Penyisipan Gen Fitase (Pbinpi-Ii Ec) Ke Kalus Tebu (Saccharum Officinarum L.) Dengan Bantuan Agrobacterium Tumefaciens Gv2260 Dan Regenerasinya

(1)

(S a c c h a r u m o f f i c i n a r u m L . ) D E N G A N B A N T U A N

Agrobacterium tumefaciens GV2260 DAN REGENERASINYA

ANNEKE PESIK

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul: “Penyisipan Gen Fitase (pBINPI-II EC) ke Kalus Tebu (Saccharum officinarum L.) dengan Bantuan Agrobacterium tumefaciens GV2260 dan Regenerasinya” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.

Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Penelitian ini didanai oleh Kementerian Pendidikan dan Riset Jerman (Bundesministerium für Bildung und Forschung Germany, BMBF) melalui kerjasama bilateral Indonesia-Jerman untuk konstruksi tebu transgenik dan proyek Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri (RAPID), dengan peneliti utama Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa, MS. Sebagian pendanaan juga diperoleh dari Indonesian Center for Biodiversity and Biotechnology (ICBB) Bogor.

Bogor, September 2005

ANNEKE PESIK NRP: P055010121/BTK


(3)

ANNEKE PESIK. Penyisipan Gen Fitase (pBINPI-II EC) ke Kalus Tebu (Saccharum officinarum L.) dengan Bantuan Agrobacterium tumefaciens GV2260 dan Regenerasinya. Dibimbing oleh DWI ANDREAS SANTOSA dan SUDARSONO.

Rekayasa genetik digunakan untuk meningkatkan karakter tebu yang pada umumnya memiliki fertilitas rendah dan polihibrid. Kami melaporkan introduksi gen fitase yang berasal dari bakteri ke dalam genom beberapa kultivar kalus tebu melalui Agrobacterium tumefaciens GV2260. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi media regenerasi yang sesuai untuk kalus transforman dan nontransforman. Eksplan meristem dan kalus dari tebu kultivar PA 117, PSJT 94-33, dan PS 851 digunakan dalam uji regenerasi dan transformasi. Komposisi media regenerasi yang baik untuk menginduksi tunas, daun, dan akar dari dua kultivar PA 117 dan PSJT 94-33 berturut-turut adalah media R10 (yaitu media MS yang ditambahkan 2 mg/L + 57 mg/L dalapon) dan media R4 (yaitu media MS yang ditambahkan 1 mg/L IAA dan 57 mg/L dalapon). Regenerasi kalus transforman PSJT 94-33 mampu menghasilkan tunas dan daun. Sedangkan dua kultivar transforman lain, yaitu PA 117 dan PS 851 (dalam media MS dengan penambahan 2 mg/L IAA dan 59 mg/L dalapon yang dimodifikasi (dengan penambahan glukosa 1%, 2.5 mg/L asam sitrat dan 2 mg/L asam askosbat) hanya menghasilkan tunas. Reaksi PCR untuk amplifikasi gen fitase dari kalus transforman menunjukkan hasil positif. Dengan demikian, kalus transforman dapat terus ditumbuhkan menjadi tanaman transgenik yang lengkap.

Kata kunci: kultivar tebu, transformasi gen fitase, Agrobacterium tumefaciens,


(4)

ABSTRACT

ANNEKE PESIK. Insertion of Phytase Gene (pBINPI-II EC) into Callus of Sugarcane (Saccharum officinarum L.) by Agrobacterium tumefaciens GV2260 and Its Regeneration. Under the direction of DWI ANDREAS SANTOSA and SUDARSONO.

Genetic engineering can be used to improve the characteristic of sugarcane which much of them are infertile and polyhybrid. We report introducing of phytase gene derived from bacteria into the genome of several cultivar of sugarcane callus via Agrobacterium tumefaciens GV2260. This research were also conducted to find out the composition of regeneration media suitable for both nontransformant and transformant calli. Meristematic explants and calli of sugarcane var. PA 117, PSJT 94-33, and PS 851 were used for regeneration and transformation experiment. The best composition of regeneration media to induced buds, leaves, and roots of both var. PA 117 and PSJT 94-33 are R10 (MS media suplemented with IAA 2 mg/L + dalapon 57 mg/L) and R4 (MS media suplemented with IAA 1 mg/L + dalapon 57 mg/L), respectively. Regeneration of transformant calli of PSJT 94-33 produced buds and leaves. Another two transformant cultivar PA 117 and PS 851 (in MS media with IAA 2 mg/L + dalapon 59 mg/L modified by adding glucose 1%, citric acid 2.5 mg/L and ascorbic acid 2.5 mg/L) were only became bud. Positive result were also revealed by using polimerase chain reaction of phytase gene onto transformant calli. Therefore, transformant calli can be established into transgenic plants.

Key words: sugarcane cultivar, transformation phytase gene, Agrobacterium tumefaciens, IAA, dalapon


(5)

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk


(6)

PENYISIPAN GEN FITASE (pBINPI-II EC) KE KALUS TEBU (S a c c h a r u m o f f i c i n a r u m L . ) D E N G A N B A N T U A N

Agrobacterium tumefaciens GV2260 DAN REGENERASINYA

ANNEKE PESIK

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Bioteknologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R

2 0 0 5


(7)

tumefaciens GV2260 dan Regenerasinya Nama : Anneke Pesik

Nomor Pokok : P055010121 Program Studi : Bioteknologi

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa, MS Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Bioteknologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Muhammad Jusuf, DEA Prof. Dr. Ir. Hj. Syafrida Manuwoto, MSc


(8)

PRAKATA

Segala hormat dan puji dinaikkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat kasih karuniaNya yang berlimpah dan tak berkesudahan ini, penulis telah menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang berjudul “Penyisipan Gen Fitase (pBINPI-II EC) ke Kalus Tebu (Saccharum officinarum L.) dengan Bantuan Agrobacterium tumefaciens GV2260 dan Regenerasinya”.

Dengan penuh kerendahan hati, kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa, MS, Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc, dan Dr. Ir. Utut Widyastuti, serta Dr. Ir. Agus Purwito, MSc, yang dengan sabar dan tak henti-hentinya telah memberikan banyak pengarahan dan saran selama penelitian dan penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan pula kepada:

1. Kepala Lab. Mikrobiologi & Bioteknologi Lingkungan PPLH, dan Lab. Bioteknologi Tanaman Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dan Direktur PT. Saraswanti Indo Genetech Bogor, yang telah mengizinkan penelitian ini berlangsung. Kepala Lab. Kultur Jaringan PT. Pabrik Gula Rajawali Nusantara Indonesia II di Cirebon yang telah memberikan bahan eksplan dan kalus tebu. 2. Bapak, Ibu, Suami, saudara kakak-beradik sepupu, dan keponakan atas

dukungan doa dan materil yang diberikan bagi penulis.

3. Kementerian Pendidikan dan Riset Jerman (BMBF), Proyek RAPID, ICBB Bogor, dan Yayasan Dana Beasiswa Maluku (YDBM) Jakarta atas bantuan dana sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat berlangsung.

4. Rekan-rekan kerja di Lab. MBL PPLH, Lab. Bioteknologi Tanaman Fakultas Pertanian IPB, dan Lab. PT Saraswanti Indo Genetech, atas dukungan dan kebersamaan.

5. Teman-teman Bioteknologi 2001 dan kepada semua pihak yang tidak disebutkan satu-persatu atas bantuan dan dorongannya kepada penulis selama studi sampai dengan penulisan tesis ini.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Namun penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi kepentingan semua pihak.

Bogor, September 2005 Penulis


(9)

Penulis dilahirkan di Manado, Sulawesi Utara pada tanggal 1 Agustus 1978 sebagai anak tunggal dari ayah Herling Pesik dan ibu Hetty Waworga (†).

Pendidikan Sarjana Pertanian ditempuh di Fakultas Pertanian, Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman, Universitas Sam Ratulangi, Manado, dan lulus pada tahun 2001.

Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Magister di Program Studi Bioteknologi Institut Pertanian Bogor pada tahun 2001.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Perbaikan Genetik Tebu ... 4

Kultur Jaringan Tanaman Tebu ... 5

Gen Fitase ... 10

Konstruksi Vektor pBINPI-II EC ... 11

Transformasi dengan Bantuan Agrobakterium ... 14

Analisis Tanaman Transgenik ... 15

BAHAN DAN METODE ... 17

Tempat dan Waktu Penelitian ... 17

Metode Penelitian ... 17

Kultur jaringan tanaman tebu ... 17

Transformasi tebu dengan gen fitase ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

Kultur Jaringan Tanaman Tebu ... 23

Transformasi Tebu dengan Gen Fitase ... 34

SIMPULAN DAN SARAN ... 39

Simpulan ... 39

Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40


(11)

No. Halaman 1 Empat metode transformasi gen fitase pada eksplan tebu ... 34


(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1 Konstruksi kaset gen fitase appA dalam vektor pBINPI-II EC ... 13 2 Inisiasi dan proliferasi kalus ... 23 3 Grafik rataan jumlah tunas tebu kultivar PA 117 yang terbentuk

sampai dengan minggu ke-4 ... 24 4 Grafik rataan jumlah daun tebu kultivar PA 117 yang terbentuk

sampai dengan minggu ke-4 ... 25 5 Hasil optimasi media regenerasi tebu kultivar PA 117 sampai

dengan minggu ke-4 ... 26 6 Grafik rataan jumlah akar tebu kultivar PA 117 yang terbentuk

sampai dengan minggu ke-4 pada media regenerasi R10 ... 27 7 Hasil induksi akar tebu kultivar PA 117 pada media regenerasi

R10 ... 27 8 Grafik rataan jumlah tunas tebu kultivar PSJT 94-33 yang

terbentuk sampai dengan minggu ke-4 ... 28 9 Grafik rataan jumlah daun tebu kultivar PSJT 94-33 yang terbentuk

sampai dengan minggu ke-4 ... 29 10 Hasil optimasi media regenerasi tebu kultivar PSJT 94-33 sampai

dengan minggu ke-4 ... 30 11 Grafik rataan jumlah akar tebu kultivar PSJT 94-33 yang terbentuk

sampai dengan minggu ke-4 117 pada media regenerasi R4 ... 30 12 Hasil induksi akar tebu kultivar PSJT 94-33 pada media

regenerasi R10 ... 31 13 Regenerasi tebu transforman PSJT 94-33, PA 117, dan PS 851 ... 32 14 Grafik rataan tunas transforman kultivar PA 117 pada media

regenerasi R10 ... 33 15 Grafik rataan tunas dan daun yang terbentuk dari regenerasi kalus

transforman kultivar PSJT 94-33 pada media regenerasi R4 ... 33 16 Grafik rataan tunas transforman yang terbentuk dari regenerasi kalus

transforman kultivar PS 851 pada media regenerasi Modifikasi P3GI ... 34 17 Kalus tebu transforman yang dihasilkan dari beberapa metode

transformasi ... 37 18 Hasil PCR gen fitase dari kalus transforman yang berumur 4 minggu


(13)

No. Halaman 1 Komposisi media MS untuk induksi kalus dan regenerasi

planlet yang telah dimodifikasi ... 44

2 Peta plasmid pBINPI-II EC ... 45

3 Komposisi media transformasi metode Enriquez-Obregón et al (1997) 45 4 Komposisi media transformasi metode Minarsih (2003) ... 45

5 Komposisi media transformasi metode Santosa et al (2004) ... 46

6 Komposisi media transformasi metode Modifikasi ... 46


(14)

(15)

Latar Belakang

Konsumsi gula nasional meningkat seiring dengan pertambahan penduduk Indonesia. Swasembada gula makin menurun karena industri gula dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan nasional. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) sebagai bahan baku pembuatan gula adalah komoditi utama yang harus mampu berperan terhadap permasalahan kebutuhan gula.

Penyebab utama turunnya produksi tebu karena mutu bibit yang buruk. Petani tidak mengganti bibitnya dengan kultivar yang lebih baik, karena tidak memiliki daya beli. Kebanyakan petani menerapkan sistem keprasan. Sistem tersebut mempertahankan tunas baru pada pangkal tanaman setelah penebangan untuk berproduksi lagi. Cara ini beresiko terhadap penyakit busuk batang yang dapat menurunkan produksi hingga 30%. Produktivitas lahan juga berkurang akibat tidak efisiennya pemakaian pupuk fosfat (Hidayat 2002).

Pertanaman tebu yang bergeser dari lahan basah ke kering juga menyebabkan rendahnya efisiensi produksi gula. Oleh karena, lahan kering lebih banyak membutuhkan pupuk fosfat yang memerlukan biaya tinggi. Luas areal pertanaman tebu pada masa tanam 2002/2003 sebesar 351.472 ha yang terdiri dari lahan sawah sebesar 105.412 ha (30%) dan lahan kering (tegalan) mencapai 245.960 ha (70%), yang tersebar di Jawa seluas 121.738 ha dan di luar Jawa 124.222 ha (Hadi & Sutrisno 2003).

Setiap tahun terjadi peningkatan kebutuhan gula nasional yang cukup nyata. Peningkatan kebutuhan gula ini ternyata tidak diimbangi oleh peningkatan produksinya. Terjadi produksi dari 2,091 juta ton pada tahun 1996 menjadi 1,725 juta ton pada 2001 (P3GI 1997; Erwidodo 2002). Untuk memenuhi kebutuhan gula, pemerintah melakukan impor gula yang beberapa tahun terakhir ini telah terjadi peningkatan impor. Impor gula meningkat dari 1,233 juta ton pada tahun 1998 menjadi 1,475 juta ton pada tahun 2001 (Erwidodo 2002). Deperindag merealisasikan impor gula selama tahun 2003 dan 2004 sebesar 0,731 juta ton sebagai tambahan dengan stok gula lokal (KCM 2005).


(16)

2

Pemuliaan tanaman perkebunan, termasuk tebu menggunakan metode konvensional dengan penyilangan menghadapi dua kendala utama. Kendala pertama adalah terbatasnya sumberdaya genetik yang secara seksual kompatibel dengan tanaman tebu induknya. Kendala kedua adalah siklus pemuliaan dengan metode ini dianggap terlalu lama (Minarsih 2003).

Menurut Hartatik (2000) peningkatan produksi gula secara menyeluruh dapat dilakukan dengan cara meningkatkan teknik budidaya, mengatur pola “tebang muat angkut”, meningkatkan efisiensi pabrik gula, dan menggunakan kultivar unggul baru. Usaha untuk mendapatkan kultivar tebu yang unggul terutama ditujukan untuk perbaikan kuantitas (bobot tebu per hektar) dan kualitas (rendemen gula). Usaha tersebut dilakukan dengan perbaikan genetik tanaman, salah satunya melalui rekayasa genetik yang terbukti manfaatnya dalam memperbaiki sifat tanaman. Contohnya teknik transformasi gen dengan bantuan agrobakterium yang merupakan cara alternatif untuk memperoleh tanaman dengan sifat yang diinginkan.

Keberhasilan perakitan kultivar tebu yang unggul ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain adanya teknik transformasi dan regenerasi yang sesuai, konstruksi gen pembawa sifat unggul yang berfungsi dengan baik, dan karakter agronomis klon tanaman dan kemudahan teknis (Minarsih 1999).

Menurut Santosa (2002), salah satu upaya meningkatkan produktivitas tebu unggul dilakukan dengan transformasi gen fitase dari bakteri tanah sehingga meningkatkan ketersediaan fosfat ke dalam jaringan maupun sekitar perakaran, meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat sehingga sedikit membutuhkan pupuk fosfat, meningkatkan jumlah klorofil dan laju fotosintesis. Ekspresi gen fitase di jaringan tebu diharapkan juga meningkatkan mutu daun tebu untuk pakan ternak.

Gen fitase dipilih untuk disisipkan ke dalam tanaman tebu karena gen ini menghasilkan enzim yang dapat merombak senyawa fitat yaitu senyawa organik yang menyimpan unsur fosfat di dalam sel tanaman. Perombakan fosfat organik dalam sel tanaman memberikan pengaruh positif pada proses pembentukan klorofil sehingga meningkatkan fotosintesis dan metabolisme tanaman tebu. Di samping itu, fitase dapat meningkatkan ketersediaan mineral-mineral lainnya,


(17)

seperti kalsium, magnesium dan kalium di dalam jaringan tanaman sehingga dapat mengurangi kebutuhan pupuk.

Vektor gen fitase untuk penyisipan ke dalam genom tanaman tebu telah dikonstruksi sebagai plasmid pBINPI-II EC. Plasmid pBINPI-II EC merupakan hasil konstruksi dan modifikasi melalui penelitian bersama antara Federal Research Centre for Nutrition, Centre for Molecular Biology Germany dan Fakultas Pertanian IPB. Plasmid pBINPI-II EC memiliki beberapa kelebihan, di antaranya mempunyai jumlah salinan yang banyak dalam Escherichia coli, dan mempunyai ori sehingga dapat bereplikasi pada E. coli dan Agrobacterium tumefaciens, serta membawa gen penyeleksi antibiotik nptII yang menyandikan enzim neomisin fosfotransferase yang tahan terhadap kanamisin.

Keberhasilan teknik transformasi genetik sangat dipengaruhi oleh kemampuan regenerasi yang baik dari eksplan yang digunakan untuk menjadi planlet yang utuh. Dalam hal ini teknik kultur jaringan sangat berperan penting untuk mendapatkan planlet atau tanaman transgenik yang diinginkan. Misalnya dengan memperhatikan berbagai faktor pendukung seperti media tumbuh, zat pengatur tumbuh (ZPT) yang seimbang, dan kondisi lingkungan kultur. Bahan eksplan dan genotipe tanaman juga merupakan faktor penting dalam menentukan regenerasi suatu eksplan (Trigiano & Dennis 2000).

Dengan demikian aplikasi bioteknologi untuk tanaman tebu berperan penting dalam meningkatkan produktivitas tebu unggul, mengurangi biaya untuk pemupukan dan menambah nilai tanaman tebu sebagai pakan ternak.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendapatkan media yang optimum untuk regenerasi tanaman tebu.

2. Menyisipkan gen fitase yang berada dalam kaset pBINPI-II EC ke dalam genom kalus tebu melalui bantuan Agrobacterium tumefaciens GV2260 serta regenerasi kalus transformannya.


(18)

TINJAUAN PUSTAKA Perbaikan Genetik Tebu

Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan bernilai ekonomi tinggi karena selain menghasilkan gula juga mendukung berbagai industri lain. Tanaman tebu dapat tumbuh pada daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia. Tebu pertama kali diketahui berasal dari daratan Indo-Gangetic India. Tebu termasuk genus Saccharum dari salah satu anggota kelompok Andropogoneae, famili Graminae. Dalam genus Saccharum ada tiga spesies yang dibudidayakan (S. officinarum L., S. barberi Jesw. dan S. sinense Roxb) dan dua spesies liar (S. robustum Brandes dan Jeswier ex Grassl, dan S. spontaneum L.) (Naik 2001).

Diketahui tanaman tebu merupakan bahan baku pembuatan gula pasir di samping berperan juga sebagai bahan baku dalam bidang industri seperti asam amino, asam organik dan bahan pangan. Beberapa industri gula mampu menghasilkan berbagai senyawa kimia tertentu seperti furfural, dextran, alkohol yang sangat tergantung pada tanaman ini (Enriquez-Obregón et al. 1997). Selain itu produk gula dapat dikembangkan menjadi bahan nutrisi pakan ternak, prosesing bahan makanan, pembuatan kertas dan sebagai sumber energi bahan bakar (Patrau 1989). Menurut Nonato et al. (2001) di Brazil tebu dikembangkan sebagai salah satu sumber energi penting (produksi etanol) serta untuk produksi bioplastik.

Perbaikan genetik pada tanaman tebu telah lama dilakukan dan belum menunjukkan hasil yang berarti, sehingga memasukkan gen tertentu dengan transformasi genetik merupakan salah satu cara penting untuk manipulasi genetik secara langsung pada tanaman. Transfer gen pada tanaman akan menghasilkan tanaman transgenik. Istilah transgenik dalam pengertian luas dipakai untuk tanaman yang memiliki gen asing yang berfungsi dan terintergrasi ke dalam genom tanaman (Uchimiya et al. 1989).

Pada awalnya gen yang banyak dipakai dalam transformasi tanaman adalah gen-gen reporter. Fungsinya lebih banyak untuk pengembangan teknik transfor-masi itu sendiri atau mempelajari sekuen-sekuen pengendali dalam mempelajari


(19)

ekspresi suatu gen di dalam sel tanaman. Perkembangannya kemudian dilakukan transfer gen yang mengendalikan karakter-karakter yang bernilai ekonomis sejalan dengan ketersediaan klon-klon gen tersebut. Beberapa faktor yang berperan dalam menghasilkan tanaman transgenik antara lain metode yang efisien dalam kloning gen, ketersediaan konstruksi gen-gen baru, teknik transformasi, regenerasi tanaman, sistem vektor yang terus dikembangkan dan promotor yang spesifik untuk ekspresi gen pada organ tertentu (Aswidinoor 1995).

Teknik transformasi genetik tanaman tebu pertama kali dilakukan oleh Hauptmann et al. (1986) menggunakan penanda seleksi gen CAT (chloramphe-nicol-acetyltransferase) yang berasal dari promotor CaMV 35S untuk mendapat-kan tanaman tebu yang tahan virus. Bower dan Birch (1992) menggunamendapat-kan partikel bombardment untuk suspensi sel dan kalus embriogenik dengan memasukkan gen neomycin phosphotransferase. Gallo dan Irvine (1993) mem-pelajari faktor fisik dan biologi yang berpengaruh terhadap ekspresi gen GUS secara transien pada tebu menggunakan teknik penembakan partikel. Hingga saat ini telah dilakukan penelitian tebu transgenik dengan sifat tertentu antara lain tahan terhadap insektisida dan beberapa herbisida yang lain, dan tahan terhadap serangan penyakit busuk batang (Arencibia et al. 1997). Wall dan Birch (1997) berhasil melakukan karakterisasi gen ketahanan albicidin dan ekspresinya pada tanaman tebu transgenik untuk ketahanan penyakit bercak daun. Pada tahun yang sama transformasi genetik tebu dengan bantuan Agrobacterium tumefaciens menggunakan antioksidan berhasil dilakukan oleh Enriquez-Obregón et al. (1997). Pada tahun 1998, Arencibia et al. melaporkan protokol yang efisien untuk transformasi tebu melalui A. tumefaciens EHA 101. Selain itu, Minarsih (2003) telah melakukan penelitian transformasi gen P5CS ke dalam sel tanaman tebu secara efektif dan efisien tanpa mengurangi kemampuan regenerasi dan ekspresi sel. Penelitian ini menghasilkan tanaman tebu dengan sifat toleransi terhadap kondisi kering.

Kultur Jaringan Tanaman Tebu

Teknik kultur jaringan adalah suatu metode mengisolasi bagian tanaman seperti protoplas, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, kemudian


(20)

menumbuh-6

kan dalam media buatan dengan kondisi aseptik dan lingkungan yang terkendali, sehingga bagian-bagian tanaman tersebut mampu memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman baru (Gunawan 1992). Menurut Suryowinoto (1991), kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman utuh yang mempunyai sifat seperti induknya. Ada empat aplikasi metode kultur jaringan dalam bidang pertanian, di antaranya adalah: 1) untuk produksi bahan-bahan fermentasi, 2) perbaikan sifat tanaman, 3) memelihara plasma nutfah, dan 4) pelipatgandaan hasil klon dari seleksi kultivar.

Dalam usaha peningkatan produktivitas tanaman tebu secara cepat pada tingkat petani awalnya digunakan teknik kultur jaringan tapi saat ini telah berkembang sebagai sarana pendukung program perbaikan sifat tanaman, misalnya mendapatkan sifat ketahanan penyakit, stres lingkungan atau perbaikan genetik lainnya.

Penelitian kultur jaringan tanaman tebu pertama kali dilakukan oleh Nickell di Hawai tahun 1961 dan dilanjutkan pada tahun 1977 oleh Heinz et al yang menjadi perintis teknik kultur jaringan tebu pertama di dunia, mereka berhasil mendapatkan planlet utuh yang berkembang dari kultur kalus dan menunjukkan variasi yang luas pada jumlah kromosom juga beberapa karakter penting dari tanaman tebu. Sejak saat itu berkembanglah teknik kultur jaringan tebu ini ke beberapa negara di dunia (Naik 2001).

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam teknik kultur jaringan tanaman tebu, yaitu: 1) komposisi media tumbuh, 2) bahan eksplan, 3) zat pengatur tumbuh tanaman, dan 4) kondisi lingkungan kultur.

Media tumbuh

Penggunaan teknik kultur jaringan tebu dibuat untuk mengamati pertumbuhan dan reorganisasinya. Dalam media tumbuh tanaman terdiri dari 95% air, nutrisi makro dan nutrisi mikro, vitamin serta gula. Nutrisi makro biasanya dibutuhkan dalam jumlah banyak sedangkan nutrisi mikro dalam jumlah sedikit. Vitamin merupakan komponen enzim atau kofaktor esensial untuk fungsi metabolik, yang dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan berperan penting dalam pertumbuhan tanaman. Gula juga merupakan zat penting dari nutrisi media esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan kultur (Trigiano & Dennis 2000).


(21)

Media yang umum dipakai untuk memelihara pertumbuhan kultur sel atau jaringan tebu adalah variasi dari media White atau media Murashige dan Skoog (MS). Menurut Heinz et al. (1977), media White lebih baik untuk mendorong per-tumbuhan kalus tapi tidak untuk totipotensinya sedangkan media MS lebih unggul dari media White dalam menginduksi diferensiasi kalus dan perkembangan selanjutnya. Murashige (1978) menekankan perlunya perimbangan tertentu dalam pemberian campuran garam-garam mineral, gula, vitamin dan ZPT. Naik (2001) menjelaskan nutrisi yang esensial terdiri dari garam anorganik dan sumber karbon (energi), vitamin, dan hormon tanaman serta bahan lain seperti nitrogen organik yang mengandung asam organik dan substansinya. Media kultur tersebut dapat ditambah dengan bahan-bahan seperti air kelapa, ekstrak khamir, sari buah tomat dan ekstrak malt. Ekstrak malt atau khamir lebih cocok untuk pertumbuhan kultur suspensi tebu dibandingkan dengan air kelapa. Sebagai sumber energi, sukrosa dan glukosa dapat dipilih di antara jenis gula yang ada karena pada tahap-tahap permulaan, eksplan baru tumbuh membentuk kalus yang belum mengadakan fotosintesis atau cara hidupnya belum autotrofik (Pierik 1987). Liu (1981) menyebutkan bahwa untuk menstimulasi pembentukan kalus lebih baik digunakan air kelapa dan mio-inositol yang ditambahkan pada media MS. Namun menurut Apriyanti (1990) bahwa pertumbuhan kalus menjadi planlet lebih baik dalam media dengan air kelapa dari pada ekstrak malt. Pierik (1987) menyatakan bahwa berhasil tidaknya suatu media untuk menumbuhkan eksplan menjadi kalus embriogenik atau planlet yang utuh tergantung pada genotip atau sifat eksplan itu sendiri dan interaksi antara faktor luar dan komponen medianya.

Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) pada tahun 1999 telah berhasil mengembangkan media MS yang dimodifikasi untuk perbanyakan tanaman tebu secara cepat melalui teknik kultur jaringan. Induksi kalus tanaman tebu, digunakan media MS-I yaitu media dasar yang dimodifikasi dengan vitamin dan ditambah 3 mg/L 2,4-D. Untuk diferensiasi kalus menjadi planlet digunakan media MS-II dengan media dasar MS yang telah dimodifikasi dan ditambahkan zat pengatur tumbuh IAA dan dalapon. Komposisi lengkap media MS-I dan MS-II disajikan dalam Lampiran 1.


(22)

8

Bahan eksplan

Dalam kultur jaringan tanaman tebu untuk mempercepat penampilan sifat totipotensi sangat dianjurkan menggunakan eksplan sebagai bahan tanam yaitu organ atau jaringan muda yang masih dalam keadaan meristematis. Pierik (1987) menyatakan bahwa meristem adalah sekelompok sel-sel yang mempunyai sifat selalu membelah, sel-selnya kecil dengan dinding tipis dan penuh plasma. Dalam tanaman ada suatu zone atau daerah yang secara permanen bersifat embriogenik.

Penggunaan eksplan dari jaringan muda lebih berhasil daripada jaringan tua, hal ini disebabkan jaringan muda lebih responsif terhadap hormon tumbuh pada media. Menurut Gunawan (1992), eksplan sebaiknya diambil dari bagian-bagian tanaman yang belum banyak mengalami perubahan bentuk dan kekhususan fungsi seperti meristem batang dan akar, meristem kambium, meristem interkalar, meristem daun dan fellogen. Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan eksplan yaitu sumber eksplan, ukuran dan umur fisiologi.

Bahan eksplan dari kultivar tebu yang berumur 3-4 bulan dan bebas penyakit sering dipakai dalam penelitian kultur jaringan tebu, dengan memperhatikan cara sterilisasinya karena permukaan bagian eksplan umumnya mengandung sejumlah mikroba kontaminan sehingga sterilisasi permukaan perlu dilakukan sebelum ditanam pada media (Naik, 2001).

Blanco et al. (1999) menggunakan bagian daun yang masih hijau sebagai sumber eksplan yang dipotong 3–5 mm. Minarsih (2003), untuk inisiasi kalus jaringan meristem yang belum mengalami diferensiasi menggunakan eksplan meristem daun atau jaringan muda yang masih menggulung.

Zat Pengatur Tumbuh tanaman (ZPT)

Zat pengatur tumbuh tanaman merupakan senyawa terpenting dalam kultur jaringan tebu karena zat-zat endogen dan eksogennya berperan langsung terutama dalam pembelahan dan pertumbuhan sel untuk pembentukan kalus maupun rege-nerasi tanaman. ZPT dibutuhkan dalam konsentrasi yang rendah sekitar 0,001-10 µM. ZPT yang sering digunakan yaitu auksin dan sitokinin untuk diferensiasi menjadi bertunas atau berakar atau regenerasi bagian tanaman terutama dari eksplan yang tumbuh menjadi kalus dan berdiferensiasi menjadi bertunas dan


(23)

berakar baik pada media cair maupun media padat (Trigiano & Dennis 2000). Kelompok auksin menyebabkan perpanjangan sel, pembelahan sel, pembentukan akar samping, menghambat pembentukan tunas aksilar. Kelompok sitokinin dapat memacu pertumbuhan sel bila dipakai bersama auksin, dalam konsentrasi 1-10 mg/L dapat menghindari pembentukan tunas samping sehingga menurunkan dominansi pertumbuhan apikal, menghambat pertumbuhan akar (Sastrowijono 1991).

Auksin dapat menginduksi diferensiasi pembentukan kalus dan pembelahan sel secara cepat. Heinz et al. (1977) menggunakan 2,4-D 3 mg/L untuk induksi kalus dengan penambahan air kelapa dan mio-inositol. Modifikasi media MS dengan kinetin 1 mg/L, NAA (naphtahlene acetic acid) 1 mg/L dan kasein hidrolisat 400 mg/L memberikan hasil yang baik untuk diferensiasi planlet dari kalus. Ahloowalia dan Maretzki (1983) berhasil mendapatkan kalus yang bersifat embriogenik dengan menggunakan medium MS ditambah 2,4-D 3 mg/L dan air kelapa 10%. Irvine et al. (1983) telah mencoba 79 macam bahan kimia untuk menginduksi pembentukan kalus tebu, yang diketahui efektif adalah 2,4-D, picloram dan dicamba dengan konsentrasi 2–20 mg/L. Falco et al. (1996) berhasil melakukan inisiasi kultur suspensi sel dengan media MS cair ditambah 2,4-D 3 mg/L, air kelapa 5% dan kasein hidrolisat 500 mg/L. Perbandingan pengaruh beberapa auksin seperti picloram, dicamba dan 2,4-D untuk induksi kalus juga dilakukan oleh Blanco et al. (1999) dengan media dasar MS, hasilnya picloram 8,2 µM, dicamba 22,6 µM dan 2,4-D 4,5 µM yang optimum untuk pembentukan kalus embriogenik dan embriogenesis somatik pada tanaman tebu kultivar CP 5243. Minarsih (2003) berhasil mendapatkan kalus dari jaringan parenkimatis yang belum mengalami diferensiasi dengan media MS ditambah air kelapa 10%, sukrosa 30 g/L dan 2,4-D 3 mg/L.

Kondisi lingkungan kultur

Keberhasilan teknik kultur jaringan tidak lepas dari kondisi lingkungan kulturnya, yaitu cahaya, suhu dan kelembaban ruang kultur. Adanya cahaya dalam ruang kultur dapat memperbaiki pertumbuhan kultur terutama dalam pembentuk-an klorofil dpembentuk-an pertumbuhpembentuk-an normal. Pengaruh cahaya dibedakpembentuk-an atas masa periodisitas, kualitas dan intensitas cahaya (Minarsih 2003). Kondisi lingkungan kultur yang ideal pada suhu 25 ± 2 oC dilengkapi dengan cahaya lampu flouresens


(24)

10

5000–10000 lux, kelembaban relatif ruang inkubasi diatur sekitar 70–80%, bila kurang dari 50% maka media yang disimpan akan cepat mengering sedangkan kelembaban yang terlalu tinggi meningkatkan kontaminan seperti jamur dan bakteri (Sugiyarta 1991). Arencibia et al. (1992) menggunakan lingkungan kultur untuk inkubasi kalus transgenik pada suhu 25 oC di bawah cahaya selama 16 jam dengan intensitas cahaya 2000 lux. Menurut Naik (2001), regenerasi tanaman tebu dari kultur meristem apikal dapat dilakukan pada suhu 20-26 oC dengan waktu cahaya 16 jam 5000-8000 lux.

Gen Fitase

Fitase (mio-inositol heksakisfosfat fosfohidrolase) merupakan suatu fosfo-monoesterase yang mampu menghidrolisis asam fitat menjadi ortofosfat anorganik dan ester-ester fosfat dari mio-inositol yang lebih rendah. Pada kondisi tertentu bahkan menjadi fosfat dan mio-inositol bebas. Menurut IUPAC-IUB, ada dua jenis enzim fitase yaitu:

a. 3-fitase (EC 3.1.3.8) yang mengkatalisis reaksi: mio-inositol heksakisfosfat + H2O → mio-inositol-1,2,4,5,6-pentakisfosfat + Pi

b. 6-fitase (EC 3.1.3.26) yang mengkatalisis reaksi: mio-inositol heksakisfosfat + H2O → mio-inositol-1,2,3,4,5-pentakisfosfat + Pi

Jenis 3-fitase umumnya terdapat pada mikroba, sedangkan 6-fitase umumnya terdapat pada biji-bijian. Greiner et al. (1993) menjelaskan bahwa 6-fitase ditemukan pula pada Escherichia coli. Sumber 6-fitase bervariasi mulai dari berbagai jenis mikroba seperti jamur dari genus Aspergillus (A. ficuum, A. oryzae, A. carbonarius dan A. niger), ragi (Saccharomyces cerevisiae, Schwanniomyces castellii) dan bakteri (Klebsiella aerogenes, Streptococcus bovis, Bacillus subtilis, E. coli) hingga jaringan hewan mammalia atau usus halus (Gargova & Sariyska 2003).

Eechout dan de Paepe (1994) melaporkan adanya fitase dalam bahan makanan yang berasal dari tumbuhan seperti gandum, gandum hitam, barley, jagung, padi dan hasil sampingan. Akan tetapi, menurut Lolas dan Markakis (1977) enzim fitase tidak stabil dalam bahan makanan sehingga tidak dapat diharapkan sebagai sumber enzim fitase. Distribusi enzim fitase dalam tanaman


(25)

tidak seimbang dengan kandungan fitatnya dan ada kemungkinan aktivitas enzim fitase dihambat oleh kandungan fitatnya yang tinggi.

Fitase juga merupakan enzim yang banyak digunakan sebagai bahan tambahan pada pakan ternak, yang dapat mengkatalisis pembebasan fosfat dari asam fitat yang menghasilkan mio-inositol, mio-inositol penta, tetra, tri, di dan monofosfat. Enzim ini sangat penting karena secara alami fosfor dalam pakan mengandung bentuk fitat yang tidak dapat dihidrolisis dalam sistem pencernaan tanpa tambahan enzim atau mikrobia mammalia yang menghasilkan fitase yang dapat digunakan sebagai probiotik (Purwadaria 2002).

Gen fitase dipilih untuk disisipkan ke dalam tanaman tebu karena gen ini menghasilkan enzim yang dapat mengubah senyawa fitat yaitu senyawa organik yang menyimpan unsur fosfat di dalam sel tanaman. Unsur fosfat yang tersimpan dalam fitat ini tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Namun jika senyawa fitat dihidrolisis akan menghasilkan ester yang berfosfat rendah dan melepaskan unsur fosfat anorganik. Gen fitase diharapkan dapat membuat tebu lebih efisien memanfaatkan fosfat, yang sebelumnya terikat dalam wujud senyawa organik di dalam jaringan tanaman dan tanah. Di dalam tanah senyawa fosfat organik mencapai hampir 50% yang seluruhnya tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Fosfat anorganik yang tersedia di dalam sel tanaman memberikan pengaruh positif pada proses pembentukan klorofil sehingga meningkatkan fotosintensis dan metabolisme tanaman tebu. Hasil fotosintesis ini disimpan menjadi gula tebu yang kadarnya disebut rendemen. Di samping itu, fitase juga meningkatkan ketersediaan mineral-mineral lainnya, seperti kalsium, magnesium dan kalium di dalam jaringan tanaman sehingga tanaman dapat mengurangi kebutuhan pupuk (Santosa 2002).

Konstruksi Vektor pBINPI-II EC

Vektor adalah molekul DNA yang diperlukan untuk membawa dan memperbanyak fragmen DNA yang dibawanya. Saat konstruksi DNA rekom-binan, vektor sirkuler harus dipotong terlebih dahulu dengan enzim pemotong. Dengan demikian fragmen DNA dimungkinkan untuk diklon ke dalamnya. Ada tiga syarat yang memungkinkan kloning dilakukan yaitu: 1) memiliki beberapa


(26)

12

cara transformasi DNA ke dalam sel; 2) vektor harus mampu bereplikasi dalam sel inangnya (umumnya E. coli, Agrobacterium dan khamir) meskipun beberapa vektor kloning dapat terintegrasi ke dalam sel mamalia; dan 3) integrasi gen dapat dideteksi pada media seleksi (Freifelder 1987; Kleinsmith & Kish 1995).

Beberapa jenis vektor dapat digunakan sebagai vektor rekombinan di antaranya adalah plasmid, virus, dan cosmid. Pertama, plasmid yaitu molekul DNA berbentuk sirkuler yang mampu bereplikasi dalam sitoplasma bakteri secara bebas. Plasmid juga membawa gen-gen ketahanan terhadap antibiotik yang berguna sebagai penyeleksi sel-sel bakteri yang mengandung plasmid rekombinan. Kedua, virus biasanya berasal dari bacteriofage λ, DNA yang dapat disisipkan sekitar 15 kb. Vektor rekombinan bakteriofage ini dapat ditransformasi ke dalam sel bakteri. Ketiga, cosmid yaitu DNA plasmid yang juga memiliki vektor kloning λ. Cosmid memiliki satu atau lebih gen penyeleksi antibiotik dan membawa sisi cos dari λ. DNA sisipan yang dapat diklon ke dalamnya berukuran relatif besar (40-45 kb). Terakhir, shuttle vector ialah molekul DNA yang mampu bereplikasi di dalam dua jenis sel berbeda atau lebih. Beberapa jenis shuttle vector yang banyak digunakan ialah molekul DNA yang mampu bereplikasi dalam sitoplasma bakteri atau khamir (Kleinsmith & Kish 1995).

Menurut Sambrook (2001), plasmid yang dijadikan vektor harus berukuran kecil. Ukuran kecil memungkinkan untuk disisipi fragmen DNA asing yang besar, mudah dikenali dengan peta restriksi, menghasilkan jumlah salinan relatif lebih banyak dibandingkan dengan plasmid berukuran besar. Brown (1996) menyarankan agar ukuran plasmid tidak lebih dari 10 kb. Semakin besar ukuran molekul, semakin sulit dilakukan pemurnian dan manipulasi DNA.

Plasmid dapat dibedakan berdasarkan sifat utama yang dikode oleh gen-gen di dalamnya, yaitu 1) Plasmid F atau plasmid fertilitas yaitu hanya membawa gen tra yang berfungsi untuk melakukan transfer plasmid secara konjugasi; 2) Plasmid R atau plasmid ketahanan yang membawa gen ketahanan bagi sel inang terhadap satu atau lebih gen antibakteri; 3) Plasmid Col yang mengkode kolkisin yaitu protein yang mampu membunuh bakteri lain (Freifelder 1987) sedangkan Brown (1996) menambahkan dua klasifikasi lainnya, yaitu 4) Plasmid degradatif, yang memungkinkan bakteri melakukan metabolisme tidak biasa; 5) Plasmid virulensi,


(27)

menyebabkan patogenesis pada bakteri inang, misalnya plasmid Ti pada Agrobacterium. Plasmid Ti dapat menyebabkan penyakit crown gall pada tanaman dikotil. Rekombinasi DNA saat ini banyak menggunakan plasmid alami yang dimodifikasi. Plasmid tersebut telah ditambah atau dikurangi gen-gen tertentunya dengan tujuan memudahkan rekombinasi. Dalam penelitian digunakan konstruksi gen kaset (Gambar 1) dalam plasmid pBINPI-II EC berukuran 11.810 bp (Lampiran 2). Plasmid pBINPI-II EC merupakan plasmid hasil konstruksi dan modifikasi yang dapat digunakan sebagai vektor bagi tanaman tebu. Plasmid ini memiliki signal peptide. Signal peptide merupakan suatu segmen yang terdiri dari 15–30 asam amino pada ujung N protein yang memungkinkan protein disekresikan melalui membran sel.

CaMV 35S SP phytase gene 900 bpappA of E. coli OCS nptII (Kan r )

EcoRI Asp718 BamHI/BglII SalI HindIII

Gambar 1. Konstruksi kaset gen fitase appA dalam vektor pBINPI-II EC. Keterangan: CaMV 35S: promotor dari virus Cauliflower mosaik 35S, SP: proteinase inhibitor II signal peptide, OCS: oktopin sintase (enhancer). Tanda panah menunjukkan situs enzim-enzim restriksi yang penting (Santosa et al. in press). Peta plasmid pBINPI-II EC disajikan dalam Lampiran 2.

Plasmid pBINPI-II EC membawa gen penyeleksi antibiotik nptII yang menyandikan enzim neomysin phosphotransferase (kanamisin). Kanamisin ber-guna sebagai penyeleksi di tingkat bakteri. Antibiotik ini tergolong amino-glikosida yang memiliki target ribosom bakteri. Golongan aminoamino-glikosida dapat mengikat sub unit kecil ribosom (30S) bakteri. Akibat pengikatan ini, penempelan sub unit besar ribosom (50S) menjadi terhalang sehingga protein tidak dapat ditranslasi. Bakteri yang membawa plasmid dengan penyeleksi kanamisin, menyebabkan enzim yang disandikannya aktif dan mampu memecah kanamisin sehingga bakteri menjadi resisten (Salyers & Whitt 1994).

Plasmid pBINPI-II EC dilengkapi dengan sekuen T-DNA, yaitu untaian DNA yang akan ditransfer ke dalam sel tanaman. Susunan gen-gen yang berada dalam T-DNA mulai dari batas kiri ke batas kanan ialah: 1) promotor Cauliflower Mosaic Virus 35S (CaMV 35S), 2) gen appA of E. coli dengan ukuran 900 bp yang mengandung gen fitase, dan 3) memiliki 10 sisi unik enzim restriksi. Sisi


(28)

14

unik tersebut merupakan suatu segmen pada plasmid yang besarnya antara puluhan hingga ratusan pasang basa sebagai sekuen pengenal enzim restriksi. Sekuen pengenal ini tidak terdapat di bagian lain pada molekul plasmid. DNA sisipan biasanya diklon ke dalam sisi unik (Brown 1996).

Transformasi dengan Bantuan Agrobakterium

Agrobacterium tumefaciens merupakan bakteri aerob obligat Gram negatif yang hidup alami di tanah dan banyak menyebabkan penyakit crown gall pada tanaman dikotil. Kemampuan untuk menyebabkan penyakit ini ada hubungannya dengan gen penginduksi tumor (tumor inducing / Ti) dalam sel bakteri (Beijersbergen dan Hooykaas 1993; Sheng & Citovsky 1996; Hiei et al. 1997).

Terdapat tiga komponen utama pada agrobakterium yang berperan dalam transfer DNA ke dalam sel tanaman (Sheng & Citovsky 1996). Komponen pertama ialah daerah DNA yaitu fragmen yang ditransfer ke sel tanaman. T-DNA terletak pada plasmid Ti (200 kb) dari agrobakterium yang diapit oleh sekuen berulang DNA (25 kb) sebagai batas T-DNA. Komponen kedua ialah daerah virulence (vir) yang berukuran 35 kb dalam plasmid Ti. Sedangkan menurut Beijersbergen dan Hooykaas (1993) gen vir berukuran sekitar 40 kb, letaknya bersebelahan dengan batas kiri T-DNA. Gen-gen vir ini terbagi atas 7 yaitu vir A, B, C, D, E, G, dan vir H. Gen vir mensintesis protein virulensi yang berperan menginduksi terjadinya transfer dan integrasi T-DNA ke dalam tanaman. Empat gen vir yang paling penting mensintesis protein virulensi ini ialah vir A, B, D dan G. Jika ada induser, vir A dan G yang terekspresi mampu mengaktifkan operon vir lainnya. Induser tersebut antara lain monosiklik fenolik acetosyringone dan monosakarida seperti glukosa dan galaktosa (Beijersbergen dan Hooykaas 1993). Selain induser, kondisi pH juga mempengaruhi kondisi gen vir. pH optimum untuk gen vir berkisar antara 5-5,8 (Hiei et al 1997). Senyawa fenolik dan monosakarida terbentuk pada saat tanaman dikotil luka dan mengeluarkan getah. Proses tersebut jarang terjadi pada tanaman monokotil, sehingga saat ko-kultivasi tanaman monokotil perlu dikondisikan. Penyesuaian kondisi dapat berupa penambahan fenolik, monosakarida dan pengaturan pH (Hiei et al. 1994). Komponen ketiga adalah gen chromosomal virulence (chv) yang terdiri atas chvA,


(29)

chvB, pscA (atau exoC) dan att. Gen-gen tersebut terletak di kromosom agrobakterium dan berfungsi untuk pelekatan bakteri ke dalam sel tanaman dengan membentuk senyawa protein β-1,2-glukan (Beijersbergen dan Hooykaas 1993).

Berdasarkan sifat alamiah agrobakterium tersebut, pada dasawarsa terakhir ini telah diupayakan pemindahan gen komersial untuk tanaman monokotil dengan cara menyisipkan gen tersebut ke daerah T-DNA.

Penyisipan T-DNA ke dalam plasmid Ti yang besar (200 kb) menghadapi masalah utama yaitu besarnya ukuran pTi sehingga menyulitkan dalam manipulasi dan menentukan tempat pemotongan yang khas pada plasmid Ti. Secara umum ada dua macam strategi menyisipkan DNA yaitu sistem vektor kointegrasi dan vektor ganda (Cramer & Radin 1990).

Walkerpeach dan Velten (1994) berpendapat bahwa syarat dari vektor ko-integrasi adalah 1) mempunyai tempat yang tepat untuk menyisipkan fragmen DNA, 2) memiliki gen penyeleksi antibiotik yang aktif pada E. coli maupun agrobakterium, 3) memiliki gen penanda untuk tanaman dan 4) memiliki ori yang berfungsi di E. coli tapi tidak di agrobakterium. Sistem vektor ganda (biner) membutuhkan 2 plasmid di dalam agrobakterium yaitu 1) plasmid vektor yang mengandung fragmen DNA, dan 2) plasmid penolong (helper) Ti yang menyediakan gen vir sebagai fasilitator transfer gen ke sel tanaman. Kedua plasmid dapat bereplikasi pada agrobakterium.

Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa umumnya vektor yang digunakan untuk transformasi tanaman dikotil maupun monokotil adalah vektor ganda. Dengan menggunakan vektor penyisipan gen (kloning) menjadi lebih mudah, karena vektor yang mengandung batas T-DNA berukuran lebih kecil dari plasmid Ti yang sesungguhnya. Ukuran plasmid yang kecil memungkinkan lebih banyak penyisipan gen pada sisi unik enzim restriksi (Slamet-Loedin 1994).

Analisis Tanaman Transgenik

Analisis tanaman transgenik dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain visual, histokimia dan molekuler. Pengamatan secara visual dilakukan jika T-DNA yang terintegrasi memiliki gen pelapor seperti gfp. Pengamatan dapat


(30)

16

dilakukan mulai fase kalus hingga tanaman dewasa, dengan tidak merusak jaringan atau sel.

Integrasi gen sisipan pada kalus atau planlet hasil transformasi dapat dianalisa secara molekuler menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) yaitu amplifikasi fragmen spesifik dari DNA total genom. Keuntungan teknik ini antara lain: cepat, DNA yang diperlukan sedikit, dapat dilakukan pada tahap dini dan teknik isolasi DNA sederhana. Amplifikasi DNA terjadi karena adanya enzim polimerase yang dihasilkan oleh bakteri termofilik Thermus aquaticus. Hal-hal yang menentukan keberhasilan amplifikasi antara lain adalah desain primer dan suhu yang digunakan selama proses PCR. Sekuen primer yang tepat memungkinkan amplifikasi hanya terjadi tepat pada fragmen spesifik. Primer harus bersifat komplemen terhadap DNA target. Semakin pendek ukuran primer (8-mer) maka semakin tidak spesifik fragmen yang dihasilkan. Sebaliknya semakin panjang primer (20-mer) akan semakin spesifik fragmen yang dihasilkan. Ukuran primer yang lebih besar dari 30-mer sangat jarang digunakan. DNA target yang diamplifikasi hendaknya tidak lebih dari 3 kb, karena ukuran ideal untuk PCR ini kurang dari 1 kb (Brown 1996).

Selama amplifikasi dalam setiap siklus terjadi tiga perubahan suhu. Tahap pertama DNA didenaturasi, umumnya pada suhu 94 oC. Saat denaturasi, DNA yang semula utas ganda terurai menjadi utas tunggal karena ikatan hidrogennya lepas. Tahap kedua suhu diturunkan sehingga memungkinkan primer menempel (annealing) pada DNA cetakan. Tahap ketiga terjadi pemanjangan DNA (sintesis), biasanya pada suhu 72 oC sehingga memungkinkan enzim DNA poli-merase bekerja.

Menurut Brown (1996), optimasi suhu annealing sangat penting agar primer menempel pada DNA cetakan. Suhu annealing diduga berdasarkan suhu melting Tm antara primer dengan DNA cetakan. Suhu annealing biasanya lebih rendah 1– 2 oC dari suhu melting. Dengan memperhatikan jumlah dan jenis basa dalam primer yang akan digunakan nilai Tm dapat ditentukan dengan rumus berikut: Tm = (4[G+C]) + (2[A+T]) oC.


(31)

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Lingkungan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB dari bulan Februari 2003, Laboratorium Bioteknologi Tanaman Fakultas Pertanian IPB dari bulan Juni 2004, dan Laboratorium Molekuler PT. Saraswanti Indo Genetech di Bogor dari bulan Januari 2005 hingga bulan Mei 2005.

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri atas dua bagian yaitu: 1) Kultur jaringan tanaman tebu, dan 2) Transformasi tebu dengan gen fitase.

1. Kultur jaringan tanaman tebu Sterilisasi dan penanaman eksplan

Eksplan tebu kultivar PA 117 dan PSJT 94-33 berasal dari daun muda dan sehat yang masih menggulung berumur 4–6 bulan. Pucuk tebu dipotong 20 cm di atas jaringan meristem. Secara aseptik, pucuk tebu dicelupkan ke dalam alkohol 70% lalu dibakar di atas api bunsen. Lapisan pucuk daun dibuka dan dibuang, diulang sebanyak tiga kali atau sampai kelihatan warna merah muda pada pucuk tebu. Media MS-I disiapkan lebih dahulu melalui sterilisasi dengan autoklaf 121

o

C selama 10 menit pada tekanan 1,5 atm. Selanjutnya untuk induksi kalus, bagian pucuk dipotong sepanjang 2–3 mm sebanyak 12 potong kemudian ditanam pada media MS-I (RNI 1999). Setiap petridis diisi 5-6 potong kemudian diinkubasi dalam ruang gelap bersuhu ±22 oC. Selama 1 bulan dapat diperoleh kalus dari jaringan parenkimatis yang mempunyai struktur kompak dan mampu berproli-ferasi. Untuk mempertahankan kalus dalam status embriogenik maka setiap 2-3 minggu kalus disubkulturkan pada media yang sama. Kalus embriogenik di-regenerasikan menjadi planlet pada media MS-II (P3GI 1999). Khusus untuk tebu kultivar PS 851 diberikan oleh RNI Cirebon dalam bentuk kalus sehingga siap digunakan untuk transformasi.

Regenerasi tanaman tebu

Ada dua tahap regenerasi tebu, yaitu: 1) optimasi media regenerasi kalus PA 117 dan PSJT 94-33; dan 2) regenerasi kalus transforman PSJT 94-33 pBINPI-II


(32)

18

EC dan PA 117 pBINPI-II EC pada media optimasi regenerasi, dan regenerasi kalus transforman PS 851 pBINPI-II EC pada media Modifikasi P3GI.

Tahap pertama, sebanyak enambelas perlakuan optimasi media regenerasi kalus PA 117 dan PSJT 94-33 adalah kombinasi media yang terdiri dari media dasar MS-II (P3GI 1999) dengan penambahan zat pengatur tumbuh IAA (β -indoleacetic acid) dan dalapon (2,2-dichloropropionic acid). Secara berurutan, perlakuan tersebut diberi prelabel R dan angka perbandingan dalam kurung menunjukan kombinasi IAA dan dalapon (mg/L). Label R1 (1:55), R2 (1:57), R3 (1:59), R4 (1:61), R5 (1,5:55), R6 (1,5:57), R7 (1,5:59), R8 (1,5:61), R9 (2:55), R10 (2:57), R11 (2:59), R12 (2:61), R13 (2,5:55), R14 (2,5:57), R15 (2,5:59), dan R16 (2,5:61). Kultur ditumbuhkan pada kondisi terang dengan suhu 22 oC. Setiap perlakuan diulang sebanyak 10 kali, pengamatan jumlah tunas dan daun dilakukan selama 4 minggu. Pada minggu berikutnya, kultur dipindahkan ke media cair yang sesuai dengan media optimum berdasarkan respon kultivar. Sebelum dipindahkan, bagian basalnya dipotong untuk induksi akar. Jumlah akar diamati selama 4 minggu.

Tahap kedua, regenerasi kalus transforman PA 117 pBINPI-II EC dan PSJT 94-33 pBINPI-II EC pada media optimasi regenerasi dilakukan berdasarkan hasil pada tahap pertama. Perbedaan respon kultivar terhadap kombinasi media mengakibatkan regenerasi kalus transforman kedua kultivar tersebut mengguna-kan media yang berbeda pula. Di bagian lain, regenerasi kalus transforman PS 851 pBINPI-II EC pada media Modifikasi (2 mg/L IAA + 59 mg/L dalapon) menggunakan media dengan penambahan glukosa 1%, asam sitrat dan asam askorbat masing-masing 2,5 mg/L (P3GI 1999).

Analisis data penelitian disusun menggunakan Rancangan Petak Terbagi (split plot experiment) dan Rancangan Acak Lengkap. Perhitungan statistik menggunakan SAS v8.2 Statistics Software (SAS Institute, NC-USA) dengan prosedur General Linier Model. Uji lanjut signifikansi menggunakan uji beda nyata jujur (BNJ/Tukey) dengan α 5% (Steel & Torrie 1993).

Optimasi media regenerasi kalus PA 117 dan PSJT 94-33 dilakukan meng-gunakan Rancangan Faktorial Petak Terbagi dengan 10 ulangan. Pengamatan variabel respon terjadi berulang selama empat minggu, sehingga koreksi karena


(33)

faktor pengamatan berulang adalah rancangan petak terbagi. Model rancangan petak terbagi adalah:

Yijk = µ + ρk + αi + δik + βj + (αβ)ij + εijk

µ : Nilai rataan umum

ρk : Pengaruh kelompok (ulangan) ke-k (k = 1-10)

αi : Pengaruh perlakuan, yaitu kombinasi IAA dan dalapon pada media

regenerasi

δik : Galat a, interaksi kelompok dan perlakuan.

βj : Pengaruh minggu pengamatan media regenerasi ke-j (j = 1, 2, 3, 4)

(αβ)ij: Pengaruh interaksi antara minggu dan perlakuan pada media

regenerasi.

εijk : Galat percobaan (b)

Yijk : Nilai pengamatan

Analisis statistik regenerasi kalus transforman PA 117 dan PSJT 94-33 pada media hasil optimasi dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 10 ulangan dan waktu pengamatan 4 minggu. Rancangan yang sama digunakan pada hasil regenerasi kalus transforman PS 851 dalam media Modifikasi P3GI. Variabel respon yang dianalisis adalah jumlah tunas, daun dan akar yang terbentuk. Model rancangan acak lengkap adalah:

Yij = µ + αi + εij

µ : Nilai rataan umum

αi : Pengaruh minggu ke-i (i = 1, 2, 3, 4)

εij : Galat percobaan pada minggu ke-i ulangan ke-j (j = 1-10)

Yij :Nilai pengamatan

2. Transformasi tebu dengan gen fitase

Bagian ini terdiri atas tiga tahap yaitu: 1) transformasi kalus tebu dengan bantuan A. tumefaciens GV2260 pBINPI-II EC; 2) isolasi DNA genom total; dan 3) analisis gen fitase dengan PCR.

Transformasi kalus tebu dengan bantuan A. tumefaciens GV2260 pBINPI-II EC Percobaan transformasi dilakukan menggunakan empat metode yaitu: 1) metode Enriquez-Obregón et al. (1997); 2) metode Minarsih (2003); 3) metode


(34)

20

Santosa et al. (2004); dan 4) metode Modifikasi yang merupakan modifikasi antara metode Minarsih (2003) dan metode Santosa et al. (2004).

Metode pertama, eksplan berasal dari jaringan meristem pucuk daun tebu. Sebelum kokultivasi eksplan diberi antioksidan (L-sistein 40 mg/L; asam askorbat 15 mg/L; perak nitrat 2 mg/L). Kultur A. tumefaciens ditumbuhkan pada media Luria Broth (tripton 10 g/L, ekstrak yeast 5 g/L, NaCl 5 g/L, sukrosa 5 g/L, dan H2O sampai tera) yang mengandung rifampisin 100 mg/L sampai diperoleh OD620

(optical density) = 0,6 kemudian disentrifugasi selama 5 menit pada 5000 rpm. Pelet yang didapatkan dicuci dengan MS cair yang ditambah dengan antioksidan. Kokultivasi selama 10 menit dan selanjutnya eksplan dipindahkan pada media MS-I yang ditambah dengan antioksidan, dan kemudian ditutup dengan kertas saring untuk mengurangi infeksi agrobakterium. Kokultur ini dilakukan selama 3 hari kemudian dicuci dengan aquades steril dan cefotaxime 500 mg/L. Setelah pencucian, eksplan ditanam pada media MS-I padat yang mengandung kanamisin 50 mg/L dan cefotaxime 500 mg/L selama 10 hari. Pucuk daun yang tidak ditumbuhi oleh agrobakterium dipindahkan pada media seleksi MS-I yang mengandung kanamisin 100 mg/L. Komposisi media metode ini disajikan dalam Lampiran 3.

Kedua, metode Minarsih (2003) hampir sama dengan metode yang dilakukan oleh Enriquez-Obregón et al. (1997). Namun eksplan yang digunakan adalah eksplan kalus dan densitas kultur A. tumefaciens untuk kokultivasi yaitu OD620 =

0,6 dengan pengenceran sepuluh kalinya. Komposisi media metode ini disajikan dalam Lampiran 4.

Ketiga, metode Santosa et al. (2004), kalus tebu dimasukkan ke dalam 2 mL eppendorf dan diinokulasi dengan 0,5 mL kultur suspensi A. tumefaciens (OD578 =

0,2), dibiarkan 5–10 menit pada suhu ruang. Kemudian, kalus dikeringkan dengan kertas saring steril untuk mengurangi cairan suspensi bakteri. Kalus yang telah dikeringkan tadi dimasukkan ke dalam 30 mL media MS yang mengandung 0,5 g/L kasein hidrolisat, 100 mg/L asetosiringon dan 50 mg/L kanamisin, inkubasi dengan kondisi gelap pada 28 oC sambil dishaking 60 rpm selama 2 hari, jika ada pertumbuhan agrobakterium media diganti dengan media baru. Setelah ko-kultivasi kalus dicuci dengan air steril sebanyak 2 kali lalu dikeringkan pada


(35)

kertas saring steril, kemudian kalus dipindahkan pada ke media MS cair sebanyak 25 mL yang mengandung 0,5 g/L kasein hidrolisat, cefotaxime 1000 mg/L dan inkubasi pada kondisi gelap 28 oC sambil dishaking pada 60 rpm selama 2 jam. Perlakuan diulang kembali. Kalus ditransfer ke dalam 30 mL media MS yang mengandung 0,5 mg/L kasein hidrolisat, 500 mg/L cefotaxime, lalu diinkubasi dengan kondisi gelap pada 28 oC sambil dishaking 60 rpm selama 2 hari. Jika ada pertumbuhan agrobakterium media diganti dengan media baru. Kemudian dipindahkan pada media MS yang mengandung 0,5 mg/L kasein hidrolisat, 500 mg/L cefotaxime, 100 mg/L kanamisin dan diinkubasi selama seminggu untuk memastikan tidak ada pertumbuhan bakteri. Setelah seminggu kalus dikeringkan lagi dengan kertas saring steril dan dipindahkan ke media MS padat yang mengan-dung 500 mg/L cefotaxime, 100 mg/L kanamisin, dengan kondisi gelap 28 oC selama 2 minggu atau lebih untuk memastikan tidak ada pertumbuhan agrobakterium. Selanjutnya, kalus ditanam pada media MS-I dengan kanamisin 100 mg/L untuk mendapatkan struktur yang kompak dan mampu berproliferasi. Komposisi media metode ini disajikan dalam Lampiran 5.

Keempat, metode Modifikasi (Minarsih 2003 dan Santosa et al. 2004) yang dilakukan adalah memodifikasi perlakuan pasca pencucian A. tumefaciens selama dua jam yang dilakukan oleh Santosa et al. (2004) kemudian tidak dipindahkan pada perlakuan inkubasi media cair selama satu minggu melainkan langsung dipindahkan pada media padat yang mengandung cefotaxime 500 mg/L (Minarsih 2003). Komposisi media metode ini disajikan dalam Lampiran 6.

Isolasi DNA genom total

DNA total diisolasi dari kalus yang berumur 4 minggu setelah transformasi pada kultivar PA 117, PSJT 94-33, dan PS 851 dengan metode DNeasy Plant Mini Kit (Qiagen). Setelah preparasi kit isolasi, sebanyak 100 mg sampel digerus menggunakan nitrogen cair dalam mortar untuk menghancurkan dinding sel menjadi bubuk. Segera setelah sampel berbentuk bubuk dilanjutkan menurut petunjuk kit isolasi.

Analisis gen fitase dengan PCR

DNA genom total digunakan untuk amplifikasi gen dengan teknik PCR (Sambrook & Russel 2001). Primer yang digunakan adalah primer spesifik untuk


(36)

22

gen fitase EC1: 5’–CAGGCTCTATCCGCTAATCG–3’ dan EC3: 5’– GGCGCGGTGGGGCAATAATC–3’ yang setiap reaksi diatur sebagai berikut; pre-start 95 oC selama 10 menit, denaturasi pada 95 oC selama 30 detik, annealing pada 50 oC selama 30 detik dan sintesis pada 72 oC selama 1 menit, dan stop 72

o

C selama 5 menit. Jumlah setiap campuran reaksi sebanyak 20 µL yang terdiri dari 10 µL Master Mix, 1 µL [0,5 µM/µL] masing-masing primer spesifik untuk gen fitase, 1 µL DNA [0,5 µg/mL] dari tanaman transforman dan kontrol dan 7 µL ddH2O. Reaksi dijalankan sebanyak 40 siklus setelah pre-start menggunakan

mesin PCR Eppendorf Mastercycler Personal. Kontrol negatif (tanpa DNA cetakan) selalu digunakan tiap kali mengerjakan PCR. Selanjutnya DNA hasil amplifikasi dimasukkan dalam sumur pada gel agarose 2% (b/v). Elektroforesis dijalankan selama 30 menit pada 100 volt dalam bufer 1x TAE (4.84 g Tris-base; 0.186 g Na2EDTA; 1,142 ml asam asetat glasial; 1 L dH2O) pada perangkat

elektroforesis mini submarine. Kemudian gel direndam dalam ethidium bromida 10 µg/mL selama 10 menit lalu dibilas dengan dH2O. Gel dilihat pada GelDoc


(37)

Kultur Jaringan Tanaman Tebu Sterilisasi dan penanaman eksplan

Sterilisasi bahan tanaman (eksplan) tebu dalam kultur jaringan ditujukan untuk memperoleh kalus embriogenik steril. Kalus ini akan digunakan untuk mendapatkan media yang optimum dalam regenerasi tanaman tebu, dan untuk transformasi gen fitase ke dalam genom tebu melalui A. tumefaciens GV2260. Cara sterilisasi yang dipakai dalam percobaan ini berturut-turut adalah dengan pencelupan alkohol 70%, pembakaran di atas nyala api spiritus, dan pengambilan eksplan yang agak jauh dari pucuk apikal sehingga eksplan menjadi steril, segar dan dapat tumbuh dengan baik dalam media MS-I (RNI 1999).

Kalus yang diinduksi dari eksplan daun menggulung (jaringan meristem) mulai terbentuk setelah 4 minggu pada media kultur MS-I. Berdasarkan teksturnya kalus yang dihasilkan bersifat kompak, viabel atau kombinasi antara keduanya. Umumnya tingkat viabilitas mengikuti tingkat konsentrasi auksin yang digunakan dan dalam percobaan ini auksin yang dipakai yaitu 2,4-D dengan konsentrasi 3 mg/L mampu membentuk kalus yang kompak. Warna kalus beragam mulai dari putih dan putih kekuningan. Inisisasi kalus dan hasil proliferasinya dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Inisiasi dan proliferasi kalus. a) Eksplan jaringan meristem b) Inisiasi kalus c) Hasil proliferasi setelah 4 minggu.

a

b


(38)

24

Regenerasi tanaman tebu kultivar PA 117 dan PSJT 94-33

Regenerasi tanaman tebu nontransforman kultivar PA 117 dan PSJT 94-33 bertujuan untuk mendapatkan media yang optimum untuk induksi tunas, daun, dan akar. Media yang digunakan adalah MS yang ditambahkan dengan zat pengatur tumbuh IAA dan dalapon dalam beberapa kombinasi konsentrasi. Induksi tunas dan daun dilakukan pada media padat. Jumlah tunas dan daun yang tumbuh sampai dengan minggu ke-4 dari kultivar PA 117 dapat dilihat berturut-turut pada Gambar 3 dan 4. Hasil optimasi media regenerasi untuk induksi tunas dan daun dapat dilihat pada Gambar 5. Sedangkan induksi akar dilakukan pada media cair dengan waktu pengamatan sampai dengan minggu ke-4. Jumlah akar yang terbentuk ditampilkan dalam Gambar 6.

Gambar 3. Grafik rataan jumlah tunas tebu kultivar PA 117 yang terbentuk sampai dengan minggu ke-4.

Pada Gambar 3, media yang optimum untuk regenerasi tebu kultivar PA 117 adalah R10 dengan kombinasi IAA 2 mg/L + dalapon 57 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan IAA dan dalapon berpengaruh nyata terhadap induksi jumlah tunas. Media regenerasi R10 hingga minggu ke-4 merupakan komposisi media yang menghasilkan jumlah tunas terbanyak (27 tunas) bila dibandingkan dengan R9 (23 tunas) yang komposisi IAA sama, namun komposisi dalaponnya lebih rendah. Hal ini tidak berarti bahwa IAA tidak diperlukan, karena perbandingan konsentrasi IAA dan dalapon tetap diperlukan untuk menginduksi tunas secara optimum.


(39)

Gambar 4. Grafik rataan jumlah daun tebu kultivar PA 117 yang terbentuk sampai dengan minggu ke-4.

Variasi penambahan dalapon berpengaruh nyata terhadap rata-rata jumlah daun kultivar PA 117 yang diamati sampai dengan minggu ke-4. Media regenerasi R10 merupakan komposisi media yang menghasilkan jumlah daun terbanyak (32 daun) dibandingkan dengan media regenerasi R9 (25 daun). Hasil ini menunjukkan bahwa konsentrasi dalapon yang optimum adalah sama, baik untuk induksi daun maupun tunas.


(40)

26

R1 R2 R3 R4

R5 R6 R7 R8

R9 R10 R11 R12

R13 R14 R15 R16

Gambar 5. Hasil optimasi media regenerasi tanaman tebu kultivar PA 117 sampai dengan minggu ke-4. Nomor gambar adalah tanaman hasil regenerasi berdasarkan kombinasi media yang ditambahkan IAA:dalapon [mg/L]. Secara berurut dari nomor R1 = 1:55; R2 = 1:57; R3 = 1:59; R4 = 1:61; R5 = 1,5:55; R6 = 1,5:57 mg/L; R7 = 1,5:59; R8 = 1,5:61; R9 = 2:55; R10 = 2:57; R11 = 2:59; R12 = 2:61; R13 = 2,5:55; R14 = 2,5:57; R15 = 2,5:59; dan R16 = 2,5:61. Optimasi media regenerasi terbaik terlihat pada gambar bernomor R10.


(41)

Gambar 6. Grafik rataan jumlah akar tebu kultivar PA 117 yang terbentuk sampai dengan minggu ke-4 pada media regenerasi R10.

Rata-rata jumlah akar yang terbentuk pada kultivar PA 117 yang diamati sampai dengan minggu ke-4 dapat dilihat pada Gambar 6. Pada minggu pertama induksi akar langsung terbentuk walaupun jumlahnya masih sedikit. Jumlah akar terbanyak berada pada minggu ke-4 ini berarti bahwa media induksi akar yang digunakan yaitu media cair dengan komposisi IAA 2 mg/L, dalapon 57 mg/L mampu menginduksi akar kultivar PA 117. Media cair yang digunakan sangat efektif untuk induksi akar sehingga akar yang terbentuk sangat kuat dan kokoh seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7.


(42)

28

Kedua jenis zat pengatur tumbuh yaitu IAA dan dalapon berperan sangat penting dalam regenerasi kalus menjadi planlet. IAA termasuk dalam kelompok auksin alamiah yang banyak terdapat pada tanaman. Sedangkan dalapon secara komersial termasuk dalam kelompok herbisida. Penambahan IAA dan dalapon dalam regenerasi kalus tanaman tebu kultivar PA 117 terbukti mampu meng-induksi tunas, daun, dan akar. Konsentrasi kedua zat pengatur tumbuh adalah sebanyak 2 mg/L IAA, dan 57 mg/L dalapon.

Gambar 8. Grafik rataan jumlah tunas tebu kultivar PSJT 94-33 yang terbentuk sampai dengan minggu ke-4.

Berbeda dengan PA 117, pada Gambar 8, terlihat jelas bahwa media yang optimum untuk induksi tunas kultivar PSJT 94-33 adalah R4 (IAA 1 mg/L, dalapon 61 mg/L), dibandingkan dengan R3 yang jumlah IAAnya sama. Ini menunjukkan bahwa konsentrasi dalapon berpengaruh nyata terhadap induksi tunas kultivar PSJT 94-33 namun tidak berarti konsentrasi IAA tidak berpengaruh. Diduga jumlah IAA yang tersedia secara endogen mampu berinteraksi dengan dalapon sehingga dengan konsentrasi IAA 1 mg/L mampu menginduksi tunas.


(43)

Gambar 9. Grafik rataan jumlah daun tebu kultivar PSJT 94-33 yang terbentuk sampai dengan minggu ke-4.

Dari gambar di atas terlihat bahwa kombinasi media R4 (IAA 1 mg/L, dalapon 61 mg/L) merupakan media yang optimum untuk pembentukan daun kultivar PSJT 94-33 dibanding dengan kombinasi media yang lain. Konsentrasi IAA 1 mg/L tidak hanya menginduksi tunas tapi juga mampu berperan dalam pembentukan daun. Ini menunjukkan bahwa kombinasi media R4 terbukti dapat menginduksi tunas dan daun kultivar PSJT 94-33. Hasil optimasi berbagai kombinasi media regenerasi dapat dilihat pada Gambar 10.


(44)

30

Gambar 10. Hasil optimasi media regenerasi tanaman tebu kultivar PSJT 94-33 sampai dengan minggu ke-4. Keterangan nomor sama seperti yang dijelaskan dalam Gambar 5. Untuk nomor R13-R16 tidak disajikan karena kalus tidak mampu tumbuh. Optimasi media terbaik tampak pada gambar bernomor R4.

Gambar 11. Grafik rataan jumlah akar tebu kultivar PSJT 94-33 yang terbentuk sampai dengan minggu ke-4 pada media regenerasi R4.

R1 R2 R3 R4

R5 R6 R7 R8


(45)

Jumlah akar kultivar PSJT 94-33 yang terbentuk pada media cair dengan kombinasi IAA 1 mg/L, dalapon 61 mg/L sangat nyata pada minggu pengamatan yang ke-4. Pada minggu pertama pembentukan akar sangat sedikit dan masih sangat lemah dibandingkan dengan minggu keempat yang struktur akarnya lebih kokoh, seperti ditunjukan pada Gambar 12.

Gambar 12. Hasil induksi akar tebu kultivar PSJT 94-33 pada media regenerasi R4.

Secara menyeluruh, regenerasi tanaman tebu kultivar PA 117 dan PSJT 94-33 dengan kombinasi IAA dan dalapon berhasil dilakukan dengan baik. Respon regenerasi yang optimum antar kedua kultivar berbeda pada kombinasi kedua zat pengatur tumbuh yang digunakan. Dari laporan penelitian yang ada ternyata untuk pertumbuhan dan perkembangan kultur jaringan diperlukan komposisi atau konsentrasi zat pengatur tumbuh yang berbeda untuk satu kultivar dengan kultivar lain dari suatu jenis tanaman (Wattimena 1992).

Regenerasi kalus transforman

Hasil regenerasi kalus transforman kultivar PA 117, PSJT 94-33, dan PS 851 menunjukkan respons yang berbeda. Kultivar PSJT 94-33 pada media regenerasi R4 (IAA 1 mg/L dan dalapon 61 mg/L) dapat menginduksi tunas dan daun. Sedangkan kultivar PA 117 yang ditanam pada media regenerasi R10 (IAA 1,5 mg/L dan dalapon 57 mg/L) dan PS 851 pada media regenerasi P3GI modifikasi (IAA 2 mg/L dan dalapon 59 mg/L) hanya mampu menginduksi tunas dengan struktur yang lemah, seperti terlihat pada Gambar 13. Hal ini diduga karena kalus hasil transformasi memiliki kemampuan regenerasi yang rendah akibat berbagai


(46)

32

perlakuan pada saat transformasi. Selain itu, respon masing-masing kultivar terhadap zat pengatur tumbuh pada media regenerasi juga berbeda karena genotip sumber jaringan atau organ yang digunakan (Wattimena et al. 1992).

Gambar 13. Regenerasi tebu transforman PA 117, PSJT 94-33, dan PS 851. Rendahnya hasil regenerasi kalus transforman menjadi tanaman hijau sangat berbeda dengan kalus nontransforman. Chung (1992) dan Chen (1983) menyatakan proporsi tanaman hijau dan albino tersebut selain tergantung pada genotipa tanaman juga pada kondisi kultur, misalnya suhu inkubasi. Dari studi molekuler, gen inti maupun sitoplasmik dan interaksinya mungkin mempengaruhi produksi tanaman albino.

Rataan tunas transforman kultivar PA 117 yang terbentuk selama pengamatan sampai dengan minggu keempat disajikan dalam Gambar 14. Sejak minggu pertama, telah terbentuk tunas meskipun dalam jumlah sangat sedikit dengan struktur yang lemah. Struktur tunas yang kokoh mulai terbentuk pada minggu keempat. Hal ini diduga karena kemampuan regenerasi kalus transforman yang berkurang akibat sub kultur yang dilakukan.

Rataan tunas dan daun hasil regenerasi kalus transforman kultivar PSJT 94-33 disajikan dalam Gambar 15. Pada minggu pertama, tunas sudah dapat dibentuk, sedangkan daun belum terbentuk. Namun pada perkembangan minggu-minggu berikutnya, jumlah tunas dan daun hampir sebanding, yaitu dapat mencapai rata-rata 12. Rata-rata regenerasi kalus transforman yang dapat membentuk tunas dan daun masih sangat kurang dibandingkan dengan rata-rata regenerasi kalus nontransforman.


(47)

Gambar 14. Grafik rataan jumlah tunas transforman kultivar PA 117 pada media regenerasi R10.

Gambar 15. Grafik rataan jumlah tunas dan daun yang terbentuk dari regenerasi kalus transforman kultivar PSJT 94-33 pada media regenerasi R4. Rataan tunas transforman pada kultivar PS 851 yang ditanam pada media regenerasi Modifikasi P3GI (IAA 2 mg/L dan dalapon 59 mg/L) ditampilkan pada Gambar 16. Pada minggu pertama, tidak ada tunas yang terbentuk. Tunas terbentuk pada minggu kedua dengan struktur yang sangat lemah. Akan tetapi sampai dengan minggu keempat struktur tunas masih lemah sehingga tidak mampu membentuk daun. Diduga karena adanya perlakuan transformasi yang menimbulkan stress pada kalus sehingga kemampuan regenerasi berkurang.


(48)

34

Gambar 16. Grafik rataan tunas transforman yang terbentuk dari regenerasi kalus transforman kultivar PS 851 pada media regenerasi Modifikasi P3GI.

Transformasi Tebu dengan Gen Fitase

Transformasi tanaman tebu dengan gen fitase dilakukan menggunakan empat metode transformasi, yaitu: Metode Enriquez-Obregón et al. (1997), metode Minarsih (2003), metode Santosa et al. (2004) dan metode Modifikasi dari metode Minarsih (2003) dan Santosa et al. (2004). Transformasi gen fitase ke dalam genom tebu menggunakan eksplan jaringan meristem dan kalus. Keempat metode transformasi dan hasil transformasinya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Empat metode transformasi gen fitase pada eksplan tebu

Metode Transformasi Kultivar Keterangan

Enriquez-Obregón et al (1997)

PSJT 94-33 CB 6979 BR 194

Sumber eksplan pucuk daun tebu (jaringan meristem), kontaminasi A.tumefaciens 100%, jaringan rusak. Minarsih (2003) BR 194

PA 183

Sumber eksplan kalus, kontaminasi A.tumefaciens 10%, lolos media seleksi 50%.

Santosa et al (2004) PSJT 94-33 PA 183

Sumber eksplan kalus, kontaminasi A.tumefaciens 50%, lolos media seleksi 80%.

Modifikasi PA117

PSJT 94-33 PS 851

Sumber eksplan kalus, kontaminasi A.tumefaciens 10%, lolos media seleksi 80%.


(49)

Pada metode Enriquez-Obregón (1997), eksplan yang digunakan adalah jaringan meristem dari tiga kultivar tanaman tebu (PSJT 94-33, CB 6979 dan BR 194). Pada tahapan setelah kokultivasi eksplan dengan A. tumefaciens terjadi kontaminasi agrobakterium pada semua eksplan. Usaha untuk menghilangkan kontaminan dilakukan pencucian dengan aquades dan media MS-I yang mengandung cefotaxime 500–750 mg/L secara berulang-ulang, tetapi kontaminan tidak dapat dihilangkan. Pengaruh selanjutnya karena pencucian berulang-ulang tersebut, maka eksplan jaringan meristem mengalami kerusakan yang mengakibatkan daya tumbuhnya berkurang.

Metode kedua yang dilakukan yaitu metode Minarsih (2003). Tahapan kerja metode ini hampir sama dengan metode Enriquez-Obregón (1997) perbedaannya pada sumber eksplan yang digunakan yaitu kalus dan adanya pengenceran kultur A. tumefaciens sebelum kokultivasi. Hasil transformasi pada media seleksi dengan metode ini disajikan pada Gambar 17a dan b. Pada tahapan kerja yang dilakukan, kontaminan agrobakterium dapat dihilangkan dengan pencucian menggunakan media MS-I yang mengandung cefotaxime 500 mg/L dan kalus sebagai eksplannya tidak mudah rusak karena struktur kalusnya lebih kompak dibandingkan dengan eksplan pada metode yang pertama. Pengenceran kultur A. tumefaciens yang dilakukan sebelum kokultivasi menyebabkan makin kecilnya kemungkinan gen fitase masuk ke dalam genom tanaman, hal ini nampak pada kalus transforman yang dapat tumbuh di media seleksi sekitar 50%.

Metode transformasi menurut Santosa et al (2004), kultur A. tumefaciens diencerkan sampai OD = 0,2 dan pencucian kalus transforman dilakukan beberapa tahap. Pertama, pencucian kalus menggunakan media MS-I yang mengandung cefotaxime 1000 mg/L selama 2 jam dengan cara dishaking agar dapat menghambat pertumbuhan sel A. tumefaciens. Kedua, setelah dishaking selama 2 jam, kalus diinkubasi dengan media MS-I yang mengandung cefotaxime 500 mg/L selama dua hari untuk memastikan bahwa kalus tidak tumbuh bakteri. Pada metode ini kalus diyakini tidak terkontaminasi lagi jika masa inkubasi selama satu minggu tidak ada pertumbuhan A. tumefaciens, hasil transformasi disajikan pada Gambar 17c dan d. Keberhasilan metode transformasi ini sangat tinggi, hal ini ditunjukkan oleh Santosa et al (2004) yang berhasil mendapatkan kalus


(50)

36

transforman yang bebas dari kontaminan bakteri sebesar 100%. Akan tetapi metode ini memiliki kendala yaitu pada saat pencucian dengan cara dishaking bila tidak dilakukan secara hati–hati dapat menyebabkan over growth population yang penanganannya akan lebih sulit. Pada penelitian yang dilakukan, kontaminan A. tumefaciens masih tinggi sekitar 50% hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan kultur yang mempengaruhi pertumbuhan A. tumefaciens. Optical Density (OD) A. tumefaciens yang diinkubasi selama tujuh jam OD578 = 1,9. Sedangkan Santosa et

al (2004) mendapatkan OD578 = 0,5 untuk inkubasi selama tujuh jam. Hal ini

menunjukkan bahwa kecepatan pertumbuhan, jumlah sel yang ditumbuhkan dan kecepatan agitasi pada masing–masing kondisi kultur berbeda. Dengan demikian metode ini dapat dipakai dengan mempertimbangkan OD dari kultur A. tumefaciens yang akan digunakan pada saat kokultivasi.

Metode yang keempat yaitu metode Modifikasi dari metode Minarsih (2003) dan Santosa et al. (2004). Modifikasi yang dilakukan yaitu pada tahap setelah pencucian kalus dengan media MS-I yang mengandung cefotaxime 1000 mg/L selama dua jam pada rotary shaker, kalus tidak lagi di inkubasi selama dua hari pada media yang sama tapi langsung dipindahkan ke media MS-I padat yang mengandung cefotaxime 500 mg/L. Dengan cara demikian dapat menghilangkan kontaminasi A. tumefaciens yang tumbuh berlebihan karena kalus transforman langsung dipindahkan dari media cair ke media padat. Metode ini berhasil dilakukan sehingga kalus transforman kultivar PA 117, PSJT 94-33, dan PS 851 tidak terjadi kontaminasi setelah pencucian dengan media cair MS-I yang ditambah dengan cefotaxime 1000 mg/L. Hasil kalus yang dapat tumbuh di media seleksi dapat dilihat pada Gambar 17e-g.


(51)

Gambar 17. Kalus tebu transforman yang dihasilkan dari beberapa metode transformasi. Keterangan: a & b = Minarsih pada kultivar BR 194 & PA 183; c & d = Santosa pada kultivar PSJT 94-33 & PA 183; e, f & g = Modifikasi pada kultivar PSJT 94-33, PA 117 & PS 851.

a b

c d

e f


(52)

38

Analisis Gen Fitase dengan PCR

Verifikasi introduksi gen fitase ke dalam genom tanaman tebu hanya dapat dilakukan pada kalus. Hal ini disebabkan karena kesulitan untuk meregenerasikan kalus transforman menjadi planlet utuh. Setelah isolasi DNA dilakukan, analisis gen fitase dilakukan amplifikasi gen fitase dengan teknik PCR menggunakan primer EC1 dan EC3 berhasil dilakukan. Pada Gambar 18 ditampilkan hasil elektroforesis produk PCR gen fitase.

Gambar 18. Hasil PCR gen fitase dari kalus transforman yang berumur 4 minggu setelah transformasi. Keterangan: M = Marker 100 bp InvitrogenTM, K+ = Kontrol positif pBINPI-II EC, 1 = Kultivar PSJT 94-33, 2 = Kultivar PA117, 3 = Kultivar PS 851, 4 = Kultivar PS 851 (negatif), 5 = Kultivar PA117 (negatif), K─ = Kontrol negatif, tanpa DNA cetakan.

Pada Gambar 18 di atas menunjukkan bahwa ketiga kalus transforman terbukti memiliki gen fitase dengan ukuran fragmen hasil amplifikasi kurang lebih 900 bp (sumur gel 1-3). Beberapa kalus lain yang diuji hasilnya negatif (sumur gel 4 dan 5) mungkin disebabkan oleh kualitas hasil isolasi DNA, antara lain karena jumlah kalus sedikit sehingga DNA yang dihasilkan terlalu sedikit.

2072 bp 1500 900 600

100


(53)

K-Simpulan Simpulan penelitian ini adalah:

1. Optimasi media regenerasi untuk kultivar PA 117 dan PSJT 94-33 berbeda. Media regenerasi untuk induksi tunas, daun, dan akar dari kalus kultivar PA 117, dan untuk induksi tunas dan akar kalus kultivar PSJT 94-33 berturut-turut adalah R10 (IAA 2 mg/L, dalapon 57 mg/L) dan R4 (IAA 1 mg/L, dalapon 57 mg/L).

2. Regenerasi kalus transforman tiga kultivar PA 117, PSJT 94-33, dan PS 851 berbeda. Kalus kultivar PSJT 94-33 pada media R4 mampu membentuk tunas dan daun, sedangkan kultivar PA 117 (pada media R10) dan PS 851 (pada media Modifikasi P3GI) hanya membentuk tunas.

3. Metode transformasi terbaik yang digunakan adalah metode Santosa dan Modifikasi.

4. Uji keberadaan gen fitase dalam kalus transforman berhasil diamplifikasi menggunakan primer spesifik dengan ukuran fragmen hasil PCR sebesar ± 900 bp.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang optimasi media regenerasi kalus transforman untuk mendapatkan planlet. Untuk selanjutnya, pengujian stabilitas dan ekspresi gen fitase dalam tanaman transforman dilakukan.


(54)

DAFTAR PUSTAKA

Ahloowalia BS, Maretzki A. 1983. Plant regeneration via somatic embryogenesis in sugarcane. Plant Cell Reports 2:19-20.

Apriyanti A. 1990. Percobaan sterilisasi jaringan tebu (Saccharum officinarum L.) var. F 154. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Arencibia A, et al. 1997. Transgenic sugarcane plants resistant to stem-borer attack. Mol Breed 3:247-255.

Arencibia A, et al. 1998. An efficient protocol for sugarcane (Saccharum spp.) transformation mediated by Agrobacterium tumefaciens. Transgenic Res 7:213-222.

Aswidinoor H. 1995. Transformasi gen: sumber baru keragamaan genetik dalam pemuliaan tanaman. Zuriat 6:56-67.

Beijersbergen A, Hooykaas PJL. 1993. Transkingdom promiscuty similarities between T-DNA transfer by A. tumefaciens and bacteria conjugation. [disertation]. pp 9-26.

Blanco MA, Magdalena SN, Ramiro C, Nadina N. 1999. Storage protein in sugarcane: an interesting exception in monocots. Plant Cell Tissue Organ Cult 59:217-218.

Bower R, Birch RG. 1992. Transgenic sugarcane plants via microprojectile bombardment. Plant J 2:409-416.

Brown TA. 1996. Gene cloning: an introduction. Chapman & Hall.

Chen Y. 1983. Cell And Tissue Culture Techniques for Cereal Crop Improvement. Proceedings of a Workshop Cosponsored by the Institute of Genetics, Academia Sinica and the International Rice Institute. China: Sci. Pr. pp 11-26.

Chung GS. 1992. Anther culture for rice improvement in Korea. In: Zheng K, Murashige T (Eds.). Anther culture for rice breeders. Seminar and training for rice anther culture at Hangzhou, China. pp 8-37.

Cramer CL, Radin DN. 1990. Molecular biology of plants. In: Nakas JP, Hagedorn C (Eds.). Biotechnology of Plant Microbes Interaction. New York: McGraw-Hill. pp 1-49.

Eechout W, de Paepe M. 1994. Total phosphorus, phytate-phosphorus and phytase activity in plant foodstuff. Feed Sci Tech 47:19-29.

Enriquez-Obregón GA, Vázquez-Padrón RI, Prieto-Samsónov DL, Pérez M, Selman-Housein G. 1997. Genetic transformation of sugarcane by Agrobacterium tumefaciens using antioxidant compounds. Biotechnol Aplle 14:169-174.


(1)

Lampiran 7

. Analisis data statistik. Sebagian data mentah, statistik diskriptif, dan uji lanjut tidak

disajikan atas pertimbangan tataletak.

General Linear Models Procedure Class Level Information

Class Levels Values

MINGGU 4 1 2 3 4

PRLK 16 R1 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 BLOK 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Number of observations in data set = 600

Dependent Variable: JTPA117 Jumlah tunas tebu kultivar PA 117

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

BLOK 9 44.62666667 4.95851852 2.24 0.0191 PRLK 15 6196.07083333 413.07138889 55.41 0.0001 PRLK*BLOK(a) 135 1006.48166667 7.45541975 3.36 0.0001 MINGGU 3 17910.47291667 5970.15763889 2693.64 0.0001 MINGGU*PRLK 41 1853.25208333 45.20127033 20.39 0.0001 Error(b) 396 877.69166667 2.21639310

Corrected Total 599 25871.46000000

R-Square C.V. Root MSE JTPA117 Mean 0.966075 19.77099 1.48875555 7.53000000

General Linear Models Procedure Class Level Information

Class Levels Values

MINGGU 5 1 2 3 4

PRLK 16 R1 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 BLOK 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Number of observations in data set = 560

Dependent Variable: JDPA117 Jumlah daun tebu kultivar PA 117

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

BLOK 9 454.93035714 50.54781746 9.95 0.0001 PRLK 15 6268.79687500 417.91979167 15.36 0.0001 PRLK*BLOK(a) 135 3673.06130952 27.20786155 5.35 0.0001 MINGGU 3 25311.73020833 8437.24340278 1660.59 0.0001 MINGGU*PRLK 37 768.07812500 20.75886824 4.09 0.0001 Error(b) 360 1829.10833333 5.08085648

Corrected Total 559 35641.05535714

R-Square C.V. Root MSE JDPA117 Mean 0.948680 19.67091 2.25407553 11.45892857


(2)

BLOK 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Number of observations in data set = 440

Dependent Variable: JTPSJT Jumlah tunas tebu kultivar PSJT 94-33

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

BLOK 9 86.13863636 9.57095960 5.14 0.0001 PRLK 11 6148.84166667 558.98560606 90.13 0.0001 PRLK*BLOK(a) 99 614.01136364 6.20213499 3.33 0.0001 MINGGU 3 22326.52083333 7442.17361111 3996.17 0.0001 MINGGU*PRLK 29 656.12916667 22.62514368 12.15 0.0001 Error(b) 288 536.35000000 1.86232639

Corrected Total 439 27576.79772727

R-Square C.V. Root MSE JTPSJT Mean 0.980551 12.75664 1.36467080 10.69772727

General Linear Models Procedure Class Level Information

Class Levels Values

MINGGU 4 1 2 3 4

PRLK 16 R1 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 BLOK 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Number of observations in data set = 400

Dependent Variable: JDPSJT Jumlah daun tebu kultivar PSJT 94-33

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

BLOK 9 38.59000000 4.28777778 4.52 0.0001 PRLK 11 11607.11145833 1055.19195076 154.26 0.0001 PRLK*BLOK(a) 99 677.18500000 6.84025253 7.21 0.0001 MINGGU 3 20589.06979167 6863.02326389 7229.52 0.0001 MINGGU*PRLK 25 637.95520833 25.51820833 26.88 0.0001 Error(b) 252 239.22500000 0.94930556

Corrected Total 399 26617.44000000

R-Square C.V. Root MSE JDPSJT Mean 0.991012 8.413844 0.97432313 11.58000000


(3)

General Linear Models Procedure Class Level Information

Class Levels Values MINGGU 4 1 2 3 4

Number of observations in data set = 40

Dependent Variable: JAPA117 Jumlah akar kultivar PA 117

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

MINGGU 3 3667.27500000 1222.42500000 737.14 0.0001 Error 36 59.70000000 1.65833333

Corrected Total 39 3726.97500000

R-Square C.V. Root MSE JAPA117 Mean 0.983982 7.144316 1.28776292 18.02500000

General Linear Models Procedure Class Level Information

Class Levels Values MINGGU 4 1 2 3 4

Number of observations in data set = 40

Dependent Variable: JAPSJT Jumlah akar kultivar PSJT 94-33

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

MINGGU 3 3512.60000000 1170.86666667 422.36 0.0001 Error 36 99.80000000 2.77222222

Corrected Total 39 3612.40000000

R-Square C.V. Root MSE JAPSJT Mean 0.972373 8.626939 1.66499917 19.30000000


(4)

3 1 3 2 0 1 0

4 1 4 1 0 2 0

5 1 5 0 0 2 0

6 1 6 1 0 1 0

7 1 7 1 0 1 0

8 1 8 2 0 1 0

9 1 9 1 0 0 0

10 1 10 1 0 0 0

11 2 1 3 3 3 1

12 2 2 4 4 6 3

13 2 3 3 3 5 2

14 2 4 4 3 7 2

15 2 5 2 4 6 2

16 2 6 5 5 5 3

17 2 7 4 4 6 3

18 2 8 3 4 5 2

19 2 9 3 3 3 2

20 2 10 4 5 3 3

21 3 1 7 7 7 4

22 3 2 8 8 10 5

23 3 3 6 8 10 7

24 3 4 7 7 11 5

25 3 5 5 9 10 7

26 3 6 8 10 11 8

27 3 7 7 8 10 5

28 3 8 6 7 12 7

29 3 9 7 7 9 6

30 3 10 8 8 10 9

31 4 1 13 13 11 8

32 4 2 14 12 16 9

33 4 3 11 13 15 10

34 4 4 13 11 16 10

35 4 5 10 15 17 10

36 4 6 13 16 17 12

37 4 7 12 12 14 9

38 4 8 10 13 19 10

39 4 9 11 10 16 10

40 4 10 14 14 15 15

Keterangan:

jtpsjt_t = Jumlah tunas kultivar PSJT 94-33 transforman pd media R4 jdpsjt_t = Jumlah daun kultivar PSJT 94-33 transforman pd media R4 jtpa117t = Jumlah tunas kultivar PA 117 transforman pd media R10


(5)

General Linear Models Procedure Class Level Information

Class Levels Values MINGGU 4 1 2 3 4

Number of observations in data set = 40

Dependent Variable: JTPSJT_T Jumlah tunas kultivar PSJT 94-33 transforman pd media R4

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

MINGGU 3 682.40000000 227.46666667 208.90 0.0001 Error 36 39.20000000 1.08888889

Corrected Total 39 721.60000000

R-Square C.V. Root MSE JTPSJT_T Mean 0.945676 17.68641 1.04349839 5.90000000

General Linear Models Procedure Class Level Information

Class Levels Values MINGGU 4 1 2 3 4

Number of observations in data set = 40

Dependent Variable: JDPSJT_T Jumlah daun kultivar PSJT 94-33 transforman pd media R4

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

MINGGU 3 919.70000000 306.56666667 254.29 0.0001 Error 36 43.40000000 1.20555556

Corrected Total 39 963.10000000

R-Square C.V. Root MSE JDPSJT_T Mean 0.954937 17.85330 1.09797794 6.15000000

General Linear Models Procedure Class Level Information

Class Levels Values MINGGU 4 1 2 3 4

Number of observations in data set = 40

Dependent Variable: JTPA117T Jumlah tunas kultivar PA 117 transforman pd media R10

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

MINGGU 3 1216.90000000 405.63333333 182.08 0.0001 Error 36 80.20000000 2.22777778

Corrected Total 39 1297.10000000

R-Square C.V. Root MSE JTPA117T Mean 0.938170 19.01368 1.49257421 7.85000000


(6)

Dependent Variable: JTPS851T Jumlah tunas kultivar PS 851 transforman pd media Modifikasi P3GI

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

MINGGU 3 617.67500000 205.89166667 122.92 0.0001 Error 36 60.30000000 1.67500000

Corrected Total 39 677.97500000

R-Square C.V. Root MSE JTPS851T Mean 0.911059 27.39086 1.29421791 4.72500000