Mikosis sistemik pada kelelawar buah: gambaran histopatologi organ interna

ABSTRAK
GANITA KURNIASIH SURYAMAN. Mikosis Sistemik Pada Kelelawar Buah:
Gambaran Histopatologi Organ Interna. Dibimbing oleh EKOWATI
HANDHARYANI.
Mikosis sistemik merupakan penyakit yang semakin penting karena jumlah
populasi yang berisiko terjangkit penyakit ini semakin meningkat. Kelelawar buah
memiliki potensi sebagai vektor mikosis sistemik. Tujuan penelitian ini adalah
menemukan agen infeksi mikosis sistemik pada kelelawar buah dengan
mengamati gambaran histopatologi paru-paru, hati, dan usus. Sampel organ paruparu, hati, dan usus diambil dari 10 ekor kelelawar buah kemudian diwarnai
dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE) dan Periodic Acid Schiff (PAS).
Hasil pewarnaan HE mengindikasikan infeksi sistemik dengan adanya peradangan
pada 7 dari 10 sampel paru-paru, 4 dari 6 sampel hati, dan 1 dari 4 sampel usus.
Hasil pewarnaan PAS ditemukan organisme berbentuk bulat sampai ovoid tidak
berkapsul dengan broad-based budding dan organisme bulat sampai ovoid tidak
berkapsul tanpa budding. Keduanya diduga sebagai Blastomyces sp. dengan
diferensial diagnosis Cryptococcus sp.. Evaluasi histopatologi menunjukkan
bahwa 6 dari 10 sampel ditemukan organisme diduga sebagai Blastomyces sp..
Blastomikosis termasuk ke dalam penyakit zoonotik sehingga ada kemungkinan
bahwa kelelawar buah dapat berperan sebagai vektor.
Kata kunci: Blastomyces, kelelawar buah, mikosis sistemik, Periodic Acid Schiff,
zoonosis


ABSTRACT
GANITA KURNIASIH SURYAMAN. Systemic Mycosis in Fruit Bats:
Histopathology of Internal Organ. Supervised by EKOWATI HANDHARYANI.
Systemic mycoses recently have become increasingly important with the
raising number of risk population whereas fruit bats are a potential vector of the
disease. The aim of this research was to find systemic mycoses in fruit bats by
examining the hystopatology of its lungs, liver, and guts. As many as 10 bats were
sampled for organs. The respective organs were stained by Haematoxylin-Eosin
(HE) stain and Periodic-Acid Schiff (PAS) stain. HE result signified systemic
infection with 7 samples out of 10 exhibits lung lesions while 5 of them has liver
lesions and 1 sample had gut lesion. PAS result revealed round unencapsulated
PAS-positive cells with broad-based budding and round unencapsulate PASpositive cells without budding. Based on the type of budding and the absence of
capsule, both organism were suspected as Blastomyces sp. with the differential
diagnoses of Cryptococcus sp.. Out of 10 samples, 6 were suspected to be infected
by Blastomyces sp.. Blastomycosis is classified as zoonotic disease thus there is a
possibility of fruit bats being the vector of this pathogen.
Keywords: Blastomyces, fruit bats, Periodic-Acid Schiff, systemic mycoses,
zoonoses


MIKOSIS SISTEMIK PADA KELELAWAR BUAH :
GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN INTERNA

GANITA KURNIASIH SURYAMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Mikosis Sistemik pada
Kelelawar Buah: Gambaran Histopatologi Organ Interna adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Ganita Kurniasih Suryaman
NIM B04090021

ABSTRAK
GANITA KURNIASIH SURYAMAN. Mikosis Sistemik Pada Kelelawar Buah:
Gambaran Histopatologi Organ Interna. Dibimbing oleh EKOWATI
HANDHARYANI.
Mikosis sistemik merupakan penyakit yang semakin penting karena jumlah
populasi yang berisiko terjangkit penyakit ini semakin meningkat. Kelelawar buah
memiliki potensi sebagai vektor mikosis sistemik. Tujuan penelitian ini adalah
menemukan agen infeksi mikosis sistemik pada kelelawar buah dengan
mengamati gambaran histopatologi paru-paru, hati, dan usus. Sampel organ paruparu, hati, dan usus diambil dari 10 ekor kelelawar buah kemudian diwarnai
dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE) dan Periodic Acid Schiff (PAS).
Hasil pewarnaan HE mengindikasikan infeksi sistemik dengan adanya peradangan
pada 7 dari 10 sampel paru-paru, 4 dari 6 sampel hati, dan 1 dari 4 sampel usus.
Hasil pewarnaan PAS ditemukan organisme berbentuk bulat sampai ovoid tidak
berkapsul dengan broad-based budding dan organisme bulat sampai ovoid tidak
berkapsul tanpa budding. Keduanya diduga sebagai Blastomyces sp. dengan

diferensial diagnosis Cryptococcus sp.. Evaluasi histopatologi menunjukkan
bahwa 6 dari 10 sampel ditemukan organisme diduga sebagai Blastomyces sp..
Blastomikosis termasuk ke dalam penyakit zoonotik sehingga ada kemungkinan
bahwa kelelawar buah dapat berperan sebagai vektor.
Kata kunci: Blastomyces, kelelawar buah, mikosis sistemik, Periodic Acid Schiff,
zoonosis

ABSTRACT
GANITA KURNIASIH SURYAMAN. Systemic Mycosis in Fruit Bats:
Histopathology of Internal Organ. Supervised by EKOWATI HANDHARYANI.
Systemic mycoses recently have become increasingly important with the
raising number of risk population whereas fruit bats are a potential vector of the
disease. The aim of this research was to find systemic mycoses in fruit bats by
examining the hystopatology of its lungs, liver, and guts. As many as 10 bats were
sampled for organs. The respective organs were stained by Haematoxylin-Eosin
(HE) stain and Periodic-Acid Schiff (PAS) stain. HE result signified systemic
infection with 7 samples out of 10 exhibits lung lesions while 5 of them has liver
lesions and 1 sample had gut lesion. PAS result revealed round unencapsulated
PAS-positive cells with broad-based budding and round unencapsulate PASpositive cells without budding. Based on the type of budding and the absence of
capsule, both organism were suspected as Blastomyces sp. with the differential

diagnoses of Cryptococcus sp.. Out of 10 samples, 6 were suspected to be infected
by Blastomyces sp.. Blastomycosis is classified as zoonotic disease thus there is a
possibility of fruit bats being the vector of this pathogen.
Keywords: Blastomyces, fruit bats, Periodic-Acid Schiff, systemic mycoses,
zoonoses

MIKOSIS SISTEMIK PADA KELELAWAR BUAH :
GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN INTERNA

GANITA KURNIASIH SURYAMAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah subhanahu wa ta’ala atas
rahmat dan ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Tema yang
dipilih untuk penelitian yang dilaksanakan bulan November 2013 hingga
November 2014 ini adalah mikosis sistemik, dengan judul Mikosis Sistemik pada
Kelelawar Buah: Gambaran Histopatologi Organ Interna.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada Prof
Drh Ekowati Handharyani MSi PhD APVet selaku dosen pembimbing 1 atas
bimbingan dan arahannya selama pembuatan karya tulis ini. Tidak lupa penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua serta saudara penulis atas
segala dukungan dan doa demi kelancaran penulisan karya tulis ini.
Bogor, Januari 2015
Ganita Kurniasih Suryaman

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi


DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1


Manfaat Penelitian

1

TINJAUAN PUSTAKA

2

Kelelawar buah

2

Mikosis Sistemik

2

METODE

3


Waktu dan Tempat

3

Alat dan Bahan

3

Prosedur Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4

Gambaran Histopatologi

4


Diagnosa Agen

8

Kelelawar sebagai agen penyebar Blastomyces

9

SIMPULAN DAN SARAN

10

Simpulan

10

Saran

10


DAFTAR PUSTAKA

10

LAMPIRAN

13

RIWAYAT HIDUP

15

DAFTAR TABEL
1 Hasil pengamatan pewarnaan HE pada hati, paru-paru, dan usus
kelelawar buah

5

DAFTAR GAMBAR
1 Organ hati sampel 53. Granuloma berisi sel radang (R) dan sel nekrotik
(N). Hepatosit di sekitar lesio tidak berbatas jelas dan mengalami
pembengkakan. (HE, perbesaran objektif 40x)
2 Organ paru-paru sampel 49. Lesio granuloma dekat dinding bronkiolus
disertai hiperplasia epitel bronkiolus (H). Terlihat adanya giant cell
multinuklear (G) (HE, perbesaran objektif 40x)
3 Organ hati sampel 57. Organisme berbentuk bulat hingga ovoid, tidak
berkapsul serta tanpa budding (←) ditemukan di dalam sinusoid (PAS,
perbesaran objektif 100x)
4 Organ paru-paru sampel 3. Organisme ovoid tidak berkapsul dengan
broad-based budding( ← ), terdapat pula variasi besar sel (PAS,
perbesaran 100x)

5

6

7

7

DAFTAR LAMPIRAN
1 Prosedur Pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE)
2 Prosedur pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS)

13
14

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mikosis sistemik merupakan salah satu penyakit yang sering lolos dari
perhatian dokter hewan namun memiliki peran yang semakin signifikan akhirakhir ini. Salah satu alasan pentingnya mikosis sistemik adalah karena beberapa
agen mikosis sistemik bersifat zoonotik. Menurut Hussein et al. (2011) hewan
memiliki peranan yang penting dalam epidemiologi mikosis pada manusia karena
dapat menjadi vektor atau membantu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
cendawan patogen untuk tumbuh. Oleh karena itu terdapat hubungan antara
penyebaran penyakit ini pada manusia serta penyebaran penyakit ini pada hewan.
Risiko penyebaran penyakit semakin meningkat akhir-akhir ini karena jumlah
individu memiliki keadaan imunosupresi semakin tinggi. Contoh dari individu
yang memiliki keadaan imunosupresi adalah penderita AIDS, penderita diabetes,
dan individu yang mengkonsumsi obat-obatan yang menyebabkan kondisi
imunosuppresif. Semakin rendah imunitas seseorang maka semakin mudah
cendawan patogen menginfeksi. Mikosis sistemik sering diawali dari penyakit
saluran pernapasan tanpa gejala klinis patognomonis sehingga dapat berujung
pada pengobatan yang tidak tepat sasaran dan penyakit dapat berujung progresif
(Randhawa 2000).
Mikosis sistemik juga dapat menginfeksi hewan produksi serta hewan
kesayangan (Songer dan Post 2005). Infeksi mikosis sistemik pada hewan
produksi dapat menyebabkan turunnya produksi hewan atau bahkan kematian
sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi. Infeksi pada hewan kesayangan akan
berdampak pada menurunnya kesejahteraan hidup hewan serta dapat menjadi
penyebar penyakit tersebut.
Kelelawar buah merupakan salah satu hewan liar yang lazim ditemui ada
diantara manusia dan hewan domestik. Hewan ini kadang beristirahat di bangunan
serta tidak jarang memasuki perkebunan-perkebunan untuk mencari makan.
Wilayah jelajah kelelawar buah pun sangat luas. Kelelawar buah yang ada di
Sumatra dapat bermigrasi hingga Semenanjung Malaysia dan didapatkan pula data
bahwa kelelawar buah bergerak dari Timor Leste ke Indonesia (Breed et al. 2010;
Sendow et al. 2006). Kelelawar buah memiliki intestinal transit time yang rendah
untuk mengurangi beban saat terbang (Fedman dan Hall 1985) sehingga sering
berdefekasi saat terbang. Perilaku menjelajah serta defekasi ini dapat menjadikan
kelelawar buah sebagai salah satu vektor agen penyakit yang potensial.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui patogenesis mikosis sistemik
pada kelelawar buah melalui pengamatan preparat histopatologi organ interna
paru-paru, hati, dan usus dengan pewarnaan HE dan PAS.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai mikosis
sistemik yang dapat ditemukan pada kelelawar buah.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Kelelawar buah
Kelelawar buah dikenal pula sebagai codot atau kalong dalam bahasa
Indonesia dan dalam bahasa Inggris fruit bat atau flying fox. Istilah ini pada
umumnya digunakan untuk kelelawar pemakan buah bertubuh besar. Kelelawar
buah mengacu pada famili Pteropodidae (Luzynski et al. 2009). Menurut
Linnaeus (1758), taksonomi kelelawar buah antara lain:
Kingdom : Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas
: Mammalia
Subkelas : Theria
Ordo
: Chiroptera
Subordo : Megachiroptera
Family
: Pteropodidae
Famili Pteropodidae terdiri atas 42 genera dan sekitar 169 spesies (Nowak
1999). Kelelawar buah kecil memiliki panjang tungkai atas hanya 37mm
sedangkan tungkai atas kelelawar besar dapat mencapai 220mm (Luzynski et al.
2009). Pteropodidae memiliki spesies kelelawar dengan tubuh terbesar (Luzynski
et al. 2009; Nowak 1999). Pteropodidae termasuk vegetarian dan memakan buah,
nektar, serta bunga (Nowak 1999). Lidah kelelawar buah termodifikasi untuk
menghancurkan buah-buahan. Traktus gastrointestinal kelelawar buah sederhana
dan makanan lewat dengan cepat (Nowak 1999). Kelelawar buah juga dapat
berdefekasi saat terbang (Fedman dan Hall 1985; Luzynski et al. 2009) untuk
mengurangi beban tubuh saat terbang.
Pteropodidae tersebar di daerah tropis serta subtropis di belahan bumi timur
(Luzynski et al. 1999). Beberapa spesies memiliki wilayah jelajah yang sangat
luas (Nowak 1999). Salah satu spesies Pteropodidae, Pteropus vampyrus,
bergerak antara Timor-Leste dan Indonesia, serta antara Semenanjung Malaysia
dan Sumatra (Breed et al. 2010; Sendow et al. 2006). Perilaku migrasi ini
meningkatkan risiko menyebarkan penyakit yang dibawa oleh Pteropus vampyrus,
diantaranya SARS, Ebola, Nipah, dan virus Hendra (Calisher et al. 2006).
Mikosis Sistemik
Berdasarkan situs infeksi mikosis dapat dibedakan menjadi mikosis
superfisial, mikosis kutis, mikosis subkutis, serta mikosis sistemik (Walsh dan
Dixon 1996). Mikosis sistemik merupakan infeksi mikal yang menyerang organ
interna menyusul penyebaran secara hematogenus setelah terinfeksi melalui paruparu (Songer dan Post 2005). Berdasarkan virulensi patogennya, agen mikosis
sistemik dibagi menjadi dua yaitu patogen primer dan patogen oportunistik.
Patogen primer dapat menyerang host normal sedangkan patogen oportunistik
hanya dapat menyerang host dengan imun terdepres (Walsh dan Dixon 1996).
Contoh mikosis sistemik patogen primer adalah blastomikosis, coccidiomikosis,
histoplasmosis, paracoccidiomikosis, dan cryptococosis. Contoh dari mikosis

3
sistemik patogen oportunistik adalah candidiasis dan aspergillosis (Songer dan
Post 2005).
Kebanyakan dari mikosis sistemik primer bersifat subklinis pada individu
dengan imunitas normal. Pada individu yang terpapar dengan inokulum berjumlah
besar atau mereka dengan imunitas kurang penyakit ini dapat berkembang
menjadi penyakit mematikan atau terjadi reaktifasi dari foci laten di kemudian
hari (Walsh dan Dixon 1996). Mikosis sistemik dapat menyebabkan problem
kesehatan yang bervariasi mulai dari sakit pada organ pencernaan, penyakit kulit,
penyakit bronkopulmonari, kelelahan, dan sebagainya. Menurut Walsh dan Dixon
(1996) gerbang masuk paling umum dari cendawan adalah traktus respiratori,
traktus gastrointestinal, dan pembuluh darah. Mikosis pernapasan yang berujung
sistemik, terkecuali candidiasis dan kasus unik tertentu, tidak menular dari satu
pasien ke pasien yang lain. Pasien terpapar oleh patogen secara inhalasi dengan
menghirup spora dari agen patogen yang ada di lingkungan. Oleh karena itu,
penyebaran mikosis sistemik patogen primer bersifat endemis (Walsh dan Dixon
1996; Songer dan Post 2005; Randhawa 2000).
Hewan memiliki peran penting dalam epidemiologi mikosis pada manusia
baik sebagai vektor dari cendawan patogen ataupun sebagai pembuat lingkungan
prasyarat tumbuhnya cendawan (Hussein et al. 2011). Beberapa hewan juga
rentan terhadap beberapa jenis mikosis sistemik tertentu. Anjing sangat rentan
terhadap blastomikosis dikarenakan sifatnya yang suka mengendus tanah dan
menggali lubang sehingga mudah terpapar spora infektif (Songer dan Post 2005).
Penularan langsung dari hewan ke manusia sangat jarang terjadi, pernah
dilaporkan satu kasus dimana manusia terjangkit blastomikosis melalui gigitan
anjing yang menderita disseminated blastomycosis (Gnann et al. 1983).

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Bagian Patologi, Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada bulan November 2013 hingga
November 2014.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan adalah adalah pinset, gunting, scalpel, zipper lock,
basket, wadah cairan pewarnaan, mikrotom, object glass, cover glass, dan
mikroskop cahaya. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah NBF (Neutral
Buffered Formalin), parafin, cairan Xylene I, II, dan III, Hematoxylin, Eosin,
Ethanol 100%, Ethanol 98%, Ethanol 70%, larutan lithium karbonat, larutan
Periodic Acis Schiff 0,5%, reagen Schiff, dan air destilasi. Organ yang digunakan
adalah paru-paru, usus, dan hati dari 9 ekor kelelawar buah Pteropus vampyrus
dengan 8 ekor betina dan 1 ekor jantan dan 1 ekor kelelawar buah Pteropus sp.
dengan jenis kelamin betina yang berasal dari Yogyakarta. Seluruh organ
didapatkan dari penelitian sebelumnya.

4
Metode Penelitian
Organ hati, paru-paru, serta usus dari kelelawar didapatkan dalam keadaan
telah terfiksasi dalam larutan BNF. Masing-masing organ diiris dengan ketebalan
3 mm, dimasukkan ke dalam basket, lalu diparafinisasi. Preparat diiris
menggunakan mikrotom, diletakkan pada object glass, lalu difiksasi. Masingmasing organ disiapkan untuk pewarnaan HE dan PAS sehingga pengirisan untuk
tiap preparat dilakukan dua kali. Irisan pertama dari seluruh preparat direhidrasi
lalu diwarnai dengan pewarnaan HE sebelum kemudian didehidrasi kembali dan
ditutup dengan cover glass. Irisan kedua dari seluruh preparat diwarnai
menggunaan teknik pewarnaan PAS dengan counter stain haematoxylin lalu
difiksasi dan ditutup dengan cover glass. Prosedur pewarnaan HE dilaksanakan
sesuai dengan prosedur pada lampiran 1 dan prosedur pewarnaan PAS
dilaksanakan sesuai dengan prosedur pada lampiran 2. Seluruh preparat diamati
menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran objektif sebesar 4, 10, 20, 40,
dan 100 kali.
Prosedur Analisis Data
Pengamatan HE dilakukan untuk mencari perubahan tampilan organ,
dilanjutkan dengan pengamatan PAS untuk mencari organisme patogen. Data
disusun ke dalam tabel lalu dikaji secara kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Histopatologi
Beberapa sampel tidak memiliki ketiga organ interna yang hendak diamati
secara lengkap. Dari ketiga organ interna yang diamati, hanya organ paru-paru
yang didapatkan lengkap dari kesepuluh sampel yang tersedia. Sampel organ hati
hanya didapatkan 6 sampel sedangkan sampel organ usus hanya didapatkan 5
sampel.
Pewarnaan HE mewarnai sel jaringan dan sel radang dengan baik sehingga
respon jaringan terhadap kerusakan dapat diamati. Respon granuloma sering
ditemukan pada infeksi cendawan. Cendawan umumnya berukuran cukup besar
sehingga sulit difagosit. Granuloma terbentuk guna melokalisir cendawan patogen
(Songer dan Post 2005). Menurut Kauffman (2006) agen patogen dapat tidak
ditemukan di dalam granuloma karena sudah terfagosit atau sudah menyebar ke
bagian tubuh lain. Beberapa cendawan dapat dilihat pada pewarnaan HE tetapi
sulit untuk dibedakan dengan jaringan sekitarnya (Guarner dan Brandt 2011).
Cendawan pathogen tidak ditemukan di seluruh sampel preparat pewarnaan HE
yang tersedia.
Respon radang selain granuloma yang ditemukan antara lain degenerasi
hidropis pada organ hati, pneumonia interstitialis dan hiperplasia epitel bronkiolus
pada organ paru-paru, serta proliferasi sel goblet di organ usus. Keseluruhan hasil
pengamatan untuk pewarnaan HE dapat dilihat di Tabel 1.

5
Tabel 1 Hasil pengamatan pewarnaan HE pada hati, paru-paru, dan usus kelelawar
buah
Kode
sampel
49
50
53
54
55
56
57
58
59
60

Lesio pada Pewarnaan HE
Hati
NE
NE
Granuloma
multifokal
NE
NE
TAP
Degenerasi
hidropik
Granuloma
multifokal
Granuloma
multifokal
TAP

Paru-paru
Pneumonia interstitialis
Granuloma, hiperplasia epitel
bronkiolus
Radang multifokal, pneumonia
interstitialis
Granuloma, pneumonia
interstitialis
Hiperplasia epitel bronkiolus
TAP
Pneumonia interstitialis

Usus
NE
Proliferasi sel
goblet
NE

Granuloma

TAP

Granuloma, hiperplasia epitel
bronkiolus
pneumonia interstitialis

NE

TAP
TAP
TAP
NE

NE

NE (not examined) menyatakan preparat tidak ada sehingga tidak teramati
TAP menyatakan bahwa tidak ada perubahan ditemukan

Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1, 3 dari 6 sampel hati yang
tersedia memperlihatkan granuloma multifokal (Gambar 1). Sampel 57 tidak
memiliki granuloma namun mengalami degenerasi hidropik, ditandai dengan
pembengkakan sel dengan zona bening di sitoplasma dan sinusoid yang tidak
tampak jelas. Menurut Bhardwaj et al. (2009) granuloma pada hati sering
ditemukan dan dapat merupakan akibat dari kerusakan metabolisme pada hati,
infeksi hati, atau mungkin tidak didukung oleh gejala klinis yang jelas.

Gambar 1 Organ hati sampel 53. Granuloma berisi sel radang (R) dan sel
nekrotik (N). Hepatosit di sekitar lesio tidak berbatas jelas dan
mengalami pembengkakan. (HE, perbesaran objektif 40x)

6
Pada pewarnaan HE di sampel paru-paru, 7 dari 10 sampel memperlihatkan
peradangan; 5 sampel diantaranya memiliki lesio granulomatosa sedangkan 4
memiliki pneumonia interstitialis. Sampel 51, 54, 58, dan 59 memiliki granuloma
pada dinding bronkiolus disertai hiperplasia epitel bronkiolus (Gambar 2). Sel
radang didominasi oleh limfosit dan makrofag. Cendawan termasuk ke dalam
agen infeksius yang dapat menyebabkan munculnya granuloma pada paru-paru
(Mukhopadhyay dan Gal 2010). Sampel 53 memiliki fokus radang di interstitium
paru-paru.

Gambar 2 Organ paru-paru sampel 49. Lesio granuloma dekat dinding
bronkiolus disertai hiperplasia epitel bronkiolus (H). Terlihat
adanya giant cell multinuklear (G) (HE, perbesaran objektif 40x)
Satu-satunya lesio pada usus yang ditemukan adalah proliferasi sel goblet
pada usus di sampel 50, namun tidak terdapat infiltrasi sel radang pada sampel
tersebut. Proliferasi sel goblet dapat terjadi pada fase akut infeksi. Respon ini
bertujuan memproduksi mucin yang dapat mencegah agen patogen berikatan
dengan dinding usus (Kim dan Ho 2010).
Secara keseluruhan, hasil pewarnaan HE menunjukkan peradangan pada
organ hati, paru-paru, serta usus. Peradangan terjadi pada lebih dari satu organ
mengindikasikan adanya infeksi sistemik. Sampel yang mengalami radang pada
hati atau usus juga mengalami radang pada paru-paru walaupun belum tentu
sampel yang mengalami radang pada paru-paru memiliki radang pada hati atau
usus. Hasil ini mengindikasikan peradangan berasal dari paru-paru lalu menyebar
ke organ lain.
Hasil pengamatan pewarnaan PAS pada organ hati menunjukkan bahwa
pada sampel 53, 57, dan 59 ditemukan organisme berbentuk bulat hingga ovoid,
tidak berkapsul, dan tidak ditemukan budding (Gambar 3). Bentukan organisme
yang mirip dengan Gambar 3 ditemukan pula pada organ paru-paru sampel 56 dan
59 serta organ usus sampel 49.
Pengamatan pewarnaan PAS pada organ paru-paru pada sampel 53
menunjukkan organisme berbentuk bulat agak ovoid tidak berkapsul dengan
broad-based budding (Gambar 4). Organisme dengan bentuk mirip dengan
Gambar 4 juga ditemukan pada organ hati sampel 56 dan pada kripta usus sampel
50.

7

Gambar 4 Organ paru-paru sampel 53. Organisme ovoid tidak berkapsul dengan
broad-based budding(←), terdapat pula variasi besar sel (PAS, perbesaran
100x)

Gambar 3 Organ hati sampel 57. Organisme berbentuk bulat hingga ovoid,
tidak berkapsul serta tanpa budding ( ← ) ditemukan di dalam
sinusoid (PAS, perbesaran objektif 100x)
Hasil keseluruhan pewarnaan PAS memperlihatkan organisme bulat hingga
ovoid tidak berkapsul tanpa budding ditemukan pada 3 sampel hati, 2 sampel
paru-paru, serta 1 sampel usus. Organisme bulat hingga ovoid dengan broadbased budding tidak berkapsul ditemukan pada 1 sampel hati, 1 sampel paru-paru,
serta 1 sampel usus.

8
Diagnosa Agen
Berdasarkan hasil gambaran histopatologi pada pewarnaan HE dan PAS,
cendawan yang ditemukan pada 6 dari 10 sampel diduga sebagai Blastomyces sp.
Blastomyces memiliki ukuran besar 8-15 µm atau 5-20µm dengan dinding sel
yang tebal dan tidak berkapsul (El-Zammar dan Katzenstein 2007; Songer dan
Post 2005). Blastomyces memiliki broad-based budding yang dianggap sebagai
karakteristik tetapi tidak selalu dapat ditemukan (El-Zammar dan Katzenstein
2007; Guarner dan Brandt 2011; Mukhopadhyay dan Gal 2010). Blastomyces
dapat memperlihatkan variasi ukuran dan memiliki variasi berukuran kecil yang
disebut microform (Guarner dan Brandt 2011; Mukhopadhyay dan Gal 2010).
Ketiga ciri ini mirip dengan sel yang ditemukan pada organ paru-paru sampel 53,
organ hati sampel 56, serta organ usus sampel 50.
Diferensial diagnosa dari Blastomyces adalah Cryptococcus. Cryptococcus
dapat dibedakan dengan Blastomyces oleh keberadaan kapsul yang berupa area
bening di sekitar sel serta budding yang bersifat narrow based budding (McVey et
al. 2013). Blastomyces tanpa budding sulit untuk dibedakan dengan Cryptococcus.
Selain itu, terdapat Cryptococcus atipikal yang tidak memiliki kapsul sehingga
sulit dibedakan dengan Blastomyces (Guarner dan Brandt 2011). Oleh karena itu,
golden standard bagi diagnosa cendawan dimorfik adalah dengan menumbuhkan
cendawan tersebut dalam biakan untuk mendapatkan fase kapangnya (Songer dan
Post 2005). Sel bulat hingga ovoid tidak berkapsul yang ditemukan pada sampel
diduga lebih kuat sebagai Blastomyces karena ketidakberadaan kapsul serta
ditemukannya broad-based budding pada organ lain di sampel yang sama untuk
kasus sampel 53.
Infeksi Blastomyces sp. disebabkan oleh spora atau fragmen miselium yang
terdapat di udara dan terhirup masuk ke dalam paru-paru (Songer dan Post 2005).
Oleh karena itu, gangguan pernapasan dan munculnya lesio pada paru-paru
termasuk ke dalam gejala blastomikosis. Hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa terdapat 7 sampel dari 10 sampel yang memiliki peradangan pada paruparu. Dari 7 sampel tersebut, terdapat 4 sampel yang juga menunjukkan
peradangan pada hati serta 1 sampel yang memperlihatkan peradangan pada usus.
Hasil tersebut kemungkinan besar menunjukkan bahwa infeksi awal dimulai dari
paru-paru lalu menyebar ke organ lain. Hasil tersebut juga mengindikasikan organ
yang terserang setelah paru-paru dapat berbeda bergantung pada perkembangan
penyakit. Apabila hanya paru-paru yang menampakkan peradangan, maka
kemungkinan besar penyakit masih bersifat akut atau organisme patogen belum
menyebar.
Pada sampel 50, walau ditemukan granuloma pada paru-paru, tidak
ditemukan cendawan pada organ paru-paru tersebut. Cendawan yang diduga
sebagai Blastomyces pada sampel 50 justru ditemukan pada kripta duodenum.
Menurut Kauffman (2006) pada infeksi sistemik atau disseminated blastomycosis,
organisme dapat ditemukan di organ lain tanpa diketemukan di paru-paru dengan
ataupun tanpa lesio. Kemungkinan besar infeksi pada sampel 50 merupakan
infeksi kronis dan sistemik. Hal ini dapat terjadi karena Blastomyces di paru-paru
sudah terfagosit dan hanya meninggalkan granuloma tanpa ditemukannya
organisme tersebut di daerah nekrosa (Kauffman 2006). Penemuan Blastomyces di
usus dapat diduga diakibatkan penyebaran agen secara hematogen. Menurut

9
Songer dan Post (2005) Blastomyces memiliki kemampuan untuk mengelabui
sistem pertahanan dan memasuki aliran darah lalu menyebar secara hematogenus
ke organ lain. Organ-organ sering ditemukannya Blastomyces sp. antara lain paruparu, kulit, sistem syaraf, saluran genitourinari, dan tulang (Bradsher 1997;
Kauffman 2006; Songer dan Post 2005). Blastomyces sebelumnya tidak pernah
ditemukan di usus, walau pernah ditemukan di organ selain yang disebutkan di
atas, misalnya otot dalam bentuk abses intramuskular (Kapnadak dan Vinayak
2011).
Sampel nomor 56 memiliki organisme yang diduga Blastomyces di paruparu dan hati tanpa memperlihatkan respon radang pada paru-paru. Pada infeksi
umumnya, Blastomyces akan menimbulkan respon inflamasi yang menyebabkan
peningkatan neutrofil dan sel-sel fagosit mononuklear pada paru-paru (Songer dan
Post 2005). Pada individu dengan imunitas kurang atau menderita imunosupresi,
blastomikosis sistemik dapat terjadi tanpa respon radang yang kuat namun
organisme dapat ditemukan pada berbagai organ (Kauffman 2006; Songer dan
Post 2005). Mukhopadhyay dan Gal (2010) menambahkan bahwa respon radang
pada infeksi mikosis dapat berbeda dari biasanya dan memiliki tingkat keparahan
bervariasi, tergantung pada pertahanan tubuh inang.
Kelelawar sebagai agen penyebar Blastomyces
Blastomikosis termasuk zoonosis. Blastomyces termasuk ke dalam agen
patogen primer, yang berarti dapat menginfeksi individu imunokompeten. Infeksi
akut Blastomyces umumnya bersifat self-limiting pada individu normal, namun
dapat menjadi fatal pada individu dengan imun yang rendah, seperti pengonsumsi
obat-obat kortikosteroid ataupun yang menderita penyakit imunosupresi. Infeksi
kronis pun mungkin terjadi pada individu normal dengan pembentukan granuloma
pada paru-paru dan atau pada organ lain (Songer dan Post 2005). Blastomyces
juga dikenal dapat muncul kembali bertahun-tahun kemudian setelah terjadinya
infeksi akut (El-zammar dan Katzenstein 2007; Kauffman 2006).
Blastomyces menginfeksi paru-paru melalui spora dan fragmen miseliumnya
(Songer dan Post 2005). Penyebaran Blastomyces diketahui terbatas pada daerah
dimana cendawan tersebut dapat ditemukan pada fase kapangnya. Kasus
penyebaran Blastomyces tidak melalui inhalasi dilaporkan dalam satu kasus
dimana Blastomyces menyebar ke manusia melalui gigitan anjing yang terinfeksi
parah (Gnann et al. 1983). Blastomyces diduga memiliki hubungan dengan
ekskreta hewan karena Blastomyces pernah ditemukan pada kotoran burung dara,
tanah kandang ayam, serta tanah kandang keledai (Songer dan Post 2005).
Hasil penelitian menunjukan bahwa 6 dari 10 kelelawar diduga terinfeksi
blastomikosis. Seluruh kelelawar buah berasal dari satu koloni yang sama
sehingga infeksi oleh Blastomyces sp. kemungkinan besar terjadi di tempat
kelelawar buah tersebut biasa berkumpul bergerombol. Keadaan tersebut
memudahkan agen patogen untuk menginfeksi individu dalam jumlah besar. Hal
ini berarti daerah tempat berkumpul kelelawar buah tersebut mungkin terdapat
Blastomyces. Kelelawar buah biasa berkumpul bergerombol di pepohonan
ataupun di bangunan berdampingan dengan manusia (Luzinsky et al. 2009).
Habitat yang berdampingan ini dapat meningkatkan risiko penularan Blastomyces
sp. pada manusia.

10
Kelelawar buah dapat berdefekasi saat terbang sehingga berpotensi menjadi
agen penyebar Blastomyces. Kelelawar buah pun memiliki wilayah jelajah yang
luas (Fujita dan Tuttle 2005) sehingga terdapat kemungkinan kelelawar dapat
membawa agen patogen dari satu tempat ke tempat lain yang mungkin masih
bebas dari agen patogen tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemeriksaan histopatologi organ interna pada 10 ekor kelelawar buah
ditemukan 6 diantaranya mengalami infeksi sistemik oleh organisme yang diduga
sebagai Blastomyces sp.. Infeksi sistemik ditunjukkan dengan adanya peradangan
pada sampel paru-paru, sampel hati, serta sampel usus. Infeksi diduga diawali dari
paru-paru lalu menyebar ke organ lain. Kelelawar buah berpotensi menjadi vektor
bagi penyebaran blastomikosis.
Saran
Perlu dilakukan isolasi biakan serta pewarnaan teknik lain untuk
meneguhkan diagnosa.

DAFTAR PUSTAKA
Bhardwaj SS, Saxena R, Kwo PY. 2009. Granulomatous liver disease. Current
Gastroenterology Reports. 11(1): 42-49.
Bradsher RW. 1997. Clinical feature of blastomycosis. Seminars in Respiratory
Infection. 12 (3): 229 - 234.
Breed AC, Field HE, Smith CS, Edmonston J, Meers J. 2010. Bats without
borders: long distance movements and implications for disease risk
management. Ecohealth. 7(2): 204-212.
Calisher et al. 2006. Bats: important reservoir host of emerging viruses. Clinical
Microbiology Reviews. 19 (3): 531-545.
El-zammar OA dan Katzenstein A-LA. 2007. Pathological diagnosis of
granulomatous lung disease: a review. Histopathology. 50: 289-310.
Fedman RA dan Hall LS. 1985. The morphology of the gastrointestinal tract and
food transit time in the fruit bats Pretopus alecto and P. poliocephalus
(Megachiropteran). Australian Jounal of Zoology. 33(5) 625-640.
Fujita Ms dan Tuttle MD. 2005. Flying foxes (Chiroptea: Pteropodidae):
threatened animals of key ecological & economic importance. Conservation
Biology. 5(4):455-463.
Gnann Jr JW, Bressler GS, Bodet III CA, Avent CK. 1983. Human blastomycosis
after a dog bite. Annuals of Internal Medicine. 98(1) 48-49 (abstract).
Guarner J dan Brandt ME. 2011. Histopathologic diagnosis of fungal infections in
the 21st century. Clinical Microbiology Reviews. 24(2): 247-280.
Hussein AAa, Mohamed MAA, Moharram AM, Abdul-Kader HA, Oraby NHM.
2011. Epidemiological studies on zoonotic deep mycoses between animals
and man in Assiut Governorate, Egypt [Internet]. [2011 Jul 3-7, Vienna].

11
Vienna (AT): ISAH. hlm 1209-1213. [diunduh 2014 Nov 11]. Tersedia pada
http//.www.isah-so.org/documents/2011/pro_2011/files/volume_11/171.pdf
Kapnadak SG dan Vinayak A. 2011. Blastomycosis as intramuscular abscess.
Respiratory Medicine. 4 (2011) 9-11.
Kauffman C. 2006. Endemic mycoses: blastomycosis, histoplasmosis, and
sporotrichosis. Infectious Disease Clinics of North America. 20 (2006) 645 662.
Kim YS dan Ho SB. 2010. Intestinal goblet cells and mucins in helath and
disease: recent insights and progress. Current Gastroenterology Reports. 12:
319- 330.
Luzynski KC, Sluzas E, Wallen M. 2009. Pteropodidae. University of Michigan
[Internet].
[diunduh
2014
Desember
7].
Tersedia
pada:
http://animaldiversity.org/accounts/Pteropodidae/
McVey DS, Kennedy M, Chengappa MM. 2013. Veterinary Microbiology. Ed ke3. New Jersey (US): Wiley-Blackwell.
Mukhopadhyay S dan Gal AA. 2010. Granulomatous lung disease: an approach to
the differential diagnosis. Archives of Pathology & Laboratory Medicine.
134: 667-690.
Nowak RM. 1999. Walker's Mammals of the World. Volume 1. Baltimore (US):
John Hopkins University Press.
Randhawa HS. 2000. Respiratory and systemic mycosis: an overview. Indian
Journal of Chest Disease and Allied Science. 42 (4): 207-219.
Sendow I, Field HE, Curran J, Darminto, Morissy C, Meehan G, Buick T, Daniels
P. 2006. Henipavirus in Pteropus vampyrus bats, Indonesia. Emerging
Infectious Disease. 12 (4) 711-712.
Songer JG, Post KW. 2005. Veterinary Microbiology: Bacterial and Fungal
Agents of Animal Disease. Missouri (US): Elsevier Saunders.
Walsh TJ, Dixon DM. 1996. Spectrum of mycoses. Di dalam: Baron S, editor.
Medical Microbiology. Ed ke-4. Galveston (TX): University of Texas
Medical Branch.

12

13
Lampiran 1 Prosedur Pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE)
Deparafinisasi dalam xylol (3 menit, 3x)

Direhidrasi alkohol bertingkat (3 menit)

Dibilas air mengalir ± 3 detik

Direndam 15 menit dalam larutan Hematoxylin

Dibasuh dengan air

Dimasukkan ke dalam lithium karbonat 15-30 detik

Dibasuh kembali

Dimasukkan ke dalam larutan Eosin 15 menit
Dibasuh dengan air

Dehidrasi dengan alkohol bertahap dan xylol bertahap (tahapan dibalik)

Mounting

14
Lampiran 2 Prosedur pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS)
Deparafinisasi dalam xylol (3 menit, 3x)
Direhidrasi dalam alkohol bertingkat (3menit)
Dicuci dengan air (10 menit)
Dioksidasi dengan asam periodat 1% (5-10 menit)
Dicuci aquades (3 menit, 3x)
Dimasukkan dalam Reagen Schiff (15-30 menit)
Dicuci dengan air sulfit (3 menit, 3x)
Dicuci dengan aquades (5 menit, 3x)
Diwarnai hematoxylin (beberapa detik)
Dicuci air mengalir (10-60 menit)
Dicuci aquades (5 menit, 2x)
Didehidrasi dan dijernihkan dalam xylol (3-5 menit)

15

RIWAYAT HIDUP
Ganita Kurniasih Suryaman lahir di Bogor pada tanggal 26 Desember 1990
dari pasangan Asep Suryaman dan Dewi Ganevianti. Penulis merupakan anak
kedua dari dua bersaudara. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah di SMA
Negeri 1 Bogor pada tahun 2009, penulis melanjutkan pendidikannya di Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam Himpunan Profesi
(Himpro) Satwa Liar FKH IPB dan pernah menjabat sebagai Ketua Divisi Wild
Ornith 2011-2012. Di luar fakultas, penulis juga merupakan anggota di UKM Uni
Konservasi Fauna IPB sejak tahun 2009 serta pernah menjadi ketua Divisi
Training and Development dari UKM IPB Debating Community periode 20102011. Penulis pernah mengikuti seminar internasional 20th Tri-University Joint
Seminar and Symposium 2013 yang dilaksanakan di Mie University, Jepang
setelah sebelumnya menjadi staf dalam 19th Tri-University Joint Seminar and
Symposium 2012 yang dilaksanakan di IPB. Penulis mengikuti program
pertukaran pelajar ke Mie University, Jepang, sebagai mahasiswa fakultas
Bioresources pada bulan Oktober 2013 hingga akhir September 2014.

10
Kelelawar buah dapat berdefekasi saat terbang sehingga berpotensi menjadi
agen penyebar Blastomyces. Kelelawar buah pun memiliki wilayah jelajah yang
luas (Fujita dan Tuttle 2005) sehingga terdapat kemungkinan kelelawar dapat
membawa agen patogen dari satu tempat ke tempat lain yang mungkin masih
bebas dari agen patogen tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemeriksaan histopatologi organ interna pada 10 ekor kelelawar buah
ditemukan 6 diantaranya mengalami infeksi sistemik oleh organisme yang diduga
sebagai Blastomyces sp.. Infeksi sistemik ditunjukkan dengan adanya peradangan
pada sampel paru-paru, sampel hati, serta sampel usus. Infeksi diduga diawali dari
paru-paru lalu menyebar ke organ lain. Kelelawar buah berpotensi menjadi vektor
bagi penyebaran blastomikosis.
Saran
Perlu dilakukan isolasi biakan serta pewarnaan teknik lain untuk
meneguhkan diagnosa.

DAFTAR PUSTAKA
Bhardwaj SS, Saxena R, Kwo PY. 2009. Granulomatous liver disease. Current
Gastroenterology Reports. 11(1): 42-49.
Bradsher RW. 1997. Clinical feature of blastomycosis. Seminars in Respiratory
Infection. 12 (3): 229 - 234.
Breed AC, Field HE, Smith CS, Edmonston J, Meers J. 2010. Bats without
borders: long distance movements and implications for disease risk
management. Ecohealth. 7(2): 204-212.
Calisher et al. 2006. Bats: important reservoir host of emerging viruses. Clinical
Microbiology Reviews. 19 (3): 531-545.
El-zammar OA dan Katzenstein A-LA. 2007. Pathological diagnosis of
granulomatous lung disease: a review. Histopathology. 50: 289-310.
Fedman RA dan Hall LS. 1985. The morphology of the gastrointestinal tract and
food transit time in the fruit bats Pretopus alecto and P. poliocephalus
(Megachiropteran). Australian Jounal of Zoology. 33(5) 625-640.
Fujita Ms dan Tuttle MD. 2005. Flying foxes (Chiroptea: Pteropodidae):
threatened animals of key ecological & economic importance. Conservation
Biology. 5(4):455-463.
Gnann Jr JW, Bressler GS, Bodet III CA, Avent CK. 1983. Human blastomycosis
after a dog bite. Annuals of Internal Medicine. 98(1) 48-49 (abstract).
Guarner J dan Brandt ME. 2011. Histopathologic diagnosis of fungal infections in
the 21st century. Clinical Microbiology Reviews. 24(2): 247-280.
Hussein AAa, Mohamed MAA, Moharram AM, Abdul-Kader HA, Oraby NHM.
2011. Epidemiological studies on zoonotic deep mycoses between animals
and man in Assiut Governorate, Egypt [Internet]. [2011 Jul 3-7, Vienna].

11
Vienna (AT): ISAH. hlm 1209-1213. [diunduh 2014 Nov 11]. Tersedia pada
http//.www.isah-so.org/documents/2011/pro_2011/files/volume_11/171.pdf
Kapnadak SG dan Vinayak A. 2011. Blastomycosis as intramuscular abscess.
Respiratory Medicine. 4 (2011) 9-11.
Kauffman C. 2006. Endemic mycoses: blastomycosis, histoplasmosis, and
sporotrichosis. Infectious Disease Clinics of North America. 20 (2006) 645 662.
Kim YS dan Ho SB. 2010. Intestinal goblet cells and mucins in helath and
disease: recent insights and progress. Current Gastroenterology Reports. 12:
319- 330.
Luzynski KC, Sluzas E, Wallen M. 2009. Pteropodidae. University of Michigan
[Internet].
[diunduh
2014
Desember
7].
Tersedia
pada:
http://animaldiversity.org/accounts/Pteropodidae/
McVey DS, Kennedy M, Chengappa MM. 2013. Veterinary Microbiology. Ed ke3. New Jersey (US): Wiley-Blackwell.
Mukhopadhyay S dan Gal AA. 2010. Granulomatous lung disease: an approach to
the differential diagnosis. Archives of Pathology & Laboratory Medicine.
134: 667-690.
Nowak RM. 1999. Walker's Mammals of the World. Volume 1. Baltimore (US):
John Hopkins University Press.
Randhawa HS. 2000. Respiratory and systemic mycosis: an overview. Indian
Journal of Chest Disease and Allied Science. 42 (4): 207-219.
Sendow I, Field HE, Curran J, Darminto, Morissy C, Meehan G, Buick T, Daniels
P. 2006. Henipavirus in Pteropus vampyrus bats, Indonesia. Emerging
Infectious Disease. 12 (4) 711-712.
Songer JG, Post KW. 2005. Veterinary Microbiology: Bacterial and Fungal
Agents of Animal Disease. Missouri (US): Elsevier Saunders.
Walsh TJ, Dixon DM. 1996. Spectrum of mycoses. Di dalam: Baron S, editor.
Medical Microbiology. Ed ke-4. Galveston (TX): University of Texas
Medical Branch.

4
Metode Penelitian
Organ hati, paru-paru, serta usus dari kelelawar didapatkan dalam keadaan
telah terfiksasi dalam larutan BNF. Masing-masing organ diiris dengan ketebalan
3 mm, dimasukkan ke dalam basket, lalu diparafinisasi. Preparat diiris
menggunakan mikrotom, diletakkan pada object glass, lalu difiksasi. Masingmasing organ disiapkan untuk pewarnaan HE dan PAS sehingga pengirisan untuk
tiap preparat dilakukan dua kali. Irisan pertama dari seluruh preparat direhidrasi
lalu diwarnai dengan pewarnaan HE sebelum kemudian didehidrasi kembali dan
ditutup dengan cover glass. Irisan kedua dari seluruh preparat diwarnai
menggunaan teknik pewarnaan PAS dengan counter stain haematoxylin lalu
difiksasi dan ditutup dengan cover glass. Prosedur pewarnaan HE dilaksanakan
sesuai dengan prosedur pada lampiran 1 dan prosedur pewarnaan PAS
dilaksanakan sesuai dengan prosedur pada lampiran 2. Seluruh preparat diamati
menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran objektif sebesar 4, 10, 20, 40,
dan 100 kali.
Prosedur Analisis Data
Pengamatan HE dilakukan untuk mencari perubahan tampilan organ,
dilanjutkan dengan pengamatan PAS untuk mencari organisme patogen. Data
disusun ke dalam tabel lalu dikaji secara kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Histopatologi
Beberapa sampel tidak memiliki ketiga organ interna yang hendak diamati
secara lengkap. Dari ketiga organ interna yang diamati, hanya organ paru-paru
yang didapatkan lengkap dari kesepuluh sampel yang tersedia. Sampel organ hati
hanya didapatkan 6 sampel sedangkan sampel organ usus hanya didapatkan 5
sampel.
Pewarnaan HE mewarnai sel jaringan dan sel radang dengan baik sehingga
respon jaringan terhadap kerusakan dapat diamati. Respon granuloma sering
ditemukan pada infeksi cendawan. Cendawan umumnya berukuran cukup besar
sehingga sulit difagosit. Granuloma terbentuk guna melokalisir cendawan patogen
(Songer dan Post 2005). Menurut Kauffman (2006) agen patogen dapat tidak
ditemukan di dalam granuloma karena sudah terfagosit atau sudah menyebar ke
bagian tubuh lain. Beberapa cendawan dapat dilihat pada pewarnaan HE tetapi
sulit untuk dibedakan dengan jaringan sekitarnya (Guarner dan Brandt 2011).
Cendawan pathogen tidak ditemukan di seluruh sampel preparat pewarnaan HE
yang tersedia.
Respon radang selain granuloma yang ditemukan antara lain degenerasi
hidropis pada organ hati, pneumonia interstitialis dan hiperplasia epitel bronkiolus
pada organ paru-paru, serta proliferasi sel goblet di organ usus. Keseluruhan hasil
pengamatan untuk pewarnaan HE dapat dilihat di Tabel 1.

5
Tabel 1 Hasil pengamatan pewarnaan HE pada hati, paru-paru, dan usus kelelawar
buah
Kode
sampel
49
50
53
54
55
56
57
58
59
60

Lesio pada Pewarnaan HE
Hati
NE
NE
Granuloma
multifokal
NE
NE
TAP
Degenerasi
hidropik
Granuloma
multifokal
Granuloma
multifokal
TAP

Paru-paru
Pneumonia interstitialis
Granuloma, hiperplasia epitel
bronkiolus
Radang multifokal, pneumonia
interstitialis
Granuloma, pneumonia
interstitialis
Hiperplasia epitel bronkiolus
TAP
Pneumonia interstitialis

Usus
NE
Proliferasi sel
goblet
NE

Granuloma

TAP

Granuloma, hiperplasia epitel
bronkiolus
pneumonia interstitialis

NE

TAP
TAP
TAP
NE

NE

NE (not examined) menyatakan preparat tidak ada sehingga tidak teramati
TAP menyatakan bahwa tidak ada perubahan ditemukan

Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1, 3 dari 6 sampel hati yang
tersedia memperlihatkan granuloma multifokal (Gambar 1). Sampel 57 tidak
memiliki granuloma namun mengalami degenerasi hidropik, ditandai dengan
pembengkakan sel dengan zona bening di sitoplasma dan sinusoid yang tidak
tampak jelas. Menurut Bhardwaj et al. (2009) granuloma pada hati sering
ditemukan dan dapat merupakan akibat dari kerusakan metabolisme pada hati,
infeksi hati, atau mungkin tidak didukung oleh gejala klinis yang jelas.

Gambar 1 Organ hati sampel 53. Granuloma berisi sel radang (R) dan sel
nekrotik (N). Hepatosit di sekitar lesio tidak berbatas jelas dan
mengalami pembengkakan. (HE, perbesaran objektif 40x)

6
Pada pewarnaan HE di sampel paru-paru, 7 dari 10 sampel memperlihatkan
peradangan; 5 sampel diantaranya memiliki lesio granulomatosa sedangkan 4
memiliki pneumonia interstitialis. Sampel 51, 54, 58, dan 59 memiliki granuloma
pada dinding bronkiolus disertai hiperplasia epitel bronkiolus (Gambar 2). Sel
radang didominasi oleh limfosit dan makrofag. Cendawan termasuk ke dalam
agen infeksius yang dapat menyebabkan munculnya granuloma pada paru-paru
(Mukhopadhyay dan Gal 2010). Sampel 53 memiliki fokus radang di interstitium
paru-paru.

Gambar 2 Organ paru-paru sampel 49. Lesio granuloma dekat dinding
bronkiolus disertai hiperplasia epitel bronkiolus (H). Terlihat
adanya giant cell multinuklear (G) (HE, perbesaran objektif 40x)
Satu-satunya lesio pada usus yang ditemukan adalah proliferasi sel goblet
pada usus di sampel 50, namun tidak terdapat infiltrasi sel radang pada sampel
tersebut. Proliferasi sel goblet dapat terjadi pada fase akut infeksi. Respon ini
bertujuan memproduksi mucin yang dapat mencegah agen patogen berikatan
dengan dinding usus (Kim dan Ho 2010).
Secara keseluruhan, hasil pewarnaan HE menunjukkan peradangan pada
organ hati, paru-paru, serta usus. Peradangan terjadi pada lebih dari satu organ
mengindikasikan adanya infeksi sistemik. Sampel yang mengalami radang pada
hati atau usus juga mengalami radang pada paru-paru walaupun belum tentu
sampel yang mengalami radang pada paru-paru memiliki radang pada hati atau
usus. Hasil ini mengindikasikan peradangan berasal dari paru-paru lalu menyebar
ke organ lain.
Hasil pengamatan pewarnaan PAS pada organ hati menunjukkan bahwa
pada sampel 53, 57, dan 59 ditemukan organisme berbentuk bulat hingga ovoid,
tidak berkapsul, dan tidak ditemukan budding (Gambar 3). Bentukan organisme
yang mirip dengan Gambar 3 ditemukan pula pada organ paru-paru sampel 56 dan
59 serta organ usus sampel 49.
Pengamatan pewarnaan PAS pada organ paru-paru pada sampel 53
menunjukkan organisme berbentuk bulat agak ovoid tidak berkapsul dengan
broad-based budding (Gambar 4). Organisme dengan bentuk mirip dengan
Gambar 4 juga ditemukan pada organ hati sampel 56 dan pada kripta usus sampel
50.

7

Gambar 4 Organ paru-paru sampel 53. Organisme ovoid tidak berkapsul dengan
broad-based budding(←), terdapat pula variasi besar sel (PAS, perbesaran
100x)

Gambar 3 Organ hati sampel 57. Organisme berbentuk bulat hingga ovoid,
tidak berkapsul serta tanpa budding ( ← ) ditemukan di dalam
sinusoid (PAS, perbesaran objektif 100x)
Hasil keseluruhan pewarnaan PAS memperlihatkan organisme bulat hingga
ovoid tidak berkapsul tanpa budding ditemukan pada 3 sampel hati, 2 sampel
paru-paru, serta 1 sampel usus. Organisme bulat hingga ovoid dengan broadbased budding tidak berkapsul ditemukan pada 1 sampel hati, 1 sampel paru-paru,
serta 1 sampel usus.

8
Diagnosa Agen
Berdasarkan hasil gambaran histopatologi pada pewarnaan HE dan PAS,
cendawan yang ditemukan pada 6 dari 10 sampel diduga sebagai Blastomyces sp.
Blastomyces memiliki ukuran besar 8-15 µm atau 5-20µm dengan dinding sel
yang tebal dan tidak berkapsul (El-Zammar dan Katzenstein 2007; Songer dan
Post 2005). Blastomyces memiliki broad-based budding yang dianggap sebagai
karakteristik tetapi tidak selalu dapat ditemukan (El-Zammar dan Katzenstein
2007; Guarner dan Brandt 2011; Mukhopadhyay dan Gal 2010). Blastomyces
dapat memperlihatkan variasi ukuran dan memiliki variasi berukuran kecil yang
disebut microform (Guarner dan Brandt 2011; Mukhopadhyay dan Gal 2010).
Ketiga ciri ini mirip dengan sel yang ditemukan pada organ paru-paru sampel 53,
organ hati sampel 56, serta organ usus sampel 50.
Diferensial diagnosa dari Blastomyces adalah Cryptococcus. Cryptococcus
dapat dibedakan dengan Blastomyces oleh keberadaan kapsul yang berupa area
bening di sekitar sel serta budding yang bersifat narrow based budding (McVey et
al. 2013). Blastomyces tanpa budding sulit untuk dibedakan dengan Cryptococcus.
Selain itu, terdapat Cryptococcus atipikal yang tidak memiliki kapsul sehingga
sulit dibedakan dengan Blastomyces (Guarner dan Brandt 2011). Oleh karena itu,
golden standard bagi diagnosa cendawan dimorfik adalah dengan menumbuhkan
cendawan tersebut dalam biakan untuk mendapatkan fase kapangnya (Songer dan
Post 2005). Sel bulat hingga ovoid tidak berkapsul yang ditemukan pada sampel
diduga lebih kuat sebagai Blastomyces karena ketidakberadaan kapsul serta
ditemukannya broad-based budding pada organ lain di sampel yang sama untuk
kasus sampel 53.
Infeksi Blastomyces sp. disebabkan oleh spora atau fragmen miselium yang
terdapat di udara dan terhirup masuk ke dalam paru-paru (Songer dan Post 2005).
Oleh karena itu, gangguan pernapasan dan munculnya lesio pada paru-paru
termasuk ke dalam gejala blastomikosis. Hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa terdapat 7 sampel dari 10 sampel yang memiliki peradangan pada paruparu. Dari 7 sampel tersebut, terdapat 4 sampel yang juga menunjukkan
peradangan pada hati serta 1 sampel yang memperlihatkan peradangan pada usus.
Hasil tersebut kemungkinan besar menunjukkan bahwa infeksi awal dimulai dari
paru-paru lalu menyebar ke organ lain. Hasil tersebut juga mengindikasikan organ
yang terserang setelah paru-paru dapat berbeda bergantung pada perkembangan
penyakit. Apabila hanya paru-paru