Asumsi Dasar Tentang Konflik

3 Untuk memahami konflik sosial ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

1. Asumsi Dasar Tentang Konflik

Ada lima asumsi dasar tentang konflik. Asumsi dasar ini biasanya dijadikan landasan untuk pengembangan dan penelusuran teori, atau sebagai orientasi dalam melihat konflik. Asumsi dasar yang pertama, ”konflik itu selalu ada dalam kehidupan manusia”. Asumsi dasar ini bertitik tolak dari fakta bahwa sejak awal manusia memang dilahirkan berbeda, tidak ada manusia yang identitas fisiknya sama persis, indikasinya dapat dilihat dari sidik jarinya. Perbedaan adalah sesuatu yang alami. Namun ketidakmampuan untuk menghadapi perbedaan, serta kebiasaan untuk lari dari masalah atau agresif menghadapi perbedaanlah yang menimbulkan persengketaan dispute. Asumsi dasar kedua, menyatakan bahwa konflik dapat dianalogikan dengan ”drama”. Setiap drama selalu membutuhkan aktor, panggung dan skenario, begitu juga konflik. Untuk memahami konflik yang analog dengan drama, maka perlu dijabarkan siapa-siapa aktor yang terlibat dalam konflik. Apakah aktor politik atau militer? Siapakah sutradaranya? Siapa penunggang bebas? Siapa figuran? Panggung apa yang digunakan? Panggung merupakan media untuk mengekspresikan peran dari aktor. Panggung biasanya kelompok etnis, agama atau politik. Kemudian scenario apa di balik peran aktor dan panggung yang digunakan? Kemana tujuan yang ingin dicapai? Apakah wujudnya bisa mengembalikan dominasi kelompok? Status quo? Ekonomi? Kekuasaan? Skenario ini bisa bersifat struktural maupun kultural. Asumsi dasar ketiga, menyatakan bahwa konflik selalu mempunyai dua sisi, menciptakan perubahan dan dipengaruhi budaya. Secara inheren konflik membawa potensi resiko dan potensi manfaat. Dalam kaitan dengan perubahan, pada dasarnya konflik merupakan salah satu cara bagaimana sebuah keluarga, komunitas, perusahaan, dan masyarakat berubah. Konflik juga dapat mengubah pemahaman kita a kan sesama dan mendorong kita untuk memobilisasi sumber daya dengan cara-cara baru. Konflik membawa kita pada klarifikasi pilihan dan kekuatan untuk mencari penyelesaiannya. 4 Pada akhirnya dalam kaitan dengan budaya, dapat dinyatakan bahwa cara seseorang bereaksi dan aturan budaya dapat membawa kita pada konflik. Asumsi dasar keempat, konflik dipengaruhi pola-pola emosi, kepribadian dan budaya. Konflik mengikuti gaya kepribadian seseorang. Reaksi psikologis melamun, melawan, dingindiam berperan sangat kuat dalam mempengaruhi proses konflik. Budaya juga ikut membentuk aturan dan ritual yang membawa kita pada konflik. Asumsi dasar kelima, merujuk kepada fenomena konflik antar komunitas, umumnya pada konflik yang melibatkan masyarakat di satu sisi dan negara di sisi lain, maka dapat dinyatakan bahwa pada hakikatnya fenomena konflik dapat dianalogikan dengan kebakaran pada suatu hutan yang gundul. Dengan api yang kecil, rumput dan pohon yang sudah kering dengan cepat sekali terbakar, meluas, terlebih-lebih apabila ada angin panas yang kencang, maka kebakaran menjadi tidak terperikan dahsyatnya. Hal ini juga berlaku bagi konflik. Unsur-unsur dasar suatu hutan gundul yang terbakar adalah unsur rumput dan pohon kering, unsur api, serta unsur angin. Unsur-unsur inilah yang akan dianalogikan dengan dasar terjadinya suatu konflik.

2. Sumber Konflik di Indonesia