Etnobotani Jelutung (Dyera Costulata (Miq.) Hook F) Pada Masyarakat Suku Anak Dalam Di Hutan Pt Restorasi Ekosistem Indonesia (Pt Reki), Jambi

ETNOBOTANI JELUTUNG (Dyera costulata (Miq). Hook F) PADA
MASYARAKAT SUKU ANAK DALAM DI HUTAN PT RESTORASI
EKOSISTEM INDONESIA (PT REKI), JAMBI

RAHILA JUNIKA TANJUNGSARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Etnobotani Jelutung
(Dyera costulata (Miq.) Hook F) pada Masyarakat Suku Anak Dalam di Hutan PT
Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI), Jambi adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2016

Rahila Junika Tanjungsari
E351140246

RINGKASAN
RAHILA JUNIKA TANJUNGSARI. Etnobotani Jelutung (Dyera costulata
(Miq.) Hook F) pada Masyarakat Suku Anak Dalam di Hutan PT Restorasi
Ekosistem Indonesia (PT REKI), Jambi. Dibimbing oleh ERVIZAL AM. ZUHUD
dan ISKANDAR ZULKARNAIN SIREGAR.
Jelutung (Dyera costulata) merupakan native spesies yang berasal dari
Sumatera dan Kalimantan. Jelutung memiliki banyak kegunaan, kegunaan utama
dari jelutung adalah getahnya sebagai bahan baku industri. Suku Anak Dalam
pernah memanfaatkan jelutung di PT-REKI. Populasi jelutung di habitat alaminya
telah mengalami penurunan serta pasar jelutung sudah tidak menjanjikan lagi.
Usaha-usaha yang dilakukan masih belum banyak didokumentasikan termasuk
aspek etnobotani, kondisi populasi serta tempat tumbuh yang sesuai. Oleh karena
itu dilakukan penelitian ini dengan tujuan untuk (1) mengidentifikasi etnobotani

jelutung (Dyera costulata) oleh Suku Anak Dalam (SAD), Jambi yang meliputi
nilai budaya, pemanfaatan atau penggunaan, budidaya, dan pengelolaan jelutung
(2) menduga potensi populasi jelutung (Dyera costulata) dan ekologi jelutung
meliputi kondisi tanah, suhu dan kelembaban, sebaran spasial jelutung dan
asosiasi interspesifik jelutung, dan keanekaragaman tumbuhan disekitarnya.
Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni 2015 di hutan PT REKI,
Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi. Metode pengumpulan data yaitu dilakukan
dengan wawancara kepada masyarakat SAD dan analisis vegetasi pada plot
pengamatan seluas 2 ha. Analisis data mengenai etnobotani jelutung dilakukan
secara deskriptif. Analsis data vegetasi dilakukan dengan menggunakan kerapatan
relatif, Indeks Shanon-Wiener, Indeks Margaleff, Indeks Evenness, Indeks
Morisita, dan Indeks Jaccard.
Hasil penelitian menunjukaan bahwa, saat ini masyarakat SAD di hutan PT
REKI tidak lagi menyadap jelutung dikarenakan pasar jelutung yang tidak ada dan
tidak menjanjikan lagi. Jelutung (Dyera costulata) memiliki kegunaan sebagai
obat bisul dan sakit gigi, bahan baku papan, dan getahnya sebagai komoditi
ekonomi. Masyarakat SAD memiliki pengetahuan dan keterampilan mengenai
ekologi, pemanfaatan, pengolahan, hingga pemasaran jelutung.
Kondisi tegakan jelutung di alam dalam kategori kondisi tidak baik. Hal ini
dikarenakan kurva spesies tidak menunjukkan kurva J terbalik. Anakan jelutung

jumlahnya sedikit sehingga mengancam keberadaan populasi. Jelutung dapat
tumbuh pada suhu 23oC -28oC dan kondisi tanahyang termasuk dalam kategori pH
sangat rendah dan miskin hara.Kekayaan spesiestingkat pohon lebih tinggi dari
tiap tingkat pertumbuhan lainnya.Berdasarkan perhitungan Indeks Morisita
sebaran spasial tumbuhan jelutung adalah merata. Jelutung berasosiasi dengan
Antidesma cuspidatum dengan indeks asosiasi Jaccard sebesar 0.2308.
Berdasarkan informasi etnobotani dan ekologi, diusulkan strategi konservasi
jelutung yang dapat dilakukan adalah konservasi bersama masyarakat SAD,
agroforestri jelutung, dan perbaikan pemasaran getah jelutung. Dengan begitu
jelutung (Dyera costulata) dapat di konservasi dan berkontribusi bagi lingkungan
(ekologi), sosial, dan ekonomi masyarakat SAD yang berkelanjutan.
Kata kunci: jelutung, konservasi, Suku Anak Dalam (SAD)

SUMMARY
RAHILA JUNIKA TANJUNGSARI. Ethnobotany of Jelutung (Dyera
costulata (Miq.) Hook F) on Suku Anak Dalam at forest PT REKI, Jambi.
Supervised by ERVIZAL AM. ZUHUD and ISKANDAR ZULKARNAIN
SIREGAR.
Jelutung (Dyera costulata (Miq.) Hook. F) is a native species from Sumatra
and Borneo and it has various benefit. Suku Anak Dalam is one of the traditional

community that was utilized jelutung in forest PT REKI. The main use of jelutung
is the latex as industrial raw materials. Jelutung population in natural habitat has
decreased and the latex is no longer available in market. Jelutung conservation
effort were ethnobotany aspect, and population and habitat characteristic not yet
documented. The objectives of this research were (1) identify ethnobotany
jelutung (Dyera costulata) by Suku Anak Dalam (SAD), contains cultural value,
utilization or use, cultivation and management jelutung (2) estimate the potential
population jelutung (Dyera costulata) and ecology jelutung include ground
conditions , temperature and humidity, spatial distribution jelutung, interspecific
associations jelutung, plant diversity around jelutung habitat.
The study was conducted in May-June 2015 at forest PT REKI, Batanghari
district, Jambi. Data were collected by interview and vegetation analysis using
sample plot of 2 ha. Data analysis of ethnobotany used deskriptive analysis.
Vegetation data analysis used relative density, Shanon-Wiener index, Margaleff
index, Evenness index, Morisita index, and Jaccard index.
Results in ethnobotany aspect showed that nowadays, SAD community is
not tapping for commercial purpose due to latex markets in Jambi dropped. SAD
people used jelutung’s timber as raw materials for furniture. Mostly SAD people
used latex to treat abscess, toothache, and as economic commodity. SAD
community have traditional knowledge and skill about ecology, utilization,

management, and processing of jelutung.
Jelutung stand condition in forest PT REKI indicate unpleasant condition,
because it was not following J-curve. No many seedling jelutung in forest, so the
population are threatened. Jelutung can grow in temperature condition 23oC -28oC
and soil condition that are low pH and poor of nutrient. Species richness tree level
was higher than the growth rate of the other. Based on Morisita index, spatial
distribution of jelutung is uniform. Jelutung associating with Antidesma
cuspidatumand Jaccard index of0.2308.
Based on study about ethnobotany and ecology of jelutung, formulated
conservation strategies of jelutung were conservation with SAD community,
agroforestry of jelutung and improve regulation jelutung markets in Jambi.
Jelutung of the study could be used to local conservation and management for
sustainable used.So that, jelutung can be conserved and contibute for
environment, social and economic of SAD community.
Keywords : conservation, jelutung, Suku Anak Dalam

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ETNOBOTANI JELUTUNG (Dyera costulata (Miq). Hook F) PADA
MASYARAKAT SUKU ANAK DALAM DI HUTAN PT RESTORASI
EKOSISTEM INDONESIA (PT REKI), JAMBI

RAHILA JUNIKA TANJUNGSARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

: Prof. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS

PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karuniaNya sehingga karya tulis ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yangdilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2015 ini ialah Etnobotani
Jelutung (Dyera costulata (Miq.) Hook F) pada Masyarakat Suku Anak Dalam di
Hutan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI), Jambi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Ervizal AM. Zuhud
MS dan Bapak Prof Dr Ir Iskandar Z. Siregar M.For.Sc selaku pembimbing dan
telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
CRC 990, M. Adlan Ali, S.Hut, M. Ahda Agung Arifian, S.Hut, Bang Gatot
Mandarsih, Pak Uda Sakirman, Staff dan seluruh karyawan PT REKI, ayah, ibu,
dan keluarga, sahabat perjuangan Fasttrack 47, dan sahabat KVT 2013 atas segala
doa, kasih sayang, dan dukungannya.
Semoga penelitian ini bermanfaat.


Bogor, Oktober 2016

Rahila Junika Tanjungsari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Alur Pikir Penelitian

1
1
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Jelutung (Dyera costulata)
Sosio - budaya Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD)

4
4
6

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian

Alat dan Bahan
Jenis Data yang Dikumpulkan
Metode Pengumpulan Data
Analisis Data

10
10
10
10
11
13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Etnobotani Jelutung oleh Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD)
Potensi Populasi Jelutung di Hutan PT REKI
Pengetahuan Mengenai Ekologi Jelutung
Upaya Konservasi dan Pengembangan Jelutung di Hutan PT REKI

17
17

26
28
35

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

39
39
40

DAFTAR PUSTAKA

41

LAMPIRAN

47

RIWAYAT HIDUP

58

DAFTAR TABEL
1 Wilayah penyebaran Batin Sembilan
2 Jenis data yang dikumpulkan
3 Tabel kontingensi asosiasi antar spesies
4 Demografi masyarakat SAD di PT REKI tahun 2013
5 Ciri morfologi jelutung berdasarkan pengetahuan masyarakat SAD
6 Sifat tanah tempat tumbuh jelutung
7 Unsur hara mikro tanah pada tempat tumbuh jelutung
8 Kerapatan tertinggi tumbuhan tiap tingkat pertumbuhan
9 Perhitungan indeks Morisita
10 Asosiasi jelutung dengan spesies tumbuhan dominan
11 Nilai Index Prioritas Konservasi Lokal

8
11
16
17
18
28
29
31
33
35
35

DAFTAR GAMBAR

1 Alur pikir penelitian
2 a. Daun b. Bunga c. Penampang dalam bunga d. Buah
3 Peta sebaran jelutung (Dyera spp.) di Asia Tenggara
4 Ekspor getah jelutung ke Amerika Serikat tahun 1924 – 1961
5 Silsilah asal-usul Batin Sembilan
6 Peta Lokasi Penelitian
7 Bentuk dan ukuran plot analisis vegetasi
8 Persentase pemanfaatan jelutung
9 (a) Eurycoma longifolia (b) Scaphium macropodum (c) Dialium indum
(d) Aquilaria microcarpa
10 Pola sadapan jelutung
11 Diagram alir pengolahan getah jelutung tahu
12 Proses pemasakan getah jelutung press
13 Alur perdagangan getah jelutung
14 Potensi jelutung
15 Sebaran kelas diameter pohon jelutung
16 Data suhu, kelembaban, dan curah hujan Provinsi Jambi 2014-2015
17 Indeks kekayaan spesies
18 Indeks keanekaragaman
19 Indeks kemerataan spesies
20 Sebaran titik jelutung
21 Rancangan alur perdagangan getah jelutung di PT REKI

3
4
5
6
7
10
12
19
21
23
24
24
25
26
27
30
32
32
33
34
39

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Tabulasi INP tingkat semai
Tabulasi INP tingkat pancang
Tabulasi INP tingkat tiang
Tabulasi INP tingkat pohon
Daftar tumbuhan pangan yang dimanfaatkan
Daftar tumbuhan obat yang dimanfaatkan

47
49
50
52
54
55

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jelutung (Dyera costulata) termasuk famili Apocynaceae yang merupakan
tumbuhan spesies lokal yang tersebar secara alami di Sumatera dan Kalimantan.
Jelutung merupakan spesies pohon yang memiliki banyak kegunaan. Jelutung
menghasilkan getah (latex) yang digunakan sebagai bahan baku permen karet,
isolator kabel (Sofiyuddin et al. 2012) dan bahan campuran softdrink. Kayu
jelutung memiliki nilai ekonomi yang tinggi (Sofiyuddin et al. 2012). Kayu
jelutung dimanfaat sebagai bahan baku kayu lapis, pembuatan kertas, industri
pensil, peti kemas, moulding, papan tulis, perabot rumah dan lain sebagainya
(Arlanda et al. 2004). Selain itu, ekstrak daun jelutung mengandung antioksidan
(Subhadhirasakul et al. 2003), sebagai analgesik dan mengandung bahan kimia
potensial quercetin sebagai
hypoallergenic, anticancer, antiosteoporosis,
antiinflammatory, antispasmodic, dan antihepatotoxyc (Reanmongkol et al.
2002). Jelutung darat (Dyera costulata) dapat berperan sebagai penghambat alergi
(Kouji et al. 1992). Akar dari jelutung darat (Dyera costulata) merupakan bagian
utama tumbuhan yang dapat mengabsorbsi tembaga (Cu) yang mengkontaminasi
tanah (Majid et al. 2012).
Suku Anak Dalam (SAD) merupakan masyarakat lokal yang sampai saat ini
masih hidup di hutan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI), Provinsi
Jambi. Masyarakat SAD telah lama memanfaatkan jelutung terutama getahnya
yang bernilai ekonomi. Getah jelutung sejak tahun 1905 tercatat telah menjadi
barang komoditi dunia dan telah diimpor ke Amerika Serikat (Holt 1938 diacu
dalam Williams 1963). Menurut Williams (1963) Kalimantan dan Sumatera
merupakan wilayah penting dari produksi getah jelutung. Provinsi Jambi
merupakan salah satu provinsi yang pernah mensuplai getah jelutung untuk
perdagangan dunia. Getah jelutung dari Provinsi Jambi di Impor ke Singapura dan
Amerika Serikat (Sofiyudin et al. 2012). Pasokan getah dari Provinsi Jambi ini
diperoleh, salah satunya dari masyarakat SAD yang tersebar di wilayah Jambi.
Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat lokal dalam skala kecil dapat
berperan dalam perdagangan getah dunia.
Permasalahan yang terjadi saat ini adalah, produksi getah jelutung di Jambi
terhenti sejak tahun 2008 (Tata et al. 2015a ; Sofiyudidin et al. 2012). Pasar
terbuka jelutung yang sudah tidak ada lagi menyebabkan masyarakat SAD tidak
memanfaatkan jelutung lagi. Hal tersebut dapat menyebabkan nilai manfaat dari
jelutung menurun dalam pandangan masyarakat dan terputusnya pengetahuan
lokal yang diturunkan ke generasi berikutnya. Selain itu, permasalahan lainnya
adalah tegakan jelutung di hutan sudah sulit ditemukan karena adanya perubahan
fungsi lahan menjadi hutan tanaman industri, kebun sawit, dan kebun karet.
Menurut Sofiyudin dan Janudianto (2013) eksploitasi hutan menyebabkan pohon
jelutung hanya tersisa di hutan lindung.
Permasalahan yang berkaitan dengan jelutung meliputi pasar jelutung yang
sudah tidak ada lagi dan populasi jelutung yang kian menurun mengharuskan
dilakukannya upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut. Usaha-usaha yang
dilakukan masih belum banyak didokumentasikan termasuk aspek etnobotani,

2
kondisi populasi serta tempat tumbuh yang sesuai. Oleh karena itu dilakukan
penelitian ini dengan tujuan untuk mengidentifikasi etnobotani jelutung (Dyera
costulata) oleh Suku Anak Dalam (SAD), Jambi yang meliputi nilai budaya,
pemanfaatan atau penggunaan, budidaya, dan pengelolaan jelutung (Dyera
costulata), menghitung potensi populasi jelutung (Dyera costulata) dan
karakteristik habitatnya dan merumuskan strategi konservasi di PT REKI.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi etnobotani jelutung (Dyera costulata) oleh Suku Anak Dalam
(SAD), Jambi yang meliputi nilai budaya, pemanfaatan atau penggunaan,
budidaya, dan pengelolaan jelutung (Dyera costulata).
2. Menduga potensi populasi jelutung (Dyera costulata) dan ekologi jelutung
meliputi kondisi tanah, suhu dan kelembaban, sebaran spasial jelutung dan
asosiasi interspesifik jelutung, dan keanekaragaman tumbuhan disekitarnya.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah menyediakan data dan informasi yang
dapat berguna terkait potensi dan cara pemanfaatan jelutung (Dyera costulata)
serta nilai guna dan manfaat keanekaragaman spesies tumbuhan di habitat
Jelutung berdasarkan pengetahuan dan kearifan tradisional masyarakat Suku Anak
Dalam. Data dan informasi ini dapat menjadi dasar dan bahan pertimbangan
dalam konservasi dan manajemen PT REKI yang berbasis partisipasi masyarakat
lokal melalui pengembangan pelestarian dan pemanfaatan jelutung (Dyera
costulata) dan keanekaragaman spesies tumbuhan lokal yang bernilai guna
ekonomi bagi masyarakat Suku Anak Dalam.
Alur Pikir Penelitian
Keberhasilan konservasi sumberdaya alam tidak terlepas dari keterlibatan
masyarakat yang berinteraksi dengan sumberdaya alam. Masyarakat lokal yang
telah lama hidup dan berinteraksi dengan alam memiliki pengetahuan dan kearifan
tradisional dalam pengelolaan sumberdaya alam. Oleh karena itu, pelibatan
masyarakat dalam upaya konservasi baik untuk dilakukan dalam rangka
mendorong berhasilnya upaya konservasi.
Konsep Tri Stimulus Amar Konservasi merupakan konsep mengenai
pendorong utama sikap dan aksi konservasi dari pelaku konservasi. Stimulus yang
dimaksud adalah sebagai pendorong kuat kepada sikap dan perilaku masyarakat
untuk terwujudnya aksi konservasi secara kongkrit di lapangan (Amzu 2007).
Uraian ketiga stimulus tersebut yaitu:
1. Stimulus alamiah. Nilai kebenaran yang berasal dari alam, hal-hal yang
diperlukann untuk keberlanjutan sumberdaya alam sesuai dengan
bioekologinya.
2. Stimulus manfaat. Manfaat bagi manusia seperti, manfaat obat, manfaat
ekonomi, manfaat biologis/ekologis dan lainnya.
3. Stimulus religius. Nilai-nilai kebaikan, terutama nilai-nilai agama, kerelaan,
keikhlasan, kepuasan batin, dan lainnya.

3
Aspek ekologi merupakan kajian penting dalam konservasi spesies.
Disamping itu, masyarakat juga termasuk komponen yang berinteraksi dengan
lingkungan, khususunya masyarakat yang di dalam dan sekitar hutan. Masyarakat
lokal di manapun memiliki pengetahuan mengenai lingkungannya. Menurut
Marten (1986) secara garis besar kearifan tradisional terdiri dari dua kategori yaitu
pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi yang terdapat pada cerita
rakyat atau upacara ritual budaya dan yang kedua adalah pengetahuan berdasarkan
pengalaman empiris yang dialami masyarakat. Informasi yang dikumpulkan oleh
individu dapat menjadi pengetahuan yang dimiliki oleh anggota kelompok lainnya
seiring berjalannya waktu. Pola yang lebih besar yaitu pengetahuan sosial bersama
dapat menyediakan kerangka kontekstual dimana pengamatan empiris individu
dapat diartikan dan diterjemahkan ke dalam pengetahuan (Marten 1986).
Pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat SAD Bathin Sembilan akan
dijadikan pendekatan untuk konservasi jelutung. Alur pikir penelitian tersebut
disajikan pada Gambar 1:
Potensi Jelutung (Dyera costulata)
Manfaat:
1. Kayu: bahan pensil,
papan dll
2. Getah: bahan baku
industri
3. Daun: obat

Ancaman
1. Populasi menurun
2. Kebakaran hutan
3. Pasar tidak ada
lagi

Upaya Konservasi
Ekologi

Etnobotani
Tri stimulus Amar Konservasi

Alamiah/ekologi:
 Potensi populasi
 Kondisi
vegetasi/ biotik
 Kondisi abiotik
(tanah, iklim)

Manfaat:
 Pemanfaatan oleh SAD
 Pengetahuan
Pengolahan oleh SAD
 Pengetahuan
Pengelolaan oleh SAD

Gambar 1 Alur pikir penelitian

Religius/rela:
 Nilai-nilai
budaya
masyarakat
yang terkait
dengan
jelutung

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Jelutung (Dyera costulata)
Menurut Burkill (1935) jelutung memiliki berbagai nama lokal. Di
Semenanjung Malaya dan Kalimantan jelutung disebut juga jelutong atau
jeluntong. Di Borneo juga jelutung biasa disebut pantung. Di Sumatera disebut
dengan labuwai dan melabuwai. Jelutung darat (Dyera costulata) disebut juga
jelutong daun lebar, jelutong pipit, dan jelutong daun merah. Getah dari jelutung
biasa disebut getah jelutung atau getah susu. Taksonomi dari kedua spesies
tersebut adalah sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Apocynales
Family
: Apocynaceae
Genus
: Dyera
Spesies
: Dyera costulata
Menurut Boer dan Ella (2001) perbedaan Dyera costulata dan Dyera
polyphylla yaitu pohon Dyera costulata memiliki tinggi sampai 65 m, tinggi bebas
cabang kurang lebih mencapai 30 m, diameter pohon dapat mencapai 250 cm,
kulit batang kehitaman, daun berbentuk bulat panjang sampai obovate atau
menyempit. Sedangkan, pohon Dyera polyphylla dapat mencapai tinggi sampai 35
m, bentuk batang lurus, diameter mencapai 95 cm, kulit batang keputih-putihan,
daun berbentuk spatulate-elliptical, akar lutut pneumatophore (Middleton dan
Edinburgh 2007).

Sumber: Flora Malesiana, Ser. I, Vol. 18 (2007)

Gambar 2 a. Daun b. Bunga c. Penampang dalam bunga d. Buah
Sebaran jelutung di dunia hanya tersebar di Peninsular Malaysia, Sumatera
dan Borneo (Williams 1963). Jelutung menyebar pada berbagai tempat di dunia
yaitu di Thailand, Malaysia, dan Singapura. Di Indonesia jelutung menyebar di
Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Aceh, Kalimantan Tengah,

5
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sulawesi (Arlanda et al. 2004).
Penyebaran jelutung di dunia yang terbatas ini menjadikan Indonesia berpotensi
tinggi untuk menjadi produsen getah jelutung untuk seluruh dunia. Di Sumatera
sentra produksi getah jelutung tersebar di Jambi, Riau, dan Palembang, sedangkan
di Kalimantan di Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan
Selatan. Menurut Williams (1963) Kalimantan dan Sumatera merupakan wilayah
penting dari produksi getah jelutung. Dahulu, sebelum industri karet (Hevea
brasilliensis) marak, jelutung merupakan sumber karet dari perdagangan dunia,
jelutung yang diekspor dari Indonesia dijual dengan nama “Dead Borneo” atau
“Pontianak (Burkill 1935; Williams 1963).

Keterangan:
= Dyera costulata
Sumber: Williams (1963)

= Dyera lowii syn Dyera polyphylla

Gambar 3 Peta sebaran jelutung (Dyera spp.) di Asia Tenggara
Getah jelutung sejak tahun 1920-an digunakan untuk bahan baku permen
karet dan tahun 1940-an, getah jelutung telah menggantikan posisi lateks yang
digunakan untuk permen karet yang berasal dari pohon Achras sapota yang
berasal dari Amerika Tengah. Berkembangnya industri permen karet berpengaruh
signifikan terhadap produksi untuk memenuhi permintaan getah jelutung
(Sofiyudin dan Janudianto 2013).
Menurut Holt (1938) yang diacu dalam Williams (1963), impor getah
jelutung yang dilakukan oleh Amerika Serikat pada periode 1905–1919
merupakan puncak produksi dunia dari getah jelutung, dalam beberapa tahun
produksi getah dapat mencapai 50 000 000 pounds. Ekspor getah jelutung ke
Amerika Serikat mengalami penurunan yang signifikan sejak tahun 1957.
Penurunan produksi getah jelutung dapat disebabkan oleh hilangnya areal
produktif dalam memproduksi getah, setelah lama dieskploitasi, persaingan antara
hutan alam dan hutan tanaman, dan terutama adanya pengembangan sumber

6
penghasil getah lain, khususnya di Amerika Tropis (Williams 1963). Ekspor getah
jelutung dari tahun 1924-1961 ke Amerika Serikat disajikan pada Gambar 4.
9000

Jumlah getah (ton)

8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
1924 1925 1926 1927 1928 1929 1930 1931 1932 1933 1957 1958 1959 1960 1961
Sumber: Burkill (1935); Williams (1963)

Gambar 4 Ekspor getah jelutung ke Amerika Serikat tahun 1924 – 1961
Jelutung yang berasal dari wilayah Malaya memiliki reputasi baik di pasaran
dan telah memegang harga tertinggi daripada produksi dari negara lain, terutama
Borneo dan Sarawak (Burkill 1935). Ekspor getah jelutung dari Indonesia ratarata sekitar 3600 ton tiap tahunnya selama periode 1988-1993, tetapi ekspor
tahunan berfluktuasi secara tajam antara 1200-6500 ton (Boer dan Ella 2001).
Provinsi Jambi memiliki sejarah pasar jelutung di Indonesia. Berdasarkan data
BPS Jambi yang dikutip dalam Tata et al. (2015a) menunjukkan bahwa produksi
getah jelutung pada tahun 1985 hingga tahun 2007. Tahun 1989 dan tahun 1999
produksi getah jelutung di Provinsi Jambi menunjukkan angka yang paling besar
sepanjang 19 tahun. Menurut Sofiyudin dan Janudianto (2013) produksi getah
jelutung di Jambi mengalami penurunan sejak dua dekade terakhir. Produksi
jelutung dari hutan alam berhenti pada tahun 2007, sedangkan penyadap
dilaporkan berhenti menyadap getah jelutung dari hutan sejak tahun 2006 setelah
peraturan nasional mengenai pajak untuk pemungutan hasil hutan bukan kayu
dikeluarkan (Tata et al. 2015a).
Sosio - budaya Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD)
Masyarakat adat Batin Sembilan yang oleh pemerintah dinamakan Suku
Anak Dalam, masyarakat sendiri menamakan komunitas ini dengan sebutan kubu.
Ada juga yang menyebut mereka dengan sebutan ‘orang rimbo’. Suku Anak
Dalam atau Batin Sembilan adalah masyarakat asli marginal yang berada di
Provinsi Jambi yang menyebar di beberapa kabupaten yaitu Batanghari, Muaro
Jambi dan Sarolangun. Menurut sejarah, masyarakat Batin Sembilan merupakan
keturunan raja kerajaan Pagaruyung. Sejarah masyarakat Suku Anak
Sejarahnya raja dari kerajaan Pagaruyung memerintahkan putranya
Pangeran Bagas Gayur untuk bersemedi untuk keselamatan dan kejayaan kerajaan
Pagaruyung. Selama semedinya Pangeran Bagas Gayur bertemu dengan seorang
wanita yang diberi nama Puteri Berdarah Putih. Pangeran Bagas Gayur memohon
kepada raja untuk menikahi Puteri Berdarah Putih. Raja menikahkan Pangeran
Bagas Gayur dengan Puteri Berdarah Putih. Pangeran tidak memenuhi

7
kewajibannya untuk bersemedi, raja pun mengusir Pangeran Bagas Gayur. Setelah
keluar dari istana, Pangeran Bagas Gayur dan Puteri Berdarah Putih mengubah
nama mereka menjadi Serompak dan Siceren. Dari penikahannya Serompak dan
Siceren memiliki seorang anak perempuan yang diberi nama Bayan Lais. Bayan
Lais kemudian menikah dengan saudagar dari Kerajaan Mataram Hindu yaitu
Meruhum Sungsang Romo. Bayan Lais dan Meruhun Sungsang Romo memiliki
anak Pangeran Nagosari yang memiliki anak bernama Raden Ontar.
Menurut legenda Pangeran Nagosari atau Sikulup mencari ayahnya
Meruhun Sungsang Romo dan dibekali dua telur angsa oleh ibunya Bayan Lais.
Sejarahnya angsa tersebut bertelur. Bersamaan dengan bertelurnya angsa tersebut,
terdapat meriam, keris, dan gong. Meriam tersebut bernama Setimbang Jambi,
keris bernama Keris Seginjai, gong bernama Gung Gung Larangan dan tempat
terjadinya peristiwa tersebut dinamakan Angso Duo.
Raden Ontar yang merupakan anak dari Pangeran Nagosari memiliki anak
bejumlah sembilan yaitu Singo Jabo, Singo Pati, Singo Inu, Singo Besak, Singo
Laut, Singo Delango, Singo Melango, Singo Anom. Kesembilan anak Raden
Ontar ini mewarisi dan memiliki kekuasaan anak sungai yang disebut Batin.
Sungai tersebut diantaranya, Sungai Jangga, Sungai Semusir, Sungai Bahar,
Sungai Bulian, Sungai Telisak, Sungai Singoan, Sungai Jebak, Sungai Sekamis
dan Burung Hantu. Sehingga nama Batin Sembilan memiliki arti sembilan anak
sungai. Zaman Kerajaan Melayu pada saat masa-masa penjajahan Belanda
masyarakat ini melarikan diri kedalam hutan karena tidak mau dijajah. Sehingga
masyarakat Suku Anak Dalam hingga sekarang berdiam di dalam hutan dengan
memegang aturan-aturan adat. Berikut silsilah keturunan masyarakat Batin
Sembilan. Silsilah Suku Bathin Sembilan menurut Sukmareni (2015) disajikan
pada Gambar 5:
Serompak
(Bagas Gayur dari Pagarurung)

Siceren
(Putri Pinang Masak/ Puteri Berdarah
Putih dari Sarolangun)
Meruhun Sungsang Romo

Putri Bayan Lais
Sikulup
(Pangeran Nagosari)

Putri Bungsu

Sri Gemayar dari Air Hitam

Raden Ontar

Singo
Jaya

Singo
Laut

Singo
Besak

Singo
Patih

Singo
Jabo

Singo
Anu

Singo
Gemalo

Singo
Menggalo

Gambar 5 Silsilah asal-usul Batin Sembilan (Sukmareni 2015)

Singo
Dilago

8
Wilayah kekuasaan sembilan anak sungai tersebut merupakan wilayah
sebaran masyarakat Batin Sembilan atau masyarakat Suku Anak Dalam di Jambi.
Sukmareni (2015) menyatakan sebuah ungkapan terkait batas-batas wilayah Suku
Anak Dalam atau Batin Sembilan. Ungkapan tersebut sebagai berikut:
“Mulai dari muaro batin semak ilir batang sampe ke Olak Gedong
melako intan, menuju ulu Panerokan, Melintas di Kesung Batu
menitih pematang beliung patah sampai ke batas Palembang menuju
batin bahar. Melintas ke lubuk udang tergantung menuju ke bakal
petas menitih pematang tulung batin sikamis turun sampai batin
pemusiran. Melintas meuju batin jangga turun lalu ke batin jebak laju
ke ilir batang melintas ulu sungai ringin menuju batas rambahan ilir
tibo ke muaro batin semak. Batin singoan seberang batang batin
singoan darisungai rambutan lalu ke jalan babat menuju bukit bucu
melintas pematang ulu sungai rengas sampai ke batu tetedeng ilir
menuju ulu sangkilan sampai ke sungai meranti ilir sampai batin
singoan.”
Ungkapan diatas memaparkan mengenai aliran anak sungai yang menjadi
wilayah kekuasaan Batin Sembilan di masa lalu. Wilayah tersebut secara
administratif saat ini menyebar di Kabupaten Batanghari, Kabupaten Muaro Jambi,
dan Kabupaten Sarolangun (Tabel 1).

Nama Batin
Jebak
Jangga
Bahar

Bulian

Telisak
Sekamis
Pemusiran
Burung
Hantu
Singoan

Tabel 1 Wilayah penyebaran Batin Sembilan
Desa
Jebak, Tanjung Maruo
Jangga Baru, Terentang Baru, Butang
Baru, Meranti Baru
Pelempang, Nyogan, Bungku, Tanjung
Lebar, Sungai Landai Rantau Harapan,
Marga, Bukit Subur, talang Bukit, Tri
Jaya, Berkah Jaya, Markanding, Tanjung
Harapan, Pompa Air
Singkawang, Batin, Sungkai, Petajin,
Kilangan, Bajubang, Sridadi, Muara
Bulian
Lamban Sigatal, Sepintun
Lubuk Napal
Pemusiran
Muara Ketalo
Muara Singoan

Kabupaten
Batanghari

Muaro Jambi,
Batanghari

Batanghari

Sarolangun
Sarolangun
Sarolangun
Sarolangun
Batanghari

Sumber: Sukmareni (2015)

Uraian mengenai masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) yang dikutip dari
website Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yaitu Anonim (2012)
menguraikan bahwa masyarakat SAD
hidup secara berkelompok, tetapi
keberadaan kelompok ini tidak dibatasi oleh wilayah tempat tinggal tertentu.

9
Mereka bebas untuk tinggal bersama dengan kelompok lain. Masyarakat SAD
tidak mudah pindah kelompok atau pemimpin mereka yaitu, Tumenggung, hal
tersebut dikarenakan terdapat hukum adat yang mengatur apabila akan berpindah
atau berganti kelompok. Kecenderungan masyarakat SAD yaitu pihak laki-laki
akan mengikuti kelompok dari istrinya apabila terjadi perkawinan antar kelompok.
karena ada hukum adat yang mengatur bagaimana aturan berganti kelompok.
Susunan organisasi sosial pada masyarakat SAD yaitu:
1. Tumenggung
2. Wakil Tumenggung
3. Depati
4. Menti
5. Mangku
6. Anak Dalam
7. Debalang Batin
8. Tengganas/ Tengganai
Pemilihan pemimpin masyarakat SAD berdasarkan pengajuan Tumenggung
sebelumnya dan telah disetujui oleh masyarakat adat. Apabila sebagian besar telah
menyetujui, maka orang tersebut dapat menjabat sebagai pemimpin dan disahkan
melalui upacara dalam pertemuan adat. Jabatan Tumenggung masih dibatasi oleh
jabatan lainnya. Seperti jabatan Tengganas yang dapat membatalkan keputusan
Tumenggung. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat SAD mengenal demokrasi
yang sehat.
Menurut Rahman (2013) kelompok SAD berpindah tempat dari satu lokasi
ke lokasi yang lain yang ditanami tanaman setahun, misalnya ubi-ubian. Peristiwa
perpindahan masyarakat SAD ini disebut mengelana (nomad). Gerakan pindah
tersebut lumrah bagi masyarakat SAD ketika ada anggota keluarga yang
meninggal. Perpindahan yang disebabkan karena kematian salah satu anggota
keluarga tersebut disebut dengan melangun. Perpindahan tersebut tidak hanya
dilakukan oleh anggota keluarga saja tetapi juga warga sekampung. Kedua bentuk
melangun dan mengelana bagi masyarakat SAD umumnya masih berada dalam
wilayah hukum adat mereka. Batas wilayah tersebut mencakup sembilan lembah
dan sungai dalam kabupaten Batanghari dan sekitarnya (Rahman 2013).
Interaksi SAD dengan lingkungan lokal yaitu interaksi dengan hutan dan
sungai. Menurut Rahman (2013) bagi masyarakat SAD hutan merupakan sumber
penghasilan dalam bentuk uang, energi sebagai alat membuat huma dan makanan.
Dalam bentuk uang SAD memungut hasil hutan untuk diperjualbelikan. Dalam
bentuk energi, SAD membakar hutan untuk ladang atau huma. Dalam bentuk
makanan, hasil hutan dapat berbentuk protein, karbohidrat, dan bermacam-macam
mineral yang berasal dari buah-buahan dan daun-daunan.
Masyarakat SAD juga memiliki ladang dan kebun getah. Masyarakat
menanam tanaman tahunan bagi untuk kebutuhan sehari-hari mereka. Masyarakat
SAD juga mengambil getah-getah dari hutan yang bernilai ekonomi. Getah yang
biasanya dikumpulkan oleh masyarakat yaitu getah balam merah, getah jelutung,
getah sundik, jernang, dan balambuai (Rahman 2013).

10

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI) Jambi
yaitu di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi. Kawasan ini merupakan kawasan
hutan sekunder areal restorasi ekosistem. Secara geografis areal PT REKI wilayah
Jambi berada diantara 103° 7’ 55” -103° 27’ 39” Bujur Timur dan 2° 2’ 16” – 2°
21’ 14” Lintang Selatan.Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juni 2015. Peta
lokasi penelitian disajikan pada Gambar 6:

Gambar 6 Peta Lokasi Penelitian
Alat dan Bahan
1.
2.

3.
4.

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya:
Peta wilayah PT REKI Jambi
Peralatan inventarisasi sumberdaya hutan yaitu, tally sheet, meteran gulung
fiberglass 50 m, meteran jahit Butterfly ukuran 150 cm, kompas, GPS Garmin
62x, thermometer, alat tulis, kamera.
Peralatan dan bahan pembuatan herbarium yaitu, kertas koran, alkohol 70%,
kantong plastik, dan label.
Perlengkapan wawancara yaitu tape recorder Sony, panduan wawancara, dan
alat tulis.
Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer merupakan data utama dalam penelitian yang digunakan untuk menjawab

11
tujuan penelitian. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2 Jenis data yang dikumpulkan
No
1

Jenis Data
Etnobotani
jelutung

Variabel

1. Karakteristik
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

2

Potensi dan
ekologi
jelutung

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

masyarakat SAD
Pengetahuan morfologi
Pemanfaatan jelutung
Pemanfaatan hasil hutan
lain
Cara menyadap
Pengolahan getah
Perdagangan getah
Budaya dan
kepercayaan
Jumlah individu
jelutung
Diameter dan tinggi
pohon jelutung
Faktor abiotik (tanah,
suhu, kelembapan)
Komposisi spesies
Keragaman spesies
Sebaran spasial jelutung
Asosiasi tumbuhan
jelutung

Cara Pengumpulan
Data
1. Wawancara
2. Observasi lapang

Masyarakat
SAD

1. Analisis vegetasi
2. Pengukuran

Pengukuran
di lapangan

Sumber Data

faktor abiotik

Metode Pengumpulan Data
Etnobotani jelutung oleh Suku Anak Dalam (SAD)
Data etnobotani jelutung oleh masyarakat Suku Anak Dalam dikumpulkan
dengan cara sebagai berikut:
a. Wawancara semi terstruktur dengan penggunakan panduan wawancara
kepada masyarakat SAD. Wawancara dengan menggunakan kuesioner yang
telah dirancang dan sesuai dengan tujuaanya untuk mendapatkan informasi
yang khas dan dapat dipercaya dara sampel masyarakat yang terpilih
(Cunningham 2001). Teknik pengambilan sampling dilakukan secara
purposive sampling berdasarkan informasi awal kepada masyarakat yang
pernah menyadap jelutung.Wawancara kepada masyarakat yang memiliki
pengetahuan secara rinci mengenai topik penelitian dapat dilakukan untuk
mengambil data etnobotani (Cunningham 2001). Data etnobotani
dikumpulkan berdasarkan pendekatan konsep tri-stimulus amar konservasi.
Konsep tri-stimulus amar konservasi merupakan konsep stimulus atau
pendorong masyarakat dalam melakukan konservasi. Konsep tri-stimulus
amar konservasi tersebut antara lain stimulus alamiah, stimulus manfaat, dan
stimulus religius (Amzu 2007).

12
b. Observasi lapang dilakukan untuk mengetahui cara pemanenan getah jelutung
oleh masyarakat SAD dilapangan. Observasi lapang dilakukan dengan cara
mengikuti dan mengamati masyarakat SAD dalam pemanenan getah jelutung.
Potensi dan ekologi jelutung (Dyera costulata)
Data mengenai potensi populasi dan bioekologi jelutung dilakukan dengan
analisis vegetasi, pengukuran komponen fisik lingkungan seperti suhu,
kelembaban, dan kondisi tempat tumbuh. Selanjutnya dilakukan pembuatan
herbarium untuk mengidentifikasi spesimen tumbuhan.
Analisis vegetasi
Analisis vegetasi dilakukan dengan membuat petak tunggal berukuran 2 ha.
Menurut Kusuma (2007) luas plot contoh optimal untuk pengukuran
keanekaragaman tumbuhan adalah untuk tingkat pancang 1 600 m2 dan untuk
tingkat pohon sebesar 12 800 m2.Terdapat 50 plot dalam satu petak tunggal
dengan ukuran masing-masing 20 m2. Ukuran 20 m x 20 m untuk pengamatan
tingkat pohon, ukuran 10 m x 10 m untuk tingkat tiang, 5 m x 5 m untuk pancang
dan 2 m x 2 m untuk semai (Soerianegara dan Indrawan 2002). Peletakan petak
ukur dilakukan secara purposive sampling, yaitu petak ukur diletakkan di lokasi
ditemukannya jenis jelutung (Dyera costulata). Data yang dicatat yaitu potensi
jelutung (jumlah, jenis, diameter, tinggi) dan seluruh tumbuhan yang berada
dalam petak tersebut meliputi jenis, jumlah, tinggi dan diameter untuk tingkat
tiang dan pohon. Bentuk petak ukur disajikan pada Gambar 7.

10
0
m

100 m

Gambar 7 Bentuk dan ukuran plot analisis vegetasi
Pembuatan herbarium
Pembuatan herbarium dilakukan untuk menidentifikasi spesies tumbuhan
yang belum teridentifikasi di lapangan. Bagian tumbuhan yang d
Pembuatan herbarium dilakukan pada spesies tumbuhan yang belum
teridentifikasi di lokasi penelitian. Pengumpulan spesimen dilakukan dengan
mengambil bagian-bagian tumbuhan yang dapat dijadikan kunci identifikasi,
seperti daun, ranting, bunga, dan buah. Menurut Onrizal (2009) langkah-langkah
pembuatan herbarium adalah:
a. Pengambilan spesimen herbarium. Bagian tumbuhan uang diambil adalah
ranting lengkap dengan daunnya, bunga dan buah (jika ada).

13
b. Contoh spesimen herbarium tersebut dipotong dengan panjang disesuaikan
dengan ukuran tumbuhan, dengan menggunakan gunting.
c. Spesimen herbarium kemudian dimasukkan ke dalam kertas koran dan diberi
label. Label berisi keterangan mengenai nomor koleksi, nama lokal, lokasi
pengumpulan spesimen dan nama pengumpul/kolektor.
d. Spesimen herbarium diletakan di atas koran dan disemprot dengan alkohol
70%, lalu disusun didalam plastik dan di siram kembali menggunakan alkohol
70% sampai basah. Setelah itu tutup dengan rapat plastik dengan isolasi.
e. Setelah dilakukan perlakuan di lapangan, dilakukan pengeringan. Seluruh
spesimen dari lapangan dikeluarkan dari plastik dan kertas koran. 5-10
spesimen diapit dalam sasak ukuran 50 x 35 cm, untuk buah-buahan besar
dipisah, dimasukkan kantong, dan diberi label. Pengovenan dilakukan dengan
suhu ± 65oC, ± selama 4 hari.
f. Selanjutnya pelabelan yang berisi keterangan tumbuhan untuk keperluan
identifikasi lebih lanjut.
Faktor abiotik habitat jelutung
Faktor abiotik yang diukur dari habitat jelutung (Dyera costulata.) adalah
faktor iklim, tanah, ketingggian dan kemiringan tempat. Faktor kondisi iklim yaitu
kondisi suhu diukur dengan menggunakan thermometer drywet serta mengukur
kelembapan pada plot pengamatan. Pengambilan data kondisi fisik dan kimia
tanah yaitu dengan cara mengambil sampel tanah pada plot pengamatan. Sampel
tanah diuji di Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB. Data
ketinggian atau kemiringan tempat dilakukan dengan menggunakan GPS.
Analisis Data
Etnobotani jelutung (Dyera costulata)
Pemanfaatan jelutung dianalisis secara deskriptif dengan menjabarkan
bentuk atau kearifan lokal lainnya dalam pemanfaatan jelutung baik keperluan
pangan, obat dan lain sebagainya. Data juga dianalisis mengunakan Index
Prioritas Konservasi Lokal (IPKL) yang dimodifikasi dari Oliveira et al. (2007)
Albuquerque et al. (2009) berdasarkan kriteria Use Diversity (UD), Local Use
(LU), Relative Density (RD), dan Nilai masing-masing parameter adalah 10
sehingga nilai maksimal IPKL adalah 30. IPKL menggunakan persamaan berikut:
IPKL= US + LU + RD
Potensi dan Bioekologi Jelutung (Dyera costulata)
a. Struktur dan Komposisi Vegetasi
Menurut Soerianegara dan Indrawan (2002) formula matematika yang dapat
digunakan dalam perhitungan analisis vegetasi, termasuk tumbuhan bawah adalah
sebagai berikut:
Kerapatan K
Kerapatan Relatif (KR)

Jumlah individu setiap spesies
(ind ha-1
luas seluruh petak
Kerapatan suatu spesies
=
x 100%
Kerapatan seluruh spesies
=

14

b. Pola Sebaran Spasial Jelutung (Dyera costulata)
Penentuan pola sebaran spasial tumbuhan jelutung (Dyera costulata)
diukur melalui Indeks Morisita. Rumus ini digunakan untuk menentukan pola
penyebaran spesies tumbuhan yang meliputi penyebaran merata (uniform),
mengelompok (clumped), dan acak (random). Adapun rumus Morisita menurut
Morisita (1959) adalah sebagai berikut:
Iδ=n

∑ xi 2 - ∑ xi

(∑xi )2 -∑xi

Keterangan:

= Derajat penyebaran Morisita
n
= Jumlah petak ukur
∑ xi 2 = Jumlah kuadrat dari total individu suatu spesies pada suatu komunitas
∑x�
= Jumlah total individu suatu spesies pada suatu komunitas.

Selanjutnya dilakukan uji Chi-square, dengan rumus:
a. Derajat Keseragaman
Mu=

X2

.975 -n+

∑xi -1

∑xi

Keterangan:
X20.975 = Nilai chi-squre dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan 97.5%
∑xi
= Jumlah individu dari suatu spesies pada petak ukur ke –i
n
= Jumlah petak ukur
b. Derajat Pengelompokan
Mc=



.

5 -n+∑xi

∑xi -1

Keterangan:
X20.025= Nilai chi-squre dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan 2.5%
∑xi
= Jumlah individu dari suatu spesies pada petak ukur ke –i
n
= Jumlah petak ukur Standar derajat Morisita
Standar derajat Morisita (Ip) dihitung dengan empat rumus sebagai berikut:
1. Bila Iδ≥Mc> 1.0, maka dihitung:
Iδ-Mc
Ip=0.5+0.5(
)
n-Mc
2. Bila Mc>Iδ ≥ 1.0, maka dihitung:
Iδ-1
Ip=0.5 (
)
Mc-1
3. Bila 1.0> Iδ>Mu, maka dihitung:
Ip=-0.5(

Iδ-1
)
Mu-1

15
4. Bila 1.0> Mu>Iδ, maka dihitung:
Iδ - 1
)
Mu - 1
Perhitungan nilai Ip akan menunjukkan pola penyebaran spesies tumbuhan
yang dominan dalam suatu komunitas. Nilai dan pola penyebaran spesies tersebut
adalah sebagai berikut:
Ip = -0.5 + 0.5 (

Ip = 0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran acak (random)
Ip > 0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran mengelompok (clumped)
Ip < 0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran merata (uniform).
c. Keanekaragaman Spesies Tumbuhan
1. Kekayaan Spesies
Kekayaan spesies tumbuhan diukur dengan menggunakan Indeks
Margaleff. Menurut Kusuma (2007), Indeks Margaleff merupakan ukuran
keanekaragaman yang lebih responsive dan sensitive terhadap perubahan jumlah
spesies. Indeks Margaleff menggunakan persamaan sebagai berikut:
�−
D=
ln
Keterangan:
D
= Indeks Kekayaan Margaleff
S
= Jumlah Spesies
N
= Jumlah individu

2. Keanekaragaman Spesies
Keanekaragaman spesies tumbuhan dapat dihitung dengan menggunakan
Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’). Menurut Magurran (1988)
penghitungan indeks ini dengan rumus:
s

s

�=

�=

H' = ∑ pi ln pi = ∑ [

Keterangan :
H’
= Indeks keragaman Shannon-Wiener
ni
= Jumlah individu spesies
N
= Jumlah individu seluruh spesies
S
= Jumlah spesies

ni
ni
ln
]
N
N

3. Kemerataan Spesies
Tingkat kemerataan ditunjukkan oleh indeks kemerataan spesies (Evenness).
Indeks kemerataan ini menunjukkan penyebaran individu di dalam spesies.
Menurut Ludwig dan Reynolds (1988) indeks ini dapat dihitung dengan rumus:
E=H' / ln S
Keterangan :
H’
= Indeks keanekaragaman Shannon

16
S
E

= Jumlah spesies
= Indeks kemerataan spesies (Evenness)

d. Asosiasi Spesies
Asosiasi spesies dapat dapat didefinisikan sebagai tingkat ketergantungan
suatu spesies terhadap spesies lainnya dalam melangsungkan kehidupannya atau
tingkat seringnya dua spesies atau lebih menggunakan sumberdaya yang sama.
Asosiasi antar dua spesies dilihat dari present dan absent spesies pada plot
pengamatan dengan menggunakan tabel kontingensi berikut:
Tabel 3 Tabel kontingensi asosiasi antar spesies
Dyera costulata
Ada
Tidak ada
A
b
C
d
a+c
b+d

Spesies X
Ada
Tidak Ada
Jumlah

Jumlah
a+b
c+d
N

Frekuensi harapan (Ei) dihitung dengan rumus sebagai berikut:




=
=

+

+

+



+



=
=

+

+

+

+

Asosiasi pohon jelutung (Dyera costulata) dengan spesies lainnya diukur
melaluli perhitungan uji hipotesis chi-square sebagai berikut:
Hipotesis pada uji chi-square
H0
: Tidak terdapat asosiasi antar dua spesies
H1
: Terdapat asosiasi antardua spesies

Keterangan:
Oi
Ei

� = ∑

� − ��
��

= Frekuensi data hasil Observasi
= Frekuensi harapan

Kriteria uji statistic chi-square
Jika � hitung ≤ � . 5 maka terima H0
Jika � hitung >� . 5 maka tolak H0

Tingkat asosiasi dari dua spesies diukur dengan menggunakan Indeks
Jaccard (Ludwig dan Reynold 1988) dengan rumus sebagai berikut:
=

√ +

+

17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Etnobotani Jelutung oleh Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD)
Karakteristik masyarakat SAD di Hutan PT REKI
Kawasan hutan PT REKI merupakan kawasan IUPHHK-RE. Kawasan ini
merupakan kawasan hutan alam sekunder dataran rendah eks-areal HPH PT
Asialog dan eks-areal HPH PT Inhutani V. Kawasan ini ditetapkan melalui
Menteri Kehutanan Nomor : 327/Menhut-II/2010 tanggal 25 Mei 2010 bahwa
kepada PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI) diberikan hak untuk
mengelola areal IUPHHK-RE pada areal seluas 46 385 ha yang berlokasi di
wilayah Provinsi Jambi. Lokasi areal tersebut saat ini termasuk dalam wilayah
Kebupaten Sarolangun dan Kabupaten Batanghari. Berdasarkan jumlah luas
kawasan hutan yang dimohon adalah ± 49 185 ha sebagian besar arealnya
merupakan eks-areal HPH PT Asialog yakni seluas ± 40 705 ha dan sisanya
seluas ± 8 480 ha adalah eks-areal HPH PT Inhutani V.
Masyarakat SAD yang tinggal di kawasan hutan PT REKI telah tinggal
sejak kawasan masih dikelola oleh HPH PT Asialog sekitar tahun 1969. Data
mengenai etnobotani jelutung SAD diperoleh dari 15 responden masyarakat SAD
yang berpengalaman menyadap jelutung. Responden yang diwawancarai
seluruhnya berjenis kelamin laki-laki dengan selang umur 25 – 75 tahun.
Pekerjaan reponden bervariasi, tetapi pekerjaan dominan adalah petani dan
pekerja di perusahaan sawit PT Asiatic yang berdekatan dengan kawasan PT
REKI. Demografi masyarakat SAD pada tahun 2013 di kawasan PT REKI terdiri
dari 90 KK dengan 378 jiwa. Masyarakat SAD yang berpengalaman menyadap
jelutung memiliki pengetahuan tradisional dalam mengelola dan memanfaatkan
jelutung. Demografi masyarakat adat Suku Anak Dalam di Kawasan PT REKI
disajikan pada Tabel 4:
Tabel 4 Demografi masyarakat SAD di PT REKI tahun 2013
Nama Kelompok/Pemukiman
Alif
Amir
Basri
Gelinding
Mitrazone
Simpang Macan Dalam
Simpang Macan Luar
Tanding
Jumlah

Rumah Tangga
6
20
5
1
20
21
13
4
90

Populasi
Orang
27
76
21
5
95
79
54
21
378

Rata-Rata
4.5
3.8
3.5
5
4.7
3.7
4.1
5.2
4.3

Sumber: Dokumen PT REKI (2013)

Pola hidup Suku Anak Dalam selalu berpindah-pindah di dalam hutan
sehingga tidak dapat diketahui pasti jumlah dan lokasi pemukimannya.
Masyarakat Anak Dalam adalah masyarakat yang berpindah-pindah ke berbagai
lokasi untuk berkebun atau berladang, berburu satwa, meramu obat-obatan,

18
berkebun atau berladang yang dilakukan dengan sistem perladangan berpindah
dengan siklus tertentu (Setyowati 2003).
Menurut PT REKI (2012) diduga suku Anak Dalam ini hidup di hulu-hulu
sungai Meranti, Kapas, dan Lalan, karena daerah ini cukup terisolasi dan kondisi
hutannya relatif masih cukup terjaga dengan baik. Ditemukan tujuh titik lokasi
Suku Anak Dalam di dalam areal restorasi ekosistem yaitu di Kelompok hutan
Hulu Sungai Kandang di bagian Utara dan Timur laut sebanyak 3 titik dan di
bagian Barat lokasi yakni di kelompok hutan hulu Sungai Lalan dan di Kelompok
hutan Sungai Badak sebanyak 4 titik. Bahasa dan adat istiadat yang digunakan
warga desa-desa sekitar areal lokasi restorasi ekosistem adalah adat istiadat
melayu Jambi, sedangkan agama yang mereka anut sebagian besar adalah agama
Islam.
Pengetahuan mengenai morfologi jelutung
Masyarakat SAD memiliki pengetahuan mengenai morfologi jelutung.
Karakteristik luar yang nampak dari pohon jelutung dapat digunakan untuk
mengenali pohon jelutung di hutan. Berdasarkan wawancara terhadap masyarakat
SAD pohon jelutung memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Tabel 5 Ciri morfologi jelutung berdasarkan pengetahuan masyarakat SAD
Bagian
Batang

Bentuk
Silindris,
bervariasi
lurus atau
bengkok

Daun

Bunga
Buah

Panjang dan
lebar, ujung
daun
melebar
Lonjong

Akar
Getah

Cair

Ukuran
Besar
(diameter
dapat
mencapai
300 cm)

Kecil
Besar

-

Warna
Kelabu
kehitaman

Bau khas
Tidak ada

Rasa
Tidak ada

Hijau

Tidak ada

Tidak ada

Putih
Hijau,
coklat
apabila
sudah
matang
Putih

Tidak ada
-

Tidak ada
-

Tidak ada

Tidak ada

Keterangan: - : tidak tahu/tidak teridentifikasi

Masyarakat SAD mengenal dua jenis jelutung yaitu jelutung rawa atau
jelutung payau dan jelutung darat atau jelutung kapur. Dua jenis jelutung dapat
dibedakan secara mudah dari bentuk daunnya. Jelutung darat memiliki daun lebih
lebar, daun lebih tipis dan ujung daun meruncing. Selain perbedaan dari bagian
daun, masyarakat SAD membedakan jelutung dari batangnya. Jelutung rawa
memiliki batang hitam, daun halus, kulit kayu keras sedangkan jelutung darat
batangnya memiliki bercak putih dan kulit kayu lembut/lunak serta tumbuh di
daerah rawa atau payau. Jumlah getah yang dihasilkan oleh jelutung darat dan

19
jelutung rawa relatif sama, tetapi tekstur jelutung rawa lebih encer karena
mengandung banyak air. Masyarakat SAD tidak memilih-milih jenis jelutung
mana yang sering disadap, masyarakat menyamakan kedua jenis jelutung yaitu
jelutung rawa dan jelutung darat dalam hal pemilihan pohon yang akan disadap.
Masyarakat SAD di PT REKI memiliki pengetahuan untuk mengenali
pohon jelutung di alam dan dapat membedakan dua jenis jelutung berdasarkan
morfologi pohon jelutung. Mengenali karakteristik morfologi jelutung dialam
bermanfaat bagi masyarakat untuk membedakan pohon yang memiliki getah yang
banyak. Tata et al. (2015a) juga mengungkapkan bahwa penyadap jelutung dapat
mengenali pohon jelutung yang menghasilkan getah melimpah berdasarkan
morfologi kulit batang dan tunas muda. Karakteristik tersebut yaitu tunas muda
yang berwarna merah dan kulit batang tipis yang kehitam-hitaman dan lunak
sampai agak kasar.
Pengetahuan mengenai pemanfaatan jelutung
Masyarakat SAD di PT REKI memanfaatkan jelutung secara subsisten dan
komersial. Pemanfaatan subsisten yang dilakukan oleh masyarakat SAD adalah
untuk obat dan pemanfaatan kayu, tetapi pemanfaatan tersebut persentasenya
lebih rendah apabila dibandingkan dengan pemanfaatan jelutung secara komersial.
Dahulu, jelutung di