Isolasi Senyawa Flavonoida Dari Daun Tumbuhan Iler (Coleus Atropurpureus Benth.)

(1)

ISOLASI SENYAWA FLAVONOIDA DARI DAUN TUMBUHAN ILER (Coleus atropurpureus Benth.)

SKRIPSI

RONY MAGDALENA SARAGIH 060802047

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

ISOLASI SENYAWA FLAVONOIDA DARI DAUN TUMBUHAN ILER (Coleus atropurpureus Benth.)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

RONY MAGDALENA SARAGIH 060802047

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(3)

PERSETUJUAN

JUDUL : ISOLASI SENYAWA FLAVONOIDA DARI

TUMBUHAN ILER (Coleus athroporpureus Benth.)

Kategori : SKRIPSI

Nama Mahasiswa : RONY MAGDALENA SARAGIH

Nomor Induk Mahasiswa : 060802047

Program Studi : SARJANA (S1) KIMIA

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU

PENGETAHUAN ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di

Medan, Mei 2011

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Lamek Marpaung, M.Phil, Ph.D Sovia Lenny, S.Si, M.Si NIP: 1952 0828 1982 031001 NIP 1975 1018 2000 032001

Diketahui oleh

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

Dr. Rumondang Bulan Nst. MS NIP: 1954 0830 1985 032001


(4)

PERNYATAAN

ISOLASI SENYAWA FLAVONOIDA DARI DAUN TUMBUHAN ILER (Coleus atropurpureus Benth.)

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja Saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Mei 2011

RONY MAGDALENA SARAGIH 060802047


(5)

PENGHARGAAN

Segala Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan Anugrah Nya yang begitu besar sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dalam waktu yang telah ditetapkan.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Ibu Sovia lenny M.Si dan Bapak Lamek Marpaung, M.Phil, Ph.D selaku pembimbing pada penyelesaian skripsi ini yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama mengerjakan penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini. Kepada kedua orang tua saya yang saya kasihi B. Saragih dan D br Girsang yang telah memberikan banyak hal terkhusus cinta kasih dan ketulusan hati dalam memberikan segala hal buat saya. Kepada saudaraku yang saya sayangi yang senantiasa menghibur dan memberikan semangat kepada saya (Kak eva, Imelda, Putri, Anggreni, beserta adik saya Jhon Wahyudi). Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada Ibu Dr. Rumondang Bulan Nst, MS dan Bapak Drs. Albert Pasaribu M.Sc selaku Ketua dan sekertaris jurusan Departemen Kimia FMIPA USU. Kepada Ibu Cut Fatimah Zuhra S.Si, M.Si selaku dosen wali penulis, seluruh Staff pengajar di departemen Kimia USU dan juga kepada teman-teman asisten (B’albo, Ika, saulina, Lisbet, Burton, Niko, Tria, Monojaya, Cristo, Sondang, Cristin, Pelita) terimakasih untuk semangat dan kebersamaan selama ini. Terimakasih juga saya ucapkan pada teman-teman Kelompok tumbuh bersama Netanya salvation (K’Nur, ita, lisa, ina), adik-adik kelompok Tabitha Gavrila (Despita, Melda, Naomi, Rimenda, Ningsih) beserta kordinasi UKM KMK UP FMIPA tahun 2010 terimakasih atas doa dan dukungan dari kalian semua. Teman-teman seperjuangan kimia 2006 dan juga adik-adik jurusan kimia stambuk 2007-2009. Tidak lupa juga saya ucapkan terimakasih pada teman-teman diberdikari 52 yang telah menjadi keluargaku (vero, K’oya, mery, meisia, siska, yenni, jois, nody, dll) buat sahabat-sahabat terbaikku (dora, lely, winda, erba) kalian tetap dihatiku untuk selamanya. Beserta seluruh civitas GMKI Komisariat FMIPA USU terkhusus pengurus komisariat periode 2008 dan 2009. Tuhan Yesus memberkati.


(6)

ABSTRAK

Isolasi senyawa flavonoida yang terdapat pada daun tumbuhan iler (Coleus atropurpureus Benth.) dilakukan dengan maserasi dengan pelarut metanol. Ekstrak pekat metanol di ekstraksi partisi dengan n-heksana kemudian diasamkan dengan menggunakan HCl 6% sambil dipanaskan dan kemudian diekstraksi partisi dengan klorofom untuk menarik senyawa flavonoida. Ekstrak pekat kloroform yang merupakan flavonoida total dianalisis KLT, kemudian dipisahkan dengan kolom kromatografi dengan eluen n-heksana : etil asetat (70:30 v/v). Senyawa yang diperoleh kemudian dimurnikan dengan cara KLT preparatif, menghasilkan pasta berwarna kuning kecoklatan sebanyak 16,6 mg dengan harga Rf=0,4. Selanjutnya dianalisis dengan Spektrofotometer UV-Visible, Sektrofotometer Inframerah (FT-IR) dan Spektrofotometer Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR). Dari data analisis dan interpretasi spektroskopi, mengindikasikan bahwa senyawa hasil isolasi yang diperoleh adalah senyawa isoflavonoida.


(7)

ISOLATION OF FLAVONOID COMPOUNDS FROM LEAVES OF ILER PLANTS (Coleus atropurpureus Benth.)

ABSTRACT

Isolation of flavonoid compounds from leaves of iler (Coleus atropurpureus Benth) has been done with maceration by methanol solvent. The concentrated extract then partition extracted with n-hexane and then acided by HCl 6% and continue with partition extracted with chloroform to get the flavonoid compounds. The concentrated chloroform extract which is total flavonoid was analysed with Thin Layer Chromatography, then separated with Column Chromatography with eluent n-hexane : ethyl acetate (70:30 v/v). The compounds was purified with TLC preparative yielding brownish-yellow as paste with weight 16,6 mg with Rf=0,4. The compounds were further identified analysis by using Spectroscopy Ultraviolet-Visible (UV-Vis), Fourier Transform Infra Red Spectroscopy (FT-IR) and Proton Nuclear Magnetic Resonancy Spectroscopy (1H-NMR). Bases on spectroscopy analysis, indicated that the compounds is isoflavonoid compounds.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar isi vii

Daftar Lampiran ix

Daftar Gambar x

Daftar Tabel xi

Bab 1 Pendahuluan

1.1Latar Belakang 1

1.2Permasalahan 3

1.3Tujuan Penelitian 3

1.4Manfaat Penelitian 3

1.5Lokasi Penelitian 3

1.6Metodologi Penelitian 4

Bab 2 Tinjauan Pustaka

2.1 Tumbuhan Iler 5

2.1.1 Morfologi Tumbuhan Iler 5

2.1.2 Sistematika Tumbuhan iler 6

2.1.3 Manfaat Tumbuhan Iler 6

2.1.4 Kandungan Kimia Tumbuhan Iler 7

2.2 Senyawa Flavonoida 7

2.2.1 Struktur Dasar Senyawa Flavonoida 9

2.2.2 Klasifikasi Senyawa Flavonoida 10

2.2.3 Biosintesis Awal Senyawa Flavonoida 16 2.2.4 Metoda Isolasi Senyawa Flavonoida 17

2.2.5 Sifat Kelarutan Flavonoida 17

2.3 Teknik Pemisahan 18

2.3.1 Ekstraksi 18

2.3.2 Kromatografi 19

2.3.2.1 Kromatografi Lapisan Tipis 20

2.3.2.2 Kromatografi Preparatif 22

2.3.2.3 Kromatografi Kolom 23

2.3.2.4 kromatografi Kertas 24


(9)

2.4 Teknik Spektroskopi 25 2.4.1 Spektrofotometri Ultraviolet (UV-Vissible) 26 2.4.2 Spektrofotometri Inframerah (FT-IR) 27 2.4.3 Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti Proton(1H-NMR) 29

Bab 3 Bahan dan Metode Penelitian

3.1 Alat-alat 31

3.2 Bahan 32

3.3 Prosedur Penelitian 32

3.3.1 Penyediaan Sampel 32

3.3.2 Uji Pendahuluan Ekstrak Tumbuhan Iler 33

3.3.2.1 Uji Busa 33

3.3.2.2 Skrining Fitokimia 33

3.3.2.4 Analisis Kromatografi Lapis Tipis 34 3.3.3 Prosedur Untuk Memperoleh Seyawa Kimia dari Ekstrak

daun tumbuhan iler 34 3.3.4 Isolasi Senyawa Flavonoida dengan Kromatografi Kolom 35

3.3.5 Pemurnian 36

3.3.6 Uji Kemurnian Hasil Isolasi dengan Kromatografi Lapis Tipis

(KLT) 36

3.3.7. Analisis Spektroskopi Kristal Hasil Isolasi 37 3.3.7.1 Uji Kristal Hasil Isolasi dengan Spektrofotometri

Infra merah 37

3.3.7.2 Uji Kristal Hasil Isolasi dengan Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti (1H-NMR) 37

3.4 Bagan Penelitian

3.4.1 Bagan Skrining fitokimia 38

3.4.2 Bagan Penelitian 39

Bab 4 Hasil dan Pembahasan

4.1 Hasil Penelitian 40

4.2 Pembahasan 42

Bab 5 Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan 45

5.2 Saran 45


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A. Gambar Daun Tumbuhan iler (Coleus atropurpureus Benth.) 50 Lampiran B. Hasil Determinasi Daun Tumbuhan iler

(Coleus atropurpureus Benth.) 51 Lampiran C. Kromatografi Lapisan Tipis Ekstrak Kloroform Daun Tumbuhan

iler (Coleus atropurpureus Benth.) 52 Lampiran D1. Kromatografi Lapisan Tipis Senyawa Hasil Isolasi Melalui

Penampakan Noda dengan Pereaksi FeCl3 5% dan NaOH 10% 53 Lampiran D2. Kromatografi Lapis Tipis Senyawa Hasil Isolasi Melalui metode 2

dimensi 54 Lampiran E. Spektrum Ultra violet- Visible Senyawa Hasil Isolasi 55 Lampiran F. Spektrum Ultra Violet-Vissible Beberapa Senyawa Flavonoida 56 Lampiran G. Spektrum Infra Merah (FT-IR) Senyawa Hasil Isolasi 57 Lampiran H. Spektrum 1H– NMR Senyawa Hasil Isolasi 58 Lampiran I. Sepktrum Ekspansi 1H– NMR Senyawa Hasil Isolasi dari

pergeseran 4,8-7,8 ppm 59 Lampiran J. Sepktrum Ekspansi 1H– NMR Senyawa Hasil Isolasi dari

pergeseran 4,8-7,8 ppm 60 Lampiran K. Spektrum 1H– NMR pembanding untuk senyawa isoflavonoida 61


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Kerangka Dasar Senyawa Flavonoida 9 Gambar 2. Biosentesa hubungan antara jenis monomer Flavonoida dari alur asetat melanoat dan alur sikimat 16


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Golongan-Golongan Flavonoida Menurut Harbone 15 Tabel 2. Rentangan Serapan Spektrum UV-Visibel Golongan Flavonoida 27


(13)

ABSTRAK

Isolasi senyawa flavonoida yang terdapat pada daun tumbuhan iler (Coleus atropurpureus Benth.) dilakukan dengan maserasi dengan pelarut metanol. Ekstrak pekat metanol di ekstraksi partisi dengan n-heksana kemudian diasamkan dengan menggunakan HCl 6% sambil dipanaskan dan kemudian diekstraksi partisi dengan klorofom untuk menarik senyawa flavonoida. Ekstrak pekat kloroform yang merupakan flavonoida total dianalisis KLT, kemudian dipisahkan dengan kolom kromatografi dengan eluen n-heksana : etil asetat (70:30 v/v). Senyawa yang diperoleh kemudian dimurnikan dengan cara KLT preparatif, menghasilkan pasta berwarna kuning kecoklatan sebanyak 16,6 mg dengan harga Rf=0,4. Selanjutnya dianalisis dengan Spektrofotometer UV-Visible, Sektrofotometer Inframerah (FT-IR) dan Spektrofotometer Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR). Dari data analisis dan interpretasi spektroskopi, mengindikasikan bahwa senyawa hasil isolasi yang diperoleh adalah senyawa isoflavonoida.


(14)

ISOLATION OF FLAVONOID COMPOUNDS FROM LEAVES OF ILER PLANTS (Coleus atropurpureus Benth.)

ABSTRACT

Isolation of flavonoid compounds from leaves of iler (Coleus atropurpureus Benth) has been done with maceration by methanol solvent. The concentrated extract then partition extracted with n-hexane and then acided by HCl 6% and continue with partition extracted with chloroform to get the flavonoid compounds. The concentrated chloroform extract which is total flavonoid was analysed with Thin Layer Chromatography, then separated with Column Chromatography with eluent n-hexane : ethyl acetate (70:30 v/v). The compounds was purified with TLC preparative yielding brownish-yellow as paste with weight 16,6 mg with Rf=0,4. The compounds were further identified analysis by using Spectroscopy Ultraviolet-Visible (UV-Vis), Fourier Transform Infra Red Spectroscopy (FT-IR) and Proton Nuclear Magnetic Resonancy Spectroscopy (1H-NMR). Bases on spectroscopy analysis, indicated that the compounds is isoflavonoid compounds.


(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Senyawa flavonoida terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga, buah, dan biji. Kebanyakan flavonoida ini berada di dalam tumbuh-tumbuhan, kecuali alga. Namun ada juga flavonoida yang terdapat pada hewan, misalnya dalam kelenjar bau berang-berang dan sekresi lebah. Dalam sayap kupu-kupu dengan anggapan bahwa flavonoida berasal dari tumbuh-tumbuhan yang menjadi makanan hewan tersebut dan tidak dibiosintesis di dalam tubuh mereka. Penyebaran senyawa flavonoida tersebar pada tumbuhan jenis angiospermae, klorofita, fungi, briofita (Markham, 1988).

Keanekaragaman tumbuhan di Indonesia merupakan salah satu kekayaan alam yang perlu dilestarikan mengingat peranan dan khasiat tumbuhan dapat memberikan manfaat bagi kesehatan masyarakat. Tumbuh–tumbuhan merupakan salah satu sumber senyawa bahan alam hayati yang memegang peranan penting dalam pemanfaatan zat kimia berkhasiat. Didukung oleh penelitian ilmiah tumbuhan yang secara fungsional tidak lagi dipandang sebagai bahan konsumsi maupun penghias, tetapi sebagai tanaman obat yang multifungsi. Penggunaan senyawa bahan alam sebagai obat bukan hal baru, sejak manusia ada dipermukaan bumi, mencoba mengobati berbagai macam penyakit yang dideritanya menggunakan senyawa bahan alam secara turun temurun dan dipergunakan sampai sekarang. Berbagai tumbuhan liar maupun yang dipelihara secara tradisional dapat dipergunakan sebagai obat (racikan sederhana) karena memiliki khasiat yang menyembuhkan serta komposisi kimia yang dimilikinya (Yuniarti, 2008).


(16)

Salah satu dari tumbuhan berkhasiat ini adalah tumbuhan iler (Coleus atropurpureus Benth.). Secara tradisional daun tumbuhan iler digunakan untuk membantu menghilangkan rasa nyeri, sembelit, sakit perut, mempercepat pematangan bisul, pembunuh cacing, ambeien, diabetes melitus, wasir, demam dan radang telinga. Sedangkan akarnya dapat mengatasi perut mulas dan mencret. Penggunaannya untuk obat-obatan dilakukan dengan meminum air rebusan daun atau batang atau dengan menggiling daun tumbuhan iler sampai halus dan dicampur dengan air minum dan disaring kemudian air saringan tersebut kemudian diminum (Dalimartha, 2000).

Pengujian efek antiinflamasi berbagai ekstrak daun tumbuhan iler pada hewan tikus putih jantan, menunjukkan bahwa ekstrak yang mempunyai daya anti inflamasi terbaik adalah infus daun iler. Hasil penapisan fitokimia terhadap daun dan infusa daun iler menunjukkan adanya senyawa flavonoid, saponin dan polifenol (Amitjitresmu, 1995). Dilakukan juga uji daya antibakteri ekstrak daun iler terhadap bakteri Bacillus subtillis, Escherichia coli. Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus areus. Dari hasil penelitian aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa fraksi n-heksan dan etanol memberikan aktivitas antibakteri yang terbaik terhadap Escherichia coli (Siahaan, E. 1995).

Efek sedatif dari ekstrak kasar etanol dari tumbuhan iler terhadap mencit putih jantan (Mas musculus) dengan metode depresan, menunjukkan bahwa dengan penambahan ekstrak kasar daun iler dengan menginduksikan kedalam fenolbarbital sehingga dapat memperpanjang lama tidur dari fungsi fenolbarbital pada taraf 0,05-0,01 mg/g. Hasil pengujian terhadap fraksi-fraksi ekstrak daun iler terhadap fraksi etil asetat menunjukkan bahwa ekstrak tersebut dapat meningkatkan fungsi fenolbarbital dalam hewan mencit putih jantan (Mas musculus) dibandingkan fraksi n-heksana dan air (Budiman, 1996).

Isolasi ekstrak metanol daun tumbuhan iler menghasilkan senyawa steroida (Ledina, 2005). Pengujian daya anthelmintik ekstrak etanol 70% daun iler terhadap


(17)

Ascaris suum secara in vitro menunjukkan bahwa tumbuhan iler dapat digunakan sebagai obat cacing (Intansari, 2008).

Dari uji pendahuluan yang peneliti lakukan, yaitu dengan uji skrining fitokimia dengan pereaksi H2SO4(p), FeCl3 5%, dan Mg-HCl, NaOH 10 % menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun tumbuhan iler mengandung senyawa flavonoida.

Dari uraian diatas dan berdasarkan literatur mengenai manfaat tumbuhan iler dan kandungan kimia yang terdapat pada tumbuhan iler, maka peneliti tertarik melakukan penelitian terhadap daun tumbuhan iler tersebut, khususnya mengenai senyawa flavonoida yang terkandung di dalamnya.

I.2. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana cara mengisolasi senyawa flavonoida yang terdapat dalam daun tumbuhan iler

(

Coleus atropurpureus Benth.)

I.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi senyawa flavonoida dari daun tumbuhan iler

(

Coleus atropurpureus Benth.)

1.4. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumber informasi ilmiah pada bidang Kimia Bahan Alam khususnya tentang golongan senyawa flavonoida yang terkandung dalam daun tumbuhan iler

(

Coleus atropurpureus Benth.)


(18)

I.5. Lokasi Penelitian

Daun tumbuhan iler diperoleh dari daerah seribudolok kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Penelitian dilakukan di laboratorium Kimia Organik Bahan Alam FMIPA USU. Analisis Spektrofotometri UV-Visible, Spektrofotometri Infra Merah (FT-IR), dan Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti Proton (H-NMR), dilakukan di Pusat Penelitian Kimia LIPI, Serpong – Tangerang.

I.6. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini, isolasi senyawa flavonoida dilakukan terhadap daun tumbuhan iler berupa serbuk halus yang kering sebanyak 700 gram. Tahap awal dilakukan uji skrining fitokimia untuk senyawa flavonoida, yaitu dengan menggunakan pereaksi FeCl3 5%, NaOH 10%, Mg-HCl, dan H2SO4(p).

Tahap isolasi yang dilakukan : - Ekstraksi Maserasi - Ekstraksi Partisi

- Analisis Kromatografi Lapis Tipis - Analisis Kromatografi Kolom

- Analisis preparatif kromatografi lapis tipis - Analisis Kristal hasil isolasi

Analisis kristal mencakup kromatografi lapis tipis dan identifikasi dengan menggunakan Spektrometer UV-Visible, Spektrofotometer Infra Merah (FT-IR), dan Spektrofotometer Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR).


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tumbuhan Iler

2.1.1. Morfologi Tumbuhan Iler

Tumbuhan iler tumbuh subur di daerah dataran rendah sampai ketinggian 1500 meter diatas permukaan laut dan merupakan tanaman semusim. Umumnya tumbuhan ini ditemukan di tempat lembab dan terbuka seperti pematang sawah, tepi jalan pedesaan di kebun-kebun sebagai tanaman liar atau tanaman obat.

Tumbuhan iler memiliki batang herba, tegak atau berbaring pada pangkalnya dan merayap tinggi berkisar 30-150 cm, dan termasuk kategori tumbuhan basah yang batangnya mudah patah. Daun tunggal, helaian daun berbentuk hati, pangkal membulat atau melekuk menyerupai benuk jantung dan setiap tepiannya dihiasi oleh lekuk-lekuk tipis yang bersambungan dan didukung tangkai daun dengan panjang tangkai 3-4 cm yang memiliki warna beraneka ragam dan ujung meruncing dan tulang daun menyirip berupa alur. Batang bersegi empat dengan alur yang agak dalam pada masing-masing sisinya, berambut, percabangan banyak, berwarna ungu kemerahan. Permukaan daun agak mengkilap dan berambut halus panjang dengan panjang 7-11 cm, lebar 3-6 cm berwarna ungu kecoklatan sampai ungu kehitaman. Bunga berbentuk untaian bunga bersusun, muncul pada pucuk tangkai batang berwarna putih, merah dan ungu. Tumbuhan iler memiliki aroma bau yang khas dan rasa yang agak pahit, sifatnya dingin. Buah keras berbentuk seperti telur dan licin. Jika seluruh bagian diremas akan mengeluarkan bau yang harum. Untuk memperbanyak tanaman ini dilakukan dengan cara setek batang dan biji (Yuniarti, 2008).


(20)

2.1.2. Sistematika Tumbuhan Iler

Dari sistem sistematika (taksonomi), tumbuhan iler dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Devisi : Spermatophyta Class : Dicotylendonae Ordo : Solanales Family : Lamiaceae Gens : Coleus

Speies : Coleus atropurpureus Benth.

Nama umum tumbuhan ini adalah iler. Tumbuhan ini dikenal masyarakat Indonesia dengan nama daerah yaitu: si gresing (batak), adang-adang (Palembang), miana, plado (sumbar), jawer kotok (sunda), iler, kentangan (jawa), ati-ati, saru-saru (bugis), majana (Madura) (Dalimartha, 2008).

2.1.3. Manfaat Tumbuhan iler

Tumbuhan iler bermanfaat untuk menyembuhkan hepatitis dan menurunkan demam, batuk dan influenza. Selain itu daun tumbuhan iler ini juga berkhasiat untuk penetralisir racun (antitoksik), menghambat pertumbuhan bakteri (antiseptik), mempercepat pematangan bisul, pembunuh cacing (vermisida), wasir, peluruh haid

(emenagog), membuyarkan gumpalan darah, gangguan pencernaan makanan (despepsi), radang paru, gigitan ular berbisa dan serangga (Dalimartha, 2008).

Sedangkan akar tumbuhan ini berkhasiat untuk mengatasi perut mulas dan diare.. Dalimartha juga menyebutkan bahwa tumbuhan iler dapat menyembuhkan radang telinga, mengeluarkan cacing gelang dari perut, Tetapi dengan catatan ibu hamil dilarang meminum rebusan daun iler ini karena dapat menyebabkan keguguran (Yuniarti, 2008).


(21)

2.1.4. Kandungan Tumbuhan Iler

Herba tumbuhan iler yang memiliki sifat kimiawi harum, berasa agak pahit, dingin, memiliki kandungan kimia sebagai berikut: daun dan batang mengandung minyak atsiri, fenol, tannin, lemak, phytosterol, kalsium oksalat, dan peptik substances. Komposisi kandungan kimia yang bermanfaat antara lain juga alkaloid, etil salisilat, metal eugenol, timol karvakrol, mineral (Dalimartha, 2008).

2.2. Senyawa Flavonoida

Senyawa flavonoida adalah senyawa-senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom karbon, terdiri dari dua cincin benzena yang dihubungkan menjadi satu oleh rantai linier yang terdiri dari tiga atom karbon. Senyawa-senyawa flavonoida adalah senyawa 1,3 diaril propana, senyawa isoflavonoida adalah senyawa 1,2 diaril propana, sedangkan senyawa-senyawa neoflavonoida adalah 1,1 diaril propana.

Istilah flavonoida diberikan pada suatu golongan besar senyawa yang berasal dari kelompok senyawa yang paling umum, yaitu senyawa flavon; suatu jembatan oksigen terdapat diantara cincin A dalam kedudukan orto, dan atom karbon benzil yang terletak disebelah cincin B. Senyawa heterosoklik ini, pada tingkat oksidasi yang berbeda terdapat dalam kebanyakan tumbuhan. Flavon adalah bentuk yang mempunyai cincin C dengan tingkat oksidasi paling rendah dan dianggap sebagai struktur induk dalam nomenklatur kelompok senyawa-senyawa ini. Sifat struktur yaitu cincin A biasanya memiliki tiga gugus oksigen yang berselang seling. Sedangkan cincin B kebanyakan mempunyai gugus fungsional oksigen berkedudukan para dua oksigen, berkedudukan para atau meta terhadap C3 (Manitto, 1981).

Cara klasik untuk mendeteksi senyawa fenol sederhana ialah dengan menambahkan larutan besi (III) klorida dalam air atau etanol kepada larutan cuplikan, yang menimbulkan warna hijau, merah, ungu, biru, atau hitam yang kuat. Cara yang


(22)

ini dimodifikasi dengan menggunakan campuran segar larutan besi (III) klorida 1% masih tetap digunakan secara umum untuk mendeteksi senyawa fenol pada kromatografi kertas. Tetapi kebanyakan senyawa fenol (terutama senyawa flavonoida) dapat dideteksi pada kromatogram berdasarkan warnanya atau floresensinya dibawah lampu UV, warnanya akan diperkuat atau berubah bila diuapi ammonia. Pigmen fenolik berwarna dapat terlihat jadi dan mudah disimak selama proses isolasi dan pemurnian (Harbone, 1987).

Senyawa flavonoida terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga, buah, dan biji. Kebanyakan flavonoida ini berada di dalam tumbuh-tumbuhan, kecuali alga. Namun ada juga flavonoida yang terdapat pada hewan, misalnya dalam kelenjar bau berang-berang dan sekresi lebah. Dalam sayap kupu-kupu dengan anggapan bahwa flavonoida berasal dari tumbuh-tumbuhan yang menjadi makanan hewan tersebut dan tidak dibiosintesis di dalam tubuh mereka. Penyebaran senyawa flavonoida tersebar pada jenis tumbuhan angiospermae, klorofita, fungi, briofita (Markham, 1988).

Senyawa varian flavonoid saling berkaitan karena alur biosintesis yang sama, yang memasukkan substrat dari alur sikimat atau alur ‘asetat-melanoat’, flavonoida pertama yang dihasilkan segera setelah kedua alur itu bertemu. Modifikasi flavonoid pengurangan hidroksilasi; metilasi gugus hidroksil atau inti flavonoida; isopreenilasi gugus hidroksil atau inti flavonoida; metilenasi gugus orto- dihidroksil; dimerisasi (pembentukan bivlafonoida); pembentukan bisulfat; dan yang terpenting glikolisasi gugus hidroksil (pembentukan flavonida o-glikosida atau inti flavonoida pembentukan flavonoida C-glikosida) (Markham, 1988).

2.2.1. Struktur Dasar Senyawa Flavonoida

Senyawa flavonoida adalah senyawa yang mengandung C15 terdiri atas dua inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Struktur dasar flavonoida dapat digambarkan sebagai berikut :


(23)

C C C

A B

Gambar 1. Kerangka dasar senyawa flavonoida

Cincin A adalah karakteristik phloroglusinol atau bentuk resorsinol tersubstitusi

HO

OH O

C3-C6 A

A

HO O

C3-C6

A

B Namun sering terhidroksilasi lebih lanjut :

O C3 OH HO HO C6 A A OCH3 O C3 OCH3 H3CO

H3CO

C6 A

Cincin B adalah karakteristik 4-, 3, 4-, 3, 4, 5- terhidroksilasi

C3 (A) C6 R R' R'' B

R = R’ = H, R’ = OH R = H, R’ = R” = OH R = R’ = R” = OH

( R = R’ = R” = H) (Sastrohamidjojo, 1996)


(24)

2.2.2. Klasifikasi Senyawa Flavonoida

Flavonoida mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi sehingga menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum sinar ultraviolet dan spektrum sinar tampak, umumnya dalam tumbuhan terikat pada gula yang disebut dengan glikosida (Harborne, 1996).

Pada flavonoida O-glikosida, senyawa tersebut memiliki satu gugus hidroksil flavonoida (atau lebih) terikat pada satu gula (atau lebih) dengan ikatan hemiasetal yang tidak tahan asam. Pengaruh glikosilasi menyebabkan flavonoida menjadi kurang reaktif dan lebih mudah larut dalam air. Glukosa merupakan gula yang paling umum terlibat dan gula lain yang sering juga terdapat adalah galaktosa, ramnosa, silosa, arabinosa, dan rutinosa. Adakalanya glikosida mengalami modifikasi lebih lanjut yaitu asilasi yang mempunyai satu gugus hidroksil gula atau lebih yang berikatan dengan asam seperti asam asetat. Waktu yang diperlukan untuk memutuskan suatu gula dari suatu flavonoida O-glukosida dengan hidrolisis asam ditentukan oleh sifat gula tersebut.

Pada flavonoida C-glikosida, senyawa tersebut memiliki gula yang terikat pada atom karbon flavonoida dan dalam hal ini gula tersebut terikat langsung pada inti benzena dengan suatu ikatan karbon-karbon yang tahan asam. Gula yang terikat pada atom C hanya ditemukan pada atom C nomor 6 dan 8 dalam inti flavonoida. Biasanya jenis gula yang terikat paling umum misalnya viteksin, orientin, dan juga galaktosa misalnya ramnosa, xilosa.

Pada golongan flavonoida yang mudah larut dalam air yang ditemukan hanya diflavonoida sulfat. Senyawa ini mengandung satu ion sulfat, atau lebih, yang terikat pada hidroksil fenol atau gula. Hanya terbatas pada angioepermae (Markham, 1988).

Flavonon dan flavonol jarang dijumpai dalam bentuk glikosidanya. Flavon dan flavonol secara luas terdistribusi sebagai senyawa fenolik. Antosianin adalah pigmen


(25)

tumbuhan yang secara umum berwarna merah dan jarang dijumpai berwarna biru pada suatu bunga. Khalkon termasuk butein, dengan cincin furan ditemukan dalam senyawa flavonoid. Auron merupakan pegmen berwarna kuning emas yang secara umum dijumpai pada bunga. Isoflavon dapat mengalami degredasi dengan adanya penambahan basa sehingga menghasilkan asam formiat dan deoxybenzoin, kemudian deoxybenzoin terpisah mengalami fusi (penggabungan dua inti ringan menjadi inti yang lebih berat molekulnya) basa dan metilasi. Isoflavon banyak digunakan sebagai estrogenik, insektidal, dan sebagai anti jamur (Raphael, 1991).

Menurut Robinson (1995), flavonoida dapat dikelompokkan berdasarkan keragaman pada rantai C3 yaitu :

1. Flavonol

Flavonol paling sering terdapat sebagai glikosida, biasanya 3-glikosida, dan aglikon flavonol yang umum yaitu kamferol, kuersetin, dan mirisetin yang berkhasiat sebagai antioksidan dan antiimflamasi. Flavonol lain yang terdapat di alam bebas kebanyakan merupakan variasi struktur sederhana dari flavonol. Larutan flavonol dalam suasana basa dioksidasi oleh udara tetapi tidak begitu cepat sehingga penggunaan basa pada pengerjaannya masih dapat dilakukan.

O

OH O

Struktur flavonol 2. Flavon

Flavon berbeda dengan flavonol dimana pada flavon tidak terdapat gugusan 3-hidroksi. Hal ini mempunyai serapan UV-nya, gerakan kromatografi, serta reaksi warnanya. Flavon terdapat juga sebagai glikosidanya lebih sedikit daripada jenis glikosida pada flavonol. Flavon yang paling umum dijumpai adalah apigenin dan luteolin. Luteolin merupakan zat warna yang pertama kali dipakai di Eropa. Jenis yang paling umum adalah 7-glukosida dan terdapat juga flavon yang terikat pada gula


(26)

melalui ikatan karbon-karbon. Contohnya luteolin 8-C-glikosida. Flavon dianggap sebagai induk dalam nomenklatur kelompok senyawa flavonoida.

O O 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1' 2' 3' 4' 5' 6' Struktur flavon 3. Isoflavon

Isoflavon merupakan isomer flavon, tetapi jumlahnya sangat sedikit dan sebagai fitoaleksin yaitu senyawa pelindung yang terbentuk dalam tumbuhan sebagai pertahanan terhadap serangan penyakit. Isoflavon sukar dicirikan karena reaksinya tidak khas dengan pereaksi warna manapun. Beberapa isoflavon (misalnya daidzein) memberikan warna biru muda cemerlang dengan sinar UV bila diuapi amonia, tetapi kebanyakan yang lain tampak sebagai bercak lembayung yang pudar dengan amonia berubah menjadi coklat.

O

O

Struktur Isoflavon

4. Flavanon

Flavanon terdistribusi luas di alam. Flavanon terdapat di dalam kayu, daun dan bunga. Flavanon glikosida merupakan konstituen utama dari tanaman genus prenus dan buah jeruk ; dua glikosida yang paling lazim adalah neringenin dan hesperitin, terdapat dalam buah anggur dan jeruk.

O

O Struktur Flavanon


(27)

5. Flavanonol

Senyawa ini berkhasiat sebagai antioksidan dan hanya terdapat sedikit sekali jika dibandingkan dengan flavonoida lain. Sebagian besar senyawa ini diabaikan karena konsentrasinya rendah dan tidak berwarna.

O

O

OH

Struktur Flavanonol 6. Katekin

Katekin terdapat pada seluruh dunia tumbuhan, terutama pada tumbuhan berkayu. Senyawa ini mudah diperoleh dalam jumlah besar dari ekstrak kental Uncaria gambir dan daun teh kering yang mengandung kira-kira 30% senyawa ini. Katekin berkhasiat sebagai antioksidan.

O HO

OH OH

OH OH

Struktur Katekin

7. Leukoantosianidin

Leukoantosianidin merupakan senyawa tan warna, terutama terdapat pada tumbuhan berkayu. Senyawa ini jarang terdapat sebagai glikosida, contohnya melaksidin, apiferol.

O

OH

HO OH

Struktur Leukoantosianidin 8. Antosianin

Antosianin merupakan pewarna yang paling penting dan paling tersebar luas dalam tumbuhan. Pigmen yng berwarna kuat dan larut dalam air ini adalah penyebab hampir


(28)

semua warna merah jambu, merah marak , ungu, dan biru dalam daun, bunga, dan buah pada tumbuhan tinggi. Secara kimia semua antosianin merupakan turunan suatu struktur aromatik tunggal yaitu sianidin, dan semuanya terbentuk dari pigmen sianidin ini dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil atau dengan metilasi atau glikosilasi.

O

OH

Struktur Antosianin 9.Khalkon

Khalkon adalah pigmen fenol kuning yang berwarna coklat kuat dengan sinar UV bila dikromatografi kertas. Aglikon flavon dapat dibedakan dari glikosidanya, karena hanya pigmen dalam bentuk glikosida yang dapat bergerak pada kromatografi kertas dalam pengembang air. (Harborne, 1996)

O

Struktur Khalkon 10. Auron

Auron berupa pigmen kuning emas yang terdapat dalam bunga tertentu dan briofita. Dalam larutan basa senyawa ini berwarna merah ros dan tampak pada kromatografi kertas berupa bercak kuning, dengan sinar ultraviolet warna kuning kuat berubah menjadi merah jingga bila diberi uap amonia. (Robinson, 1995)

HC O

O

Struktur Auron

Menurut Harborne (1996), Semua senyawa flavonoida, menurut strukturnya, merupakan turunan senyawa induk flavon dan semuanya mempunyai sejumlah sifat yang sama. Dikenal sekitar Sembilan kelas flavonoid yakni :


(29)

Tabel 1. Golongan-golongan Flavonoida menurut Harbone

Golongan flavonoida Penyebaran Ciri khas

Antosianin Proantosianidin Flavonol Flavon Glikoflavon Biflavonil

Khalkon dan auron

Flavanon

Isoflavon

pigmen bunga merah marak, dan biru juga dalam daun dan jaringan

terutama tan warna, dalam daun tumbuhan berkayu.

Terutama ko-pigmen tanwarna dalam bunga sianik dan asianik; tersebar luas dalam daun.

seperti flavonol

seperti flavonol

tanwarna; terbatas pada gimnospermae.

pigmen bunga kuning, kadang-kadang terdapat juga dalam jaringan lain

tanwarna; dalam daun dan buah terutama dalam Citrus tanwarna; sering kali dalam akar; hanya terdapat dalam satu suku, Leguminosae

larut dalam air, λmaks 515-545 nm, bergerak dengan BAA pada

kertas. menghasilkan antosianidin (warna

diekstraksi dengan amil alkohol) bila jaringan dipanaskan dalam HCl 2M selama setengah jam. setelah hidrolisis, berupa bercak kuning murup pada kromatogram Forestal bila disinari dengan sinar UV; maksimal spektrum pada 330 – 350

setelah hidrolisis, berupa bercak coklat redup pada kromatogram Forestal; maksimal spektrum pada 330-350 nm.

mengandung gula yang terikat melalui ikatan C-C; bergerak dengan pengembang air, tidak seperti flavon biasa.

pada kromatogram BAA berupa bercak redup dengan RF tinggi . dengan amonia berwarna merah ;maksimal spektrum 370-410 nm.

berwarna merah kuat dengan Mg- HCl; kadang– kadangsangat pahit bergerak pada kertas dengan pengembang air; tak ada uji warna yang khas.


(30)

2.2.3. Biosintesis Awal flavonoid

Semua varian flavonoid saling berkaitan karena alur biosintesis yang sama, yang memasukkan prazat dari alur sikimat dan alur asetat-melanoat, flavonoid pertama dihasilkan segera setelah alur itu bertemu. Sekarang flavonoid yang dianggap pertama kali terbentuk pada biosintesis adalah khalkon. Modifikasi flavonoid lebih lanjut terjadi pada berbagai tahap dan menghasilkan : penambahan atau pengurangan hidroksilasi, metilasi gugs hidroksil atau inti flavonoid, dimerisasi dan glikolisasi gugus hidroksil.


(31)

2.2.4. Metoda isolasi senyawa flavonoida

Metoda Isolasi Senyawa Flavonoida oleh Harborne dilakukan dengan cara sebagai berikut : daun yang segar dimaserasi dengan MeOH, lalu disaring. Ekstrak MeOH dipekatkan dengan rotari evaporator. Lalu ekstrak pekat yang dihasilkan, diasamkan dengan H2SO4 2M, didiamkan, lalu diesktraksi dengan Kloroform. Lapisan Kloroform diambil, lalu diuapkan, sehingga dihasilkan ekstrak polar pertengahan (Terpenoida atau senyawa Fenol) (Harborne, 1996).

2.2.5. Sifat kelarutan flavonoida

Aglikon flavonoida adalah polifenol sehingga mempunyai sifat kimia senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa. Tetapi harus diingat, bila dibiarkan dalam larutan basa, dan disamping itu terdapat oksigen, banyak yang akan terurai. Karena mempunyai sejumlah gugus hidroksil, atau suatu gula, flavonoida merupakan senyawa polar, maka umumnya flavonoida cukup larut dalam pelarut polar seperti, Metanol (MeOH), Etanol (EtOH), Butanol (BuOH), Aseton, Dimetilsulfoksida (DMSO), Dimetilformamida (DMF), Air dan lain-lain.

Adanya gula yang terikat pada flavonoida cenderung menyebabkan flavonoida lebih mudah larut dalam air sehingga campuran pelarut yang disebut diatas dengan air merupakan pelarut yang lebih baik untuk glikosida. Sebaliknya, aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon, flavon dan flavonol yang termetoksilasi cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti Eter dan Kloroform (Markham, 1988).

2.3. Teknik Pemisahan

Teknik pemisahan memiliki tujuan untuk memisahkan komponen yang akan ditentukan berada dalam keadaan murni, tidak tercampur dengan komponen-komponen lainnya.


(32)

Ada 2 jenis teknik pemisahan:

1. Pemisahan kimia adalah suatu teknik pemisahan yang berdasarkan adanya perbedaan yang besar dari sifat-sifat fisika komponen dalam campuran yang akan dipisahkan.

2. Pemisahan fisika adalah suatu teknik pemisahan yang didasarkan pada perbedaan-perbedaan kecil dari sifat-sifat fisik antara senyawa-senyawa yang termasuk dalam suatu golongan (Muldja, 1995).

2.3.1. Ekstraksi

Ekstraksi dapat dilakukan dengan metode maserasi, perkolasi, dan sokletasi. Sebelum ekstraksi dilakukan, biasanya serbuk tumbuhan dikeringkan lalu dihaluskan dengan derajat kehalusan tertentu, kemudian diekstraksi dengan salah satu cara di atas. Ekstraksi dengan metode sokletasi dapat dilakukan secara bertingkat dengan berbagai pelarut berdasarkan kepolarannya, misalnya: n-heksan, eter, benzene, kloroform, etil asetat, etanol, metanol, dan air. Ekstraksi dianggap selesai bila tetesan ekstrak yang terakhir memberikan reaksi negatif terhadap pereaksi flavonoida. Untuk mendapatkan larutan ekstrak yang pekat biasanya pelarut ekstrak diuapkan dengan menggunakan alat rotari evaporator (Harborne, 1987).

Menurut prosesnya ekstraksi dapat dibagi menjadi dua yaitu Ekstraksi kontiniue dimana pelarut yang sama digunakan secara berulang-ulang sampai proses ekstraksi selesai dan biasanya alat yang digunakan adalah alat soklet. Ekstraksi yang kedua adalah ekstraksi bertahap yaitu ekstraksi selalu digunakan pelarut yang baru samppai ekstraksi selesai dan bisanya digunakan adalah corong pisah. Tekniknya cukup dengan penambahan pelarut yang tidak bercampur dengan pelarut yang pertama melalui corong pisah, kemudian dilakukan pengocokan sampai terjadi kesetimbangan konsentrasi pada kedua pelarut. Setelah didiamkan beberapa saat akan tebentuk dua lapisan. Kesempurnaan ekstraksi tergantung banyaknya ekstraksi yang dilakukan ( Yazid,E. 2005)


(33)

2.3.2. Kromatografi

Penjelasan tentang kromatografi pertama kali diberikan oleh Michael Tswett, yang mengumumkan pemberian pemisahan klorofil dan pigmen lainnya dalam suatu seri tanaman. Sekarang kromatografi mencakup berbagai proses yang berdasarkan pada perbedaan distribusi dari penyusunan cuplikan antara dua fase.

Kromatografi merupakan suatu cara pemisahan fisik dengan unsur-unsur yang akan dipisahkan terdistribusikan antara dua fasa, satu dari fasa-fasa ini membentuk lapisan stasioner dengan luas permukaan yang besar dan fasa lainnya merupakan cairan yang merembes lewat. Fasa stasioner mungkin suatu zat padat atau suatu cairan dan fasa yang bergerak mungkin suatu cairan atau suatu gas (Underwood, 1981).

Pemisahan secara kromatografi dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa sifat fisika umum dari molekul. Sifat utama yang terlibat ialah:

- Kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan)

- Kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus (adsorbs, penjerapan)

- Kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan uap (keatsirian)

Pada sistem kromatografi, campuran yang akan dipisahkan ditempatkan dalam keadaan demikian rupa sehingga komponen-komponennya harus menunjukkan dua dari ketiga sifat tersebut. Hal ini melibatkan dua sifat berlainan, misalnya penjerapan dan kelarutan, misalnya kelarutan di dalam dua cairan yang tidak bercampur.

Walaupun kromatografi melibatkan proses saling mempengaruhi antara beberapa sifat. Misalnya memasukkan senyawa ke dalam corong pisah yang berisi dua pelarut yang masing-masing mempunyai kelarutan yang terbatas dalam pelarut pasangannya (misalnya eter dan air), Senyawa itu cenderung terdistribusi atau terpartisi di antara kedua cairan itu atau fase bergantung kepada sifat kelarutannya. Partisi yang demikian merupakan persaingan antara kelarutan di dalam cairan. Jika


(34)

dimasukkan linarut ke dalam labu yang berisi cairan dan serbuk bahan padat (misalnya arang), linarut akan terdistribusi di antara permukaan bahan padat (dalam hal kedua ini, linarut menunjukkan sifat kejerapannya). Pada akhirnya dimasukkan linarut ke dalam labu yang sedikit mengandung cairan yang tidak atsiri, linarut akan menunjukkan sifat kelarutan dan keatsirian. Dalam sistem kromatografi, mungkin saja dapat memperbesar perbedaan itu, walaupun perbedaan itu sangat kecil, dan menjadikannya sebagai dasar pemisahan (Gritter, 1991).

Cara-cara kromatografi dapat digolongkan sesuai dengan sifat–sifat dari fasa diam, yang dapat berupa zat padat atau zat cair. Jika fasa diam berupa zat padat disebut kromatografi serapan, jika berupa zat cair disebut kromatografi partisi. Karena fasa gerak dapat berupa zat cair atau gas maka ada empat macam sistem kromatografi yaitu:

1. Fasa gerak cair–fasa diam padat (kromatografi serapan): a.kromatografi lapis tipis

b.kromatografi penukar ion

2. Fasa gerak gas–fasa diam padat, yakni kromatografi gas padat

3. Fasa gerak cair–fasa diam cair (kromatografi partisi), yakni kromatografi kertas. 4. Fasa gerak gas–fasa diam zat cair, yakni :

a. kromatografi gas–cair b. kromatografi kolom kapiler

Semua pemisahan dengan kromatografi tergantung pada kenyataan bahwa senyawa – senyawa yang dipisahkan terdistribusi diantara fasa gerak dan fasa diam dalam perbandingan yang sangat berbeda – beda dari satu senyawa terhadap senyawa yang lain (Sastrohamidjojo, 1991).

2.3.2.1. Kromatografi lapis tipis

Teknik ini dikembangkan pada tahun 1938 oleh Ismailoff dan Schraiber. Adsorbent dilapiskan pada lempeng kaca yang bertindak sebagai penunjang fase diam. Fase


(35)

bergerak akan merayap sepanjang fase diam dan terbentuklah kromatogram. Kecepatan pemisahan tinggi dan mudah untuk memperoleh kembali senyawa-senyawa yang terpisahkan. Biasanya yang sering digunakan sebagai materi pelapisnya adalah silika gel. Tetapi dapat juga dipakai alumina (alumina oksida), kieselgur (diatomeus earth) dan selulosa. Pemilihan sistem pelarut dan komposisi lapisan tipis ditentukan oleh prinsip kromatografi yang akan digunakan (Khopkar, S.M., 2003).

Kromatografi Lapis Tipis pada plat berlapis yang berukuran lebih besar, biasanya 5x20 cm, 10x20 cm, atau 20x20 cm. Tebal lapisan adsorben dapat bervariasi tergantung penggunaannya. Larutan campuran senyawa yang akan dipisahkan diteteskan kira-kira 1,5 cm dari bagian bawah plat dengan menggunkan pipet mikro atau syringe. Zat pelarut yang terdapat pada sampel yang diteteskan kemudian diupakan terlebih dahulu. Selanjutnya plat kromatografi dikembangkan dengan mencelupkan pada chamber yang berisi campuran zat pelarut. Pengembangan tersebut masing-masing komponen senyawa dalam sampel, akan bergerak keatas dengan kecepatan yang berbeda yang diakibatkan oleh pengaruh proses pemilihan adsorben sampai identifikasi masing-masing komponen yang terpisah (Hosttetman, 1995).

Pemisahan senyawa dengan Kromatografi Lapis Tipis seperti senyawa organik bahan alam dan senyawa organik sintetik dapat dilakukan dalam beberapa menit dengan alat yang harganya tidak terlalu mahal. Jumlah cuplikan beberapa mikrogram atau sebanyak 5 g dapat ditangani. Kelebihan KLT yang lain ialah pemakaian jumlah pelarut dan jumlah cuplikan yang sedikit. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan salah satu metode pemisahan yang cukup sederhana yaitu dengan menggunakan plat kaca yang dilapisi silika gel dengan menggunakan pelarut tertentu Nilai utama Kromatografi Lapis Tipis pada penelitian senyawa flavonoida ialah sebagai cara analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit. (Gritter,1991).


(36)

Menurut Markham, Kromatografi Lapis Tipis terutama berguna untuk tujuan berikut:

1. Mencari pelarut untuk kromatografi kolom

2. Analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom 3. Identifikasi flavonoida secara ko-kromatografi.

4. Menyegi arah atau perkembangan reaksi seperti hidrolisis ata metilasi 5. Isolasi flavonoida murni skala kecil

6. Penyerap dan pengembang yang digunakan umumnya sama dengan penyerap dan pengembang pada kromatografi kolom dan kromatografi kertas

(Markham, 1988).

2.3.2.2. Kromatografi Lapis Tipis Preparatif

Metode kromatografi juga dapat dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis preparatif yaitu pemisahan yang terdiri atas sejumlah senyawa serupa dengan kromatografi jenis yang sukar dan kadang-kadang lama dipisakan. KLT preparatif adalah cara ideal untuk memisahkan cuplikan kecil (50 mg sampai 1 g). Penjerap yang dipakai adalah silika gel dan dipakai untuk pemisaha campuran senyawa lipofil maupun campuran senyawa hidrofil.Ketebalan adsorben yang paling sering dipakai 0,5-2 mm. Ukuran plat kromatografi biasanya 20 x 20 cm atau 20 x 40 cm

Cuplikan dilarutkan dalam sedikit pelarut sebelum ditotolkan pada plat kromatografi lapis tipis preparatif. Pelarut yang baik ialah pelarut organic seperti n-heksan, etil asetat. Diklorometana. Cuplikan yang akan dipisahkan ditotolkan berupa garis pada salah satu sisi dari pelat lapisan besar dan dikembangkan secara tegak lurus pada garisan cuplikan sehingga campura akan terpisah menjadi beberapa pita. Pita penjerap tersebut diharapkan mengandung komponen campuran murni kemudian dikerok dari pelat kaca dengan spatula dan ditampung dengan logam tipis atau kertas lilin. Penjerap diletakkan dalam corong kaca memakai kertas saring lalu dielusi beberapa kali dengan pelarut yang cocok ( Gritter, 1991).


(37)

2.3.2.3. Kromatografi Kolom

Kromatografi kolom adalah kromatografi yang menggunakan kolom sebagai alat untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran. Alat tersebut berupa pipa gelas yang dilengkapi suatu kran di bagian bawah kolom untuk mengendalikan aliran zat cair. Ukuran kolom tergantung dari banyaknya zat yang akan dipindahkan. Pemisahan tergantung kepada kesetimbangan yang terbentuk pada bidang antar muka di antara butiran-butiran adsorben dan fase bergerak serta kelarutan relatif komponen pada fase bergeraknya (Yazid, E., 2005).

Kromatografi cair yang dilakukan dalam kolom besar merupakan metode kromatografi terbaik untuk pemisahan dalam jumlah besar (lebih dari 1 g). Pada kromatografi kolom, campuran yang akan dipisahkan diletakkan berupa pita pada bagian atas kolom penyerap yang berada dalam tabung kaca, tabung logam, dan tabung plastik. Pelarut atau fasa gerak dibiarkan mengalir melalui kolom karena aliran yang disebabkan oleh gaya berat atau didorong dengan tekanan. Pita senyawa linarut bergerak melalui kolom dengan laju yang berbeda, memisah, dan dikumpulkan berupa fraksi ketika keluar dari atas kolom (Gritter, 1991).

Dengan menggunakan cara ini, skala isolasi flavonoida dapat ditingkatkan hampir ke skala industri. Pada dasarnya, cara ini meliputi penempatan campuran flavonoida (berupa larutan) diatas kolom yang berisi serbuk penyerap (seperti selulose, silika, atau poliamida), dilanjutkan dengan elusi beruntun setiap komponen menggunakan pelarut yang cocok. Kolom hanya berupa tabung kaca yang dilengkapi dengan keran pada salah satu ujung. Menempatkan larutan cuplikan pada kolom sedemikian rupa sehingga terbentuk pita yang siap dielusi lebih lanjut (Markham, 1988).

Pengisian kolom harus dikerjakan seragam, setelah adsorben dimasukkan dapat diseragamkan kerapatannya dalam kolom dengan menggunakan vibrator. Selain itu dapat juga dikerjakan dengan memasukkan adsorben dalam bentuk larutan dan


(38)

partikelnya dibiarkan mengendap. Pengisian kolom yang tidak seragam dapat menghasilkan rongga-rongga ditengah-tengah kolom. Pada bagian bawah dan atas dari isian kolom diberi wool untuk menyangga isian. Bila kolom telah diisi bahan isian permukaan cairan tidak boleh dibiarkan turun dibawah permukaan bahan isian bagian atas, karena akan memberikan peluang masuknya gelembung-gelembung udara masuk kedalam kolom ( Hosttetman, 1995).

2.3.2.4. Kromatografi Kertas

Kromatografi kertas pertama sekali dikembangkan di pertengahan abad ke 19 dan kemudian digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Meskipun dalam beberapa tahun metode pemisahan ini digantikan dengan teknik kromatografi lapisan tipis. Fase gerak dalam kromatografi kertas terdiri dari selulosa. Mekanisme terhadap pemisahan melibatkan penyerapan pada zat terlarut pada selulosa dan pemisahan pada zat terlarut antara fase oganik bergerak dan air dalam kertas. (Landgrebe, 1982).

Pada kromatografi kertas, fase diam berupa zat cair, basanya air yang tersuspensi pada serat dari selembar kertas saring bermutu tinggi. Kertas yang digunakan harus digantungkan pada kaitan dalam bejana karena kertas tidak memiliki penyangga. Jika fase gerak dan fase diam telah dipilih secara tepat, bercak cuplikan awal akan dipisahkan menjadi sederet bercak, masing-masing bercak diharapkan merupakan komponen tunggal dari campuran. Kromatografi biasanya dilakukan didalam bejana yang telah dijenuhkan sejenuh mungkin dengan fase gerak. Jika tidak berwarna , bercak itu harus ditampakkan dengan menyemprotkannya memakai pereaksi pembentuk warna yang cocok atau menyinari lapisan memakai sinar ultraviolet (Gritter, 1991).


(39)

2.3.3.5. Harga Rf (Reterdation Factor)

Mengidentifikasi noda-noda dalam lapisan tipis lazim menggunakan harga Rf yang diidentifikasikan sebagai perbandingan antara jarak perambatan suatu zat dengan jarak perambatan pelarut yang dihitung dari titik penotolan pelarut zat. Jarak yang ditempuh oleh tiap bercak dari titik penotolan diukur dari pusat bercak. Untuk mengidentifikasi suatu senyawa, maka harga Rf senyawa tersebut dapat dibandingkan dengan harga Rf senyawa pembanding.

Jarak perambatan bercak dari titik penotolan Rf =

Jarak perambatan pelarut dari titik penotolan

Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan noda dalam kromatografi lapis tipis yang juga mempengauhi harga Rf :

1. Struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan 2. Sifat dari penyerap dan derajat aktivasi 3. Tebal kerataan dari lapisan penyerap 4. Pelarut dan derajat kemurnian fase gerak 5. Derajat kejenuhan dari uap

6. Jumlah cuplikan yang digunakan 7. Suhu

8. Kesetimbangan

9. Teknik percobaan ( Sastrohamidjojo, 1985)

2.4. Teknik Spektroskopi

Spektroskopi adalah studi mengenai interaksi cahaya dengan atom dan molekul. Radiasi cahaya atau elektromagnet dapat menyerupai gelombang. Beberapa sifat fisika cahaya paling baik diterangkan dengan ciri gelombangnya, sedangkan sifat lain diterangkan dengan sifat partikel (Creswell, 1982).


(40)

Teknik spektroskopi adalah salah satu teknik analisis kimia–fisika yang mengamati tentang interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik. Ada dua macam instrumen pada teknik spektroskopi yaitu spektrometer dan spektrofotometer. Instrumen yang memakai monokromator celah tetap pada bidang fokus disebut sebagai spektrometer. Apabila spektrometer tersebut dilengkapi dengan detektor yang bersifat fotoelektrik maka disebut spektrofotometer (Muldja, 1955).

Informasi Spektroskopi Inframerah menunjukkan tipe – tipe dari adanya gugus fungsi dalam satu molekul dan Resonansi Magnetik Inti yang memberikan informasi tentang bilangan dari setiap tipe dari atom hidrogen dan juga memberikan informasi yang menyatakan tentang lingkungan dari setiap tipe dari atom hidrogen. Kombinasinya dan data yang ada kadang–kadang menentukan struktur yang lengkap dari molekul yang tidak diketahui (Pavia, 1979).

2.4.1. Spektrometri Ultra violet

Serapan molekul di dalam derah ultra violet dan terlihat dari spektrum bergantung pada struktur ultra elektronik dari molekul. Penyerapan sejumlah energi, menghasilkan percepatan dari elektron dalam orbital tingkat dasar ke orbital yang berenergi lebih tinggi di dalam keadaan tereskitasi. Dalam prakteknya spektometri ultraviolet utnuk sebagian besar dibatasi oleh sistem terkonjugasi. Suatu spetrum ultraviolet diperoleh secara langsung dari suatu alat sederhana memetakan panjang gelombang dari suatu serapan terhadap intesitas serapan (Silverstain, 1984).

Spektrum Flavonoida biasanya ditentukan dalam larutan dengan pelarut Metanol (MeOH) atau Etanol (EtOH). Spektrum khas terdiri atas dua maksima pada rentang 240-285 nm (pita II) dan 300-550 nm (pita I). Kedudukan yang tepat dan kekuatan nisbi maksima tersebut memberikan informasi yang berharga mengenai sifat flavonoida dan pola oksigenasinya. Ciri khas spektrum tersebut ialah kekuatan nisbi yang rendah pada pita I dalam dihidroflavon, dihidroflavonol, dan isoflavon serta


(41)

kedudukan pita I pada spektrum khalkon, auron dan antosianin yang terdapat pada panjang gelombang yang tinggi.

Tabel 2. Rentangan serapan spektrum UV-Visibel golongan flavonoida Pita II (nm) Pita I (nm) Jenis flavonoida

250-280 250-280 250-280 245-275 275-295 230-270 (Kekuatan rendah) 230-270 (Kekuatan rendah) 270-280 310-350 330-360 350-385 310-330 bahu kira-kira 320 puncak 300-330 bahu

340-390

380-430

465-460

Flavon

Flavonol (3-OH tersubstitusi) Flavonol (3-OH bebas) Isoflavon

Isoflavon(5-deoksi-6,7-deoksigenasi) Flavonon dan dihidroflavonol

Khalkon

Auron

Antosianidin dan antosianin

(Markham,1988).

2.4.2. Spektrofotometri infra merah (FT-IR)

Spektrum inframerah suatu molekul adalah hasil transisi antara tingkat energi getaran yang berlainan. Pancaran inframerah yang kerapatannya kurang dari 100 cm-1 (panjang gelombang lebih daripada 100 µm) diserap oleh sebuah molekul organik dan diubah menjadi putaran energi molekul. Penyerapan ini tercantum, namun spektrum getaran terlihat bukan sebagai garis – garis melainkan berupa pita – pita. Hal ini disebabkan perubahan energi getaran tunggal selalu disertai sejumlah perubahan energi putaran. Kerapatan atau panjang gelombang penyerapan bergantung pada massa nisbi, tetapan gaya ikatan dan geometri.


(42)

Bila sinar inframerah dilewatkan melalui cuplikan senyawa organik, maka sejumlah frekuensi diserap sedangkan frekuensi yang lain diteruskan atau ditransmisikan tanpa diserap. Ikatan-ikatan yang berbeda (C-C, C=C,C-O, C=O, O-H, N-H) mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda dan kita dapat mendeteksi danya ikatan tersebut dalam molekul organik dengan mengidentifikasi frekuensi-frekuensi karakteristiknya sebagai pita serapan dalam spektrum inframerah. (Noerdin, D. 1985)

Untuk menafsirkan sebuah spektrum infra-merah tidak terdapat aturan yang pasti. Akan tetapi, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum mencoba menafsirkan sebuah spektrum yaitu:

a. Spektrum haruslah cukup terpisah dan mempunyai kuat puncak yang memadai.

b. Spektrum harus dibuat dari senyawa yang cukup murni.

c. Spektrofotometer harus dikalibrasi sehingga pita akan teramati pada panjang gelombang yang semestinya.

d. Metode penanganan cuplikan harus ditentukan.

Jika menggunakan pelarut, maka macam dan konsentrasi pelarut serta tebal sel harus disebutkan juga (Silverstein, 1986).

Dalam molekul sederhana beratom dua atau beratom tiga tidak sukar untuk menentukan jumlah dan jenis vibrasinya dan menghubungkan vibrasi-vibrasi tersebut dengan energi serapan. Tetapi untuk molekul-molekul beratom banyak, analisis jumlah dan jenis vibrasi itu menjadi sukar sekali atau tidak mungkin sama sekali, karena bukan saja disebabkan besarnya jumlah pusat – pusat vibrasi, melainkan karena juga harus diperhitungkan terjadinya saling mempengaruhi (inter-aksi) beberapa pusat vibrasi.


(43)

Vibrasi molekul dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu vibrasi regang dan vibrasi lentur.

1. Vibrasi regang

Di sini terjadi terus menerus perubahan jarak antara dua atom di didalam suatu molekul. Vibrasi regang ini ada dua macam yaitu vibrasi regang simetris dan tak simetri.

2.Vibrasi lentur

Di sini terjadi perubahan sudut antara dua ikatan kimia. Ada empat macam vibrasi lentur yaitu vibrasi lentur dalam bidang yang dapat berupa vibrasi scissoring atau vibrasi rocking dan vibrasi keluar bidang yang dapat berupa waging atau berupa twisting (Noerdin, 1985).

2.4.3. Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR)

Spektrometri Resonansi Magnetik Inti (Nuclear Magnetic Resonance, NMR) merupakan alat yang berguna pada penentuan struktur molekul organik. Teknik ini memberikan informasi mengenai berbagai jenis atom hidrogen dalam molekul.. Struktur NMR memberikan informasi mengenai lingkungan kimia atom hidrogen, jumlah atom hidrogen dalam setiap lingkungan dan struktur gugusan yang berdekatan dengan setiap atom hidroge (Cresswell, 1982).

Pergeseran kimia adalah pengukuran medan dalam keadaan bebas. Semua proton-proton dalam satu molekul yang ada dalam lingkungan kimia yang serupa kadang-kadang menunjukkan pergeseran kimia yang sama. Setiap senyawa memberikan penaikan menjadi puncak absorbsi tunggal dalam spektrum NMR. Di dalam medan magnet, perputaran elektron-elektron valensi dari proton menghasilkan medan magnet yang melawan medan magnet yang digunakan. Hingga setiap proton dalam molekul dilindungi dari medan magnet yang digunakan dan bahwa besarnya perlindungan ini tergantung pada kerapatan elektron yang mengelilinginya. Makin besar kerapatan elektron yang mengelilingi inti, maka makin besar pula medan yang dihasilkan yang melawan medan yang digunakan (Bernasconi,1995).


(44)

Senyawa yang paling lazim dan paling berguna dipakai sebagai acuan adalah tetrametilsilana (TMS). Beberapa keuntungan dari pemakaian standar internal TMS yaitu :

1. TMS mempunyai 12 proton yang setara sehingga akan memberikan spektrum puncak tunggal yang kuat.

CH3

CH3 Si CH3

CH3

2. TMS merupakan cairan yang mudah menguap, dapat ditambahkan kedalam larutan sampel dalam pelarut CDCl3 atau CCl4. (Silverstein, 1986)

Pada spektrometri RMI integrasi sangat penting. Harga integrasi menunjukkan daerah atau luas puncak dari tiap – tiap proton . Sedangkan luas daerah atau luas puncak tersebut sesuai dengan jumlah proton. Dengan demikian perbandingan tiap integrasi proton sama dengan perbandingan jumlah proton dalam molekul. (Muldja,1995).


(45)

BAB 3

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Alat-Alat

1. Kolom Kromatografi

2. Neraca analitis Mettler PM 480

3. Rotari evaporator Buchi B-480

4. Labu alas 500 ml Pyrex

5. Alat destilasi 6. Plat tetes

7. Corong pisah 500 ml Pyrex

8. Gelas ukur 25 ml Pyrex

50ml Pyrex

9. Gelas beaker 250 ml Pyrex

500ml Pyrex

10.Gelas erlenmeyer 250 ml Pyrex

11.Pipa kapiler 12.Pipet tetes

13.Tabung reaksi Pyrex

14.Spatula 15.Botol vial

16.Bejana KLT preparatif

17.Lampu UV 254 nm 18.Water bath

19.Oven 20.Ekstraktor


(46)

22.Spektrofotometer UV

23.Spektrometer 1H-NMR Delta2_NMR

3.2. Bahan

1. Daun tumbuhan iler (Coleus atropurpureus Benth)

2. Etil asetat Teknis

3. Kloroform p.a Merck

4. Metanol Destilasi

5. HCl 6%

6. Plat KLT Silika gel 60 F254 untuk plat E.Merck.Art 554 7. Plat KLT Preparatif

8. N-heksana Teknis

9. FeCl3 5 % 10.H2SO4(p) 11.NaOH 10% 12.Mg-HCl 13.Akuades

14.Silika gel 40 (70-230 mesh) ASTM E.Merck. KGaA

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Penyediaan Sampel

Sampel yang diteliti adalah daun tumbuhan iler yang diperoleh dari daerah Saribudolok kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Daun tumbuhan iler dikeringkan di udara terbuka, lalu dihaluskan sampai diperoleh serbuk daun tumbuhan iler sebanyak 700 g.


(47)

3.3.2. Uji Pendahuluan Terhadap Ekstrak Tumbuhan Iler

Serbuk daun tumbuhan iler diidentifikasi dengan menggunakan cara: 1. Uji busa

2. Skrining fitokimia

3. Analisis Kromatografi Lapis Tipis

3.3.2.1. Uji Busa

Ekstrak metanol daun tumbuhan iler sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambah 10 ml akuades. Lalu dikocok–kocok dengan kuat hingga terbentuk busa dan didiamkan selama 5 menit. Ternyata busa didalam sampel tidak hilang ini yang membuktikan bahwa di dalam daun tumbuhan iler terdapat senyawa glikosida.

3.3.2.2. Skrining Fitokimia

Untuk membuktikan adanya senyawa flavonoida yang terdapat dalam daun tumbuhan iler (Coleus atropurpureus Benth) maka dilakukan uji pendahuluan secara kualitatif dengan reaksi warna sebagai berikut :

Prosedur :

- Dimasukkan 10 gram serbuk tumbuhan iler (Coleus atropurpureus Benth.) yang telah dikeringkan dan dipotong-potong kecil ke dalam erlenmeyer

- Ditambahkan metanol 100 ml - Didiamkan selama 1 malam - Disaring

- Dibagi ekstrak metanol ke dalam 4 tabung reaksi - Ditambahkan masing-masing pereaksi


(48)

a. Tabung I : dengan HCl 5% menghasilkan larutan berwarna hitam b. Tabung II : dengan H2SO4(p) menghasilkan larutaan orange kekuningan c. Tabung III : dengan Mg-HCl menghasilkan larutan berwarna merah muda d. Tabung IV : dengan NaOH 10% menghasilkan larutan berwarna biru violet

3.3.2.3. Analisis Kromatografi lapis Tipis (KLT)

Analisis Kromatografi Lapis Tipis dilakukan terhadap ekstrak klorofom dengan menggunakan fasa diam silika gel 60F254. Analisis ini dimaksudkan untuk mencari pelarut yang sesuai didalam analisis kromatografi kolom. Pelarut yang digunakan adalah campuran pelarut n-heksana : etil asetat (90:10 ; 80:20 ; 70:30 ; 60:40) v/v, sehingga diperoleh perbandingan pelarut n-heksana : etil asetat yang sesuai untuk kromatografi kolom. Pelarut yang digunakan berdasarkan pada jumlah bercak atau noda yang terpisah dengan baik dalam kromatografi lapis tipis.

Prosedur analisis kromatografi lapis tipis :

Kedalam bejana kromatografi lapis tipis dimasukkan larutan fase gerak yaitu campuran n-heksana : etil asetat dengan campuran (90:10 ; 80:20 ; 70-30 ; 60:40) v/v. Kemudian ekstrak klorofom ditotolkan pada plat KLT. Lalu plat dimasukkan kedalam bejana yang berisi pelarut yang dijenuhkan. Setelah dielusi, dikeluarkan dari bejana dan dikeringkan. Noda terbentuk diamati dengan sinar ultraviolet dan difiksasi dengan pereaksi FeCl3 5%. Kemudian dihitung dan dicatat harga Rf. Yang memberikan pemisahan bercak noda yang baik adalah perbandingan pelarut n-heksana : etil asetat (70:30) v/v yang memberikan empat noda dengan harga Rf yaitu 0,6; 0,52; 0,48; dan 0,32.

3.3.3. Prosedur Untuk Memperoleh Senyawa Kimia dari Ekstrak daun tumbuhan iler

Serbuk daun tumbuhan iler ditimbang sebanyak 700 g, dimasukkan ke dalam bejana dan ditambahkan dengan pelarut metanol sampai semua sampel terendam oleh pelarut


(49)

dan dibiarkan selama 72 jam dan sesekali diaduk. Maserat disaring dan diperoleh ekstrak berwarna hijau tua. Maserasi dilakukan berulang kali dengan menggunakan pelarut metanol sampai ekstrak metanol yang diperoleh memberikan hasil uji yang negatif pada pereaksi untuk identifikasi senyawa flavonoida. Ekstrak metanol yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan dengan menggunakan alat rotarievaporator pada suhu 600C sehingga diperoleh ekstrak pekat metanol, kemudian diekstraksi partisi dengan menggunakan pelarut n-heksana, sehingga terbentuk lapisan n-heksana dan lapisan metanol. Fraksi metanol ditampung dan dipekatkan kemudian dihidrolisa dengan HCl 6%. Kemudian disaring dan filtrat tersebut diekstraksi partisi dengan klorofom secara berulang-ulang. Ekstrak klorofom dipekatkan dengan menggunakan alat rotarievaporator sehingga diperoleh ekstrak pekat klorofom sebanyak 2 gram

3.3.4. Isolasi Senyawa Flavonoida dengan Kromatografi Kolom

Isolasi senyawa flavonoida secara kromatografi kolom dilakukan terhadap ekstrak pekat klorofom daun tumbuhan iler yang telah diperoleh. Fasa diam yang digunakan adalah silika gel 40 (70-230 mesh) ASTM dan fasa gerak yaitu n-heksana 100% dan campuran pelarut n-heksana : etil asetat (90 : 10 ; 80 : 20 ; 70 : 30 ; 60 : 40)v/v.

Prosedur isolasi senyawa flavonoida dengan kromatografi kolom :

Dirangkai seperangkat alat kolom kromatografi. Terlebih dahulu dibuburkan silika gel 40 (70-230 mesh) ASTM dengan menggunakan n-heksana, diaduk-aduk hingga homogen lalu dimasukkan ke dalam kolom kromatografi. Kemudian dielusi dengan menggunakan n-heksan 100% hingga silika gel padat dan homogen. Dimasukkan 2 g ekstrak klorofom daun tumbuhan iler ke dalam kolom kromatografi yang telah berisi bubur silika gel di puncak kolom, lalu ditambahkan fasa gerak n-heksana-etil asetat mulai dari (90:10)v/v; (80:20)v/v; (70:30)v/v; (60:40)v/v, secara perlahan–lahan, dan diatur sehingga aliran fasa yang keluar dari kolom sama banyaknya dengan penambahan fasa gerak dari atas kolom. Hasil yang diperoleh ditampung dalam botol vial setiap 10 ml, lalu di KLT dan digabung fraksi dengan harga Rf yang sama. Setelah itu diuji flavonoida dan diuapkan pelarutnya.


(50)

3.3.5. Pemurnian

Senyawa yang diperoleh dari hasil isolasi kromatografi kolom pada perbandingan (70:30)v/v dari fraksi 113-140 dilakukan pemurnian senyawa. dengan cara KLT preparatif

Prosedur;

Senyawa hasil isolasi dipreparatif dengan menggunakan KLT preparatif. Senyawa tersebut ditotolkan dengan menggunakan pipa kapiler ke plat preparatif pada batas bawah dengan jarak 2 cm, kemudian dimasukkan kedalam chamber untuk dielusi dengan menggunakan perbandingan campuran eluen n-heksana : etil asetat.. Dielusi ± 2 jam, kemudian dikeringkan plat dan dilihat kenaikan noda dibawah lampu UV dengan panjang gelombang lampu yang berbeda, dilakukan penggerusan dan diambil senyawa dengan jarak noda yang sama, dilakukan pelarutan dengan metanol, dan ditampung kembali senyawa murni tersebut.

3.3.6. Uji Kemurnian Hasil Isolasi dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Uji kemurnian senyawa hasil isolasi dilakukan dengan kromatografi lapis tipis dengan menggunakan fasa diam silika gel 60 F254 dengan fasa gerak n-heksana : etil asetat (70:30) v/v.

Prosedur uji kemurnian hasil isolasi dengan kromatografi lapis tipis :

Dimasukkan 10 ml larutan fasa gerak n-heksana : etil asetat ke dalam bejana kromatografi , lalu dijenuhkan. Ditotolkan kristal yang sebelumnya dilarutkan dengan klorofom pada plat KLT. Dimasukkan plat KLT tersebut ke dalam bejana kromatografi yang telah jenuh. Setelah pelarut fasa gerak merembes sampai batas atas, plat KLT dikeluarkan dari bejana, dikeringkan. Harga Rf yang dihasilkan adalah 0,4. Kemudian difikasasi dengan menggunakan pereaksi FeCl3 5 % menghasilkan bercak berwarna hitam dan NaOH 10 % menghasilkan warna biru violet sehingga menunjukkan adanya senyawa flavonoida.


(51)

3.3.7. Analisis Spektroskopi Senyawa Hasil Isolasi

3.3.7.1. Analisis Senyawa Hasil Isolasi Dengan Spektrofotometer UV-Visible Analisis Spektrofotometer UV-Visible dilakukan di Pusat Penelitian Kimia LIPI, Serpong-Tangerang. (Lampiran E)

3.3.7.2. Analisis Senyawa Hasil Isolasi Dengan Spektrofotometer Inframerah

Analisis dengan Spektrofotometer FT-IR dilakukan di Pusat Penelitian Kimia LIPI, Serpong-Tangerang. (Lampiran G)

3.3.7.2. Analisis senyawa Hasil Isolasi Dengan Spektrofotometer Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR)

Analisis dengan Spektrofotometer Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR) dilakukan di Pusat Penelitian Kimia-LIPI, Serpong-Tangerang dengan menggunakan klorofom sebagai pelarut. (Lampiran H)


(52)

3.4. Bagan Skrining Fitokimia

diekstraksi maserasi dengan metanol

disaring

ditambahkan ditambahkan ditambahkan ditambahkan

pereaksi FeCl3 pereaksi NaOH pereaksi pereaksi 5% 10% Mg-HCl H2SO4(p)

warna

Larutan

biru violet

Larutan merah muda

Larutan orange kekuningan Larutan

hitam

10 g serbuk daun tumbuhan iler


(53)

BAGAN PENELITIAN

→ dimaserasi dengan metanol selama ± 72jam → diulangi sebanyak 3 kali

→ disaring

→ diskrining fitokimia

→ dipekatkan dengan rotarievaporator → diekstraksi partisi dengan n-heksana

→ dipekatkan dengan rotarievaporator

→ dihidrolisa dengan HCl 6 % sambil dipanaskan selama ± 40 menit → didinginkan

→ disaring

→ diekstraksi partisi dengan klorofom sebanyak 3 kali

→ dipekatkan dengan rotarievaporator → diskrining fitokimia

→ diuji KLT dengan eluen n-heksana:etil asetat (90:10;80:20;70:30;60:40)v/v → dikolom kromatografi dengan fase diam silika gel dan

Fase gerak (eluen) n-heksan : etil asetat (70:30)v/v → ditampung setiap fraksi sebanyak 10 ml dalam botol vial

→ di KLT

→ digabung fraksi dengan Rf yang sama

→ diuji FeCl3 1% →diuji FeCl3 1% → diuji FeCl3 1% →diuji FeCl3

→ dipreparatif dengan eluent n-heksan:etil Asetat (140:60)v/v (total 200 ml

berdasarkan batas bawah plat sebesar 2cm dengan maksimal volume 200 ml

→ dikeringkan

digerus dari plat dengan menggunakan spatula dilarutkan dengan metanol

→ dianalisis KLT

→ dianalisis dengan Spektrofotometer UV- Visible, spekrofotometer FT-IR,

spektrofotometer 1H-NMR Ekstak metanol

Residu

Ekstrak pekat metanol

Lapisan n-heksana ( tidak dilanjutkan) Lapisan metanol

Ekstrak metanol-asam

700 gram serbuk daun iler ( Coleus atropurpureus Benth )

Residu Ekstrak klorofom

Ektrak pekat klorofom

Lapisan metanol-asam

Hasil positif

Fraksi 117-127 Fraksi 128-157 Fraksi 168-175 Fraksi 101-116

Hasil positif Hasil positif Hasil negatif

Senyawa murni


(54)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Dari hasil skrining pendahuluan terhadap ekstrak dari daun tumbuhan iler dengan adanya penambahan pereaksi-pereaksi warna untuk menentukan golongan senyawa kimia yang dikandung dengan menggunakan pereaksi flavonoida yakni:

1. H2SO4(p) memberikan warna orange kekuningan 2. NaOH 10 % memberikan warna biru violet 3. FeCl3 5 % memberikan warna hitam 4. Mg–HCl memberikan warna merah muda

Hasil Isolasi senyawa flavonoida dari daun tumbuhan iler (Coleus atropurpureus Benth.) diperoleh dengan menggunakan fase gerak n-heksana : etil asetat (70/30)v/v yang menghasilkan senyawa berwarna kuning kecoklatan berbentuk pasta sebanyak 16,6 mg.

Dari hasil analisis Spektrofotometer ultra violet visible (UV – Visible) memberikan panjang gelombang maksimum ( λ maks ) 253,5 nm (Lampiran E). .

Hasil analisis Spektrofotometer infra merah (FT-IR) dari senyawa hasil isolasi memberikan pita-pita serapan pada daerah bilangan gelombang (cm-1) sebagai berikut (Lampiran G) :

1. Pada bilangan gelombang 3483,44 cm-1 – 3250 cm-1 puncak melebar menunjukkan adanya vibrasi ikatan ulur (streching) –OH


(55)

2. Pada bilangan gelombang 2929,87 cm-1 – 2873,94 cm-1 puncak tajam menunjukkan adanya vibrasi ulur (stretching) C-H.

3. Pada bilangan gelombang 1707,00 cm-1 puncak tajam menunjukkan adanya vibrasi ikatan rangkap C=O dari keton

4. Pada bilangan gelombang yang terdapat pada daerah 1645,28 cm-1 – 1612,49 cm-1 puncak melebar menunjukkan adanya ikatan rangkap C=C dari sistem aromatik dan alifatik

5. Pada bilangan gelombang 1448,54 cm-1 puncak sedang menunjukkan adanya vibrasi regang (bending) CH2

6. Pada bilangan gelombang 1371,39 cm-1 puncak sedang menunjukkan adanya vibrasi ulur (stretch) –CH3 (Pavia, 1979)

7. Pada bilangan gelombang 1259,52 cm-1 puncak sedang menunjukkan adanya vibrasi OH pengibasan dan uluran C-O

8. Pada bilangan gelombang 1199,72 cm-1 - 1170,79 cm-1 puncak melebar menunjukkan adanya vibrasi ulur (stretch) dari C-O dan juga pada bilangan gelombang 1089,78 cm-1 - 1041,56 cm-1 menunjukkan adanya serapan vibrasi C-O-C simetrik

9. Pada bilangan gelombang 966,34 cm-1 dengan puncak sedang menunjukkan adanya vibrasi C-H dari benzen

10.Pada bilangan gelombang 902,69 cm-1 puncak lemah menunjukkan adanya vibrasi -C=CH dari cincin aromatik

11.Pada bilangan gelombang 680,87 cm-1 puncak lemah menunjukkan adanya vibrasi –CH pada cincin aromatik.

Hasil analisis spektrofotometer Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR) memberikan pergeseran kimia pada daerah (ppm) sebagai berikut (Lampiran H) :

1. Pergeseran kimia pada daerah δ=6,5 ppm puncak singlet menunjukkan proton-proton yang terdapat pada cincin A yaitu pada H6 dan H8


(56)

2. Pergeseran kimia pada daerah δ=7,56 ppm dengan puncak singlet

menunjukkan proton pada H2 yang terdapat pada cincin C 3. Pergeseran kimia pada daerah δ= 6,94-6,95 ppm dengan puncak doublet

menunjukkan proton C-CH=CH-C pada posisi H2΄ dan H6΄ dari cincin B

4. Pergeseran kimia pada daerah δ= 7,67-7,68 ppm dengan puncak doublet menunjukkan proton C-CH=CH-C pada posisi H3΄ dan H5΄ dari cincin B

5. Pergeseran kimia pada daerah δ=9,5 ppm dan δ=10,0 ppm dengan puncak singlet menunjukkan proton pada OH yang letaknya belum dapat dipastikan dan pergeseran kimia pada daerah δ=13,01 ppm dengan puncak singlet menunjukkan proton –OH pada atom C5 cincin A pada struktur isoflavonoida ( Scutz, B.A, 1995).

4.2. Pembahasan

Dari hasil kromatografi lapis tipis, diketahui bahwa perbandingan pelarut yang baik untuk mengisolasi senyawa flavonoida dari daun tumuhan iler adalah n-heksana : etil asetat (70:30v/v) yang menunjukkan pemisahan yang lebih baik dari noda yang dihasilkan. Hal ini juga dibuktikan dengan analisis KLT yang menunjukkan hanya satu noda tunggal pada senyawa yang dihasilkan.

Berdasarkan spektrum UV-Visible dari senyawa flavonoida yang diisolasi, memberikan panjang gelombang maksimum ( λ maks ) 253,5 nm. Dengan pelarut metanol sedangkan dari literatur panjang gelombang maksimum 245-275 nm yaitu senyawa flavonoid dengan jenis isoflavonoida ( Markham, 1988)

Dari hasil interpretasi Spektrum Infra Merah dan spectrum Resonansi Magnetik Inti proton (1HNMR), senyawa hasil isolasi dengan menggunakan pelarut klorofom diperoleh sebagai berikut:

1. Pergeseran kimia pada daerah δ=6,5 ppm puncak singlet menunjukkan proton-proton yang terdapat pada cincin A yaitu pada H6 dan H8


(57)

Hal ini didukung oleh spektrum inframerah pada bilangan gelombang 2929,87 cm-1–2873,94 cm-1 puncak tajam menunjukkan adanya vibrasi ulur (stretching) C-H. Didukung juga pada bilangan gelombang 1448,54 cm-1 dengan puncak sedang menunjukkan adanya vibrasi regang (bending) CH2,. Bilangan gelombang 1371,39 cm-1 puncak sedang menunjukkan adanya vibrasi ulur (stretch) –CH3.. Pada bilangan gelombang 966,34 cm-1 dengan puncak sedang menunjukkan adanya vibrasi C-H dari benzene. Didukung juga oleh adanya vibrasi –CH pada cincin aromatik dengan bilangan gelombang 680,87 cm-1 2. Pergeseran kimia pada daerah δ=7,6 ppm dengan puncak singlet menunjukkan

proton pada H2 yang terdapat pada cincin C. Hal ini didukung adanya vibrasi ulur (stretch) dari C-O pada bilangan

gelombang 1199,72 cm-1 - 1170,79 cm-1 dan juga pada bilangan gelombang 1089,78 cm-1 - 1041,56 cm-1 menunjukkan adanya serapan vibrasi C-O-C simetrik

3. Pergeseran kimia pada daerah δ= 6,94-6,95 ppm dengan puncak doublet menunjukkan proton C-HC=CH-C pada posisi Hdan H6΄ dari cincin B dan Pergeseran kimia pada daerah δ= 7,67-7,68 ppm dengan puncak doublet menunjukkan proton C-CH=CH-C pada posisi H3΄ dan H5΄ dari cincin B

Hal ini didukung oleh adanya spektrum inframerah pada bilangan gelombang 1645,28 cm-1 - 1612,49 cm-1 menunjukkan adanya ikatan rangkap C=C dari sistem aromatic. Pada bilangan gelombang 902,69 cm-1 puncak lemah menunjukkan adanya vibrasi -C=CH dari cincin aromatic.

4. Pergeseran kimia pada daerah δ=9,5 dan δ=10,0 dengan puncak singlet menunjukkan proton pada OH yang belum diketahui letaknya dan δ=13,01 ppm dengan puncak singlet menunjukkan proton –OH pada atom C5 cincin A pada struktur isoflavonoida. Hal ini didukung oleh adanya spektrum inframerah pada bilangan gelombang 3483,44 cm-1 – 3250 cm-1 puncak melebar menunjukkan adanya serapan ikatan OH dan juga adanya serapan vibrasi OH pengibasan pada bilangan gelombang 1259,52 cm-1


(58)

Dari data spektrum UV-Visible, FT-IR, dan 1H-NMR dapat disimpulkan bahwa kemungkinan senyawa hasil isolasi adalah senyawa isoflavonoida dengan kerangka struktur sebagai berikut:

O

A C

B 1

2

3

4 5

6 7

8 9

10 1'

2' 3'

4'

5' 6'

OH O


(59)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Dari hasil uji skrining fitokimia dengan pereaksi flavonoida menunjukkan bahwa Daun Tumbuhan Iler (Coleus atropurpureus Benth.) mengandung senyawa flavonoida. Isolasi senyawa flavonoida dari daun tumbuhan iler (Coleus atropurpureus Benth.) yang diekstraksi dengan menggunakan pelarut klorofom menghasilkan pasta berwarna kuning kecoklatan sebanyak 16,6 mg

2. Dari data analisis spektrum UV-Vissible, spektroskopi Infra Merah (FT-IR) dan spektroskopi Magnetik Inti Proton (1H-NMR) menunjukkan bahwa senyawa hasil isolasi adalah senyawa golongan isoflavonoida

5.2 Saran

1. Untuk lebih mendukung struktur senyawa flavonoida senyawa hasil isolasi maka sebaiknya perlu dilakukan analisis spektroskopi karbon (13C-NMR) dan Spektroskopi Massa (MS)


(60)

DAFTAR PUSTAKA

Amitjitraresmu, 1995. Uji Efek Anti Inflamasi Berbagai Ekstrak Daun Iler ( Coleus atropurpureus, Benth.) dan Penelusuran Senyawa aktifnya. FMIPA UNPAD.Bandung.

Bernasconi, G. 1995. Tegnologi Kimia. Jilid 2. Edisi Pertama. Pradaya Pratama. Jakarta.

Budiman, 1996. Ujian Efek Sedatif Dari Ekstrak Etil Asetat Tumbuhan Iler Dengan Metode Depresan. FMIPA UNPAD. Bandung.

Creswell, C.J. 1981. Oraganik Analisis Spektrum Senyawa. Edisi Kedua. Penerbit ITB. Bandung

Dalimartha, S. 1996. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan. Lembaga Biologi Nasional-LIPI. Jakarta

Gritter, R.J. 1991. Pengantar Kromatografi. Terbitan Kedua. Terjemahan Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung

Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. Terbitan kedua. Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Penerbit ITB. Bandung

Herbert, R.B. 1989. Biosintesis Metabolit Sekunder. Edisi Kedua. Cetakan Pertama. IKIP Press. Semarang

Hostettman, K. 1995. Cara Kromatografi Preparatif “Penggunaan pada Isolasi Senyawa Alam”.. Penerbit ITB. Bandung


(61)

Intansari, 1988. Uji Kromatografi Lapis Tipis dan Daya Anthelmentik Ekstrak Etanol 70% Daun Iler (Coleus Scutellarioides (L.) Benth) Terhadap Ascaris Suum Secara Invitro. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Khopkar, S.M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Terjemahan A. Saptorahardjo. UI-Press. Jakarta.

Landgrebe, J.A. 1982. Theory and Practice in the Organic Laboratory. Third Edition. D.C. Heath and Company. New York.

Ledina, L. 1995. Isolasi Senyawa Steroid Dari Ekstrak Metanol Tumbuhan Iler (Coleus atropurpureus Benth.). FMIPA USU. Medan

Mabry, T. J. and Markham, K. R. 1970. The Systematic Identification Of Flavonoids. Springer-Verlag. New York.

Manitto, P. 1992. Biosintesis Produk Alami. Cetakan Pertama. Terjemahan Koensoemardiyah. IKIP Press. Bandung.

Markham, K. R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoida. Terjemahan Kosasi. Padmawinata.: ITB Press. Bandung

Muldja, M.H. 1995. Analisis Instrumental. Cetakan Pertama. Universitas Airlangga Press. Surabaya

Noerdin, D. 1985. Elusidasi Struktur Senyawa Organik Dengan Cara Spektroskopi Ultralembayung dan Inframerah. Penerbit Angkasa. Bandung.

Pavia, L.D. 1970. Introduction to Spectrocopy a Guide for Students of Organic Chemistry. Sounders Collage. Philadelphia.

Robinson, T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi keenam. Terjemahan Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung


(62)

Salisbury, F.B. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Edisi Keempat. Jilid Dua. Penerbit ITB. Bandung

Sastrohamidjojo, H. 1996. Sintesis Bahan Alam. Cetakan Pertama. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Siahaan, Edward. 1995. Isolasi dan identifikasi senyawa aktif ekstrak daun iler (Coleus atropurpureus Benth). Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNPAD. Bandung

Silverstein, R.M. 1984. Penyidikan Spektrometrik Senyawa Organik. Terjemahan A.J. Hatomo dan Any Viktor Purba. Edisi Keempat. Pernerbit Erlangga. Jakarta. Schutz, B.A. 1995. PhytochemistryVolume 40. Departement Of Chemistry. Papua

New Guinea..

Tobing, R.L. 1989. Kimia Bahan Alam. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Proyek Pembangunan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Jakarta

Yazid, E. 2005. Kimia Fisika untuk Paramedis. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Yuniarti, T. 2008. Ensiklopedia Tanaman Obat Tradisional. Cetakan Pertama MedPress. Yogyakarta.


(63)

(64)

Lampiran A. Gambar Daun Tumbuhan Iler (Coleus atropurpureus Benth)


(65)

Lampiran B. Hasil Determinasi Daun Tumbuhan Iler (Coleus atropurpureus


(66)

Lampiran C. Kromatografi Lapis Tipis Ekstrak klorofom daun tumbuhan iler (Coleus atropurpureus Benth.) dengan penampakan noda dibawah

sinar ultraviolet dengan λ = 254 nm.

I II III IV

E E E E

Keterangan :

Fase diam : Silika gel 60 F254

E : Ekstrak klorofom daun tumbuhan iler I : Fase gerak n-heksana : etil asetat (90:10)v/v II : Fase gerak n-heksana : etil asetat (80:20)v/v III : Fase gerak n-heksana : etil asetat (70:30)v/v IV : Fase gerak n-heksana : etil asetat (60:40)v/v

No Fase gerak Jumlah

noda

Warna noda Rf

1 n-heksana : etil saetat (90:10)v/v - - -

2 n-heksana : etil saetat (80:20)v/v 1 Kuning kecoklatan 0,62 3 n-heksana : etil saetat (70:30)v/v 4 Kuning kecoklatan

Kuning kecoklatan Kuning kecoklatan Kuning kecoklatan

0,6 0,52 0,48 0,32 4 n-heksana : etil saetat (60:40)v/v 3 Kuning kecoklatan

Kuning kecoklatan Kuning kecoklatan

0,3 0,26 0,2


(67)

Lampiran D1. Kromatografi Lapis Tipis Senyawa Hasil Isolasi melalui penampakan noda dengan penambahan pereaksi

I II

S S

Keterangan :

Fase diam : Silika gel 60 F254 S : Senyawa hasil isolasi I : FeCl3 1% (warna hitam)

II : NaOH 10 % (warna biru violet)

Data harga Rf dari bercak noda :

No Penampakan bercak Pereaksi Warna noda Rf

1 I FeCl3 Hitam 0,4


(68)

Lampiran D2. Kromatografi Lapisan Tipis Senyawa Hasil Isolasi Melalui Metode 2 Dimensi

Dengan eluen n-heksana : etil asetat (70:30)v/v

Keterangan:

Fase diam : Kieselgel 60 GF (0,063-0,200 mm) E.Merck.Art.7734 Fase gerak : n-heksana : etil asetat (70:30)


(69)

(70)

(71)

(72)

(73)

Lampiran I. Spektrum ekspansi 1H-NMR Senyawa Hasil Isolasi dari pergeseran 4,8-7,8 ppm


(74)

Lampiran J. Spektrum ekspansi 1H-NMR Senyawa Hasil Isolasi dari pergeseran 9,1-13,0 ppm


(75)

(1)

(2)

(3)

(4)

Lampiran I. Spektrum ekspansi 1H-NMR Senyawa Hasil Isolasi dari pergeseran 4,8-7,8 ppm


(5)

Lampiran J. Spektrum ekspansi 1H-NMR Senyawa Hasil Isolasi dari pergeseran 9,1-13,0 ppm


(6)