Struktur, Komposisi, Sebaran dan Potensi Jelutung Rawa (Dyera lowii.) dan Jelutung Darat (Dyera costulata.) di Tanjung Jabung Timur, Jambi.

STRUKTUR, KOMPOSISI, SEBARAN DAN POTENSI
JELUTUNG RAWA (Dyera lowii.) DAN JELUTUNG DARAT
(Dyera costulata.) DI TANJUNG JABUNG TIMUR, JAMBI

MUHAMMAD FIRDAUS IMRAN

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Struktur, Komposisi,
Sebaran dan Potensi Jelutung Rawa (Dyera lowii.) dan Jelutung Darat (Dyera
costulata.) di Tanjung Jabung Timur, Jambi adalah benar karya saya dengan arahan
dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian ahir Skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak ciptadari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015
Muhammad Firdaus Imran
NIM E 44090048

iv

ABSTRAK
MUHAMMAD FIRDAUS IMRAN. Struktur, Komposisi, Sebaran dan Potensi
Jelutung Rawa (Dyera lowii.) dan Jelutung Darat (Dyera costulata.) di Tanjung Jabung
Timur, Jambi. Dibimbing oleh ISKANDAR Z. SIREGAR dan ULFAH J. SIREGAR.
Keberadaan jelutung saat ini masih menjadi pertanyaan terutama di Jambi, dimana
dijumpai dua jenis jelutung yaitu jelutung rawa dan jelutung darat. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui struktur, komposisi, sebaran dan potensi dari dua jenis jelutung (Dyera
spp). Penelitian dilakukan dengan teknik analisis vegetasi berupa kombinasi antara jalur
dan garis berpetakberukuran 1 Ha pada 3 lokasi berbeda yaitu desa Sungai Beras pada

hutan lindung gambut, desa Catur Rahayu pada hutan tanaman karet dan desa Lagan Ulu
berupa hutan sekunder. Total 2.219 individu yang ditemukan terdapat 97 jenis yang
termasuk kedalam 68 genera dan 38 famili yang didominasi oleh jenis karet, jelutung darat,
pulai, jelutung rawa dan lanang. Keanekaragaman tumbuhan di lokasi penelitian untuk
pohon dan permudaannya memiliki kisaran nilai H’= 0-2.76 termasuk kategori rendah
sampai sedang, sedangkan tumbuhan bawah memiliki kisaran nilai H’ antara 0.492.76,termasuk dalam kategori rendah sampai sedang. Pola sebaran kedua jenis jelutung
pada lokasi penelitian secara umum terbagi menjadi tersebar mengelompok dan tersebar
merata. Potensi jenis jelutung tertinggi berturut turut ditemukan pada lokasi Lagan sebesar
60.45 m³ ha-1, Catur Rahayu sebesar 33.53 m³ ha-1, Sungai Beras sebesar 27.35 m³ ha-1 dan
25.53 m³ ha-1. Konservasi dan pemanfaatan jelutung kedepan perlu memperhatikan
informasi seperti tersebut di atas.
Kata kunci : Dyera lowii, Dyera costulata, Jambi, Konservasi.

ABSTRACT
MUHAMMAD FIRDAUS IMRAN. Structure, Composition, Distribution and
Potential of Dyera lowii and Dyera costulata at Tanjung Jabung Timur, Jambi. Supervised
by ISKANDAR Z. SIREGAR and ULFAH J. SIREGAR.
The existence of Jelutung is still in question, especially in Jambi, where two species,
swamp and land jelutungs are found. The aim of this study was to determine the structure,
composition, distribution and potential of both jelutung species (Dyera spp.) in their natural

habitat in Jambi. The study was done using the combination of line transects and square
plots in 1 ha plot size located in protected peatland forests in Sungai Beras village,
secondary forest in Lagan Ulu village and rubber forest plantation in Catur Rahayu village.
Total of 2.219 trees, measured, there were 97 species from 68 genera and 38 families were
identified in which the most dominant species were rubber, dryland jelutung, pulai, swamp
jelutung and lanang tree. The Shannon-Wiener diversity index (H’) values of trees at
anystage of growth were about 0-2.76, which were classified as low to mid level of diversity.
Understorey plants had H’ value of about 0.49-2.76, which were classified as low to mid
level of diversity. The distribution patterns of both jelutung species were in clustered and
evenly. The highest potential of jelutung volume was found in Lagan Ulu with average
value of 60.45 m³ha-1, followed by Catur Rahayu forests with average volume of 33.53
m³ha-1 and Sungai Beras with 27.35 m³ha-1. Conservation and future utilization of jelutung
need to consider their ecological data.
Keywords : Dyera lowii, Dyera costulata, Jambi, Conservation.

STRUKTUR, KOMPOSISI, SEBARAN DAN POTENSI
JELUTUNG RAWA (Dyera lowii.) DAN JELUTUNG DARAT
(Dyera costulata.) DI TANJUNG JABUNG TIMUR, JAMBI

MUHAMMAD FIRDAUS IMRAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

vi

Judul Skripsi : Struktur, Komposisi, Sebaran dan Potensi Jelutung Rawa (Dyera
lowii.) dan Jelutung Darat (Dyera costulata.) di Tanjung Jabung
Timur, Jambi.
Nama
: Muhammad Firdaus Imran
NIM
: E44090048


Disetujui oleh

Prof Dr Ir Iskandar Z. Siregar MForSc
Pembimbing I

Dr Ir Ulfah J. Siregar M.Agr
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

viii

PRAKATA


Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Obyek
penelitian yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari
2014 ini ialah Jelutung (Dyera spp.), dengan judul penelitian “Struktur, Komposisi,
Sebaran dan Potensi Jelutung Rawa (Dyera lowii.) dan Jelutung Darat (Dyera
costulata.) di Tanjung Jabung Timur, Jambi.”
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Iskandar Z. Siregar
MForSc dan Dr Ir Ulfah J. Siregar M.Agr selaku pembimbing. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Hamzah selaku dosen Universitas
Jambi, Kepala Desa Sungai Beras, Bapak Ikan yang telah membantu selama
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibunda
Muti’atun, Ayahanda Musayyib, seluruh keluarga besar, silvikultur 46, fahutan 46,
serta keluarga forum atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015
Muhammad Firdaus Imran

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian


2

Manfaat Penelitian

2

Waktu

2

Tempat Penelitian

2

Alat

3

METODE PENELITIAN


3

Teknik pengambilan sampel

3

Pembuatan plot

4

Pembuatan herbarium

4

Stratifikasi Tajuk

5

Pengamatan


5

Analisis Data

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
PEMBAHASAN
KESIMPULAN DAN SARAN

9
9
16
22

Kesimpulan

22


Saran

22

Daftar Pustaka

22

RIWAYAT HIDUP

32

x

DAFTAR TABEL
1 Komposisi jenis pada lokasi penelitian
2 Kelimpahan jenis berdasar kelas diameter (3 jenis dominan)
3 Komposisi dan struktur tegakan berdasarkan kelas diameter
4 Komposisi dan struktur tegakan jelutung berdasarkan kelas diameter
5 Nilai indeks dominansi (C), kekayaan jenis Margalef (R1),
keanekaragaman jenis Shanon-Wiener (H’) dan kemerataan jenis Pielou
(E)
6 Indeks morisita (Iδ) jelutung

9
10
10
11

15
16

DAFTAR GAMBAR
1 Bentuk daun jelutung rawa (Dyera lowii.) dan jelutung darat (Dyera
costulata)
2 Peta lokasi penelitian
3 Desain petak contoh pengamatan
4 Histogram struktur tegakan hutan berdasarkan kelas diameter
5 Histogram struktur tegakan jelutung berdasarkan diameter
6 Stratifikasi dan proyeksi tajuk di lokasi penelitian beserta perkiraan
tinggi pohon

1
3
4
11
12
13

DAFTAR LAMPIRAN
1 Daftar jenis pohon yang ditemukan pada lokasi penelitian
2 Rekapitulasi hasil analisis vegetasi pada lokasi Sungai Beras
3 Rekapitulasi hasil analisis vegetasi pada lokasi Sungai Beras II
4 Rekapitulasi hasil analisis vegetasi pada lokasi Lagan Ulu
5 Rekapitulasi hasil analisis vegetasi pada lokasi Catur Rahayu

24
27
28
30
31

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Salah satu spesies tumbuhan berbunga yang ditemukan di Indonesia adalah
jenis jelutung. Di Indonesia, terdapat dua jenis jelutung yaitu jelutung darat (Dyera
costulata) dan jelutung rawa (Dyera lowii). Menurut Foxworthy (1972) dalam
Daryono (2000) jelutung darat dapat tumbuh baik pada tanah lateril atau aluvial
pada lahan yang relatif datar atau berbukit rendah, sedangkan jelutung rawa tumbuh
pada tanah organosol khususnya hutan rawa gambut. Kedua jenis jelutung ini juga
dapat tumbuh baik pada ketinggian 20-800 mdpl. Jenis ini tumbuh dalam hutan
hujan tropis dengan tipe curah hujan A dan B menurut klasifikasi Schmidt dan
Fergusson. Kedua jenis jelutung tersebut dapat dibedakan dari bentuk daunnya.
Jelutung darat memiliki daun lebih lebar, daun lebih tipis dan ujung daun
meruncing. Sedangkan daun jelutung rawa lebih kecil, daun lebih tebal dan ujung
daun melengkung ke dalam seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Bentuk daun jelutung rawa (Dyera lowii.) dan jelutung darat (Dyera
costulata)
Jenis jelutung tergolong ke dalam keluarga Apocynaceae yang menghasilkan
getah berwarna putih dan benilai ekonomi tinggi (Heyne 1987). Harga jual kayunya
tidak kalah dengan harga jual kayu meranti, ramin, agatis, resak, keruing dan kayu
jenis lainnya. Begitu juga dengan harga getahnya, yang bisa mencapai dua kali lipat
dari harga getah karet. Jelutung merupakan jenis pohon dwiguna, artinya pohon
yang dapat menghasilkan dua jenis komoditi hasil hutan yaitu komoditi Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK) berupa getah jelutung dan hasil hutan berupa komoditi kayu.
Karena pohon jelutung tergolong pohon multiguna, maka sangat baik untuk
dikembangkan di kawasan penyangga (buffer zone) sebagai tanaman konservasi
dan sumber penambah penghasilan bagi masyarakat setempat. Selain itu jelutung

2

juga dapat digunakan sebagai penyerap karbon yang efektif dalam jangka panjang.
Status keberadaan jenis jelutung (Dyera spp.) dalam CITES Apendix
(http://cites.org) termasuk dalam kategori II dan dalam versi IUCN termasuk dalam
status vulnerable A1cd ver 2.3 (IUCN 1993).
Melihat status jelutung saat ini, sangat diperlukan adanya konservasi terhadap
jenis tersebut. Strategi dan usaha konservasi in situ (TN Berbak, TN Kerinci, TN
Bukit Tiga Puluh dan TN Bukit Dua Belas) dilakukan dengan bekerja sama dengan
warga sekitar hutan, sedangkan menurut warga sekitar usaha konservasi ex situ
belum dilakukan karena terkendala biaya dan kemampuan sumber daya manusia.
Selain itu usaha pelestarian jenis ini memerlukan informasi tentang keberadaan
jelutung, khususnya di Jambi. Terkait hal tersebut maka perlu dilakukan analisis
terkait aspek ekologi jelutung khususnya struktur, komposisi, sebaran dan
potensinya untuk memberikan informasi dasar tentang keberadaan jelutung beserta
upaya konservasi dan pemanfaatannya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur, komposisi, sebaran dan
potensi dari dua jenis jelutung (Dyera) pada provinsi Jambi khususnya Tanjung
Jabung Timur.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan data informasi terkait potensi
dan penyebaran dua jenis jelutung (Dyera) serta memberikan informasi tentang
karakreistik tempat tumbuh pohon jelutung (Dyera) di Tanjung Jabung Timur,
Jambi.
Waktu
Penelitian dilakukan selama 3 minggu pada bulan Februari 2014 di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi.
Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di 3 lokasi berbeda yaitu Desa Sungai Beras pada hutan
lindung gambut (2 plot), Desa Lagan Ulu berupa hutan sekunder (1 plot), dan Desa
Catur Rahayu pada hutan tanaman karet (1 plot) Kabupaten Tanjung Jabung Timur,
Jambi. Secara geografis Provinsi Jambi terletak antara 0°45’ - 2°45’ LS dan 101°01’
- 104°55 BT dengan luas 53435.72 Km2. Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi
Riau, sebelah timur berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah selatan
berbatasan dengan Provinsi Sumatra Selatan dan sebalah barat berbatasan dengan
Provinsi Sumatra Barat. Secara administratif, jumlah kecamatan dan desa atau
kelurahan di Provinsi Jambi sebanyak 131 Kecamatan, 1372 Desa/Kelurahan,
dimana jumlah Kecamatan dan Desa/Kelurahan terbanyak di Kabupaten Merangin
yaitu sebanyak 24 Kecamatan dan 212 Desa/Kelurahan. Topografi pada ketiga
lokasi penelitian termasuk kedalam daerah yang datar dengan kelerengan 0-3%,
ketinggian 1-20 mdpl. Desa Sungai Beras merupakan kawasan dataran rendah
berupa rawa atau gambut alami dan permukaan tanah banyak dialiri pasang surut

3

air laut. Sedangkan Desa Lagan dan Desa Catur Rahayu merupakan kawasan
dataran rendah yang tidak terpengaruh langsung oleh pasang surut air laut.
Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson kondisi iklim di areal Tanjung
Jabung Timur termasuk tipe iklim A dan dapat digolongkan dalam iklim tropis,
dengan curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 1 500–3 000 mm/tahun.

1

2

3

Desa Sungai Beras
Desa
Lagan Ulu

4
Desa Catur
Rahayu

Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Alat
Alat yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu Global positioning system
(GPS), alat ukur (meteran, clinometer, haga hypsometer, termometer, phiband),
perlengkapan alat tulis, tally sheet, milimeter blok A3, software pengolah data:
MS. Word, MS. Exel dan Sex-I FS 2.1.0.

METODE PENELITIAN
Teknik pengambilan sampel
Penelitian ini dilakukan dengan teknik analisis vegetasi berupa kombinasi
antara jalur dan garis berpetak berukuran 1 Ha pada 3 lokasi berbeda yaitu Sungai
Beras (2 petak contoh), Catur Rahayu dan Lagan. Penentuan lokasi plot penelitian
sendiri didasarkan pada lokasi pertama ditemukannya jelutung. Dimana pada lokasi
jelutung tersebut dibuat plot berukuran 20 m x 100 m sebanyak 5 kali ulangan (1
Ha) pada tiap lokasi penelitian atau dengan metode purposive sampling.

4

Pembuatan plot
Menurut Wyatt-Smith (1959) diacu dalam Soerianegara dan Indrawan (2002)
ukuran petak contoh dengan luasan 0.6 ha dianggap sudah cukup mewakili pada
hutan hujan tropis. Pengukuran pohon dilakukan dengan metode jalur dengan lebar
20 m, sedangkan tingkat permudaan (tiang, pancang, semai) diukur dengan metode
garis berpetak (Indriyanto 2008). Setiap jalur memiliki ukuran 20 m x 100 m (5
jalur) yang terbagi atas beberapa ukuran petak contoh yaitu:
1 Petak berukuran 2 m x 2 m digunakan untuk menghitung tingkat permudaan
semai, tumbuhan bawah, semak dan herba. Data yang dikumpulkan berupa
jumlah individu.
2 Petak berukuran 5 m x 5 m digunakan untuk menghitung tingkat permudaan
pancang. Data yang dikumpulkan berupa jumlah individu.
3 Petak berukuran 10 m x 10 m digunakan untuk menghitung tingkat tiang. Data
yang dikumpulkan berupa jumlah individu, diameter dan tinggi pohon.
4 Petak berukuran 20 m x 20 m digunakan untuk menghitung tingkat tiang. Data
yang dikumpulkan berupa jumlah individu, diameter dan tinggi pohon.

Gambar 3 Desain petak contoh pengamatan
Pembuatan herbarium
Spesimen-spesimen yang telah diambil dari lapangan masing-masing diberi
label dan dibungkus dengan kertas koran. Spesimen-spesimen yang telah dibungkus
kertas koran dikumpulkan pada sasak dan dilakukan pengeringan menggunakan
oven selama 24 jam dengan suhu 105°C. Herbarium yang telah kering di
identifikasi dengan cara mencocokkan herbarium yang baru dibuat dengan
herbarium hasil koleksi yang ada di Badan Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan (Puslitbang Kehutanan) bagian Botani dan Ekologi Hutan di Bogor.
Penulisan nama ilmiah yang sesuai mengikuti situs website The Plan List
(http://www.theplantlist.org).

5

Stratifikasi Tajuk
Pengambilan seketsa dan data untuk stratifikasi tajuk dapat dilakukan dengan
menggunakan metode diagram profil tajuk (Atmandhini 2008). Dalam hal ini data
yang dapat diambil yaitu mengukur proyeksi tajuk ke permukaan tanah. Petak
contoh pengamatan untuk stratifikasi tajuk berukuran 20 m x 20 m. Stratifikasi tajuk
bertujuan untuk mengetahui dimensi (bentuk) atau struktur vertikal dan horizontal
suatu vegetasi dari hutan yang dikaji. Adapun prosedur kerjanya adalah:
 Membuat petak contoh berbentuk jalur dengan arah tegak lurus kontur
berukuran 20 m x 100 m.
 Memberi nomor pohon berdiameter > 10 cm atau tinggi > 4 m yang ada di
dalam petak contoh.
 Pengukuran tinggi total dan tinggi bebas cabang.
 Mencatat nama jenis pohon dan mengukur posisi masing masing pohon
terhadap titik kordinat X dan Y.
 Mengukur D batang pohon setinggi dada (130 cm) apabila pohon berbanir D
diambil pada ketinggian 20 cm diatas banir, tinggi total dan tinggi bebas cabang
serta menggambar bentuk percabangan dan bentuk tajuk.
 Mengukur luas proyeksi (penutupan) tajuk terhadap permukaan tanah paling
tidak dari dua arah pengukuran yaitu tajuk terlebar dan tersempit.
Kegiatan penggambaran dan pembuatan sketsa dilakukan pada kertas
millimeter blok sesuai dengan posisi dan kedudukan serta ukuran masing-masing
pohon dalam petak pengamatan dengan skala yang tepat. Untuk pemetaan
koordinat dari pohon-pohon yang ada, maka sisi panjang dari jalur pengamatan
dianggap sebagai sumbu X dan sisi lebarnya dianggap sebagai sumbu Y
Atmandhini (2008). Selanjutnya data-data tersebut digunakan sebagai input untuk
pengolahan lebih lanjut dengan software Sex-i FS 2.1.0.
Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini meliputi pengumpulan data
yang meliputi struktur dan komposisi hutan khususnya jelutung, ketinggian (m dpl)
dan kelerengan tempat (%), diameter (DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang,
volume, dan pencatatan posisi pohon menggunakan GPS (Global positioning
system).
Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menghitung jumlah jenis, jumlah individu
tiap jenis, diameter batang setinggi dada untuk tingkat pohon dan tiang dan
frekuensi jenis yang selanjutnya didapatkan indeks-indeks yang dibutuhkan untuk
dianalisis agar dapat ditarik kesimpulan. Indeks-indeks yang digunakan pada
penelitian ini yaitu indeks nilai penting (INP), indeks dominansi Simpson (C),
indeks kekayaan jenis Margalef (R1), indeks keanekaragaman jenis ShannonWiener (H’), indeks kemerataan jenis Pielou (E), dan indeks morisita (Iδ). Analisis
data vegetasi tersebut dibutuhkan untuh mengetahui kondisi vegetasi yang terdapat

6

pada lokasi penelitian. Hasil analisis juga dapat digunakan untuk mengetahui
potensi jenis jelutung yang tumbuh dan menyebar di wilayah Jambi.
Indeks Nilai Penting
Indeks Nilai Penting (INP) digunakan untuk menetapkan komposisi jenis dan
dominasi suatu jenis pada suatu tegakan. Nilai INP didapat dengan menjumlahkan
nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan dominansi relatif (DR)
(Soerianegara & Indrawan 2002).
INP= KR+FR+DR (tiang dan pohon)
INP= KR+FR (semai, pancang dan tumbuhan bukan pohon), dimana:
(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Kerapatan (K)
�=

Kerapatan relatif (KR)

Frekuensi (F)

�� =
�=

Frekuensi Relatif (FR)

Dominansi (D)

jumlah individu suatu jenis


kerapatan suatu jenis
� ��


x

frekuensi suatu jenis


x

dominasi suatu jenis



x

%

jumlah plot ditemukan suatu jenis
�ℎ


�� =

�=

Dominansi relatif (DR)

�� =

%

jumlah luas bidang suatu jenis


%

Indeks Dominansi
Indeks dominansi Simpson digunakan untuk menentukan dimana dominasi
dipusatkan dalam suatu komunitas (Soerianegara & Indrawan 2002). Indeks
dominansi ditentukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
C = Σ (Ni/N)²
Keterangan : C
Ni
N

= Indeks dominansi
= INP tiap jenis
= Total INP seluruh jenis

Indeks dominansi jenis (C) berkisar antara 0 ≤ C ≤ 1. Indeks dominansi (C)
akan mendekati nilai satu (1) apabila dominansi pada suatu tegakan didominasi oleh
satu jenis pohon saja dan sebaliknya apabila dalam suatu tegakan didominasi

7

beberapa jenis secara berasama-sama maka indeks dominansi akan rendah atau
mendekati nilai nol (0).
Indeks Kekayaan Jenis
Besarnya kekayaan jenis dapat diketahui dengan menggunakan indeks
kekayaan jenis Margalef (Ludwig & Reynold 1988). Kusuma (2007)
mengungkapkan bahwa indeks kekayaan jenis Margalef memiliki tingkat
sensitivitas yang tinggi dan respon yang baik untuk menggambarkan kekayaan
jenis. Indeks kekayaan jenis dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
R1 =

S-1

ln (N)

Keterangan : R1
= Indeks kekayaan jenis Margalef
S
= Jumlah jenis
N
= Jumlah total individu
ln
= Logaritma natural
Berdasarkan Magurran (1988) besaran R1< 3,5 menunjukkan kekayaan jenis
tergolong rendah, R1 = 3.5 – 5.0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang
dan R1 tergolong tinggi apabila > 5.0.
Indeks Keanekaragaman Jenis
Indeks keanekaragaman jenis adalah parameter yang berguna untuk
mengetahui tingkat keanekaragaman jenis pada suatu tegakan. Menurut Maguran
(1953) istilah keanekaragaman jenis merupakan parameter yang sangat berguna
untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk mempelajari pengaruh
gangguan biotik untuk mengetahui tingkatan suksesi atau kestabilan. Konsep ini
disebut juga spesies abundance atau kelimpaan jenis. Dari sekian jenis Indeks
heterogenitas pada penelitian ini menggunakan Indeks Shannon-Wiener. Indeks
keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) merupakan indeks yang paling banyak
digunakan dalam ekologi komunitas (Ludwig dan Reynold 1988) karena memiliki
sensitivitas yang tinggi untuk menggambarkan struktur komunitas (Ortega et al.
2004) dan mengetahui perubahan yang terjadi pada jenis-jenis langka atau tidak
dominan (Magurran 2004). Terdapat 3 kriteria dalam analisis indeks
keanekaragaman jenis yaitu jika nilai H’ < 2, maka keanekaagaman jenis termasuk
kedalam kategori rendah, nilai 2 < H’ < 3, maka indeks keanekaragaman jenis
termasuk dalam kategori sedang dan akan masuk kategori baik apabila H’ > 3.
Adapun persamaan untuk menghitung indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
adalah sebagai berikut:
H’ =
Keterangan

: H’
S
ni
N
ln

- ∑si=1 [

ni
N

ln

ni
N

]

= Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
= Jumlah jenis
= Kerapatan jenis ke - i
= Total kerapatan
= Logaritma natural

Indeks Kemerataan Jenis (E)
Indeks kemerataan jenis (E) menunjukan tingkat kemerataan individu per
jenis. Jika nilai kemeratan jenis (E) mendekati 1, maka kemerataan jenisnya

8

semakin tinggi. Indeks kemerataan jenis dihitung dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut (Soerianegara & Indrawan 2002) :
E=

H'

H'max

=

H'

ln (S)

Keterangan

:E
= Indeks kemerataan jenis
H’ = Indeks keanekaragaman jenis
S
= Jumlah jenis
ln
= Logaritma natural
Nilai kemerataan jenis (E) < 0.3 menunjukkan kemerataan jenis yang rendah,
jika nilai kemerataan jenis 0.3-0.6 menunjukkan tingkat kemerataan jenis yang
sedang, sedangkan jika nilai kemerataan jenis (E) > 0.6 maka tingkat kemerataan
jenis tergolong tinggi.

Indeks Morisitas
Indeks morisitas diguakan untuk melihat penyebaran suatu jenis
mengelompok atau tidak. Indeks morisita dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut (Ludwig & Reynold 1988) :
Iδ = n
Keterangan

= n
x

∑ � 2 −∑ �

∑ � 2 −∑ �

= jumlah plot contoh
= jumlah individu yang ditemukan pada tiap plot

Nilai indeks morisita (Iδ) = 1 maka pola penyebaran pertumbuhan dari
individu tersebut adalah acak (random), jika indeks morisita (Iδ) < 1 maka
penyebaran individu tersebut seragam (uniform), sedangkan jika indeks morisita
(Iδ) > 1 maka penyebaran individu di suatu tegakan tersebut mengelompok
(clumped)
Pendugaan Biomassa
Perhitungan biomassa yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
persamaan alometrik biomassa yang disusun oleh Istomo (2006) yaitu :
Biomassa atas = 0.0145 (dbh³) – 0.4659 (dbh²) + 30.64 (dbh) – 263.32
Biomassa bawah = 20.1% biomassa atas
Biomassa total = biomassa atas + biomassa bawah
Perhitungan biomassa total ini dapat digunakan untuk melihat potensi meranti
di lokasi penelitian. Kandungan karbon di hutan alam dapat dihitung dengan
menggunakan pendugaan biomassa hutan.

9

HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Total 2.219 individu ditemukan, dari hasil pengamatan yang didapatkan dari
data lapang dikawasan Tanjung Jabung Timur ditemukan 97 jenis yang termasuk
kedalam 68 genera dan 38 Family. Berdasarkan Tabel 1, jenis yang dominan
ditemukan pada lokasi penelitian adalah Karet. Hal ini dikarenakan salah satu plot
terdapat pada hutan karet. Sedangkan untuk jenis yang paling sedikit ditemukan
adalah jenis durian. Komposisi jenis pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1
(10 jenis dominan).
Tabel 1 Komposisi jenis pada lokasi penelitian
No Nama Jenis
1 Karet
2 Jelutung darat
3 Pulai
4 Jelutung rawa
5 Lanang
6 Kelampai
7 Rengas
8 Erak
9 Ako
10 Tarap

Nama Botani
Hevea brasiliensis
Dyera costulata
Alstonia scholaris
Dyera lowii
Erythroxylum cuneatum
Gymnanthes borneensis
Gluta velutina Blume
Knema elmeri Merr.
Xylopia stenopetala Oliver, Hook.
Artocarpus blumei Trecul

Family
Euphorbiaceae
Apocynaceae
Apocynaceae
Apocynaceae
Erythroxylaceae
Euphorbiaceae
Anacardiaceae
Myristicaceae
Annonaceae
Moraceae

Indeks Nilai Penting
Nilai yang digunakan untuk mengetahui dominasi suatu jenis adalah menggunakan
indeks nilai penting (INP). Penguasaan suatu jenis terhadap jenis-jenis lain
ditentukan berdasarkan INP, Volume, biomassa, persentase penutupan tajuk, luas
bidang dasar, banyaknya individu atau kelimpahan (Soerianegara 1996). Dalam
suatu ekosistem kita dapat mengetahui spesies yang dominan dalam suatu
komunitas tumbuhan dengan mengetahui indeks nilai penting tertinggi dalam suatu
komunitas. Berdasarkan hasil analisis vegetasi, jenis-jenis yang memiliki Indeks
Nilai Penting (INP) terbesar berdasarkan kelas diameter untuk tiap lokasi dapat
dilihat pada Tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2, indeks nilai penting tertinggi berturut turut pada keempat
lokasi adalah Catur Rahayu dengan jenis karet sebesar 115.19%, plot Lagan sebesar
86.72% dengan jenis jelutung darat, pulai sebesar 34.03%, jelutung darat sebesar
29.57% pada Catur Rahayu, Sungai Beras sebesar 26.49% dengan jenis jelutung
rawa dan sebesar 18.55% pada Sungai Beras II. LBDS dan volume tertinggi pada
keempat lokasi terdapat pada Lagan berturut turut sebesar 4.40 m² Ha-1 dan 42.32
m³ Ha-1. Dari data diatas dapat dikatakan bahwa jenis jelutung pada kawasan
Tanjung Jabung Timur mendominasi jenis yang lain kecuali pada hutan tanaman
karet.

10

Tabel 2 Kelimpahan jenis berdasar kelas diameter (3 jenis dominan)
Spesies

Nama botani

Jelutung rawa
Trem basah
Mahang

Sungai Beras
Dyera lowii
Stemonurus secundiflora Blume
Macaranga semiglobosa J.J.Smith.

LBDS
(m2 ha-1)

Volume
(m3 ha-1)

INP
(%)

1.77
1.01
0.97

19.15
9.92
9.90

26.49
17.14
16.84

Sungai Beras II
Jelutung rawa
Barangan
Medang teras

Dyera lowii
Quercus leptogyne Korth.
Dehaasia firma Blume

2.16
1.59
1.25

25.57
17.87
14.08

18.55
18.04
15.76

Jelutung darat
Pulai
Kelampai

Lagan Ulu
Dyera costulata
Alstonia scholaris
Gymnanthes borneensis

4.40
0.86
0.41

42.32
7.60
3.00

86.72
34.03
23.04

Karet
Jelutung darat
Pulai

Catur Rahayu
Hevea brasiliensis
Dyera costulata
Alstonia scholaris

3.62
6.48
0.74

25.47
31.75
8.04

115.19
29.57
7.68

Komposisi, struktur tegakan, LBDS dan pendugaan biomassa
Komposisi dan struktur tegakan hutan berdasarkan kelas diameter pada tiap
lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan untuk jenis jelutung dapat
dilihat pada Tabel 4. Histogram struktur tegakan dan keadaan hutan (stratifikasi
tajuk) pada lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3, Gambar 5. Sedangkan
histogram struktur tegkan jelutung disajikan pada Gambar 4.

Tabel 3 Komposisi dan struktur tegakan berdasarkan kelas diameter
Lokasi
Sungai Beras

Sungai Beras II

Diameter
10-20
20-30
30-40
40-50
≥ 50
Total
10-20
20-30
30-40
40-50
≥ 50
Total

Jumlah individu
(N ha-1)
330
80
36
15
3
464
162
216
78
13
5
474

LBDS
(m2 ha-1)
10.79
2.68
1.40
0.84
1.46
17.17
7.88
10.47
3.62
0.73
0.99
23.69

Volume
(m3 ha-1)
104.71
26.15
14.22
8.68
16.19
169.93
86.39
110.32
37.52
8.15
12.76
255.16

Jumlah
biomassa (t ha-1)
50.10
45.07
34.63
27.24
9.20
166.24
22.61
113.36
76.50
20.82
13.43
246.72

11

Lokasi

Jumlah individu
(N ha-1)
93
35
30
11
6
175
169
30
29
6
7
241

Diameter
10-20
20-30
30-40
40-50
≥ 50
Total
10-20
20-30
30-40
40-50
≥ 50
Total

Lagan

Catur Rahayu

LBDS
(m2 ha-1)
3.10
1.58
2.18
1.53
1.03
9.41
4.78
0.95
1.39
2.24
3.89
13.25

Volume
(m3 ha-1)
24.17
14.27
19.41
12.86
14.05
84.77
36.31
9.22
14.83
8.75
19.47
88.58

Jumlah
biomassa (t ha-1)
14.73
18.80
30.56
19.51
18.03
101.63
25.40
16.83
27.77
10.41
21.15
101.56

350

Jumlah individu (N/Ha)

300
250

Keteranga
200

Sungai Beras
150

Sungai Beras II

100

Lagan

50

CaturRahayu

0
10.-20

20-30

30-40

40-50

≥ 50

Kelas diameter (cm)

Gambar 4 Histogram struktur tegakan hutan berdasarkan kelas diameter

Tabel 4 Komposisi dan struktur tegakan jelutung berdasarkan kelas diameter
Lokasi
Sungai
Beras

Diam
eter

Jumlah individu
(N ha-1)

LBDS (m²
ha-1)

Volume (m³
ha-1)

Jumlah biomassa
(t ha-1)

10.-20

28

0.51

3.56

4720.69

20-30
30-40
40-50
≥ 50
Total

6
6
1
1
42

0.31
0.53
0.14
0.28
1.77

3.11
6.25
1.70
4.53
19.15

3289.63
5631.56
1612.20
3610.24
18864.32

12

Diam
eter

Jumlah individu
(N ha-1)

LBDS (m²
ha-1)

Volume (m³
ha-1)

Jumlah biomassa
(t ha-1)

Sungai
Beras II

10.-20

5

0.09

0.66

809.39

Lagan

20-30
30-40
40-50
≥ 50
Total
10.-20
20-30
30-40
40-50
≥ 50
Total

10
4
1
4
24
1
10
16
9
4
40

0.55
0.36
0.17
0.99
2.16
0.01
0.48
1.57
1.39
0.94
4.40

5.90
4.11
2.14
12.76
25.57
0.10
4.09
13.24
11.89
13.00
42.32

5899.28
3859.04
1931.51
12252.40
24751.62
77.66
5171.60
16857.35
15666.10
11562.01
49334.72

Catur
Rahayu

10.-20

8

0.15

1.28

1342.88

20-30
30-40
40-50
≥ 50
Total

2
5
7
22

0.20
2.24
3.89
6.48

2.24
8.75
19.47
31.75

2192.49
8931.52
21152.07
33618.96

Lokasi

30

Jumlah individu (N/ha)

25
20
Sungai Beras I
15
Sungai Beras II
Lagan Ulu

10

Catur Rahayu
5
0
10.-20

20-30

30-40

40-50

≥ 50

Kelas diameter (cm)

Gambar 5 Histogram struktur tegakan jelutung berdasarkan diameter

13

Catur Rahayu

Sungai Beras II

Keterangan :

Lagan

Sungai Beras

= Jelutung

Gambar 6 Stratifikasi dan proyeksi tajuk di lokasi penelitian beserta perkiraan
tinggi pohon
Berdasarkan data Tabel 3 diketahui komposisi dan struktur tegakan yang
paling baik terdapat pada sungai Beras II. Hal ini dapat dilihat dari nilai kerapatan
(jumlah individu), LBDS, volume dan pendugaan biomassa tertinggi berdasarkan
kelas diameter ditemukan pada Sungai Beras II sebesar 474 individu ha-1, 23.69 m²
ha-1, 255.16 m³ ha-1 dan 246.72 t ha-1. Komposisi dan struktur tegakan terendah
terdapat pada Desa Lagan yakni dengan kerapatan sebesar 175 individu ha-1, LBDS
terbesar 9.41 m² ha-1, volume sebesar 84.77 m³ ha-1 dan pendugaan biomassa total
sebesar 101.63 to ha-1. Berdasarkan Tabel 4 komposisi dan struktur tegakan jenis
jelutung paling baik terdapat pada desa Lagan Ulu dengan kerapatan 40 individu
ha-1, LBDS sebesar 4.40 m2 ha-1, volume sebesar 42.32 m3 ha-1 dan sebesar 49.33 t
ha-1 untuk pendugaan biomassa.
Berdasarkan Gambar 3, sebaran kelas diameter yang didapatkan di lokasi
studi menunjukkan struktur tegakan sudah sesuai dengan hutan alam pada
umumnya. Richard (1964) menyatakan hutan alam memiliki kerapatan pohon yang
tidak teratur dan tinggi pada kelas diameter kecil serta menurun pada kelas diameter
yang lebih besar. Oleh sebab itu bentuk kurva umum dari struktur hutan alam akan
berbentuk “J” terbalik. Strafikasi tajuk dilakukan untuk mengetahui gambaran
kondisi hutan. Sedangkan pada Gambar 4, dapat dilihat jumlah pohon jenis jelutung
pada tiap diameter menunjukkan jumlah yang sedikit bila dibandingkan dengan
jenis lain bahkan pada kelas diameter 20-30 cm pada lokasi Catur Rahayu tidak
ditemukan jenis jelutung. Sebaran kelas diameter untuk jenis jelutung menunjukkan
struktur tegakannya tidak sesuai dengan hutan pada mestinya, hal ini dapat dilihat
dari bentuk kurva struktur jenis jelutung berbentuk “J”. Kondisi ini dapat terjadi

14

karena banyak hal baik karena bencana alam ataupun ulah manusia baik langsung
ataupun tidak langsung.
Indeks dominansi (C), Indeks kekayaan (R1), keanekaragaman (H’) dan
kemerataan (E) jenis.
Indeks dominansi jenis merupakan parameter yang menyatakan terpusatnya
dominansi (pengusaan) spesies dalam suatu komunitas (Indriyanto 2008).
Dominansi dalam suatu komunitas dapat terpusat pada satu jenis spesies atau
bahkan banyak spesies. Dalam studi ekologi tentang keanekaragaman tumbuhan
biasanya dianalisis mengunakan indeks kekayaan, keanekaragaman dan
kemerataan jenis (Soerianegara & Indrawan 2002). Indeks kekayaan jenis (R1)
menunjukkan jumlah spesies tumbuhan terhadap jumlah total individu seluruh jenis
di pada suatu areal. Indeks keanekaragaman jenis (H’) menunjukkan proporsi
kelimpahan individu setiap jenis dan indeks kemerataan (E) menunjukkan apakah
kelimpahan individu setiap jenis di suatu areal proporsional atau tidak. Nilai C, R1,
H’ dan E pada tingkat tiang dan pohon disajikan pada Tabel 5.
Berdasarkan Tabel 4, diketahui tidak terdapat satu jenis yang mendominasi
untuk seluruh tingkat permudaan dan habitus. Nilai indeks dominansi tertinggi
ditemukan pada tumbuhan bawah yang mencapai 0.58 yang terdapat pada Catur
Rahayu. Sedangkan indeks dominansi terendah ditemukan pada kelas tiang dan
pohon pada Sungai Beras yaitu masing masing sebesar 0.04. Tumbuhan bawah
berkisar antara 0.13-0.58. Nilai indeks dominansi tertinggi pada tingkat tumbuhan
bawah terdapat pada Catur Rahayu dan terendah di Lagan sebesar 0.13. Pada tingkat
semai diketahui tidak ada yang mendominasi pada semua lokasi pengamatan, hal
ini dapat dilihat dari nilai indeks dominansi pada tingkat semai yang seluruhnya
mendekati nol (0), begitu juga pada tingkat pancang. Pada tingkat tiang nilai indeks
dominansi tertinggi terdapat pada Catur Rahayu sebesar 0.24 dan terendah
ditemukan pada Lagan sebesar 0.1. Sedangkan pada tingkat pohon nilai indeks
dominansi tertinggi terdapat pada Catur Rahayu dan Lagan sebesar 0.21 dan
terendah pada Sungai Beras sebesar 0,04.
Nilai indeks kekayaan jenis (R1) tertinggi terdapat pada tingkat tiang pada
Sungai Beras II yaitu sebesar 7.67, sedangkan terendah terdapat pada tingkat pohon
pada Lagan sebesar 2.72. Tingkat pertumbuhan tiang dan pohon pada lokasi Sungai
Beras termasuk ke dalam tingkat kekayaan jenis yang tinggi. Hal ini dikarenakan
tingkat tumbuhan tiang dan pohon di pada lokasi ini memiliki nilai R1 lebih besar
dari 5. Sedangkan pada daerah Catur Rahayu dan Lagan kekayaan jenis pada tingkat
tiang dan pohon tergolong rendah.
Nilai keanekaragaman jenis berdasarkan kelas tiang dan pohon pada semua
lokasi penelitian berkisar antara 0.30 – 0.78. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
keanekaragaman pohon dan tiang pada keempat lokasi termasuk dalam kategori
rendah. Nilai H’ tertinggi ditemukan pada tingkat pertumbuhan tiang sebesar 0.78
didaerah Catur Rahayu. Sedangkan nilai H’ terendah ditemukan pada daerah Sungai
Beras. Nilai indeks kemerataan (E) pada keempat plot penelitian seluruhnya masuk
kedalam kategori rendah. Hal ini dapat dilihat dari nilai E pada tiap kawasan
seluruhnya < 0.3. Berdasarkan kondisi tersebut, secara kuantitatif keragaman pada
lokasi Sungai Beras lebih baik dari pada Catur Rahayu dan Lagan ulu, terbukti dari
nilai indeks kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan jenisnya. Hal ini sudah

15

sesuai dimana keragaman jenis pada hutan lindung akan lebih melimpah dibanding
dengan hutan tanaman.
Tabel 5 Nilai indeks dominansi (C), kekayaan jenis Margalef (R1), keanekaragaman
jenis Shanon-Wiener (H’) dan kemerataan jenis Pielou (E)
Lokasi
Sungai Beras

Sungai Beras II

Catur Rahayu

Lagan

Tingkat pertumbuhan
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
Tumbuhan bawah
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
Tumbuhan bawah
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
Tumbuhan bawah
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
Tumbuhan bawah

C
R1¹ H'² E³
0.08 3.5 0.4 0.13
0.06 3.7 0.4 0.12
0.04 6 0.3 0.08
0.04 6.5 0.3 0.09
0.28 1.8 0.9 0.33
0.08 2.9 2.6 0.94
0.07 3.4 2.8 0.94
0.04 7.7 0.3 0.08
0.04 7 0.3 0.08
0.28 2.5 2 0.67
0
0
0
0
0
0
0
0
0.24 2.7 0.8 0.29
0.21 2.8 0.7 0.27
0.58 0.9 2.8 1.26
0.1 2.3 0.4 0.18
0.11 2.2 0.5 0.19
0.1 2.9 0.4 0.16
0.21 2.7 0.7 0.27
0.13 2.7 0.5 0.16

Indeks morisitas

Indeks morisitas adalah parameter kualitatif yang digunakan untuk
menentukan pola penyebaran jenis dalam suatu komunitas. Berdasarkan data hasil
analisis vegetasi ditemukan tipe penyebaran jenis jelutung pada kawasan Tanjung
Jabung Timur terbagi menjadi 2 kategori yaitu seragam (uniform) dan
mengelompok (clump). Data mengenai pola penyebaran jelutung disajikan pada
Tabel 6.
Berdasarkan Tabel 6, pola penyebaran jelutung pada kawasan Tanjung
Jabung Timur terbagi menjadi tersebar mengelompok dan tersebar seragam. Pola
penyebaran mengelompok ditemukan pada semua tingkat pertumbuhan di Sungai
Beras. Sedangkan pola penyebaran seragam pada semua tingkat pertumbuhan di
Catur Rahayu dan Lagan kecuali pada tingkat pohon di Catur Rahayu, dimana pada
tingkat pohon pola penyebaran jenisnya mengelompok.

16

Tabel 6 Indeks morisita (Iδ) jelutung
Lokasi
Sungai Beras
Sungai Beras II
Catur Rahayu
Lagan

Tingkat
pertumbuhan
Tiang
Pohon
Tiang
Pohon
Tiang
Pohon
Tiang
Pohon

Jenis
Jelutung Rawa
Jelutung Rawa
Jelutung Rawa
Jelutung Rawa
Jelutung Darat
Jelutung Darat
Jelutung Darat
Jelutung Darat

Indeks
morisita (Iδ)
1.17
1.2
1.79
1.32
0.71
1.72
-25
0.74

Keterangan
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Seragam
Mengelompok
Seragam
Seragam

PEMBAHASAN
Struktur dan Komposisi Tegakan
Banyaknya jumlah jenis pada suatu areal dipengaruhi oleh permudaan suatu
jenis. Komposisi jenis merupakan suatu variabel untuk mengetahui proses suksesi
yang sedang berlangsung pada komunitas di suatu areal, sehingga dapat diketahui
apakah suatu komunitas dan ekosistem tersebut terganggu atau tidak. Dari total
2.219 individu pada berbagai tingkat pertumbuhan hasil pengamatan yang
didapatkan dari data lapang dikawasan Tanjung Jabung Timur, ditemukan 97 jenis
individu yang termasuk kedalam 68 genera dan 38 Family. Keragaman jenis
tertinggi terdapat pada Sungai Beras II yang masih merupakan hutan lindung
gambut yaitu sebanyak 44 jenis dan terkecil ditemukan pada Catur Rahayu dan
Lagan sebanyak 14 jenis pada tingkat pohon dan permudaannya.
Sedikitnya jumlah pohon dan permudaan yang ditemukan pada Catur Rahayu
dan Lagan dikarenakan area tersebut merupakan hutan tanaman dan hutan sekunder
yang didominasi oleh tumbuhan bawah. Hal ini disebabkan tumbuhan bawah
memiliki akar yang dangkal sehingga tidak memerlukan solum tanah yang dalam
untuk tumbuh dan mudah beradaptasi di tanah berbatu, serta pengaruh tajuk yang
kurang rapat juga menjadi faktor tumbuhan bawah untuk tumbuh dan menyebar,
karena cahaya matahari dapat mencapai lantai hutan (Whitmore 1984; Soerianegara
1996). Pada hutan lindung keanekaragaman jenis yang ditemukan akan cenderung
lebih tinggi bila dibandingkan dengan hutan rakyat. Hal ini jelas dikarenakan pada
hutan rakyat bertujuan untuk memenuhi kebutuhan lingkungan sekitar dengan
menanam jenis komersil. Sama halnya dengan Catur Rahayu dimana walaupun
merupakan hutan tanaman karet, tidak sedikit ditemukan jenis lain yang bernilai
tinggi bila dijual baik itu getah maupun kayunya seperti jelutung darat dan pulai.
Berdasarkan data pengamatan yang telah diambil diketahui jumlah total
kerapatan pada lokasi penelitian Tanjung Jabung Timur sebesar 1354 individu ha-1
kerapatan tertinggi terdapat pada daerah Sungai Beras II dengan total jumlah pada
kelas diameter sebesar 474 individu ha-1, sedangkan untuk nilai kerapatan terkecil
ditemukan pada area Lagan sebesar 175 individu ha-1. Hal ini juga berbanding lurus

17

dengan kerapatan pada lokasi Sungai Beras II yakni masing masing sebesar 16600
individu ha-1 dan 3408 individu ha-1 yang merupakan nilai kerapatan tertinggi pada
tingkat pertumbuhan semai dan pancang. Tingginya nilai kerapatan pada tingkat
permudaan (semai dan pancang) dapat dianggap bahwa permudaan alami memadai
untuk suatu permudaan hutan. Wyatt-Smith (1963) menyatakan bahwa permudaan
dianggap cukup memadai apabila tersedia 40% atau 1000 batang semai ha-1 yang
tersebar merata dan paling sedikit 60% atau 240 batang pancang ha-1. Ketersediaan
permudaan yang cukup dalam hal ini adalah untuk menjamin adanya generasi baru
untuk regenerasi hutan secara alami. Sering kali suatu kelas umur (khususnya
individu muda) tidak ditemukan atau hanya terdapat dalam jumlah yang sedikit. Hal
ini akan berdampak pada penurunan populasi. Sebaliknya, apabila anakan dan
individu terdapat dalam jumlah besar berarti populasi berada dalam keadaan yang
stabil dan bahkan mungkin akan mengalami peningkatan. Suatu populasi yang
stabil biasanya mempunyai distribusi umur yang khas dalam suatu kawasan. Oleh
karena itu suatu populasi akan stabil apabila mempunyai distribusi permudaan
tersebar dalam jumlah yang besar dibandingkan pohon dewasa.
Jumlah individu jenis jelutung per hektar pada keempat lokasi tertinggi
terdapat pada kawasan Sungai Beras I sebesar 42 individu/ha, sedangkan jumlah
terendah terdapat pada Catur Rahayu sebesar 22. Perbedaan jumlah kerapatan jenis
ini disebabkan karena pada Catur Rahayu merupakan hutan tanaman karet.
Berdasarkan data yang ditemukan terlihat bahwa struktur tegakan pada lokasi
penelitian umumnya tidak sama dengan bentuk struktur tegakan hutan pada
umumnya yaitu berbentuk “J”. Perbedaan struktur tegakan jelutung dengan struktur
tegakan hutan ini diakibatkan karena terdapat gangguan penebangan baik secara
illegal maupun legal, perubahan peruntukan hutan alam menjadi hutan tanaman
sehingga jenis individu muda belum dapat beregenerasi secara optimal untuk
membentuk tegakan normal.
Sebaran kelas diameter yang didapatkan di lokasi studi menunjukkan struktur
tegakan sudah sesuai dengan hutan alam pada umumnya. Richard (1964)
menyatakan hutan alam memiliki kerapatan pohon yang tidak teratur dan tinggi
pada kelas diameter kecil, serta menurun pada kelas diameter yang lebih besar.
Menurut Daniel et al jumlah pohon tersebar berada dalam kelas diameter terkecil
dan jumlahnya menurun kurang lebih sebanding dengan bertambahnya ukuran,
sehingga pada akhirnya hanya tersebar sedikit batang-batang yang berukuran paling
besar atau dalam kata lain jumlah batang persatuan luas berturut-turut semakin
menurun dengan semakin bertambahnya ukuran diameter batang. Oleh sebab itu
bentuk kurva umum dari struktur hutan alam akan berbentuk huruf “J” terbalik.
Tetapi untuk jenis jelutung, bentuk kurva dari strukturnya tidak sama dengan
bentuk kurva struktur lokasi penelitian. Hal ini dikarenakan tidak ditemukannya
permudaan jenis jelutung pada semua lokasi penelitian. Menurut warga sekitar hal
ini diperkirakan karena adanya hama babi yang suka memakan permudaan dan
batang jelutung untuk dimakan getahnya. Selain itu faktor alam sepaerti
banjir,kebakaran hutan dan ulah manusia baik langsung ataupun tidak langsung
juga dapat mengakibatkan matinya permudan jenis ini. Berdasarkan Gambar 4,
lokasi penelitian memiliki topografi datar dengan kelerengan 0-3% dengan
ketinggian 1-20 mdpl. Secara umum tutupan pohon pada lokasi penelitian tersebar
seragam kecuali pada plot Lagan ulu dimana pada lokasi tersebut tutupan pohonnya
tersebar mengelompok.

18

Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks nilai penting merupakan parameter untuk melihat penguasaaan suatu
jenis dalam komunitasnya. Selain itu peranan suatu jenis dalam sebuah komunitas
juga dapat dilihat dari besarnya nilai Indeks Nilai Penting (INP). Spesies spesies
yang dominan dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki kerapatan,
frekuensi dan dominasi yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan tentu
saja memiliki indeks nilai penting yang paling besar. Jenis tumbuhan pioner seperti
mahang banyak dijumpai hal ini diakibatkan adanya kerusakan ekosistem hutan
berupa rumpang atau celah yang terjadi akibat bencana alam ataupun adanya
campur tangan manusia sehingga jenis pohon pioner yang banyak tumbuh pada
ekosistem yang terganggu tersebut. Nilai INP didapat dari akumulasi kerapatan
relatif, frekuensi relatif dan dominasi (luas basal area) relatif (pada tingkat tiang
dan pohon) setiap jenis yang dinyatakan dalam persentase. Setiap jenis yang
memiliki nilai INP tertinggi di antara jenis yang lainnya dapat dikatakan sebagai
jenis dominan. Dominasi suatu jenis dalam suatu komunitas disebabkan oleh
beberapa faktor, di antaranya kondisi lingkungan yang sesuai dan kemampuan
adaptasi yang baik suatu jenis baik terhadap lingkungannya. Jenis tumbuhan
dikatakan berperan dominan jika INP pada tingkat semai dan pancang mencapai
10% atau pada tingkat tiang dan pohon mencapai 15% (Sutisna 1981). Berdasarkan
hal tersebut jenis jelutung pada tiap lokasi dapat dikatakan dominan dengan nilai
INP masing masing lokasi berdasarkan tingkat tiang dan pohon sebesar 26.49%
pada Sungai Beras, pada Sungai Beras II sebesar 18.55%, pada Catur Rahayu
sebesar 29.57% dan sebesar 86.72% ditemukan pada daerah Lagan. Hal ini
berbanding lurus dengan nilai LBDSS dan volume jelutung pada tiap lokasi, dimana
pada tiap lokasi nilai LBDS dan volume tertinggi didapat pada jenis jelutung baik
jelutung darat maupun jelutung rawa.
Sebaran
Apabila kandungan hara sekitar lokasi induk jenis tumbuhan cukup untuk
pertumbuhan, maka penyebaran suatu jenis akan cenderung mengelompok.
Menurut Rani (2013) penelitian simulasi membuktikan bahwa indeks ini
merupakan metode terbaik untuk mengukur pola sebaran suatu individu karena
tidak bergantung terhadap kepadatan populasi dan ukuran sampel. Hasil analisis
indeks morisita pada tingkat pertumbuhan jelutung memiliki pola penyebaran yang
berbeda. Secara umum pola penyebaran jelutung pada kawasan Tanjung Jabung
Timur terbagi menjadi tersebar mengelompok dan tersebar seragam. Adapun pola
penyebaran mengelompok (clumped) apabila indeks morisita(Iδ) > 1 dan dapat
dikatakan pola penyebaran seragam (uniform) apabila indeks morisita (Iδ) < 1. Pola
penyebaran mengelompok ditemukan pada semua tingkat pertumbuhan di Sungai
Beras. Sedangkan pola penyebaran seragam pada semua tingkat pertumbuhan di
Catur Rahayu dan Lagan kecuali pada tingkat pohon di Catur Rahayu, dimana pada
tingkat tersebut pola penyebaran jenisnya mengelompok. Naughton dan Wolf
(1990) menjelaskan bahwa kondisi iklim dan faktor ketersediaan hara merupakan
faktor lingkungan yang sangat berperan dalam penyebaran. Apabila di suatu
komunitas menyediakan hara yang cukup untuk pertumbuhan suatu jenis
tumbuhan, maka akan cenderung membentuk pola penyebaran yang mengelompok.
Penyebaran dalam pola seragam di alam sendiri jarang ditemukan tetapi pada
umumnya mempunyai pola mengelompok. Hal ini dapat disebabkan karena adanya

19

naluri suatu jenis tersebut untuk mencari lingkungan tempat hidup yang cocok.
Selain itu pola penyebran juga bisa dipengaruhi adanya gangguan luar baik faktor
alam ataupun kepentingan manusia. Istomo dalam Pradiastoro (1994) menyatakan
bahwa individu-individu akan berkelompok dalam tempat-tempat tertentu yang
lebih menguntungkan. Hal ini karena adanya interaksi yang saling menguntungkan
diantara individu-individu tersebut.
Potensi
Potensi jenis jelutung pada Tanjung Jabung Timur dapat diketahui yaitu
dengan cara pendugaan potensi volume pohon. Dalam ekologi nilai luas bidang
dasar dapat digunakan untuk menduga potensi volume, biomassa dan penggunaan
ruang suatu spesies pada komunitasnya. Total luas bidang dasar tertinggi pada
Tanjung Jabung Timur berturut turut berdasarkan kelas diameter adalah 23.69 m²
ha-1 pada Sungai Beras II, Sungai Beras sebesar 17.17 m² ha-1, Catur Rahayu
sebesar 13.25 m² ha-1 dan sebesar 9.41 m² ha-1 pada desa Lagan. Untuk jenis
jelutung sendiri LBDS tertinggi berturut turut ditemukan pada Catur Rahayu
sebesar 6.48 m² ha-1, Lagan sebesar 4.40 m² ha-1, Sungai Beras sebesar 2.16 m² ha1
dan 1.77 m² ha-1. Pendugaan potensi volume tertinggi berturut turut ditemukan
pada Sungai Beras II sebesar 255.16 m³ ha-1, Sungai Beras 169.93 m³ ha-1, Catur
Rahayu sebesar 88.58 m³ ha-1 dan Lagan sebesar 84.77 m³ ha-1. Sedangkan pada
jenis jelutung pendugaan volume tertinggi berturut turut ditemukan pada lokasi
Lagan sebesar 42.32 m³ ha-1, Catur Rahayu sebesar 31.75 m³ ha-1, Sungai Beras
sebesar 25.57 m³ ha-1 dan 19.15 m³ ha-1.
Indeks dominansi (C), Indeks kekayaan (R1), keanekaragaman (H’) dan
kemerataan (E) jenis.
Berdasarkan hasil pengamatan dilapang diketahui nilai C pada habitus pohon
semuanya mendekati nol (0) untuk seluruh lokasi penelitian. Hal ini berarti tidak
terdapat satu jenis individu yang mendominasi melainkan beberapa jenis
mendominasi secara bersama sama. Indeks dominansi jenis merupakan parameter
yang menyatakan terpusatnya dominansi (pengusaan) spesies dalam suatu
komunitas. Nilai C akan bernilai 1 (satu) atau mendekati 1 (satu) apabila dominansi
dipusatkan pada satu atau sedikit jenis. Sebaliknya, jika beberapa jenis
mendominasi secara bersama-sama, maka C akan bernilai rendah atau bahkan
mendekati 0 (nol) (Rosalia 2008).
Nilai indeks kekayaan jenis (R1), keanekaragaman jenis (H’) dan kemerataan
jenis (E) merupakan gambaran secara kuantitaif mengenai kondisi keragaman suatu
komunitas. Magurran (1988) mengungkapkan bahwa indeks-indeks tersebut
merupakan cara menghitung suatu keanekaragaman dalam sebuah komunitas
secara kuantitatif non-parametrik. Indeks kekayaan jenis Margallef (R) merupakan
nilai yang menggambarkan kekayaan suatu jenis pada komunitas tertentu.
Tumbuhan berhabitus pohon termasuk permudaannya memiliki nilai R1 berkisar
antara 0-7.67. Berdasarkan Magurran (1988) kekayaan jenis pada lokasi penelitian
tergolong rendah sampai tinggi. Sedangkan untuk tumbuhan non-pohon berupa
tumbuhan bawah tergolong rendah untuk semua lokasi. Nilai indeks kekayaan jenis
(R1) pohon dengan berbagai tingkat pertumbuhannya paling tinggi terdapat di
Sungai Beras II yaitu sebesar 7.67 (tiang). Nilai R1 tumbuhan non-pohon berupa

20

tumbuhan bawah paling tinggi terdapat di Lagan 2.65. Nilai R1 terendah untuk
tumbuhan pohon adalah 0 karena pada salah satu lokasi pengamatan yaitu Catur
Rahayu tidak ditemukan permudaan suatu jenis tumbuhan (semai dan pancang).
Sedangkan untuk nilai R1 terendah untuk non pohon ditemukan di lokasi 0.49.
Tingkat tumbuhan tiang dan pohon pada lokasi Sungai Beras termasuk ke dalam
tingkat kekayaan jenis yang tinggi. Hal ini dikarenakan tingkat tumbuhan tiang dan
pohon pada lokasi ini memiliki nilai R1 lebih besar dari 5. Pada daerah Catur
Rahayu dan Lagan