Pengaruh Tiga Jenis Mangsa terhadap Biologi Kepik Predator Sycanus annulicornis Dohrn. (Hemiptera: Reduviidae)

(1)

PENGARUH TIGA JENIS MANGSA TERHADAP BIOLOGI

KEPIK PREDATOR Sycanus annulicornis DOHRN

(HEMIPTERA: REDUVIIDAE)

WINA PURWANINGRUM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul "Pengaruh Tiga Jenis Mangsa terhadap Biologi Kepik Predator Sycanus annulicornis Dohrn. (Hemiptera: Reduviidae)" adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2006

Wina Purwaningrum NRP. A451040041


(3)

ABSTRAK

WINA PURWANINGRUM. Pengaruh Tiga Jenis Mangsa terhadap Biologi Kepik Predator Sycanus annulicornis Dohrn (Hemiptera: Reduviidae). Dibimbing oleh DADAN HINDAYANA, AUNU RAUF, dan SUGENG SANTOSO.

Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh (1) tiga jenis mangsa terhadap biologi predator S. annulicornis, (2) rasio betina dan jantan terhadap fekunditas dan fertilitas telur predator, dan (3) status mangsa yang diberikan terhadap perilaku predator.

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ekologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, sejak bulan Juli 2005 sampai dengan Juni 2006. Predator S. annulicornis didapatkan dari lahan pertanian Kebun Percobaan IPB Sawah Baru dan Situ Gede, Darmaga Bogor. Mangsa yang digunakan adalah Corcyra cephalonica Stainton (Lepidoptera: Pyralidae), Tenebrio molitor Linnaeus (Coleoptera: Tenebrionidae) dan,

Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae) dalam status hidup dan mati.

Larva dan imago C. cephalonica didapatkan dari gudang beras di daerah Cianjur dan sekitarnya, larva T. molitor didapatkan dari pasar lokal yang ada di sekitar Bogor dan larva S. litura didapatkan dari pertanaman kedelai di sekitar Kampus IPB Darmaga. Ketiga jenis mangsa ini kemudian diperbanyak di laboratorium.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva C. cephalonica merupakan mangsa yang paling sesuai untuk predator S. annulicornis, karena menghasilkan rata-rata persentase mortalitas terrendah (17,5%), total stadium nimfa tersingkat (51,42 hari), lama hidup imago terpanjang (30,25 hari), bobot tubuh tertinggi (0,12 g) dan nilai ECI tertinggi (33,46%). Sebaliknya, larva S. litura memberikan pengaruh buruk terhadap predator S. annulicornis karena menghasilkan rata-rata persentase mortalitas tertinggi (70%), total stadium nimfa terpanjang (58,31 hari), lama hidup imago singkat (18,50 hari), bobot tubuh terrendah (0,07 g) dan nilai ECI terendah (8,32%). Nisbah kelamin (1:2) (betina: jantan) paling sesuai untuk pembiakan massal di laboratorium karena menghasilkan keperidian tertinggi (74,14 butir) dan rata-rata jumlah telur menetas tertinggi (65,14 butir). Status mangsa mati yang diberikan pada predator tidak berpengaruh terhadap perilaku pemangsaan keturunan pertamanya.


(4)

ABSTRACT

WINA PURWANINGRUM. Effects of Three Different Preys on Biology of Predator Bug Sycanus annulicornis Dohrn (Hemiptera: Reduviidae). Supervisors: DADAN HINDAYANA, AUNU RAUF, and SUGENG SANTOSO.

The objective of the research was to study the effects of (1) three different spesies of preys on the biology of predator S. annulicornis, (2) ratio of female to male on the fecundity and fertility of the predator, and (3) prey status on the predator behaviors.

The research was held at Ecology Laboratory, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB, since July 2005 until June, 2006. Predator

S. annulicornis was collected from agricultural field of Kebun Percobaan IPB Sawah Baru and Situ Gede, Darmaga Bogor. Preys used were Corcyra cephalonica Stainton (Lepidoptera: Pyralidae), Tenebrio molitor Linnaeus (Coleoptera: Tenebrionidae), and Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae), both as dead and alive larvae.

Larvae and adult of C. cephalonica was collected from rice warehouse at Cianjur and surroundings, larvae T. molitor from local market at Bogor, while larvae S. litura from soybean fields at Kampus IPB Darmaga. Those preys then were reared in the laboratory.

The study revealed that C. cephalonica was the most suitable prey for S. annulicornis. It resulted in the lower mortality rate (17,5%), shorter nymphal period (51,42 days), longer longevity (30,25 days), higher adult weight (0,12 g) and higher ECI value (33,46%). On the other hand, S. litura was unsuitable prey for S. annulicornis. It resulted in higher mortality rate (70%), longer nymphal period (58,31 days), shorter longevity (18,50 days), lower adult weight (0,07 g), and lower ECI value (8,32%). The sex ratio of 1:2 was the most suitable for mass rearing of the predator in laboratory, because it generated highest fecundity (74,14 eggs) and highest fertility (65,14 eggs). Prey given as dead larvae did not affect the predatory behavior of the offsprings.


(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun,


(6)

PENGARUH TIGA JENIS MANGSA TERHADAP BIOLOGI

KEPIK PREDATOR Sycanus annulicornis DOHRN

(HEMIPTERA: REDUVIIDAE)

WINA PURWANINGRUM

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Entomologi dan Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(7)

Judul penelitian : Pengaruh Tiga Jenis Mangsa terhadap Biologi Kepik Predator Sycanus annulicornis Dohrn. (Hemiptera: Reduviidae)

Nama : Wina Purwaningrum

NIM : A451040041

Program Studi : Entomologi/Fitopatologi

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dadan Hindayana Ketua

Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc. Anggota

Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.Agr. Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Entomologi dan Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. Tanggal Ujian: 17 November 2006 Tanggal Lulus: 24 Januari 2007


(8)

PRAKATA

Dengan Rahmat Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul “Pengaruh Tiga Jenis Mangsa terhadap Biologi Kepik Predator Sycanus annulicornis Dohrn. (Hemiptera: Reduviidae).”

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Dadan Hindayana, Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc., dan Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.Agr. selaku pembimbing, atas saran dan bimbingan yang diberikan selama penelitian hingga penulisan tesis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kementrian Riset dan Teknologi atas bantuan dana yang diberikan selama penelitian karena penelitian ini merupakan bagian dari Riset Unggulan Terpadu 2005-2006.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, para sahabat dan adik-adik tercinta, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat dan berguna bagi perkembangan dan kemajuan pengetahuan khususnya di bidang entomologi.

Bogor, Oktober 2006


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 1 September 1980, sebagai anak tunggal pasangan Bapak E. Juanda dan Ibu Tuti Saadah.

Tahun 1998 penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri I Cianjur. Pada tahun yang sama penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan himpunan profesi (HIMASITA), menjadi asisten mata kuliah Hama dan Penyakit Tanaman Perkebunan dan Vertebrata Hama.

Tahun 2003 penulis pernah bekerja sebagai staf pengamat hama dan penyakit tanaman di PT. Sang Hyang Seri (PERSERO), dan dari tahun 2004 sampai dengan sekarang penulis bekerja sebagai staf di Direktorat Pengembangan Institusi dan Usaha Penunjang IPB.

Tahun 2004 penulis melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Entomologi-Fitopatologi, Sub Program Studi Entomologi. Selama perkuliahan penulis aktif sebagai pengurus inti Forum Wacana Entomologi-Fitopatologi Pascasarjana IPB.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Karakteristik Predator ... 3

Perilaku Pemangsaan Predator... 4

Tahapan Penemuan Mangsa... 5

Predator Famili Reduviidae ... 6

Predator Sycanus annulicornis ... 7

Nutrisi Predator ... 8

Tingkat Konsumsi Rata-rata dan Efisiensi ... 11

BAHAN DAN METODE ... 13

Tempat dan Waktu Penelitian ... 13

Persiapan Penelitian ... 13

Perbanyakan Mangsa ... 13

Pemeliharaan S. annulicornis ... 15

Perlakuan Penelitian ... 16

Studi Pengaruh Tiga Jenis Mangsa terhadap Biologi S. annulicornis ... 16

Studi Efisiensi Penyerapan Makanan Predator S. annulicornis .... 17

Studi Rasio Betina dan Jantan terhadap Karakteristik Reproduksi Predator S. annulicornis ... 18

Studi Status Mangsa terhadap Perilaku Pemangsaan ... Predator ... 19

Rancangan Percobaan ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

Hasil Penelitian ... 20

Morfologi Predator S. annulicornis... 21

Pengaruh Tiga Jenis Mangsa dan Status Mangsa terhadap Biologi S. annulicornis ... 21

Pengaruh Tiga Jenis Mangsa dan Status Mangsa terhadap Efisiensi Penyerapan Makanan Predator S. annulicornis... 23

Pengaruh Rasio Betina dan Jantan terhadap Karakteristik Reproduksi Predator S. annulicornis... 24

Pengaruh Status Mangsa terhadap Perilaku Pemangsaan Predator ... 26


(11)

KESIMPULAN DAN SARAN ... 38 DAFTAR PUSTAKA ... 39 LAMPIRAN ... 42


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jumlah dan tahapan instar mangsa yang diberikan pada setiap tahapan instar predator S. annulicornis untuk perlakuan pemberian

mangsa dalam status mati dan hidup... 18 2. Persentase kematian S. annulicornis pada tiga jenis mangsa

dengan status mangsa hidup dan status mangsa mati... 21 3. Pengaruh status mangsa terhadap stadium nimfa (hari) dan lama

hidup imago (hari) predator S. annulicornis... 22 4. Pengaruh tiga jenis mangsa terhadap stadium nimfa (hari) dan

lama hidup imago (hari) predator S. annulicornis... 23 5. Pengaruh status mangsa terhadap total konsumsi selama stadium

nimfa, bobot tubuh predator dan ECI... 23 6. Pengaruh tiga jenis mangsa terhadap total konsumsi selama

stadium nimfa, bobot tubuh predator dan ECI ... 24 7. Praoviposisi, oviposisi, frekuensi peneluran, keperidian, rata-rata

jumlah telur yang menetas, persen penetasan telur, dan stadium telur predator S. annulicornis pada empat rasio yang berbeda

dengan mangsa C. cephalonica yang diberikan dalam status mati... 25 8. Masa pencarian (menit), masa penanganan (menit), masa

pengisapan (menit), dan jumlah mangsa yang dimangsa (ekor) oleh nimfa predator S. annulicornis dengan mangsa C. cephalonica


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Perbanyakan C. cephalonica ... 13

2. Perbanyakan T. molitor ... 14

3. Perbanyakan S. litura ... 15

4. Perbanyakan S. annulicornis ... 16

5. Perkembangan instar nimfa predator S. annulicornis... 20

6. Paket telur ... 26

7. Predator S. annulicornis yang sedang memangsa C. cephalonica... 28

8. Konsumsi harian selama fase nimfa predator S. annulicornis pada mangsa C. cephalonica, T. molitor, dan S. litura dengan status hidup dan mati... 31


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Hasil analisis proksimat ... 42 2 Hasil Uji Tukey pengaruh tiga jenis mangsa terhadap stadium instar

nimfa dan lama hidup imago ... 43 3 Hasil Uji-t pengaruh status mangsa terhadap stadium instar

nimfa dan lama hidup imago ... 46 4 Hasil Uji Tukey pengaruh tiga jenis mangsa terhadap total konsumsi, bobot

tubuh predator dan ECI ... 49 5 Hasil Uji -t pengaruh status mangsa terhadap total konsumsi, bobot tubuh

predator dan ECI ... 51 6 Hasil Uji Beda Nyata Terkecil Nisbah Kelamin ... 53 7 Hasil Uji-tPerilaku Pemangsaan Predator ... 56


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sycanus annulicornis Dohrn (Hemiptera: Reduviidae) merupakan kepik predator yang hidup pada berbagai agroekosistem. Di Indonesia Sycanus sp. pernah dilaporkan menjadi predator utama hama pengisap daun, Helopeltis antonii Sign (Hemiptera: Miridae) pada tanaman teh (Kalshoven 1981). Kepik predator ini memiliki kisaran mangsa yang luas terutama dari Ordo Lepidoptera (Manley 1982). Di Malaysia, Sycanus sp. memangsa Phaenacantha saccharicida

Karsch (Hemiptera: Colobathrisidae) (Sweet 2000). Di Thailand, Sycanus collaris

Fabricius dilaporkan menyerang hama daun lengkeng Oxyodes scrobiculata

Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae) (Chooyoung et al. 2004).

Pada beberapa percobaan di laboratorium, kepik predator ini diketahui merupakan predator generalis, memiliki kemampuan adaptasi dan pemangsaan cukup baik dengan kemampuan memangsa mencapai rata-rata 4,7 ekor perhari (De Clercq 2000). Mangsa-mangsa yang pernah dicobakan untuk pemeliharaan di laboratorium adalah Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae), Crocidolomia pavonana Fabricius (Lepidoptera: Pyralidae) dan Corcyra cephalonica Stainton (Lepidoptera: Pyralidae) (Cahyadi 2004).

Mencermati adanya potensi tersebut, maka diperlukan suatu metode yang tepat untuk pembiakan predator tersebut. Hasil pembiakan massal di laboratorium dapat digunakan untuk upaya pelepasan massal predator di lapangan. Penggunaan predator di lapangan untuk menekan populasi hama sesuai dengan konsep pengendalian hayati (PH) yaitu musuh alami berperan untuk memelihara kepadatan populasi organisme lain pada suatu tingkat populasi rata-rata yang lebih rendah daripada tingkat populasi rata-rata tanpa pengendalian hayati tersebut (Bosch et al. 1982).

Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam hal pembiakan predator adalah bioekologi predator, kesesuaian mangsa, kualitas makanan mangsa, kemudahan dalam pembiakan dan lingkungan tempat pembiakan. Nutrisi merupakan hal terpenting yang erat kaitannya dengan kualitas mangsa. Dipandang dari segi kualitas, makanan untuk predator dikategorikan menjadi nutrisi essensial


(16)

dan nutrisi alternatif. Nutrisi essensial adalah nutrisi yang dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan organisme pradewasa dan reproduksi imago, sedangkan nutrisi alternatif adalah nutrisi yang hanya dapat menyokong atau bertahan suatu organisme (Hagen 1987).

Berkaitan dengan nutrisi yang diperlukan oleh predator, perlu dilakukan penelitian mengenai keberadaan mangsa yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan predator. Selain itu, kemudahan dalam pembiakan di laboratorium juga merupakan hal yang harus dipelajari. Memodifikasi status mangsa yang diberikan misalnya dalam status mati, adalah salah satu hal untuk memudahkan penyimpanan dan penyediaan mangsa secara kontinyu. Modifikasi mangsa dengan status mangsa mati akan memberi keuntungan diantaranya tidak perlu menyediakan pakan mangsa, menghemat tempat penyimpanan, memudahkan dalam pemeliharaan dan dapat menyediakan mangsa yang seragam setiap saat.

Hal yang dikhawatirkan dan penting sekali dipertimbangkan adalah kemungkinan berpengaruh terhadap perilaku predator pada saat pelepasan di lapangan, ketika predator tersebut harus memangsa mangsa yang hidup.

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan mengembangkan metode pembiakan massal yang sesuai untuk predator S .annulicornis di laboratorium. Secara lebih khusus, penelitian bertujuan mempelajari pengaruh (1) tiga jenis mangsa terhadap biologi predator S. annulicornis, (2) rasio betina dan jantan terhadap fekunditas dan fertilitas telur predator, dan (3) status mangsa yang diberikan terhadap perilaku predator.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Predator

Entomofaga merupakan istilah dari bahasa Yunani (Entomon= insect: phagein= to eat) yaitu kelompok organisme yang menjadikan serangga sebagai makanannya untuk tumbuh dan berkembang. Yang termasuk salah satu serangga entomofaga yang berperan sebagai pengendali serangga hama adalah serangga predator (Bosch et al. 1982). Predator memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) secara ekologi, predator memiliki fungsi penting karena dapat menyebabkan mortalitas tinggi terhadap mangsanya, 2) membinasakan atau melumpuhkan mangsa sebelum mengkonsumsi, 3) mengejar dan membunuh mangsa, 4) membunuh mangsa hanya untuk dirinya sendiri dengan cara mengunyah dan menghisap cairan tubuh mangsanya secara cepat, 5) membutuhkan mangsa dalam jumlah banyak selama hidupnya, 6) secara relatif memiliki ukuran tubuh lebih besar dari mangsanya, 7) memiliki kemampuan daya jelajah yang luas, 8) mampu mengatasi dan mengelabui mangsanya yang akif, 9) organ tubuh berkembang baik sehingga dapat bergerak cepat atau terbang jauh serta memiliki embelan yang memungkinkan melakukan fungsi yang lebih dari yang dimiliki serangga pada golongan lainnya, 10) beberapa memproduksi racun, 11) ada heteroeisme, 12) umumnya generalis, 13) beberapa mampu beradaptasi pada lingkungan yang ekstrim (Bosch et al. 1982: Taylor 1984; New 1991). Secara umum serangga yang berperan sebagai predator dapat ditemukan baik pada fase nimfa atau larva maupun fase imago, tetapi ada juga beberapa serangga predator yang hanya fase larva saja yang beperan sebagai predator, sebagai contoh adalah lalat Syrphidae yang memangsa kutu daun (Bosch et al. 1982).

Beberapa ordo dan famili serangga yang dikenal sebagai predator penting yaitu: dari Ordo Diptera: Famili Syrphidae, Ordo Coleoptera: Famili Coccinellidae, Ordo Heteroptera: Famili Reduviidae, Ordo Neuroptera: Famili Chrysopidae, Ordo Odonata: Famili Libellulidae, dan Ordo Mantodea: Famili Mantidae (Hagen 1987; New 1991).


(18)

Perilaku Pemangsaan Predator

Secara umum tahapan kejadian predator dalam menemukan mangsanya meliputi 1) pencarian dan pengarahan terhadap suatu mangsa, 2) pengejaran, 3) penangkapan dan 4) makan (New 1991). Predator memiliki metode yang bervariasi dalam menemukan mangsanya, mengejar mangsa dan atau diam (menunggu) tetapi menjerat mangsa dengan umpan ( New 1991 ).

Beberapa strategi predator saat menangkap mangsamencakup:

1. Diam-Menunggu, serangga predator laba-laba menangkap mangsa dengan cara menjerat menggunakan jaringnya. Serangga tersebut memiliki perilaku diam, menunggu dan memakan mangsa yang hanya terjerat dalam jaringnya. Serangga tipe ini memiliki tungkai yang panjang untuk menjaga jarak dari mangsa yang berbahaya, dan membuat jaring ditempat yang terdapat banyak mangsa. Perilaku diam dan menunggu akan menghasilkan periode puasa yang panjang, dan predator tersebut biasanya memiliki kapasistas yang luar biasa dalam menahan lapar.

2. Menyergap, predator diam pada suatu bunga, dan menunggu kehadiran serangga mangsa yang sedang mencari pollen/ nektar. Selama diam di dalam bunga predator tersebut melakukan kripsis, apabila serangga mangsa tersebut sudah mendekat, maka secara tiba-tiba predator tersebut menyergap, menangkap dan memangsanya.

3. Insinuasi, serangga predator secara perlahan berusaha menenangkan mangsanya (mangsa yang aktif) dengan menggunakan tungkai, setelah mangsa cukup tenang, maka predator menghisap cairan mangsanya.

4. Teknik umpan dan menangkap. Kepik pembunuh, predator menghisap rayap, kemudian dengan membawa tubuh rayap yang sudah keriput mendekati koloni rayap. Beberapa anggota rayap keluar dari koloni untuk mengambil (menguraikan) tubuh rayap yang sudah mati, tetapi predator semakin menjauhi koloni dan beberapa anggota rayap terus mengikuti. Setelah menjauh dari koloni maka predator tersebut memangsa anggota rayap yang mengikutinya.


(19)

5 5. Predator terbang (Ordo Odonata dan Ordo Diptera), memiliki daya

penglihatan yang baik untuk memburu, predator tersebut memiliki perilaku diam di tempat yang agak tinggi, mengintai mangsanya dan bergerak hanya pada saat menangkap mangsa dengan demikian dapat mengefisienkan energi.

6. Kleptoparasitisme, predator yang mendapat mangsa dengan cara mencuri dari serangga lain.

Tahapan Penemuan Mangsa oleh Predator

Predator memiliki beberapa tahapan dalam menemukan mangsanya. Faktor kimia dan faktor fisik merupakan hal utama yang menuntun predator dalam menemukan mangsanya. Hagen (1987) dan New (1991), menjelaskan tahapan penemuan mangsa oleh predator yang terdiri dari penemuan habitat mangsa, penemuan mangsa, penerimaan mangsa dan kesesuaian mangsa.

a. Penemuan Habitat Mangsa

Kemoreseptor (olfaksi) adalah indera utama yang mengarahkan predator menuju habitat yang sesuai yang terdapat banyak mangsa, kairomon yang volatil biasanya berfungsi sebagai atraktan jarak jauh bagi predator dari semua ordo. Selain kimia, tuntunan fisik seperti warna, bentuk, tekstur habitat dapat membantu predator dalam menemukan habitat mangsa.

b. Penemuan Mangsa

Serangga predator dapat menemukan mangsanya melalui dua hal yaitu secara fisik dan stimuli kimia. Indera penglihatan (vision) merupakan salah satu faktor fisik yang penting dalam penemuan mangsa, khususnya untuk serangga predator Mantidae, Odonata, Heteroptera, Diptera dan Coleoptera. Selain daya lihat, serangga predator juga dapat menggunakan antena yang berfungsi sebagai penerima rangsangan, contohnya Geocoris punctipes Say.(Hemiptera: Lygaeidae) mampu mendeteksi keberadaan telur Trichoplusiani sp.(Lepidoptera: Noctuidae) melalui antenanya. Kairomon merupakan stimuli kimia yang membantu serangga


(20)

predator menemukan mangsanya. Sebagai contoh, larva Aphidoletes aphidiomyza

(Homoptera: Aphididae) dapat menemukan kutu daun melalui aroma embun madu yang merupakan ekskresi dari kutu daun tersebut, kemudian imago Syrphidae meletakkan telur pada tempat yang banyak mengandung embun madu.

c. Penerimaan Mangsa

Ukuran, bentuk, pergerakan, suara, dan faktor kimia internal-eksternal dari mangsa merupakan stimulan bagi serangga predator untuk menerima mangsanya. Beberapa serangga predator melalui antenanya dapat menemukan mangsa kemudian mencicipi mangsa untuk memeriksa kesesuaian mangsa tersebut. Apabila mangsa tersebut sesuai maka predator akan melanjutkan pemangsaan tetapi apabila tidak sesuai maka predator akan menolak mangsa tersebut.

d. Kesesuaian Mangsa

Apabila suatu mangsa telah diterima oleh predator, maka predator akan meneruskan memakan mangsa tersebut sebagai sarana untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan serta reproduksi predator, namun apabila mangsa tersebut tidak sesuai maka reaksi yang terjadi akan berbeda untuk setiap predator, 1) predator langsung memuntahkan mangsa tersebut, 2) predator seketika mengalami kematian disebabkan kandungan racun pada mangsa, 3) predator tetap hidup namun dengan pertumbuhan dan perkembangan yang sangat lambat, dan apabila berhasil mencapai imago maka lama hidupnya akan singkat dan memiliki fekunditas dan fertilitas yang sangat rendah.

Predator Famili Reduviidae

Famili Reduviidae merupakan famili yang cukup besar. Sebagian besar anggota dari famili ini bersifat sebagai predator, oleh karena itu serangga ini dikenal sebagai “kepik pembunuh” atau “pengisap darah” karena cara hidupnya adalah dengan menghisap cairan darah dari mangsanya (Clausen 1940; Richards & Davies 1977). Terdapat kurang lebih 3000 spesies Reduviidae yang terdiri dari 29 subfamili. Subfamili Harpactorinae merupakan subfamili yang terbesar dengan


(21)

7 anggota lebih dari 1000 spesies. Serangga tersebut mempunyai kelimpahan yang tinggi sehingga dapat ditemukan di setiap daerah (Matheson 1951; Richards & Davies 1977).

Kepik Reduviidae biasa hidup disekitar semak-semak, tanaman herba, dan daun-daunan (Richards & Davies 1977). Mangsa utama dari serangga ini adalah larva Lepidoptera, lundi, kutu tanaman, dan hama-hama lainnya (Matheson 1951). Beberapa dari serangga ini juga dapat menjadi vektor penyakit, sebagai contoh yaitu penyakit chagas yang ditularkan oleh Rhodnius prolixus Stal. (Hemiptera: Reduviidae) di Amerika (Richards & Davies 1977).

Famili Reduviidae dapat dikenali dengan bentuk yang khas, yaitu antena seringkali memiliki segmen dengan total 40 ruas. Rostrum meruncing terdiri dari 3 segmen, tibia tungkai depan memiliki fosula hal ini berkaitan dengan daya adhesi, sedangkan bagian tarsus terdiri dari tiga segmen (Richards & Davies 1977). Kepik predator melumpuhkan mangsanya dengan mengeluarkan saliva yang beracun yang dapat menyebabkan paralisis pada mangsanya (Matheson 1951; Gillott 1995).

Predator Sycanus annulicornis

Sebagai salah satu contoh dari Famili Reduviidae adalah Sycanus annulicornis yang digolongkan dalam Ordo Hemiptera: Famili Reduviidae (Kalshoven 1981). S. annulicornis merupakan kepik predator yang sangat potensial. Kepik ini dapat hidup pada berbagai agroekosistem, baik pada agroekosistem tanaman pangan, sayuran maupun perkebunan dengan kisaran mangsa yang luas, terutama dari Ordo Lepidoptera (Manley 1982).

Predator S. annulicornis meletakkan telur secara berkelompok membentuk paket telur yang memanjang. Telur berbentuk jorong, berwarna coklat, dan diletakkan pada paket yang tersusun dalam beberapa baris. Telur dilapisi cairan yang berfungsi untuk merekatkan telur membentuk paket telur, selain itu cairan ini juga berfungsi untuk merekatkan paket telur tersebut pada permukaan. Cairan tersebut juga berfungsi untuk melindungi telur dari serangan musuh alami


(22)

predator dan parasitoid telur (Gillot 1995). Lama stadia telur yaitu antara 14-16 hari (Cahyadi 2004).

Nimfa instar I berwarna jingga dengan ukuran panjang tubuh ±1,73 mm. Nimfa yang baru menetas biasanya berkumpul disekitar paket telur dengan memakan sisa-sisa telur. Lama stadia nimfa instar I yaitu 11 hari. Nimfa instar II berwarna jingga dengan ukuran ± 4,26 mm. Lama stadia nimfa instar II yaitu 8 hari. Nimfa instar III berwarna jingga dan pada seluruh tungkai terdapat bercak yang berwarna hitam. Ukuran panjang tubuh ± 8,5 mm. Lama stadia nimfa instar III yaitu 8 hari. Nimfa instar IV berwarna jingga kecoklatan dengan warna hitam pada tungkai dan toraks. Ukuran panjang tubuh ± 12-15 mm. Lama stadia nimfa instar IV yaitu 12 hari. Nimfa instar V berwarna jingga tua kecoklatan dengan warna hitam pada bagian toraks, abdomen dan keseluruhan tungkai. Ukuran panjang tubuh ± 14-15 mm. Lama stadium yaitu 19 hari (Cahyadi 2004).

Imago S. annulicornis berwarna hitam dengan corak berwarna jingga pada sayap bagian depan. Imago berukuran antara 19-25 mm, dengan lama hidup yaitu 24 hari (Cahyadi 2004).

Proses ganti kulit pada predator S. annulicornis ditandai dengan nimfa yang akan berganti kulit tidak beraktivitas, berwarna jingga pucat, kemudian memulai proses ganti kulit dengan menyobek eksuvia toraks bagian dorsal lalu ke bagian kepala dan instar baru akan keluar dengan cara kepala keluar terlebih dahulu diikuti tungkai bagian depan. Nimfa yang baru berganti kulit berwarna jingga pucat kemudian berubah warnanya menjadi lebih tua, sedangkan imago yang baru terbentuk berwarna coklat kehitaman (Cahyadi 2004).

Nutrisi Predator

Secara umum predator memiliki mangsa yang berbeda dari segi taksa, ukuran dan kelas. Masing-masing predator memerlukan mangsa dengan nutrisi yang berbeda sesuai dengan kebutuhan untuk perkembangbiakannya. Perbedaan kualitas dan kuantitas mangsa mempengaruhi kebugaran predator. Mangsa-mangsa yang berkualitas bagi predator adalah yang memiliki komposisi nutrisi dan unsur penting (energi, nutrisi, dan toksin) yang mirip satu sama lain sehingga


(23)

9 dapat dijadikan sebagai kisaran mangsanya. Kesesuaian mangsa dapat dievaluasi dengan cara mempelajari pertumbuhan, perkembangan, daya tahan, dan fekunditas predator (Hagen 1987; Toft & Wise 1999).

Sebagai contoh yaitu kepik Podisus maculiventris Say (Heteroptera: Pentatomidae) memerlukan mangsa yang berukuran kecil untuk perkembangan selama fase nimfa, tetapi serangga tersebut memerlukan mangsa dengan ukuran yang lebih besar untuk reproduksi dari fase imago. Contoh lainnya yaitu predator kumbang kubah merupakan predator utama dari kutu daun, namun tidak semua spesies kutu daun sesuai untuk perkembangan kumbang kubah tersebut. Beberapa kutu daun bersifat toksik, langsung mematikan predator tersebut atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan predator (New 1991; Dixon 2000).

Dipandang dari segi kualitas, makanan untuk predator dikategorikan menjadi nutrisi essensial dan nutrisi alternatif. Nutrisi essensial adalah sumber makanan yang mengandung nutrisi yang dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan organisme pradewasa dan reproduksi imago sedangkan nutrisi alternatif adalah sumber makanan yang mengandung nutrisi yang hanya dapat menyokong atau bertahan suatu organisme (Hagen 1987). Nutrisi yang dibutuhkan serangga menurut (Hagen 1987; Chapman 1998) yaitu :

1). Asam amino : tersedia dalam bentuk protein dan secara struktur membentuk enzim, setiap serangga membutuhkan kadar protein yang berbeda. Enzim berfungsi sebagai media transport dan penyimpanan dan sebagai molekul reseptor. Sebagai contoh, Tyrosine penting untuk serangga dalam proses sklerotisasi.

2). Karbohidrat : tidak termasuk ke dalam kategori essensial untuk serangga pada umumnya, lebih umum diperlukan sebagai sumber energi. Karbohidrat dapat disintesis dari asam amino.

3). Lipid : Penting untuk sumber energi dan pembentukan membran serta hormon sintesis, pada serangga umumnya lemak disintesis dari protein dan karbohidrat. Sebagai contoh hormon ganti kulit, Ecdysone disintesis dari sterol. Kolesterol penting untuk perkembangan dan menghasilkan fekunditas yang tinggi.


(24)

4). Vitamin : dibutuhkan untuk mendukung berjalannya fungsi tubuh, vitamin juga dibutuhkan untuk membentuk jaringan tubuh. Sebagai contoh β–carotene (provitamin A) berguna sebagai komponen pigmen penglihatan, α-tocopherol (Vitamin E) penting untuk reproduksi, fertilitas dan perkembangan embrio. 5). Mineral: dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tetapi dibutuhkan

dalam jumlah sedikit.

6). Purines dan pyrimidines : DNA dan RNA adalah molekul yang membawa dan memediasi kode genetik.

7). Air: penting untuk serangga secara umum.

Terdapat perbedaan kebutuhan komposisi jenis nutrisi pada setiap fase predator, sebagai contoh penelitian yang dilakukan oleh Niijima (1993 dalam

Thompson & Hagen 1999) melaporkan bahwa larva Chrysopa pallens Wesm. (Neuroptera: Chrysopidae) membutuhkan asam amino yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan fase imagonya. Contoh lainnya yaitu Chrysopa nigricornis

Burro. (Neuroptera: Chrysopidae) hanya membutuhkan kutu daun untuk keberhasilan kopulasi, sedangkan Chrysopa quadripunctata Burm. (Neuroptera: Chrysopidae) selain membutuhkan aphid juga membutuhkan gula dan air yang berlebih Roussett (1984 dalam Thompson & Hagen 1999).

Serangga gudang seperti Corcyra cephalonica (Lepidoptera: Pyralidae) dan

Tenebrio molitor (Coleoptera: Tenebrionidae) merupakan serangga gudang yang diindikasikan memiliki kadar protein yang cukup tinggi, sedangkan Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) merupakan serangga pemakan tanaman yang diindikasikan memiliki kadar protein yang rendah. Perbedaan bioekologi serangga tersebut dapat menyebabkan perbedaan komposisi nutrisi dalam tubuhnya.

Serangga C. cephalonica (ngengat beras) digolongkan dalam Ordo Lepidoptera: Famili Pyralidae (Matheson 1951: Kalshoven 1981). Ngengat beras (Rice moth) dikenal sebagai serangga yang bersifat kosmopolit. Selain beras, komoditi lain yang diserang adalah kelapa sawit, wijen, kacang hijau, biji kapas, coklat dan pala (Harahap & Atjung 1969; Kalshoven 1981). C. cephalonica


(25)

11 mempunyai metamorfosis sempurna (holometabola), sehingga mengalami stadia telur, larva, pupa dan imago.

Kerusakan komoditas pertanian akibat serangan C. cephalonica pada stadium larva berupa penyusutan kuantitas maupun kualitas. Penyusutan kuantitas terjadi akibat aktivitas makan sehingga bobot bahan makanan menjadi berkurang. Penyusutan kualitas terjadi karena kontaminasi bahan makanan dengan kotoran larva, serangan ngengat beras ini pada stadium larva dapat menyebabkan penggumpalan benang sutera pada komoditas serta komoditas menjadi berlubang (Rosadi 2001).

Serangga S. litura digolongkan dalam Ordo Lepidoptera: Famili Noctuidae (Matheson 1951; Kalshoven 1981). Serangga ini lebih dikenal sebagai ulat grayak dan merupakan hama kosmopolit yang menyerang banyak tanaman budidaya seperti tembakau, kedelai, kangkung dan talas. S. litura tersebar di Asia, kepulauan Pasifik dan Australia (Kalshoven 1981). Di benua Asia hama ini tersebar di India, Pakistan, Srilangka, Birma, Filipina, dan Taiwan (Grist dan Lever 1969). S. litura mempunyai metamorfosis sempurna (holometabola), sehingga mengalami stadia telur, larva, pupa dan imago.

Serangga T. molitor merupakan salah satu contoh dari Ordo Coleoptera: Famili Tenebrionidae, serangga ini dikenal sebagai ”Ulat Hongkong”, dan merupakan hama gudang yang bersifat kosmopolit. Terdapat kurang lebih 100 spesies yang berasosiasi dengan produk pasca panen seperti tepung, terigu dan produk pasca panen lainnya (Munro 1966). Spesies dari genus ini hidup di kotoran binatang, sisa binatang yang telah mati, cendawan, kulit kayu, akar tanaman muda, humus, dan daun yang telah gugur (Clausen 1940; Toerngadi et al. 1974; Richards & Davies 1977; Kalshoven 1981).

Tingkat Konsumsi Rata-Rata dan Efisiensi

Penampilan fisik yang berkualitas dari suatu organisme ditentukan oleh tingkat konsumsi rata suatu makanan dan tingkat efisiensi. Konsumsi rata-rata predator Famili Reduviidae diperoleh dari besarnya cairan tubuh mangsa yang diisap. Besarnya cairan tubuh mangsa yang diserap dan kemudian diubah


(26)

menjadi komponen tubuh disebut dengan Efisiensi Penyerapan Makanan atau

Efficiency of Conversion of Ingested food (ECI). Nilai ECI merupakan suatu parameter efisiensi penyerapan makanan oleh predator yang mampu diubah menjadi komponen tubuh. Semakin tinggi nilai ECI maka semakin efisien penyerapan kandungan nutrisi mangsa oleh predator (Slansky & Rodriguez 1987).

Serangga Heteroptera merupakan kelompok yang dikenal efisien dalam pemanfaatan mangsanya dan memiliki kisaran nilai ECI 21,5%-53%. Nilai ECI umumnya bervariasi dari setiap spesies dan tahapan instar serangga, sebagai contoh, nilai ECI predator Podisus maculiventris instar 2-5 yang memangsa larva lepidoptera berturut-turut adalah 37,4%; 50,9%; 54,7% dan 45,2%. Predator

Blepharidopterus angulatus Fallen. (Hemiptera: Miridae) yang memangsa kutu daun, memiliki nilai ECI dengan kisaran 39%-47% untuk instar 1-4, dan 28% untuk imago (Hagen 1987).


(27)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Juni 2005 sampai dengan Juni 2006.

Persiapan Penelitian Perbanyakan Mangsa

Penelitian ini menggunakan tiga jenis mangsa, yaitu C. cephalonica, T. molitor, dan S. litura. Serangga mangsa yang diperoleh dari habitat aslinya selanjutnya diperbanyak di laboratorium.

Larva dan imago C. cephalonica diperoleh dari daerah Cianjur. Larva

C. cephalonica diperbanyak di dalam kotak plastik berisi beras menir steril. Imago yang diperoleh dari lapang ditempatkan di dalam kurungan dari karton dan berbentuk silinder dengan diameter 10,5 cm dan tinggi 12,5 cm. Bagian atas dan bawah silinder diberi saringan kawat untuk ventilasi. Pada bagian bawah diletakkan kertas berwarna gelap untuk menampung telur yang diletakkan. Telur yang terkumpul disebarkan secara merata pada kotak plastik yang berisi beras menir steril dan dibiarkan menetas sampai menjadi larva (Gambar 1).

a b

Gambar 1 Perbanyakan C. cephalonica (a) beras menir steril sebagai pakan dan tempat pembiakan larva, (b) kurungan karton tempat imago berkopulasi


(28)

Larva T. molitor diperoleh dari pasar lokal di sekitar wilayah Bogor. Larva

T. molitor banyak dijual sebagai pakan burung. Perbanyakan T. molitor dilakukan di dalam kotak plastik berisi pur jagung yang merupakan pakan imago dan sebagai media untuk bertelur. Setelah imago melakukan kopulasi dan menghasilkan telur, imago dipindah ke tempat biakan lainnya (Gambar 2).

a b

Gambar 2 Perbanyakan T. molitor (a) pur jagung sebagai pakan dan tempat pembiakan larva T. molitor, (b) larva T. molitor yang berhasil menjadi imago

Larva S. litura berasal dari pertanaman kedelai yang ada disekitar Kampus IPB Dramaga, yaitu Bubulak dan Situgede. Larva S. litura yang diperoleh, dipelihara di dalam kotak plastik berventilasi.

Setiap hari larva diberi pakan daun tanaman kedelai segar. Tanaman kedelai tersebut ditanam dalam polibag dengan media tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:5. Tanaman diberi pupuk NPK (16:16:16) dengan bobot 2,5 g per polibag.

Setelah fase prapupa, larva dipindahkan ke kotak plastik yang berisi serbuk gergaji sebagai media berpupa. Pupa yang terbentuk kemudian dipindahkan ke dalam kurungan dan dibiarkan menjadi imago. Imago yang keluar diberi pakan madu yang diteteskan pada kapas dan digantungkan di bagian atas kurungan. Untuk tempat peletakan telur, digunakan potongan daun kedelai yang ujung tangkainya diberi kapas basah agar daun kedelai tetap segar (Gambar 3).


(29)

15

b a

c

Gambar 3 Perbanyakan S. litura (a) daun kedelai sebagai pakan dan tempat pembiakan larva S. litura, (b) serbuk gergaji sebagai tempat berpupa, (c) kurungan plastik sebagai tempat imago berkopulasi Pemeliharaan S. annulicornis

Predator S. annulicornis diperoleh dari daerah Bubulak, Situgede dan Sawah Baru, Kabupaten Bogor. Setiap pasang imago yang diperoleh dari lapang ditempatkan di dalam wadah plastik yang berdiameter 6,5 cm. Pasangan imago tersebut terus dipelihara hingga berkopulasi dan meletakkan telur. Telur yang diletakkan oleh imago dipindahkan ke wadah lain agar tidak terganggu oleh imago.

Nimfa instar pertama tidak diberi mangsa selama tiga hari, tetapi nimfa tersebut hanya diberi kapas lembab. Selama fase nimfa instar pertama, tidak dilakukan pemisahan per individu predator karena nimfa instar pertama masih bergerombol dan memakan sisa-sisa paket telur. Setelah memasuki instar kedua,

nimfa dipindahkan satu per satu ke dalam wadah plastik yang berdiameter 4 cm (Gambar 4).


(30)

a b

d c

Gambar 4 Perbanyakan S. annulicornis (a) wadah plastik tempat imago berkopulasi, (b) paket telur, (c) telur yang baru menetas, (d) wadah plastik tempat pemeliharaan nimfa

Perlakuan Penelitian

Studi Pengaruh Tiga Jenis Mangsa terhadap Biologi S. annulicornis

Studi ini dilakukan untuk melihat pengaruh tiga jenis mangsa terhadap

S. annulicornis. Mangsa yang diberikan adalah larva C. cephalonica, T. molitor,

dan S. litura. Dalam studi ini, mangsa yang diberikan dalam 2 status, yaitu status mati (larva dibekukan dalam lemari pendingin) dan status hidup.

Jumlah dan tahapan instar mangsa yang diberikan pada setiap tahapan

instar predator terdapat pada Tabel 1. Untuk mematikan mangsa, larva

C. cephalonica dan S. litura dibekukan selama 1 jam sedangkan larva T. molitor


(31)

17 Untuk mengetahui banyaknya kebutuhan konsumsi harian predator, pada setiap pergantian mangsa dilakukan penimbangan bobot tubuh mangsa sebelum dan setelah dimangsa. Penimbangan bobot tubuh predator dilakukan saat predator berganti kulit menjadi imago. Parameter yang diamati adalah mortalitas nimfa dan imago, lama stadium tiap instar nimfa, lama hidup imago, jumlah biomassa (cairan) yang diisap oleh predator selama fase nimfa dan imago, dan bobot tubuh imago. Masing-masing perlakuan diulang 20 kali.

Studi Efisiensi Penyerapan Makanan Predator S. annulicornis

Besarnya cairan tubuh mangsa yang diserap dan kemudian diubah menjadi komponen tubuh disebut dengan Efisiensi Penyerapan Makanan atau Efficiency of Conversion of Ingested Food (ECI). Nilai ECI merupakan suatu parameter efisiensi penyerapan makanan oleh predator yang mampu diubah menjadi komponen tubuh. Semakin tinggi nilai ECI maka semakin efisien penyerapan kandungan nutrisi mangsa oleh predator.

E.C.I = Pertambahan bobot predator = Bobot akhir - Bobot awal x100%

Bobot mangsa yang diisap Bobot mangsa yang diisap x100%

Bobot awal predator, yaitu nimfa instar I hanya memiliki rata-rata bobot tubuh 0,0001±0,0002 g maka bobot awal tersebut diabaikan.


(32)

Tabel 1 Jumlah dan tahapan instar mangsa yang diberikan pada setiap tahapan instar predator S. annulicornis untuk perlakuan pemberian mangsa dalam status mati dan hidup

Jenis mangsa Tahapan instar predator

Jumlah mangsa yang diberikan

(ekor)

Tahapan instar mangsa

C. cephalonica I 15 II

II 2 II III 2 III IV 3 IV V 3 IV Imago 3 IV

T. molitor I 15 II

II 2 II III 2 II IV 2 III V 2 III Imago 2 III

S. litura I 15 II

II 2 II III 2 II IV 2 III V 2 III Imago 2 III Studi Rasio Betina dan Jantan terhadap Karakteristik Reproduksi Predator S. annulicornis

Studi ini dilakukan dengan dasar 1) pengamatan di lapangan imago jantan lebih sering ditemukan dibanding imago betina, 2) pengamatan di laboratorium menunjukkan fertilitas telur predator yang bervariasi. Dalam studi ini mangsa yang digunakan adalah mangsa yang sesuai untuk predator yang didasarkan hasil Studi “Pengaruh Tiga Jenis Mangsa terhadap Biologi Predator S. annulicornis”.

Predator dimasukkan ke dalam wadah dengan rasio betina terhadap jantan sebagai berikut: a) 1:1, b) 1:2, c) 1:3, dan d) 1:4. Perlakuan rasio 1:1 ditempatkan dalam wadah yang berdiameter 6,5 cm sedangkan rasio 1:2 sampai 1:4 ditempatkan dalam wadah berdiameter 10,5 cm. Masing-masing perlakuan diulang 5 kali.


(33)

19 Parameter yang diamati adalah lama praoviposisi, lama oviposisi, frekuensi peneluran, keperidian, lama stadium telur, dan persen penetasan telur.

Studi Status Mangsa terhadap Perilaku Predator

Studi ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian mangsa dalam status mati terhadap sifat-sifat alami predator yaitu agresifitas yang dicerminkan dengan : 1) masa pencarian, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk mencari dan menemukan mangsa, 2) masa penanganan, yaitu total waktu yang diperlukan untuk menangani dan membunuh mangsa, 3) masa pengisapan yaitu waktu yang dibutuhkan untuk mengkonsumsi satu ekor mangsa, dan 4) jumlah mangsa yang dikonsumsi per hari. Predator yang digunakan adalah keturunan kedua dari predator yang diperoleh dari lapangan. Dalam studi ini mangsa yang digunakan adalah mangsa yang sesuai untuk predator yang didasarkan pada hasil Studi “Pengaruh Tiga Jenis Mangsa terhadap Biologi S. annulicornis “ dan diberikan dalam status hidup.

Selama fase nimfa instar pertama tidak dilakukan pemisahan serangga uji. Setelah instar kedua serangga uji dipisahkan satu per satu ke dalam wadah plastik berdiameter 4 cm. Pengamatan dilakukan selama 4 jam. Perlakuan diulang 5 kali.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Uji dua nilai tengah dilakukan dengan menggunakan Uji-t. Uji lanjutan antar perlakuan dilakukan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dan Uji Tukey pada taraf nyata 5%.


(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian

Morfologi Predator S. annulicornis

Stadium nimfa yaitu masa sejak nimfa keluar dari telur hingga menjadi imago. Sebagian besar nimfa yang diberi tiga jenis mangsa dengan status yang berbeda dapat mencapai imago. Predator S. annulicornis mengalami lima tahapan instar nimfa yaitu nimfa instar I hingga nimfa instar V (Gambar 5).

a b

c

d

e f

Gambar 5 Perkembangan instar nimfa predator S. annulicornis (a) nimfa instar 1, (b) nimfa instar 2, (c) nimfa instar 3, (d) nimfa instar 4, (e) nimfa instar 5 dan (f) imago

Nimfa instar I berwarna jingga polos dan seringkali berkumpul di sekitar kulit telur untuk memakan sisa-sisa telur yang masih tertinggal. Nimfa instar II berwarna jingga polos dengan ukuran yang lebih besar dibandingkan nimfa instar I. Nimfa instar III berwarna jingga polos dan terdapat warna hitam pada tungkainya. Nimfa instar IV berwarna jingga kecoklatan dan terdapat warna hitam pada tungkai dan bagian toraksnya. Nimfa instar V berwarna jingga tua kecoklatan dan terdapat warna hitam pada tungkai dan bagian toraksnya. Imago


(35)

21

S. annulicornis berwarna hitam atau lebih gelap dibanding nimfa yang berwarna jingga kehitaman dan memiliki corak berwarna jingga pada sayap bagian depan.

Pengaruh Tiga Jenis Mangsa dan Status Mangsa terhadap Biologi S. annulicornis.

Jenis mangsa dengan kandungan kualitas nutrisi yang berbeda dan dengan status yang berbeda dapat mempengaruhi mortalitas nimfa predator, stadium instar nimfa dan lama hidup imago.

Tiga jenis mangsa yang berbeda yaitu C. cephalonica, T. molitor dan

S. litura dengan status hidup dan mati memberikan pengaruh nyata terhadap mortalitas nimfa predator.

Tabel 2 Persentase kematian predator S. annulicornis pada tiga jenis mangsa dengan status mangsa hidup dan status mangsa mati

Jumlah nimfa predator yang mati (ekor)

Jenis mangsa Status

Mangsa Nimfa

I

Nimfa II

Nimfa III

Nimfa IV

Nimfa V

Persentase (%)

C. cephalonica Mati 0 0 0 0 0 0

C. cephalonica Hidup 0 0 0 2 5 35

T. molitor Mati 0 0 0 3 12 75

T. molitor Hidup 0 2 2 1 4 45

S. litura Mati 0 1 7 1 6 75

S. litura Hidup 0 0 6 3 4 65

Mortalitas tertinggi yaitu pada nimfa predator yang diberi mangsa S. litura

yang diberikan pada status mati (75%) sedangkan mortalitas terendah yaitu pada nimfa predator yang diberi mangsa C. cephalonica yang diberikan pada status mati (0%) (Tabel 2). Dalam hal mortalitas secara umum, perbedaan jenis mangsa lebih memiliki pengaruh nyata dibandingkan dengan status mangsa, karena persentase mortalitas fase nimfa pada nimfa predator yang diberi mangsa status


(36)

hidup atau status mati tidak terlalu berbeda, (50%) untuk mangsa dengan status mati dan (48,34%) untuk mangsa dengan status hidup.

Faktor status mangsa tidak memberikan pengaruh nyata terhadap total stadium instar nimfa dan lama hidup imago (Tabel 3). Pemberian mangsa dengan status mati terhadap predator, memiliki total stadium nimfa (54,23±7,61) dan total stadium nimfa dengan mangsa pada status mangsa hidup yaitu (54,41±0,45). Pemberian mangsa dengan status hidup menghasilkan lama hidup imago yaitu (26,07±15,14), sedangkan pemberian mangsa dengan status mati menghasilkan lama hidup imago yaitu (26,87± 9,37) (Tabel 3).

Tabel 3 Pengaruh status mangsa terhadap stadium nimfa (hari) dan lama hidup imago (hari) predator S. annulicornis

Stadium Nimfa Instar ke- Status Mangsa

I II III IV V

Total stadium

nimfa

Lama hidup imago

Hidup 7 7,52±1,60a 10,26±3,71a 12,81±5,78a 16,82±4,94a 54,41±0,45a 26,07±15,14a

Mati 9,7 9,34±4,75b 8,40±3,08b 12,23±5,84a 14,56±3,68a 54,23±7,61a 26,87± 9,37a

Rataan dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (Uji t, α = 0,05)

Tiga jenis mangsa yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap stadium instar nimfa dan lama hidup imago, total stadium instar nimfa terpendek yaitu pada nimfa predator yang diberi mangsa C. cephalonica (51,42±4,48) dan total stadium instar nimfa terpanjang yaitu pada nimfa predator yang diberi mangsa S. litura (58,31±6,49). Imago yang memiliki lama hidup yang paling panjang adalah imago predator yang diberi mangsa C. cephalonica (30,25±11,74), dan lama hidup imago yang paling pendek adalah imago predator yang diberi mangsa S. litura (18,50±8,73) (Tabel 4).


(37)

23 Tabel 4 Pengaruh tiga jenis mangsa terhadap stadium nimfa (hari) dan lama

hidup imago (hari) predator S. annulicornis

Stadium Nimfa Instar ke- Jenis

Mangsa I II III IV V

Total stadium

nimfa

Lama hidup imago

C. cepha 7,5 6,97±0,89a 8,75±3,13a 12,23±3,69a 15,96±3,80a 51,42±4,48a 30,25±11,74a

T. molitor 8,5 7,18±1,32a 7,82±2,30a 12,45±1,50a 17,03±5,22a 52,98±1,34a 25,50±13,61ab

S. litura 9 11,26±5,17b 12,45±3,59b 13,00±3,29a 12,60±3,80b 58,31±6,49b 18,50±8,73b

Rataan dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (Uji Tukey, α = 0,05)

Pengaruh Tiga Jenis Mangsa dan Status Mangsa terhadap Efisiensi Penyerapan Makanan S. annulicornis

Status mangsa hidup dan mati tidak memberikan pengaruh nyata terhadap total konsumsi predator selama fase nimfa, bobot tubuh dan ECI. Walaupun demikian, status mangsa mati menghasilkan total konsumsi selama fase nimfa predator yang lebih tinggi (0,50g) dibanding dengan total konsumsi selama fase nimfa predator dengan status mangsa hidup (0,48 g) (Tabel 5).

Tabel 5 Pengaruh status mangsa terhadap total konsumsi selama stadium nimfa, bobot tubuh predator dan ECI

Parameter Status Mangsa

Total Konsumsi (g) Bobot Tubuh (g) ECI (%)

Hidup 0,48±0,13a 0,10±0,03a 25,15±4,72a

Mati 0,50±0,09a 0,12±0,00a 27,89±4,03a

Rataan dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (Uji t, α = 0,05)

Mangsa yang diberikan pada predator dengan status mati menghasilkan bobot tubuh yang lebih tinggi (0,12g) dibandingkan bobot tubuh predator yang diberi mangsa dalam status hidup yaitu (0,10g). Status mangsa mati menghasilkan nilai ECI yang lebih tinggi yaitu (27,89%), sedangkan nilai ECI pada mangsa dengan status hidup yaitu (25,15%) (Tabel 5).


(38)

Tabel 6 Pengaruh tiga jenis mangsa terhadap total konsumsi selama stadium nimfa, bobot tubuh predator dan ECI

Parameter Jenis Mangsa

Total Konsumsi (g) Bobot Tubuh (g) ECI (%)

C. cephalonica 0,38± 0,05a 0,12± 0,02a 33,46± 4,95a

T. molitor 0,43± 0,13b 0,10± 0,03b 26,06± 6,10b

S. litura 0,91± 0,16b 0,07± 0,01c 8,32± 2,08 c

Rataan dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (Uji Tukey, α = 0,05)

Tiga jenis mangsa yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap total konsumsi predator selama fase nimfa, bobot tubuh dan ECI. Total konsumsi tertinggi adalah predator dengan mangsa S. litura (0,91g), sedangkan total konsumsi terrendah adalah predator dengan mangsa C. cephalonica (0,38g). Bobot tubuh predator tertinggi adalah predator dengan mangsa C. cephalonica

(0,12 g), sedangkan bobot tubuh terrendah adalah predator dengan mangsa S. litura (0,07 g). Nilai ECI tertinggi ditunjukan pada predator dengan mangsa C. cephalonica (33,46%), sedangkan nilai ECI terrendah ditunjukan pada predator dengan mangsa S. litura (8,32%) (Tabel 6).

Pengaruh Rasio Betina dan Jantan terhadap Karakteristik Reproduksi Predator S. annulicornis

Rasio betina dan jantan memberikan pengaruh yang nyata terhadap keperidian dan rata-rata jumlah telur yang menetas, tetapi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap masa praoviposisi, masa oviposisi, frekuensi peneluran, persen penetasan telur dan stadium telur (Tabel 7). Semakin tinggi kepadatan predator (rasio betina dan jantan), maka keperidian dan rata-rata jumlah telur yang menetas semakin rendah.


(39)

25 Tabel 7 Praoviposisi, oviposisi, frekuensi peneluran, keperidian, rata-rata

jumlah telur yang menetas, persen penetasan telur, dan stadium telur predator S. annulicornis pada empat rasio yang berbeda dengan mangsa C. cephalonica yang diberikan dalam status mati

Nisbah Kelamin Predator (betina:jantan) Parameter

1:1 1:2 1:3 1:4

Praoviposisi (hari)

17,50±4,20a 16,00±4,16a 14,75±7,27a 18,00±2,16a

Oviposisi (hari)

12,50±0,00a 5,75±5,62a 6,75±6,95a 14,25±14,5a

Frekuensi peneluran

2,00±0,00 a 1,75±0,96a 1,50±0,58a 1,50±0,96a

Keperidian

85,75±30,9a 74,14±17,9a 41,17±17,1b 44,00±11,6b

Rata-rata jumlah telur yang

menetas 62,13±29,8a 65,14±18,4a 32,40±10,5b 29,75±8,62b

Persen penetasan telur (%)

74,20±24,8a 87,65±15,1a 80,63±25,7a 67,03±14,9a

Stadium telur (hari)

14,88±1,73a 14,29±0,76a 14,40±2,07a 14,75±0,96a

Rataan dalam baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (Uji BNT, α = 0,05)

Hasil penelitian menunjukkan kisaran masa praoviposisi yaitu dari 14 hari sampai dengan 18 hari. Masa oviposisi terpanjang terjadi pada rasio 1:4 (14,25±14,59) sedangkan masa oviposisi terpendek pada rasio 1:2 (5,75±5,62). Selama masa hidupnya predator meletakkan telur antara 1,5 kali sampai dengan 2 kali. Secara statistik, perbedaan masa praoviposisi, masa oviposisi dan frekuensi peneluran pada ke empat nisbah kelamin tidak signifikan (p>0,05).

Nisbah kelamin 1:1 menghasilkan peletakan telur paling tinggi (85,75±30,92) sedangkan nisbah kelamin 1:3 memberikan hasil yang sebaliknya (41,17±17,17). Nisbah kelamin 1:2 menghasilkan rata-rata telur yang menetas paling tinggi (65,14±18,47) dan nisbah kelamin 1:4 menghasilkan rata-rata telur yang menetas paling rendah (29,75±8,62). Secara statistik, perbedaan rata-rata


(40)

jumlah telur yang menetas pada ke empat nisbah kelamin adalah signifikan (p<0,05). Persen penetasan telur predator tertinggi adalah pada nisbah kelamin 1:2 (87.65 ± 15.12) dan yang terrendah adalah pada nisbah kelamin 1:4 (67.03 ± 14.96). Semua rasio betina dan jantan menunjukkan rata-rata stadium telur yaitu 14 hari. Secara umum predator meletakkan telur pada permukaan tutup wadah yang terdapat kain kasa.

Gambar 6 Paket telur S. annulicornis

Telur berbentuk jorong, berwarna coklat, dan diletakkan pada paket yang tersusun dalam beberapa baris (Gambar 6). Imago betina meletakkan telur pada kain kasa karena permukaannya yang agak kasar sehingga dapat mencegah telur jatuh.

Pengaruh Status Mangsa terhadap Perilaku Pemangsaan Predator

Dalam studi ini adalah melihat pengaruh dari pemberian mangsa

C. cephalonica dalam status mati terhadap perilaku predator keturunannya, khususnya melihat agresifitas predator yang dicerminkan dengan masa pencarian, masa penanganan, masa pengisapan dan jumlah mangsa.


(41)

27 Tabel 8 Masa pencarian (menit), masa penanganan (menit), masa pengisapan

(menit), dan jumlah mangsa yang dimangsa (ekor) oleh nimfa predator

S. annulicornis dengan mangsa C. cephalonica dengan status hidup Tahapan instar predator

Aktivitas

I II III IV V

Penemuan (H)a

20,44±9,58a 22,96±12,94a 17,43±5,19a 10,86±0,48a 10,95±5,74a

Penemuan (M)a

19,67±10,58a 24,68±15,49a 18,59±3,63a 10,72±0,41a 9,62±2,56b

Penanganan (H)a

5,55±3,78a 6,20±3,64a 3,16±2,57a 2,33±0,39a 2,39±0,52a

Penanganan (M)a

5,89±2,98a 5,04±3,39a 2,84±2,08a 1,97±0,56a 1,82±0,63b

Pengisapan (H)a

163,33±26,46a 119,82±13,72a 55,94±12,94a 38,24±1,37a 44,11±8,93a

Pengisapan (M)a

165,56±17,40a 109,04±9,74a 51,69±7,26b 37,57±2,98a 44,35±9,35a

Jml mangsa (H)a

7,78±0,97a 1,33±0,47a 1,71±0,06a 2,41±0,10a 2,73±0,03a

Jml mangsa (M)a

7,78±0,67a 1,54±0,50a 1,79±0,19a 2,49±0,12a 2,78±0,10a

Rataan dalam satu kolom dan aktivitas, yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (Uji -T, α = 0,05)

a

(H) = keturunan dari induk yang diberi mangsa C. cephalonica status hidup (M) = keturunan dari induk yang diberi mangsa C. cephalonica status mati

Masa pencarian dapat diamati saat predator dilepaskan hingga menemukan mangsa. Predator biasanya tidak langsung dapat menangkap mangsa namun berkeliling dulu di sekitar mangsa.

Masa penanganan dapat diamati saat predator mulai menemukan mangsa sampai menangani mangsa atau menangkap mangsa dan hal ini ditandai oleh predator menusukkan stiletnya dengan mengeluarkan cairan saliva yang beracun ke dalam tubuh mangsa sehingga mangsa tidak bergerak lagi. Predator juga terkadang mendekatkan stiletnya pada kotoran mangsa, hal ini dapat membantu


(42)

predator untuk menemukan mangsanya dengan mengenali senyawa kimia yang dikeluarkan oleh tubuh mangsa dan fesesnya.

Masa pengisapan dapat diamati sejak predator menusukkan stiletnya sampai selesai mengisap cairan tubuh mangsa. Apabila cairan tubuh mangsa telah diisap, larva tampak mengempis dan menjadi keriput (Gambar 7). Setelah selesai mengisap mangsa predator melakukan gerakan mengusap-usap antena dengan menggunakan tungkai depan.

Gambar 7 Predator S. annulicornis yang sedang memangsa larva C. cephalonica

Jumlah mangsa yang dimangsa dihitung dengan menghitung jumlah mangsa yang dikonsumsi oleh predator per hari. Pada tahapan pemberian mangsa kepada predator nimfa instar I, tidak dilakukan pemisahan predator karena perilaku predator nimfa instar I masih bergerombol, berukuran kecil, dan tubuhnya masih menempel pada cangkang telurnya.

Secara umum hasil penelitian pengaruh status mangsa terhadap perilaku pemangsaan predator menunjukkan semakin berkembangnya instar nimfa predator maka aktivitas predator yang dicerminkan dengan masa pencarian, masa penanganan, masa pengisapan adalah semakin singkat (Tabel 8). Secara umum hasil Uji-t menunjukkan pemberian mangsa C. cephalonica dalam status mati,


(43)

29 secara statistika tidak memberikan pengaruh nyata terhadap agresifitas predator keturunannya atau tidak berpengaruh buruk terhadap perilaku pemangsaan oleh predator keturunannya.

Pembahasan

Tiga jenis mangsa dan dengan status mangsa yang berbeda memberikan pengaruh terhadap mortalitas nimfa, stadium nimfa, lama hidup imago, total konsumsi selama fase nimfa, bobot tubuh imago, serta nilai ECI. Dua faktor tersebut, yaitu perbedaan mangsa dan status mangsa merupakan hal utama yang harus diperhatikan untuk mendapatkan hasil yang diharapkan pada saat melakukan pembiakan massal.

Faktor pertama yaitu perbedaan jenis mangsa, perbedaan jenis mangsa menyebabkan persentase mortalitas yang berbeda pada fase nimfa predator, mortalitas yang terjadi disebabkan karena tiga jenis mangsa tersebut memiliki komposisi dan kisaran nutrisi yang berbeda. Di antaranya adalah perbedaan kadar protein C. cephalonica (12,39%), T. molitor (16,13%), dan S. litura (6,89%) (Lampiran 1), dan kemungkinan terdapatnya zat toksik dalam tubuh mangsa yang dapat berpengaruh terhadap stadium instar nimfa dan lama hidup imago. Semakin pendek stadium instar nimfa dan semakin panjang lama hidup imago, maka mangsa tersebut sesuai atau memiliki kualitas yang tinggi dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan selama fase pradewasa dan reproduksi imago predator.

Mangsa C. cephalonica memberikan pengaruh yang baik terhadap predator yang dicerminkan dengan persentase mortalitas yang rendah, total stadium nimfa yang pendek dan lama hidup imago yang panjang. Sementara mangsa S. litura memberikan pengaruh yang buruk terhadap predator karena menyebabkan mortalitas yang tinggi, total stadium yang panjang dan lama hidup imago yang pendek.

Lacerda et al. (2003), melaporkan predator Podisus distinctus Stal (Heteroptera: Pentatomidae) yang diberi mangsa larva Bombyx mori Linnaeus (Lepidoptera: Bombycidae), larva Tenebrio molitor dan pupa Musca domestica


(44)

mori menghasilkan stadium nimfa yang paling singkat (18,68±1,02 hari) dibanding mangsa pupa M. domestica (19,03±1,40 hari). Dalam kasus tersebut, larva B. mori lebih sesuai untuk predator P. distinctus.

De Clercq (2002) melaporkan bahwa lama stadium instar nimfa

P. maculiventris yang diberi mangsa Nezara viridula Linnaeus (Hemiptera: Pentatomidae) lebih panjang dibandingkan yang diberi mangsa S. littoralis Torr. (Lepidoptera: Noctuidae), meskipun demikian uji mortalitas menunjukkan bahwa pemberian mangsa N. viridula tersebut menghasilkan mortalitas yang rendah pada predator sehingga pemberian mangsa tersebut masih tetap direkomendasikan.

Predator S. annulicornis memiliki nilai total konsumsi yang berbeda pada ketiga jenis mangsa. Larva S. litura merupakan mangsa yang paling banyak dikonsumsi oleh predator dan sebaliknya larva C. cephalonica yang paling sedikit dikonsumsi oleh predator. Hasil penelitian mengenai total konsumsi berbanding terbalik dengan data bobot tubuh, bobot tubuh predator yang tertinggi pada predator yang diberi mangsa C. cephalonica, dan justru sebaliknya, bobot tubuh terrendah pada predator yang diberi mangsa S. litura. Data ini menunjukkan bahwa nilai total konsumsi tidak berhubungan dengan bobot tubuh. Hal ini mengandung arti bahwa predator yang memiliki nilai total konsumsi yang paling tinggi belum tentu memiliki bobot tubuh yang tinggi. Bobot tubuh predator yang tinggi sangat diharapkan karena erat kaitannya dengan kebugaran, sedangkan kebugaran untuk serangga predator dewasa menentukan produksi telur, jumlah telur, ukuran, kualitas, kemampuan dispersal dan lama hidup.

Jumlah bobot mangsa yang diserap oleh predator S. annulicornis memiliki korelasi dengan terjadinya proses ganti kulit predator tersebut pada setiap jenis mangsa. Setiap pergantian ganti kulit, maka bobot tubuh mangsa yang diserap menurun kemudian setelah melakukan ganti kulit menuju tahapan instar nimfa yang lebih tinggi maka jumlah bobot yang diserap akan semakin tinggi kemudian cenderung stabil dan menurun menjelang ganti kulit menjadi imago (Gambar 8).


(45)

31 0.000 0.010 0.020 0.030 0.040 0.050 0.060

1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71

Hari R at a -r at a B io m as sa yan g d ih isap ( g )

Merah = mangsa status mati Biru = mangsa status hidup

C. cephalonica

1 2 3

4 5

0.000 010 020 030 040 050 060

1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66

Hari R a ta -r a ta B io m as sa ya n g di hi s a p ( g) 0.

Merah = mangsa status mati Biru = mangsa status hidup

T. molitor 0.

5

0. 4

1 2 3

0. 0. 0. 0.000 0.010 020 0.030 0.040 0.050 0.060

1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66

Hari R a ta-rat a Bi o m as sa ya n g di hi s a p ( g) S. litura

Merah = mangsa status mati Biru = mangsa status hidup

5 4 3 2 1 0.

Gambar 8 Konsumsi harian selama fase nimfa predator S. annulicornis pada mangsa C. cephalonica, T. molitor, dan S. litura dengan status hidup dan mati


(46)

Pemberian mangsa C. cephalonica menunjukkan nilai total konsumsi yang rendah tetapi mendapatkan bobot tubuh yang paling tinggi. McGregor et al.

(1999) melaporkan bahwa pemberian mangsa Trialeurodes vaporariorum

Westwood (Homoptera: Aleyrodidae) lebih sesuai bagi predator Dicyphus hesperus Knight (Heteroptera: Miridae) dibandingkan Tetranychus urticae Koch (Acari: Tetranychidae). Hal tersebut ditunjukkan oleh stadium nimfa yang pendek (24,5±0,3 hari) dengan mangsa T. vaporariorum dan (26,3±0,4 hari) dengan mangsa T. urticae dan juga ukuran tibia yang lebih panjang pada pemberian mangsa T. vaporariorum (1,95±0,02 mm betina: 1,91±0,02 mm jantan), dan (1,84±0,01 mm betina: 1,79±0,05 mm jantan ) dengan mangsa T. urticae. Selain itu, predator juga lebih memilih tanaman tomat yang terinfestasi lebih banyak populasi T. vaporariorum dibandingkan T. urticae.

Secara umum, predator memiliki kisaran mangsa yang luas di alam namun hanya beberapa mangsa saja yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya. Hal ini dikarenakan mangsa yang sesuai tersebut memiliki komposisi nutrisi yang cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan hidup predator (Evans et al. 1999).

Tinggi dan rendahnya total konsumsi yang diserap oleh suatu predator pada jenis mangsa tertentu erat kaitannya dengan kualitas nutrisi yang terkandung pada tubuh mangsa. Hal ini merupakan bentuk dari respon fisiologi yang dimiliki serangga predator tersebut yaitu serangga predator akan meningkatkan konsumsi rata-rata sebagai respon apabila makanannya memiliki kandungan nutrisi yang rendah atau tidak berkualitas ( Slansky & Rodriguez 1987).

Data penelitian menunjukkan bahwa predator memiliki total konsumsi yang tinggi dengan mangsa larva S. litura tetapi menghasilkan mortalitas yang tinggi, dan sebaliknya predator memiliki total konsumsi yang rendah dengan mangsa larva C. cephalonica dan menghasilkan mortalitas yang rendah.

Respon fisiologi serangga terbentuk karena dilatarbelakangi pada awalnya oleh keadaan lingkungan yang tidak sesuai untuk kehidupan serangga, seperti kualitas dan kuantitas makanan yang bervariasi, suhu dan kelembaban yang berfluktuasi, dan keberadaan kompetitor. Tekanan lingkungan yang terus-menerus


(47)

33 tersebut secara perlahan-lahan menyebabkan serangga memiliki kemampuan beradaptasi, dalam hal ini adaptasi secara fisiologi (respon fisiologi) terhadap konsumsi makanan, pemanfaatan makanan dan alokasi makanan dengan tujuan serangga tersebut mampu bertahan di alam dan memiliki kriteria kebugaran yang diharapkan. Contoh lain dari respon fisiologi serangga adalah berjemur lebih lama dan atau berkerumun membentuk kelompok pada saat terjadinya penurunan suhu ( Slansky & Rodriguez 1987).

Kualitas dari suatu predator ditentukan oleh tingkat konsumsi rata-rata suatu makanan dan tingkat efisiensi. Besarnya cairan tubuh mangsa yang diserap dan kemudian diubah menjadi komponen tubuh disebut dengan Efisiensi Penyerapan Makanan atau Efficiency of Conversion of Ingestedfood (ECI). Nilai ECI merupakan suatu parameter efisiensi penyerapan makanan oleh predator yang mampu diubah menjadi komponen tubuh. Semakin tinggi nilai ECI maka semakin efisien penyerapan kandungan nutrisi mangsa oleh predator (Slansky & Rodriguez 1987).

Nilai ECI tertinggi yaitu pada predator dengan mangsa C. cephalonica dan nilai ECI terrendah yaitu dengan mangsa S. litura. Nilai ECI yang tinggi merupakan parameter pendukung lainnya selain persentase mortalitas yang rendah, stadium nimfa yang pendek dan lama hidup imago yang panjang pada predator S. annulicornis dengan mangsa C. Cephalonica. Data-data tersebut menunjukkan bahwa dari tiga jenis mangsa yang diberikan pada predator, mangsa

C. cephalonica adalah yang paling sesuai untuk predator S. annulicornis.

Faktor kedua yaitu status mangsa yang berpengaruh terhadap persentase mortalitas dan lama hidup imago. Data persentase mortalitas menunjukkan bahwa status mangsa hidup dan mati, yang diberikan pada predator memiliki pengaruh khususnya terhadap mangsa C. cephalonica, yang memiliki persentase (0%) pada mangsa mati dan (35%) pada mangsa hidup (Tabel 2). Status mangsa tidak berpengaruh terhadap stadium instar nimfa, total konsumsi, bobot tubuh dan nilai ECI. Namun mangsa status mati menghasilkan nilai total konsumsi yang tinggi, bobot tubuh dan nilai ECI yang lebih tinggi dibanding mangsa dengan status hidup.


(48)

Pengaruh yang berbeda antara status mangsa hidup dan mati disebabkan antara lain, mangsa dalam status hidup memiliki cara mempertahankan diri dari musuhnya, diantaranya larva C. cephalonica yang menghasilkan sutera yang dapat menghambat predator. Selain itu perilaku mangsa juga berpengaruh terhadap preferensi predator. Sebagai contoh De Clercq & Degheele (1994) melaporkan bahwa predator Podisus maculiventris Say (Hemiptera: Pentatomidae) dan P. sagitta Fabricius (Hemiptera: Pentatomidae) lebih memilih memangsa Spodoptera exigua Hubner (Lepidoptera: Noctuidae) dibandingkan memangsa S. littoralis dan Mamestra brassicae Linnaeus (Lepidoptera: Noictuidae) karena S. exigua tidak agresif pada saat diserang berbeda dengan S. littoralis dan M. brassicae yang sangat agresif pada saat melakukan perlawanan. Hal ini menyebabkan predator cenderung memangsa S. exigua. Mangsa yang agresif mampu meloloskan diri dari tangkapan predator dengan melakukan perlawanan fisik sehingga dapat melarikan diri.

Predator P. maculiventaris juga lebih memilih mangsa yang relatif diam dan tidak melakukan perlawanan. De Clercq & Degheele (1994) melaporkan bahwa P. maculiventris lebih memilih memangsa pupa S. exigua. dibandingkan larva S. exigua. Predator ini juga kurang memilih imago ngengat S. litura karena ngengat ini aktif terbang.

Larva S. litura dengan status mati, membusuk, menghasilkan bau yang menyengat dan berlendir diindikasikan mengandung toksin. Penyebab terjadinya kebusukan dari suatu organisme yaitu terdapatnya mikroorganisme pembusuk, kegiatan enzim dan reaksi kimia, sedangkan pertumbuhan dan perkembangan yang berlebihan dari mikroorganisme pembusuk dapat menghasilkan toksin (Desroiser 1988).

Salah satu pertimbangan dilaksanakannya studi rasio betina dan jantan terhadap fekunditas dan fertilitas adalah pada pengamatan sebelumnya, di laboratorium menunjukkan fertilitas telur yang bervariasi. Salah satu metode pembiakan massal di laboratorium adalah predator harus mampu mendapatkan fekunditas dan fertilitas yang tinggi. Dalam hal ini faktor penentu tinggi rendahnya jumlah fekunditas dan fertilitas telur adalah kepadatan predator,


(49)

35 semakin tinggi kepadatan predator memberikan pengaruh yang negatif terhadap fekunditas dan fertilitas telur yaitu terjadinya kanibalisme (Gambar 9), hal ini disebabkan karena terjadinya persaingan imago jantan untuk berkopulasi dengan betina sehingga mengganggu proses terjadinya kopulasi.

Gambar 9 Kanibalisme predator S. annulicornis

Hal ini didukung oleh penelitian Saharayaj (2002) yang mengungkapkan bahwa mortalitas predator Rhynocoris marginatus Fabricius (Hemiptera: Reduviidae) pada kepadatan 25-50 adalah sekitar 10%, sedangkan mortalitas pada kepadatan 75-100 adalah 32,5%. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh De Clercq & Degheele (1994) menunjukkan bahwa mortalitas imago P. maculiventaris (Hemiptera: Pentatomidae) meningkat seiring dengan bertambahnya kepadatan populasi predator. Dengan semakin padatnya populasi maka semakin meningkat terjadinya kanibalisme antar individu predator sehingga mengganggu proses kopulasi, fertilisasi, dan perbanyakan keturunan.

Kanibalisme merupakan suatu aktivitas saling membunuh dan memakan antara spesies yang sama. Kanibalisme dapat terjadi karena beberapa faktor, antara lain ketika jumlah makanan atau mangsa yang tersedia sangat sedikit (Dixon 2000) atau karena jumlah makanan yang tersedia terlalu berlimpah (Fox et al. 1975 dalam Hindayana 2001). Selain itu, faktor genetik berpengaruh dalam


(50)

menyebabkan sifat kanibalisme suatu predator (Riechert 1981 dalam Hindayana 2001). Kanibalisme merupakan salah bentuk kompetisi yang ekstrim hingga menyebabkan kematian. Terbatasnya sumber daya merupakan faktor penting terjadinya kanibalisme, dalam penelitian ini sumber daya yang terbatas adalah predator betina. Terjadinya saling membunuh antara predator jantan adalah untuk mendapatkan predator betina agar bisa meneruskan keturunannya.

Hal yang pokok dari studi pengaruh rasio betina dan jantan adalah 1) melihat rata-rata jumlah telur yang diletakkan/betina (keperidian) dan 2) melihat rata-rata jumlah telur yang menetas. Rasio 1:2 memiliki rata-rata jumlah telur yang diletakkan/betina lebih rendah dibanding dari rasio 1:1, tetapi memiliki rata-rata jumlah telur yang menetas lebih tinggi dibanding rasio 1:1. Hal ini menunjukkan bahwa rasio 1:2 adalah paling sesuai untuk predator S. annulicornis

untuk mendapatkan fekunditas dan fertilitas telur yang tinggi.

Perilaku pemangsaan oleh predator S. annulicornis diawali dengan masa pencarian yaitu waktu yang dibutuhkan untuk mencari dan menemukan mangsa, kemudian masa penanganan yaitu total waktu yang diperlukan untuk menangani dan membunuh mangsa, masa pengisapan yaitu waktu yang dibutuhkan untuk mengkonsumsi satu ekor mangsa, dan jumlah mangsa yang dimangsa yaitu jumlah mangsa yang dikonsumsi per hari.

Semakin muda instar nimfa maka memiliki kemampuan yang rendah untuk menangkap mangsa (New 1991) dan sebaliknya semakin berkembangnya instar nimfa predator maka aktivitas predator yang dicerminkan dengan masa pencarian, masa penanganan, masa pengisapan adalah semakin singkat (Bellow & Fisher 1999). Hal tersebut disebabkan fotoreseptor (indera penglihatan) dan kemoreseptor (senyawa kimia) predator semakin berkembang dalam mendeteksi keberadaan mangsa.

Serangga predator dapat menemukan mangsanya melalui dua hal yaitu secara fisik dan stimuli kimia. Indera penglihatan (vision) merupakan salah satu faktor fisik yang penting dalam penemuan mangsa, khususnya untuk serangga predator Hemiptera, selain daya lihat serangga predator juga dapat menggunakan antena yang berfungsi sebagai penerima rangsangan.


(51)

37 Senyawa kimia terdiri dari dua tipe, yaitu alomon dan kairomon. Alomon adalah senyawa kimia yang menguntungkan bagi penghasil, sedangkan kairomon merupakan senyawa kimia yang merugikan penghasil. Kairomon membantu memudahkan predator untuk menemukan mangsa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian mangsa C. cephalonica

dalam status mati tidak memberikan pengaruh buruk terhadap perilaku pemangsaan oleh keturunan pertama predator tersebut (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian mangsa dalam status mati dapat digunakan untuk pembiakan massal di laboratorium. Namun perlu dikaji perilaku pemangsaan tersebut pada generasi-generasi selanjutnya.


(52)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Larva C. cephalonica adalah mangsa yang paling sesuai untuk pembiakan massal predator S. annulicornis di laboratorium. Rasio 1:2 (betina: jantan) merupakan rasio yang paling sesuai untuk menghasilkan fekunditas dan fertilitas yang tinggi.

Status mangsa mati tidak berpengaruh terhadap perilaku pemangsaan keturunan pertama predator tersebut.

Pemberian mangsa C. cephalonica dengan status mati dan rasio 1:2 adalah paling sesuai untuk pembiakan massal predator S. annulicornis di laboratorium.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai pengaruh mangsa status mati yang diberikan pada predator terhadap perilaku pemangsaan pada generasi selanjutnya.


(1)

HIDUP_MAT Mean N SD SE

hidup 108.70 50 52.730 7.4571 mati 109.73 55 49.182 6.6317 Difference -1.0273

Null Hypothesis: difference = 0 Alternative Hyp: difference <> 0

95% CI for Difference Assumption T DF P Lower Upper

Equal Variances -0.10 103 0.9179 -20.753 18.698 Unequal Variances -0.10 100.3 0.9182 -20.825 18.771

Test for Equality F DF P

of Variances 1.15 49,54 0.3080

Cases Included 105 Missing Cases 0

Jumlah Mangsa yang Dimangsa

Statistix 8.0 7/29/2006, 6:55:26 PM

Two-Sample T Tests for NO by HIDUP_MAT

HIDUP_MAT Mean N SD SE

hidup 1.3265 49 0.4738 0.0677 mati 1.5439 57 0.5025 0.0666 Difference -0.2173

Null Hypothesis: difference = 0 Alternative Hyp: difference <> 0

95% CI for Difference Assumption T DF P Lower Upper

Equal Variances -2.28 104 0.0247 -0.4064 -0.0282 Unequal Variances -2.29 103.1 0.0241 -0.4056 -0.0291

Test for Equality F DF P

of Variances 1.12 56,48 0.3399 Cases Included 106 Missing Cases 0

Instar 3

Masa Pencarian

Statistix 8.0 7/23/2006, 7:46:16 PM

Two-Sample T Tests for ST by HIDUP_MAT

HIDUP_MAT Mean N SD SE

hidup 17.780 50 10.691 1.5119 mati 18.843 51 10.078 1.4113 Difference -1.0631

Null Hypothesis: difference = 0 Alternative Hyp: difference <> 0


(2)

Assumption T DF P Lower Upper

Equal Variances -0.51 99 0.6082 -5.1646 3.0383 Unequal Variances -0.51 98.4 0.6084 -5.1673 3.0410

Test for Equality F DF P

of Variances 1.13 49,50 0.3395

Cases Included 101 Missing Cases 0

Masa Penanganan

Statistix 8.0 7/29/2006, 7:04:25 PM

Two-Sample T Tests for HT by HIDUP_MAT

HIDUP_MAT Mean N SD SE

hidup 3.1600 50 2.5743 0.3641 mati 2.8431 51 2.0820 0.2915 Difference 0.3169

Null Hypothesis: difference = 0 Alternative Hyp: difference <> 0

95% CI for Difference Assumption T DF P Lower Upper

Equal Variances 0.68 99 0.4976 -0.6067 1.2404 Unequal Variances 0.68 94.1 0.4986 -0.6092 1.2429

Test for Equality F DF P

of Variances 1.53 49,50 0.0692

Cases Included 101 Missing Cases 0

Masa Pengisapan

Statistix 8.0 7/23/2006, 7:48:52 PM

Two-Sample T Tests for FP by HIDUP_MAT

HIDUP_MAT Mean N SD SE

hidup 56.400 50 34.715 4.9095 mati 51.608 51 24.835 3.4776 Difference 4.7922

Null Hypothesis: difference = 0 Alternative Hyp: difference <> 0

95% CI for Difference Assumption T DF P Lower Upper

Equal Variances 0.80 99 0.4261 -7.1071 16.691 Unequal Variances 0.80 88.6 0.4279 -7.1628 16.747

Test for Equality F DF P

of Variances 1.95 49,50 0.0100


(3)

Jumlah Mangsa yang Dimangsa

Statistix 8.0 7/23/2006, 7:50:51 PM

Two-Sample T Tests for NO by HIDUP_MAT

HIDUP_MAT Mean N SD SE

hidup 1.7000 50 0.4629 0.0655 mati 1.7843 51 0.4154 0.0582 Difference -0.0843

Null Hypothesis: difference = 0 Alternative Hyp: difference <> 0

95% CI for Difference Assumption T DF P Lower Upper

Equal Variances -0.96 99 0.3375 -0.2579 0.0893 Unequal Variances -0.96 97.4 0.3380 -0.2581 0.0895

Test for Equality F DF P

of Variances 1.24 49,50 0.2240

Cases Included 101 Missing Cases 0

Instar 4

Masa Pencarian

Statistix 8.0 7/24/2006, 7:11:06 PM

Two-Sample T Tests for ST by HIDUP_MAT

HIDUP_MAT Mean N SD SE

hidup 10.883 60 3.5895 0.4634 mati 10.815 54 3.5770 0.4868 Difference 0.0685

Null Hypothesis: difference = 0 Alternative Hyp: difference <> 0

95% CI for Difference Assumption T DF P Lower Upper

Equal Variances 0.10 112 0.9190 -1.2634 1.4004 Unequal Variances 0.10 110.8 0.9190 -1.2633 1.4003

Test for Equality F DF P

of Variances 1.01 59,53 0.4916

Cases Included 114 Missing Cases 0

Masa Penanganan

Statistix 8.0 7/24/2006, 7:12:11 PM


(4)

HIDUP_MAT Mean N SD SE

hidup 2.3500 60 1.7643 0.2278 mati 1.9630 54 1.3868 0.1887 Difference 0.3870

Null Hypothesis: difference = 0 Alternative Hyp: difference <> 0

95% CI for Difference Assumption T DF P Lower Upper

Equal Variances 1.29 112 0.1990 -0.2064 0.9805 Unequal Variances 1.31 110.1 0.1934 -0.1991 0.9732

Test for Equality F DF P

of Variances 1.62 59,53 0.0383

Cases Included 114 Missing Cases 0

Masa Pengisapan

Statistix 8.0 7/24/2006, 7:12:58 PM

Two-Sample T Tests for FP by HIDUP_MAT

HIDUP_MAT Mean N SD SE

hidup 38.250 60 11.492 1.4835 mati 37.519 54 12.309 1.6750 Difference 0.7315

Null Hypothesis: difference = 0 Alternative Hyp: difference <> 0

95% CI for Difference Assumption T DF P Lower Upper

Equal Variances 0.33 112 0.7434 -3.6858 5.1487 Unequal Variances 0.33 108.7 0.7444 -3.7033 5.1663

Test for Equality F DF P

of Variances 1.15 53,59 0.3029 Cases Included 114 Missing Cases 0

Statistix 8.0 7/24/2006, 7:13:44 PM

Jumlah Mangsa yang Dimangsa

Two-Sample T Tests for NO by HIDUP_MAT

HIDUP_MAT Mean N SD SE

hidup 2.4068 59 0.6726 0.0876 mati 2.4815 54 0.6063 0.0825 Difference -0.0747

Null Hypothesis: difference = 0 Alternative Hyp: difference <> 0

95% CI for Difference Assumption T DF P Lower Upper

Equal Variances -0.62 111 0.5378 -0.3142 0.1648 Unequal Variances -0.62 111.0 0.5359 -0.3131 0.1637


(5)

Test for Equality F DF P

of Variances 1.23 58,53 0.2227

Cases Included 113 Missing Cases 0

Instar 5

Masa Pencarian

Statistix 8.0 7/24/2006, 7:14:37 PM

Two-Sample T Tests for ST by HIDUP_MAT

HIDUP_MAT Mean N SD SE

hidup 10.947 75 8.5817 0.9909 mati 9.6167 60 5.5053 0.7107 Difference 1.3300

Null Hypothesis: difference = 0 Alternative Hyp: difference <> 0

95% CI for Difference Assumption T DF P Lower Upper

Equal Variances 1.04 133 0.2998 -1.1973 3.8573 Unequal Variances 1.09 127.4 0.2775 -1.0830 3.7430

Test for Equality F DF P

of Variances 2.43 74,59 0.0003

Cases Included 135 Missing Cases 0

Masa Penanganan

Statistix 8.0 7/24/2006, 7:15:46 PM

Two-Sample T Tests for HT by HIDUP_MAT

HIDUP_MAT Mean N SD SE

hidup 2.3947 76 2.0072 0.2302 mati 1.8167 60 1.2281 0.1585 Difference 0.5781

Null Hypothesis: difference = 0 Alternative Hyp: difference <> 0

95% CI for Difference Assumption T DF P Lower Upper

Equal Variances 1.96 134 0.0522 -5.50E-03 1.1616 Unequal Variances 2.07 126.8 0.0407

Test for Equality F DF P

0.0249 1.1313

of Variances 2.67 75,59 0.0001

Cases Included 136 Missing Cases 0

Masa Pengisapan

Statistix 8.0 7/24/2006, 7:16:53 PM


(6)

HIDUP_MAT Mean N SD SE

hidup 44.107 75 20.752 2.3963 mati 44.350 60 21.497 2.7753 Difference -0.2433

Null Hypothesis: difference = 0 Alternative Hyp: difference <> 0

95% CI for Difference Assumption T DF P Lower Upper

Equal Variances -0.07 133 0.9470 -7.4673 6.9806 Unequal Variances -0.07 124.6 0.9472 -7.5003 7.0137

Test for Equality F DF P

of Variances 1.07 59,74 0.3843

Cases Included 135 Missing Cases 0

Jumlah Mangsa yang Dimangsa

Statistix 8.0 7/24/2006, 7:17:36 PM

Two-Sample T Tests for NO by HIDUP_MAT

HIDUP_MAT Mean N SD SE

hidup 2.7333 75 0.4452 0.0514 mati 2.7833 60 0.4155 0.0536 Difference -0.0500

Null Hypothesis: difference = 0 Alternative Hyp: difference <> 0

95% CI for Difference Assumption T DF P Lower Upper

Equal Variances -0.67 133 0.5054 -0.1981 0.0981 Unequal Variances -0.67 129.8 0.5021 -0.1970 0.0970

Test for Equality F DF P

of Variances 1.15 74,59 0.2921