung pada transek kuadrat yang telah diletakan pada stasiun yang diplotkan menggunakan GPS, sehingga dapat dihitung persentase penutupan lamun, jenis lamun, jenis dan jenis substrat, persentase kecerahan, kedalaman, dan kecepatan arus.

3.4.2. Pengukuran persentase tutupan lamun

Observasi untuk pengambilan data jenis lamun dan luasan penutupanya serta karakteristik habitat lamun dilakukan dengan berjalan kaki pada waktu air laut surut mengikutigaris transek yang tegak lurus pantai, dinilai lebih akurat, cepat dan mudah dibandingkan dengan laut ketika pasang. Jarak pandang waktu surut lebih luas dan lebih cepat dapat menentukan jenis lamun yang tumbuh, jenis substrat dan gambaran persentase penutupan lamun.

Persentase tutupan lamun ditentukan secara aktif dalam plot (transek), standar yang digunakan untuk penentuan persentase penutupan lamun yaitu dengan menghitung persentase dari masing-masing petak contoh secara acak kemudian dirata-ratakan sehingga diperoleh nilai persentase penutupan keseluruhan.

Pulau

T 50- 100

m


(32)

3.4.3. Identifikasi ikan

Pengamatan ikan menggunakan metode visual, tidak hanya yang terdapat di transek saja yang diamati tetapi di sekitar lokasi penelitian. Pengidentifikasi ikan dengan cara melihat foto-foto yang diambil pada saat pengamatan.

3.5. Pengamatan Parameter Lingkungan (primer dan sekunder) 3.5.1. Kecerahan perairan

Kecerahan perairan tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparasi periran yang dapat ditentukan secara visual atau menggunakan alat bernama secchi disk, cara penggunaanya yaitu scchi disk dimasukan kedalam perairan dan dikatakan cerah apabila sechhi disk masih terlihat ketika dimasukan kedalam air tanpa mempengaruhi kedalaman.

Nilai kecerah dinyatakan dalam satuan meter, tetapi apabila yang diketahui persentasenya maka nilai kecerahan tersebut dapat diketahui persentase kecerahan air tersebut dapat diakli 100% sehingga nilai yang dihasilkan persentase keceraha air. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran, pengukuran sebaiknya dilakukan pada saat cerah.

3.5.2. Jenis substrat

Dari petak luasan tersebut secara relative dapat ditentukan berapa persen yang berupa pasir dan berapa persen yang berupa lumpur maupun pasir, yang dilakukan secara visual. Pengamatan dilakukan dilakukan di laboratorium.

3.5.3. Kecepatan arus

Pada petak luasan tersebut diukur juga kecepatan arus. Metode yang digunakan yaitu menggunakan botol berisi setengah sehingga dapat menga[ung, kemudian dihanyutkan dan dihitung waktu tiba diujung garis transek sehingga dapat disimpulkan kecepatan permukaan dengan satuan cm/s.


(33)

3.5.4. Kedalaman

Dari petak luasan tersebut dapat dihitung juga kedalamanperstasiun yang telah di plotkan, cara menentukannya yaitu dengan mengukur tinggi air dari atas substrat samapi tinggi air menggunakan papan skala, sehingga dapat di ketahui kedalaman per stasiun denagn satuan meter.

3.6. Analisis data

3.6.1. Indeks kesesuaian wisata

Kegiatan wisata yang akan dikembangkan hendaknya disesuaikan dengan sumberdaya yang ada dan peruntukannya. Setiap kegiatan wisata mempunyai persyaratan sumberdaya dan lingkungannya yang sesuai dengan objek wisata yang akan dikembangkan. Rumus yang akan digunakan untuk menghitung kesesuaian wisata pantai dan wisata bahari adalah (Yulianda, 2007) :

Keterangan:

IKW = Indeks Kesesuain Wisata

Ni = Nilai parameter ke-I (Bobot x skor)

Nmaks = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata

Penentuan kesesuaian berdasarkan perkalian skor dan bobot yang diperoleh dari setiap parameter. Kesesuaian kawasan dilihat dari tingkat persentase kesesuaian yang diperoleh penjumlah nilai dari seluruh parameter.

3.6.2. Wisata bahari

Kesesuaian wisata bahari kategori wisata lamun mempertimbangkan 7 parameter dengan 4 klasifikasi penilaian. Parameter kesesuaian wisata bahari kategori wisata lamun antara lain tutupan lamun, kecerahan perairan, jenis ikan, jenis lamun, jenis substrat, kecepatan arus dan kedalam lamun(Tabel 2).

Tabel 2. Matriks kesesuaian lahan untuk ekowisata bahari kategori wisata lamun

No Parameter Bobot S1 Skor S2 Skor S3 Skor N skor

1. Tutupan

lamun (%)

5 > 75 3 >50-75 2 25-50 1 <25 0

2. Kecerahan

perairan (%)


(34)

3. Jenis ikan 3 >10 3 6-10 2 3-5 1 <3 0

4. jenis lamun 3 Cymodocea,

Halodule, Halophila

3 Syringodium ,

Thalassoden drom

2 Thalassia 1 Enhalus 0

5. Jenis

substrat

1 Pasir

berkarang

3 Pasir 2 Pasir

berlumpur 1

Berlumpur 0

6. Kecepatan

arus (cm/dt)

1 0-15 3 >15-30 2 >30-50 1  50 0

7. Kedalaman

lamun (m)

1 1-3 3 >3-6 2 >6-10 1 >10

<1

0

Sumber : Yulianda (2007) Keterangan :

Nilai maksimum = 76

S1 = Sangat Sesuai, dengan nilai 83%-100% S2 = Sesuai, dengan nilai 50%-<83%

N = Tidak sesuai, dengan nilai <50%

3.6.3. Analisis daya dukung

Analisis daya dukung ditujukan pada pengembangan wisata bahari dengan memanfaatkan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil secara lestari. Mengingat pengembangan wisata bahari yang mudah rusak, ruang untuk pengunjun sangat terbatas dan tidak bersifat mass tourism, maka perlu penentuan daya dukung kawasan. Metode yang diperkenalkan untuk menghitung daya dukung pengembangan ekowisata alam adalah dengan menggunakan konsep daya dukung kawasan (DDK). DDk adalah jumlah maksimum pengunjung secara fisik dapat ditampunhg di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan ganguan pada alam dan manusia. Perhitungan DDK dalam bentuk rumus adalah sebagai berikut (Yulianda, 2007):

Keterangan:

DDK : Daya Dukung Kawasan

K : Potensi Ekologis pengunjung per satu unit area Lp : Luas Area atau Panjang area yang dimanfaatkan Lt : Unit area untuk kategori tertentu

Wt : Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari


(35)

Wp : Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setaip kegiatan tertentu Menurut Yulianda (2007) daya dukung kawasan disesuaikan karakteristik sumberdaya dan peruntukan. Misalanya, daya dukung wisata selam ditentukan sebaran dan kondisi terumbu karang, daya dukung wisata pantai ditentukan panjang/luas dan kondisi pantai. Kebutuhan manusia akan ruang yang diasumsikan dengan keperluan ruang horisontaluntuk dapat bergerak bebas dan tidak merasa tergangu oleh pengunjun lain.

Tabel 3. Potensi ekologis pengunjung (K) dan Luas Area Kegiatan (Lt)

Jenis Kegiatan K ( ∑Pengunjung) Unit area (Lt) Keterangan

Snorkling 1 500 m2

Setiap 1 orang dalam 50 m x 5 m

Wisata lamun 1 250 m2

Setiap 1 orang dalam 50 m x 5 m

Rekreasi pantai 1 50 m

1 orang dalam 50 m panjang pantai

Kegiatan olah raga 1 50 m

1 orang dalam 50 m panjang pantai

Sumber: Yulianda (2007)

3.6.4. Analysis strength, weakness, opportunity, threat (SWOT)

Analisis yang dipergunakan untuk menentukan prioritas strategi alternative pengembangan yang paling tepat dilaksanakan dengan pertimbangan faktor internal dan eksternal adalah analisis SWOT ( strength, weakness, opportunity, threat ). Kekuatan dan kelemahan merupakan faktor internal, sedangkan faktor eksternal meliputi peluang dan ancaman. Keterkaitan antara faktor internal dan faktor eksternal tersebut digambarkan dalam matriks SWOT. Alternatif strategi yang diperoleh adalah SO, ST, WO, dan WT.

Matriks SWOT adalah alat yang dapat menggambarkan bagaimana kekuatan dan kelemahan yang merupakan faktor internal dipadukan dengan peluang dan ancaman yang merupakan faktor eksternal untuk menghasilkan empat golongan alternatif strategi yang dapat diterapkan bagi kelangsingan suatu kegiatan. Golongan strategi alternatif tersebut adalah sebagai berikut:

a. S-O ( strength-opportunity ), yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk menambil peluang ada.


(36)

b. S-T ( strength-threat ), yaitu menggunakan peluang yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang dihadapi.

c. W-O ( weakness-opportunity ), yaitu berusaha mendapatkan keuntungan dari peluang yang ada dengan mengatasi kelemahan.

d. W-T ( weakness-threat ), yaitu berusaha meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman yang ada.

Strategi yang efektif adalah memaksimalkan kekuatan dan kesempatan yang dimiliki serta meminimalkan kelemahan dan ancaman yang dihadapi. Dalam memilih altermatif strategi yang terbaik untuk diterapkan, maka setiap alternatif strategi yang ada diberi nilai sesuai dengan tingkat kepentingannya, kemudian diberi

ranking yang dilakukan secara subjektif. Pemberian nilai dilakukan kepada setiap

unsur SWOT dengan nilai sebagai berikut (Rangkuti, 2003): 4 = sangat penting

3 = penting 2 = cukup penting 1 = kurang penting

Kerangka kerja dengan menggunakan pendekatan analisis SWOT adalah sebagai berikut:

a. Pembuatan matriks IFE (Internal Factor Evaluation)

Dalam membuat natriks IFE yang pertama dilakukan adalah membuat daftar

critical success factors (faktor-faktor utama yang mempunyai dampak penting pada

kesuksesan/kegagalan usaha) yang menjadi kekuatan (strengths) dan kelemahan

(weakness). Kemudian menentukan bobot dari critical success factors sesuai dengan

tingkat kepentingannya. Jumlah seluruh bobot harus sebesar 1,0 setelah iu memberikan rating untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruh/respon faktor-faktor tersebut terhadap pengelolaan ekosistem di Pulau Bintan, desa Teluk Bakau (nilai : 4 = sangat tinggi, 3 = tinggi, 2 = cukup, 1 = rendah). Kemudian mengalikan antara bobot dengan nilai peringkat dari masing-masing faktor untuk menentukan nilai skornya lalu menjumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total.


(37)

b. Pembuatan matriks EFE (External Factor Evaluation)

Dalam membuat matriks EFE yang pertama dilakukan adalah membuat daftar critical success factors (faktor-faktor utama yang mempunyai dampak penting pada kesuksesan/kegagalan usaha) yang menjadi peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Kemudian menentukan bobot dari critical success factors sesuai dengan tingkat kepentingannya. Jumlah seluruh bobot harus sebesar 1,0 setelah itu memberikan rating untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruh/respon faktor-faktor tersebut terhadap pengelolaan ekosistem di desa Teluk Bakau, Pulau Bintan. (nilai : 4 = sangat penting, 3 = penting, 2 = cukup penting, 1 = kurang penting). Kemudian mengalihkan antara bobot dengan nilai peringkat masing-masing faktor untuk menentukan nilai skornya lalu menjumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total.

Bobot yang diberikan pada tiap faktor disesuiakan dengan skala kepentingannya terhadap pengelolaan ekosistem lamun untuk pengembangan kawasan ekowisata di desa Teluk Bakau, Pulau Bintan. Skala yang digunakan untuk mengisi kolom dalam menentukan bobot setiap faktor adalah:

1. Bobot 1, jika indikator faktor horizontal kurang penting dibandingkan indikator faktor verikal.

2. Bobot 2, jika indikator faktor horizontal sama penting dengan indikator faktor vertikal.

3. Bobot 3, jika indikator faktor horizontal lebih penting dibandingkan indikator faktor internal.

4. Bobot 4, jika indikator faktor horizontal sangat penting dibandingkan indikator faktor vertikal

c. Menyusun strategi melalui matriks SWOT

Setelah selessai menyusun matriks IFE dan EFE, langkah selanjutnya adalah membuat matriks SWOT, dimana setiap unsur SWOT yang ada dihubungkan untuk memperoleh alternative strategi (Tabel 4 ).


(38)

Tabel 4. Matriks SWOT IFE EFE S S1 S2 Dst W W1 W2 dst O O1 O2 Dst

Stategi S – O ( Strategi menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang)

Strategi W – O (Strategi meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang)

T T1 T2 Dst

Stategi S – T ( Strategi menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman)

Strategi W – T (Strategi meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman)

Sumber : Rangkuti 2002

d. Prioritasi strategi pengelolaan

Penentuan prioritas dari strategi yang dihasilkan dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait. Jumlah dari skor pembobotan menentukan ranking prioritas strategi dalam pengelolaan ekosistem untuk pengembangan kawasan ekowisata di Desa Teluk Bakau. Jumlah skor diperoleh dari penjumlahan semua skor di setiap faktor-faktor strategis yang terkait. Ranking akan ditentukan berdasarkan urutan jumlah skor terbesar sampai yang terkecil dari semua strategi yang ada.


(39)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Sumberdaya Lamun

Lamun pada perairan Desa Teluk Bakau dapat dibagi menjadi 5 zona berdasarkan bentang alamnya. Zona 1 terletak pada perbatasan antara Desa Teluk Bakau dan Desa kawal, zona 2 terletak pada wisata penduduk, zona 3 terletak pada agrowisata, Zona 4 terletak pada kampung nelayan dan zona 5 terletak pada perbatasan antara Desa Teluk Bakau dan Desa Malangrapat.

Tabel 5. Penyebaran sumberdaya lamun di Teluk Bakau

No jenis Zona 1 Zona 2 Zona 3 Zona 4 Zona 5

1 Enhalus acoroides + + + + +

2 Cymodocea serrulata + + + + +

3 Thalassia hemprichii - + + + +

4 Cymodocea rotundata - + + + -

5 Halodule pinifolia - + + + +

6 Halophila minor - + + + -

7 Halophila sp. - - - + -

8 Halodule uninervis - - - + -

9 Syringodium isotifolium - - - - +

10 Thalassodendron ciliatum - - - - +

Berdasarkan hasil pengamatan setiap zona memiliki jenis lamun yang berbeda jenis dan keanekaragamannya. Pada zona 1 ditemukan jenis lamun Enhalus

acoroides dan Cymodocea serrulata. Pada zona 2, jenis lamun yang ditemukan

antara lain Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides,

Halodule pinifolia, Halophila minor dan Thalassia hemprichii. Jenis lamun yang

dominan pada zona 2 adalah Enhalus acoroides. Pada zona 3, jenis lamun yang ditemukan antara lain Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Halodule pinifolia

dan Thalassia hemprichii. Dan jenis lamun yang dominan pada zona 3 adalah

Enhalus acoroides. Karena Enhalus acoroides merupakan spesies yang umum

tumbuh di substrat lumpur dan di wilayah bioturbasi tinggi. Pada zona 4, jenis lamun yang ditemukan antara lain Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides,

Halodule pinifolia, Halophila sp dan Thalassia hemprichii. Pada zona 5, jenis lamun


(40)

isotifolium, Thalassia hemprchii dan Thalassodendron ciliatum. Pada stasiun 4 dan 5, jenis lamun yang dominan adalah Thalassia hemprichii. Karena Thalassia

hemprichii merupakan jenis lamun yang sebaran vertikalnya dapat mencapai

kedalaman 25 meter. Selain itu, jenis lamun ini dapat hidup di berbagai jenis substrat mulai dari pasir lumpur, pasir berukuran sedang dan kasar sampai pecahan – pecahan karang.

Potensi sumberdaya lamun di perairan Desa Teluk Bakau dilihat dari jenis yang ditemukan tergolong beranekaragam jenisnya, karena memiliki 10 jenis lamun yang ditemukan di perairan Desa Teluk Bakau. Di lokasi penelitian tumbuh 10 jenis sumberdaya lamun antara lain Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata, Thalassia hemprchii, Halodule uninervis, Halophila minor, Cymodocea rotundata, Halodule pinifolia, Syringodium isotifolium, Thalassodendron ciliatum, Halophila. Sp. Sumberdaya lamun yang paling mendominasi di lokasi penelitian adalah Enhalus

acoroides. Hal ini dikarenakan tipe substrat di lokasi penelitian dominan pasir

berlumpur yang merupakan habitat yang paling cocok untuk Enhalus acoroides (Bengen 2001). Selain itu, Enhalus acoroides dapat hidup di daerah yang berturbasi tinggi dan seringkali tumbuh bersama – sama dengan Thalassia hemprchii (Hutomo

4.2. Kondisi Lingkungan 4.2.1. Bentang alam

Berdasarkan hasil pengamatan bentang alam di Teluk Bakau dibagi menjadi 5 zona. Setiap zona memiliki karakteristik bentang alam yang berbeda – beda. Zona 1, kondisi wilayahnya memiliki kondisi pasir pantai yang berwarna coklat dan substrat perairannya pasir berlumpur serta terdapat aliran sungai. Pada zona 2, kondisi wilayahnya memiliki kondisi pasir pantai yang berwarna putih dan substrat perairannya pasir berlumpur serta terdapat pondok – pondok yang disewakan kepada wisatawan yang sedang berkunjung.


(41)

Gambar 4. Karakteristik Teluk Bakau

Zona 3, kondisi wilayahnya memiliki kondisi pasir pantai yang berwarna putih dan substrat perairannya pasir berlumpur serta terdapat hotel/ resort yang disewakan kepada wisatawan yang sedang berkunjung untuk menginap. Zona 4, kondisi wilayahnya memiliki kondisi pasir pantai yang berwarna putih dan substrat perairannya pasir serta terdapat rumah penduduk asli setempat yang dibangun di atas sumberdaya lamun. Selain itu, pada zona 4 terdapat teluk yang berbukit. Zona 5, kondisi wilayahnya memiliki kondisi pasir pantai yang berwarna putih dan substrat perairannya pasir berkarang (ruble).

Dari kelima zona yang memiliki kondisi yang masih alami dan belum adanya aktivitas pembangunan adalah zona 1 dan zona 5. Namun untuk kondisi sumberdaya lamun yang paling baik dan kondisi lingkungan yang masih baik adalah zona 5. Sedangkan zona 1 kondisi lamunnya kurang beranekaragan dan kondisi lingkungannya kurang bagus. Ini dikarenakan pada zona 1 terdapat aliran sungai yang membawa unsur hara yang berasal dari daratan.


(42)

4.2.2. Kualitas perairan

Pengkajian kondisi biofisik perairan yang mencakup kualitas perairan (fisika dan kimia) dilakukan dengan tujuan untuk melihat keseimbangan ekosistem perairan dan menentukan kondisi perairan yang terkait dengan kelayakan habitat bagi sumberdaya lamun, perikanan dan pariwisata. Parameter kualitas perairan yang diamati adalah kecerahan, TSS, TDS, nitrat, nitrit dan amoniak. Parameter – parameter tersebut dapat mempengaruhi kondisi suatu perairan. Parameter parameter tersebut dapat dipengaruhi oleh aktifitas wisata seperti jet sky, banana boot dan parazeling maupun kegiatan manusia seperti pembuangan limbah rumag tangga, tambat kapal dan pencemaran hasil pertananian.

Pengambilan contoh air dilakukan pada 5 stasiun di perairan pantai Trikora, desa Teluk Bakau. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan (tabel 6).

Tabel 6. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan

No Parameter

Baku Mutu

Stasiun

1 2 3 4 5

Fisika

1 Kecerahan (%) 100 100 100 100 100

2 TSS (mg/L) 20 75 25 5 0 10

3 Kedalaman(cm) 1.12 0.82 0.77 1.06 1.59

4 Kecepatan Arus(cm/s) 5.52 5.74 7.76 3,96 9.65

Kimia

1 Nitrat (mg/L) 0,008 0.0268 0.0441 0.039 0.0316 0.0194

2 Amonia 0,3 0.4874 0.0729 0.0551 0.1273 0.0264

3 Orthoposfat < 0,014 0.0042 0 0.0088 0.0017 0

Kecerahan

Kecerahan perairan menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalam tertentu. Kegiatan wisata memerlukan kecerahan perairan yang baik karena kondisi kecerahan perairan yang kurang baik dapat mengganggu wisatawan. Pada pengukuran nilai kecerahan menggunakan alat bantu secchi disk dan menggunakan menggunakan metode visualisasi dengan kedalaman melebihi 1 meter. Kecerahan pada perairan pantai Trikora, Desa Teluk Bakau setiap stasiun mencapai 100%. Ini berarti penetrasi cahaya hingga ke dasar perairan. Sehingga


(43)

nilai tersebut menunjukkan bahwa perairan pantai Trikora, Desa Teluk Bakau memiliki kecerahan yang sangat baik dan cocok untuk kegiatan wisata.

Padatan Tersuspensi Total (TSS)

Padatan tersuspensi total (TSS) adalah bahan – bahan tersuspensi (diameter > 1 µm) yang tertahan pada saringan miliopore dengan diameter pori 0,45 µm. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad – jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air (Effendi 2003). Kisaran nilai TSS pada stasiun 1 yaitu 75 mg/l, stasiun 2 sebesar 25 mg/l, stasiun 3 sebesar 5 mg/l, stasiun 4 sebesar 0 mg/l, dan stasiun 5 sebesar 10 mg/l. Kadar maksimum TSS dalam air laut untuk kegiatan wisata bahari yang ditetapkan Menteri Negara Lingkungan Hidup adalah 20 mg/l. Perairan Teluk Bakau pada stasiun 3, stasiun 4 dan stasiun 5 tidak melebihi baku mutu sehingga perairan cocok untuk dijadikan tempat wisata. Kadar TSS di bawah nilai baku mutu menunjukkan bahwa perairan Teluk Bakau memiliki tingkat kekeruhan yang rendah. Akan tetapi, pada stasiun 1 dan stasiun 2 memiliki kadar TSS yang tinggi daripada baku mutu. Hal ini disebabkan pada stasiun 1 dan stasiun 2 terdapat aliran sungai sehingga mendapat sedimen yang berasal dari daratan. Selain itu disebabkan pada waktu pengukuran,gelombang yang terjadi tidak cukup besar, sehingga mempengaruhi kekeruhan perairan.

Kecepatan arus

Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupanangin, perbedaan densitas air laut dan gerakan periodic jangka panjang (Nontji 2007). Kecepatan arus yang terukur pada stasiun 1 sebesar 5.52 m/s, stasiun 2 sebesar 5.74 m/s, stasiun 3 sebesar 7.76 m/s, stasiun 4 sebesar 3.96 m/s, dan stasiun 5 sebesar 9.65 m/s. Faktor yang cukup dominan mempengaruhi kecepatan arus di perairan tersebut adalah angin. Selain itu, dangkalnya perairan dan keberadaan lamun juga memberikan pengaruh yang cukup besar dalam memperlambat pergerakan arus. Pergerakan arus ini berpengaruh terhadap pertumbuhan lamun yang terkait dengan suplai unsur hara dan persediaan gas – gas terlarut yang dibutuhkan oleh lamun serta laju produksi lamun tidak terhambat.


(44)

Kecepatan arus yang relative tenang dalam padang lamun member kondisi alami yang sangat disenangi oleh ikan – ikan kecil dan invertebrate kecil seperti beberapa jenis udang, kuda laut, bivalva, Gastropoda dan Echinodermata (Supriharyono 2009).

Kedalaman

Daya jangkau atau kemampuan tumbuh lamun untuk sampai pada kedalaman tertentu sangat dipengaruhi oleh saturasi cahaya setiap individu lamun. Distribusi padang lamun hanya terbatas pada perairan yang tidak terlalu dalam, namun pada perairan yang sangat jernih lamun dapat ditemukan hingga kedalaman 40 m. Distribusi kedalaman tergantung dari hubungan beberapa faktor, yaitu gelombang, arus, substrat, turbiditas dan penetrasi cahaya (Meinar 2009). Kedalaman pada stasiun 1 sebesar 1.12 m, stasiun 2 sebesar 0.82 m, stasiun 3 sebesar 0.77 m, stasiun 4 sebesar 1.06 m, stasiun 5 sebesar 1.59 m. Kedalaman dari ke lima stasiun melebihi 1 m tetapi tidak mencapai kedalaman hingga 3 m adalah stasiun 1, stasiun 4 dan stasiun 5 stasiun . Ini berarti perairan tersebut termasuk kedalam perairan dangkal sehingga dengan mudah penetrasi cahaya masuk ke perairan yang menyebabkan kecerahan perairan disetiap stasiun sebesar100%.

Ammonia

Ammonia dalam perairan berasal dari proses amonifikasi yaitu pemecahan nitrogen organik dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam air dan tanah,yang berasal dari hasil dekomposisi bahan organik oleh mikroba dan jamur. Kadar ammonia pada perairan Teluk Bakau pada stasiun 1 antara 0.4874 mg/l, stasiun 2 antara 0.0729 mg/l, stasiun 3 antara 0.0551 mg/l, stasiun 4 antara 0.1273 mg/l, stasiun 5 antara 0.0264 mg/l. Berdasarkan Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004, nilai baku mutu untuk kadar ammonia pada ekosistem lamun adalah 0,3 mg/l. Pada kelima stasiun kadar ammonia di perairan Teluk Bakau memiliki kadar ammonia dibawah baku mutu adalah stasiun 2, stasiun 3, stasiun 4 dan stasiun 5. Sedangkan pada stasiun 1 memiliki kadar di atas nilai baku mutu. Ini disebabkan perairan di Teluk Bakau tersebut terdapat masukkan air dari darat melalui aliran sungai yang membawa bahan organik.


(45)

Nitrat

Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami dan sangat mudah larut dalam air serta bersifat stabil. Nitrat merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Kadar nitrat pada perairan Desa Teluk Bakau pada stasiun 1 sebesar 0.0268 mg/l, stasiun 2 sebesar 0.0441 mg/l, stasiun 3 sebesar 0.0390 mg/l, stasiun 4 sebesar 0.0316 mg/l, stasiun 5 sebesar 0.0194 mg/l. Berdasarkan Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004, nilai baku mutu untuk kadar nitrat pada ekosistem lamun adalah 0,008 mg/l.

Orthofosfat

Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat terlebih dahulu,sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Kadar orthofosfat pada perairan Desa Teluk Bakau pada stasiun 1 sebesar 0.0042 mg/l, stasiun 2 sebesar 0 mg/l, stasiun 3 sebesar 0.0088 mg/l, stasiun 4 sebesar 0.0017 mg/l, stasiun 5 sebesar 0 mg/l. Berdasarkan Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004, nilai baku mutu untuk kadar nitrat pada ekosistem lamun adalah < 0,014 mg/l.

Pencemaran

Pencemaran adalah masukya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan komponen lain ke dalam air. Pencemaran bias berarti berubahnya komposisi air oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas air menjadi menurun fungsinya.

Pencemaran pada stasiun 1 berasal dari masukan air sungai yang berasal dari hutan mangrove. Di mana aliran sungai membawa bahan – bahan organik dan anorganik yang berasal dari daratan. Selain itu, adanya pengerukan pasir yang dapat merubah warna perairan menjadi keruh. Pada stasiun 2, sumber pencemaran berasal dari kegiatan manusia (sampah dari wisatawan) dan limpasan air sungai yang berasal dari stasiun 1. Pencemaran tersebut dapat mengurangi estetika dari tempat wisata tersebut. Pada stasiun 3, sumber pencemaran berasal dari kegiatan wisatawan dan hotel atau resort yang tidak mmemiliki pengolahan limbah yang tidak memadai.


(46)

Sumber pencemaran yang berasal dari kegiatan wisatawan dapat berupa buangan sampah wisata ( baik sampah organik dan anorganik) dan wahana permainan, seperti speedboat. Kegiatan tersebut dapat menyebabkan eutrofikasi atau penyuburan berlebihan dapat mengganggu pertumbuhan lamun. Pada stasiun 4, sumber pencemaran lebih banyak berasal dari limbah rumah tangga. Ini dikarenakan pada stasiun 4 terdapat pemukiman warga yang berada di atas air. Di mana limbah yang berasal dari rumah tangga menyebabkan eutrofikasi atau penyuburan yang berlebihan yang dapat mengganggu pertumbuhan lamun. Selain itu, sampah – sampah plastik yang dibuang oleh warga setempat akan mengotori kondisi perairan dan pantai yang dapat mengurangi nilai estetika tempat tersebut. Pada stasiun 5, sumber pencemaran berasal dari sampah wisatawan berupa sampah organik dan anorganik.

Dilihat dari kelima stasiun tersebut, stasiun yang memiliki tingkat pencemaran yang paling rendah terdapat pada stasiun 5. Ini dikarenakan pada stasiun 5 belum ada aktivitas hotel atau resort. Dan pencemaran yang paling tinggi terdapat pada stasiun 1. Karena pada stasiun 1 terdapat aliran sungai yang membawa limbah rumah tangga dan domestic yang berasal dari daratan.

Pencemaran di Teluk Bakau secara umum disebabkan oleh limbah rumah tangga, kegiatan pembangunan kontruksi pantai yang dapat menyebabkan kekeruhan perairan, masukkan air sungai yang berasal dari hutan mangrove dan kegiatan hotel atau resort tanpa pengolahan limbah yang memadai. Limbah rumah tangga dan perhotelan atau resort dapat menyebabkan eutorfikasi atau penyuburan berlebihan pada perairan yang dapat mengganggu pertumbuhan lamun. Untuk mengurangi terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh berbagai aktivitas perhotelan/ resort dan aktivitas kegiatan manusia maka diperlukan pengendalian terhadap pencemaran lingkungan.

4.3. Kesesuaian Perairan untuk Ekowisata dan Daya Dukung Kawasan 4.3.1. Kesesuaian untuk wisata lamun

Ada beberapa parameter yang digunakan dalam analisis kesesuian wisata lamun yaitu persen penutupan lamun, jenis lamun, jumlah jenis ikan, jenis substrat,


(47)

kecerahan, kedalaman dan kecepatan arus. Ketujuh parameter ini saling terkait dalam menghasilkan kategori pengembangan wisata lamun di Teluk Bakau.

Tabel 7. Persentase kesesuaian lahan untuk ekowisata lamun di perairan Teluk Bakau. St Tutupan Lamun(%) Kecerahan perairan(%) Jenis

ikan Jenis lamun

Jenis substrat Kec Arus (Cm/s) Kedalaman lamun IKW

(%) Kategori

1 45 100 4 Enhalus

Pasir

berlumpur 5.52 1.12 52.63 S2

2 24 100 5 Enhalus

Pasir

berlumpur 5.74 0.82 47.37 N

3 26 100 7 Cymodocea,Halophila

Pasir

berlumpur 7.76 0.77 68.42 S2

4 16 100 9

Cymodocea,Halophila,

Halodule Pasir 3.96 1.06 66.67 S2 5 58 100 12 Cymodocea,Halophila Ruble 9.65 1.59 85.96 S1

Hasil Perhitungan kesesuaian lahan pada setiap stasiun masing – masing sebesar 52,63% (stasiun 1), 47.37% (stasiun 2), 68.42% (stasiun 3), 66.67% (stasiun 4) dan 85.96% (stasiun 5). Dari kelima stasiun yang memiliki kategori S1 dengan nilai 83.00% - 100% adalah stasiun 5 (gambar 22). Hasil ini menunjukkan kawasan di Teluk Bakau dapat dijadikan daerah ekowisata sumberdaya lamun; khususnya stasiun 5 termasuk kategori S1 (sangat sesuai) dengan nilai 85,96% (Yulianda 2007) dan dapat direkomendasikan sebagai daerah inti ekowisata sumberdaya lamun dengan mempertimbangkan ekologis sumberdaya lamun tersebut. Faktor – faktor yang mempengaruhinya yaitu persentase penutupannya yang terisi saling terkait di dalamnya dengan kecerahan, tipe substrat, jenis ikan dan lain – lain. Semakin besar persentase penutupannya, semakin melimpah pula jumlah ikan yang hidup di ekosistem lamun, karena lamun merupakan penghasil O2 yang tinggi dan dibutuhkan biota untuk respirasi (Kiswara 2009). Lain halnya pada stasiun 2 yang memiliki nilai persentase IKW yang rendah. Hal ini diduga letak pengamatan masih ada pengaruh dari daratan dan kegiatan manusia. Selain itu, perbedaan antara persentase indeks kesesuaian wisata di setiap stasiun dapat diduga karena ada perbedaan dari setiap parameter. Misalnya jenis lamun yang terdapat pada setiap stasiun belum tentu sama dengan stasiun lainnya, begitu pula dengan parameter lainnya seperti jumlah jenis ikan, kedalaman, jenis substrat dan kecepatan arus.


(48)

Dilihat dari persentase lamun, stasiun 2, stasiun 3 dan stasiun 4 berturut – turut, yaitu 24.00%, 26.00% dan 16.00% termasuk kondisi yang rusak dengan range <29.99%, sedangkan stasiun 1 dan stasiun 5 termasuk kondisi yang baik hanya kurang kaya dan sehat dengan range 30.00 – 59.90% (KepMen LH NO 200/204). Lamun yang diindikasikan rusak harus dipulihkan kembali menjadi baik dengan cara rehabilitasi lamun (transplantasi), sedangkan lamun yang sudah berada dalam kondisi baik harus dilestarikan dengan cara konservasi (Diposatono 2009), sehingga akan menciptakan sumberdaya lamun yang baru dan dapat dikembangkan.

Gambar 5. Peta kesesuaian kawasan wisata

Secara keseluruhan di perairan Teluk Bakau memiliki kategori wisata cukup sesuai sehingga perlu diadakan pengelolaan lebih lanjut dan berkesinambungan agar Desa Teluk Bakau dapat terus berkembang sebagai kawasan ekowisata sumberdaya lamun. Dengan adanya pengelolaan yang baik dan berkelanjutan dengan memperhatikan keseimbangan ekologis diharapkan potensi – potensi yang ada


(49)

terutama potensi sumberdaya lamun dapat terjaga dengan baik dan dapat terus dilestarikan serta dimanfaatkan sebagai obyek wisata di masa yang akan datang.

Persentase kecerahan perairan di seluruh stasiun pengamatan lamun sebesar 100%, yang berarti baik bagi lamun karena cahaya merupakan faktor utama yang menentukan pertumbuhan dan penyebaran lamun pada perairan (Bengen 2001). Jenis ikan di perairan Teluk Bakau Leiognathus Splendens, Lutjanus Fulviflamma, Lutjanus johni, Lethrinus harak, Lethrinus lentjan, Lethrinus omatus, Upeneus tragula, Upeneus vittatus, Siganus canaliculatus, Siganus guttatus, Siganus stellatus

dan Siganus virgatus. Jenis ikan yang ditemukan semakin ke arah laut lebih banyak

dibandingkan yang dekat daratan. Hal ini dikarenakan ikan yang ditemukan di ekosistem lamun hanya bermigrasi pada saat juvenile, pada saat dewasa akan beruaya kembali ke arah laut menuju ekosistem terumbu karang (Hutomo 2009).

Jenis lamun yang ditemukan di perairan Teluk Bakau tergolong beranekaragam jenis, terdapat 10 jenis sumberdaya lamun yang hidup di perairan tersebut diantaranya Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Cymodecea

serullata, Halodule pinifolia, , Halodule uninervis, Halophila ovalis. Halophila

spinulosa, Syringodium isotifolium, Thalassia hemprihcii dan Thalassodendron

ciliatum. Dari kelima stasiun memiliki dominasi lamun yang berbeda – beda. Pada

stasiun 1 dan stasiun 2 di dominasi lamun jenis Enhalus acoroides, sedangkan pada stasiun 3, 4 dan 5 di dominasi lamun jenis Cymodocea, Halodule dan Halophila. Jenis substrat ekosistem lamun di perairan Teluk Bakau yang paling dominan adalah pasir berlumpur. Hal ini disebabkan masukkan bahan organik yang berasal dari aliran sungai. Selain itu, kedalaman lamun di perairan pulau pramuka tergolong dangkal, sedangkan lamun yang dekat dengan tubir ke arah laut perairannya bersubstrat pasir berkarang (Supriharyono 2009).

Kecepatan arus yang dihitung merupakan arus permukaan, dari kelima stasiun kisarannya antara 0 – 15 cm/s yang tergolong sesuai untuk ditumbuhi lamun, ditunjukkan oleh warna hijau di setiap sebaran lamun di perairan Teluk Bakau (Lampiran 11). Kedalaman di perairan Teluk Bakau yang tidak mencapai 1 meter ditunjukan berwarna merah di sebaran lamun dan yang memiliki kedalaman antara 1 m – 3 m ditunjukan berwarna hijau.


(50)

4.3.2. Daya dukung

Daya dukung yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan kawasaan yang telah di rekomendasikan untuk kegiatan wisata lamun dalam menerima sejumlah wisatawan dengan intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus-menerus dalam satu hari tanpa merusak lingkungan. Analisis daya dukung wisata diperlukn agar kegiatan wisata lamaun yang dikembangkan di Desa Teluk Bakau dapat berkelanjutan. Daya dukung setiap kawasan berbeda antara terkait dengan jenis kegiatan wisata yang akan dikembangkan Desa Teluk Bakau yaitu wisata lamun. Nilai DDK diperoleh dari perkalian pontensi ekologis pengunjung per satuan unit area (K), luasa area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan (Lp) dengan waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata lamun dalam satu hari (WT), kemudian dilakukan pembagian dengan unit area untuk kategori wisata lamun(Lt) dan waktu yang dihabiskan oleh pengunjunguntuk kegiatan wisata lamun (Wp). Dengan baku mutu yang telah ditelah ditentukan wisata lamun memiliki K= 1, Wt= 4 jam/hari, Wp= 2 jam/hari, dan Lt= 250 m2 dan nilai LP yang diperoleh dari peta sebaran lamun dengan kategori yang cukup sesuai yaitu sebesar 2313400 m, sehingga diperoleh daya dukung kawasan (DDK) 18507 orang

Berdasarkan PP No.18/1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di zona pemanfaatan lamun taman nasional dan taman wiasata alam, maka luas areal yang dikembangkan adalah 10% dari luas zona pemanfaata (Yulianda, 2007) sehingga daya dukung kawasan dalam kawasan konversi perlu dibatasi dengan daya dukung pemanfaatan (DDP), nilai DDP di Desa Teluk Bakau sebanyak 1851 orang dalam satu hari.

4.4. Kondisi Lingkungan Sosial

4.4.1. Karakteristik responden wisatawan

Wawancara terhadap pengunjung dilakukan pada hari sabtu, minggu dan hari libur nasional. Hal ini dilakukan karena pada hari tersebut merupakan puncak kunjungan kawasan di Desa Teluk Bakau. Karateristik demografi dari wisatawan di Desa Teluk Bakau diantaranya komposisi jenis kelamin, usia, asal, tingkat


(51)

pendidikan, perkerjaan, pendapatan perbulan dan biaya yang dilakukan untuk berwisata dengan jumlah responden sebanyak 30 orang.

A. komposisi jenis kelamin

Jumlah responden wisatawan adalah 30 orang yang terdiri dari 67% laki – laki dan 33% perempuan. Wisatawan laki – laki lebih dominan ini dikarenakan laki – laki lebih tertarik untuk melakukan kegiatan wisata di Teluk Bakau seperti memancing dan wisata berenang.

Gambar 6. komposisi jenis kelamin wisatawan

B. Usia

Wisatawan yang paling banyak ditemui dan lebih tertarik untuk melakukan kegiatan wisata di Teluk Bakau sebagian besar berusia 26 – 30 tahun (60%), Hal ini disebabkan pengunjung berasal dari perguruan tinggi dan pegawai negeri sipil serta buruh yang memiliki tujuan untuk menikmati keindahan Teluk Bakau.


(52)

C. Asal

Asal daerah wisatawan dibuat berdasarkan tempat tinggal wisatawan. Wisatawan yang ditemui 67% berasal dari Tanjung Pinang, 7% berasal dari Palembang , dan 13% berasal dari Jakarta dan Batam. Tanjung Pinang merupakan daerah yang paling strategis untuk mencapai daerah wisata Teluk Bakau. Akesesibilitasnya mudah dan tidak terlalu jauh dari Tanjung Pinang. Sehingga wisatawan yang berkunjung ke Teluk Bakau lebih banyak berasal dari Tanjung Pinang. Sedangkan wisatawan diluar Tanjung Pinang selain melakukan wisata, mereka juga melakukan penelitian di tempat tersebut.

Gambar 8. Asal wisatawan

D. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan wisatawan ditentukan berdasarkan ijazah atau tingkat pendidikan formal terakhir. Tingkat pendidikan wisatawan berpengaruh terhadap kelestarian objek wisata. Semakin tinggi pendidikan wisatawan maka cenderung semakin tinggi pula pengetahuan wisatawan tentang arti pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, kegiatan – kegiatan vandalism seperti mencoret – coret sarana dan prasarana, membuang sampah sembarangan dan berbuat keributan yang dapat meresahkan masyarakat setempat tidak akan terjadi. Wisatawan dengan tingkat pendidikan Sekolah Menengah Pertama sebesar 27%, sebesar 20% wisatawan merupakan lulusan S1 dan yang paling banyak sebesar 53% wisatawan merupakan lulusan Sekolah Menengah Akhir.


(53)

Gambar 9. Komposisi Tingkat pendidikan

E. Pekerjaan

Berdasarkan jenis perkerjaan, wisatawan yang dating ke kawasan Teluk Bakau terbagi jadi 5 golongan. Wisatawan yang paling banyak datang yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 33%. Sebanyak 13% wisatawan berprofesi sebagai pelajar, sebanyak 14% wisatawan berprofesi sebagai pegawai swasta, sebanyak 20% wisatawan berprofesi sebagai wiraswasta dan buruh. Wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata selain melakukan wisata, melakukan kegiatan penelitian juga.

Gambar 10. Jenis pekerjaan wisatawan

F. Pendapatan perbulan

Wisatawan yang telah berkerja sebanyak 26 orang (87%) dan 4 orang wisatawan yang belum berkerja dengan berprofesi sebagai pelajar yang sedang


(54)

melakukan penelitian di Teluk Bakau. Wisatawan yang telah berkerja memiliki pendapatan yang berbeda – beda. Dari 26 orang wisatawan yang telah berkerja tersebut, wisatawan yang memiliki penghasilan perbulan diantara Rp.500.000,000 – Rp.1.000.000,00 yaitu sebesar 13%, wisatawan yang memiliki penghasilan antara Rp.1.000.000,00 – Rp.2.000.000,00 yaitu sebesar 20% dan wisatawan yang memiliki pendapatan diatas Rp.2.000.000,00 sebesar 67%. Jumlah pendapatan responden pengunjung di kawasan wisata Teluk Bakau termasuk cukup besar. Hal ini menunjukkan tingkat kemampuan pengunjung untuk datang ke tempat wisata dan membelanjakan uangnya untuk memperoleh kepuasan di tempat tersebut.

Gambar 11. Tingkat pendapatan wisatawan perbulan

G. Biaya yang dikeluarkan untuk berwisata

Biaya yang dikeluarkan wisatawan untuk berekreasi di Teluk Bakau bervariasi bergantung pada tempat tinggal, jenis kenderaan, tenpat penginapan dan jenis rekreasi yang dituju misalnya seperti memancing, berenang dan banana boat yang membutuhkan penyewaan alat sehingga biaya yang dikeluarkan lebih banyak dibandingkan dengan wisatawan yang hanya menikmati keindahan alam. Sebesar 33% mengeluarkan biaya diatas Rp.6.000.000,00 merupakan wisatawan yang berasal dari luar Tanjung Pinang yang mengeluarkan biaya lebih untuk membayar biaya penginapan dan menikmati wahana wisata lainnya, misalnya banana boat.


(1)

Lampiran 14. (lanjutan)

10. Bagaimana pengalaman wisata yang anda rasakan dalam mengunjungi lokasi wisata?

a. positif b.negative

c.netral

11. sudah berapa kali saudara/I berkunjung ke lokasi wisata?

12. Apakah kegiatan wisata yang sudah ada memadai?

13. Kegiatan wisata seperti apa yang saudara anda inginkan?

14. Pernahkah saudara/i mendengar istilah tentang ekowisata : Ya/Tidak Jika Ya : Apa yang dimaksud dengan ekowisata?

15. Kegiatan ekowisata yang saudara ketahui?

16. Menurut saudara/i bila pengembangan ekowisata dilakukan di kawasan ini, manfaat apa yang diperoleh?

a. Potensi sumberdaya yang ada dapat dikembangkan b. Banyak wisatawan yang berkunjung

c. Adanya lapangan kerja baru

d. Meningkatkan pendapatan masyarakat e. Sarana dan prasarana dapat ditingkatkan

17. Apakah saudara/i mengetahui hubungan lingkungan dengan konservasi? a. Tidak tahu

b. Sedikit

c. Tahu, yaitu……… 18. Ketersediaan air bersih? 19. ketersediaan tempat sampah?


(2)

Lampiran 14. (lanjutan)

Quisioner untuk pemrintah dan instansi terkait Nama :

Jenis Kelamin : (L/P) Umur : Nama Instansi : Alamat Instansi : Jabatan :

Keterlibatan Instansi dengan daerah Penelitian.

Pengetahuan tentang kawasan penelitian Sumber energy listrik ?

Air bersih ? Sekolah ?

Tempat beribadah ? Transportasi

Sistem pengolaan sampah? Pengetahuan tentang ekosistem lamun

Pengertian lamun ? Manfaat lamun ?

Apakah sudah dimanfaatkan ?

Biota yang ada di ekosistem lamun ? Keadaan lamun ?

Apabila bila rusak apa penyebabnya? Pengetahuan tentang ekowisata

Apakah saudara/I mengetahui beda wisata dengan ekowisata ? Kegiatan ekowisata yang anda ketahui ?\

Fasilitas pendukung wisata?


(3)

Lampiran 14. (lanjutan)

Apakah apakah anda tahu mengenai pemanfaatn kawasan pantai teluk bakau oleh masyarakat (missal : menangkap ikan, menanam rumput laut, kegiatan budidaya, berdagang, dll) :

Apakah ada pemantauan secara berkala mengenai kondisi ekosistem lamun ?

Apakah ada perilaku dari pengunjung yang dapat mempengaruhi kondisi ekosistem lamun?

System pengelolaan yang sudah diterapkan ?

Kelebihan/kekurangan system pengelolaan yang sudah diterapkan ?

Hambatan yang terjadi dalam penerapan system pengelolaan yang sudah diterapkan?

Penanggulangan dari hambatan tersebut seperti apa?

Adakah kegiatan industry, penambangan atau kegiatan selain sector perikanan di sekitar kawasan penelitian?


(4)

Lampiran 15. Spesies ikan yang berasosiasi dengan lamun

Lethrinus harak Lutjanus Fulviflamma Lethrinus lentjan

Lethrinus omatus Lutjanus johni Siganus canaliculatus


(5)

(6)