Perlakuan Konsentrasi Colchicine pada Kultur In Vitro Jelutung (Dyera costulata (Hook. f.)).

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di Indonesia terdapat dua jenis jelutung, yaitu Dyera costulata (Hook. f.) dan Dyera lowii (Hook. f.). Kedua jenis ini termasuk family Apocynaceae. Dibandingkan dengan Dyera lowii, Dyera costulata mampu menghasilkan lateks yang lebih banyak. Secara ekonomis, pengusahaan jelutung dapat menjamin keberlanjutan (sustainability) hasil. Selain hasil kayu, jelutung juga bisa menghasilkan hasil non kayu berupa getah yang sangat berguna sebagai bahan baku industri permen karet (Martawijaya et al. 1981 diacu dalam Rahmat, 2008). Getah jelutung ini juga biasa dimanfaatkan untuk industri-industri vital dunia seperti industri pesawat, otomotif, elektronik, pembungkus kabel, perabot rumah tangga, dan lain sebagainya yang terbuat dari getah. Pohon jelutung menghasilkan getah berwarna putih yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu sumber pemasok getah jelutung terbesar pada negara-negara importir (Balai Pelayanan Informasi Kehutanan Provinsi Jambi 2008), sedangkan untuk hasil kayunya pohon jelutung yang sudah tidak menghasilkan getah lagi ditebang untuk dijadikan bahan cetakan bangunan, meja gambar, kelom, ukiran, kayu lapis, dan pensil (Dephut 2008). Kayu jelutung memiliki kualitas dan harga setara dengan kayu meranti (Handoyo 2011). Harga jual kayunya juga tidak kalah dengan harga jual kayu meranti, ramin, agatis, rasak, keruing, dan kayu sejenis lainnya. Begitu juga dengan harga getah jelutung yang dapat mencapai dua kali lipat harga getah karet. Secara ekologis, jelutung sangat cocok untuk dikembangkan pada lahan rawa gambut karena merupakan jenis asli (indigenous species) penyusun formasi hutan rawa gambut dan budidayanya juga relatif mudah dilakukan (Lemments et al. 1995 diacu dalam Rahmat 2008). Jelutung juga termasuk jenis pohon yang dapat digunakan sebagai penyerap karbon yang efektif dalam jangka panjang. Akan tetapi, hutan gambut merupakan ekosistem lahan basah yang rawan terhadap bahaya kebakaran baik yang dilakukan secara sengaja ataupun karena alam. Hal ini dikarenakan hutan rawa gambut adalah salah satu tipe hutan rawa yang merupakan ekosistem yang spesifik dan rapuh, baik dilihat dari segi habitat


(2)

lahannya yang berupa gambut dengan kandungan bahan organik yang tinggi dengan ketebalan mulai dari kurang dari 0,5 meter sampai dengan kedalaman lebih dari 20 meter (Badan Litbang Kehutanan 2010). Akan tetapi, pembibitan jelutung secara massal sering kali terkendala oleh sifat benih yang mudah rusak dan cepat berkecambah (rekalsitran) sehingga tidak dapat disimpan terlalu lama sehingga teknologi penyimpanan benih dan perbanyakan vegetatif baik secara makro (stek) maupun mikro (kultur jaringan) sangat diperlukan guna penyediaan bibit jelutung dalam jumlah banyak (Bathimi 2009).

Melalui kultur in vitro maka dapat diperoleh bibit dalam jumlah yang besar dan sama, dapat diperbanyak secara kontinyu serta lebih efisien tempat dan waktu. Akan tetapi dalam kultur in vitro sendiri juga perlu adanya rekayasa agar mendapatkan hasil kultur yang jauh lebih baik dan dalam waktu yang cepat didapatkan hasil yang jauh lebih besar. Salah satu caranya adalah dengan menambahkan hormon yang berpengaruh pada percepatan pertumbuhan tanaman itu sendiri, yaitu hormon colchicine yang dapat menggandakan jumlah kromosom dari diploid menjadi tetraploid.

Hormon colchicine adalah senyawa alkaloid yang dihasilkan dari ekstrak umbi dan akar tanaman Colchicum autumnale Linn (family Idliaceae). Hormon ini dapat digunakan untuk menginduksi poliploid (Eigsti & Dustin 1957) dengan ciri-ciri inti dan isi sel lebih besar, daun dan bunga bertambah besar, dan dapat terjadi perubahan senyawa kimia termasuk peningkatan atau perubahan pada jenis atau proporsi karbohidrat, protein, vitamin atau alkaloid (Poespodarsono 1988). Briggs dan Knowles (1967) diacu dalam Herawati (1980) menyatakan bahwa larutan colchicine merupakan salah satu zat yang dapat menggandakan jumlah kromosom suatu individu tanaman di dalam inti sel, yang berpengaruh terhadap karakter vegetatif tanaman. Dengan konsentrasi cholchicine yang berbeda, akan memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap petumbuhan tanaman. Hal ini dikarenakan konsentrasi colchicine yang digunakan bersifat sangat kritis (Eigsti & Dustin 1957).

Berdasarkan hal tersebut, perlakuan pemberian colchicine diharapkan mampu meningkatkan percepatan pertumbuhan tanaman sehingga diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan in vitro tumbuhan jelutung.


(3)

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi pengaruh pemberian colchicine pada pertumbuhan jelutung secara kultur in vitro.

2. Mengidentifikasi konsentrasi colchicine yang baik dan tepat untuk pertumbuhan jelutung secara kultur in vitro.

1.3 Hipotesis

Berdasarkan tujuan penelitian, maka hipotesis yang diajukan adalah pemberian colchicine secara kultur in vitro memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan jelutung (Dyera costulata (Hook. f.)).

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui konsentrasi colchicine yang tepat untuk pertumbuhan kultur in vitro jelutung guna mendapatkan hasil dengan kualitas yang baik sehingga nilai manfaat dari tumbuhan jelutung juga dapat meningkat.


(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bioekologi Jelutung (Dyera costulata (Hook. f.))

Jelutung atau jelutong (D. costulata, syn. D. laxiflora) adalah spesies pohon dari subfamilia Oleander. Berdasarkan taksonominya tumbuhan jelutung tergolong ke dalam:

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliopsida (Tumbuhan berbunga) Kelas : Dicotyledonae (Berkeping dua/dikotil) Subkelas : Asteridae

Ordo : Gentianales Family : Apocynaceae Genus : Dyera

Spesies : Dyera costulata (Hook. f.)

Gambar 1 Dyera costulata (Hook. f.). Ket: (1) Pohon; (2) Daun; (3) Buah; (4) Benih. Sumber: Plant Resources of South-East Asia 5:2 diacu dalam BPTH Sulawesi (2004).

Jelutung mempunyai nama daerah anjarutung, gapuk, jalutung, jelutung gunung, lebuai, letung, melabuai, nyalutung, pidoron (Sumatera), jelutung bukit,


(5)

pantung jarenang, pantung gunung, pantung kapur, pantung tembaga, dan pulut (Kalimantan). Jelutung dapat tumbuh dengan baik di tanah organosol dengan curah hujan tipe A dan B. Menurut klasifikasi iklim Oldeman, kategori A memiliki bulan basah lebih dari 9 kali berturut-turut dan tipe B memiliki bulan basah 7 hingga 9 kali berturut-turut. Daerah penyebaran jelutung antara lain meliputi wilayah Aceh, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur (Handoyo 2011).

Bentuk batang jelutung ini silindris tanpa banir, tinggi mencapai 50 – 80 m, tinggi bebas cabangnya 15 – 30 m, diameter mencapai 300 cm dengan tajuk yang tipis. Kulit batangnya berwarna kelabu kehitaman, permukaan halus dengan sisik agak persegi, kulit bagian dalam tebal, bila ditoreh akan keluar getah berwarna putih seperti susu kental. Pohon ini menggugurkan daunnya 1 kali dalam setahun. Bentuk daun bulat telur tetapi lebar di bagian atas mulai dari bagian tengah sampai berbentuk huruf A yang melebar di bagian tengah. Ukuran daun 12 – 25 x 6 – 11 cm. Bunga seperti karangan bunga berbentuk lingkaran dengan panjang 5 – 18 cm dan tidak berbulu. Mahkota berwarna putih (BPTH Sulawesi 2004) dengan pola cabang yang tidak terlalu rapat. Sebagai tanaman endemik, penanaman jelutung tidak memerlukan manipulasi lahan yang terlalu tinggi karena telah tumbuh dan berkembang secara alami. Pohon ini secara alami tumbuh menyebar dengan jarak antara satu pohon dengan pohon lainnya 50 m (DepHut 2008). Tekstur kayu jelutung relatif halus, berwarna putih, seratnya searah, kulit batangnya berwarna abu-abu gelap atau hitam dan licin (Dishut 2008).

Benih Dyera costulata bersifat rekalsitran sehingga harus disimpan dalam wadah kedap udara, seperti kantong plastik dalam ruang bersuhu 18 – 20 ºC dan kelembaban 60 – 70% (ruang ber-AC). Dengan cara penyimpanan seperti ini maka daya berkecambah benih diharapkan dapat dipertahankan pada nilai 60% selama 3 bulan (BPTH Sulawesi 2004).

2.2 Manfaat Jelutung (Dyera costulata (Hook. f.))

Pohon jelutung dapat disadap sepanjang tahun dengan produksi lateks per pohonnya tergantung pada ukuran pohon dan cara penyadapannya. Rahmat &


(6)

Bastoni (2007) dan Handoyo (2011) menyatakan bahwa jelutung dapat mulai disadap pada umur 10 tahun, sedangkan untuk mutu lateks jelutung sendiri tergantung pada jenis pohon jelutung yang disadap serta perlakuan dan teknik penanganannya ketika pasca panen. Penyadapan yang optimal biasanya dilakukan pada pagi hari supaya lateks yang dihasilkan berjumlah banyak dan tidak membeku (DepHut 2008). Getah jelutung ini biasa digunakan sebagai bahan baku permen karet, isolator dan soft compound ban. Untuk kayu jelutungnya sendiri berwarna putih kekuningan dengan tekstur halus, arah serat lurus dengan permukaan kayu yang licin mengkilap ini biasa digunakan sebagai bahan baku industri mebel, polywood, moulding, pulp, patung, dan pencil slate.

Dyera costulata mampu menghasilkan lateks sekitar 2,5 kg lebih banyak dari Dyera laxiflora yang hanya menghasilkan 0,5 kg lateks. Di Kalimantan dari satu pohon jelutung rata-rata menghasilkan lateks sebanyak 50 kg/pohon/tahun (Siaran Pers DepHut 2004). Pemasaran kayu jelutung di dalam negeri bisa dibilang relatif baik, hal ini dikarenakan kebutuhan bahan baku industri pencil slate yang mencapai 180.670 m3 per tahunnya (Bastoni dan Lukman 2004 diacu dalam Bathimi 2009).

Menurut Bathimi (2009), potensi jelutung sangat besar, diantaranya: 1. Kemampuan beradaptasi pada lahan rawa telah teruji. Daya adaptasi yang baik

pada lahan rawa merupakan syarat mutlak bagi suatu jenis pohon yang akan digunakan untuk merehabilitasi lahan rawa terdegradasi. Jelutung mempunyai daya adaptasi yang baik pada lahan rawa yang selalu tergenang atau tergenang berkala.

2. Pertumbuhan yang relatif cepat. Jelutung mempunyai pertumbuhan yang relatif cepat, pada kondisi alami riap diameter pohon berkisar antara 1,5 cm – 2,0 cm per tahun. Pohon jelutung yang dibudidayakan dengan pemeliharaan semi intensif riap diameternya dapat mencapai 2,0 – 2,5 cm per tahun.

3. Dapat dibudidayakan dengan manipulasi lahan yang minimal. Jelutung dapat dikembangkan untuk hutan rakyat di lahan rawa dengan gangguan terhadap lahan yang sangat minimal. Hal ini diperkirakan disebabkan penanaman jelutung di lahan rawa dapat dilakukan tanpa pembuatan kanal untuk sistem drainase.


(7)

4. Hasil ganda (getah dan kayu).

5. Masukan (input) biaya budidaya relatif rendah. Dalam jangka waktu tiga tahun biaya yang dikeluarkan pada pembangunan hutan tanaman jenis jelutung untuk bibit, penyiapan lahan, penanaman, dan pemeliharaan sekitar Rp 2,88 juta per hektar lahan.

6. Budidaya jelutung tidak sulit. Masyarakat telah mengenal jelutung. Kemiripan budidaya jelutung dengan karet menjadikan masyarakat tidak mengalami kesulitan untuk membudidayakannya.

Melihat potensi jelutung di atas, pengembangan usaha jelutung ini dirasakan mempunyai prospek yang sangat baik karena kedua jenis produk pohon jelutung ini (getah dan kayu) memiliki banyak manfaat.

2.3 Teknik Kultur in Vitro

Kultur in vitro adalah teknik budidaya sel, jaringan, dan organ tumbuhan dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik atau bebas mikroorganisme (Santoso & Nursandi 2003). Kultur in vitro ini biasa disebut juga dengan kultur jaringan (tissue culture). Menurut Nugroho dan Sugito (2002), teknik kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi atau mengambil bagian tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ, dan kemudian menumbuhkannya dalam kondisi aseptik (bebas hama dan penyakit). Selanjutnya bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan menjadi tanaman lengkap. Teknik budidaya secara kultur jaringan ini disebut juga dengan teknik budidaya in vitro. Kultur in vitro mempunyai potensi sangat besar dalam program pemuliaan serta penyediaan benih dan bibit berkualitas (Yuwono 2008). Menurut Ellyzarti (1986) teknik ini mempunyai kelemahan dasar yaitu memerlukan investasi awal yang cukup tinggi dan pelaksana harus memiliki keterampilan dan ketekunan serta pengetahuan biologi dan kimia yang memadai. Akan tetapi pernyataan ini bisa disiasati dengan berbagai cara sehingga tidak perlu modal yang tinggi serta pengetahuan yang memadai karena semua itu bisa diraih seiring berjalannya usaha yang dilakukan. Dasar kultur jaringan adalah totipotensi yaitu kemampuan setiap sel dari mana saja sel tersebut diambil, apabila diletakkan dalam lingkungan yang sesuai akan dapat tumbuh menjadi tumbuhan


(8)

yang sempurna (Suryowinoto 1991 diacu dalam Hendaryono dan Wijayani 1994). Noerhadi (1974) diacu dalam Ellyzarti (1986) menyatakan bahwa jaringan tanaman yang diambil dari bagian tertentu jika ditumbuhkan dalam medium yang sesuai dengan kondisi steril akan mengalami pertumbuhan kalus dalam tahap permulaan yang merupakan sel yang tidak teroganisir. Pada keadaan yang menguntungkan kalus selanjutnya dapat membentuk organ-organ baru tanaman seperti tunas, batang, dan akar.

Untuk mendapatkan persentase keberhasilan yang lebih besar, kultur jaringan sebaiknya menggunakan jaringan meristem karena jaringan meristem adalah jaringan muda yang terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis, belum mempunyai penebalan dari zat pectin, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil (Hendaryono & Wijayani 1994). Menurut Purwaningsih (2003), penggunaan meristem aksilar dapat menghasilkan multiplikasi tunas aksilar secara cepat, sehingga bibit yang dihasilkan dalam jumlah besar dapat ditempuh dalam waktu yang relatif singkat. Santoso dan Nursandi (2003) menyatakan bahwa prinsip kerja dari kultur jaringan terdiri dari:

1. Kegiatan isolasi bagian tanaman yang akan digunakan sebagai bahan tanam (eksplan) dari tanaman induknya,

2. Penanaman bahan tanam (eksplan) pada medium yang tepat sehingga terjadi percepatan induksi totipotensi,

3. Terpenuhinya kondisi aseptik (bebas dari kontaminan atau mikroorganisme). Secara umum teknik kultur jaringan dibagi menjadi lima tahapan, yaitu seleksi eksplan dan persiapan, inisiasi dan pembuatan kondisi yang steril, perkembangbiakkan tunas aksiler (multiplikasi), pengakaran dan aklimatisasi (Acquaah 2004).

1. Seleksi Eksplan dan Persiapan

Eksplan adalah bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan inisiasi dalam kultur jaringan. Pada dasarnya eksplan dapat diambil dari semua bagian tumbuhan baik dari jaringan akar, batang, dan daun atau berupa sel merismatik, kambium, dan embrio yang belum mengalami perubahan bentuk dan kekhususan fungsi (Acquaah 2004). Namun akan lebih baik jika eksplan diambil dari bagian yang masih muda (Conger 1981 diacu dalam Isnaeni


(9)

2008). Ukuran eksplan yang digunakan disesuaikan dengan tujuan dari pembiakkannya. Ukuran eksplan yang lebih besar cenderung lebih mudah terkontaminasi, namun eksplan yang kecil memiliki persentase kematian jaringan yang lebih tinggi (Conger 1981 diacu dalam Isnaeni 2008).

2. Inisiasi dan Pembuatan Kondisi yang Steril

Proses inisiasi merupakan salah satu tahap yang penting dalam teknik kultur jaringan untuk menentukan langkah selanjutnya. Oleh karena itu inisiasi kultur yang terbebas dari kontaminan merupakan hal yang harus dilakukan. Inisiasi adalah penanaman bagian tumbuhan sebagai eksplan untuk ditumbuhkan pada media kultur jaringan. Pada tahap ini dilakukan kegiatan sterilisasi eksplan untuk mendapatkan kultur aseptik. Eksplan yang telah disterilisasi kemudian ditanam pada media prekondisi untuk memastikan eksplan telah terbebas dari kontaminan dan jaringan berisiasi untuk tumbuh.

3. Perkembangbiakkan Tunas Aksiler (Multiplikasi)

Multiplikasi merupakan kegiatan memindahkan tunas-tunas dari dalam wadah kultur secara aseptik yang tumbuh dari hasil induksi dan ditanam lagi dalam botol kultur lain yang berisi media dan hormon yang mampu merangsang pertunasan. Tujuan utama dari proses multiplikasi ini adalah perbanyakan pucuk atau tunas atau klon tumbuhan dan meningkatkan terjadinya percabangan aksial dan pembentukan pucuk secara adventif.

4. Pengakaran

Proses pengakaran dapat dilakukan dengna penggunaan media yang ditambahkan ZPT jenis auksin. Wattimena (1988) diacu dalam Isnaeni (2008) menyatakan bahwa pemberian auksin diketahui dapat memicu pertumbuhan tunas dan akar. Proses ini dilakukan untuk mempersiapkan plantlet agar dapat ditanam di lapang.

5. Aklimatisasi

Aklimatisasi merupakan tahap pemindahan plantlet dari kondisi aseptik (in vitro) ke kondisi lapang (ex vitro) atau dari keadaan heterotrof ke keadaan autotrof. Proses aklimatisasi merupakan proses yang menentukan apakah kultur jaringan berhasil atau tidak karena pada tahap ini akan diketahui apakah tumbuhan yang diaklimatisasi dapat bertahan hidup di lapang atau tidak.


(10)

Proses aklimatisasi sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keberhasilan aklimatisasi sebaiknya lingkungan tumbuhnya harus mendekati lingkungan asalnya pada saat pembiakan. Selain itu, pemberian hara tumbuhan yang cukup pada media maupun penyemprotan daun akan sangat membantu proses aklimatisasi (Mattjik 2005 diacu dalam Isnaeni 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan morfologis tanaman dalam kultur jaringan dapat digolongkan menjadi empat golongan utama, yaitu:  Genotipe dari bahan tanaman yang digunakan,

 Media, mencakup tentang komponen penyusun media dan juga zat pengatur pertumbuhan tanaman yang digunakan,

 Lingkungan tumbuh, yaitu keadaan fisik tempat kultur ditumbuhkan,  Fisiologi jaringan tanaman sebagai eksplan (Wattimena 1992).

Seperti yang disebutkan di atas, salah satu faktor yang berperan penting dalam menentukan keberhasilan kegiatan kultur jaringan adalah media tanam. Media tanam merupakan tempat tumbuh untuk tumbuhnya eksplan. Menurut Soerianegara (1994) diacu dalam Hidayat (2009), media tanam dalam kultur jaringan tumbuhan dibedakan menjadi dua yaitu media dasar dan media perlakuan. Bentuk media tanam yang digunakan dalam kultur jaringan ada 3 yaitu media tanam bentuk padat, semi padat, dan cair. Pada umumnya, media dasar yang sering digunakan adalah media dasar Murashige dan Skoog. Menurut Acquaah (2004) media kultur jaringan mengandung komponen yang dapat dikategorikan menjadi empat kelompok unsur mineral, senyawa organik, zat pengatur tumbuh, dan sistem penyokong.

2.4 Colchicine

Colchicine adalah senyawa alkaloid yang dihasilkan dari ekstrak umbi dan akar tanaman Colchicum autumnale Linn (family Idliaceae). dengan rumus senyawa kimianya C22H25O6N. Senyawa ini berwarna kuning pucat dan biasanya akan berubah bila terkena cahaya. Colchicine tersedia dalam bentuk bubuk, dapat larut dalam air, ether, dan benzene serta sangat aktif dalam konsentrasi rendah (Eigsti dan Dustin 1957).


(11)

Colchicine dapat digunakan untuk menginduksi poliploid (Eigsti dan Dustin 1957). Poliploid adalah organisme yang mempunyai lebih dari dua set kromosom atau genom dalam sel somatisnya. Beberapa ciri tumbuhan poliploid antara lain inti dan isi sel lebih besar, daun dan bunga bertambah besar, dan dapat terjadi perubahan senyawa kimia termasuk peningkatan atau perubahan pada jenis atau proporsi karbohidrat, protein, vitamin atau alkaloid (Poespodarsono 1988). Menurut Briggs dan Knowles (1967) diacu dalam Herawati (1980) menyatakan bahwa larutan colchicine merupakan salah satu zat yang dapat menggandakan jumlah kromosom suatu individu tanaman di dalam inti sel, yang berpengaruh terhadap karakter vegetatif tanaman. Karakter vegetatif yang diperlihatkan diantaranya pelebaran dan penebalan daun, serta pelebaran dan penebalan daun mahkota bunga (Allard 1960 diacu dalam Herawati 1980), sehingga dengan pelebaran daun mahkota bunga tersebut diharapkan diameter bunga menjadi lebih besar, sedangkan untuk penebalan daun mahkota bunga diharapkan dapat mempertinggi ketahanan bunga terhadap kelayuan (Herawati 1980).

Poliploid pada tumbuhan dapat terjadi secara alami atau buatan. Poliploid yang sengaja dibuat menggunakan zat-zat kimia tertentu, salah satunya adalah colchicine. Zat kimia ini paling banyak digunakan dan lebih efektif karena mudah larut dalam air (Suryo 1995). Jauhariana (1995) diacu dalamSulistianingsih et al. (2004) menyatakan bahwa konsentrasi colchicine yang digunakan bervariasi dari 0,0006% sampai 1,0% dengan lama perendaman 1-6 hari, tergantung jenis benihnya. Benih yang lambat berkecambah umumnya memerlukan waktu yang lama. Pada umumnya colchicine efektif pada kadar 0,01% - 1,0% (Jauhariana 1995 diacu dalamSulistianingsih et al. 2004).

Tanaman poliploid memiliki pola pertumbuhan, ciri morfologi, anatomi, genetik, fisiologi, dan produktivitas yang berbeda dibandingkan dengan tanaman diploidnya. Umumnya kenampakan tanaman dan produktivitasnya lebih baik, sehingga secara ekonomis lebih menguntungkan. Dilihat dari ciri morfologinya pun ada perbedaan pada tanaman poliploid dengan tanaman diploidnya. Pada tanaman poliploid jumlah kromosom yang lebih banyak menyebabkan ukuran sel dan inti sel bertambah besar. Sel yang berukuran lebih besar menghasilkan bagian tanaman seperti daun, bunga, buah maupun tanaman secara keseluruhan yang


(12)

lebih besar. Menurut Gao et al. (1966) diacu dalam Nilahayati (2006), poliploidi dapat menghasilkan daun dan batang yang lebih tebal, warna bunga yang lebih variatif, dapat meningkatkan ratio panjang lebar daun, tekstur bunga yang lebih lembut dan ukuran bunga yang lebih besar.

Efektifitas kerja colchicine dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi colchicine yang diberikan, lama kontak sel dengan colchicine, tahap mitosis tertentu saat colchicine kontak dengan sel, tipe sel (sel embrio atau dewasa), dan lingkungan yang mendukung mitosis (Eigsti & Dustin 1957).

Kepekaan terhadap perlakuan colchicine berbeda diantara spesies tanaman, oleh karena itu baik konsentrasi maupun waktu perlakuan akan berbeda untuk setiap jenis, bahkan untuk bagian tanaman yang berbeda, konsentrasi dan waktu perlakuan akan berbeda pula. Untuk tunas, pemberian colchicine dapat berupa larutan yang ditetes atau agar yang dioleskan setiap 2 atau 3 kali seminggu dengan konsentrasi 0,5% sampai 1,0% (Poespodarsono 1988). Konsentrasi colchicine yang digunakan bersifat sangat kritis, sehingga konsentrasi yang beragam ini menyebabkan pengaruh yang beragam juga (Eigsti & Dustin 1957).

Pemakaian colchicine secara umum ada dua cara, yaitu: 1) Mengoleskan atau meneteskan larutan colchicine pada bagian tanaman yang sedang

meristematis atau sering juga disebut dengan “drop method”, 2) Diberikan dalam bentuk campuran agar yang dibalutkan pada bagian tanaman yang meristematis

disebut juga “agar kapsul method” (Soetarso 1978 diacu dalam Jenimar 1988). Herawati (1980) telah berhasil menimbulkan individu poliploid pada banyak tanaman pertanian dengan menggunakan colchicine. semua sel yang sedang membelah dan bersinggungan dengan zat kimia colchicine dapat mengalami pengaruh dari zat tersebut (Srickberger 1968 diacu dalam Herawati 1980).

Eigsti dan Dustin (1957) mengemukakan bahwa tunas pembelahan yang paling efektif untuk diberi perlakuan colchicine konsentrasi rendah adalah pada tahap akhir profase. Benang gelendong biasanya muncul tidak lama setelah lenyapnya dinding inti, tetapi dengan hadirnya colchicine, benang gelendong tidak terbentuk. Bila pembelahan sel telah mencapai anafase, colchicine pada konsentrasi tinggi dapat menghentikan gerakan kromosom serta memusnahkan benang gelendong. Kromosom yang telah terpisah bercampur kembali dan


(13)

terbentuklah sebuah nukleus. Menurut Herawati (1980) pengaruh colchicine pada proses mitosis ialah membuat sitoplasma menjadi encer, sehingga pembelahan sel menyimpang dari pembelahan sel secara normal. Pada pembelahan sel secara normal, seharusnya benang-benang gelendong (spindle fiber) dalam plasma sel membentuk penebalan-penebalan di bidang katulistiwa yang nantinya menjadi dinding penyekat. Sedangkan pada pembelahan sel yang dipengaruhi oleh colchicine, benang-benang gelendong (spindle fiber) tidak terbentuk, sehingga proses normal dari mitosis berubah menjadi serangkaian peristiwa yang disebut C-mitosis. Tidak adanya fungsi dari benang-benang gelendong, kromosom gagal atau tidak dapat bergerak menuju bidang katulistiwa tetapi tetap tinggal berhamburan dalam sitoplasma (disebut C-metafase). Kemudian kromosom terpisah pada sentromer dan C-anafase dimulai. Setelah itu kromosom menyebar dan berlipat dua melalui transformasi telofase, akhirnya dinding sel mengelilingi nukleus yang telah mempunyai jumlah kromosom dua kali lipat dan ukuran sel menjadi lebih besar sehingga terjadilah tetraploid (Srb & Owen 1952 diacu dalam Herawati 1980). Dapat juga dikatakan bahwa colchicine telah menghambat pembentukan benang-benang spindel pada tahap profase, menghambat pembelahan inti, pemisahan kromosom, pembentukan anak sel dan secara efektif menghentikan proses pembelahan, karena itu keberadaan colchicine menyebabkan kromosom tidak dapat terbagi menjadi dua anak sel yang baru sehingga mengakibatkan jumlah kromosom dalam sel tersebut menjadi dua kali lipat. Dengan konsentrasi yang cukup, benang-benang spindel yang telah terbentuk pada tahap anafase dapat dihancurkan (Eigsti & Dustin 1957).

Tanaman yang telah mengalami pengaruh colchicine mula-mula menunjukkan pertumbuhan memanjang yang sangat lambat. Akan tetapi pertumbuhan melebar lebih besar, kemudian pertumbuhan normal pulih kembali dan selanjutnya dapat terjadi tiga kemungkinan (Soepomo 1968 diacu dalam Herawati 1980), yaitu:

1. Tanaman atau bagian tanaman itu tumbuh secara normal. Ini disebabkan karena sel-sel yang mengalami perubahan hanya beberapa saja dan dalam pertumbuhannya terdesak oleh sel-sel lain.


(14)

2. Tanaman atau bagian tanaman itu keseluruhannya mengalami perubahan, sehingga semua sel mempunyai jumlah kromosom dua kali lipat dan sel-sel tersebut akan mempunyai ukuran yang besar. Terutama pada ukuran stomata dan tepung sari akibat pengaruh colchicine yang mudah terlihat walaupun tanaman poliploid itu wujudnya lebih besar namun pertumbuhannya lambat. 3. Tanaman atau bagian tanaman itu mempunyai dua macam genotipe dan

disebut chimaer. Disamping jaringan asli yang poliploid ada jaringan yang tetraploid akibat pengaruh colchicine. Menurut bentuknya dibedakan atas: a. Chimaer sectoral, yaitu bila hanya satu sektor saja yang mengalami

perubahan,

b. Chimaer periclinal, yaitu bila jaringan hasil perubahan mengelilingi jaringan asli, ataupun sebaliknya,

c. Mixochimaer, bila kedua jaringan tersebut tidak teratur letaknya. 2.5 BAP (6-Bensilaminopurin)

Zat pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat, dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan (Hendaryono & Wijayani 1994). Zat pengatur tumbuh tumbuh (ZPT) sering ditambahkan ke dalam medium tanaman untuk merangsang respon eksplan sesuai arah yang diinginkan. Tanpa zat pengatur tumbuh dalam medium, pertumbuhan sangat terhambat bahkan mungkin tidak tumbuh sama sekali. Pembentukan kalus dan organ-organ ditentukan oleh penggunaan yang tepat dari zat pengatur tumbuh tersebut (Hendaryono & Wijayani 1994). Level zat pengatur tumbuh ini akan menjadi faktor pemicu (triggering factor) untuk proses-proses tumbuh dan morfogenesis (Gunawan 1988 diacu dalam Purwaningsih 2003). Zat pengatur tumbuh pada tanaman ada dua yakni auksin dan sitokinin. sitokinin mempunyai 2 peran yang penting untuk propagasi secara in vitro, yakni merupakan perangsang pembelahan sel dalam jaringan yang dibuat eksplan dan merangsang pertumbuhan tunas (Mayasari 2007). Sitokinin alamiah dalam tanaman adalah zeatin, sedangkan sitokinin diantaranya adalah 6-Bensilaminopurin (BAP), N6-2-isopentil adenin, dan kinetin (Davies 1955 diacu dalam Purwaningsih 2003). Pemberian sitokinin secara eksogen berpengaruh


(15)

terhadap pembelahan sel, perbesaran sel, perkembangan kloroplas, diferensiasi sel, dan morfogenesis. Menurut Salisbury dan Ross (1992), diacu dalam Purwaningsih (2003), induksi pertumbuhan tunas aksilar didasarkan atas nisbah sitokinin dan auksin. Apabila nisbah sitokinin tinggi, akan mendorong perkembangan tunas aksilar, sedangkan apabila nisbah sitokinini rendah akan mendorong ke arah dominansi apikal.

Wattimena (1992), diacu dalam Purwaningsih (2003) menyatakan bahwa jenis sitokinin yang secara in vitro berpotensi tinggi untuk menginduksi multiplikasi tunas aksilar antara lain adalah 6-Bensilaminopurin (BAP) atau Bensiladenin (BA). BAP merupakan jenis sitokinin dari senyawa golongan purin substitusi. Jenis sitokinin ini paling sering digunakan. Hal ini dikarenakan BAP dinilai lebih stabil, tidak mahal dan lebih efektif dibandingkan kinetin (Lisdiantini 2009). Raha dan Roy (2001) diacu dalam Purwaningsih (2003) melaporkan bahwa konsentrasi BAP 3mg/l sangat efektif untuk multiplikasi tunas aksilar Holarrhena antidysenterica Wall. Namun konsentrasi BAP 6mg/l juga dapat menginduksi tunas aksilar pada Dendrocalamus giganiues Wall (Ramanayake et al. 2001 diacu dalam Purwaningsih 2003). Rout dan Das (2002) diacu dalam Purwaningsih (2003) juga melaporkan bahwa konsentrasi BAP antara 0,5 – 1,0 mg/l dapat menginduksi multiplikasi tunas aksilar pada Plumbago zeylanica. Menurut Gunawan (1995), penggunaan BAP dengan konsentrasi tinggi dan masa yang panjang sering kali menyebabkan regenerasi sulit berakar dan dapat menyebabkan penampakan pucuk abnormal. Secara umum, konsentrasi sitokinin yang digunakan berkisar dari 0,1 – 1,0 mg/l.

Media tanam juga tidak terlepas dari tingkat keasamannya (pH). Keasaman (pH) suatu larutan menyatakan kadar dari ion H dalam larutan. Sel-sel tanaman yang dikembangkan dengan teknik kultur jaringan mempunyai toleransi pH yang relatif sempit dengan titik optimal antara pH 5,0 dan 6,0 (Hendaryono & Wijayani 1994). Bila eksplan sudah mulai tumbuh, pH dalam lingkungan kultur jaringan umumnya akan naik apabila nutrien habis terpakai. Senyawa fosfat dalam media kultur jaringan mempunyai peran yang penting dalam menstabilkan pH. Penyimpangan pH dalam medium yang mengandung garam tinggi kemungkinan terjadi lebih kecil, karena kapasitas buffernya lebih besar. Kapasitas buffer kultur


(16)

sel untuk penggunaan NH4+ sebagai satu-satunya sumber N tergantung pada pengaturan pH dari medium di atas 5. Menurut Lakitan (2007), pH dapat mempengaruhi aktivitas enzim. Umumnya terdapat pH optimum agar suatu enzim dapat berfungsi maksimum dan aktivitas enzim akan menruun pada pH yang lebih tinggi atau lebih rendah. PH juga dapat mempengaruhi laju reaksi dengan paling tidak melalui 2 cara lain, yakni melalui aktivitas enzim sering tergantung pada ada atau tidaknya gugus amino atau karboksil yang bebas dan melalui pengendalian ionisasi beberapa substrat, dimana beberapa substrat harus terionisasi dahulu sebelum dapat bereaksi. Untuk pohon jelutung yang habitatnya di rawa, biasa tumbuh dengan pH di bawah normal atau basa. pH medium menunjukkan salah satu faktor penentu untuk menentukan keberhasilan kultur jaringan (Ellyzarti 1986). Seperti yang dinyatakan oleh Mattjik (2005) diacu dalam Isnaeni (2008), untuk meningkatkan persentase keberhasilan sebaiknya lingkungan tumbuhnya harus mendekati lingkungan asalnya pada saat pembiakan, sehingga dalam penelitian ini menggunakan nilai pH 4.


(17)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Institut Pertanian Bogor (PPLH IPB) dari bulan Oktober sampai bulan Desember 2011.

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam pembuatan media yaitu gelas piala, gelas ukur biasa, pipet volumetrik, neraca analitik, pH meter, panci, pengaduk, autoklaf, karet gelang, timbangan analitik, labu Erlenmeyer, labu takar, botol kultur, dan plastik, sedangkan untuk kegiatan sterilisasi dan penanaman alat-alat yang digunakan yaitu sendok spatula, petridish, scalpel, tissue, cawan petri, pisau, pinset, lampu Bunsen, laminar air flow cabinet, timer, aluminium foil, plastik wrap, dan handsprayer serta alat tulis dan kamera digital untuk kegiatan pengamatan.

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan media yaitu larutan stok, media MS (Murashige dan Skoog), agar-agar, gula pasir, air steril, BAP (6-benzyl amino purine), sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam kegiatan sterilisasi dan penanaman yaitu alkohol 70%, deterjen, air steril, HgCl2, clorox, antiseptik (betadine), eksplan jelutung (Dyera costulata) berupa biji, dan larutan colchicine. Biji jelutung berasal dari PT Xylo Indah Pratama yang didatangkan dari pulau Sumatera yang sudah disimpan selama 6 bulan.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer. Data primer dilakukan dan diamati secara langsung di laboratorium terdiri dari tinggi eksplan, jumlah dan panjang akar, jumlah daun dan ruas baru eksplan.


(18)

3.4. Batasan Penelitian

Pengambilan data primer hanya dilakukan pada tinggi eksplan, jumlah dan panjang akar, jumlah daun, dan ruas baru eksplan.

3.5 Prosedur Kerja

3.5.1 Sterilisasi alat dan media kultur

Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan kultur jaringan seperti botol kultur, pinset, scalpel, cawan petri, pengaduk, pipet, gelas piala, labu takar dicuci bersih menggunakan detergen. Kemudian alat-alat yang digunakan dalam penanaman disterilisasi dengan membungkus alat-alat tersebut menggunakan kertas koran dan selanjutnya semua alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam autoklaf pada suhu 121ºC - 126ºC dengan tekanan 1,5 atm selama 60 menit. Sedangkan untuk media yang telah dimasukkan ke dalam botol kultur lalu dimasukkan ke dalam autoklaf pada suhu 121ºC - 125ºC dengan tekanan 1,5 atm selama 20 menit. Untuk sterilisasi air yang digunakan dalam proses sterilisasi eksplan dan penanaman disterilisasi seperti cara mensterilisasi media.

3.5.2 Sterilisasi lingkungan kerja

Pembersihan laboratorium dilakukan setiap hari terutama untuk penyeleksian botol kultur yang terkontaminasi. Pengepelan dan penyemprotan rak kultur dengan alkohol juga dilakukan secara berkala. Pembersihan tempat kerja (laminar air flow cabinet) dapat dilakukan dengan mengelap permukaan atau meja kerja dan dinding porselin dengan menggunakan kapas atau tisu yang telah disemprot alkohol 70%. Selama tidak digunakan, lampu ultra violet yang ada pada laminar air flow cabinet dinyalakan dan ketika digunakan harus dimatikan karena jika tidak dimatikan akan membahayakan kesehatan pengguna laminar air flow cabinet (Hendaryono & Wijayani 1994). Lalu sebelum dan selama pemakaian, blower atau peniup udara dalam laminar air flow cabinet harus dinyalakan untuk menghindari adanya kontaminan yang masuk ke dalam botol kultur ketika penanaman. Kemudian sebelum melakukan pekerjaan maka dilakukan penyemprotan dengan alkohol 70% terhadap kedua telapak tangan, botol kultur, ataupun alat-alat yang akan digunakan dalam penanaman.


(19)

3.5.3 Sterilisasi bahan eksplan

Biji jelutung yang dikultur diberi perlakuan sterilisasi yang meliputi sterilisasi eksplan di luar laminar air flow cabinet dan sterilisasi di dalam laminar air flow cabinet. Adapun tahapan sterilisasi eksplan di luar laminar air flow cabinet meliputi:

1. Pembersihan permukaan biji jelutung dengan cara dikerok menggunakan pisau 2. Pembersihan biji jelutung dengan alkohol 70% dengan cara digosok

menggunakan kapas yang telah dibasahi alkohol 3. Pencucian dengan detergen (10 menit)

4. Pembilasan dengan menggunakan air bersih

Sedangkan untuk tahapan sterilisasi eksplan di dalam laminar air flow cabinet meliputi:

1. Pencucian dengan menggunakan HgCl2 10% selama 7 menit 2. Pencucian dengan menggunakan clorox 20% selama 7 menit 3. Pencucian dengan menggunakan clorox 10% selama 7 menit

4. Pembilasan dengan menggunakan air steril sebanyak 2 kali selama 10 menit 3.5.4 Pembuatan media

3.5.4.1 Pembuatan larutan stok

Pembuatan larutan stok dilakukan secara terpisah sesuai dengan pengelompokkannya yaitu larutan stok makro, stok mikro, stok fe-EDTA, stok vitamin, dan stok hormon (BAP). Adapun rincian komposisinya yaitu larutan stok makro terdiri dari KNO3, NH4NO3, CaCl2.2H2O, MgSO4. 7H2O, dan KH2PO4 (masing-masing dibuat secara terpisah). Larutan stok mikro terdiri dari campuran MNSO4. H2O, ZnsSO4. 7H2O, H3BO3, KI, NA2MoO4, 2H2O, CoCl. 6H2O, 4CuSO4. 5H2O. Larutan stok fe-EDTa terdiri dari campuran senyawa dari Thiamin HCl, Nicotinic Acid, Pyridoxin HCl, dan Glycin. Serta larutan stok hormon (BAP). Unsur hara yang telah ditimbang beratnya sesuai dengan yang telah ditentukan kemudian dilarutkan dengan 1 liter aquades. Setelah larutan stok selesai dibuat selanjutnya disimpan di lemari es.


(20)

3.5.4.2 Pembuatan media Murashige Skoog (MS) dengan larutan BAP

Pembuatan media dimulai dengan pembuatan larutan stok MS dan hormon BAP yang telah dipersiapkan sebelumnya. Untuk pelaksanaan pembuatan media yaitu sebagai berikut:

1. Menyiapkan 500 ml air aquadest dalam panci 2. Memasukkan gula pasir sebanyak 30 gram

3. Memipet dan memasukkan larutan A, B, C, D, E, F, dan myo inositol masing-masing 5 ml, vitamin sebanyak 4 ml, dan hormon (BAP) sebanyak 0,5 ml. 4. Menambahkan air aquadest hingga volume menjadi tepat 1000 ml.

5. Mengukur pH larutan yaitu 4, jika terlalu asam tambahkan NaOH dan jika terlalu basah tambahkan HCl.

6. Memasukkan 6 gram agar-agar ke dalam larutan tersebut. 7. Memasak larutan media dalam panci hingga mendidih.

8. Menuangkan media ke dalam botol kultur yang telah diisi kapas. 9. Menutup botol dengan plastik dan karet.

10.Mensterilkan media di dalam autoklaf pada suhu 121ºC-126ºC dan pada tekanan 1,5 atm selama 20 menit.

11.Memasukkan media-media yang sudah steril ke dalam plastik dan simpan di lemari penyimpan media.

3.5.4.3 Pembuatan media perlakuan

Pembuatan media perlakuan diawali dengan proses yang sama ketika membuat media kontrol (MS0+BAP0,5). Akan tetapi untuk media perlakuan pada larutan MS0+BAP0,5 ditambahkan colchicine sesuai dengan perlakuan yakni sebesar 0 ml/l (kontrol), 0,5 ml/l, 1,0 ml/l, 1,5 ml/l, dan 2,0 ml/l. Penambahan colchicine ini dilakukan setelah larutan MS0+BAP0,5 diencerkan dengan air aquadest hingga 1 liter dan dibagi ke dalam 5 bagian masing-masing sebanyak 200 ml.

Setelah masing-masing larutan selesai dibuat, larutan diukur pHnya dengan menggunakan pH meter. Pada umumnya teknik in vitro menggunakan pH media sebesar 5,6 - 5,8. Akan tetapi untuk perlakuan kultur biji jelutung ini menggunakan pH 4, sehingga yang awalnya pH media kisaran 6 diturunkan


(21)

dengan menambahkan HCl hingga pH tepat menunjukkan 4. Selanjutnya larutan media ditambahkan dengan agar-agar sebanyak 1,5 gr/ 200 ml (untuk tiap perlakuan) dan dimasak hingga mendidih. Setelah itu larutan dituang ke dalam botol-botol kultur yang sudah berisi kapas sebanyak ±10 ml. Lalu botol ditutup dengan rapat menggunakan plastik dan karet serta diberi label. Langkah selanjutnya yaitu melakukan sterilisasi media tersebut dalam autoclave pada suhu 121ºC-126 ºC pada tekanan 1,5 atm selama 20 menit.

3.5.5 Penanaman

Penanaman eksplan biji jelutung dilakukan di dalam laminar air flow cabinet. Setelah dilakukan sterilisasi eksplan kemudian eksplan dimasukkan ke dalam petridish dan lapisan tipis yang menutupi biji jelutung dilepaskan menggunakan pisau yang sudah disterilkan. Lalu biji jelutung ditanam ke dalam media kultur. Setelah selesai penanaman botol kultur ditutup kembali dengan plastik dan karet ditambah dengan alumunium foil dan dibungkuslalu disimpan di dalam ruang kultur yang suhu dan cahayanya telah diatur. Cahaya yang digunakan pada pagi hingga sore hari yaitu dari pantulan cahaya matahari, sedangkan pada sore hingga malam hari menggunakan cahaya lampu.

3.5.6 Pengamatan rancangan percobaan

Pengamatan dilakukan kurang lebih 11 minggu setelah tanam dan pengambilan data dilakukan setiap satu minggu sekali. Selama 11 minggu ini pengamatan dibagi ke dalam dua kategori. Pengamatan kategori pertama dilakukan pada awal penanaman hingga eksplan sudah tumbuh dan masih berada di media yang mengandung colchicine (untuk yang perlakuan). Pengamatan ini dilakukan selama 5 minggu. Lalu pengamatan kategori kedua dilakukan ketika eksplan (untuk yang perlakuan) yang semula tumbuh di media dengan campuran colchicine dipindahkan ke media pemulih (tanpa colchicine). Pengamatan ini dilakukan selama 6 minggu.

Adapun parameter yang diamati adalah: 1. Jumlah eksplan yang hidup


(22)

Penghitungan dilakukan dengan cara megnhitung jumlah eksplan yang masih bertahan hidup yang ditandai dengan eksplan yang masih berwarna seperti awal penanaman.

2. Jumlah eksplan yang mati

Penghitungan dilakukan dengan cara menghitung jumlah eksplan yang mati yang ditandai dengan eksplan yang mulai menghitam.

3. Tinggi eksplan

Pengukuran dilakukan dengan cara mengukur dari pangkal eksplan sampai titik tumbuh tertinggi.

4. Jumlah akar yang tumbuh

Penghitungan dilakukan dengan cara menghitung jumlah akar yang tumbuh pada eksplan.

5. Panjang akar yang tumbuh

Pengukuran dilakukan dengan cara mengukur dari pangkal akar eksplan sampai ujung akar.

6. Jumlah daun yang tumbuh

Penghitungan dilakukan dengan cara menghitung jumlah daun yang tumbuh. 7. Jumlah ruas baru eksplan

Penghitungan dilakukan dengan cara mengamati jumlah ruas baru pada eksplan yang sudah tumbuh.

3.6 Metode Analisis Data

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu konsentrasi colchicine. Konsentrasi yang digunakan adalah 0 mg/l (kontrol), 0,5 mg/l, 1 mg/l, 1,5 mg/l, dan 2 mg/l. Penelitian dilakukan dengan 5 perlakuan dengan masing-masing perlakuan diulang sebanyak 25 kali.

Model umum rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yij = µ + τi + εij : i = 1, 2, 3, 4, 5

j = 1, 2, 3, …. , 25

Yij = hasil pengamatan terhadap eksplan jelutung pada konsentrasi colchicine ke-i dan ulangan ke-j.


(23)

µ = nilai tengah umum (rata-rata populasi)

Τi = pengaruh konsentrasi colchicine ke-i.

ij = pengaruh galat percobaan pada eksplan jelutung ke-j yang memperoleh perlakuan konsentrasi colchicine ke-i.

Hipotesis dalam uji F:

Ho = Perlakuan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, jumlah akar, panjang akar, jumlah daun, dan ruas baru eksplan.

Hi = Perlakuan berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, jumlah daun, dan ruas baru eksplan.

Pengambilan keputusan uji F: F hitung > F tabel maka tolak Ho. F hitung = F tabel.

F hitung < F tabel maka terima Ho.

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan ANOVA. Apabila ada perbedaan nyata diantara perlakuan maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan. Program yang digunakan ialah SPSS 16.0.


(24)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Persentase Hidup Eksplan

Jumlah eksplan jelutung yang ditanam sebanyak 125 eksplan yang telah diinisiasi pada media kultur dan diamati selama 11 minggu setelah masa tanam (MST). Dari hasil pengamatan diperoleh 27 eksplan yang masih tetap bertahan dari 125 eksplan yang ditanam, sedangkan 98 eksplan mengalami kematian permanen yang ditandai dengan menghitamnya benih secara perlahan-lahan. Banyaknya jumlah eksplan yang mati ini kemungkinan besar dikarenakan oleh benih yang digunakan bisa dikatakan kurang baik mengingat kondisinya yang sudah 3 bulan dalam masa penyimpanan sehingga kondisinya kurang baik untuk dijadikan eksplan. Hal ini menjadi salah satu kendala yang ada ketika hendak melakukan budidaya jelutung, karena pada umumnya daya tumbuh benih akan berkurang dengan bertambahnya waktu (Tjitrosoepomo 2007).

Tujuan utama dari penyimpanan benih tanaman bernilai ekonomis ialah mengawetkan cadangan bahan tanam dari satu musim ke musim berikutnya (Justice & Bass 2002). Akan tetapi hal ini tidak bisa menjadi jaminan agar kualitas benih tetap baik setelah melalui proses penyimpanan tersebut. Begitu juga yang terjadi pada benih jelutung ini. Viabilitas benih dapat diperpanjang apabila benih disimpan pada kondisi yang terlindung dari panas, uap air, dan oksigen (Candolle 1832, diacu dalam Justice & Bass 2002). Proses kematian benih dapat terjadi secara perlahan-lahan sehingga nampaknya mustahil untuk menentukan kapan kehidupan benih itu berakhir. Justice dan Bass (2002), menyatakan bahwa pada suatu kelompok benih, proses kehidupan individu benihnya tidak berlangsung dalam laju yang sama antara satu dengan yang lainnya (pengaruh genetik). Jika benih disimpan pada berbagai keadaan, proses kehidupan benih berakhir pada waktu yang tidak sama, kadang kala enzim-enzim tertentu masih berfungsi untuk sementara meski benihnya telah mati. Begitu juga yang terjadi pada benih jelutung dalam penelitian ini. Meskipun mendapatkan perlakuan yang sama dalam proses penyimpanannya (pasca panen), tapi persentase kehidupan benih berbeda-beda setelah diberikan perlakuan secara in vitro. Hal ini diduga biji


(25)

jelutung yang digunakan sebagai eksplan mempunyai sifat genetik yang bervariasi dan tidak dapat dipastikan berasal dari induk pohon yang sama atau tidak.

Sifat benih yang mudah rusak dan cepat berkecambah (rekalsitran) ini sering kali menjadi kendala dalam pembibitan jelutung secara massal sehingga tidak dapat disimpan terlalu lama (Bathimi 2009). Baki dan Anderson (1970), diacu dalam Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa waktu penyimpanan dan kondisi yang tidak cocok mungkin akan menyebabkan hilangnya sifat selektif dan metabolit membran biji selama perkecambahan. Oleh karena itu, benih rekalsitran harus dipertahankan pada suhu yang tidak terlalu rendah, karena dapat menyebabkan chilling injury (kerusakan karena suhu rendah). Selain itu, tempat penyimpanan benih juga mempengaruhi kualitas benih yang akan ditanam. Menurut Barton (1966) diacu dalam Justice dan Bass (2002), benih yang cukup kering pada wadah tertutup biasanya dapat hidup lebih lama dibanding dengan benih serupa yang disimpan pada wadah terbuka pada suhu yang sama. Hal ini dikarenakan kadar air benih berubah-ubah sesuai dengan berubahnya kelembaban nisbi udara di penyimpanan. Benih hanya akan berkecambah jika mendapat syarat-syarat yang diperlukan, yaitu air, udara, cahaya, dan panas (selain kondisi genetik dan penyimpanan dari benih itu sendiri). Jika syarat itu tidak terpenuhi, maka benih tinggal benih, tumbuhan baru yang ada di dalamnya (lembaga) berada dalam keadaan tidur (latent) (Tjitrosoepomo 2007).

Kemampuan atau daya tahan suatu eksplan tumbuhan ditunjukkan oleh adanya persentase hidup eksplan tersebut. Apabila persentase hidup eksplan tumbuhan tinggi, maka eksplan tersebut mempunyai peluang hidup yang baik. Persentase hidup eksplan jelutung dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Persentase hidup eksplan jelutung

No. Perlakuan

Jumlah ulangan Hidup dengan

P=0 Hidup dengan P>0 Mati Persentase Hidup (%)

1 A 0 6 19 24

2 B 0 5 20 20

3 C 0 3 22 12

4 D 0 8 17 32

5 E 0 5 20 20

Total 0 27 98 20,8


(26)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah ulangan yang hidup pada setiap perlakuan menunjukkan pertumbuhan tinggi, akar, panjang akar, dan daun

yang lebih besar dari nol ( P>0). Persentase hidup eksplan jelutung yang diamati memiliki persen hidup yang tidak terlalu tinggi, yaitu 20,8%. Persentase hidup dari setiap perlakuan berbeda-beda karena proses kehidupan individu benihnya tidak berlangsung dalam laju yang sama antara satu dengan yang lainnya walaupun dalam satu kelompok individu sekalipun (Justice & Bass 2002).

(a)

(b)

Gambar 2 Kondisi eksplan; (a) eksplan tumbuh, (b) eksplan mati. 4.2 Tinggi Eksplan

Tinggi tanaman merupakan indikator pertumbuhan yang paling mudah untuk diukur (Lakitan 1996). Pada penelitian ini, pengukuran data tinggi pada eksplan tumbuhan jelutung dilakukan seminggu sekali selama 11 minggu. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan colchicine dengan konsentrasi yang berbeda-beda terhadap pertumbuhan tinggi, maka dilakukan analisis sidik ragam. Pengambilan data tinggi eksplan diambil dari pertumbuhan tinggi tunas dari pangkal hingga titik tumbuh tertinggi. Hasil analisis sidik ragam pertumbuhan tinggi eksplan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil analisis sidik ragam tinggi eksplan

Sumber keragaman

Derajat bebas

Jumlah kuadrat

Kuadrat tengah

F Hitung F 0,05

Perlakuan 4 32,167 8,042 3,367 2,820 Error 22 52,549 2,389


(27)

Hasil analisis sidik ragam untuk tinggi eksplan menunjukkan bahwa nilai F hitung lebih besar dari nilai F (0,05), sehingga keputusan yang diambil adalah menolak hipotesis nol, yang berarti pemberian konsentrasi colchicine terhadap pertumbuhan tinggi eksplan jelutung berpengaruh nyata. Menurut Gasperz (1991) apabila hasil sidik ragam memberikan hasil berpengaruh nyata, selanjutnya dilakukan uji Duncan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Tabel 3 di bawah ini menunjukkan uji lanjut (uji Duncan) terhadap pertumbuhan tinggi eksplan jelutung.

Tabel 3 Uji lanjut hasil analisis sidik ragam tinggi jelutung

Perlakuan Jumlah Ulangan (N) Rata-rata Pertumbuhan Tinggi (cm)

A 25 1,43a

B 25 4,02b

C 25 1,80a

D 25 3,35ab

E 25 4,18b

Keterangan: Huruf yang sama di belakang rataan menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa perlakuan B dan E memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kontrol, sedangkan perlakuan C dan D tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kontrol. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Histogram rata-rata tinggi eksplan (A: kontrol, B: colchicine konsentrasi 0,5mg/l, C: colchicine konsentrasi 1mg/l, D: colchicine konsentrasi 1,5mg/l, E: colchicine konsentrasi 2mg/l).

Gambar 3 menunjukkan bahwa adanya perbedaan hasil rata-rata pertumbuhan tinggi eksplan antara perlakuan kontrol (A) dengan perlakuan yang diberikan colchicine (perlakuan B, C, D, dan E). Kecenderungan eksplan yang diberikan perlakuan memberikan hasil rata-rata tinggi tunas yang lebih besar


(28)

dibandingkan tanpa perlakuan colchicine/kontrol. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa pada pemberian konsentrasi colchicine 2 mg/l (perlakuan E) memberikan hasil yang lebih tinggi dengan nilai rata-rata tinggi eksplan sebesar 4,18 cm, sedangkan hasil terendah diperlihatkan oleh eksplan yang tidak diberikan perlakuan/kontrol (A), yaitu sebesar 1,43 cm. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Griffiths, et al. (1999) diacu dalam Anggraito (2004) bahwa tanaman yang memiliki set kromosom lebih banyak dari biasanya menyebabkan meningkatnya ukuran sel, buah, bunga, stomata, dan sebagainya, sehingga secara otomatis berpengaruh terhadap fase pertumbuhan vegetatif eksplan, yaitu fase ketika eksplan membentuk organ-organ vegetatif (akar, batang, dan daun) (Lakitan 1996). Rata-rata tinggi tunas antar perlakuan atau terhadap kontrol cukup bervariasi, hal ini dikarenakan oleh kepekaan eksplan terhadap perlakuan colchicine berbeda-beda.

Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa pertumbuhan tinggi eksplan dengan perlakuan colchicine pada dua minggu pertama sama dengan pertumbuhan eksplan tanpa colchicine. Pada minggu ke-3 hingga minggu ke-6, eksplan dengan perlakuan colchicine menunjukkan adanya kemajuan pertambahan tinggi yang lebih besar dibandingkan eksplan yang tidak diberikan perlakuan. Lalu pada minggu ke-7 hingga minggu ke-11 eksplan dengan perlakuan colchicine pertambahan tingginya meningkat lebih tajam. Perbedaan laju pertumbuhan tinggi eksplan ini dikarenakan akibat adanya induksi colchicine yang menghambat pembelahan sel lalu menghasilkan kromosom ganda. Kromosom yang jumlahnya mengganda ini menyebabkan ukuran sel menjadi lebih besar yang terlihat dari penampakan luarnya yaitu tinggi eksplan yang diberi perlakuan colchicine menjadi jauh lebih tinggi.


(29)

Gambar 4 Grafik pertumbuhan tinggi eksplan (A: kontrol, B: colchicine konsentrasi 0,5mg/l, C: colchicine konsentrasi 1mg/l, D: colchicine konsentrasi 1,5mg/l, E: colchicine konsentrasi 2mg/l).

Pada pengamatan secara morfologi terlihat bahwa adanya pertumbuhan tinggi eksplan yang lebih besar pada perlakuan dengan colchicine daripada kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa berkas pengangkut xylem dan floem akan membesar akibat membesarnya sel (Wiendra et al. 2011). Hal ini dikemukakan oleh Griesbach (1990) diacu dalam (Wiendra et al. 2011) yang menyatakan bahwa berkas pengangkut yang membesar akibat membesarnya sel tanaman tentu sangat berpengaruh pada pengangkutan hasil asimilasi dan air yang lebih baik sehingga tanaman tumbuh lebih tinggi, batang lebih besar, dan waktu pembungaan lebih cepat. Sel yang membesar akan berbanding lurus dengan pertumbuhan eksplan, sehingga eksplan jelutung akan menjadi tanaman jelutung yang mempunyai bentuk fisik yang lebih besar dari biasanya. Hal ini tentu saja membawa keuntungan untuk dibudidayakan. Menurut Sclegel (2006) diacu dalam (Wiendra et al. 2011) batang yang besar dan kokoh pada tanaman memiliki nilai positif yaitu mampu menopang bunga dan buah sehingga tidak mudah rusak oleh pengaruh lingkungan seperti angin dan hujan. Sedangkan tanaman yang lebih tinggi memiliki nilai positif yaitu mampu berkompetisi untuk memperoleh cahaya matahari untuk keperluan fotosintesis yang sangat berperan di dalam kehidupan tumbuhan.


(30)

4.3 Jumlah Akar Eksplan

Organ yang pertama terbentuk pada kebanyakan tumbuhan adalah akar (Lakitan 1996). Pada penelitian ini, penghitungan jumlah akar yang tumbuh pada eksplan jelutung dilakukan setiap seminggu sekali selama 11 minggu. Penghitungan jumlah akar yang dihitung adalah jumlah akar yang tumbuh selama waktu pengamatan. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan colchicine dengan konsentrasi yang berbeda-beda terhadap jumlah akar, maka dilakukan analisis sidik ragam. Hasil analisis sidik ragam jumlah akar dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil analisis sidik ragam jumlah akar eksplan

Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah

F Hitung F 0,05

Perlakuan 4 96,574 24,144 3,341 2,820 Error 22 154,833 7,038

Total 26 251,407

Hasil analisis sidik ragam untuk jumlah akar eksplan menunjukkan bahwa nilai F hitung lebih besar dari nilai F (0,05) sehingga keputusan yang diambil adalah menolak hipotesis nol, yang berarti pemberian konsentrasi colchicine terhadap jumlah akar jelutung berpengaruh nyata. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji lanjut atau uji Duncan. Tabel 5 di bawah ini menunjukkan uji lanjut (uji Duncan) terhadap pertumbuhan jumlah akar eksplan jelutung.

Tabel 5 Uji lanjut hasil analisis sidik ragam jumlah akar eksplan

Perlakuan Jumlah Ulangan (N) Rata-rata Jumlah Akar

A 6 0,667a

B 5 4,400ab

C 3 2,000a

D 8 2,750ab

E 5 6,200b

Keterangan: Huruf yang sama di belakang rataan menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata

Dari Tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa hanya perlakuan E yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kontrol, sedangkan perlakuan A, B, dan D tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kontrol. Adanya jumlah akar yang berbeda pada perlakuan colchicine disebabkan oleh adanya perbedaan kepekaan terhadap pengaruh colchicine diantara spesies tanaman, bahkan diantara bagian tanaman yang berbeda, sehingga konsentrasi


(31)

akan berbeda pula (Poespodarsono 1988). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Histogram rata-rata jumlah akar eksplan (A: kontrol, B: colchicine konsentrasi 0,5mg/l, C: colchicine konsentrasi 1mg/l, D: colchicine konsentrasi 1,5mg/l, E: colchicine konsentrasi 2mg/l).

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa perlakuan yang diberikan konsentrasi colchicine memiliki rata-rata jumlah akar yang lebih banyak dibandingkan perlakuan tanpa pemberian colchicine/kontrol. Jumlah akar rata-rata terbesar terdapat pada perlakuan E (colchicine 0,5 mg/l) sebesar 6,2 dan terkecil terdapat pada perlakuan A (kontrol) yaitu sebesar 0,67. Adanya perbedaan jumlah akar eksplan antar perlakuan disebabkan oleh kepekaan eksplan yang berbeda terhadap perlakuan colchicine.

Untuk mendapatkan hasil tanaman yang baik maka pertumbuhan akar pun harus baik. Hal ini sesuai dengan konsep keseimbangan morfologi atau keseimbangan morfogenetik yang dikemukakan oleh Hellriegel pada tahun 1883 yang menekankan bahwa potensi pertumbuhan akar perlu dicapai sepenuhnya untuk mendapatkan potensi pertumbuhan bagian atas tanaman (Sitompul & Guritno 1995). Jika diartikan dalam pengertian sederhananya, konsep ini berarti bahwa semakin baik akar maka akan semakin tinggi hasil tanamannya. Dapat juga dikatakan bahwa pertumbuhan suatu bagian tanaman akan diikuti dengan pertumbuhan bagian lainnya (Sitompul & Guritno 1995).

Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa eksplan yang diberikan perlakuan colchicine menunjukkan pertumbuhan jumlah akar yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa perlakuan (kontrol). Dari awal penanaman eksplan hingga pengamatan minggu ke-3 belum menunjukkan adanya pertumbuhan akar, tapi


(32)

pada minggu ke-4 mulai terlihat pertumbuhan akar eksplan. Pada perlakuan E (colchicine konsentrasi 2 mg/l) pertumbuhan akarnya jauh lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan kontrol.

Gambar 6 Grafik pertumbuhan jumlah akar eksplan (A: kontrol, B: colchicine konsentrasi 0,5mg/l, C: colchicine konsentrasi 1mg/l, D: colchicine konsentrasi 1,5mg/l, E: colchicine konsentrasi 2mg/l).

Dapat dilihat bahwa pemberian perlakuan colchicine memberikan pengaruh yang besar dan beragam terhadap pertumbuhan jumlah akar eksplan jelutung. Hal ini dikarenakan konsentrasi colchicine yang digunakan bersifat sangat kritis, sehingga konsentrasi yang beragam ini menyebabkan pengaruh yang beragam juga (Eigsti & Dustin 1957).

4.4 Panjang Rata-rata Akar Eksplan

Pengukuran panjang akar jelutung dilakukan setiap seminggu sekali selama 11 minggu sama dengan penghitungan pada tinggi dan jumlah akar jelutung. Pengukuran panjang akar yang dilakukan dengan cara menghitung panjang akar dari pangkal akar hingga ujung akar. Untuk mengetahui besarnya pengaruh penggunaan colchicine terhadap panjang akar dapat dilihat pada Tabel 6.


(33)

Tabel 6 Hasil analisis sidik ragam panjang rata-rata akar eksplan

Sumber keragaman

Derajat bebas

Jumlah kuadrat

Kuadrat tengah

F Hitung F 0,05

Perlakuan 4 0,682 0,171 0,536 2,82 Error 22 6,999 0,318

Total 26 7,681

Hasil analisis sidik ragam untuk panjang akar jelutung menunjukkan bahwa nilai F hitung lebih kecil dari nilai F (0,05), sehingga keputusan yang diambil adalah menerima hipotesis nol. Ini berarti bahwa pemberian konsentrasi colchicine terhadap panjang akar jelutung tidak berbeda nyata. Oleh karena itu, tidak perlu dilakukan uji lanjut atau uji Duncan. Menurut Gasperz (1991), konsekuensi dari keputusan tersebut adalah pengujian lebih lanjut tidak perlu dilakukan. Untuk mengetahui hasil rata-rata pertumbuhan panjang akar jelutung dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Histogram rata-rata panjang akar eksplan (A: kontrol, B: colchicine konsentrasi 0,5mg/l, C: colchicine konsentrasi 1mg/l, D: colchicine konsentrasi 1,5mg/l, E: colchicine konsentrasi 2mg/l).

Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa perlakuan dengan pemberian colchicine memiliki hasil rata-rata panjang akar jelutung yang beragam. Hasil rata-rata panjang akar jelutung terpanjang adalah pada perlakuan E (colchicine 2 mg/l) yaitu 5,48 cm sedangkan hasil rata-rata panjang akar terkecil adalah pada kontrol yaitu 0,68 cm.

Pada pengamatan yang dilakukan, bisa dikatakan pengaruh colchicine berbanding lurus terhadap pertumbuhan jumlah dan panjang akar eksplan jelutung. Pada Gambar 8 dapat dilihat siklus pertumbuhan panjang akar eksplan


(34)

jelutung. Pertumbuhan hasil terbaik pada panjang akar eksplan terdapat pada perlakuan E dengan laju pertumbuhan panjang akar yang meningkat drastis pada minggu pengamatan ke-9 (Gambar 8). Hal ini diperkirakan dikarenakan adanya perbedaan pengaruh akibat perlakuan konsentrasi colchicine.

Gambar 8 Grafik pertumbuhan panjang akar eksplan (A: kontrol, B: colchicine konsentrasi 0,5mg/l, C: colchicine konsentrasi 1mg/l, D: colchicine konsentrasi 1,5mg/l, E: colchicine konsentrasi 2mg/l).

4.5 Jumlah Daun Eksplan

Pertumbuhan vegetatif dicirikan dengan berbagai aktivitas pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang berhubungan dengan pembentukan dan pembesaran daun, pembentukan meristem apikal atau lateral dan pertumbuhannya menjadi cabang-cabang, dan ekspansi sistem perakaran tanaman (Lakitan 1996). Daun merupakan suatu bagian tumbuhan yang penting dan pada umumnya tiap tumbuhan mempunyai sejumlah besar daun (Tjitrosoepomo 2007). Daun termasuk salah satu alat hara (organum nutrivum) pada tubuh tumbuhan selain batang dan akar. Pengolahan zat anorganik menjadi zat organik dilakukan di daun dengan bantuan sinar matahari tidak terkecuali juga pada jelutung dalam penelitian ini yang menggunakan sinar lampu sebagai pengganti sinar matahari.

Perhitungan jumlah daun eksplan jelutung dilakukan pada waktu bersamaan dengan perhitungan akar dan tinggi eksplan yaitu seminggu sekali selama 11 minggu pengamatan. Perhitungan jumlah daun yang dihitung adalah penambahan jumlah daun baru pada eksplan. Untuk mengetahui besarnya pengaruh penggunaan colchicine terhadap pertumbuhan jumlah daun, maka


(35)

dilakukan analisis sidik ragam. Hasil analisis sidik ragam pertumbuhan jumlah daun dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil analisis sidik ragam jumlah daun eksplan

Sumber keragaman

Derajat bebas

Jumlah kuadrat

Kuadrat tengah

F Hitung F 0,05

Perlakuan 4 1,230 0,307 0,332 2,82 Error 22 20,400 0,927

Total 26 21,630

Hasil analisis sidik ragam untuk pertumbuhan jumlah daun menunjukkan bahwa nilai F hitung lebih kecil dari nilai F (0,05), sehingga keputusan yang diambil adalah menerima hipotesis nol. Ini berarti bahwa pemberian konsentrasi colchicine terhadap pertumbuhan jumlah daun eksplan jelutung tidak berbeda nyata. Oleh karena itu, tidak perlu dilakukan uji lanjut atau uji Duncan sesuai dengan pernyataan Gasperz (1991). Untuk mengetahui hasil rata-rata pertumbuhan jumlah daun eksplan jelutung dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Histogram rata-rata pertumbuhan jumlah daun eksplan (A: kontrol, B: colchicine konsentrasi 0,5mg/l, C: colchicine konsentrasi 1mg/l, D: colchicine konsentrasi 1,5mg/l, E: colchicine konsentrasi 2mg/l). Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa perlakuan dengan pemberian konsetrasi colchicine memiliki rata-rata jumlah daun yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian colchicine/kontrol. Hasil rata-rata pertumbuhan jumlah daun terbesar adalah pada perlakuan D (konsentrasi colchicine 1,5 mg/l) dan pertumbuhan jumlah daun terkecil terdapat pada perlakuan A (kontrol) dan C (konsentrasi colchicine 1 mg/l) dimana sama sekali tidak tumbuh daun pada eksplan jelutung.


(36)

Daun yang tumbuh paling cepat terdapat pada eksplan perlakuan D (colchicine konsentrasi 1,5 mg/l). Pada perlakuan ini, selama masa pengamatan (11 minggu), daun eksplan sudah muncul 4 helai, sedangkan pada kontrol belum muncul sama sekali.

Gambar 10 Grafik pertumbuhan jumlah daun eksplan. (A: kontrol, B: colchicine konsentrasi 0,5mg/l, C: colchicine konsentrasi 1mg/l, D: colchicine konsentrasi 1,5mg/l, E: colchicine konsentrasi 2mg/l).

Karakteristik daun suatu tanaman bisa berubah sesuai dengan perlakuan tanaman yang diberikan pada tanaman tersebut (Sitompul & Guritno 1995). Begitu juga yang terjadi pada eksplan biji jelutung ini. Pada penelitian ini daun lebih cepat tumbuh dan pada perlakuan colchicine konsentrasi 1,5 mg/l, ukuran dan jumlahnya lebih besar daripada konsentrasi yang lainnya. Pada konsentrasi ini daun sudah mulai tumbuh di minggu ke-6. Sedangkan pada konsentrasi yang lain daun paling cepat tumbuh pada minggu ke-8 dan tidak tumbuh sama sekali pada kontrol dan konsentrasi 1mg/l. Menurut teori yang ada, tumbuhan yang diberikan perlakuan konsentrasi colchicine seharusnya mempunyai ukuran daun yang lebih besar dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberikan perlakuan konsentrasi colchicine. Akan tetapi, pada penelitian yang dilakukan, hal ini tidak bisa menjadi indikator pembanding, karena eksplan jelutung yang tidak diberikan perlakuan colchicine tidak tumbuh daun sama sekali. Namun, jika dilihat dari cepatnya pertumbuhan daun pada eksplan yang diberikan colchicine hal ini membuktikan bahwa pemberian konsentrasi colchicine memberikan pengaruh yang baik.


(37)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sumaryadi (2011), pemberian konsentrasi colchicine memberikan perbedaan yang nyata terhadap ukuran daun tanaman jelutung. Hal ini memiliki nilai positif bagi pertumbuhan tanaman dikarenakan daun yang lebih besar mengakibatkan reaksi fotosintesis berlangsung lebih maksimum. Pada daun yang lebih besar penyerapan sinar matahari berlangsung lebih maksimal dibandingkan daun yang ukurannya lebih kecil pada lingkungan intensitas cahaya matahari maksimal (Wiendra et al. 2011).

Pemberian colchicine secara statistik tidak berbeda nyata, namun perlakuan dengan pemberian colchicine memiliki hasil rata-rata lebih besar dibandingkan perlakuan tanpa colchicine di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arisumi (1973), yang menyatakan bahwa tanaman tetraploid mempunyai batang, bunga, dan daun yang lebih besar dan tebal dibandingkan dengan tanaman diploid.

4.6 Ruas Baru Eksplan

Perhitungan ruas baru pada eksplan jelutung dilakukan setiap seminggu sekali sama halnya dengan pengamatan pada akar, tinggi, dan daun eksplan jelutung selama 11 minggu. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan colchicine dengan konsentrasi yang berbeda-beda terhadap ruas baru maka dilakukan analisis sidik ragam. Hasil analisis sidik ragam pertumbuhantubas dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Hasil analisis sidik ragam ruas baru eksplan

Sumber keragaman

Derajat bebas

Jumlah kuadrat

Kuadrat tengah

F Hitung F 0,05

Perlakuan 4 0,367 0,092 0,877 2,82 Error 22 2,300 0,105

Total 26 2,667

Hasil analisis sidik ragam di atas menunjukkan bahwa nilai F hitung lebih kecil dari nilai F (0,05), sehingga keputusan yang diambil adalah menolak hipotesis nol, yang berarti pemberian konsentrasi colchicine terhadap ruas baru eksplan jelutung tidak berpengaruh nyata. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan uji lanjut atau uji Duncan. Untuk mengetahui hasil rata-rata ruas baru eksplan jelutung dapat dilihat pada Gambar 10.


(38)

Gambar 11 Histogram rata-rata ruas baru eksplan (A: kontrol, B: colchicine konsentrasi 0,5mg/l, C: colchicine konsentrasi 1mg/l, D: colchicine konsentrasi 1,5mg/l, E: colchicine konsentrasi 2mg/l).

Berdasarkan Gambar 11 dapat dilihat bahwa perlakuan dengan pemberian konsetrasi colchicine menunjukkan hasil yang beragam. Hasil rata-rata ruas baru eksplan terbesar adalah pada perlakuan D (konsentrasi colchicine 1,5 mg/l) sedangkan ruas baru eksplan terkecil terdapat pada perlakuan A (kontrol), B (konsentrasi colchicine 0,5mg/l) dan C (konsentrasi colchicine 1mg/l). Ruas baru eksplan serentak mulai tumbuh pada minggu ke-9 pengamatan (Gambar 12).

Gambar 12 Grafik ruas baru eksplan (A: kontrol, B: colchicine konsentrasi 0,5mg/l, C: colchicine konsentrasi 1mg/l, D: colchicine konsentrasi 1,5mg/l,E: colchicine konsentrasi 2mg/l).


(39)

4.7 Pengaruh Konsentrasi Colchicine pada Pertumbuhan Eksplan

Pengamatan tinggi, jumlah akar, panjang akar, jumlah daun, dan ruas baru eksplan biji jelutung dilakukan sebanyak 11 kali selama 11 minggu dengan intensitas pengamatan yang dilakukan seminggu sekali. Dari hasil pengamatan menunjukkan persentase hidup eksplan yang rendah, baik pada eksplan kontrol maupun yang diberikan perlakuan. Hal ini diduga disebabkan oleh pH media yang rendah, yaitu 4. tujuan awal dari penggunaan pH 4 ini adalah untuk menyesuaikan kondisi media dengan habitat alaminya. Akan tetapi setelah dicermati, penggunaan pH 4 ini menyebabkan ketersediaan N, P, K, dan S menjadi rendah serta bisa meningkatkan kegiatan Al sehingga berdaya meracun tanaman (Notohardiprawiro et al. 2006). Hal ini dikarenakan Fe dan Mn terlarutkan meningkat secara berlebihan, terbentuk asam butirat dari dekomposisi bahan organik yang tidak sempurna, dan terbentuk H2S yang bisa menghambat pernafasan akar dan mengganggu penyebaran hara (Notohardiprawiro et al. 2006). Selain itu, rendahnya persentase hidup eksplan juga diduga dikarenakan colchicine memberikan dampak negatif pada eksplan yang secara efektif menghentikan proses pembelahan sel sehingga eksplan mengalami kematian.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Pada tinggi dan jumlah akar eksplan hasil analisis sidik ragamnya menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata. Pertumbuhan tinggi dan jumlah akar yang diberikan perlakuan colchicine mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan eksplan tanpa colchicine. Sedangkan pada panjang akar, jumlah daun, dan ruas baru eksplan hasil analisis sidik ragamnya menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata. Akan tetapi berdasarkan hasil rata-rata panjang akar, pertambahan jumlah daun, dan ruas baru eksplan yang diberikan perlakuan colchicine mempunyai hasil rata-rata yang dominan lebih besar untuk perlakuan yang diberikan colchicine dibandingkan yang tidak diberikan perlakuan. Pada kondisi lapangannya pun dapat dilihat adanya perbedaan antara perlakuan yang diberikan colchicine dengan perlakuan tanpa colchicine, baik tinggi, jumlah akar, panjang akar, jumlah daun, dan ruas baru eksplannya. Berdasarkan pengamatan ini dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan eksplan jelutung yang diberikan perlakuan colchicine mengalami


(40)

perubahan sifat yang dikarenakan adanya mutasi kromosom sehingga mengakibatkan perubahan sifat pada tanaman (Poespodarsono 1988). Dapat dikatakan juga bahwa sifat-sifat fisiologi tanaman poliploid akan mengalami perubahan seiring dengan meningkatnya ukuran sel tanaman. Perubahan itu akan tampak pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara keseluruhan (Kuckuck et al. 1991 diacu dalam Wiendra et al. 2011).

Secara keseluruhan perlakuan konsentrasi colchicine memberikan pengaruh yang bervariasi terhadap pertumbuhan eksplan jelutung. Menurut Avery et al. (1947) diacu dalam Wiendra et al. (2011), adanya pengaruh yang bervariasi ini dikarenakan colchicine yang diberikan pada setiap individu tanaman tidak mempengaruhi semua sel tanaman, tetapi hanya sebagian sel-sel saja. Pengaruh yang berbeda pada sel-sel tanaman disebabkan colchicine hanya efektif pada sel yang sedang aktif membelah. Selain itu, metode pemberian colchicine pada tanaman juga berpengaruh pada besar kecilnya mutasi yang terjadi.

Sebagian besar eksplan yang diberi perlakuan colchicine mempunyai ukuran vegetatif yang relatif lebih besar dibanding eksplan kontrol, karena pada proses peningkatan poliploid yang berhasil diakibatkan oleh gagalnya proses mitosis menjelang terbentuknya dua anak sel, sedangkan kromosom sudah mengalami duplikasi maka isi sel tersebut mengandung jumlah kromosom dua kali lipat atau terjadi peningkatan ploidi. Tanaman yang telah meningkat ploidinya biasanya pertumbuhan awalnya akan lambat, tetapi pertumbuhan selanjutnya akan lebih besar ukurannya. Variasi ukuran vegetatif tanaman akibat perlakuan colchicine menunjukkan bahwa proses duplikasi kromosom atau peningkatan ploidi tidak seutuhnya berhasil 100%. Pengembangan tanaman melalui poliploidisasi dapat meningkatkan laju pertumbuhan 30-40% per musim diikuti dengan peningkatan hasil tanaman yang diperoleh (Biopact 2007 diacu dalam Zainudin 2010). Berdasarkan penjelasan tersebut diharapkan keberhasilan terbentuknya tetraploid pada tanaman jelutung nantinya akan diperoleh jenis jelutung tetraploid yang unggul karena secara kuantitas dan kualitas produksinya akan meningkat. Jenis tetraploid yang diperoleh memiliki vigor yang lebih baik, perakaran lebih panjang, dan lebih tebal.


(41)

Produksi panen yang dihasilkan dari tanaman tetraploid juga lebih unggul dibandingkan dengan jenis tetua diploidnya dan tanaman kontrol (pembanding). Menurut Zainudin (2010) dalam penelitiannya terhadap jarak pagar, secara ekonomis hasil tanaman tetraploid mempunyai potensi produksi minyak 62,5% lebih tinggi dibanding tetua diploidnya dan 39,2% lebih tinggi dibanding kontrol. Hal ini dikarenakan banyaknya kromosom sudah menjadi dua kali lipatnya, maka sel mempunyai kromosom dua kali lebih banyak dari sebelumnya (Sastrosumarjo dkk 2006).

Pada parameter jumlah daun dan ruas baru eksplan jelutung antara kontrol dengan perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Hal ini kemungkinan dikarenakan oleh konsentrasi colchicine yang diberikan maupun cara perlakuan kurang optimal sehingga tidak berpengaruh pada pertumbuhan daun dan ruas baru eksplan. Hal ini juga dapat dikarenakan oleh respon setiap tanaman terhadap pemberian colchicine yang berbeda-beda. Selain itu, bisa juga dikarenakan perlakuan colchicine yang diberikan belum secara efektif mengganggu pembentukan benang pembelahan karena konsentrasi colchicine yang terlarut di dalam sel masih terlalu sedikit, sehingga proses polimerisasi protofilamen pada miktotubula masih tetap berlangsung (Anggraito 2004). Menurut Mansyurdin et al. (2002) diacu dalam Ritonga dan Wulansari (2010). Menyatakan bahwa pemberian colchicine pada konsentrasi rendah belum bisa menghambat pembentukan benang-benang gelendong, sehingga proses pemisahan kromosom pada stadium anafase tetap berlangsung dan pada akhirnya sel tersebut akan tetap diploid. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suryo (2007) diacu dalam Sejati (2008) yang menyatakan bahwa bila konsentrasi larutan masih terlalu rendah atau lamanya waktu perlakuan belum cukup, maka sifat tetraploid tanaman belum akan tercapai. Akan tetapi tidak dapat dikatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi colchicine maka makin tinggi persentase sel yang tetraploid, karena tingginya konsentrasi colchicine akan mempertinggi persentase kematian kecambah pada tanaman (Mansyurdin et al. 2002, diacu dalam Ritonga & Wulansari).

Dalam melakukan perlakuan colchicine diperlukan kehati-hatian untuk menentukan konsentrasi dan lama perendaman yang tepat (Anggraito 2004). Hal


(42)

ini dikarenakan colchicine adalah senyawa antimitotik yang memiliki batas konsentrasi penggunaannya. Bila konsetrasi colchicine melampaui ambang batas, maka akan menjadi bahan yang bersifat racun bagi tanaman. Nasir (2002) diacu dalam Anggraito (2004) menyatakan bahwa dalam menggunakan colchicine, hal yang sering menjadi hambatan adalah sering kali tidak diketahui saat sel-sel tanaman secara simultan mengalami mitosis pada waktu yang sama karena sedang aktif membelah. Bila saat mitosis pada setiap jenis tanaman diketahui, maka perlakuan dengan colchicine akan lebih efektif.


(1)

(2)

Lampiran 1 Kondisi eksplan pada akhir pengamatan

A1 A2 A3 A4

A5 A6 B1 B2

B3 B4 B5 C1

C2 C3 D1 D2

D3 D4 D5 D6


(3)

Lampiran 1 (Lanjutan)

E3 E4 E5

Lampiran 2 Rekapitulasi rata-rata pertumbuhan tinggi eksplan (cm) Jenis

media

Minggu

ke-0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

A 0,00 0,00 0,00 0,07 0,10 0,10 0,15 0,45 0,53 0,70 0,70 1,43 B 0,00 0,00 0,00 0,12 0,48 0,48 0,74 1,62 2,10 3,16 3,78 4,18 C 0,00 0,00 0,00 0,17 0,40 0,40 0,47 1,03 1,17 1,40 1,63 1,80 D 0,00 0,00 0,00 0,20 0,63 0,63 0,78 1,20 1,36 2,01 2,13 3,15 E 0,00 0,00 0,00 0,10 0,52 0,52 0,72 0,94 1,56 1,84 2,64 4,02

Lampiran 3 Rekapitulasi rata-rata pertumbuhan jumlah akar eksplan Jenis

media

Minggu

ke-0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

A 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,33 0,50 0,67 0,67 B 0,00 0,00 0,00 0,00 0,80 1,00 1,60 2,80 3,00 4,20 5,60 6,20 C 0,00 0,00 0,00 0,00 0,67 0,67 1,00 1,00 1,00 2,00 2,00 2,00 D 0,00 0,00 0,00 0,00 0,25 0,38 0,63 1,13 1,50 2,13 2,75 2,75 E 0,00 0,00 0,00 0,00 1,00 1,00 1,20 2,00 3,40 3,80 4,40 4,40


(4)

Lampiran 4 Rekapitulasi rata-rata pertumbuhan panjang akar eksplan (cm) Jenis

media

Minggu

ke-0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

A 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,47 0,67 0,68 B 0,00 0,00 0,00 0,42 0,42 0,96 1,10 1,24 1,48 3,34 3,58 3,90 C 0,00 0,00 0,00 0,00 0,03 0,10 0,43 0,43 0,47 1,50 1,53 1,53 D 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 0,05 0,20 0,30 0,31 1,44 1,44 1,53 E 0,00 0,00 0,00 0,00 0,22 0,58 0,80 0,92 0,94 5,26 5,42 5,48

Lampiran 5 Rekapitulasi rata-rata pertumbuhan ruas baru eksplan Jenis

media

Minggu

ke-0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

A 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 B 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 C 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 D 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,00 2,00 2,00 E 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,00 0,00 0,00

Lampiran 6 Rekapitulasi rata-rata pertumbuhan daun eksplan Jenis

media

Minggu

ke-0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

A 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 B 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,00 2,00 2,00 C 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 D 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,00 2,00 2,00 4,00 4,00 E 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,00 2,00 2,00


(5)

RINGKASAN

RAFINA. Perlakuan Konsentrasi Colchicine pada Kultur In Vitro Biji Jelutung (Dyera costulata (Hook. f.)). Di bawah bimbingan EDHI SANDRA dan SISWOYO.

Di Indonesia terdapat dua jenis jelutung, yaitu Dyera costulata (Hook. f.) dan Dyera lowii (Hook. f). Getah dari jelutung ini biasa dimanfaatkan untuk industri-industri vital dunia seperti industri pesawat, otomotif, elektronik, pembungkus kabel, dan perabot rumah tangga, sedangkan untuk hasil kayunya pohon jelutung yang sudah tidak menghasilkan getah lagi ditebang untuk dijadikan bahan cetakan bangunan, meja gambar, kelom, ukiran, kayu lapis, dan pensil (Dephut 2008). Akan tetapi, pembibitan jelutung secara massal sering kali terkendala oleh sifat benih yang mudah rusak dan cepat berkecambah (rekalsitran) sehingga tidak dapat disimpan terlalu lama. Maka diperlukanlah teknologi penyimpanan benih dan perbanyakan vegetatif baik secara makro (stek) maupun mikro (kultur jaringan) guna penyediaan bibit jelutung dalam jumlah banyak (Bathimi 2009).

Melalui kultur in vitro maka dapat diperoleh bibit dalam jumlah yang besar dan sama, dapat diperbanyak secara kontinyu serta lebih efisien tempat dan waktu. Akan tetapi dalam kultur in vitro sendiri juga perlu adanya rekayasa agar mendapatkan hasil kultur yang jauh lebih baik dan dalam waktu yang cepat didapatkan hasil yang jauh lebih besar. Salah satu caranya adalah dengan menambahkan hormon yang berpengaruh pada percepatan pertumbuhan tanaman itu sendiri, yaitu hormon colchicine yang dapat menggandakan jumlah kromosom dari diploid menjadi tetraploid.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober hingga Desember 2011 di Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor (PPLH IPB). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengaruh pemberian colchicine dan konsentrasi colchicine yang baik dan tepat untuk pertumbuhan yang terbaik pada jelutung secara kultur in vitro. Konsentrasi colchicine yang digunakan adalah 0,5 mg/l, 1,0 mg/l, 1,5 mg/l, dan 2,0 mg/l. Pengambilan data kuantitatif berupa jumlah eksplan yang hidup, eksplan yang mati, tinggi eksplan, jumlah akar yang tumbuh, panjang akar, jumlah daun, dan ruas baru eksplan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi colchicine yang diberikan memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap tinggi eksplan dan jumlah akar yang tumbuh. Tinggi eksplan tertinggi ditunjukkan pada perlakuan E (2,0 mg/l) dengan tinggi 4,18 cm dan jumlah akar rata-rata terbanyak ditunjukkan pada perlakuan E (2,0 mg/l) sebanyak 6,20 akar. Sedangkan pemberian konsentrasi colchicine tidak berpengaruh nyata pada panjang akar, jumlah daun, dan ruas baru eksplan.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberian konsentrasi colchicine

yang memberikan hasil rata-rata tertinggi adalah pada perlakuan E (2,0 mg/l). Kata kunci: Biji, colchicine, Dyera costulata, in vitro.


(6)

SUMMARY

RAFINA. Concentration of Colchicine Treatment on In VitroCulture of Jelutung (Dyera costulata (Hook. f.)) Seed. Under Supervision of EDHI SANDRA and SISWOYO.

In Indonesia there are two types of Jelutung, those are Dyera costulata

(Hook. f.) and Dyera lowii (Hook. f). The sap of this jelutung commonly used for vital industries such as the world's aircraft industry, automotive, electronics, cable wrapping, and home furnishings. As for the results timber jelutung trees that did not produce sap anymore, cut down to create printed materials of the building, drawing table, clogs, engraving, plywood, and pencils (Ministry of Forestry 2008). However, mass-breeding jelutung often constrained by the nature of perishable seed and germinate quickly (recalcitrant) so it can not be kept too long and needed storage technology both seed and vegetative propagation in macro (cuttings) and micro (tissue culture) is needed to provision of seeds in large quantities jelutung (Bathimi 2009).

Through the in vitro culture of seeds can be obtained in large numbers and the same, can be reproduced continuously and more efficient place and time. However, in vitro culture itself is also the need for engineering to get the culture results are much better in a fast and obtained results that were far greater. One way is to add a hormone that affects the accelerating growth of the plant itself, the hormone colchicine to double the chromosome number from diploid to tetraploid.

The study was conducted in October to December 2011 at the Tissue Culture Laboratory of Environmental Research Center, Bogor Agricultural University (PPLH IPB). The purpose of this study was to identify the effect of giving the concentration of colchicine and colchicine is good and right for the best growth in jelutung in vitro culture. Colchicine concentration used was 0.5 mg / l, 1.0 mg / l, 1.5 mg / l, and 2.0 mg / l. Quantitative data retrieval in the form of the living explants, explants die, high explants, a growing number of roots, root length, leaf number, and a new segment explants.

The results of this study indicate that a given concentration of colchicine significantly different influence on the high number of root explants and growing. High highest explant shown in treatment E (2.0 mg / l) with a height of 4.18 cm and the average number of roots of most treatments is shown in E (2.0 mg / l) of 6.20 roots. While the administration did not significantly affect the concentration of colchicine on root length, leaf number, and a new segment explants.

The conclusion of this study is the gift of colchicine concentration that gives the highest average was in treatment E (2.0 mg / l).