Mikosis Subkutan

(1)

MIKOSIS SUBKUTAN

DISUSUN OLEH :

Dr. SRI AMELIA, M.Kes

NIP. 197409132003122001

DEPARTEMEN MIKROBIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan ... 1

BAB II Tinjauan Pustaka 1. Sporotrichosis ... 2

2. Chromoblastomycosis... 7

3. Mycetoma Pedis ... 11

4. Rhinosporidiosis ... 16

5. Lobomycosis... 20

BAB III Kesimpulan ... 25


(3)

MIKOSIS SUBKUTAN

I. PENDAHULUAN

Jamur yang menyebabkan mikosis subkutan tumbuh dalam tanah atau pada tanaman yang membusuk. Untuk dapat menimbulkan penyakit, jamur ini harus masuk ke dalam jaringan subkutan atau dermis oleh karena itu disebut dengan mikosis subkutan. Infeksi ini berlangsung kronis, lesi-lesi menyebar lambat dari daerah implantasi. Penyebaran melalui kelenjar getah bening di sekitar lesi berjalan lambat kecuali untuk sporotrikosis. Mikosis subkutan biasanya disebabkan karena luka pada daerah superfisial kulit atau trauma akibat tusukan duri.1,4

Infeksi ini biasanya mengenai daerah tropis dan subtropis dan berlangsung sporadis. Masing-masing jamur penyebab mikosis subkutan ini telah mengembangkan suatu bentuk morfologi yang unik sebagai patogen, kecuali untuk Basidiobolus haptosporus dan Entomophthora coronata, zigomisetes yang tumbuh sebagai hifa bercabang dalam lesi-lesi subkutan. Infeksi ini jarang menimbulkan kematian walaupun dapat menyebabkan tingginya angka kesakitan.1,4

Mikosis subkutan terdiri dari mycetoma, sporotrichosis, dan chromomycosis. Yang jarang terjadi antara lain zygomycosis, phaeohypomycosis, rhinosporidiosis dan lobomycosis. 1

Pada tulisan, ini penulis akan menjelaskan sedikit mengenai Sporotrichosis, Chromoblastomycosis, Rhinosporidiosis, Mycetoma dan Lobomycosis, yang mencakup etiologi, sejarah penemunya, epidemiologi, manifestasi klinis, laboratorium diagnosis, dan pengobatannya.

Mudah-mudahan apa yang akan penulis sampaikan ini dapat menambah wawasan kita tentang jamur-jamur penyebab infeksi pada jaringan subkutan.


(4)

II. SPOROTRICHOSIS

Sporotrichosis adalah infeksi jamur kronis yang hanya menginfeksi jaringan kutis dan subkutis, walaupun mungkin saja terjadi penyebaran ke organ tubuh yang lain. Lesi pada kutis berkembang akibat masuknya Sporothrix schenckii melalui kulit yang mengalami kerusakan. Lesi eritema, bernanah dan adanya nodul yang verrucous. Pada beberapa kasus terjadi penyebaran nodul lymphangitic.12

Jamur ini bersifat saprofit dan dapat diisolasi dari daun-daunan dan sisa-sisa kayu atau batang pohon. Pada temperatur kamar, jamur ini tumbuh sebagai jamur yang berfilamen, tetapi pada jaringan dan suhu yang tinggi jamur ini berupa ragi yang pleomorfik.1,12

Penyebaran infeksi ini dapat menimbulkan Sporotrichosis paru yang disebabkan oleh terhirupnya jamur Sporotrichosis schenckii, kasus ini jarang terjadi. Infeksi jamur ini selain menyebar ke paru dapat juga menyebar dan menyerang tulang, sendi, kulit, mata, susunan saraf pusat dan saluran genitourinaria.12

Etiologi

Sporotrichosis disebabkan oleh Sporothrix schenckii. Jenis Sporothrix schenckii

var. luriei, yang diisolasi pertama kali di Afrika Selatan.12

Sejarah

Sporotrichosis pertama kali dilaporkan oleh Schenck tahun 1898 di Rumah Sakit John Hopkins Baltimore, disertai dengan gambaran klinis dan isolasi jamurnya. Beliau menyebut jamur tersebut berhubungan dengan Sporotrichia sebab ahli patologi tanaman, EF Smith menyebut hasil kultur sebagai spesies Sporotrichum. Kasus kedua dilaporkan oleh Hektoen dan Perkins tahun 1900 di Chicago, pada kasus ini dijumpai anak laki-laki dengan lesi di jari setelah terkena martil. Mereka mengisolasi jamur dan menamakannya

Sporothrix schenckii.12

Tahun 1903 Beurmann dan Gougerot menggunakan potassium iodide untuk mengobati sporotrichosis dan memberikan hasil yang memuaskan. Pada tahun 1908 di Brazil, Splendore menemukan adanya asteroid bodies yang mengelilingi Sporothrix


(5)

schenckii, gambaran ini sangat penting dalam penegakkan diagnosa histologis

sporotrichosis.12

Epidemiologi

Sporotrichosis dapat dijumpai luas di belahan bumi, tetapi umumnya menyerang daerah subtropis dan tropis. Bersifat sporadis. Kasus Sporotrichosis ini dilaporkan banyak terjadi di benua Amerika Utara. Pada tahun 1930 dan 1940 penyakit ini ditemukan menyerang pekerja di Afrika Selatan, dimana menyerang pekerja yang bekerja sebagai pembuat artefak dari bahan jerami, pohon-pohonan dan binatang. Berladang, bertani, mengurus bunga, pekerja lapangan, dan aktivitas lainnya yang berhubungan dengan tanah dan tanaman termasuk diantaranya lumut, rosa dan lain sebagainya, merupakan faktor predisposisi penyakit ini.1

Penyakit ini dapat menyerang pria dan wanita dengan perbandingan yang hampir sama. Umumnya menyerang dewasa muda di bawah usia 30 tahun. 150 kasus di Jepang dilaporkan 15% mengenai anak-anak di bawah usia 10 tahun. Pada kasus sporotrichosis extracutaneous, angka kejadian pada pria lebih banyak dari wanita (6 : 1).12

Patogenesis

Infeksi terjadi setelah masuknya jamur S. schenckii dan tidak diketahui pasti apakah adanya kerusakan kulit yang menyebabkan seringnya penyakit ini. Pada daerah endemis umumnya dijumpai orang dengan antibodi terhadap S.schenckii dan tes uji kulit yang positif, diduga infeksi klinis ini tidak berkembang pada semua orang-orang yang kontak dengan jamur ini. Sporotrichosis sistemik, jarang terjadi, dapat timbul akibat inhalasi dan penyebaran jamur S.schenckii.1

Manifestasi Klinis

Pada beberapa kasus tidak menimbulkan gejala klinis (asimptomatis) dan tidak ada lesi di kulit. Secara umum ada 2 pola infeksi yang utama yaitu gejala awal infeksi baru terlihat setelah 1-4 minggu, kadang-kadang bisa lebih lama lagi. Dan tempat utama infeksi biasanya pada tangan atau lengan, dan mungkin juga pada wajah. 1


(6)

II.1 Sporotrichosis kutan

Infeksi ini diawali dengan adanya trauma kecil, papula yang eritematosa yang meluas setelah beberapa hari atau beberapa minggu, kadang-kadang menghasilkan nanah nanah yang berwarna putih telur tetapi tidak menimbulkan rasa sakit. Tidak dijumpai gejala sistemik. Lesi biasanya tunggal terutama pada wajah anak-anak, tetapi cenderung menghasilkan lesi noduler yang menyebar secara progresif ke arah proksimal karena penyebaran lesi ini mengikuti aliran kelenjar getah bening. Oleh karena itu lesi ini dinamakan “lymphocutaneous” atau “cutaneous lymphatic sporotrichosis”.12

Sebenarnya lesi primer sporotrichosis dijumpai di kulit dan jarang di kelenjar getah bening. Lesi sekunder akibat penyebaran di kelenjar getah bening hampir sama dengan lesi primer dimana tidak menimbulkan rasa sakit. Pada lesi yang lebih luas akan terlihat seperti gambaran bunga dengan tengah lesi bernanah. Lesi yang tidak bernanah akan terlihat epitel halus, merah dan berkilap. Kulit diantara lesi-lesi akan terlihat kemerahan.12

Kasus-kasus dengan lesi tunggal pada kutis yang hanya terdapat pada daerah yang terinfeksi tanpa ada penyebaran limfangitic, dapat menjadi kronis. Lesi ini kita sebut dengan plague atau lesi yang menetap. Lesi dapat bertahan bertahun-tahun, pada satu kasus dilaporkan lesi bertahan sampai 26 tahun. Lesi biasanya hilang timbul, tetapi tidak dapat sembuh spontan. Lesi tunggal yang kronis ini sering dijumpai pada wajah, leher, badan, lengan atau tangan dan gambarannya dapat berubah-ubah. Biasanya terlihat papul-papul eritematous atau plague yang dapat berubah menjadi lesi bernanah atau

verrucous.12

Karakteristik dari Sporotrichosis adalah adanya infeksi S.schenckii pada kelenjar getah bening. Pada tempat awal infeksi dijumpainya nodul kecil yang bernanah, setelah itu infeksi mengikuti aliran limfe dengan berjalan ke atas. Nodul kecil ini dapat dijumpai di sepanjang aliran limfe dan menimbulkan lesi bernanah. Pada nodul limfe lokal umumnya meluas. Bentuk kedua infeksi ini ialah tipe infeksi yang menetap hanya pada tempat yang terekspos dengan jamur ini, khususnya di wajah. Bentuk ini biasanya terjadi pada anak-anak. Dijumpai pustula berbentuk satelit. Gejala klinisnya menyerupai lesi pada mycetoma, dijumpainya ulkus kronis dan granuloma. Pada penderita AIDS ulkus


(7)

dan granuloma meluas dengan cepat pada permukaan kulit. Sporotrichosis sistemik dapat menyerang paru-paru, selaput otak, dan sendi. 1

II.2. Sporotrichosis Paru

Sporotrichosis paru biasanya mengenai pria, dengan perbandingan pria dan wanita 6 : 1, rata-rata mengenai umur 46 tahun, dengan gejala batuk (69%), demam subfebris (39%), penurunan berat badan (49%), dan lesi pada bagian atas paru (85%). Batuk darah terjadi 18% dapat masif dan berakibat fatal. Pada gambaran radioogi terlihat kavitasi dengan atau tanpa infiltrat parenkim. Lesi pada paru perlahan-lahan dapat berlanjut menuju kematian, walaupun penyembuhan spontan pada pneumonia nonkavitasi pernah dilaporkan.12

II.3. Sporotrichosis Osteoarticular

Sebagian besar penderita mengeluhkan kekakuan dan sakit pada sendi besar. Biasanya mengenai sendi lutut, siku, mata kaki atau pergelangan. Pada penderita yang tidak berobat, dapat terjadi destruksi (kerusakan) tulang rawan sendi hingga menyebabkan kehilangan kemampuan untuk bergerak. Kultur cairan sendi adalah cara mendiagnosa penyakit ini, dimana pada kultur akan dijumpai adanya sel berupa ragi.12

Diagnosa Banding

Penegakkan diagnosa penyakit ini dengan ditemukannya jamur pada spesimen seperti pada kultur biopsi kulit, aspirasi cairan sendi dan sputum. Sporotrichosis kutis mirip dengan gambaran leishmaniasis, Nocardia braziliensis. Lesi tunggal kronis pada

sporotrichosis mirip dengan gambaran Mycobacterium kansasii, M. chelonei atau “tuberculosis verrucosa cutis” pada Mycobacterium tuberculosis. Plaque Sporotrichosis

mirip dengan chromoblastomycosis, granuloma annulare, Majocchi’s granuloma, dan ektima staphylococcus kronis. Lesi pada wajah didiagnosa bandingkan dengan

paracoccidiodomycosis, blastomycosis, leishmaniasis. Keratitis yang disebabkan Sporothrix schenckii mirip dengan mycotic keratitis. 12

Pada penderita Sporotrichosis paru didiagnosa bandingkan dengan emboli paru septic atau wagener’s granuloma dimana sama-sama dijumpai kavitasi pada paru. Pada


(8)

sporotrichosis osteoartikular mirip dengan rheumatoid arthritis baik gejala klinis dan gambaran histopatologinya.12

Struktur Antigen

Suspensi garam fisiologis dari biakan yang telah dimatikan dengan panas memberikan tes kulit tipe lambat yang positif pada manusia atau hewan yang terinfeksi. Berbagai antibodi juga dihasilkan oleh penderita yang terkena infeksi dan kadang-kadang juga pada individu sehat. Di beberapa darah endemik (Afrika Selatan dan Jepang) dapat terlihat kompleks antibodi eosinofilik (“badan asteroid”) dengan pertolongan pewarnaan hematoksilin-eosin.4

Diagnosis Laboratorium Pemeriksaan langsung

Walaupun bentuk ragi dapat terlihat pada pewarnaan gram, sediaan basah dari pus atau dari bahan biopsi, tetapi pemeriksaan langsung sering tidak membantu menegakkan diagnosa karena sedikit sekali sel jamur yang dijumpai bahkan kadang-kadang tidak dijumpai.1,12

Dengan pewarnaan PAS atau GMS, walaupun jarang, dapat terlihat campuran hifa yang pendek pada sel yang memanjang. Bila dijumpai asteroid bodies atau gambaran khas berbentuk cerutu dapat dijadikan dasar untuk diagnosis. Untuk menegakkan diagnosa dilakukan immunofluoresensi dengan menilai antibodi spesifik yang menunjukkan adanya sel jamur yang tunggal.12

Kultur

Melakukan kultur adalah hal penting untuk menegakkan diagnosa. Jamur

S.schenckii dapat diisolasi dengan cepat dari tempat lesi, kemudian ditanam di media Sabouraud’s glucose agar dengan antibiotik, diinkubasi pada suhu 25-30°C. Dibawah

mikroskop akan memberikan gambaran khas. Pada jaringan, Sporothrix terlihat pleomorfik, dengan bentuk yang kecil, melingkar, oval atau tunas ragi yang berbentuk cerutu.1


(9)

Pengobatan

Pengobatan klasik sporotrichosis adalah larutan potassium iodide, dengan dosis untuk orang dewasa 1 ml 3 kali sehari, dosis dapat ditingkatkan sampai dosis maksimum 4-6 ml 3 kali sehari selama 3-4 minggu. Obat ini sangat pahit oleh karena itu dapat diminum bersama susu. Dosis yang rendah digunakan untuk meminimalkan efek samping akibat penggunaan iodide yang menyebabkan ludah yang banyak dan rasa mual. Setelah dijumpai perbaikan, obat harus terus dikonsumsi sampai 1 bulan kemudian. Kombinasi itraconazole dan terbinafine dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif, walaupun membutuhkan waktu yang lebih panjang. Belum dijumpai antijamur yang baru saat ini. Dengan melakukan pemanasan pada daerah infeksi menunjukkan hasil yang efektif.1

CHROMOBLASTOMYCOSIS

Chromoblastomycosis adalah suatu infeksi kulit granulomatous progresif lambat dan disebabkan beberapa spesies jamur hitam. Phialophora verrucosa, Fonsecaea

pedrosoi, Rhinocladiella aquaspersa dan Cladosporium carrionii adalah jamur-jamur

yang paling sering diisolasi. 4


(10)

Sejarah

Pertama kali kasus chromoblastomycosis dilaporkan di Inggris. Lane dan Medlar menemukan lesi verrucous pada kaki penderita dan ahli mikologi Thaxter menyebutnya dengan Phialophora verrucosa sebagai penyebab dari lesi ini. Di tahun 1920, Pedroso dan Gomes mengumumkan satu kasus di Brazil yang telah diamatinya kurang dari 10 tahun dan mereka setuju dengan jamur yang disebut Taxter’s sebab manifestasi klinis dan histopatologinya mirip dengan yang dikemukakan Lane dan Medlar.12

Epidemiologi

Chromoblastomycosis terutama terdapat di daerah tropis. Di alam, jamur ini bersifat saprofit, mungkin terdapat pada tumbuhan dan di dalam tanah. Penyakit terutama terjadi pada tungkai petani dengan kaki telanjang, diduga akibat masuknya jamur melalui trauma. Penyakit ini tidak dapat ditularkan. Pemakaian sepatu dan pelindung tungkai dapat mencegah infeksi ini. 4

Manifestasi Klinis

Jamur masuk melalui trauma ke dalam kulit, seringkali pada tungkai atau kaki. Secara lambat, setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun, pertumbuhan mirip kutil tersebar di sepanjang aliran getah bening yang berasal dari daerah yang terserang. Nodul seperti kembang kol disertai abses-abses berkrusta akhirnya menutupi daerah tersebut. Ulkus kecil atau “titik hitam” bahan hemopurulen terdapat pada permukaan kutil.4

Dalam eksudat dan jaringan, jamur-jamur ini menghasilkan sel-sel coklat tua, berdinding tebal, bulat dengan garis tengah 5-15 µm, yang membelah dengan membentuk septa. Pembentukan septa pada berbagai bidang disertai pemisahan yang berjalan lambat dapat menghasilkan suatu kelompok yang terdiri dari empat sampai delapan sel, maka disebut “ badan sklerotik”. Di dalam krusta superfisial nanah sel-sel ini berkecambah menjadi hifa bercabang yang berwarna coklat. Pigmentasi koloninya bermacam-macam, dari abu-abu pudar sampai coklat dan hitam. Permukaannya seringkali menyerupai beludru melapisi suatu jalinan miselium yang hitam padat.4

A. Phialophora verrucosa. Konidia terutama dihasilkan oleh fialida yang berbentuk pot bunga.


(11)

B. Fonsecaea pedrosoi. Sebagian besar konidia terbentuk pada rantai pendek bercabang

dengan sel terminal yang bertunas membentuk konidium baru. Konidia juga dapat terbentuk tanpa cabang-cabang langsung pada puncak dan sisi konidiofora. Fialida jarang ada.

C. Rhinocladiella aquaspersa. Rantai bercabang pendek dari konidia eliptikal terbentuk

pada ujung konidiofor.

D. Cladosporium carrionii. Hanya terbentuk konidia panjang, berantai dan bercabang

pada konidiofora yang memanjang.

Gambar 2: Chromoblastomycosis pada tangan yang disebabkan oleh Cladiphialopora carrionii yang memperlihatkan lesi verrucosa yang kronis.6

Walaupun jarang, elephantiasis mungkin timbul akibat infeksi sekunder, obstruksi dan fibrosis saluran getah bening. Penyebaran ke bagian tubuh yang lain sangat jarang terjadi, walaupun lesi satelit dapat terjadi akibat penyebaran limfatik setempat atau akibat autoinokulasi.4

Secara histologi, lesi berupa granuloma, dalam leukosit atau sel-sel raksasa dapat ditemukan sel-sel jamur bulat yang berwarna coklat tua.4

Diagnosa Laboratorium Pemeriksaan langsung

Pemeriksaan langsung dengan bahan yang terdiri dari kerokan kulit atau biopsi dari lesi. Pemeriksaan menggunakan KOH 10% dan tinta parker atau calcofluor white. Terlihat gambaran sel jamur yang bulat dengan pigmentasi coklat, berdinding-dinding dan dikelilingi badan sklerotik. Ditemukannya badan sklerotik merupakan hal yang


(12)

GMS (Grocoot’s Methenamine Silver) atau PAS digest dapat dijumpai gambaran khas sel sklerotik berwarna coklat gelap tanpa tunas. Perkembangbiakan sel ini dengan pembelahan biner. Tapi harus diingat bahwa pemeriksaan langsung dan pemeriksaan histopatologi tidak dapat mengetahui jenis jamur penyebab chromoblastomycosis, karena semua jenis jamur yang disebut diatas dapat memperlihatkan gambaran sklerotik

bodies.4,6

Gambar 3: kerokan kulit dengan KOH 10%, dimana terlihat sel jamur dengan pigmentasi coklat, berdinding-dinding dan dikelilingi sklerotik bodies. 6

Kultur

Bahan dibiakkan pada agar Sabouraud supaya dapat ditemukan struktur dan susunan konidia yang khas seperti dijelaskan diatas. Pemeriksaan kultur dan morfologi jamur sangat penting untuk melihat morfologi konidia, susunan konidia pada sel jamur dan morfologi sel conidiogenous. Pemeriksaan dengan slide kultur sangat dianjurkan. Koloni dari kultur Chromoblastomycosis, terlihat koloni berwarna seperti zaitun kehitaman dengan permukaan yang halus.6,12

Pengobatan

Pengobatan penyakit ini sangat sulit. Eksisi pembedahan yang luas sampai ke pinggiran kulit yang tidak terinfeksi merupakan terapi pilihan untuk mencegah penyebaran secara lokal. Eksisi dilakukan untuk lesi yang kecil. Kemoterapi dengan flusitosin atau itrakonazole dapat bermanfaat untuk lesi yang lebih besar. Flusitosin dengan atau tanpa thiabendazole dapat diberikan untuk mengobati mikosis ini.


(13)

Kombinasi itrakonazole 400mg/hari dan terbinafine 500 mg/hari selama 6-12 bulan dapat menyembuhkan chromoblastomycosis. Sering terjadi kekambuhan. 6

IV. MYCETOMA PEDIS (Madura foot, maduromycosis)

Mycetoma adalah suatu lesi lokal yang membengkak disertai granula yang

merupakan koloni-koloni padat dari jamur penyebab yang mengalir dari sinus-sinus. Penyakit ini disebabkan oleh berbagai jamur dan aktinomycetes (bakteri filamentosa). Istilah actinomycetoma digunakan untuk membedakan kedua keadaan tersebut, istilah itu untuk infeksi yang disebabkan oleh actinomycetes. Mycetoma timbul bila organisme tanah ini tertanam ke dalam jaringan subkutan melalui trauma. Istilah maduromikosis atau kaki Madura sering digunakan untuk menunjukkan infeksi yang disebabkan oleh jamur ini karena tempat infeksi umumnya di kaki.4

Etiologi

Mycetoma disebabkan oleh berbagai macam Actinomycetes dan jamur (Eumycetes). Dari penelitian yang dilakukan Mariat, perbandingan kasus yang disebabkan Actinomycetes dengan Eumycetes adalah 1,5:1. Dari golongan Actinomycetes adalah Actinomadura madurae, A. pelletieri, Streptomyces somaliensis, Nocardia

asteroides, N. brasiliensis, N.otitidiscaviarum dan Nocardiosis dapsonvillei. Dari

golongan jamur dikenal sebagai penyebab infeksi mycetoma pada pria antara lain jenis

Madurella mycetomatis, M. grisea, Pseudallescheria boydii, Acremonium kiliense, A. falciforme, A. recifei, Leptosphaeria tompkinsii, L.senegalensis, Exophiala jeanselmei, Neotestudina rosatii, Pyrenochaeta romeroi, Curvularia runata, Aspergillus nidulans, A. flavus, Fusarium moniliforme, F.solani var.coeruleum, F.solani var.minus, Phialophora cyanescens, Corynespora cassicola, Cylindrocarpon destructans, Pseudochaetosphaeronema larense, Plenodomus avaramii, dan Polycitella hominis. Curvularia geniculata dan Bipolaris spicifera sebagai penyebab mycetoma pada


(14)

Sejarah

Ahli Sansekerta menulis dari India, menyebut mycetoma dengan kaki sarang semut. Di awal abad 18, Pendeta Prancis di Podicherry,melaporkan penyakit mycetoma di India. Tahun 1846 Godfrey dari Madras melaporkan ada empat kasus mycetoma antara tahun 1844-1845 dan beliau menyebut penyakit ini dengan “morbus tuberculosis

pedis” Di tahun 1859 Eyre juga menyebutkan ada 40 kasus yang sama dengan Godfrey

sejak tahun 1844-1848.12

Penyakit ini biasanya menginfeksi pekerja di alam bebas tanpa memakai alas kaki dan mempunyai karakteristik adanya pembengkakan yang progresif dengan multiple fistula dan mengalir di dalam sinus-sinus. Pus yang mengaliri sinus tersebut terdiri dari berbagai macam warna butiran biji bisa keras atau lunak. Tahun 1860, Vandyke Carter menamakannya “mycetoma” dan menyebut penyebab butiran biji itu sebagai partikel jamur. Nama yang familiar untuk penyakit ini adalah “madura foot” karena prevalensi penyakit ini tertinggi di Madura, India. 12

Epidemiologi

Mycetoma umumnya dijumpai di daerah tropis dan sub tropis, tetapi dapat juga

dijumpai sporadis pada wilayah yang beriklim sedang. Penyakit ini endemis di India dan negara-negara di Afrika dan Amerika Selatan termasuk Sudan, Senegal, Somalia, Uganda, Egypt, Nigeria, Chad, Algeria, Mauritania, Mexico dan Venezuela.12

Organisme penyebab mycetoma terdapat dalam tanah dan pada tumbuhan.

Mycetoma merupakan penyakit pada orang yang tidak menggunakan sepatu. Oleh karena

itu, petani yang tidak beralas kaki paling sering terkena. Rasio kejadian pada pria dengan wanita adalah 3:1 sampai 5:1 jadi pria lebih sering terkena akibat aktivitas pria yang sering di luar rumah. Penyakit ini dapat mengenai semua kelompok umur, tetapi paling sering mengenai orang-orang yang berusia 20-45 tahun.12

Penyakit ini biasanya dijumpai di pedesaan, yang menyerang petani dan penggembala. Umumnya didahului adanya trauma kecil akibat tertusuk duri atau serpihan kaca. Tidak ada bukti perbedaan ras dalam distribusi penyakit ini. Pembersihan luka yang tepat dan pemakaian sepatu merupakan tindakan pengendalian yang tepat.4,12


(15)

Manifestasi Klinis

Mycetoma adalah infeksi kronis, supuratif pada jaringan subkutan dan tulang yang

berdekatan. Lesi diawali dengan adanya luka kecil yang menyebar secara lokal selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Tempat utama infeksi ini adalah di kaki. 78,9% dari 213 kasus di Sudan dijumpai di kaki, 68% di Afrika dan 70% di India. Daerah lain yang dapat diserang mycetoma adalah lutut, tangan, bokong, lengan, paha, kepala dan leher, dengan lesi terletak pada daerah luka sebagai tempat masuknya organisme. Mycetoma pada kepala dan leher dapat terjadi pada orang-orang yang membawa tumpukan kayu diatas kepalanya atau di bahu. Kejadian Mycetoma di Mexico, lesi dijumpai di punggung akibat kebiasaan membawa tumpukan kayu atau karung.12

Lesi awal berupa pembengkakan kecil pada subkutan. Pada kaki lesi sering terdapat antara tulang metatarsal 1 dan 2, selain pada punggung atau telapak kaki. Diameter lesi sampai beberapa milimeter, konsistensi keras atau kenyal seperti karet dan tidak dijumpai rasa sakit. Dalam beberapa bulan lesi meluas dan mengeras. Dapat dijumpai banyak sekali abses-abses kecil yang berhubungan dengan saluran sinus. Jumlah sinus-sinus yang terlibat dan meluasnya pembengkakan di kulit dapat menunjukkan semakin luasnya infeksi.12

Penyebaran mycetoma pada tulang tidak disertai dengan rasa sakit menahan berat badan, kecuali pada kasus-kasus yang sudah lanjut. Otot, syaraf dan tendon relatif resisten terhadap invasi dari organisme penyebab mycetoma, jadi fungsi tendon relatif baik pada kaki, tangan atau bokong yang terinfeksi. Tidak dijumpai demam, leukositosis, anemia, kehilangan berat badan atau kelainan sistemik lainnya. Pada ekstremitas, lesi meluas ke arah proksimal dengan melibatkan kelenjar getah bening. Pada kasus yang sangat jarang, mycetoma dapat dijumpai lebih dari satu tempat.12

Pada beberapa kasus mycetoma dapat berakibat fatal, misalnya mycetoma pada toraks yang menginvasi pleura atau mycetoma otak yang menginvasi kalvarium. Pada

mycetoma otak menyebabkan terjadinya hipertensi intrakranial dengan penebalan

kalvarium dan adanya granuloma pada epidural. Hal ini sulit diobati dan dapat berlanjut, dan berakhir fatal.12

Mycetoma yang tidak diobati merupakan salah satu sebab berlanjutnya penyakit


(16)

dibandingkan dengan Eumycetoma, misalnya infeksi yang disebabkan oleh Streptomyces

somaliensis. Aktinomisetoma sering dijumpai menginvasi otot dan menyebabkan

gambaran “moth eaten” (dimakan ngengat) pada pemeriksaan radiologi atau adanya gambaran banyaknya lesi-lesi kecil pada tulang yang berdampingan dengan lesi. Pada pemeriksaan jaringan lunak, pinggiran lesi actinomysetoma umumnya tidak jelas, sedangkan pada eumysetoma pinggiran lesi jelas seperti berkapsul, seperti yang disebabkan oleh Madurella mycetomatis.12

Diagnosa Banding

Riwayat tinggal di daerah beriklim tropis merupakan informasi penting dalam menegakkan diagnosa mycetoma. Pada lesi awal mycetoma tanpa terlibatnya sinus sering disalah artikan dengan granuloma piogenik. Lesi yang lebih luas dengan konsistensi kenyal seperti karet mirip dengan lipoma. Mycetoma yang melibatkan tulang, pada gambaran radiologi mirip dengan gambaran osteomielitis bakterial dan osteomielitis kronis.12

Actinomycosis adalah infeksi supuratif kronis yang disebabkan oleh anaerobik dan

mikroaerofilik actinomycetes. Walaupun sama-sama memperlihatkan bentuk butiran biji, tetapi infeksi ini berbeda dengan mycetoma. Actinomycosis sering dijumpai pada daerah-daerah yang tidak biasa dijumpai mycetoma, seperti di servikofasial, dada dan perut dan tidak ada riwayat trauma. Sinus yang terlibat lebih dalam, tidak mengenai jaringan subkutan. Pada biopsi menunjukkan gambaran yang sama yaitu gambaran butiran biji pada lesi bernanah yang dikelilingi fibrosis dan peradangan kronis.12

Butiran biji juga bisa dijumpai pada dermatofitosis, pada kulit leher pasien yang berkulit hitam. Pada pemeriksaan mikroskopis akan terlihat kumpulan hifa dalam butiran-butiran biji. Pada mycetoma yang disebabkan oleh Nocardia asteroides, N.

Otitidiscaviarum dan N. brasiliensis, sering didiagnosabandingkan dengan Nocardiosis

yang disebabkan ketiga spesies diatas. Tetapi pada nocardiosis tidak dijumpai gambaran butiran biji, biasanya menyerang paru dan orang-orang yang immunocompromised.

Mycetoma yang disebabkan oleh N.brasiliensis yang didahului dengan adanya trauma


(17)

Diagnosa Laboratorium. Pemeriksaan Langsung

Pemeriksaan mikroskop dari pus, eksudat atau biopsi jaringan menunjukkan gambaran butiran biji sebagai indikator primer penegakkan diagnosa. Pengamatan ukuran, bentuk, warna dan konsistensi butiran biji tersebut sering dilakukan untuk mengidentifikasi spesies jamur penyebab mycetoma. Pada pemeriksaan langsung, butiran biji dapat dilihat di bawah mikroskop dengan menetesinya NaOH 10%. Ukuran hifa, adanya septa, gambaran morfologi dan warna dinding hifa dapat membedakan antara

actinomycetoma dan eumycotic mycetoma. Pada eumycotic mycetoma, butiran biji

terlihat dengan hifa berukuran 2-6 µm dan sering terlihat lebih besar, sel-sel bulat yang menggembung (ukuran sampai 15 µm atau lebih) pada pinggiran. Pada actinomycotic

mycetoma terlihat butiran biji yang mempunyai filamen, dengan diameter 0,5-1 µm, dan gambaran sel berbentuk kokus sampai batang.12

Kultur

Butiran biji yang terlihat di bawah mikroskop, kemudian dicuci dengan larutan saline, kemudian ditanam di agar Sabauraud dengan antibiotik gentamisin, penisillin, streptomisin atau kloramfenikol. Tidak dapat menggunakan sikloheksemid. Diinkubasi pada suhu 25 - 37°C selama 6-8 minggu. Jika dari hasil pemeriksaan langsung menunjukkan actinomycotic, maka media perbenihan tidak boleh mengandung antibiotik. Media untuk actinomycotic adalah blood agar, brain heart infussion, lowenstein’s agar atau sabauraud’s agar dengan 0,5% ekstrak ragi. Butiran biji sebelum ditanam dicuci dahulu dengan saline steril, kemudian masukkan ke tabung reaksi yang steril, dan streak di media, inkubasi pada suhu 37 - 25°C.12

Pengobatan

Aktinomisetoma berespons baik terhadap berbagai kombinasi streptomisin, trimetropin-sulfametoksazol dan dapson, bila pengobatan dimulai secara dini sebelum terjadi deformitas yang luas. Drainase lewat pembedahan membantu penyembuhan. Belum ada obat untuk misetoma jamur, walaupun pengobatan yang lama dengan ketokonazole atau itrakonazole oral mungkin bermanfaat. Eksisi bedah terhadap lesi dini dapat mencegah penyebaran.4


(18)

V. RHINOSPORIDIOSIS

Rhinosporidiosis adalah infeksi kronis granulomatous dengan karakteristik

adanya massa polipoid pada membran mukosa yang mengandung endospora

Rhinosporidium seeberi. Membran mukosa yang dapat terserang antara lain mukosa

hidung, nasopharing dan konjungtiva.12

Etiologi

Penyebab Rhinosporidiosis adalah Rhinosporidium seeberi. Walaupun secara sistematis organisme ini belum pasti digolongkan kemana, tetapi sebagian besar ahli mikrobiologi mengobati penyakit ini sebagai jamur.12

Sejarah

Pada akhir abad 19, dilaporkan adanya penyakit rhinosporidiosis di tiga negara yang berjauhan letaknya, yaitu negara Argentina, India dan Amerika Serikat. Tahun 1892, Malbran dari Buenos Aires menemukan infeksi yang disebabkan oleh parasit sporozoa pada polip hidung, tetapi beliau tidak mempublikasikan penemuannya itu. Empat tahun kemudian, Guillermo Seeber dari Buenos Aires memeriksa polip hidung pada petani berusia 19 tahun dan mengemukakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh parasit sporozoa, dan dinamakan dengan Seeber oleh Wernecki, guru dari Guillermo. Pada tahun 1903, Belou’s menyebutnya dengan Coccidium Seeberi. Asworth tahun 1923, menyebutkan bahwa penyakit ini disebabkan oleh jamur yang digolongkan ke dalam

Phycomycetes. Dan beliau menamakan jamur ini dengan Rhinosporidium seeberi.12

Epidemiologi

Rhinosporidiosis dapat terjadi di seluruh dunia, tetapi lebih dari 88% kasus terjadi

di India dan Srilanka. Pria lebih banyak menderita penyakit ini dibanding dengan wanita. Infeksi pada hidung dua kali lebih banyak dibanding infeksi pada mata. Infeksi pada mata lebih banyak diderita oleh pria dengan perbandingan pria dan wanita 8 : 1. Pada pria perbandingan seringnya terjadi infeksi pada hidung dan mata, 2 : 1. Rhinosporidiosis


(19)

dapat terjadi di semua kelompok umur, mulai dari anak-anak sampai orang tua, tetapi tersering dijumpai pada umur 15-40 tahun.12

Transmisi penyakit ini diduga melalui debu dan air. Noronha mengemukakan, prevalensi penyakit ini meningkat pada pekerja pasir. Pada rhinosporidiosis mata, Moses

et al menduga prevalensi meningkat pada orang-orang yang mandi di kolam air tergenang

atau mandi di air berlumpur. Beberapa peneliti menetapkan air dan tanah sebagai sumber infeksi penyakit ini.12

Manifestasi Klinis

Rhinosporidiosis adalah infeksi primer yang mengenai mukosa membran, infeksi ini biasanya didahului dengan adanya trauma kecil sehingga mikroorganisme penyebab infeksi ini dapat masuk ke dalam mukosa. Infeksi diawali dengan tumbuhnya polip, halus, berwarna merah sampai jingga, mudah pecah, dan tidak menimbulkan sakit. Biasanya polip ini tidak bertangkai, tumbuh pada permukaan membran mukosa dengan gambaran seperti strawberry pada permukaan.12,13

Infeksi umumnya mengenai mukosa hidung dan menimbulkan keluhan tersumbatnya hidung atau keluarnya mimisan. Dapat juga terdapat cairan hidung yang mukoid, rasa sakit biasanya tidak dijumpai, tetapi gatal-gatal pernah dilaporkan. Penderita biasanya mendatangi dokter, bila telah tejadi sumbatan pada sinus paranasal yang terinfeksi bakteri (bakterial sinusitis) dengan cairan hidung bernanah dan kental disertai rasa sakit.12

Infeksi pada mata, biasanya mengenai kelopak mata. Lesi dirasakan sebagai benda asing pada mata. Pada lesi yang besar dapat menyebabkan bulu mata melipat sehingga menyebabkan konjungtivitis.12


(20)

Membran mukosa lain yang dapat terserang adalah kelenjar lakrimal, epiglottis, uvula, lidah, laring, langit-langit mulut, tonsil, trakea, sinus ethmoid, atau sinus maksilaris. Infeksi pada kelenjar lakrimal akan terlihat gambaran massa yang membengkak dengan permukaan halus.12,13

Rhinosporidiosis juga dapat mengenai uretra, dengan gambaran lesi yang terpisah-pisah, berwarna merah muda, mudah pecah, polip tidak bertangkai tanpa rasa sakit. Menimbulkan keluhan kencing berdarah, perdarahan berulang yang berasal dari uretra dan keluarnya massa berwarna merah dari saluran uretra. Penyebaran melalui hubungan seksual tidak pernah dilaporkan. Pada wanita dapat menyerang vagina, vulva atau rektum.12

Gambar 5: Rhinosporidiosis, polip pada saluran hidung.5

Rhinosporidiosis dapat dijumpai di kulit, walaupun jarang terjadi. Lesi ini diawali

dengan tumbuhnya papiloma yang mudah pecah dan dapat bertangkai. Rhinosporidiosis pada kulit dapat pula berupa papul dan nodul seperti berkutil-kutil dengan permukaan berkerak dan mudah berdarah. Ada tiga tipe lesi pada kulit dapat terjadi yaitu 1) lesi satelit, yang mengenai daerah yang berdekatan dengan rhinosporidiosis pada hidung, disebut lesi sekunder. 2) Lesi kulit yang menyebar dengan atau tanpa adanya

rhinosporidiosis hidung, hal ini akibat penyebaran Rhinosporidium seeberi secara

hematogen. 3) Lesi primer akibat masuknya rhinosporidium seeberi langsung ke kulit. Untuk membantu menegakkan diagnosa rhinosporidiosis pada kulit, dengan melihat gambaran pada kulit yang berkutil-kutil seperti gambaran strawberry, diikuti adanya lesi


(21)

Diagnosa Banding

Penegakkan diagnosa tidak sulit dengan pemeriksaan histopatologi, tanpa melakukan pewarnaan jamur. Gambaran dari lesi yang khas membantu penegakkan diagnosa. Lesi pada hidung dapat didiagnosa bandingkan dengan polip akibat alergi. Lesi pada vagina mirip dengan gambaran kondilomata. Lesi pada rektum terlihat seperti gambaran hemorrhoid internal.12

Rhinosporidiosis kulit dapat didiagnosabandingkan dengan warts, tuberkulosis verrukosa dan granuloma pyogenikum.11

Diagnosa Laboratorium Pemeriksaan langsung

Oleh karena Rhinosporidium seeberi tidak dapat dikultur, maka pemeriksaan langsung dengan melihat pertumbuhan polipoid dan pemeriksaan histologi merupakan satu-satunya jalan untuk menegakkan diagnosa. Dengan melihat permukaan dari polip tersebut dapat terlihat adanya bintik-bintik putih kecil yang merupakan sporangia, terletak di daerah superfisial. Adanya eksudat yang mukoid pada permukaan lesi menunjukkan adanya kumpulan spora-spora dari sporangia. Pemeriksaan mikroskopis dari potongan jaringan yang telah diwarnai dan potongan sporangia dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis. Dengan aspirasi sitologi dapat terlihat gambaran sel-sel jamur yang bulat dengan dinding yang jelas seperti kista (sporangia) dengan diameter sampai 0,5 mm, yang didalamnya terdapat banyak sekali endospora yang melingkar dengan diameter 6-7µm.11,12


(22)

Sporangia dari Rhinosporidium seeberi dapat dibedakan dengan Coccidioides

immitis, dimana ukuran sporangia Rhinosporidium lebih besar dan dindingnya lebih

tebal dibanding pada C.immitis. Pada coccidioides ukuran sporangia lebih kecil dari 60µm.11,12

Pengobatan

Pembedahan eksisi satu-satunya pengobatan yang menjadi pilihan. Eksisi lesi yang bertangkai dengan menggunakan elektrokauter memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Kekambuhan dapat terjadi setelah pembedahan. Dari 255 kasus pembedahan yang tercatat, 27 penderita mengalami kekambuhan setelah pembedahan.12

VI. LOBOMYCOSIS (Lobo’s disease, keloidal blastomycosis)

Lobomycosis adalah infeksi kronis pada kulit yang disebabkan oleh Loboa loboi.

Karaktristik dari lesinya adalah adanya pertumbuhan tumor yang lambat pada daerah dermis dari kulit dengan permukaan yang halus, berkutil-kutil atau ulserasi. Lesi ini terdiri dari jaringan granulomatous yang mengandung banyak sekali sel jamur berupa ragi dengan bentuk bulat, bisa tunggal atau multiple dan dapat bercabang-cabang. Pada

lobomycosis tidak terjadi penyebaran melalui kelenjar getah bening.12

Etiologi

Penyebab dari mikosis ini adalah Loboa loboi, jamur ini tidak dapat dikultur dan biasanya jamur didapati kemudian setelah lesi mengalami infeksi sekunder atau terkontaminasi.12


(23)

Gambar 7: lesi lobomycosis.7

Sejarah

Tahun 1931, Jurge Lobo mengemukakan satu kasus pada pertemuan ahli kedokteran di Pernambaco, beliau menemukan penderita dari lembah Amazone dengan lesi keloid pada kulit punggungnya, tanpa ada penyebaran limfangitik atau sistemik. Lesi ini terdiri dari jaringan granulomatous dengan sel tunas yang berbentuk sferis. Beliau menyebut keloid ini sebagai bentuk ringan dari paracoccidioidomycosis, dan menyebut penyakit ini dengan keloidal blastomycosis.

Di tahun 1938, Fialho melaporkan adanya lesi pada telinga kanan pasiennya yang berasal dari lembah Amazone. Gambaran histopatologi lesi ini mirip dengan lesi pada pasien Lobo dan berkesimpulan bahwa lesi ini sangat berbeda dengan

paracoccidioidomycosis, sehingga memberi nama lesi ini dengan Lobo’s disease. Dan di

tahun 1958, Borelli menyebut penyakit ini dengan Lobomycosis.12

Epidemiologi

Lobomycosis dapat mengenai manusia dan lumba-lumba. Dengan manifestasi

klinis yang hampir sama antara manusia dengan lumba-lumba. Symmer pernah melaporkan satu kasus dimana terjadi penularan lobomycosis dari lumba-lumba kepada manusia.10

Penyakit ini dapat dijumpai di beberapa negara, tetapi angka kejadian yang tinggi didapati di Brazil dan Suriname. Vilano dan Moreno tahun 2004 mengemukakan lebih dari 64% dari semua kasus lobomycosis dijumpai di Brazil. Biasanya penyakit ini


(24)

menyerang orang-orang di pedesaan di wilayah hutan tropis, yang panas dan lembab. Diduga sumber infeksi lobomycosis berasal dari tanah atau tumbuhan di wilayah hutan tropis.10 68-92 % kasus lobomycosis terjadi pada pria. Dapat mengenai semua kelompok umur, 1 - 70 tahun, tapi rata-rata penderita berumur 38 tahun.Biasanya mengenai petani, pemburu, pekerja karet dan penambang.9 Wanita yang terkena biasanya karena mereka adalah petani. 2,10,14

Pada pasien yang menderita mikosis ini, dilaporkan ada yang mempunyai riwayat terkena gigitan serangga pada daerah lesi. Wiersema dan Niemel mendapati adanya hubungan terjadinya trauma dengan timbulnya lobomycosis.12

Gambar 7: lobomycosis pada bokong dengan lesi berupa plaque.10

Tidak pernah dilaporkan kematian akibat lobomycosis. Tetapi terdapat satu kasus

squamous cell carsinoma pada penderita lobomycosis yang kronis, dan penderita

meninggal akibat metastase ke paru-paru.10

Manifestasi Klinis

Lobomycosis merupakan infeksi subkutis yang tidak menimbulkan rasa sakit, diawali dengan timbulnya papula tanpa timbul gejala sistemik. Wiersema mengatakan infeksi ini dapat terjadi di beberapa tempat di tubuh antara lain di kaki, telinga, lengan, wajah, leher, bokong dan daerah lumbosakral. Lesi berkembang dalam waktu lama sampai bertahun-tahun dengan ukuran lesi yang bertambah besar dan sering dijumpai tumbuhnya lesi-lesi yang baru baik di sekitar lesi atau di daerah yang jauh dari lesi awal. Karena lesi tidak menimbulkan gejala, menyebabkan penderita terlambat mengunjungi


(25)

dokter, biasanya setelah lesi awal bertahun-tahun baru ditegakkan diagnosa penyakit ini.12

Gambaran lesi dapat berubah-ubah. Silva, menemukan ada 5 bentuk lesi yang berbeda yaitu bentuk infiltrasi, keloid, gumma, verrucosa dan ulserasi. Bentuk infiltrasi dijumpai bentuk lesi yang nodular atau papul. Lesi yang berbentuk keloid dinamakan dengan keloidal blastomycosis. Hanya lesi yang sangat kronis yang dapat menjadi

verrukosa atau berkutil-kutil. Sedangkan bentuk yang ulserasi sangat jarang dijumpai.10,12

Gambaran khas dari lesi untuk menegakkan diagnosa adalah adanya lesi yang lunak, berlobus-lobus, permukaannya meninggi, halus dan tidak menyebabkan kerusakan epidermis. Tidak ditemukannya gejala lokal dan sistemik. Permukaan kulit cenderung terlihat mengkilap, atropi dan tidak berwarna.12

Laboratorium Diagnosa Pemeriksaan langsung

Untuk pemeriksaan langsung bahan diambil dari biopsi jaringan yang terinfeksi. Bahan dapat dibuat sediaan basah dengan KOH 10% dan tinta parker atau dengan

calcofluor white. Potongan jaringan dapat diwarnai dengan Grocott’s Methenamine Stain

(GMS), PAS digest atau dengan pewarnaan gram. Dibawah mikroskop akan terlihat organisme berupa ragi, bercabang-cabang dengan pigmentasi gelap, berbentuk spheris, yang merupakan ciri khas dari Loboa loboi. Jamur ini tidak dapat dikultur. Jadi penegakkan diagnosis lobomycosis dengan melihat gambaran klinis, letak geografis dan morfologi di bawah miroskopis.7


(26)

Gambar 8: Pewarnaan GMS menunjukkan sel jamur berupa ragi dengan pigmentasi gelap, dapat bercabang-cabang, ukuran 9-12 µm.7

Diagnosa Banding

Lesi kulit yang berupa plague yang tidak menimbulkan rasa sakit dapat dijumpai pada chromoblastomycosis, sporotrichosis, leishmaniasis, paracoccidioidomycosis,

psoriasis, tropical pyodermatitis, eczematoid dermatitis, squamous carcinoma, melanoma, Kaposi’s angiosarcoma dan keloid yang berhubungan dengan luka bakar atau

trauma.12

Pengobatan

Walaupun beberapa kasus ditemukan sembuh dengan clofazimin oral tetapi satu-satunya pengobatan yang direkomendasikan untuk Lobomycosis adalah dengan eksisi pembedahan. Walapun kekambuhan setelah eksisi dapat terjadi. Indikasi dilakukan eksisi ini untuk pencegahan atau untuk tujuan kosmetika. Oral ketokonazol tidak efektif untuk pengobatan jenis jamur ini.11,12


(27)

KESIMPULAN

-

Mikosis subkutan adalah infeksi jamur yang menyerang jaringan kutis sampai ke subkutis. Dapat juga terjadi penyebaran ke seluruh tubuh karena penyebarannya melalui kelenjar getah bening.

-

Sporotrichosis adalah infeksi jamur kronis yang hanya menginfeksi jaringan kutis dan subkutis, dapat terjadi penyebaran ke organ tubuh yang lain melalui penyebaran kelenjar getah bening. Lesi pada kutis berkembang akibat masuknya Sporothrix schenckii melalui kulit yang mengalami kerusakan. Lesi eritema, bernanah dan adanya nodul yang verrucous. Pada beberapa kasus terjadi penyebaran nodul lymphangitic.

-

Chromoblastomycosis adalah suatu infeksi kulit granulomatous progresif lambat dan disebabkan beberapa spesies jamur hitam. Phialophora verrucosa, Fonsecaea pedrosoi, Rhinocladiella aquaspersa dan Cladosporium carrionii adalah jamur-jamur yang paling sering diisolasi.

-

Mycetoma adalah suatu lesi lokal yang membengkak disertai granula yang merupakan koloni-koloni padat dari jamur penyebab yang mengalir dari sinus-sinus. Penyakit ini disebabkan oleh berbagai jamur dan aktinomycetes (bakteri filamentosa).

-

Rhinosporidiosis adalah infeksi kronis granulomatous dengan karakteristik adanya massa polipoid pada membran mukosa yang mengandung endospora Rhinosporidium

seeberi. Membran mukosa yang dapat terserang antara lain mukosa hidung,

nasopharing dan konjungtiva.

-

Lobomycosis adalah infeksi kronis pada kulit yang disebabkan oleh Loboa loboi. Karakteristik dari lesinya adalah adanya pertumbuhan tumor yang lambat pada daerah dermis dari kulit dengan permukaan yang halus, berkutil-kutil atau ulserasi.


(28)

DAFTAR PUSTAKA

1. Anaissie, McGinnis, Pfaller. Clinical Mycology. Churchill Livingstone. 2003. 2. Baruzzi RG, Rodrigues DA, Michalany NS, Salomao R: Squamous-cell

carcinoma and lobomycosis (Jorge Lobo's disease). Int J Dermatol 1989 Apr;

28(3):

183-3. Borelli D: Lobomycosis experimental. Dermatol Venez 1962; 3: 72-82. 4. Brooks, Butel, Ornston. Medical Microbiology. Appleton & lange.

5. Castro, Schwartz. Chromoblastomycosis. American Academy of Dermatology. Sep 25,2006. http://www.emedicine.com/cgi-bin/foxweb.exe/

6. Ellis David. Chromoblastomycosis. Mycology Online. The University of Adelaide. 4 Juli 2006.

http://www.mycology.adelaide.edu.au/mycosis/subcutaneous/chromoblastomycos is

7. Ellis David. Lobomycosis. Mycology Online. The University of Adelaide. 4 Juli 2006. http://www.mycology.adelaide.edu.au/mycosis/subcutaneous/lobomycosis 8. Ellis David. Rhinosporidiosis. Mycology Online. The University of Adelaide. 4

Juli 2006.

http://www.mycology.adelaide.edu.au/mycosis/subcutaneous/rhinosporidiosis 9. Fuchs J, Milbradt R, Pecher SA: Lobomycosis (keloidal blastomycosis): case

reports and overview. Cutis 1990 Sep; 46(3): 227-

10.Honda,MD. Lobomycosis. Article. Dermatopathology, Division of Dermatologist, Departement of Medicine, University of Cincinnati. January 25,2007. Access

Ma

11.Kumari, Laxmisha, Devinder. Disseminated Cutaneous Rhinosporidiosis. Dermatology Online Journal. Volume 11 Number 1:19. 2005. Access may 3,

12.Kwon-chung & Bennet. Medical Mycology. Lea & Febiger. 1992.

13.Rivard, Hospenthal. Rhinosporidiosis. February 23.2006.

http://www.emedicine.com/cgi-bin/foxweb.exe

14.Wiersema JP, Niemel PL: Lobo's disease in Surinam patients. Trop Geogr Med 1965 Jun; 17(2): 89-11


(1)

Gambar 7: lesi lobomycosis.7

Sejarah

Tahun 1931, Jurge Lobo mengemukakan satu kasus pada pertemuan ahli kedokteran di Pernambaco, beliau menemukan penderita dari lembah Amazone dengan lesi keloid pada kulit punggungnya, tanpa ada penyebaran limfangitik atau sistemik. Lesi ini terdiri dari jaringan granulomatous dengan sel tunas yang berbentuk sferis. Beliau menyebut keloid ini sebagai bentuk ringan dari paracoccidioidomycosis, dan menyebut penyakit ini dengan keloidal blastomycosis.

Di tahun 1938, Fialho melaporkan adanya lesi pada telinga kanan pasiennya yang berasal dari lembah Amazone. Gambaran histopatologi lesi ini mirip dengan lesi pada pasien Lobo dan berkesimpulan bahwa lesi ini sangat berbeda dengan paracoccidioidomycosis, sehingga memberi nama lesi ini dengan Lobo’s disease. Dan di tahun 1958, Borelli menyebut penyakit ini dengan Lobomycosis.12

Epidemiologi

Lobomycosis dapat mengenai manusia dan lumba-lumba. Dengan manifestasi klinis yang hampir sama antara manusia dengan lumba-lumba. Symmer pernah melaporkan satu kasus dimana terjadi penularan lobomycosis dari lumba-lumba kepada manusia.10

Penyakit ini dapat dijumpai di beberapa negara, tetapi angka kejadian yang tinggi didapati di Brazil dan Suriname. Vilano dan Moreno tahun 2004 mengemukakan lebih dari 64% dari semua kasus lobomycosis dijumpai di Brazil. Biasanya penyakit ini


(2)

menyerang orang-orang di pedesaan di wilayah hutan tropis, yang panas dan lembab. Diduga sumber infeksi lobomycosis berasal dari tanah atau tumbuhan di wilayah hutan tropis.10 68-92 % kasus lobomycosis terjadi pada pria. Dapat mengenai semua kelompok umur, 1 - 70 tahun, tapi rata-rata penderita berumur 38 tahun.Biasanya mengenai petani, pemburu, pekerja karet dan penambang.9 Wanita yang terkena biasanya karena mereka adalah petani. 2,10,14

Pada pasien yang menderita mikosis ini, dilaporkan ada yang mempunyai riwayat terkena gigitan serangga pada daerah lesi. Wiersema dan Niemel mendapati adanya hubungan terjadinya trauma dengan timbulnya lobomycosis.12

Gambar 7: lobomycosis pada bokong dengan lesi berupa plaque.10

Tidak pernah dilaporkan kematian akibat lobomycosis. Tetapi terdapat satu kasus squamous cell carsinoma pada penderita lobomycosis yang kronis, dan penderita meninggal akibat metastase ke paru-paru.10

Manifestasi Klinis

Lobomycosis merupakan infeksi subkutis yang tidak menimbulkan rasa sakit, diawali dengan timbulnya papula tanpa timbul gejala sistemik. Wiersema mengatakan infeksi ini dapat terjadi di beberapa tempat di tubuh antara lain di kaki, telinga, lengan, wajah, leher, bokong dan daerah lumbosakral. Lesi berkembang dalam waktu lama sampai bertahun-tahun dengan ukuran lesi yang bertambah besar dan sering dijumpai tumbuhnya lesi-lesi yang baru baik di sekitar lesi atau di daerah yang jauh dari lesi awal. Karena lesi tidak menimbulkan gejala, menyebabkan penderita terlambat mengunjungi


(3)

dokter, biasanya setelah lesi awal bertahun-tahun baru ditegakkan diagnosa penyakit ini.12

Gambaran lesi dapat berubah-ubah. Silva, menemukan ada 5 bentuk lesi yang berbeda yaitu bentuk infiltrasi, keloid, gumma, verrucosa dan ulserasi. Bentuk infiltrasi dijumpai bentuk lesi yang nodular atau papul. Lesi yang berbentuk keloid dinamakan dengan keloidal blastomycosis. Hanya lesi yang sangat kronis yang dapat menjadi verrukosa atau berkutil-kutil. Sedangkan bentuk yang ulserasi sangat jarang dijumpai.10,12

Gambaran khas dari lesi untuk menegakkan diagnosa adalah adanya lesi yang lunak, berlobus-lobus, permukaannya meninggi, halus dan tidak menyebabkan kerusakan epidermis. Tidak ditemukannya gejala lokal dan sistemik. Permukaan kulit cenderung terlihat mengkilap, atropi dan tidak berwarna.12

Laboratorium Diagnosa Pemeriksaan langsung

Untuk pemeriksaan langsung bahan diambil dari biopsi jaringan yang terinfeksi. Bahan dapat dibuat sediaan basah dengan KOH 10% dan tinta parker atau dengan calcofluor white. Potongan jaringan dapat diwarnai dengan Grocott’s Methenamine Stain (GMS), PAS digest atau dengan pewarnaan gram. Dibawah mikroskop akan terlihat organisme berupa ragi, bercabang-cabang dengan pigmentasi gelap, berbentuk spheris, yang merupakan ciri khas dari Loboa loboi. Jamur ini tidak dapat dikultur. Jadi penegakkan diagnosis lobomycosis dengan melihat gambaran klinis, letak geografis dan morfologi di bawah miroskopis.7


(4)

Gambar 8: Pewarnaan GMS menunjukkan sel jamur berupa ragi dengan pigmentasi gelap, dapat bercabang-cabang, ukuran 9-12 µm.7

Diagnosa Banding

Lesi kulit yang berupa plague yang tidak menimbulkan rasa sakit dapat dijumpai pada chromoblastomycosis, sporotrichosis, leishmaniasis, paracoccidioidomycosis, psoriasis, tropical pyodermatitis, eczematoid dermatitis, squamous carcinoma, melanoma, Kaposi’s angiosarcoma dan keloid yang berhubungan dengan luka bakar atau trauma.12

Pengobatan

Walaupun beberapa kasus ditemukan sembuh dengan clofazimin oral tetapi satu-satunya pengobatan yang direkomendasikan untuk Lobomycosis adalah dengan eksisi pembedahan. Walapun kekambuhan setelah eksisi dapat terjadi. Indikasi dilakukan eksisi ini untuk pencegahan atau untuk tujuan kosmetika. Oral ketokonazol tidak efektif untuk pengobatan jenis jamur ini.11,12


(5)

KESIMPULAN

-

Mikosis subkutan adalah infeksi jamur yang menyerang jaringan kutis sampai ke subkutis. Dapat juga terjadi penyebaran ke seluruh tubuh karena penyebarannya melalui kelenjar getah bening.

-

Sporotrichosis adalah infeksi jamur kronis yang hanya menginfeksi jaringan kutis dan subkutis, dapat terjadi penyebaran ke organ tubuh yang lain melalui penyebaran kelenjar getah bening. Lesi pada kutis berkembang akibat masuknya Sporothrix schenckii melalui kulit yang mengalami kerusakan. Lesi eritema, bernanah dan adanya nodul yang verrucous. Pada beberapa kasus terjadi penyebaran nodul lymphangitic.

-

Chromoblastomycosis adalah suatu infeksi kulit granulomatous progresif lambat dan disebabkan beberapa spesies jamur hitam. Phialophora verrucosa, Fonsecaea pedrosoi, Rhinocladiella aquaspersa dan Cladosporium carrionii adalah jamur-jamur yang paling sering diisolasi.

-

Mycetoma adalah suatu lesi lokal yang membengkak disertai granula yang merupakan koloni-koloni padat dari jamur penyebab yang mengalir dari sinus-sinus. Penyakit ini disebabkan oleh berbagai jamur dan aktinomycetes (bakteri filamentosa).

-

Rhinosporidiosis adalah infeksi kronis granulomatous dengan karakteristik adanya massa polipoid pada membran mukosa yang mengandung endospora Rhinosporidium seeberi. Membran mukosa yang dapat terserang antara lain mukosa hidung, nasopharing dan konjungtiva.

-

Lobomycosis adalah infeksi kronis pada kulit yang disebabkan oleh Loboa loboi. Karakteristik dari lesinya adalah adanya pertumbuhan tumor yang lambat pada daerah dermis dari kulit dengan permukaan yang halus, berkutil-kutil atau ulserasi.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

1. Anaissie, McGinnis, Pfaller. Clinical Mycology. Churchill Livingstone. 2003. 2. Baruzzi RG, Rodrigues DA, Michalany NS, Salomao R: Squamous-cell

carcinoma and lobomycosis (Jorge Lobo's disease). Int J Dermatol 1989 Apr; 28(3):

183-3. Borelli D: Lobomycosis experimental. Dermatol Venez 1962; 3: 72-82. 4. Brooks, Butel, Ornston. Medical Microbiology. Appleton & lange.

5. Castro, Schwartz. Chromoblastomycosis. American Academy of Dermatology. Sep 25,2006. http://www.emedicine.com/cgi-bin/foxweb.exe/

6. Ellis David. Chromoblastomycosis. Mycology Online. The University of Adelaide. 4 Juli 2006.

http://www.mycology.adelaide.edu.au/mycosis/subcutaneous/chromoblastomycos is

7. Ellis David. Lobomycosis. Mycology Online. The University of Adelaide. 4 Juli 2006. http://www.mycology.adelaide.edu.au/mycosis/subcutaneous/lobomycosis 8. Ellis David. Rhinosporidiosis. Mycology Online. The University of Adelaide. 4

Juli 2006.

http://www.mycology.adelaide.edu.au/mycosis/subcutaneous/rhinosporidiosis 9. Fuchs J, Milbradt R, Pecher SA: Lobomycosis (keloidal blastomycosis): case

reports and overview. Cutis 1990 Sep; 46(3): 227-

10.Honda,MD. Lobomycosis. Article. Dermatopathology, Division of Dermatologist, Departement of Medicine, University of Cincinnati. January 25,2007. Access

Ma

11.Kumari, Laxmisha, Devinder. Disseminated Cutaneous Rhinosporidiosis. Dermatology Online Journal. Volume 11 Number 1:19. 2005. Access may 3,

12.Kwon-chung & Bennet. Medical Mycology. Lea & Febiger. 1992.

13.Rivard, Hospenthal. Rhinosporidiosis. February 23.2006.

http://www.emedicine.com/cgi-bin/foxweb.exe

14.Wiersema JP, Niemel PL: Lobo's disease in Surinam patients. Trop Geogr Med 1965 Jun; 17(2): 89-11