Kearifan Lokal Sebagai Modal dalam Pembe

Kearifan Lokal Sebagai Modal dalam Pembentukan Gerakan Sosial di
Kelurahan Maasing
Bayu Kurnia Adhi (13/350514/PMU/07837)
Magister Manajemen Bencana

Kerentanan akan bencana Gempa bumi berpotensi Tsunami di Kelurahan Maasing,
Kota Manado, membuat perlunya persiapan yang matang dalam penanganan saat bencana
terjadi dimana prosesi tanggap darurat merupakan tahapan yang menentukan, mengingat
karakteristik bencana yang berpotensi terjadi dengan rentang waktu cepat dan memiliki
tingkat paparan luas. Keselamatan masyarakat sangat tergantung bagaimana respon terhadap
bencana dapat berlangsung secara efisien dan komprehensif, serta cepat dan tepat guna, agar
semua aspek yang merupakan element at risk dapat diselamatkan. Saat ini, prosesi tanggap
darurat cenderung mengalami masalah pada penentuan kondisi tanggap darurat mulai
diberlakukan. Birokrasi yang bertele-tele dan cenderung sangat terikat pada peratuan yang
kaku, dimana masyarakat harus menunggu koordinasi dan perintah oleh stakeholder terkait
untuk bergerak, dimana acap kali kinerja dari stakeholder-stakeholder ini sangat lambat dan
tidak mencerminkan kegesitan yang seharusnya diutamakan dalam kondisi tanggap darurat.
Oleh karena itu perlu adanya suatu sistem yang berjalan otomatis, dan menjadikan
masyarakat yang sebelumnya pasif dapat bergerak secara aktif. Selama ini penanganan
bencana cenderung bergerak secara top-down, segala penanganan kebencanaan merupakan
prosedur dan pentunjuk yang ditetapkan dari atas (Pemerintah), dimana Pemerintah lah yang

mementukan bagaimana prosedur penanganan bencana dilakukan, dan kecenderungan yang
terjadi Pemerintah mengabaikan peran masyarakat di lokasi rawan bencana. Bencana tidak
hanya harus dipahami dari sisi dampak dan bagaimana harus mengatasinya, tetapi
pemahaman akan masyarakat yang ada di dalamnya sangat penting untuk diperhatikan.
1

Pemerintah harus berhenti menempatkan masyarakat hanya “sebatas” korban, tetapi perlu
juga dilihat bahwa masyarakat merupakan pemangku kepentingan kunci dalam pengurangan
risiko bencana. Partisipasi dan keterlibatan masyarakat merupakan faktor yang penting,
partisipasi yang kurang maksimal dari masyarakat karena perbedaan cara pandang terhadap
alam tentunya akan menghambat peran pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab
terhadap penanganan bencana dan keselamatan masyarakat. Orientasi dari program-program
pengurangan risiko bencana tidak hanya cukup dengan melihat kepada pengetahuan yang
dimiliki pemerintah sebagai pemangku kebijakan, tetapi harus ada integrasi budaya dan
pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat. Oleh karena itu strategi dan pendekatan
komprehensif yang mampu merangkul kearifan lokal dan pengetahuan pemerintah menjadi
penting untuk dirumuskan sebagai usaha mengurangi risiko bencana ketika terjadi situasi
tanggap darurat.
Melalui konsep Double Track Governance, aktor-aktor yang bergerak pada saat
tahapan tanggap darurat diharapkan bukan lagi mutlak dari Pemerintah, melainkan

masyarakat yang dapat bergerak secara mandiri. Sudah saatnya mainstream dari birokrasi
yang mengutamakan nilai-nilai kewenangan dalam bertindak ketika prosesi tanggap darurat
berubah kepada kepentingan akan nilai-nilai kemanusiaan. Ketakutan birokrasi akan nilainilai kewenangan yang membentuk kelembagaan dan membatasi pergerakannya ini perlu
dilenturkan. Konsep Double Track Governance berusaha agar ada pergeseran nilai-nilai
kewenangan yang dijunjung birokrasi ini menjadi keutamaan atas nilai-nilai kemanusiaan.
Masyarakat diharapkan dapat berdiri sendiri dan tidak seratus persen tergantung kepada
Pemerintah , dimana ada gerakan mandiri yang dibangun oleh masyarakat ketika terjadi
situasi tanggap darurat. Intinya adalah bagaimana masyarakat mampu bergerak secara
bersama-sama untuk membentuk kelembagaan baru yang terekam dalam memori kolektif

2

mereka, yang secara diam-diam menggiring setiap individu di satu kesatuan masyarakat
secara keseluruhan untuk menjunjung nilai-nilai kemanusiaan ketika bencana terjadi.
Pembentukan Gerakan Sosial Berbasis Kearifan Lokal
Gerakan mandiri masyarakat sebagai bentuk kesadaran dirinya akan ancaman bencana
yang ada dapat diwujudkan dalam bentuk gerakan sosial. Touraine dalam (Nugraha & Yon,
2011) mengartikan gerakan sosial sebagai aksi kolektif untuk memodifikasi cara-cara sosial
dalam memanfaatkan sumber daya yang penting dan orientasi kultural yang dapat diterima
masyarakat. Oleh karena itu dengan berpedoman kepada Teori Mobilisasi Sumber Daya,

gerakan sosial dapat terjadi jika pelakunya memiliki akses ke sumber daya yang
memungkinkan pengorganisasian gerakan. Menurut Cress dan Snow dalam (Nugrahan &
Yon, 2011) ada 4 sumber daya yang perlu diakumulasi untuk mendorong tindakan kolektif,
yaitu sumber daya manusia (kepemimpinan dan komitmen), keahlian atau pengalaman,
keuangan dan informasi, serta legitimasi.
Brüderl, Preisendörfer, and Ziegler dalam (Nugrahan & Yon, 2011) menegaskan
kualitas pemrakarsa dan pemimpin kerap kali mempengaruhi prospek kelangsungan hidup
sebuah organisasi baru. Dalam menemukan aspek sumber daya manusia yang dapat
mendorong gerakan sosial, maka modal sosial yang ada dan sudah melekat di masyarakat
perlu digali. Identifikasi terhadap perilaku dan kehidupan budaya di daerah pesisir sangat
penting untuk dilakukan sebagai upaya untuk mengenali kearifan lokal masyarakat pesisir
dalam kaitannya dengan respon terhadap bencana. Kehidupan budaya dan karakterisktik
masyarakat yang berbeda akan mewarnai bentuk-bentuk adaptasi terhadap bencana alam
yang berlainan pula, oleh karena itu kearifan lokal dianggap sebagai modal sosial yang
potensial untuk digunakan dalam pengurangan risiko bencana.

3

Teezzi, Marchettini dan Rosini mendefinisikan kearifan lokal sebagai pengetahuan
eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan

lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang
sudah berlangsung sejak lama menjadikan kearifan lokal sebagai sistem pengetahuan kolektif
masyarakat untuk dapat hidup bersama secara dinamis dan damai. Kearifan lokal sangat
dipengaruhi oleh kecerdasan individu dan kecerdasan kolektif yang berkembang di dalam
kehidupan masyarakat. Kemampuan individu untuk berintegrasi dengan individu yang lain
dalam masyarakat untuk menyelesaikan persoalan bersama, termasuk di dalamnya
penanggulangan bencana alam merupakan bagian dari kecerdasan dalam diri manusia yang
potensial untuk digunakan dalam upaya pengurangan risiko bencana.
Wujud kearifan lokal dari masyarakat Maasing yaitu berupa kerukunan yang sangat
kuat antar umat beragama dan eksistensi dari tokoh masyarakat yang sangat dihormati yang
dikenal sebagai Kepala Lingkungan yang mengerti kearifan lokal budaya setempat. Berbagai
agama tumbuh di daerah ini, Islam, Kristen/ Katolik, Budha dan Hindhu, namun toleransi
antar masyarakat sangat baik dan kuat, saling menghargai dengan sikap hidup yang toleran,
rukun, terbuka dan berlangsung secara dinamis, sehingga ada semacam Mutual Trust yang
membuat masyarakat dapat hidup secara berdampingan dan rukun tanpa harus dilandasi oleh
peraturan dan tata tertib. Bahkan terkadang fasilitias keagamaan saling berdampingan,
layaknya mesjid bersebelahan dengan gereja. Sehingga apabila terjadi bencana, rasa saling
menolong terekam secara otomatis melintasi batasan ideologi.
Berbicara lebih lanjut, dalam sebuah gerakan sosial, kepemimpinan merupakan unsur
yang sangat penting mengingat dalam menggerakkan sebuah massa/komunitas yang

tergabung dalam satu kesamaan visi, perlu adanya aktor yang telah diakuisisi masyarakat
sebagai tokoh berpengaruh dan dihormati. Kuatnya kerukunan antar umat beragama di
wilayah ini kemudian menghasilkan rasa penghormatan kepada Kepala Lingkungan (Kepala
4

Kampung) sebagai tokoh panutan masyarakat lokal. Pengetahuan mengenai bencana dan
fenomena-fenomena alam yang berasal dari warisan budaya lokal seringkali terbingkai dalam
sebuah kesepakatan bersama atau konsensus. Kemunculan dari konsensus ini secara tidak
langsung merangsang timbulnya sebuah kontrol sosial di dalam tubuh masyarakat, baik
norma yang secara formal dilembagakan maupun sekedar nilai yang harus ditaati bersama.
Sehingga masyarakat tunduk pada ketentuan-ketentuan ini maupun nasihat dari Tokoh lokal,
dalam gerakan ini yaitu Kepala Lingkungan (Kepala Kampung) sebagai bentuk pengakuan
terhadap konsensus atau kesepakatan yang telah diakui tersebut.
Terdapat 4 Kepala Lingkungan (Kepala Kampung) di Kelurahan Maasing, yaitu (1)
Kepala Kampung yang menjadi ketua dari Kepala-Kepala Kampung lainnya dan berumur
paling tua. Kepala Kampung ini berasal dari keturunan pemimpin yang dituakan, yaitu
keturunan tokoh agama Islam secara turun temurun di Maasing. Kemudian (2) Kepala
Kampung yang berprofesi sebagai pengurus mesjid, (3) Kepala Kampung yang merupakan
sesepuh (yang sudah tua dan bijak), tetapi bukan keturunan pemimpin, dan yang (4) Kepala
Kampung yang merupakan Tokoh Pemuda, yaitu individu yang mengurus berbagai keperluan

kampung , ringan tangan dan dianggap masyarakat pantas untuk memimpin.
Kepemimpinan yang berlandaskan pengalaman Kepala Kampung akan kearifan lokal
dan sumber daya yang dimiliki Kelurahan Maasing merupakan modal esensial dalam sebuah
gerakan sosial selain dari adanya komitmen masyarakat yang telah berjalan secara otomatis
dalam menjaga kerukunannya.
Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah keuangan dan informasi. Meski sumber
daya manusia dan keahlian yang dimiliki tinggi, tapi jika tidak didukung dengan sumber
daya finansial yang besar, maka keberhasilan suatu organisasi akan terhambat (Nugroho &
Yon, 2011). Di sinilah sebenarnya pemerintah bisa mengambil peran, yaitu dengan
5

memberikan bantuan dana demi keberlangsungan gerakan sosial tanggap bencana tersebut.
Menurut penulis, sumber daya finansial bisa diwujudkan dalam bentuk karitatif ( memberikan
bantuan langsung / charity) atau dengan pendampingan langsung terhadap masyarakat.
Di Kelurahan Maasing, Dinas Sosial mengambil peran dengan memberikan kontribusi
berupa pendampingan langsung masyarakat yang dimanifestasikan dengan pembentukan
KMPB (Kelompok Masyarakat Penanggulangan Bencana) Kelurahan Maasing melalui
proses-proses yang melibatkan pengetahuan dan pengalaman Kepala Lingkungan (Kepala
Kampung) dan penggalian budaya/kearifan lokal yang ada tentang kebencanaan di daerah
tersebut. Bentuk karitatif dimanifestasikan melalui inventarisasi rambu-rambu peringatan dan

jalur-jalur evakuasi.
Terakhir, untuk dapat memobilisasi massa dan meraih sasarannya, sebuah gerakan
sosial memerlukan tingkat legitimasi tertentu. Ketika membicarakan legitimasi , menurut
penulis yang penting adalah bagaimana sebuah gerakan sosial tersebut diterima dan diakui
oleh masyarakat yang bersangkutan, karena dalam sistem demokrasi, kepentingan publik
merupakan hal yang seharusnya membentuk kebijakan yang diambil oleh pemerintah, bukan
malah sebaliknya dimana pemerintah yang memaksakan kebijakannya kepada publik. Oleh
karena itu pengakuan masyarakat akan gerakan sosial merupakan bentuk legitimasi dari
bawah yang efektif sebagai pendorong gerakan sosial berbasis kebencanaan ini.
Pelembagaan Gerakan Sosial
Pelembagaan dianggap sebagai sebuah tahapan wajib yang harus dicapai oleh sebuah
gerakan sosial.Tanpa pelembagaan (adanya payung hukum, lembaga formal, dan afirmasi
anggaran), sebuah gerakan dianggap tidak berhasil terhambat (Nugroho & Yon, 2011). Oleh
karenanya, perubahan/pembuatan payung hukum, pembentukan lembaga formal, dan alokasi

6

anggaran pemerintah menjadi sasaran pokok suatu gerakan, tidak terkecuali dalam bidang
Pengurangan Risiko Bencana (PRB).
Proses Institusionalisasi dianggap sebagai cara yang logis untuk memastikan

keberlangsungan suatu gerakan sosial agar tidak mengalami stagnasi. Dimana proses
institusionalisasi ini menurut Walker, berdasar kepada 4 empat proses institusionalisasi
gerakan sosial yang kendati berbeda, tetapi saling terkait. Satu sama lain saling melengkapi.
Empat institusionalisasi itu adalah institusionalisasi kultural, politik, administratif, dan
ekonomi. Menurut hemat penulis, proses institusionalisasi politik merupakan inti dari
bagaimana gerakan sosial dibentuk agar dalam prosesi tanggap darurat saat terjadi bencana
lebih efisien dan efektif.
Institusionalisasi politik merujuk pada integrasi gerakan sosial ke dalam lingkungan
birokrasi, yaitu Pemerintah. Pelaku gerakan sosial mendesakkan tujuan dan kepentingan
gerakan itu agar diadopsi oleh birokrasi. Contoh hasil dari institusionalisasi politik di
Indonesia yaitu penerbitan Undang-Undang kebencanaan dan payung hukum bagi gerakan
PRB serta pembentukan BNPB. Dalam tulisan ini, penulis mengharapkan hasil dari
pembentukan gerakan sosial berbasis kearifan lokal ini dapat menjadi sebuah instrumen
publik yang berkesinambungan serta bersinergi dengan instansi kebencanaan layaknya
BNPB.
“Immaturity” Instansi Kebencanaan.
Kebijakan penanggulangan bencana yang bersifat top-down, dimana sikap Pemerintah
yang cenderung mengabaikan peran masyarakat di lokasi rawan bencana, seharusnya sudah
dapat dirubah, apalagi berbicara secara faktual gerakan sosial berbasis kearifan lokal dapat
memperkuat kemandirian masyarakat dalam bertindak diluar komando birokrasi. Namun

masalah yang timbul justru datang dari sifat ego-sektoral yang ditunjukkan BNPB sebagai
7

badan penanggulangan bencana nasional. Fenomena yang terjadi dimana bentuk pemberian
sumber daya finansial oleh Dinas Sosial berupa karitatif yang dimanifestasikan dalam
inventarisasi rambu-rambu kebencanaan di Kelurahan Maasing justru menimbulkan masalah.
Kenyataan di lapangan BNPB merasa juga berhak memasang rambu-rambu tersebut karena
identitasnya sebagai Badan Penanggulangan Bencana Nasional, sehingga rambu yang telah
dipasang dicabut dan digantikan oleh atribut dari BNPB. Nilai-nilai kekuasaan dan arogansi
dari BNPB mengalahkan pemikiran logis bahwa seharusnya yang utama dan esensial adalah
keselamatan masyarakat kawasan pesisir yang rawan terpapar bencana.
Hal seperti inilah yang menurut penulis menggangu proses institusionalisasi politik
gerakan sosial, payung hukum yang melembagakan sebuah instansi belum tentu menjamin
penanganan bencana mampu berfungsi secara benar. Instansi resmi pemerintah sendiri belum
dapat bergerak sesuai fungsinya, apalagi bisa mengayomi gerakan mandiri sebuah
masyarakat. Penanganan bencana masih belum menjadi tindakan yang dilakukan secara
kolektif, egosentris dari setiap instansi dalam memberdayakan masyarakat rawan bencana
perlu disinkronisasikan dengan tugas pokok lembaga lainnya, agar tercipta penanganan
bencana yang tepat dan tidak bersifat majemuk. Tetapi berada dalam satu kesatuan dengan
mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan dan tanggung jawab penuh atas keselamatan rakyat.

Kesinambungan gerakan sosial dan Instansi Kebencanaan Pemerintah agar dapat
bergerak secara beriringan masih sulit diperkirakan apakah dapat berlangsung secara baik
atau justru menjebloskan gerakan sosial kedalam jebakan birokrasi, dimana peraturan dan tata
tertib akan mengakibatkan gerakan sosial bisa menjadi kaku dan menutup mata akan adanya
kemungkinan upaya penanganan bencana dari kelompok lain atau malahan “kedewasaan”
Instansi Kebencanaan pemerintah dapat membawa perubahan yang lebih baik.

8

Daftar Pustaka
Nugroho, K., & Yon, K. M. (2011). Pengurangan risiko bencana berbasik komunitas di
Indonesia: Gerakan, Pelembagaan, dan Keberlanjutan. Yogyakarta: Konferensi
Nasional PRBBK VII.
Ridwan Nurma A. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal, dalam Jurnal Studi Islam dan Budaya
: IBDA, Vol 5. No. 1, Januari-Juni 2007. P3M STAIN Purwokerto
Tiezzi, E., Marchettini, T. & Rossini, M. TT. Extending the Environmental Wisdom beyond
the Local Scenario: Ecodynamic Analysis and the Learning Community. Via :
http://library.witpress.com/pages/paperinfo.asp.
Walker, E. (2005). Learning from the insurgents: the institutionalization of social movements
and the growth of grassroots lobbying. Dissertation (not published). Pennsylvania

State University.

.

9