2. Untuk memahami dan mendeskripsikan secara lebih mendalam
tentang faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat BNNP Bali dalam menjalankan fungsinya mencegah dan
memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
1.5. Manfaat Penulisan
1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam aspek teoritis atau keilmuan seiring dengan
berkembangnya pola hidup masyarakat serta permasalahan-permasalahan yang muncul di dalam hidup bermasyarakat. Serta juga diharapkan dapat menjadi
referensi dalam mempelajari permasalahan mengenai tindak pidana narkotika khususnya, mengenai upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika. 1.5.2
Manfaat Praktis Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan mampu memberikan
sumbangan penelitian sebagai bahan pertimbangan, perbandingan, dan penyempurnaan bagi penelitian selanjutnya dalam rangka meningkatkan perhatian
dikalangan masyarakat dan pemerintah dalam menyikapi keadaan Indonesia khususnya di Bali yang pada saat ini sedang mengalami situasi darurat narkotika.
1.6. Landasan Teoritis
Adapun teori-teori yang digunakan penulis dalam penelitian ini meliputi Teori Pemidanaan, Teori Pencegahan, Teori Kebijakan Hukum Pidana dan Teori
Kewenangan. 1.6.1
Teori Pemidanaan Sebelum membahas mengenai teori pemidanaan, terlebih dahulu penulis
ingin membahas mengenai apa itu strafbaarfeit, peristiwa pidana dan tindak pidana. Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan strafbaarfeit
untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana dalam KUHP tanpa memberikan penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan
strafbaarfeit tersebut. Strafbaarfeit berasal dari bahasa Belanda. Feit yang berarti sebagian dari suatu kenyataan dan strafbaar yang berarti dapat dihukum.
Sehingga secara harafiah perkataan strafbaarfeit dapat diterjemahkan sebagai sebagaian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum dan yang dapat dihukum
adalah manusia sebagai pribadi
5
. Istilah
“peristiwa pidana” atau “tindak pidana” adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda yaitu
“strafbaarfeit” atau “delict”. Dikenal pula beberapa terjemahan yang lain seperti
“tindak pidana” dalam UU No. 3 Tahun 1971 jo UU No. 26 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
“pelanggaran pidana
” yang dikemukakan oleh Tirtaamidjaya dalam bukunya yang berjudul pokok-pokok hukum pidana
, dan “perbuatan pidana” yang diungkapkan Moeljatno pada pidato Dies Natalis Universitas Gadjah Mada VI tahun 1955 di
5
P.A.F Lamintang dan Thejunior Lamnintang, 2014, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, cet.I, Sinar Grafika, Jakarta, h. 179.
Yogyakarta
6
. Moeljatno mengemukakan bahwa istilah “perbuatan pidana”
menurut wujud atau sifatnya adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum. Perbuatan-perbuatan pidana ini adalah
perbuatan melawan hukum. Namun, tidak semua perbuatan melawan hukum dan merugikan masyarakat dikenakan sanksi pidana misalnya, pelacuran
7
. Diantara beberapa istilah tersebut diatas yang paling tepat untuk dipakai menurut C.S.T
Kansil dan Christine S.T Kansil adalah peristiwa pidana, karena yang diancam dengan pidana bukan saja perbuatan tetapi juga tidak berbuat
8
. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pembentuk undang-
undang tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit maka muncullah doktrin tentang apa sebenarnya yang dimaksud
dengan strafbaarfeit tersebut. Menurut Simons strafbaarfeit adalah perbuatan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu
bertanggung jawab
9
. Pompe dalam bukunya P.A.F Lamintang yang berjudul dasar-dasar hukum
pidana Indonesia menjelaskan yang dimaksud perkataan strafbaarfeit adalah suatu pelanggaran norma yang sengaja maupun tidak sengaja dilakukan oleh seorang
pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadapnya perlu dilakukan demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
Setelah mengetahui apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit, peristiwa pidana, selanjutnya dibahas mengenai Teori Pemidanaan. Ada berbagai macam
6
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana Hukum Pidana Untuk Setiap Orang, cet.II, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h. 37
7
Moeljatno, 2009, Asas-Asas Hukum Pidana,cet.VIII, PT.Rineka Cipta, Jakarta, h.3.
8
Ibid,h. 38.
9
Ibid.
pendapat mengenai teori pemidanaan, namun menurut Andi Hamzah dalam bukunya asas-asas hukum pidana, ada tiga golongan utama teori untuk
membenarkan penjatuhan pidana yaitu: Pertama, Teori absolut atau teori pembalasan vergeldings theorien. Kedua, Teori relatif atau teori tujuan doel
theorien. Ketiga, Teori gabungan verenigingstheorien
10
. A.
Teori Absolut atau teori pembalasan vergeldings theorien Andi Hamzah dalam bukunya asas-asas hukum pidana memberikan pengertian
mengenai maksud dari teori pembalasan yaitu bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Namun, kejahatan tersebutlah
dengan sendirinya yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Tidak perlu untuk memikirkan kegunaan menjatuhkan pidana itu. Selanjutnya
Andi Hamzah juga menyatakan bahwa pidana merupakan tuntutan mutlak, dan menjadi suatu keharusan karena hakikat suatu pidana adalah pembalasan
11
. Penjatuhan pidana dijatuhkan dan dibenarkan karena semata-mata untuk
memberikan penderitaan bagi penjahat atas perbuatannya yang telah membuat orang lain menderita. Setiap kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti pidana bagi
pembuatnya, tidak dilihat akibat-akibat apa yang dapat timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak memerhatikan masa depan, baik terhadap diri penjahat maupun
masyarakat
12
.
10
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori- Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta,
h.157.
11
Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet.III, PT.Rineka Cipta, Jakarta, h.31.
12
Adami Chazawi, loc.cit.
Menurut Adami Chazawi dalam bukunya pelajaran hukum pidana, tindakan pembalasan dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu: Pertama,
ditujukan kepada penjahatnya sebagai sudut subjektif dari teori pembalasan. Kedua, ditujukan untuk memenuhi rasa kepuasan dalam masyarakat karena
perasaan dendam masyarakat telah terpenuhi dengan dijatuhkannya pidana terhadap pelaku kejahatan.
B. Teori Relatif atau Teori Tujuan
Adami Chazawi berpendapat bahwa maksud dari teori ini dimana pidana adalah alat untuk menegakkan hukum atau tata tertib yang ada dalam masyarakat.
Pidana adalah alat untuk mencegah munculnya suatu kejahatan, dengan tujuan untuk terpeliharanya tata tertib di dalam masyarakat. Jadi dasar pembenaran
adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana merupakan suatu hal yang perlu untuk diadakan noodzakelijk. Untuk mencapai tujuan
ketertiban masyarakat tadi, maka pidana mempunyai tiga sifat yaitu: menakut- nakuti, memperbaiki, dan membinasakan
13
. C.
Teori Gabungan Teori gabungan didasarkan pada asas pembalasan dan juga asas pertahanan
tata tertib masyarakat, yang menjadi dasar sebagai penjatuhan pidananya. Teori gabungan dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu sebagai berikut:
1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan
Dalam teori ini, pembalasan tersebut tidak boleh lebih dari batas-batas yang ditentukan dari apa yang perlu dan cukup untuk mempertahankan tata tertib
13
Adami Chazawi , Op.cit. h.162.
dalam masyarakat. Pendukung teori ini antara lain Pompe. Dalam bukunya Adami Chazawi ia berpandangan bahwa pidana tiada lain adalah pembalasan
kepada penjahat yang juga memiliki tujuan untuk mempertahankan tata tertib hukum agar kepentingan umum senantiasa terselamatkan dan terjamin dari
kejahatan. Pidana bersifat pembalasan dibenarkan asal bermanfaat bagi tata tertib hukum dalam mayarakat.
2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat
Dalam teori ini, penjatuhan pidana berupa penderitaan terhadap pelaku kejahatan, tidak boleh melebihi dari pada perbuatan yang dilakukan terpidana.
Pendukung teori gabungan yang menitikberatkan pada tata tertib hukum ini salah satunya adalah Simons. Menurut Simons dalam bukunya Adami
Chazawi, dasar primer pidana adalah pencegahan umum yang terdapat ancaman dalam suatu undang-undang. Apabila pencegahan umum tersebut
tidak efektif, maka barulah selanjutnya diadakan pencegahan khusus yakni menakut-nakuti, memperbaiki dan membuat penjahat tidak berdaya. Pidana
dijatuhkan berdasarkan hukum yang ada dalam masyarakat
14
. 1.6.2
Teori Pencegahan Terdapat dua teori pencegahan yakni: Pertama, teori pencegahan umum
general preventie. Kedua, teori pencegahan khusus special preventie. A.
Pencegahan Umum general preventie Menurut teori ini, bahwa agar masyarakat ramai menjadi takut untuk
melakukan kejahatan, maka perlu dibuat suatu penjatuhan pidana yang
14
Adami Chazawi , Op.cit. h. 167.
menyeramkan dengan eksekusi yang kejam dan dilakukan di depan umum atau didepan orang banyak dengan tujuan agar setiap orang mengetahuinya. Penjahat
yang dijatuhkan pidana tersebut akan dijadikan tontonan masyarakat agar masyarakat takut untuk berbuat serupa.
Jadi menurut teori pencegahan umum ini Adami Chazawi berpendapat, untuk mencapai dan mempertahankan tata tertib masyarakat melalui pemidanaan,
pelaksanaan pidana harus dilakukan secara kejam dan dimuka umum
15
. Dalam perkembangannya, teori pencegahan umum dengan eksekusi yang kejam ini
banyak ditentang misalnya oleh Beccaria 1738-1794 dan Von Feuerbach 1775- 1883.
Menurut Beccaria dalam bukunya Adami Chazawi, hukum pidana harus dikodifikasikan secara rasional serta sistematis dengan tujuan agar setiap orang
mengetahui secara jelas mengenai perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan diancamkan dengan pidana. Beccaria juga menginginkan agar pidana mati dan
penyiksaan yang kejam dihapuskan serta diganti dengan pidana yang lebih berprikemanusiaan. Dan pidana yang dijatuhkan berupa penderitaan tersebut
jangan sampai melewati penderitaan yang diakibatkan oleh penjahat yang dipidana itu.
Von Feuerbach yang memperkenalkan teori pencegahan umum yang disebut dengan “psychologische zwang”, dalam bukunya Adami Chazawi menyatakan
bahwa sifat menakut-nakuti dari pidana itu, bukan pada penjatuhan pidana itu,
15
Adami Chazawi , Op.cit h.162.
tetapi pada ancaman pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang
16
. Suatu ancaman pidana terlebih dahulu harus ditetapkan terlebih dahulu dalam Undang-
Undang sehingga dapat diketahui oleh masyarakat yang kemudian, ketentuan umum tersebutlah yang dapat membuat masyarakat takut untuk melakukan suatu
kejahatan. Jadi dalam hal ini suatu ancaman pidana yang termuat dalam Undang- Undang dapat menimbulkan tekanan atau pengaruh kejiwaan bagi setiap orang
untuk menjadi takut melakukan suatu kejahatan. Namun sayangnya, teori Feuerbach tersebut memiliki beberapa kelemahan,
yaitu sebagai berikut : 1.
Seorang penjahat yang pernah atau bahkan sudah berkali-kali menjalani pidana karena kejahatan yang dilakukannya, menimbulkan perasaan takut
terhadap ancaman pidana tersebut menjadi rendah bahkan hilang. 2.
Suatu ancaman pidana yang ditetapkan terlebih dahulu, bisa saja tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Seperti yang diketahui bahwa ancaman
pidana bersifat abstrak, sedang pidana yang dijatuhkan bersifat konkret. Sangat sulit untuk terlebih dahulu menentukan berat pidana yang diancam
agar bisa sesuai dengan perbuatan yang dilarang.
3. Orang-orang maupun penjahat yang bodoh ataupun yang tidak mengetahui
mengenai ancaman pidana membuat sifat menakut-nakuti dari peraturan tersebut menjadi lemah bahkan tidak ada sama sekali
17
. B.
Teori Pencegahan Khusus Teori pencegahan khusus ini merupakan teori yang lebih maju dari pada teori
pencegahan umum. Menurut teori ini, tujuan pidana adalah mencegah agar pelaku kejahatan yang telah dijatuhi pidana tidak mengulangi lagi untuk melakukan
kejahatan serta mencegah agar orang yang mau melakukan kejahatan untuk tidak mewujudkan niatnya tersebut kedalam suatu perbuatan yang nyata. Tujuan itu
dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana yang sifatnya tiga macam yaitu:
16
Adami Chazawi , Op.cit, h.163.
17
Adami Chazawi , Op.cit, h.164.
1. Menakut-nakutinya;
2. Memperbaikinya, dan
3. Membuatnya menjadi tidak berdaya;
Menakut-nakutinya maksudnya adalah bahwa pidana harus dapat memberikan rasa takut kepada pelaku kejahatan agar pelaku kejahatan tidak lagi mengulangi
perbuatannya. Namun, ada pula orang-orang tertentu yang tidak lagi merasa takut untuk mengulangi dalam berbuat kejahatan. Pidana yang tepat untuk dijatuhkan
kepada orang tersebut adalah pidana yang bersifat memperbaiki diri pelaku agar menjadi orang yang lebih baik lagi. Sementara itu, terhadap orang yang tidak
takut serta tidak dapat diperbaiki lagi, pida yang dijatuhkan kepada dirinya harus membuatnya menjadi tidak berdaya dengan cara membinasakannya
18
. Menurut Van Hamel dalam bukunya Adami Chazawi, bahwa pembalasan
tidak boleh dijadikan maksud dan alasan dari penjatuhan pidana, namun pembalasan tersebut akan timbul dengan sendirinya sebagai dampak dari pidana
dan bukan sebab dari adanya pidana. Van Hamel membuat suatu gambaran tentang pemidanaan yang bersifat pencegahan khusus ini yaitu
19
: 1.
Pidana selalu dilakukan untuk pencegahan khusus, yakni untuk menakut- nakuti orang-orang yang cukup dapat dicegah dengan cara menaku-nakutinya
melalui penjatuhan pidana itu agar ia tidak melakukan niat jahatnya. 2.
Akan tetapi, bila ia tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan cara menjatuhkan pidana, penjatuhan pidana harus bersifat memperbaiki dirinya reclasering.
3. Apabila bagi penjahat tersebut tidak dapat lagi diperbaiki, penjatuhan pidana
harus bersifat membinasakan atau membikin mereka tidak berdaya. 4.
Tujuan satu-satunya dari pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum dimasyarakat.
18
Adami Chazawi , Op.cit, h. 165.
19
Adami Chazawi , Op.citm, h. 166.
1.6.3 Teori Kebijakan Hukum Pidana
Kebijakan kriminal atau politik kriminal menurut Sudarto dalam bukunya Barda Nawawi yang berjudul Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana adalah
suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Kebijakan atau upaya penanggulangan pada hakikatnya merupakan bagian
integral dari upaya perlindungan masyarakat social defence dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat social welfare. Upaya penanggulangan kejahatan
secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu yang pertama dengan menggunakan jalur “penal” atau melalui hukum pidana dan kedua melalui jalur
“non penal” atau diluar hukum pidana
20
. Upaya penanggulangan melalui jalur penal lebih memfokuskan pada sifatnya
yang repressive yakni dengan cara pemberantasan, penindasan dan penumpasan yang dilakukan setelah kejahatan terjadi. Dalam penulisan ini, pemberantasan
tindak pidana narkotika dilakukan dengan mengacu pada undang-undang yang berlaku khususnya yang utama yakni UU 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Dimana dalam UU ini diatur secara tegas mengenai perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang beserta ancaman pidananya. Upaya penanggulangan kedua yakni
dengan melalui jalur non penal yang memfokuskan pada upaya yang bersifat preventive atau upaya pencegahan, pengendalian dan penangkalan yang dilakukan
sebelum kejahatan terjadi. Sasaran utama tindakan pencegahan ini adalah menangani faktor-faktor kondusif yang dapat menjadi penyebab terjadinya
kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut berpusat kepada masalah atau kondisi
20
Barda Nawawi, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cet.II, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.42.
sosial tertentu yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan. Dalam penulisan ini, BNN sangat menyadari bahwa upaya
penanggulangan kejahatan melalui jalur non penal sangatlah penting. Untuk itu, BNN senantiasa melakukan advokasi, diseminasi, dan operasi rutin ke tempat-
tempat yang dianggap rawan sebagai tempat kejahatan narkotika seperti, hotel, bar, kafe dan tempat hiburan malam lainnya
21
. 1.6.4
Teori Kewenangan Secara teoritik kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-
undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat: a.
Atribusi Wewenang yang diperoleh secara atribusi bersifat asli dan berasal dari
peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, menurut Ridwan HR, organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari pasal tertentu
yang termuat dalam peraturan perundang-undangan. Dalam atribusi, penerima wewenang dapat memperluas wewenang yang sudah ada, dengan tanggung
jawab intern dan ekstern, pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang atributaris.
b. Delegasi
Dalam delegasi adanya pelimpahan wewenang dari pejabat satu kepada pejabat yang lain. Tanggung jawab yuridis tidak lagi pada pemberi delegasi
atau delegans namun beralih kepada penerima delegasi. Suatu delegasi terlebih dahulu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.
21
Ibid.
c. Mandat
Een bertuur sorgaan laat zijn bevoegheid names hem uitoefenen door een ander, yang berarti mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan
kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Pada mandat, penerima mandat atau mandataris hanya bertindak untuk dan atas nama
pemberi mandat. Tanggung jawab terakhir keputusan yang diambil penerima mandat tetap berada pada pemberi mandat
22
. BNNP Bali dalam menjalankan tugas dan wewenangnya khususnya dalam
bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika P4GN melaksanakan kewenangan delegasi yakni adanya pelimpahan
wewenang dari BNN pusat kepada BNNP Bali. Tanggung jawab yuridis tidak lagi pada BNN pusat namun beralih kepada penerima delegasi yaitu BNNP Bali. Suatu
delegasi terlebih dahulu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang, yaitu memperoleh kewenangan secara langsung dari pasal tertentu yang termuat dalam
peraturan perundang-undangan. Dipertegas dengan terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tanggal 12 April 2010 tentang BNN
dimana pada Pasal 33 dinyatakan bahwa BNNP mempunyai tugas, fungsi dan wewenang BNN dalam wilayah Provinsi.
22
Ibid, h.106.
1.7. Metode Penelitian