Gambaran Histopatologi Organ Limpa pada Kalong Asal Gorontalo

GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN LIMPA PADA
KALONG ASAL GORONTALO

RAHAYU WORO WIRANTI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gambaran
Histopatologi Organ Limpa pada Kalong Asal Gorontalo adalah benar karya saya
dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013
Rahayu Woro Wiranti
NIM B04090014

ABSTRAK
RAHAYU WORO WIRANTI. Gambaran Histopatologi Organ Limpa pada
Kalong Asal Gorontalo. Dibimbing oleh EKOWATI HANDHARYANI.
Acerodon celebensis dan Pteropus hypomelanus merupakan spesies dari
Chiroptera yang tinggal di Gorontalo. Kedua spesies diketahui sebagai kalong
yang berpotensi sebagai reservoir dari beberapa kasus zoonosis. Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui status kesehatan kalong Gorontalo melalui gambaran
histopatologi limpa. Sembilan sampel digunakan pada penelitian ini yang terdiri
atas tujuh limpa Acerodon celebensis dan dua limpa Pteropus hypomelanus yang
telah terfiksasi dalam larutan Buffered Neutral Formalin 10%. Pengamatan
dilakukan dengan melihat keadaan pulpa merah dan pulpa putih menggunakan
pewarnaan Hematoxylin-Eosin, Congo Red, dan Periodic Acid Schiff. Sembilan
sampel dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin memperlihatkan adanya
peradangan dan akumulasi yang berlebihan dari pigmen hemosiderin. Hasil
dengan pewarnaan Congo Red memperlihatkan dua sampel positif adanya
akumulasi amiloid dan pewarnaan Periodic Acid Schiff memperlihatkan enam

sampel positif adanya akumulasi karbohidrat. Tiga dari enam sampel positif
Periodic Acid Schiff menunjukkan adanya mikroorganisme yang diduga termasuk
kelompok mikosis sistemik. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan peradangan
yang bersifat kronis pada limpa kalong dan diduga akibat infeksi sistemik dari
Blastomyces dermatitidis.
Kata kunci: Acerodon celebensis, histopatologi, kalong, limpa, Pteropus
hypomelanus

ABSTRACT
RAHAYU WORO WIRANTI. Histopathological Overview of Gorontalo’s Bat
Spleen. Supervised by EKOWATI HANDHARYANI.
Acerodon celebensis and Pteropus hypomelanus are species of Chiroptera
that lived at Gorontalo. Those species are known as fruit bats that has potential as
reservoir host for several zoonosis cases. The aim of this study was to determine
the health status of Gorontalo’s fruit bats through the overview histopathology of
spleen. Nine samples were used in this research that consist of seven spleens of
Acerodon celebensis and two spleens of Pteropus hypomelanus that had been
fixed in a solution of Buffer Neutral Formalin 10%. Observations were made by
looking at the state of the red pulp and white pulp by using three different staining
is Hematoxylin-Eosin, Congo Red, and Periodic Acid Schiff. Nine samples were

observed by using Hematoxylin-Eosin showed the presence of inflammation and
excessive accumulation of hemosiderin pigment. The result of Congo Red
staining showed two positive samples with the presence accumulation of amyloid
and Periodic Acid Schiff staining showed six positive samples with the presence
accumulation of carbohydrates. Three samples of six positive samples showed
microorganisms were suspected belongs to systemic mycosis. The conclusions of
this research showed chronic inflammation in fruit bats spleen and were suspected
due to systemic infection of Blastomyces dermatitidis.
Keywords: Acerodon celebensis, fruit bats, histopathology, Pteropus hypomelanus,
spleen

GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN LIMPA PADA
KALONG ASAL GORONTALO

RAHAYU WORO WIRANTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Gambaran Histopatologi Organ Limpa pada Kalong Asal Gorontalo
Nama
: Rahayu Woro Wiranti
NIM
: B04090014

Disetujui oleh

drh. Ekowati Handharyani, MSi, PhD, APVet
Pembimbing I

Diketahui oleh


drh. Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Karya ilmiah dengan judul Gambaran Histopatologi Organ Limpa pada Kalong
Asal Gorontalo merupakan suatu studi kasus mengenai kalong Gorontalo yang
dilaksanakan sejak Maret 2012. Studi kasus dilakukan dengan melihat gambaran
secara histopatologi pada organ limpa untuk mengetahui status kesehatan kalong
Gorontalo.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu drh. Ekowati Handharyani, MSi,
PhD, APVet selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada staf Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan teman sepenelitian
penulis yaitu Suannisa Nur Utami dan Irnanda Hary Widyanti yang telah
membantu selama pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik (Yuliana Endah RA),

sahabat paus tercinta (Dwi Utari Rahmiati, Yusti Maulida, dan Septiana Eka Sari),
serta teman-teman Geochelone FKH 46 atas segala doa, dukungan, dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan informasi yang didapatkan
dapat menjadi masukan terhadap kesehatan hewan dan manusia.

Bogor, September 2013
Rahayu Woro Wiranti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA


3

METODE

6

Bahan

6

Alat

6

Prosedur

6

HASIL DAN PEMBAHASAN


9

SIMPULAN

13

DAFTAR PUSTAKA

14

RIWAYAT HIDUP

16

DAFTAR TABEL
1 Gambaran histopatologi limpa dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin
(HE), Congo Red, dan Periodic Acid Schiff (PAS)

10


DAFTAR GAMBAR
1 Pulpa merah dengan pigmen hemosiderin warna coklat dan pulpa putih
terlihat proliferasi limfosit, makrofag, dan endapan amiloid
2 Deposit amiloid
3 Mikroorganisme yang diduga Blastomyces dermatitidis

11
12
13

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia sebagai negara yang memiliki iklim tropis berpotensi mendukung
berkembangnya berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan. Keberagaman jenis
ini tersebar di seluruh daerah Indonesia dengan mengikuti persebaran hutan hujan
tropis. Hutan hujan tropis memiliki keanekaragaman tanaman yang dimanfaatkan
oleh hewan sebagai sumber kehidupan. Berbagai spesies hewan liar dapat
berkembang biak dengan baik di Indonesia. Inilah yang menyebabkan Indonesia
memiliki potensi yang besar pula dalam penyebaran penyakit asal hewan liar.
Keadaan Indonesia sekarang ini memudahkan terjadinya transmisi penyakit

yang bersifat infeksius dari hewan liar ke manusia. Penebangan lahan hutan dan
buruknya pengawasan akan jual beli hewan liar merupakan salah satu penyebab
yang paling utama. Hewan liar banyak diperdagangkan selain sebagai barang
koleksi yang bernilai jual mahal juga sebagai bahan pangan konsumsi yang
dipercaya memiliki khasiat tertentu dalam menyembuhkan penyakit. Kepercayaan
ini banyak berkembang di masyarakat, khususnya masyarakat daerah Sulawesi.
Hewan liar yang saat ini mendapat perhatian khusus adalah kelelawar buah
yang biasa disebut kalong. Kalong memiliki peran yang sangat penting dalam
menjaga keseimbangan ekosistem, antara lain sebagai pemencar biji buah-buahan,
penyerbuk bunga, dan penghasil pupuk guano (Suyanto 2001). Kalong juga
memiliki jangkauan terbang yang jauh sehingga sangat bermanfaat dalam
penyebaran dan distribusi tanaman. Selain itu, sifat kalong yang berkoloni
menjadikan kalong sebagai objek wisata, terutama di daerah yang banyak
memiliki gua-gua.
Kalong selain berdampak positif pada ekosistem juga memiliki dampak
negatif yaitu dalam hal penyebaran penyakit. Kalong memiliki karakteristik
sebagai reservoir dimana kalong dapat terinfeksi suatu agen infeksius dan tidak
menunjukkan gejala klinis pada kalong. Agen infeksius yang menyerang biasanya
berbahaya pada kesehatan manusia/zoonosis (Omatsu et al. 2007).
Saat ini populasi kalong di Indonesia telah mengalami penurunan seiring
dengan hilangnya habitat kalong akibat penebangan hutan secara besar-besaran di
Indonesia, penangkapan yang intensif untuk transaksi jual beli, dan penangkapan
untuk konsumsi masyarakat. Tingginya tingkat perburuan pada kelelawar, maka
kelelawar digolongkan dalam daftar Appendix I dan II Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES),
yaitu perdagangannya dilarang untuk hewan dalam daftar Appendix I dan
perdagangannya dijaga secara ketat untuk hewan dalam daftar Appendix II. Ini
bertujuan untuk tetap menjaga keberadaan hewan tersebut dalam populasi dan
terhindar dari kepunahan (CITES 2011). Selain itu, kalong termasuk dalam hewan
dengan kemampuan reproduksi yang lambat sehingga populasinya akan semakin
menurun apabila perburuan terus dilakukan.
Perburuan yang terjadi berhubungan dengan adanya kebiasaan masyarakat
Sulawesi mengkonsumsi kalong yang dapat menimbulkan adanya resiko penyakit
zoonotik terutama infeksi oleh virus. Penyebaran virus terjadi dengan cepat dan
berbahaya. Agen infeksius yang telah diketahui dapat menyerang kalong dan

2
bersifat zoonosis adalah Hendra virus, Nipah virus (Sasaki et al. 2012), dan
rabies-like Lyssavirus (Mickleburgh et al. 2002). Selain infeksi virus ditemukan
juga adanya infeksi sistemik blastomikosis pada kalong India (Raymond et al.
1997).
Ancaman zoonosis dari kalong ke manusia inilah yang mendorong perlu
dilakukannya identifikasi keadaan kesehatan kalong, khususnya kalong daerah
Sulawesi dimana keanekaragaman jenis dan tingkat konsumsi masyarakat akan
kalong tinggi. Spesies kalong yang dapat ditemukan di daerah Sulawesi antara lain
Pteropus alecto, Dobsonia minor, Dobsonia exoleta, Acerodon celebensis,
Pteropus dobsoni, Pteropus hypomelanus, Dobsonia moluccensis, dan Pteropus
griseus (IUCN 1992).
Spesies kalong Sulawesi yang akan diidentifikasi keadaan kesehatannya
adalah Acerodon celebensis dan Pteropus hypomelanus. Identifikasi dengan
melakukan pemeriksaan secara histopatologi pada organ limpa yang merupakan
salah satu organ pertahanan tubuh. Limpa memiliki respon imun terhadap antigen
yang berada dalam darah. Limpa melakukan filtrasi benda asing dalam darah dan
sel darah merah yang sudah tua atau rusak. Limpa terdiri atas dua struktur utama
yaitu pulpa merah dan pulpa putih (Cesta 2006).
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu sumber
informasi dalam upaya awal pencegahan penyebaran penyakit kalong ke
masyarakat, khususnya masyarakat Sulawesi sehingga terhindar dari bahaya
zoonosis.

Perumusan Masalah
Populasi kalong di Sulawesi yang tinggi memiliki potensi besar sebagai
agen penyebar penyakit (reservoir). Spesies kalong yang telah diteliti berpotensi
sebagai reservoir adalah Acerodon celebensis dan Pteropus hypomelanus. Untuk
itu, perlu dilakukan identifikasi agen penyakit dengan melihat gambaran
histopatologi pada organ limpa kedua spesies tersebut.

Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini untuk menguraikan potensi Acerodon
celebensis dan Pteropus hypomelanus sebagai reservoir penyakit infeksius.
Tujuan khusus dari penelitian ini untuk membuktikan adanya infeksi agen dengan
melihat perubahan patologis organ limpa dengan bantuan pewarnaan
Hematoksilin-Eosin dan pewarnaan khusus yaitu Congo Red dan Periodic Acid
Schiff (PAS).

Manfaat Penelitian
Gambaran histopatologi organ limpa kalong asal Gorontalo diharapkan
dapat menjelaskan patogenesis penyakit dan informasi yang diperoleh dapat
digunakan sebagai masukan terhadap kesehatan manusia, terutama pada
masyarakat yang mengkonsumsi kalong.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Kelelawar
Kelelawar merupakan mamalia ordo Chiroptera dengan distribusi
penyebaran terbesar kedua setelah rodensia (West et al. 2007). Kata Chiroptera
berasal dari bahasa Yunani yaitu cheir yang berarti tangan dan pteron yang berarti
sayap. Ordo Chiroptera terbagi atas dua subordo yaitu Megachiroptera (pemakan
buah) dan Microchiroptera (pemakan serangga). Kelelawar yang termasuk dalam
subordo Megachiroptera memiliki ukuran yang besar, telinga tidak memiliki
tragus/antitragus, jari sayap kedua memiliki cakar, dan terdiri atas dua tulang jari.
Kelelawar yang termasuk dalam subordo Microchiroptera memiliki ukuran yang
kecil, telinga memiliki tragus/antitragus, jari sayap kedua tidak memiliki cakar
dan tulang jari (Suyanto 2001).
Kelelawar mendiami hampir sebagian wilayah dunia yang memiliki iklim
sedang dan tropis seperti Indonesia. Famili kelelawar yang diketahui mendiami
wilayah Indonesia antara lain Pteropodidae, Megadermatidae, Nycteridae,
Vespertilionidae, Rhinolophidae, Mollosidae, Hipposideridae, Emballonuridae,
dan Rhinopomatidae (Suyanto 2001).
Kelelawar secara umum memiliki karakteristik dan keadaan fisiologi yang
unik. Karakteristik unik kelelawar antara lain tergolong hewan nokturnal yaitu
hewan yang aktif pada malam hari dan kelelawar mampu untuk dapat bertahan
hidup pada keadaan karbon dioksida dan ammonia tinggi. Keadaan fisiologi unik
kelelawar antara lain suhu tubuh kelelawar mencapai 35 ºC sampai 39 ºC.
Beberapa jenis kelelawar seperti Vespertilionidae, Rhinopomatidae, dan
Mollisidae memiliki kemampuan bertahan dengan suhu tubuh dan metabolisme
yang rendah atau hibernasi. Selain itu, kelelawar memiliki perkembangbiakan
yang relatif lambat. Dalam satu tahun, kelelawar hanya berkembang biak sekali
dengan masa kebuntingan 3–6 bulan dan jumlah anak satu (Calisher et al. 2006).
Kelelawar sebagai satwa liar memiliki potensi yang besar sebagai pembawa
penyakit zoonotik dan menyebabkan munculnya emerging disease. Kelelawar
merupakan reservoir alami dari agen infeksius terutama virus. Virus yang
terdeteksi terdapat kelelawar yaitu virus Rabies, Lyssavirus, Henipavirus, Ebola
virus, Severe Acute Respiratory Syndrome – Coronavirus Like virus (SARS-CoVLike virus), Menangle dan Tioman virus. Selain itu, terdapat juga Alphavirus,
Flavivirus, dan Bunyavirus yang menginfeksi kelelawar melalui arthropoda
(Calisher et al. 2006). Kelelawar di negara dengan iklim sedang berperan sebagai
pembawa virus penyebab penyakit Japanese Encephalitis pada musim dingin
(Winoto et al. 1995).
Tiga spesies kelelawar yang menunjukkan adanya penularan virus Rabies
yaitu Diphylla ecaudata, Diaemus youngi, dan Desmodus rotundus. Kelelawar
pada infeksi SARS-CoV-Like adalah kelelawar Rhinolophidae dan Rousettus
leschenaultia. Kalong yang berperan sebagai reservoir dalam infeksi Hendra virus
antara lain Pteropus alecto, Pteropus scapulatus, dan Pteropus poliocephalus.
Kalong dalam infeksi Nipah virus adalah kalong Pteropus vampyrus dan Pteropus
hypomelanus (Calisher et al. 2006).

4
Kemampuan kalong dalam jarak tempuh terbang yang jauh berperan dalam
transmisi virus. Ketika kalong dalam keadaan hibernasi, maka virus akan terus
bereplikasi dan menginfeksi lebih lanjut. Henipavirus yang terdiri atas Hendra
virus dan Nipah virus juga menginfeksi kalong. Hendra virus menginfeksi melalui
plasenta, sedangkan pada Nipah virus melalui urin (Vigant dan Lee 2011).
Infeksi virus tertentu pada kalong tidak menyebabkan kalong sakit dan
bersifat patogen di manusia karena pada kalong ditemukan adanya respon
imunitas yang bersifat bawaan dan dapatan yang secara kualitatif dan kuantitatif
berbeda dengan manusia (Calisher et al. 2006). Darah, saliva, urin, dan sekresi
yang lainnya sebagai sumber penularan dan penyebaran penyakit.
Acerodon celebensis
Spesies kalong ini termasuk dalam ordo Chiroptera dan famili Pteropodidae.
Spesies ini tergolong dalam sub-ordo Megachiroptera yaitu kelelawar pemakan
buah. Acerodon celebensis memiliki ciri-ciri morfologi antara lain warna rambut
coklat kekuningan, memiliki tonjolan memanjang pada bagian tengah permukaan
geraham bawah dan bagian dalam depan geraham atas, dan memiliki ekor sangat
kecil (Suyanto 2001).
Kalong ini memiliki hubungan yang erat dengan kalong yang berasal dari
genus Pteropus dan hanya terbatas terdapat di garis Wallacea Barat (Koopman
1989). Hal ini menyebabkan sering terjadi kesalahan dalam identifikasi Acerodon
celebensis terutama pada susunan gigi (Bergmans dan Rozendaal 1988).
Acerodon celebensis merupakan jenis kalong endemik daerah Sulawesi.
Spesies ini ditemukan pada daerah dataran rendah sampai dengan daerah dengan 1
500 m dpl. Spesies ini memiliki habitat pada pohon dan sering ditemukan pada
bambu. Pohon yang sering digunakan sebagai habitat adalah pohon kelapa dan
sukun (Hutson et al. 2008).
Saat ini, Acerodon celebensis termasuk dalam kategori konservasi Appendix
II CITES dan banyak dilindungi pada Taman Nasional Dumoga-Bone. Ini
dilakukan sebagai tindakan perlindungan akibat tingginya tingkat perburuan
spesies ini di Sulawesi (IUCN 1992).
Kalong di dalam kehidupan masyarakat Watansoppeng, Sulawesi Selatan
dipercaya dapat membawa keberuntungan (Hutson et al. 2008). Di sisi lain,
terdapat ancaman zoonosis yang melibatkan kalong ini sebagai reservoir dan
potensial menunjukkan adanya 3 jenis Henipavirus dan 2 jenis Rubulavirus yang
baru. Ini diidentifikasi pada spesies Acerodon celebensis pada daerah Paguyaman,
Gorontalo (Sasaki et al. 2012).
Pteropus hypomelanus
Spesies ini termasuk dalam subordo Megachiroptera (pemakan buah) dan
famili Pteropodidae. Kalong jenis ini terdapat pada wilayah Indonesia-Australia
termasuk Philipina, Papua New Guinea, dan Pulau Solomon (Jones dan Kunz
2000). Kalong ini memiliki nama lain seperti kalong kecil, lesser flying fox, the
island fox, dan variable flying foxes. Penamaan ini disesuaikan dengan distribusi
secara geografi.
Pteropus hypomelanus termasuk dalam kelompok kalong genus Pteropus
yang memiliki ukuran besar dibandingkan dengan kalong genus lain. Pteropus
hypomelanus memiliki jari pertama yang sangat panjang dan tidak berekor. Selain

5
itu, yang menjadi ciri utama adalah basal ledge belakang pada geraham tumbuh
dengan sangat baik (Suyanto 2001). Kata hypomelanus berasal dari dua kata
dalam bahasa Yunani yaitu hypo yang berarti bawah dan melan yang berarti hitam
(Jones dan Kunz 2000).
Buah-buahan yang menjadi makanan kalong antara lain mangga, jambu,
pisang. Selain itu, kalong ini juga memakan biji-bijian, kacang, nektar, dan bunga
(Francis et al. 2008). Predator utama untuk kalong jenis ini adalah manusia.
Kalong ini banyak dimanfaatkan manusia sebagai makanan sehingga populasi
mengalami penurunan akibat perburuan dan kalong ini termasuk dalam kategori
konservasi Appendix II CITES (CITES 2011).
Kalong jenis ini pernah dilaporkan terinfeksi Hendra dan Nipah virus. Selain
itu, diketahui juga pernah terinfeksi Tioman virus yang termasuk dalam
Rubulavirus. Kejadian ini dilaporkan terjadi di Pulau Tioman, Malaysia (Sasaki et
al. 2012).

Limpa
Hewan dan manusia memiliki sistem pertahanan tubuh yang bertugas dalam
menjaga kesehatan tubuh dari serangan agen-agen infeksius. Tugas tersebut
dilaksanakan oleh sistem limphoretikuler yang terbagi atas organ limfoid primer
dan sekunder. Limpa termasuk dalam organ limfoid sekunder. Organ limfoid
primer bertugas membentuk dan melakukan deferensiasi sel-sel limfosit,
sedangkan organ limfoid sekunder bertugas melakukan fungsi pertahanan tubuh.
Limpa memiliki respon imun terhadap antigen yang berada di darah dan
sebagai filter benda asing yang berada di darah dan sel darah merah yang sudah
tua atau rusak. Limpa terdiri atas struktur pulpa merah dan pulpa putih. Pulpa
merah terdiri atas splenic cords dan venous sinuses. Splenic cords terdiri atas sel
retikular, serat retikular, dan makrofag, sedangkan venous sinuses terdapat di
seluruh pulpa merah dan berbatasan langsung dengan zona marginal. Pulpa putih
terdiri atas tiga subkompartemen yaitu periarteriolar lymphoid sheath (PALS),
folikel limfoid, dan zona marginal. Zona marginal adalah wilayah yang terletak
diantara pulpa merah dengan PALS dan folikel limfoid (Cesta 2006).
Faktor-faktor yang berpengaruh pada keadaan fisiologis limpa antara lain
spesies, umur, dan genetik. Gangguan pada organ limpa dapat terjadi akibat efek
toksin secara langsung maupun tidak langsung, sebagai target dari suatu bahan
karsinogen, infeksi agen infeksius, dan metastasis neoplasia (Suttie 2006).
Infeksi pada limpa ditandai dengan adanya infiltrasi sel limfosit baik pada
pulpa merah maupun pulpa putih. Perubahan pada struktur limpa memiliki
dampak pada keadaan sistem kekebalan tubuh. Perubahan struktur yang
menimbulkan kerusakan fungsi limpa menyebabkan kelemahan dan terganggunya
sistem kekebalan tubuh.
Infeksi Histoplasma capsulatum sering terjadi pada kelelawar yang tinggal
di gua. Limpa akan mengalami kerusakan akibat masuknya mikrokonidia ke
dalam sistem retikuloendotelial. Infeksi pada limpa disertai pula dengan infeksi
pada paru-paru (Aronoff 1996). Selain histoplasmosis, infeksi oleh Leptospira sp.
juga menyebabkan perubahan pada limpa berupa adanya pembesaran limpa
(Rejeki 2005).

6

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian mulai dilaksanakan pada bulan Maret 2012 sampai dengan bulan
Juni 2013 bertempat di Laboratorium Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi,
dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain sembilan organ limpa
yang terdiri atas tujuh organ limpa Acerodon celebensis dan dua organ limpa
Pteropus hypomelanus, ketamine HCl 10 mg/kg BB, Buffered Neutral Formalin
(BNF) 10%, alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%, 95%), alkohol absolut (I,II,III),
xylol (I,II,III), paraffin cair, akuades, pewarna Hematoksilin-Eosin, pewarna
Congo Red, alkali alkohol, Schiff reagent, periodic acid 1%, asam asetat 1%, air
sulfit, air, dan zat perekat entellan.

Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian, antara lain cawan petri, tempat
penampung, pisau pemotong organ, pinset, tissue basket, automatic tissue
processor, frozen tissue embedding machine, mikrotom putar, lemari es, object
glass, cover glass, dan mikroskop cahaya.

Prosedur
Perlakuan dan Sampling Organ
Sampel organ limpa merupakan hibah dari tim peneliti kerjasama antara
FKH-IPB dengan Center for Zoonosis Control, Hokkaido University, Japan.
Sampel organ limpa yang digunakan berasal dari kalong spesies Acerodon
celebensis dan Pteropus hypomelanus dari daerah Gorontalo yang telah
mengalami euthanasia dengan pemberian ketamine HCl dan telah terfiksasi dalam
Buffered Neutral Formalin/BNF 10%.
Pemrosesan Jaringan
Sembilan sampel organ limpa yang telah difiksasi, diambil dari larutan BNF
10% dengan pinset dan direndam dalam air. Sampel organ limpa dipotong dengan
ketebalan 3 mm. Organ dimasukkan dalam tissue basket dan diberi label.
Selanjutnya potongan organ dalam tissue basket dimasukkan dalam automatic
tissue processor untuk didehidrasi dengan alkohol bertingkat mulai dari 70%,
80%, 90%, 95%, alkohol absolut I, II, dan III. Masing-masing konsentrasi
membutuhkan waktu 2 jam. Selanjutnya dilakukan tahap penjernihan dalam
larutan xylol (I, II, III), masing-masing selama 1 jam.

7
Tahapan selanjutnya adalah penanaman dalam parafin. Sampel jaringan
dimasukkan ke dalam parafin cair I, II, dan III selama 2 jam. Kemudian
dimasukkan dalam frozen tissue embedding machine untuk diubah dalam bentuk
blok parafin. Kemudian blok parafin dibekukan dalam lemari es. Setelah itu, blok
dipotong menggunakan mikrotom putar setebal 3–5 µm. Supaya hasil potongan
tidak mengkerut, maka potongan diletakkan diatas permukaan air yang bersuhu 45
ºC. Hasil potongan diletakkan pada object glass dan disimpan dalam inkubator
bersuhu 60 ºC sampai akan dilakukan pewarnaan.
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin menggunakan dua jenis pewarna yaitu
pewarna yang bersifat asam (Hematoksilin) dan pewarna yang bersifat basa
(Eosin). Pewarnaan ini digunakan untuk melihat morfologi organ secara umum.
Langkah awal dengan melakukan deparafinisasi yaitu object glass dari
inkubator dimasukkan ke dalam xylol III dan II selama 3 menit dan xylol I selama
5 menit. Kemudian dilakukan rehidrasi dengan alkohol absolut III sampai alkohol
80%, masing-masing selama 3 menit dan alkohol 70% selama 5 menit. Kemudian
dibilas dengan akuades.
Selanjutnya sediaan dimasukkan dalam zat warna Hematoksilin selama 8
menit. Kemudian dibilas dengan air mengalir dan dan dimasukkan dalam zat
warna Eosin selama 2–3 menit. Bilas dengan air mengalir kembali.
Langkah selanjutnya adalah dehidrasi kembali dengan dimasukkan dalam
alkohol 95% sebanyak 10 celupan. Kemudian dilanjutkan dalam alkohol absolut
selama masing-masing 2 menit. Selanjutnya dimasukkan dalam larutan xylol
untuk penjernihan. Setelah itu, dikeringkan dan ditutup dengan cover glass yang
direkatkan dengan zat perekat entellan. Kemudian dikeringkan kembali dan diberi
label. Preparat siap untuk diamati.
Pewarnaan Congo Red
Langkah awal dengan melakukan deparafinisasi yaitu object glass dari
inkubator dimasukkan ke dalam xylol III dan II selama 3 menit dan xylol I selama
5 menit. Kemudian dilakukan rehidrasi dengan alkohol absolut III sampai alkohol
80%, masing-masing selama 3 menit dan alkohol 70% selama 5 menit. Kemudian
dibilas dengan akuades.
Kemudian object glass dimasukkan dalam pewarna Congo Red selama 1 jam
dan dibilas dengan air mengalir dan akuades sebanyak 3 kali. Selanjutnya
dimasukkan dalam alkali alkohol selama 15 detik dan dibilas dengan air mengalir
dan akuades sebanyak 2 kali. Setelah itu, dimasukkan dalam Hematoksilin selama
3 menit dan dibilas kembali dengan air mengalir selama 1 menit.
Langkah selanjutnya, dilakukan dehidrasi kembali dalam alkohol 95%,
alkohol absolut I,II, dan III. Kemudian dilakukan penjernihan kembali dengan
xylol I,II,III. Setelah itu, dikeringkan dan direkatkan cover glass dengan
menggunakan zat perekat entellan. Preparat siap diamati.
Pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS)
Langkah awal dengan melakukan deparafinisasi yaitu object glass dari
inkubator dimasukkan ke dalam xylol III dan II selama 3 menit dan xylol I selama
5 menit. Kemudian dilakukan rehidrasi dengan alkohol absolut III sampai alkohol

8
80%, masing-masing selama 3 menit dan alkohol 70% selama 5 menit. Kemudian
dibilas dengan akuades.
Kemudian object glass dimasukkan dalam asam asetat 1% selama 5 menit.
Kemudian dioksidasi dalam periodic acid 1% segar selama 10 menit dan dibilas
dengan akuades sebanyak 3 kali, masing-masing 5 menit. Selanjutnya dimasukkan
dalam Schiff reagent selama 30 menit. Setelah itu, dibilas dengan air sulfit
sebanyak 3 kali, masing-masing 2 menit. Kemudian dibilas dengan air mengalir
selama 10 menit dan dilanjutkan dibilas dengan akuades. Setelah itu, dimasukkan
dalam Hematoksilin dan dibilas kembali dengan air mengalir dan akuades.
Langkah selanjutnya, dilakukan dehidrasi kembali dalam alkohol 95%,
alkohol absolut I,II, dan III. Kemudian dilakukan penjernihan kembali dengan
xylol I,II,III. Setelah itu, dikeringkan dan direkatkan cover glass dengan
menggunakan zat perekat entellan. Preparat siap diamati.
Pengamatan Limpa
Pengamatan dilakukan secara kualitatif pada sediaan yang sudah diwarnai
dengan HE dibawah mikroskop cahaya. Selain pengamatan dengan pewarnaan HE
dilakukan juga pengamatan pada pewarnaan Congo Red dan PAS.
Parameter yang diamati pada sediaan HE adalah lesio mikroskopik dari
pulpa merah dan pulpa putih. Parameter yang diamati pada pewarnaan Congo Red
adalah endapan amiloid. Hasil pewarnaan dikatakan positif apabila ditemukan
material berwarna orange, yang berarti mengandung amiloid. Adanya endapan
amiloid pada organ limpa menunjukkan indikasi penuaan atau peradangan yang
bersifat kronis.
Parameter yang diamati pada pewarnaan PAS adalah endapan karbohidrat
atau mikroorganisme. Hasil pewarnaan dikatakan positif ditandai munculnya
warna pink atau magenta sebagai identifikasi keberadaan karbohidrat atau
mikroorganisme. Akumulasi karbohidrat dapat terjadi salah satunya pada kasus
hiperglisemia.

9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Limpa merupakan organ limfatik yang terbesar dalam tubuh yang berfungsi
sebagai salah satu organ pertahanan tubuh dan kaya akan suplai darah. Limpa
dilindungi oleh kapsula dan trabekula yang berisi pembuluh darah, pembuluh
limfe, dan syaraf. Limpa terdiri atas dua kompartemen penting yaitu pulpa merah
dan pulpa putih (Cesta 2006).
Pulpa merah terdiri atas subkompartemen yaitu splenic cords dan sinus
venosus. Pulpa putih terdiri atas tiga subkompartemen penting yaitu periarteriol
lymphoid sheath (PALS), folikel, dan zona marginal. PALS merupakan kumpulan
limfosit yang mengelilingi arteri centralis yang merupakan percabangan dari arteri
utama limpa. Daerah PALS didominasi oleh limfosit T, sedangkan daerah folikel
yang membentuk germinal center dan zona marginal didominasi limfosit B (Ross
dan Pawlina 2011).
Perubahan-perubahan pada pulpa merah dan pulpa putih tersebut dapat
digunakan untuk mengetahui gambaran patologis limpa dan keadaan kesehatan
kalong. Perubahan yang terjadi secara patologis pada limpa dapat dilihat dengan
bantuan pewarnaan HE dan pewarnaan khusus yaitu Congo Red dan PAS.
Sembilan sampel dengan pewarnaan HE memperlihatkan bahwa pulpa
merah dan putih telah mengalami perubahan dari gambaran normal. Pulpa merah
dari sebagian besar sampel terlihat dipenuhi dengan eritrosit dan pigmen
hemosiderin, sedangkan pulpa putih terlihat adanya proliferasi limfosit dan
makrofag. Selain terjadi proliferasi ditemukan juga adanya deplesi pulpa putih
pada lima sampel yaitu sampel nomor 21, 22, 23, 25, dan 26. Gambaran ini
ditemukan baik pada spesies Acerodon celebensis maupun Pteropus hypomelanus.
Gambaran pulpa merah dan pulpa putih dari setiap sampel dengan pewarnaan HE
ditunjukkan dalam Tabel 1.
Pulpa merah diketahui memiliki fungsi untuk membantu proses filtrasi darah
dan degradasi eritrosit atau sel darah merah yang sudah tua atau rusak. Eritrosit
yang sudah tua akan dihancurkan oleh sistem retikulo endotelial (RES) seperti
makrofag dalam pulpa limpa. Eritrosit yang pecah akan menyebabkan hemoglobin
keluar dan mengalami pemecahan menjadi heme dan globin. Heme selanjutnya
akan menghasilkan pigmen zat besi seperti hemosiderin. Secara fisiologis, besi
bebas dari heme akan disimpan untuk dibentuk menjadi eritrosit yang baru.
Hemosiderin yang berlebihan akan menyebabkan kondisi hemosiderosis yang
mengarah pada adanya hemolisis secara besar-besaran (Ross dan Pawlina 2011).
Sembilan sampel memperlihatkan adanya akumulasi pigmen hemosiderin
yang berwarna coklat secara berlebihan. Akumulasi ini mengindikasikan bahwa
telah terjadi degradasi eritrosit secara besar-besaran akibat adanya hemolisis dan
telah terjadi fagositosis oleh makrofag yang menghasilkan hemosiderin berwarna
coklat. Pulpa merah dan pulpa putih juga mengalami proliferasi limfosit dan
makrofag yang menunjukkan bahwa limpa kalong mengalami peradangan yang
dikenal dengan splenitis (Cesta 2006).
Selain peradangan ditemukan sampel dengan zona marginal yang sudah
tidak jelas sehingga gambaran pulpa merah dan pulpa putih tidak berbatas dengan
jelas seperti terlihat pada sampel nomor 25. Perubahan-perubahan lain yang
ditemukan seperti pada pulpa merah sampel nomor 23 yang menggambarkan

10
vakuolisasi pada sinus histiosit limpa (Cesta 2006) dan endapan amiloid
ditemukan pada sampel nomor 32 yang mengarah pada proses penuaan atau
peradangan yang bersifat kronis. Deposit amiloid sering terjadi pada bagian zona
marginal pulpa putih (Carlton dan McGavin 1995).
Tabel 1 Gambaran histopatologi limpa dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin
(HE), Congo Red, dan Periodic Acid Schiff (PAS)
No
sampel

Spesies/Jenis kelamin

Limpa (HE)
Pulpa merah

Pulpa putih

Congo
Red

PAS

19

Acerodon celebensis /
betina

Proliferasi limfosit,
hemoragi, dan
ditemukan pigmen
hemosiderin

Proliferasi limfosit,
makrofag, dan
endapan amiloid

Positif

Positif

20

Acerodon celebensis /
betina

Proliferasi limfosit,
hemoragi, dan
ditemukan pigmen
hemosiderin

Ditemukan pigmen
hemosiderin,
neovaskularisasi

Negatif

Negatif

21

Acerodon celebensis /
jantan

Kongesti, hemoragi,
ditemukan pigmen
hemosiderin

Deplesi, proliferasi
limfosit dan
makrofag

Negatif

Negatif

22

Acerodon celebensis /
jantan

Proliferasi limfosit
hemoragi, ditemukan
pigmen hemosiderin

Proliferasi limfosit,
giant cell, deplesi

Negatif

Positif,
ditemukan
agen

23

Acerodon celebensis /
jantan

Hemoragi,
ditemukan pigmen
hemosiderin,
terbentuk vakuola

Melebar dan deplesi

Negatif

Negatif

24

Pteropus hypomelanus /
jantan

Hemoragi,
ditemukan pigmen
hemosiderin

Kongesti pada arteri
centralis

Negatif

Positif

25

Acerodon celebensis /
betina

Proliferasi limfosit,
hemoragi, ditemukan
pigmen hemosiderin

Batas pulpa putih
dan merah tidak
jelas, deplesi

Negatif

Positif,
ditemukan
agen

26

Pteropus hypomelanus /
jantan

Hemoragi,
ditemukan pigmen
hemosiderin

Proliferasi limfosit
dan makrofag,
ditemukan giant
cell, deplesi

Negatif

Positif

32

Acerodon celebensis /
betina

Proliferasi limfosit
dan makrofag,
hemoragi, dan
ditemukan pigmen
hemosiderin

Pulpa putih melebar,
proliferasi limfosit,
makrofag, dan giant
cell, endapan
amiloid

Positif

Positif,
ditemukan
agen

11
Adanya perubahan secara mikroskopis dapat diketahui dengan melakukan
pewarnaan, salah satunya dengan pewarnaan HE. Penggunaan pewarnaan HE
pada pulpa merah menunjukkan warna merah akibat tingginya kandungan eritrosit
dalam pembuluh darah. Hal ini berbeda dengan pulpa putih. Pulpa putih apabila
diwarnai dengan pewarnaan HE menunjukkan warna ungu akibat tingginya
konsentrasi dari jumlah limfosit kecil (Bacha dan Bacha 2000).
Gambaran secara mikroskopik dengan pewarnaan HE pada organ limpa
ditunjukkan pada Gambar 1 yang memberikan gambaran yang jelas tentang
perubahan-perubahan patologis limpa. Perubahan yang terjadi antara lain adanya
akumulasi pigmen hemosiderin yang berlebihan pada pulpa merah, proliferasi
limfosit dan makrofag serta endapan amiloid pada pulpa putih. Perubahan pada
Gambar 1 memperlihatkan keadaan yang sama pada sembilan sampel organ yang
diamati dengan pewarnaan HE.

Gambar 1 Pulpa merah terlihat pigmen hemosiderin (H) warna coklat dan pulpa
putih (P) terlihat proliferasi limfosit, makrofag, dan endapan amiloid.
Pewarnaan HE, bar = 80 µm
Perubahan patologis yang terlihat dengan pewarnaan HE dapat diperkuat
dengan dilakukannya pewarnaan khusus yaitu Congo Red dan PAS. Pewarnaan
Congo Red digunakan untuk melihat endapan amiloid secara lebih jelas yang
mengindikasikan adanya dugaan penuaan atau proses peradangan yang bersifat
kronis. Dua dari sembilan sampel organ limpa kalong memberikan hasil positif
terhadap pewarnaan Congo Red yaitu sampel nomor 19 dan 32.
Penggunaan pewarnaan Congo Red memberikan hasil amiloid positif seperti
pada Gambar 2 yang menunjukkan warna orange pada mikroskop. Pengamatan
amiloid dengan mikroskop cahaya akan berwarna orange, dengan mikroskop
polarisasi akan berwarna hijau birefringence, dan dengan flourescein
isothiocyanate filter akan berwarna berwarna yellow-orange. Deposit amiloid ini
menunjukkan bahwa peradangan yang terjadi pada sampel limpa bersifat kronis.
Selain itu, endapan amiloid juga berhubungan dengan proses penuaan (Macfarlane
et al. 2000).

12

Gambar 2 Deposit amiloid (A). Pewarnaan Congo Red, bar = 40 µm
Pewarnaan PAS juga digunakan untuk melihat endapan karbohidrat secara
lebih jelas yang mengindikasikan adanya dugaan hiperglisemia atau infeksi
mikroorganisme tertentu pada kalong. Enam dari sembilan sampel organ limpa
kalong menunjukkan pewarnaan PAS positif. Ini menunjukkan adanya dugaan
hiperglisemia pada limpa kalong dan berhubungan erat dengan diet kalong yang
beraneka ragam. Selain itu, ditemukan tiga dari enam sampel yang positif
terhadap pewarnaan PAS menunjukkan adanya temuan mikroorganisme yang
sedang mengalami budding berwarna magenta seperti pada Gambar 3.
Mikroorganisme tersebut secara morfologi dengan menggunakan pewarnaan
PAS diduga termasuk dalam kelompok mikosis sistemik yaitu Blastomyces
dermatitidis. Temuan tersebut sama dengan hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh Wilson et al. (2006) yang menunjukkan adanya bentuk mikroorganisme yang
sama dengan pewarnaan yang sama yaitu PAS yang mengindikasikan infeksi dari
Blastomyces dermatitidis pada organ kelenjar mammari kuda.
Blastomyces dermatitidis termasuk dalam kelompok dimorfik fungi yaitu
memiliki fase kapang pada suhu 25 °C dan fase khamir pada suhu 37 °C. Temuan
pada tiga organ limpa kalong tersebut diduga mikroorganisme berada dalam fase
khamir. Blastomyces dermatitidis memperbanyak diri dengan melakukan budding
(Songer dan Post 2005). Infeksi utama dari khamir ini adalah pada organ paruparu. Penularan terjadi melalui inhalasi konidia yang akan masuk dan berkembang
dalam paru-paru. Selain ditemukan pada organ paru-paru dapat ditemukan pada
limfonodus, mata, kulit, alat reproduksi jantan, alat reproduksi betina, tulang,
persendian, hati, limpa, dan ginjal. Ini menunjukkan bahwa infeksi Blastomyces
dermatitidis bersifat sistemik (Jubb et al. 2006).
Blastomyces dermatitidis diketahui dapat menginfeksi manusia dan anjing.
Infeksi pada manusia pernah dilaporkan menyerang cerebellum (Fung dan Perry
2004), sedangkan infeksi pada anjing terjadi pada epididymis dan prostate (Jubb et
al. 2006). Selain anjing, pernah diketahui dapat menginfeksi kelenjar mammari
kuda (Wilson et al. 2006). Hewan liar juga diketahui dapat terinfeksi seperti pada
paru-paru kalong di negara India yaitu spesies Pteropus giganteus (Raymond et al.

13
1997). Infeksi pada kalong ini dijadikan salah satu dasar identifikasi untuk dugaan
adanya infeksi Blastomyces dermatitidis pada kalong Gorontalo.
Jenis khamir lain yang diketahui juga bersifat sistemik adalah Histoplasma
capsulatum (Jubb et al. 2006). Tetapi, apabila dilihat secara morfologi bentuk
budding-nya berbeda dengan temuan pada limpa kalong Gorontalo. Sifat sistemik
yang ditandai dengan temuan pada berbagai organ dan temuan pada jenis kalong
membantu identifikasi mikroorganisme yang ditemukan pada organ limpa kalong.
Identifikasi tersebut mengarah adanya dugaan infeksi Blastomyces dermatitidis
pada kalong Gorontalo yaitu Acerodon celebensis dan Pteropus hypomelanus.

Gambar 3 Mikroorganisme yang diduga Blastomyces dermatitidis (Bd).
Pewarnaan PAS, bar = 40 µm
Hasil identifikasi Blastomyces dermatitidis pada kalong memberikan
informasi bahwa kalong dapat menjadi host dan reservoir dari infeksi Blastomyces
dermatitidis. Berdasarkan sifat tersebut, kalong berpotensi sebagai sumber
penularan pada manusia (Raymond et al. 1997). Informasi mengenai potensi
penularan dari kalong ke manusia dapat digunakan sebagai dasar untuk
meningkatkan kewaspadaan, terutama pada masyarakat yang mengkonsumsi
kalong.

SIMPULAN
Gambaran pulpa merah dan pulpa putih pada limpa Acerodon celebensis dan
Pteropus hypomelanus asal Gorontalo mengindikasikan adanya proses peradangan
(splenitis) pada seluruh sampel. Salah satu penyebabnya diduga adanya infeksi
mikroorganisme yaitu Blastomyces dermatitidis yang bersifat mikosis sistemik,
dan ditemukan pada tiga sampel. Hasil kajian ini dapat menjadi dasar bahwa
kalong berpotensi sebagai reservoir penyakit infeksius.

14

DAFTAR PUSTAKA
Aronoff SC. 1996. Histoplasmosis. Di dalam: Wahab AS, editor. Ilmu Kesehatan.
Volume 2. Jakarta (ID): EGC.
Bacha WJ, Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology. Ed ke-2.
Philadelphia (US): Williams & Wilkins.
Bergmans W, Rozendaal FG. 1988. Notes collections of fruit bats from Sulawesi
and some off-lying islands (Megachiroptera). Zool Verh Leiden. 248:1-74.
Calisher CH, Childs JE, Field HE, Holmes KV, Schountz T. 2006. Bats: important
reservoir hosts of emerging viruses. Clin Microbiol Rev. 19(3):531.
Carlton WW, McGavin MD. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. Ed
ke-2. St.Louis (US): Mosby.
Cesta MF. 2006. Normal structure, function, and histology of the spleen. Toxicol
Pathol. 34:455-465.
CITES. 2011. Checklist of CITES Spesies. Geneva (CH): CITES Secretariat.
Francis C, Rosell AG, Bonaccorso FA, Heaney L, Molur S, Srinivasulu C. 2008.
Pteropus hypomelanus. Di dalam: IUCN Red List of Threatened Species.
Versi 2013 [Internet]. [diunduh pada 14 Juli 2013]. Tersedia pada:
http://www.iucnredlist.org.
Fung KM, Perry A. 2004. An 18 year-old man with headache, ataxia, and a
cerebellar mass. Di dalam: [OUHSC] University of Oklahoma Health
Science Center.
Hutson AM, Kingston T, Helgen K, Sinaga U. 2008. Acerodon celebensis. Di
dalam: IUCN Red List of Threatened Species. Versi 2012 [Internet].
[diunduh pada 14 Feb 2013]. Tersedia pada: http://www.iucnredlist.org.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources.
1992. Old World Fruit Bats. London (UK): Oxford Pr.
Jones D, Kunz T. 2000. Pteropus hypomelanus. Mammalian Spesies. 693:1-6.
Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer NC. 2006. Pathology of Domestic Animals. Ed
ke-5. Ontario (US): Elsevier Science.
Koopman KF. 1989. Distributional patterns of Indo-Malayan bats (Mammalia:
Chiroptera). Di dalam: American Museum Navitates [Internet]. [diunduh
pada 14 Feb 2013]. Tersedia pada: http://digitallibrary.amnh.org.
Mickleburgh SP, Hutson AM, Racey PA. 2002. A review of the global
conservation status of bats. Oryx. 36(1):18-34.
Omatsu T, Watanabe S, Akashi H, Yoshikawa Y. 2007. Biological characters of
bats in relation to natural reservoir of emerging viruses. CIMID. 30:357-374.
Raymond JT, White MR, Kilbane TP, Janovits EB. 1997. Pulmonary
blastomycosis in an Indian fruit bat (Pteropus giganteus). J Vet Diagn Invest.
9:85-87.
Rejeki DS. 2005. Faktor risiko lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian
Leptospirosis berat [tesis]. Semarang (ID): Diponegoro Univ Pr.
Ross MH, Pawlina W. 2011. Histology: A Text and Atlas. Ed ke-6. Philadelphia
(US): Williams & Wilkins.
Sasaki M, Setiyono A, Handharyani E, Rahmadani I, Taha S, Adiani S, Subangkit
M, Sawa H, Nakamura I, Kimura T. 2012. Molecular detection of a novel
paramyxovirus in fruit bats from Indonesia. J Virol. 9:240.

15
Songer JG, Post KW. 2005. Veterinary Microbiology: Bacterial and Fungal
Agents of Animal Disease. Missouri (US): Elsevier Science.
Suttie AW. 2006. Histopathology of the spleen. Toxicol Pathol. 34:466.
Suyanto A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Kartikasari SN, editor. Bogor (ID):
Puslitbang-Biologi LIPI.
Vigant F, Lee B. 2011. Hendra and Nipah infection: pathology, models, and
potential therapies. Infectious Disorders-Drug Targets. 11:315-336.
West G, Heard D, Caulkett N. 2007. Zoo Animal and Wildlife Immobilization and
Anesthesia. Iowa (US): Blackwell Scientific.
Wilson JH, Olson EJ, Haugen EW, Hunt LM, Johnson JL, Hayden DW. 2006.
Systemic blastomycosis in a horse. J Vet Diagn Invest. 18:615-619.
Winoto I, Graham RR, Nurisa I, Hartati S, Maroef C. 1995. Penelitian serologis
Japanese Encephalitis pada babi dan kelelawar di Sintang, Kalimantan Barat.
Bal Penelit Kesehat. 23(3):98-103.

16

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Wonosobo pada tanggal 25 Januari 1992 dari ayah
Mugiharno, S.Pd (Alm) dan ibu Dra. Esti Andriyani. Penulis adalah putri pertama
dari dua bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Wonosobo dan
pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Fakultas Kedokteran
Hewan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum
Embriologi dan Genetika Perkembangan pada semester ganjil tahun ajaran
2011/2012 dan asisten praktikum Anatomi Veteriner II pada semester genap tahun
ajaran 2011/2012. Penulis pernah aktif menjadi Sekretaris Divisi Internal Himpro
Satwa Liar Fakultas Kedokteran Hewan IPB periode 2010/2011. Penulis juga
mendapatkan beasiswa yaitu Beasiswa PPA mulai dari semester 3 sampai dengan
semester 8.