PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI BALI (BNNP BALI) DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN.

(1)

SKRIPSI

PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL

PROVINSI BALI (BNNP BALI) DALAM

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN

IDA AYU KADE KARINA PUTRI NIM. 1203005099

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL

PROVINSI BALI (BNNP BALI) DALAM

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN

NARKOTIKA

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

IDA AYU KADE KARINA PUTRI NIM. 1203005099

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

KATA PENGANTAR

Puja dan Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas Asung Kertha Wara Nugraha Nyalah penulisan skripsi yang

berjudul “PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI BALI (BNNP BALI) DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN NARKOTIKA” dapat terselesaikan. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu kewajiban dalam rangka memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan sarjana strata satu (S1) Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa penyusunan dan penyelesaian skripsi ini dapat berhasil dengan baik berkat arahan, bimbingan, dukungan, masukan dan saran dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya dalam penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Made Arya, SH.,MH., Dekan Fakultas Hukum UniversitasUdayana.

2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana SH.,MH., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak Dr. I Gede Yusa SH.,MH, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(8)

5. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH.,MH, sebagai Ketua Bagian Hukum Pidana.

6. Ibu I Gusti Agung Ayu Dike Widhyaastuti, SH.,MH sebagai Sektretaris Bagian Hukum Pidana.

7. Ibu Dr. Ni Nyoman Sukerti, SH.,MH, selaku Dosen Pembimbing Akademik bagi penulis, yang selalu memberi bimmbingan dan motivasi bagi penulis dalam menempuh studi di Fakultas Hukum.

8. Bapak Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi,SH.,MS selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberiarahan, bimbingan, dukungan, saran dan petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skrips iini.

9. Bapak A.A. Ngurah Wirasila, SH.,MH, selaku DosenPembimbing II yang telah member arahan, bimbingan, dukungan, saran dan petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Bapak Ida Bagus Putrayasa, SE dan Ibu I Gusti Ayu Ningsih, SE selaku orang tua penulis yang senantiasa sabar dan tak pernah berhenti memberikan dukungan demi rampungnya skripsi ini serta I.A Pt Kartika Dewi, SE dan I.B Adi Sutrisna selaku saudara penulis yang senantiasa memberikan doa restunya dalam penulisan skripsi ini.

11.Bapak dan Ibu Dosen di Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah sangat berjasa dalam memberikan ilmu pengetahuan selama penulis duduk di bangku perkuliahan.


(9)

12.Seluruh Staff Administrasi dan Pegawai di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

13.Norman Alfarrizsy dan sahabat-sahabat penulis yang selalu memberikan waktunya untuk mendukung penulis dengan memberikan hiburan, masukan dan dukungan dalam penulisan skripsi ini.

Akhirnya, dengan menyadari keterbatasan dan ketidak sempurnaan skripsi ini, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak yang sangat penulis hargai. Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh pembaca dan bagi kemajuan ilmu hukum

Denpasar, 28 Juni 2016

Penulis

Ida Ayu Kade Karina


(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... xi

ABSTRAK ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ... 1


(11)

1.3Ruang Lingkup Masalah ... 6

1.4Tujuan Penulisan 1.4.1 Tujuan Umum ... 6

1.4.2 Tujuan Khusus ... 6

1.5Manfaat Penulisan 1.5.1 Manfaaat Teoritis ... 7

1.5.2 Manfaat Praktis ... 7

1.6Landasan Teoritis 1.6.1 Teori Pemidanaan ... 8

1.6.2 Teori Pencegahan... 12

1.6.3 Teori Kebijakan Hukum Pidana ... 16

1.6.4 Teori Kewenangan ... 17

1.7Metode Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian ... 19

1.7.2 Jenis Pendekatan ... 19

1.7.3 Sifat Penelitian ... 20

1.7.4 Data Dan Sumber Data ... 20

1.7.5 Teknik Pengumpulan Data ... 20

1.7.6 Teknik Pengolahan Dan Analisis Data ... 22

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN NARKOTIKA

NASIONAL PROVINSI, NARKOTIKA DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA


(12)

2.1Badan Narkotika Nasional Provinsi Bali ... 23

2.1.1 Sejarah BNNP Bali ... 24

2.1.2 Struktur Organisasi ... 25

2.2PengertianNarkotika ... 26

2.3Pengertian Penyalahguna Narkotika ... 27

2.3.1 Penyebab Penyalahguna Narkotika ... 29

2.3.2 Dampak Penyalahguna Narkotika ... 31

BAB III TUGAS DAN WEWENANG BADAN NARKOTIKA PROVINSI BALI (BNNP BALI) DALAM MENCEGAH DAN MEMBERANTAS PENYALAHGUNAAN SERTA PEREDARAN GELAP NARKOTIKA 3.1Tugas BNNP ... 32

3.2Wewenang BNNP ... 47

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENEGAK HUKUM DALAM MENJALANKAN TUGAS DAN WEWENANG MENCEGAH DAN MEMBERANTAS PENYALAHGUNAAN SERTA PEREDARAN GELAP NARKOTIKA 4.1Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegak Hukum Dalam Menjalankan Tugas Dan Wewenang ... 53

4.2Faktor Eksternal Yang Mempengaruhi Penegak Hukum Dalam Menjalankan Tugas dan Wewenang ... 63


(13)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 69 5.2 Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN


(14)

(15)

ABSTRACT

BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI BALI (BNNP BALI)IN ROLE IN THE PREVENTION AND ERADICATION

The rise of cases concerning trafficking and abuse of drugs are revealed by the police and BNNP Bali, make Bali now declared in a state of emergency narcotics. The drug dealers continue to do everything possible so that the drug will be distributed on Bali, either through land, sea and air. Therefore, it is necessary to know what are the efforts that have been made by BNNP Bali, as a special institution established to eliminate drug abuse and illicit trafficking in Bali.

By using empirical legal research also approach to law and fact, the author through this paper will discuss two legal issues : What are the duties and authority BNNP Bali in preventing and combating abuse and illicit trafficking and the factors what are the support and inhibit BNNP Bali in carrying out the duties and authority to prevent and eliminate the abuse and illicit trafficking.

Through empirical research this thesis, as for the conclusions that can be drawn are as follows: 1) The task which BNNP Bali as mentioned in Article 70 of Law No. 35 in 2009. In doing BNNP Bali authorized to conduct investigations and examinations as provided for in Article 71 and Article 72. 2) Factors that affect law enforcement, there are five factors namely legislation, law enforcement apparatus itself, a factor of infrastructures, community factors and cultural factors. While ekstrernal factors that affect law enforcement in carrying out its duties and authorities is a factor of cooperation involving three parties, namely the national police and the military, government and society


(16)

ABSTRAK

PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI BALI (BNNP BALI) DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN

Maraknya kasus-kasus mengenai peredaran dan penyalahgunaan narkotika yang terungkap oleh pihak kepolisian maupun BNNP Bali, membuat Bali kini dinyatakan mengalami kondisi darurat narkotika. Para oknum pengedar narkotika senantiasa melakukan berbagai cara agar nantinya narkotika tersebut bisa diedarkan diBali, baik melalui jalur daratan, laut maupun udara. Oleh karenanya, perlu untuk diketahui implementasi tugas dan wewenang BNNP Bali, sebagai lembaga yang dibentuk khusus guna memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Bali.

Dengan menggunakan metode penelitian hukum empiris dan pendekatan perundang-undangan dan fakta, penulis melalui skripsi ini akan membahas dua permasalahan hukum utama yakni: tugas dan wewenang BNNP Bali dalam mencegah dan memberantas penyalahgunaan serta peredaran gelap narkotika dan faktor-faktor yang mendukung dan menghambat BNNP Bali dalam melaksanakan tugas dan wewenang mencegah dan memberantas penyalahgunaan serta peredaran gelap narkotika.

Melalui penelitian empiris skripsi ini, adapun kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut : 1) Tugas BNNP Bali sebagai mana yang tercantum pada Pasal 70 UU No. 35 tahun 2009. Dalam menjalankan tugasnya BNNP Bali berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 71 dan Pasal 72. 2) Faktor–faktor yang mempengaruhi penegak hukum ada lima yaitu faktor undang-undang, faktor penegak hukum itu sendiri, faktor sarana prasarana, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Sementara faktor ekstrernal yang mempengaruhi penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya adalah faktor kerjasama yang melibatkan tiga pihak yaitu polri dan TNI, pemerintah dan masyarakat


(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk yang berbudaya tentunya memiliki berbagai kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan adalah segala yang diperlukan manusia untuk menyempurnakan kehidupannya. Kebutuhan merupakan perwujudan budaya manusia yang berdimensi cipta, rasa dan karsa. Pada dasarnya kebutuhan manusia diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu:

a. Kebutuhan Ekonomi:

Kebutuhan ekonomi adalah kebutuhan yang sifatnya material yang dibutuhkan untuk kesehatan, dan keselamatan jasmani seperti membeli pakaian, makanan dan rumah.

b. Kebutuhan Psikhis:

Kebutuhan Psikhis adalah kebutuhan yang sifatnya immaterial yang dibutuhkan untuk kesehatan dan keselamatan rohani seperti pendidikan, hiburan, agama dan penghargaan.

c. Kebutuhan biologis:

Kebutuhan biologis adalah kebutuhan yang sifatnya seksual yang dibutuhkan untuk membentuk keluarga demi kelangsungan hidup generasi secara turun-temurun.

d. Kebutuhan Pekerjaan:

Kebutuhan pekerjaan adalah kebutuhan yang sifatnya praktisuntuk mewujudkan ketiga kebutuhan diatas, misalnya seperti perusahaan ataupun sebuah profesi1.

Manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan psikhisnya sebagai kebutuhan dasar, senantiasa menghabiskan waktu luangnya untuk pergi berlibur ke tempat-tempat yang menjadi tempat kunjungan wisatawan untuk berwisata baik seorang diri, bersama teman, maupun keluarga. Dizaman sekarang ini,

1

Abdulkadir Muhammad, 1997, Etika Profesi Hukum, Cet.I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.4.


(18)

2

dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi informasi mengakibatkan keindahan pulau dewata Bali kian tersohor di berbagai penjuru nusantara maupun internasional. Sarana transportasi menuju Bali pun kini sudah sangat memadai yang mengakibatkan setiap orang bisa dengan mudahnya keluar masuk pulau Bali dengan tujuannya masing-masing. Namun, peningkatan wisatawan asing maupun domestik yang berkunjung ke Bali, sayangnya tidak diimbangi dengan peningkatan sarana keamanan.

Jalur transportasi darat dan laut adalah jalur transportasi yang sangat minim pengawasan. Belum lagi pelabuhan-pelabuhan kecil yang tersebar di pulau Bali yang sama sekali luput dari pengawasan, sehingga sangat tidak menutup kemungkinan bahwa setiap orang yang datang ke Bali menggunakan jalur di luar tempat pemeriksaan imigrasi membawa dampak negatif bagi masyarakat Bali seperti halnya Narkotika.

Oknum penjual narkotika yang meliputi warga negara asing (WNA) maupun warga negara Indonesia (WNI) selalu mengupayakan berbagai cara agar nantinya narkotika tersebut bisa laku diedarkan di Indonesia sehingga, dari hasil penjualan tersebut para oknum penjual narkotika dapat memperoleh keuntungan yang besar. Salah satu cara agar narkotika tersebut terjual habis adalah dengan cara mengedarkan narkotika di berbagai wilayah yang menjadi destinasi pariwisata di Indonesia salah satunya adalah Pulau Bali.

Tersangka mengaku bahwa, sumber narkoba kebanyakan berasal dari luar negeri yaitu dari wilayah Asia, Eropa, Afrika dan Amerika. Narkoba ada yang masuk langsung dari negara asalnya atau transit terlebih dahulu lewat negara tetangga yaitu Malaysia. Jalur laut dan sungai paling banyak dimanfaatkan sebagai pintu masuk penyelundupan narkoba ke suatu daerah, terutama di daerah perbatasan antar Negara. Hal ini disebabkan banyaknya pelabuhan kecil yang


(19)

3

tersebar di berbagai provinsi Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Pelabuhan tersebut kurang mendapatkan pengawasan ketat oleh aparat penegak hukum. Dari hasil wawancara dengan seorang Bandar narkoba di peroleh informasi bahwa, Indonesia menjadi pasar narkoba yang sangat menjanjikan karena jumlah penyalahguna yang besar dan cenderung harga narkoba di Indonesia jauh lebih mahal dibanding di luar negeri2.

Peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan3. Namun dalam hal ini peredaran narkotika tersebut dilakukan secara illegal atau melawan hukum tanpa melalui lembaga yang dapat melakukakan penyaluran narkotika sehingga narkotika tersebut tidak bermanfaat melainkan merugikan dan membahayakan bagi setiap pemakainya.

Pemerintah telah membentuk suatu lembaga yang bertugas untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yakni lembaga tersebut disebut dengan Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya disingkat BNN. Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 UU No. 35 Tahun 2009, yang pada intinya menyatakan bahwa BNN merupakan lembaga Pemerinatah non Kementrian yang berkedudukan dibawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden dan mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal. Dipertegas dengan terbitnya Perpres RI No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional dimana pada Pasal 31 disebutkan bahwa Instansi Vertikal BNN terdiri dari Badan Narkotika Nasional Provinsi yang selanjutnya disebut BNNP dan Badan Narkotika Nasional

2

Badan Narkotika Nasional, 2014, “Laporan Akhir Survei Nasional Perkembangan Penyalahguna Narkoba Tahun Anggaran 2014”, Prevalansi Hasil Penelitian 2014, Jakarta,h 40.

3

Nyoman Serikat, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, h. 136.


(20)

4

Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut BNNK/Kota dan pada Pasal 33 dinyatakan bahwa BNNP mempunyai tugas, fungsi dan wewenang BNN dalam wilayah Provinsi.

Keberadaan BNNP merupakan amanat dari pada UU No. 35 Tahun 2009. Sampai saat ini terdapat 33 BNNP diseluruh provinsi di Indonesia. Salah satunya adalah BNNP Bali. Pulau Bali sebagai destinasi utama wisatawan baik wisatawan asing maupun wisatawan domestik tentunya menjadi sasaran bagi pengedaran narkotika. Banyak kasus-kasus besar tentang tertangkapnya para oknum pengedar narkotika maupun temuan paket narkotika yang datang ke Bali pun dirasa sudah sangat banyak dan menghawatirkan.

Baru-baru ini tepatnya tanggal 1 Juli 2015, dikutip dari situs resmi BNNP Bali menyatakan bahwa, Kepolisian Daerah Bali bersama dengan beberapa instansi terkait termasuk BNNP Bali memusnahkan sejumlah temuan barang bukti narkotika yang dikumpulkan dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2015, dengan nilai sebesar Rp 4.700.000.000. Pemusnahan tersebut dilaksanakan setelah upacara HUT ke-69 Bhayangkara di Lapangan Puputan Margarana Niti Mandala Renon, Denpasar dilaksanakan.

Barang bukti tersebut terdiri dari ganja sebanyak 5.194 gram yang merupakan barang kiriman pos dari New York, Amerika Serikat, Malaysia dan hasil temuan aparat kepolisian. Selain itu dimusnahkan 2.117 gram sabu yang sebagian besar merupakan paket kiriman melalui pos, hasil tangkapan pihak Ditjen Bea dan Cukai dan jasa pengiriman dari New York, Amerika Serikat, Afrika Serikat, Afrika Selatan, Malaysia, Tiongkok dan beberapa di antaranya berasal dari temuan Polda Bali. Selain itu, juga dimusnahkan kokain sebanyak 7,8 gram melalui paket pos dari New York, Amerika Serikat dan hasis 99,37 gram melalui pos dari India. Barang bukti lainnya yakni MDPV atau


(21)

5

jasa pengiriman dari Malaysia dan Tiongkok seberat 62,18 gram dan MDMA atau

methylenedioxymethylchatinone” atau ekstasi sebanyak 306 butir4.

Bali sebagai tujuan wisata dunia, sudah sepantasnya harus dibersihkan dari peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika yang tidak hanya dapat merusak citra Bali sebagai tempat yang berbudaya dimata dunia, namun narkotika juga merupakan awal dari timbulnya berbagai tindak pidana yang mengancam masyarakat Bali dan keberlangsungan pariwisata Bali. Pencurian, kekerasan, sex bebas dan HIV AIDS, merupakan sebagaian kecil dampak yang akan timbul apabila narkotika tidak ditangani dengan serius. Berdasarkan latar belakang inilah penulis sangat tertarik untuk mengambil judul “Peran Badan Narkotika Nasional Provinsi Bali (BNNP Bali) Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Narkotika”

1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang yang dikemukakan diatas, maka dapat ditarik suatu rumusan masalah sebagai berikut;

1. Bagaimanakah tugas dan wewenang BNNP Bali dalam mencegah dan memberantas penyalahgunaan serta peredaran gelap narkotika di Bali? 2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi penegak hukum dalam

menjalankan tugas dan wewenang mencegah dan memberantas penyalahgunaan serta peredaran gelap narkotika di Bali?

4BNNP Bali, 2015, “Polda Bali, BNN Provinsi Bali Beserta Instansi Terkait Musnahkan Barang Bukti Narkotika Senilai Rp4,7 Miliar”, URL: http://bali.bnn.go.id/informasi-aktual/polda- balibnn-provinsi-bali-beserta-instansi-terkait-musnahkan-barang-bukti-narkotika-senilai-rp47-miliar/, diakses tanggal 11 November 2015.


(22)

6

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas, yaitu mencakup uraian-uraian dari tinjauan umum tentang BNNP Bali, narkotika, penyalahguna narkotika, tugas dan wewenang BNNP Bali dalam mencegah dan memberantas penyalahgunaan serta peredaran gelap narkotika, dan faktor pendukung dan penghambat BNNP Bali dalam menjalankan tugas dan wewenang dalam mencegah dan memberantas penyalahgunaan serta peredaran gelap narkotika.

1.4. Tujuan Penulisan

Bertitik tolak dari latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penulisan ini adalah untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigm ilmu sebagai proses. memberikan kontribusi keilmuan secara ilmiah terkait penanganan terhadap pihak yang melakukan penyalahgunaan dan pengedaran narkotika baik berupa penanggulangan maupun pencegahan yang dilakukan oleh BNNP Bali.

1.4.2 Tujuan Khusus

Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: 1. Untuk memahami dan mendeskripsikan secara lebih mendalam

tentang fungsi BNNP Bali dalam mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.


(23)

7

2. Untuk memahami dan mendeskripsikan secara lebih mendalam tentang faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat BNNP Bali dalam menjalankan fungsinya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

1.5. Manfaat Penulisan

1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam aspek teoritis atau keilmuan seiring dengan berkembangnya pola hidup masyarakat serta permasalahan-permasalahan yang muncul di dalam hidup bermasyarakat. Serta juga diharapkan dapat menjadi referensi dalam mempelajari permasalahan mengenai tindak pidana narkotika khususnya, mengenai upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

1.5.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan mampu memberikan sumbangan penelitian sebagai bahan pertimbangan, perbandingan, dan penyempurnaan bagi penelitian selanjutnya dalam rangka meningkatkan perhatian dikalangan masyarakat dan pemerintah dalam menyikapi keadaan Indonesia khususnya di Bali yang pada saat ini sedang mengalami situasi darurat narkotika.


(24)

8

1.6. Landasan Teoritis

Adapun teori-teori yang digunakan penulis dalam penelitian ini meliputi Teori Pemidanaan, Teori Pencegahan, Teori Kebijakan Hukum Pidana dan Teori Kewenangan.

1.6.1 Teori Pemidanaan

Sebelum membahas mengenai teori pemidanaan, terlebih dahulu penulis ingin membahas mengenai apa itu strafbaarfeit, peristiwa pidana dan tindak pidana. Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan strafbaarfeit

untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana dalam KUHP tanpa memberikan penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan

strafbaarfeit tersebut. Strafbaarfeit berasal dari bahasa Belanda. Feit yang berarti sebagian dari suatu kenyataan dan strafbaar yang berarti dapat dihukum. Sehingga secara harafiah perkataan strafbaarfeit dapat diterjemahkan sebagai sebagaian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum dan yang dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi5.

Istilah “peristiwa pidana” atau “tindak pidana” adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda yaitu “strafbaarfeit” atau “delict”. Dikenal pula beberapa terjemahan yang lain seperti “tindak pidana” dalam UU No. 3 Tahun 1971 jo UU No. 26 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, “pelanggaran pidana” yang dikemukakan oleh Tirtaamidjaya dalam bukunya yang berjudul pokok-pokok hukum pidana, dan “perbuatan pidana” yang diungkapkan Moeljatno pada pidato Dies Natalis Universitas Gadjah Mada VI tahun 1955 di

5


(25)

9

Yogyakarta6. Moeljatno mengemukakan bahwa istilah “perbuatan pidana” menurut wujud atau sifatnya adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum. Perbuatan-perbuatan pidana ini adalah perbuatan melawan hukum. Namun, tidak semua perbuatan melawan hukum dan merugikan masyarakat dikenakan sanksi pidana misalnya, pelacuran7. Diantara beberapa istilah tersebut diatas yang paling tepat untuk dipakai menurut C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil adalah peristiwa pidana, karena yang diancam dengan pidana bukan saja perbuatan tetapi juga tidak berbuat8.

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pembentuk undang-undang tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan

strafbaarfeit maka muncullah doktrin tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaarfeit tersebut. Menurut Simons strafbaarfeit adalah perbuatan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab9.

Pompe dalam bukunya P.A.F Lamintang yang berjudul dasar-dasar hukum pidana Indonesia menjelaskan yang dimaksud perkataan strafbaarfeit adalah suatu pelanggaran norma yang sengaja maupun tidak sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadapnya perlu dilakukan demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

Setelah mengetahui apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit, peristiwa pidana, selanjutnya dibahas mengenai Teori Pemidanaan. Ada berbagai macam

6

C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana Hukum Pidana Untuk Setiap Orang, cet.II, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h. 37

7

Moeljatno, 2009, Asas-Asas Hukum Pidana,cet.VIII, PT.Rineka Cipta, Jakarta, h.3. 8

Ibid,h. 38. 9


(26)

10

pendapat mengenai teori pemidanaan, namun menurut Andi Hamzah dalam bukunya asas-asas hukum pidana, ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana yaitu: Pertama, Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien). Kedua, Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien). Ketiga, Teori gabungan (verenigingstheorien)10.

A. Teori Absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)

Andi Hamzah dalam bukunya asas-asas hukum pidana memberikan pengertian mengenai maksud dari teori pembalasan yaitu bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Namun, kejahatan tersebutlah dengan sendirinya yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Tidak perlu untuk memikirkan kegunaan menjatuhkan pidana itu. Selanjutnya Andi Hamzah juga menyatakan bahwa pidana merupakan tuntutan mutlak, dan menjadi suatu keharusan karena hakikat suatu pidana adalah pembalasan11. Penjatuhan pidana dijatuhkan dan dibenarkan karena semata-mata untuk memberikan penderitaan bagi penjahat atas perbuatannya yang telah membuat orang lain menderita. Setiap kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti pidana bagi pembuatnya, tidak dilihat akibat-akibat apa yang dapat timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak memerhatikan masa depan, baik terhadap diri penjahat maupun masyarakat12.

10

Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana), PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, h.157.

11


(27)

11

Menurut Adami Chazawi dalam bukunya pelajaran hukum pidana, tindakan pembalasan dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu: Pertama, ditujukan kepada penjahatnya sebagai sudut subjektif dari teori pembalasan. Kedua, ditujukan untuk memenuhi rasa kepuasan dalam masyarakat karena perasaan dendam masyarakat telah terpenuhi dengan dijatuhkannya pidana terhadap pelaku kejahatan.

B. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Adami Chazawi berpendapat bahwa maksud dari teori ini dimana pidana adalah alat untuk menegakkan hukum atau tata tertib yang ada dalam masyarakat. Pidana adalah alat untuk mencegah munculnya suatu kejahatan, dengan tujuan untuk terpeliharanya tata tertib di dalam masyarakat. Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana merupakan suatu hal yang perlu untuk diadakan (noodzakelijk). Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana mempunyai tiga sifat yaitu: menakut-nakuti, memperbaiki, dan membinasakan13.

C. Teori Gabungan

Teori gabungan didasarkan pada asas pembalasan dan juga asas pertahanan tata tertib masyarakat, yang menjadi dasar sebagai penjatuhan pidananya. Teori gabungan dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu sebagai berikut:

1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan

Dalam teori ini, pembalasan tersebut tidak boleh lebih dari batas-batas yang ditentukan dari apa yang perlu dan cukup untuk mempertahankan tata tertib

13


(28)

12

dalam masyarakat. Pendukung teori ini antara lain Pompe. Dalam bukunya Adami Chazawi ia berpandangan bahwa pidana tiada lain adalah pembalasan kepada penjahat yang juga memiliki tujuan untuk mempertahankan tata tertib hukum agar kepentingan umum senantiasa terselamatkan dan terjamin dari kejahatan. Pidana bersifat pembalasan dibenarkan asal bermanfaat bagi tata tertib hukum dalam mayarakat.

2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat Dalam teori ini, penjatuhan pidana berupa penderitaan terhadap pelaku kejahatan, tidak boleh melebihi dari pada perbuatan yang dilakukan terpidana. Pendukung teori gabungan yang menitikberatkan pada tata tertib hukum ini salah satunya adalah Simons. Menurut Simons dalam bukunya Adami Chazawi, dasar primer pidana adalah pencegahan umum yang terdapat ancaman dalam suatu undang-undang. Apabila pencegahan umum tersebut tidak efektif, maka barulah selanjutnya diadakan pencegahan khusus yakni menakut-nakuti, memperbaiki dan membuat penjahat tidak berdaya. Pidana dijatuhkan berdasarkan hukum yang ada dalam masyarakat14.

1.6.2 Teori Pencegahan

Terdapat dua teori pencegahan yakni: Pertama, teori pencegahan umum (general preventie). Kedua, teori pencegahan khusus (special preventie).

A. Pencegahan Umum (general preventie)

Menurut teori ini, bahwa agar masyarakat ramai menjadi takut untuk melakukan kejahatan, maka perlu dibuat suatu penjatuhan pidana yang


(29)

13

menyeramkan dengan eksekusi yang kejam dan dilakukan di depan umum atau didepan orang banyak dengan tujuan agar setiap orang mengetahuinya. Penjahat yang dijatuhkan pidana tersebut akan dijadikan tontonan masyarakat agar masyarakat takut untuk berbuat serupa.

Jadi menurut teori pencegahan umum ini Adami Chazawi berpendapat, untuk mencapai dan mempertahankan tata tertib masyarakat melalui pemidanaan, pelaksanaan pidana harus dilakukan secara kejam dan dimuka umum15. Dalam perkembangannya, teori pencegahan umum dengan eksekusi yang kejam ini banyak ditentang misalnya oleh Beccaria (1738-1794) dan Von Feuerbach (1775-1883).

Menurut Beccaria dalam bukunya Adami Chazawi, hukum pidana harus dikodifikasikan secara rasional serta sistematis dengan tujuan agar setiap orang mengetahui secara jelas mengenai perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan diancamkan dengan pidana. Beccaria juga menginginkan agar pidana mati dan penyiksaan yang kejam dihapuskan serta diganti dengan pidana yang lebih berprikemanusiaan. Dan pidana yang dijatuhkan berupa penderitaan tersebut jangan sampai melewati penderitaan yang diakibatkan oleh penjahat yang dipidana itu.

Von Feuerbach yang memperkenalkan teori pencegahan umum yang disebut

dengan “psychologische zwang”, dalam bukunya Adami Chazawi menyatakan bahwa sifat menakut-nakuti dari pidana itu, bukan pada penjatuhan pidana itu,

15


(30)

14

tetapi pada ancaman pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang16. Suatu ancaman pidana terlebih dahulu harus ditetapkan terlebih dahulu dalam Undang-Undang sehingga dapat diketahui oleh masyarakat yang kemudian, ketentuan umum tersebutlah yang dapat membuat masyarakat takut untuk melakukan suatu kejahatan. Jadi dalam hal ini suatu ancaman pidana yang termuat dalam Undang-Undang dapat menimbulkan tekanan atau pengaruh kejiwaan bagi setiap orang untuk menjadi takut melakukan suatu kejahatan.

Namun sayangnya, teori Feuerbach tersebut memiliki beberapa kelemahan, yaitu sebagai berikut :

1. Seorang penjahat yang pernah atau bahkan sudah berkali-kali menjalani pidana karena kejahatan yang dilakukannya, menimbulkan perasaan takut terhadap ancaman pidana tersebut menjadi rendah bahkan hilang.

2. Suatu ancaman pidana yang ditetapkan terlebih dahulu, bisa saja tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Seperti yang diketahui bahwa ancaman pidana bersifat abstrak, sedang pidana yang dijatuhkan bersifat konkret. Sangat sulit untuk terlebih dahulu menentukan berat pidana yang diancam agar bisa sesuai dengan perbuatan yang dilarang.

3. Orang-orang maupun penjahat yang bodoh ataupun yang tidak mengetahui mengenai ancaman pidana membuat sifat menakut-nakuti dari peraturan tersebut menjadi lemah bahkan tidak ada sama sekali17.

B. Teori Pencegahan Khusus

Teori pencegahan khusus ini merupakan teori yang lebih maju dari pada teori pencegahan umum. Menurut teori ini, tujuan pidana adalah mencegah agar pelaku kejahatan yang telah dijatuhi pidana tidak mengulangi lagi untuk melakukan kejahatan serta mencegah agar orang yang mau melakukan kejahatan untuk tidak mewujudkan niatnya tersebut kedalam suatu perbuatan yang nyata. Tujuan itu dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana yang sifatnya tiga macam yaitu:

16


(31)

15

1. Menakut-nakutinya; 2. Memperbaikinya, dan

3. Membuatnya menjadi tidak berdaya;

Menakut-nakutinya maksudnya adalah bahwa pidana harus dapat memberikan rasa takut kepada pelaku kejahatan agar pelaku kejahatan tidak lagi mengulangi perbuatannya. Namun, ada pula orang-orang tertentu yang tidak lagi merasa takut untuk mengulangi dalam berbuat kejahatan. Pidana yang tepat untuk dijatuhkan kepada orang tersebut adalah pidana yang bersifat memperbaiki diri pelaku agar menjadi orang yang lebih baik lagi. Sementara itu, terhadap orang yang tidak takut serta tidak dapat diperbaiki lagi, pida yang dijatuhkan kepada dirinya harus membuatnya menjadi tidak berdaya dengan cara membinasakannya18.

Menurut Van Hamel dalam bukunya Adami Chazawi, bahwa pembalasan tidak boleh dijadikan maksud dan alasan dari penjatuhan pidana, namun pembalasan tersebut akan timbul dengan sendirinya sebagai dampak dari pidana dan bukan sebab dari adanya pidana. Van Hamel membuat suatu gambaran tentang pemidanaan yang bersifat pencegahan khusus ini yaitu19:

1. Pidana selalu dilakukan untuk pencegahan khusus, yakni untuk menakut-nakuti orang-orang yang cukup dapat dicegah dengan cara menaku-menakut-nakutinya melalui penjatuhan pidana itu agar ia tidak melakukan niat jahatnya.

2. Akan tetapi, bila ia tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan cara menjatuhkan pidana, penjatuhan pidana harus bersifat memperbaiki dirinya (reclasering). 3. Apabila bagi penjahat tersebut tidak dapat lagi diperbaiki, penjatuhan pidana

harus bersifat membinasakan atau membikin mereka tidak berdaya.

4. Tujuan satu-satunya dari pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum dimasyarakat.

18

Adami Chazawi , Op.cit, h. 165. 19


(32)

16

1.6.3 Teori Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan kriminal atau politik kriminal menurut Sudarto dalam bukunya Barda Nawawi yang berjudul Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana adalah suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Kebijakan atau upaya penanggulangan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu yang pertama dengan

menggunakan jalur “penal” atau melalui hukum pidana dan kedua melalui jalur “non penal” atau diluar hukum pidana20

.

Upaya penanggulangan melalui jalur penal lebih memfokuskan pada sifatnya yang repressive yakni dengan cara pemberantasan, penindasan dan penumpasan yang dilakukan setelah kejahatan terjadi. Dalam penulisan ini, pemberantasan tindak pidana narkotika dilakukan dengan mengacu pada undang-undang yang berlaku khususnya yang utama yakni UU 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Dimana dalam UU ini diatur secara tegas mengenai perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang beserta ancaman pidananya. Upaya penanggulangan kedua yakni dengan melalui jalur non penal yang memfokuskan pada upaya yang bersifat

preventive atau upaya pencegahan, pengendalian dan penangkalan yang dilakukan sebelum kejahatan terjadi. Sasaran utama tindakan pencegahan ini adalah menangani faktor-faktor kondusif yang dapat menjadi penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut berpusat kepada masalah atau kondisi

20


(33)

17

sosial tertentu yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan. Dalam penulisan ini, BNN sangat menyadari bahwa upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non penal sangatlah penting. Untuk itu, BNN senantiasa melakukan advokasi, diseminasi, dan operasi rutin ke tempat-tempat yang dianggap rawan sebagai tempat-tempat kejahatan narkotika seperti, hotel, bar, kafe dan tempat hiburan malam lainnya21.

1.6.4 Teori Kewenangan

Secara teoritik kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat: a. Atribusi

Wewenang yang diperoleh secara atribusi bersifat asli dan berasal dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, menurut Ridwan HR, organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari pasal tertentu yang termuat dalam peraturan perundang-undangan. Dalam atribusi, penerima wewenang dapat memperluas wewenang yang sudah ada, dengan tanggung jawab intern dan ekstern, pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris).

b. Delegasi

Dalam delegasi adanya pelimpahan wewenang dari pejabat satu kepada pejabat yang lain. Tanggung jawab yuridis tidak lagi pada pemberi delegasi atau delegans namun beralih kepada penerima delegasi. Suatu delegasi terlebih dahulu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.

21


(34)

18

c. Mandat

Een bertuur sorgaan laat zijn bevoegheid names hem uitoefenen door een ander, yang berarti mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Pada mandat, penerima mandat atau mandataris hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat. Tanggung jawab terakhir keputusan yang diambil penerima mandat tetap berada pada pemberi mandat22.

BNNP Bali dalam menjalankan tugas dan wewenangnya khususnya dalam bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) melaksanakan kewenangan delegasi yakni adanya pelimpahan wewenang dari BNN pusat kepada BNNP Bali. Tanggung jawab yuridis tidak lagi pada BNN pusat namun beralih kepada penerima delegasi yaitu BNNP Bali. Suatu delegasi terlebih dahulu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang, yaitu memperoleh kewenangan secara langsung dari pasal tertentu yang termuat dalam peraturan perundang-undangan. Dipertegas dengan terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tanggal 12 April 2010 tentang BNN dimana pada Pasal 33 dinyatakan bahwa BNNP mempunyai tugas, fungsi dan wewenang BNN dalam wilayah Provinsi.


(35)

19

1.7. Metode Penelitian

1.7.1. Jenis Penelitian

Pelaksanaan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum empiris. Dalam penelitian hukum empiris dapat dilakukan dua jenis penelitian yaitu, penelitian berlakunya hukum dan penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasikan hukum yang hidup23. Dalam penulisan ini penulis memilih melakukan penelitian mengenai berlakunya hukum. Untuk mengetahui apakah hukum akan bekerja efektif atau telah berjalan dengan efektif diperlukan setidaknya empat tolak ukur yaitu, perundang-undangan yang dimaksud, aparatur hukum terkait, sarana prasarana yang tersedia, dan masyarakat dimana hukum tersebut berlaku24.

1.7.2. Jenis Pendekatan

Penelitian hukum umumnya mengenal tujuh jenis pendekatan yakni pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan analisis konsep hukum (analytical and conceptual approach), pendekatan fakta (the fact approach), pendekatan frasa (words and phrase approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach)25.

Pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan fakta (the fact approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang-undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani26. Pendekatan Fakta

23

Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum Empiris Murni Sebuah Alternatif, cet.I, Universitas Trisakti, Jakarta, h.42.

24 Ibid. 25

Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 80.

26

Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 93.


(36)

20

(The Fact Approach), yaitu pendekatan masalah yang didasarkan pada fakta-fakta apa saja yang terjadi di lapangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

1.7.3. Sifat Penelitian

Buku pedoman pendidikan fakultas hukum universitas udayana menyebutkan bahwa, penelitian hukum empiris menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi empat yakni penelitian eksploratif (penjajakan atau penjelajahan), penelitian deskriptif, penelitian eksplanatoris dan penelitian verifikatif. Sifat penelitian dalam penulisan ini ialah penelitian yang sifatnya deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala pada kelompok tertentu atau untuk menentukan ada tidaknya suatu gejala dengan gejala yang lain di dalam masyarakat. Teori-teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, karya tulis sudah mulai ada27.

1.7.4. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan dua jenis yakni data primer, dan data sekunder. Data primer didapat melalui penelitian langsung ke lapangan yaitu data yang didapatkan secara langsung dari sumber utama baik responden maupun informan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan28.

1.7.5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan dari penulisan skripsi ini, mengingat jenis penelitian yang digunakan

27


(37)

21

oleh penulis adalah jenis penelitian empiris. Teknik pengumpulan data dikenal bermacam-macam, tergantung pada masalah yang dipilih serta metode penelitian yang digunakan29. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

1) Teknik Studi Dokumen

Teknik studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap penelitian ilmu hukum, baik dalam penelitian hukum normatif maupun dalam penelitian hukum empiris, karena meskipun aspeknya berbeda namun keduanya adalah penelitian ilmu hukum yang selalu bertitik tolak dari premis normatif. Studi dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian30.

2) Teknik wawancara

Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan untuk mengumpulkan keterangan. Dalam wawancara terdapat dua pihak yakni pewawancara atau

interviewer dan pemberi informasi atau informan31. Wawancara penulis lakukan dengan cara mengajukan daftar pertanyaan kepada informan dimana daftar pertanyaan yang diajukan disusun secara sistematis.

Informan tersebut dalam hal ini adalah para staf atau pegawai yang bekerja dalam bidangnya di BNNP Bali guna memperoleh jawaban-jawaban yang relevan terkait dengan bentuk upaya BNNP Bali dalam mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Dari jawaban yang diperoleh dari teknik wawancara maka selanjutnya penulis akan mencatat secara sederhana dan merekam wawancara tersebut, untuk

29

Bambang Sunggono, 2012, Metodologi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persana, Jakarta, h. 53.

30

Fakultas Hukum Universitas Udayana, op.cit, h. 82. 31


(38)

22

selanjutnya akan diolah dan dianalisis menjadi sebuah laporan yang beruntun dan terperinci.

1.7.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Setelah data yang dikumpulkan dari lapangan sudah lengkap maka, tahap berikutnya adalah mengolah dan menganalisis data tersebut dengan cara mengalami data-data tersebut melewati proses editing. Apabila data-data tersebut sudah terkumpul maka untuk selanjutnya data tersebut akan diolah agar data-data tersebut sudah tersusun dan dianggap cukup baik. Lazimnya editing dilakukan terhadap kuisioner-kuisioner yang disusun terstruktur dan yang pengisiannya melalui wawancara formal32. Dalam editing ini yang dikoreksi kembali adalah mengenai keterbacaan tulisan, kejelasan apa yang dimaksud dari jawaban, penyesuaian jawaban, relevansi jawaban dan keseragaman data.


(39)

23

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI, NARKOTIKA DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

2.1Badan Narkotika Nasional Provinsi Bali

Pasal 64 UU No. 35 Tahun 2009 menyebutkan bahwa, dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika maka, dibentuk suatu badan yaitu BNN. BNN merupakan lembaga pemerintah nonkementrian yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Lembaga pemerintah nonkementrian sebelumnya bernama Lembaga Pemerintah Nondepartemen yang disingkat LPND. Lembaga nonkementrian adalah lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu dari Presiden. Kepala Lembaga Pemerintah Nonkementrian berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui menteri yang mengoordinasikan39. Pasal 65 dan 66 UU No. 35 Tahun 2009 menyebutkan bahwa BNN berkedudukan di ibukota Negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Negara RI. Dengan dibentuknya BNN diharapkan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dapat dicegah dan diberantas sampai ke akar-akarnya. Dalam menjalankan tugasnya, BNN mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal.

39

Redaksi Bukune, 2010, Undang-Undang Dasar 1945 & Perubahannya, Bukune, Jakarta, h.86.


(40)

24

Pasal 31 Perpres No. 23 Tahun 2010, menyebutkan bahwa instansi vertikal BNN terdiri dari BNN Provinsi yang selanjutnya disebut BNNP dan BNN Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut BNNK/Kota. BNNP berkedudukan di ibukota provinsi sedangkan BNNK berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota. Selanjutnya, Pasal 33 menyatakan bahwa BNNP mempunyai tugas, fungsi dan wewenang BNN dalam wilayah Provinsi. BNNP adalah lembaga non-struktural yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Gubernur.

2.1.1 Sejarah Badan Narkotika Nasional Provinsi Bali

Atas dasar Keputusan Presiden RI No 116, tahun 1999 tentang Badan Koordinasi Narkotika Nasional, maka di tingkat pusat dibentuklah Badan Koordinasi Narkotika Nasional dan di tingkat Provinsi dibentuk Badan Koordinasi Narkotika Daerah (BKND) Bali. BKND merupakan badan pemerintahan yang didirikan dalam rangka usaha untuk mengatasi, mencegah, memberantas dan menanggulangi penyalahgunaan narkotika.

Tahun 2012 kemudian, terbitlah Keputusan Presiden RI No. 17 Tahun 2002 tentang BNN, dengan demikian Keputusan Presiden RI No. 116 tahun 1999 tidak berlaku lagi. Selanjutnya di tingkat Provinsi diubah namanya menjadi BNP dan BNK untuk Kabupaten/Kota. Setelah itu kembali diperbaharui dengan terbitnya Perpres No. 83 Tahun 2007 tentang BNN, BNP dan BNK. Dengan berlakunya Perpres ini maka Keputusan Presiden RI No. 17 tahun 2002 tentang BNN dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.


(41)

25

Keluarnya UU No. 35 Tahun 2009 tanggal 12 Oktober 2009 tentang Narkotika memperkuat kelembagaan BNN serta kewenangan dibidang penyidikan dan penyelidikan. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa BNN merupakan lembaga Pemerinatah non Kementrian yang berkedudukan dibawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden dan mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal.

Hal tersebut dipertegas dengan terbitnya Perpres RI No. 23 Tahun 2010 tentang BNN, dimana pada Pasal 31 disebutkan bahwa Instansi Vertikal BNN terdiri dari BNN Provinsi yang selanjutnya disebut BNNP dan BNN Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut BNNK/Kota dan pada Pasal 33 dinyatakan bahwa BNNP mempunyai tugas, fungsi dan wewenang BNN dalam wilayah Provinsi40.

2.1.2 Struktur Organisasi

Mengacu pada Pasal 34 Perpres RI No. 23 Tahun 2010, BNNP Bali memiliki struktur organisasi sebagai berikut:

1. Kepala BNNP : Drs. I Pt. Gede Suastawan,S.H 2. Kep. Bagian Umum : Dra. Ni Nyoman Andari

a. KSBG Perencanaan : Drs. SI Ngr Md Arya Astawa,M.Si b. KSBG Sarana Prasarana : Ni Luh Soli,SH

c. KSBG Administrasi : I Pt. Dikrit Artana,ST,M.si

40 BNNP Bali, 2015, “Sejarah Singkat Badan Narkotika Nasional Provinsi Bali”, URL: http://bali.bnn.go.id/profil/sejarah-bnn-bali/, diakses tanggal 27 Desember 2015


(42)

26

3. Kep. Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat: Ni Kt Adi Lisdiani,SKM,MHP,Ed

a. Kep. Seksi Pencegahan : I Gst Agung Pt Yuwana, SH,MT b. Kep. Seksi Pemberdayaan Masyarakat: Dra. Ni Md Indrawati 4. Kep. Bidang Pemberantasan : IKt Arta,S.H

a. Kep. Seksi Intelijent : I Md Pakris,S.H,MH b. Kep. Seksi Penyidikan : I Wayan Suardana,S.H

c. Kep. Seksi Pengawasan Tahanan Barang Bukti: IKetut Suandika,SH 5. Kepala Bidang Rehabilitasi : I Nyoman Artana,S.H

a. Kep. Seksi Penguatan Lembaga Rehabilitasi: Md Rusmartini,SE, MMA b. Kep. Seksi Pasca Rehabilitasi: A.A Ngurah Manik,S.H

2.2Pengertian Narkotika

Narcotic is an addictive drug, example an opiate. A drug that is controlled or prohibited by law41. Secara etimologis narkoba atau narkotika berasal dari bahasa Inggris narcose atau narcosis yang berarti menidurkan dan pembiusan. Patri Handoyo mengatakan bahwa narkotika adalah zat yang berasal dari opium yang berfungsi untuk mengurangi rasa sakit, mempermudah tidur, dan dapat mengubah suasana hati atau prilaku seseorang42. Soedjono, dalam patologi

41

Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, West Publishing CO,United States Amerika, 2009.

42


(43)

27

sosial,merumuskan definisi narkotika sebagai bahan-bahan yang terutama mempunyai efek kerja pembiusan atau dapat menurunkan kesadaran43.

UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa :

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

2.3Pengertian Penyalahguna Narkotika

Pemakaian diluar pengawasan dan pengendalian dinamakan penyalahgunaan narkotika yang akibatnya sangat membahayakan kehidupan manusia baik perorangan maupun masyarakat dan Negara44. Menurut Pasal 1 angka 15 UU No. 35 Tahun 2009 Penyalah Guna adalah orang yang menggunakanNarkotika tanpa hak atau melawan hukum.

Pasal 127 (1) Setiap Penyalah Guna:

a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.

(3) ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

43

Mardani, loc.cit. 44

Soedjono Dirdjosisworo, 1987, Hukum Narkotika Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, h.3.


(44)

28

Berdasarkan Pasal 127 ayat (3) yang menyatakan bahwa dalam hal penyalah guna sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sedangkan, yang dimaksud dengan korban penyalahgunaan narkotika menurut penjelasan Pasal 54 adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika.

Tidak sengaja yang dimaksudkan dalam Pasal 54 ini, Menurut Sujono dan Bony adalah tidak sengaja dalam arti maksud dan tujuan, dimana pelaku benar-benar tidak memiliki maksud menggunakan narkotika, dan penggunaan narkotika semata-mata karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan/atau diancam. Pengertian dibujuk dapat mengacu pada Pasal 55 KUHP ayat (1) ke-2 yang dimana suatu perbuatan dapat dikatakan membujuk apabila dilakukan dengan cara-cara yakni adanya pemberian, kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat, dengan paksaan, ancaman atau penipuan atau dengan memberikan kesempatan, sarana ataupun kesempatan. Karena membujuk adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan cara-cara diatas maka, dikatakan dibujuk apabila cara yang digunakan berhasil45.

Diperdaya, berarti dibuat tidak berdaya, sehingga tidak mampu untuk membantah atau menolak akibat suatu informasi yang menyesatkan. Ditipu

45


(45)

29

memiliki arti menggunakan cara-cara penipuan sehingga orang lain tertipu dengan rangkaian kebohongan yang terkait satu sama lainnya. Dipaksa, dimana suatu paksaan dapat berupa paksaan secara fisik maupun psikis. Paksaan fisik dapat berupa sentuhan yang kasar atau genggaman yang kuat untuk melakukan atau menerima sesuatu. Sedangkan paksaan psikis, sebagai paksaan yang dilakukan dengan cara mengancam dengan cara menggunakan kata-kata yang mengandung ancaman46.

2.3.1 Penyebab Penyalahgunaan Narkotika

Dari beberapa penelitian oleh para ahli, setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya penyalahgunaan narkotika diantaranya faktor individu, faktor sosial budaya, faktor lingkungan dan faktor narkotika itu sendiri. a. Faktor individu

Faktor individu terdiri dari aspek kepribadian akibat adanya kecemasan atau depresi atau faktor diri sendiri. Aspek kepribadian termasuk didalamnya antara lain kepribadian yang ingin mengetahui suatu hal yang tinggi, rasa mudah kecewa, sifat tidak sabar dan rendah diri. Kecemasan atau depresi adalah karena tidak bisa menyelesaikan kesulitan hidup yang dialami sehingga, melarikan diri dengan cara menggunakan narkotika.

b. Faktor sosial budaya

Faktor sosial budaya terdiri dari kondisi keluarga dan pengaruh pertemanan. Kondisi keluarga yang dimaksud adalah kondisi yang tidak harmonis contohnya, orang tua yang bercerai, orang tua yang jarang berada dirumah dan

46


(46)

30

sibuk serta keadaan perekonomian keluarga yang lebih maupun kekurangan. Sedangkan yang dimaksud dalam pengaruh pertemanan adalah contohnya karena berteman dengan seorang yang ternyata penyalahguna narkotika dan ingin diterima dalam kelompok.

c. Faktor lingkungan

Lingkungan sekitar yang tidak baik yang berhubungan dengan perkembangan psikologis seorang anak dan kurangnya perhatian juga dapat menyebabkan seorang anak untuk menjadi pemakai narkotika

d. Faktor narkotika

Mudahnya seseorang untuk mendapatkan narkotika dan didukung dengan faktor-faktor yang telah disebut diatas mengakibatkan peluang seseorang untuk menjadi penyalahguna narkotika semakin besar47.

Graham Blamie menyebutkan bahwa penyebab penyalahgunaan narkoba antara lain:

a. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya seperti berkelahi, bergaul dengan perempuan dan lain-lain.

b. Untuk memperlihatkan tindakan menentang otoritas terhadap orang tua, guru maupun terhadap norma-norma sosial.

c. Untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan sex.

d. Untuk melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin mendapatkan pengalaman sensasional dan emosional.

e. Untuk mengisi kekosongan waktu, kesepian ataupun kebosanan. f. Untuk melenyapkan kegelisahan, frustasi, dan kepenatan hidup.

g. Untuk mengikuti keinginan teman-teman dalam rangka pembinaan solidaritas. h. Untuk mencoba dengan didorong rasa ingin tahu48.

47


(47)

31

2.3.2 Dampak Penyalahgunaan Narkotika

Pada dasarnya, penggunaan narkotika yang benar hanya diperuntukkan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyalahgunaan narkotika yang terus dilakukan berulang-ulang, menyebabkan ketergantungan. Ketergantungan terhadap narkoba ini lah yang mengakibatkan timbulnya berbagai dampak negatif dan berbahaya baik secara fisik, psikologis maupun sosial49. Efek awal dari penggunaan narkotika diantaranya sebagai berikut:

a. Depressant yaitu mengurangi mengendurkan atau mengurangi aktivitas atau kegiatan susunan syaraf pusat, sehingga dipergunakan untuk menenangkan syaraf seseorang untuk dapat tidur atau istirahat.

b. Stimulant yaitu meningkatkan keaktifan susunan syaraf pusat, sehingga merangsang dan meningkatkan kemampuan fisik seseorang.

c. Halusinogen yaitu menimbulkan perasaan-perasaan yang tidak nyata atau khayalan-khayalan yang menyenangkan50.

Efek menenangkan, meningkatkan kemampuan fisik, dan timbulnya khayalan-khayalan menyenangkan itulah yang membuat seorang penyalahguna narkotika menjadi ketagihan dan sulit untuk tidak menginginkannya lagi. Apabila narkotika tersebut terus menerus dikonsumsi maka akan mengakibatkan dampak yang serius seperti, rusaknya susunan syaraf, rusaknya organ tubuh, timbulnya penyakit kulit, dan lemahnya fisik, moral dan daya pikir.

49

Ace Syahrudin, 2007, Anakku Terjebak Narkoba, PT Bengawan Ilmu, Semarang, h. 47. 50


(1)

3. Kep. Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat: Ni Kt Adi Lisdiani,SKM,MHP,Ed

a. Kep. Seksi Pencegahan : I Gst Agung Pt Yuwana, SH,MT b. Kep. Seksi Pemberdayaan Masyarakat: Dra. Ni Md Indrawati 4. Kep. Bidang Pemberantasan : IKt Arta,S.H

a. Kep. Seksi Intelijent : I Md Pakris,S.H,MH b. Kep. Seksi Penyidikan : I Wayan Suardana,S.H

c. Kep. Seksi Pengawasan Tahanan Barang Bukti: IKetut Suandika,SH 5. Kepala Bidang Rehabilitasi : I Nyoman Artana,S.H

a. Kep. Seksi Penguatan Lembaga Rehabilitasi: Md Rusmartini,SE, MMA b. Kep. Seksi Pasca Rehabilitasi: A.A Ngurah Manik,S.H

2.2Pengertian Narkotika

Narcotic is an addictive drug, example an opiate. A drug that is controlled or prohibited by law41. Secara etimologis narkoba atau narkotika berasal dari bahasa Inggris narcose atau narcosis yang berarti menidurkan dan pembiusan. Patri Handoyo mengatakan bahwa narkotika adalah zat yang berasal dari opium yang berfungsi untuk mengurangi rasa sakit, mempermudah tidur, dan dapat mengubah suasana hati atau prilaku seseorang42. Soedjono, dalam patologi

41

Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, West Publishing CO,United States Amerika, 2009.

42

Patri Handoyo, 2014, War On Drugs Refleksi Transformatif Penerapan Kebijakan Global, SvanTantra, Bandung, h. 41.


(2)

sosial,merumuskan definisi narkotika sebagai bahan-bahan yang terutama mempunyai efek kerja pembiusan atau dapat menurunkan kesadaran43.

UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa :

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

2.3Pengertian Penyalahguna Narkotika

Pemakaian diluar pengawasan dan pengendalian dinamakan penyalahgunaan narkotika yang akibatnya sangat membahayakan kehidupan manusia baik perorangan maupun masyarakat dan Negara44. Menurut Pasal 1 angka 15 UU No. 35 Tahun 2009 Penyalah Guna adalah orang yang menggunakanNarkotika tanpa hak atau melawan hukum.

Pasal 127 (1) Setiap Penyalah Guna:

a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.

(3) ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

43

Mardani, loc.cit. 44

Soedjono Dirdjosisworo, 1987, Hukum Narkotika Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, h.3.


(3)

Berdasarkan Pasal 127 ayat (3) yang menyatakan bahwa dalam hal penyalah guna sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sedangkan, yang dimaksud dengan korban penyalahgunaan narkotika menurut penjelasan Pasal 54 adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika.

Tidak sengaja yang dimaksudkan dalam Pasal 54 ini, Menurut Sujono dan Bony adalah tidak sengaja dalam arti maksud dan tujuan, dimana pelaku benar-benar tidak memiliki maksud menggunakan narkotika, dan penggunaan narkotika semata-mata karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan/atau diancam. Pengertian dibujuk dapat mengacu pada Pasal 55 KUHP ayat (1) ke-2 yang dimana suatu perbuatan dapat dikatakan membujuk apabila dilakukan dengan cara-cara yakni adanya pemberian, kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat, dengan paksaan, ancaman atau penipuan atau dengan memberikan kesempatan, sarana ataupun kesempatan. Karena membujuk adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan cara-cara diatas maka, dikatakan dibujuk apabila cara yang digunakan berhasil45.

Diperdaya, berarti dibuat tidak berdaya, sehingga tidak mampu untuk membantah atau menolak akibat suatu informasi yang menyesatkan. Ditipu

45

Sujono dan Bony, 2013, Komentar dan Pembahasan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta, h. 301.


(4)

memiliki arti menggunakan cara-cara penipuan sehingga orang lain tertipu dengan rangkaian kebohongan yang terkait satu sama lainnya. Dipaksa, dimana suatu paksaan dapat berupa paksaan secara fisik maupun psikis. Paksaan fisik dapat berupa sentuhan yang kasar atau genggaman yang kuat untuk melakukan atau menerima sesuatu. Sedangkan paksaan psikis, sebagai paksaan yang dilakukan dengan cara mengancam dengan cara menggunakan kata-kata yang mengandung ancaman46.

2.3.1 Penyebab Penyalahgunaan Narkotika

Dari beberapa penelitian oleh para ahli, setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya penyalahgunaan narkotika diantaranya faktor individu, faktor sosial budaya, faktor lingkungan dan faktor narkotika itu sendiri. a. Faktor individu

Faktor individu terdiri dari aspek kepribadian akibat adanya kecemasan atau depresi atau faktor diri sendiri. Aspek kepribadian termasuk didalamnya antara lain kepribadian yang ingin mengetahui suatu hal yang tinggi, rasa mudah kecewa, sifat tidak sabar dan rendah diri. Kecemasan atau depresi adalah karena tidak bisa menyelesaikan kesulitan hidup yang dialami sehingga, melarikan diri dengan cara menggunakan narkotika.

b. Faktor sosial budaya

Faktor sosial budaya terdiri dari kondisi keluarga dan pengaruh pertemanan. Kondisi keluarga yang dimaksud adalah kondisi yang tidak harmonis contohnya, orang tua yang bercerai, orang tua yang jarang berada dirumah dan

46


(5)

sibuk serta keadaan perekonomian keluarga yang lebih maupun kekurangan. Sedangkan yang dimaksud dalam pengaruh pertemanan adalah contohnya karena berteman dengan seorang yang ternyata penyalahguna narkotika dan ingin diterima dalam kelompok.

c. Faktor lingkungan

Lingkungan sekitar yang tidak baik yang berhubungan dengan perkembangan psikologis seorang anak dan kurangnya perhatian juga dapat menyebabkan seorang anak untuk menjadi pemakai narkotika

d. Faktor narkotika

Mudahnya seseorang untuk mendapatkan narkotika dan didukung dengan faktor-faktor yang telah disebut diatas mengakibatkan peluang seseorang untuk menjadi penyalahguna narkotika semakin besar47.

Graham Blamie menyebutkan bahwa penyebab penyalahgunaan narkoba antara lain:

a. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya seperti berkelahi, bergaul dengan perempuan dan lain-lain.

b. Untuk memperlihatkan tindakan menentang otoritas terhadap orang tua, guru maupun terhadap norma-norma sosial.

c. Untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan sex.

d. Untuk melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin mendapatkan pengalaman sensasional dan emosional.

e. Untuk mengisi kekosongan waktu, kesepian ataupun kebosanan. f. Untuk melenyapkan kegelisahan, frustasi, dan kepenatan hidup.

g. Untuk mengikuti keinginan teman-teman dalam rangka pembinaan solidaritas. h. Untuk mencoba dengan didorong rasa ingin tahu48.

47

Ibid, h. 7. 48


(6)

2.3.2 Dampak Penyalahgunaan Narkotika

Pada dasarnya, penggunaan narkotika yang benar hanya diperuntukkan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyalahgunaan narkotika yang terus dilakukan berulang-ulang, menyebabkan ketergantungan. Ketergantungan terhadap narkoba ini lah yang mengakibatkan timbulnya berbagai dampak negatif dan berbahaya baik secara fisik, psikologis maupun sosial49. Efek awal dari penggunaan narkotika diantaranya sebagai berikut:

a. Depressant yaitu mengurangi mengendurkan atau mengurangi aktivitas atau kegiatan susunan syaraf pusat, sehingga dipergunakan untuk menenangkan syaraf seseorang untuk dapat tidur atau istirahat.

b. Stimulant yaitu meningkatkan keaktifan susunan syaraf pusat, sehingga merangsang dan meningkatkan kemampuan fisik seseorang.

c. Halusinogen yaitu menimbulkan perasaan-perasaan yang tidak nyata atau khayalan-khayalan yang menyenangkan50.

Efek menenangkan, meningkatkan kemampuan fisik, dan timbulnya khayalan-khayalan menyenangkan itulah yang membuat seorang penyalahguna narkotika menjadi ketagihan dan sulit untuk tidak menginginkannya lagi. Apabila narkotika tersebut terus menerus dikonsumsi maka akan mengakibatkan dampak yang serius seperti, rusaknya susunan syaraf, rusaknya organ tubuh, timbulnya penyakit kulit, dan lemahnya fisik, moral dan daya pikir.

49

Ace Syahrudin, 2007, Anakku Terjebak Narkoba, PT Bengawan Ilmu, Semarang, h. 47. 50