pidana aborsi provokatus criminalis dalam UU No. 36 Tahun 2009. Dikatakan mendasar, karena tujuan utama para pembentuk UU semula untuk mengadakan
prevensi khusus dan prevensi umum terhadap aborsi provokatus criminalis belum mencapai hasil yang maksimal karena dalam sanksi pidananya tidak ditentukan
batas minimal khusus.
B. Legalisasi Aborsi Terhadap Korban Perkosaan
1.
Terhadap wanita yang diperkosa, kita harus lebih berbelarasa padanya. Kita harus lebih bersimpati dan empati kepadanya, sebab ia menanggung
pendertitaan yang sangat besar, yang seringkali diluar batasnya dan kemampuannya. Oleh karena itu perhatian, pengertian dan kasih sayang dari
keluarga dan orang lain, menjadi sangat penting dalam proses penyembuhan luka batin, psikologis dan fisik wanita yang bersangkutan.
Ketika negara kita terjadi kasus perkosaan masal, banyak orang berteriak supaya undang-undang tentang aborsi diubah, dan kasus perkosaan dimasukkan
sebagai alasan sah untuk melakukan aborsi. Alasan legalisasi aborsi untuk perkosaan ini ada banyak macamnya, terutama yang terkait erat dengan masa
depan wanita yang diperkosa tersebut. Legalisasi Aborsi Terhadap korban Perkosaan Berdasarkan Undang-undang
No. 36 Tahun 2009
Wanita yang diperkosa mengalami penderitaan luar dalam, baik secara fisik, maupun secara psikis. Kejadian perkosaan itu sendiri meninggalkan trauma
yang sangat mendalam. Adalah tidak fair untuk memberi beban tambahan dengan lahirnya anak hasil perkosaan tersebut. Apalagi dalam kasus ini, wanita jelas tidak
diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya, Karena dia tidak mengiginkan
Universitas Sumatera Utara
sama sekali dia diperkosa dan hamil. Ia tidak mempunyai pilihan, karena dipaksa menjadi objek nafsu bejat silelaki. Oleh karena itu, supaya wanita bisa hidup
tenang dan bahagia selanjutnya, maka anak hasil perkosaan itu harus dihilangkan. Apabila ditelusuri prilaku aborsi berkaitan erat dengan posisi wanita yang
cenderung sering menjadi korban dari prilaku kekerasan sesksual, baik di kalangan keluarga, atau orang-orang dekat mereka. Pelecehan seksual dan
perkosaan merupakan salah satu dorongan mengapa seorang wanita melakukan aborsi. Khusus terhadap tindakan aborsi yang terjadi karena perkosaan, hampir
dipastikan bahwa wanita dan keluarganya tidak menghendaki kelahiran bayi karena berbagai alasan. Misalnya aib keluarga, pribadi dan lingkugan sekitar.
Tidak dapat dipungkiri lagi, perkosaan merupakan kejadian yang amat traumatis untuk wanita yang menjadi korban. Banyak korban perkosaan
membutuhkan waktu yang lama untuk mengatasi pengalaman traumatis tersebut, dan mugkin ada juga yang tidak pernah lagi dalam keadaan normal seperti
sebelumnya. Jika perkosaan itu membuat kehamilan bagi korban, tentunya pengalaman traumatik itu menjadi sangat besar lagi. Karena itu muncul suatu
pertanyaan apakah untuk kasus perkosaan itu dibenarkan. Dalam hukum positif Indonesia, seperti yang sudah dijelaskan bahwa
aborsi yang dilarang adalah yang bersifat krimnalis sedangkan yang bersifat medikalis atau terapeuticus diizinkan. Persoalannya sekarang bagaimana dengan
aborsi yang timbul akibat perkosaan. Apakah dia bersifat kriminal atau medical?. Sebelumnya dalam undang-undang kesehatan No. 23 Tahun 1992, tidak dimuat
secara jelas mengenai aborsi yang dilakukan terhadap korban perkosaan. Dalam
Universitas Sumatera Utara
undang-undang tersebut terdapat beberapa hal yang dapat diuraikan, yakni sebagai berikut:
1. Aborsi hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat saja sebagai cara untuk
menyelamatkan nyawa ibunya. Jadi, aborsi yang dilakukan Karena alasan lainnya jelas-jelas dilarang. Alasan lain ini misalnya bayi cacat, jenis kelamin
tidak sesuai dengan yang diinginkan orangtuanya, kehamilan yang tidak dikehendaki, bisa termasuk perkosaan, incest, gagal KB dan lain sebagainya
2. Yang sering disebut-sebut sebagai indikasi medis sebenarnya tidak secara
lansung disebutkan dalam undang- undang itu, tetapi penafsiran Pasal 15 ayat 1 itu kemudian diperluas menjadi indikasi medis. Namum, jelas bahwa tafsir
dan kontroversi Pasal 15 ayat 1 itu sangat aneh, sebab disitu berarti bahwa kemungkinan indikasi medis itu untuk memyelamatkan janin. Padahal hasil
akhir aborsi adalah kematian janin, bukan untuk menyelamatkan janin. Indikasi medis ini sangat terbatas, yakni hanya boleh dalam keadaan darurat
sebagai upaya menyelamatkan nyawa ibu dan anaknya. Indikasi medis yang tidak membahayakan nyawa ibu, tidak boleh menjadi alas an untuk
menggugurkan kandungan, sebab ia tidak membahayakan sang ibu 3.
Indikasi medis itu tidak sama dengan indikasi kesehatan baik ibu maupun janin tidak boleh menjadi alasan untuk aborsi. Misalnya, ibu yang
mengandung dan kesehatan terganggu, tetapi gangguan itu tidak mengancam nyawanya, maka ini tidak boleh menjadi alasan untuk melakukan aborsi
4. Rumusan undang-undang ini dirasakan tidak mencukupi untuk menyelesaikan
masalah aborsi dewasa ini sebab undang-undang kesehatan ini tidak sejalan dengan KUHPidana yang menyatakan segala macam aborsi dilarang,
Universitas Sumatera Utara
sedangkan dalam undang-undang kesehatan aborsi medicalisterapiticus bisa dilakukan. Padahal kedua-duanya masih berlaku di Indonesia.
Dalam ketentuan Undang-undang Kesehatan No.23 Tahun 1992 tidak mengatur secara jelas dan khusus mengenai ketentuan aborsi terhadap korban
perkosaan. Oleh karena itu sacara imperatif masih dimungkinkan adanya pandangan, bahwa tindakan aborsi terhadap perkosaan adalah aborsi karena
indikasi kedaruratan medis. Misalnya, persoalan medik itu tidak hanya fisik, tetapi juga psikis. Ketidak jelasan dan tidak dicantumkannya aborsi akibat perkosaan,
menyebabkan pandangan para sarjana lebih cenderung memasukkan aborsi jenis ini masih kedalam tindak pidana, artinya apabila dilakukan perbuatan tersebut
dapat dipidana. Dengan demikian, akan banyak persoalan muncul, terutama mengenai jaminan dan legalisasi terhadap aborsi yang dilakukan oleh korban
perkosaan karena pandangan hukum pidana kita masih berlandaskan kepada asas legalitas.
Kejelasan mengenai legalisasi terhadap aborsi terhadap korban perkosaan akhirnya termuat jelas dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang
kesehatan. Di dalam Pasal 75 yang mengatur ketentuan aborsi yang memuat : 1. Setiap orang dilarang melakukan aborsi
2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dikecualikan berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu danatau janin, yang menderita penyakit genetik berat danatau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki
sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan
Universitas Sumatera Utara
b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis
bagi korban perkosaan. Dalam Pasal 75 ayat 2 angka b termuat secara jelas mengenai legalisasi
aborsi terhadap korban perkosaan. Dari pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa seorang wanita yang hamil akibat perkosaan dapat melakukan aborsi karena
adanya indikasi korban akan mengalami trauma psikologis bagi korban perkosaan. Namum dalam ketentuan pasal ini tidak diatur secara khsusus apakah
aborsi terhadap korban perkosaan termasuk kedalam aborsi provokatus criminalis atau aborsi criminalis medicalis.
Apabila kita mengacu pendapat di dalam ensiklopedia yang banyak diambil dari pandangan-pandangan barat, yang menjadi pertimbangan
pengguguran kandungan buatan terapeutik, bukan hanya fisik dan psikis, bahkan social. Berbicara tentang pertimbangan social, maka pertimbangan ekonomi,
budaya juga dapat menjadi dasar dilakukannya pengguguran kandungan. Jelas menurut pandangan ini bahwa karena wanita yang diperkosa mendapat tekanan
psikis yang sangat berat dari masyarakat yang ditunjukan terhadap dirinya, maka aborsi akibat perkosaan diperkenankan untuk melaksanakannya.
Peristiwa perkosaan merupakan peristiwa tragis, yang akan menjadi trauma psikis dan fisik yang berlangsung lama bagi korban perkosaan apalagi
dengan lahirnya seorang anak yang tidak diinginkannya. Pernyataan bahwa keberadaan anak akan mengingatkan horor perkosaan harus diakui, bahwa hal ini
bisa sangat benar, bahkan dalam beberapa kasus si anak dipandang sebagi simbol horor tersebut. Situasi ini tentu saja sangat besar bagi wanita yang mengalami
perkosaan, dan juga keluarga yang terlibat secara emosional terhadap peristiwa
Universitas Sumatera Utara
itu. Kalau melihat hal itu tentu saja sebenarnya sangat tidak adil bagi nasib janin tersebut, karena anak yang dikandung oleh wanita yang diperkosa tidak bersalah
sama sekali dan tidak pantas untuk dilakukan alasan ibu membalas dendam. Masalah mengenai aborsi terhadap korban perkosaan sebenarnya menuai
banyak reaksi dari berbagai kalangan baik itu yang pro ataupun yang kontra terhadap hal itu. Pantaskah janin yang sebenarnya dapat hidup kedunia harus
digugurkan dengan alasan trauma psikologis terhadap ibu anak tersebut. Bukankah anak yang akan lahir dari seorang wanita yang diperkosa bisa saja
diserahkan kepanti asuhan dan tetap dibiarkan untuk hidup. Karena seorang ibu yang mengalami perkosaan sebenarnya menggugurkan kandungan tidak
menyelesaikan masalah. Karena tanpa ada anak yang dilahirkanpun si wanita akan tetap mengalami trauma yang sangat besar. Penyembuhan hanya dapat
dilakukan secara bertahap. Sudah menjadi opini publik bahwa salah satu latar belakang pengguguran
kandungan dilarang undang-undang karena bertentangan dengan moral masyarakat dan moral agama. Apabila dihubungkan dengan pendapat tersebut,
sebenarnya yang menentang moral adalah pemerkosaanya bukan orang yang melakukan aborsi. Aborsi hanyalah merupakan akibat tindakan orang yang
memperkosa perempuan, sehingga perempuan tersebut menjadi hamil. Perempuan dalam hal ini adalah sebagai korban dan rentan perbuatan pidana perkosaan,
sehingga apabila perbuatan pidana yang dilakukan terhadapnya berakibat hamil maka janin yang dikandungnya adalah dianggap sebagai obyek mati tidak hidup.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena dianggap sebagai obyek mati maka aborsi, dianggap legal untuk dilakukan.
36
a. Orang terjepit antara dua kepentingan dalam hal adanya konflik diantara dua
kepentingan Apabila dihubungkan dengan Pasal 49 KUHP, sebenarnya pasal ini
mengakui adanya daya paksa bagi barang siapa yang melakukan tindak pidana. Dalam teori huku m pidana, Moeljatno membagi daya paksa menjadi 2 yaitu daya
paksa dalam arti sempit atau overmacht dan daya paksa karena keadaan darurat atau noodtoestand yang terdiri dari 3 kemungkinan yaitu:
b. Orang terjepit antara kepentingan dan kewajiban
c. Orang terjepit anatara dua kewajiban.
37
Dihubungkan dengan teori tersebut, aborsi provokatus terutama akibat pemerkosaan terjadi konflik antara 2 dua hak, hak perempuan yang hamil
bertentangan dengan hak janin. Hak janin untuk tetap hidup atau hak perempuan untuk menjalankan hidupnya tanpa tekanan psiklogis dan sosial. Mengenai hal ini
diserahkan kembali kepada wanita apakah melahirkan anaknya tetap lahir atau membiarkan janin untuk diangkat atau dibuang.
Khusus mengenai aborsi akibat perkosaan, harus dipertimbangkan pula untuk diatur secara khusus sebagai suatu jenis aborsi di luar dari macam-macan
aborsi yang bersifat krimanl atau medicalis. Karena dalam persoalan aborsi akibat perkosaan ada persoalan social dan budaya, yaitu bagaimana pelaku aborsi
mendapat tekanan-tekanan dari masyarakat sekitar, si wanita diperlakukan tidak
36
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departermen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia, Penelitian Tentang Aspek Hukum Pelaksanaan Aborsi Akibat Perkosaan, Jakarta,2002, hlm 39
37
Moelyatno, Asas-asas Hukum Pidana, Yogyakarta, 1982 hlm 40
Universitas Sumatera Utara
sebagaimana mestinya, dicemooh, pendek kata dihukum dan dikucilkan dari pergaulan sosialnya, hal ini menimbulkan pukulan batin yang sangat berat, bahkan
mungkin saja si wanita stress sehingga ingatannya terganggu, karena secara kedokteran psikologi hal itu bisa terjadi. Aborsi akibat perkosaan tidak saja
menimbulkan traumatiksiksaan psikis yang sangat mendalam, juga ada unsur siksaan sosial dan kemasyarakatan. Pendek kata si wanita tidak dapat melakukan
hubungan atau kegiatan social kemasyarakatan sebagaimana mestinya. Suatu pandangan atau interprestasi yang sangat luas tentang aborsi
mengenai indikasi teraupetik dikembangkan oleh Asosiasi Kedokteran Dunia WMA dengan Statemen on theraupeutic Abortion. Deklarasi ini dimungkinkan
karena defenisi luas dalam Konstitusi Organisasi Kesehatan Dunia WHO tentang kesehatan sebagai ”keadaan kesejahteraan fisik,psikis dan social yang
menyeluruh”.
38
Walaupun sekarang telah termuat dengan jelas legalisasi aborsi dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 75 ayat 2 huruf a,
perlu kiranya dimuat pengaturan secara khusus mengenai hal ini berupa perlindungan terhadap korban perkosaan terutama yang hamil. Pengaturan ini
penting untuk memberikan jaminan terhadap perempuan agar tetap dilindungi dan tetap mempunyai tempat dimasyarakat. Pemberikan konseling juga harus tetap
Dengan demikian setiap kehamilan tidak diinginkan dapat diakhiri atas indikasi terapeutik. Sebab perempuan yang tidak mengiginkan kehamilan
pasti tidak dalam keadaan kesejahteraan psikis dan sosial, walaupn kesejahteraan fisiknya dalam keadaan tetap prima.
38
Op. Cit, hlm 23
Universitas Sumatera Utara
diberikan jaminan agar nantinya tidak mempersulit wanita tersebut terutama dalam hal pembiayaan, jika perlu dibuat konseling khusus untuk menangani hal
itu. Jika memang aborsi jalan keluarnya pemerintah juga harus memberikan sarana dan prasarana untuk itu agar terhindar dari aborsi yang tidak aman dan
menjauhkan pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari hal tersebut. Keuntungan yang dimaksud salah satunya adalah menghindarkan pihak-pihak
yang sengaja menjadikan alasan perkosaan terhadap kehamilan yang memang sengaja digugurkan. Disamping itu kepada korban perkosaan akan diberikan
alternatif-alternatif lain, seperti melanjutkan kehamilan dan perawatan si anak yang akan segera dilahirkan. Para korban perkosaan dapat mengambil keputusan
untuk dirinya sendiri tanpa dipengaruhi oleh orang lain dimana nantinya diharapkan wanita korban perkosaan tersebut dapat mempertanggung jawabkan
keputusanya, baik bagi diri sendiri, maupun masyarakat luas. Dalam hal ini juga pihak kepolisian harus memberikan keterangan visum yang akan dilakukan
dirumah sakit yang telah ditetapakan dan tidak mempersulit hal tersebut. Mencermati undang-undang yang telah lama diberlakukan dikaitkan
dengan keadaan sekarang, khususnya berkait dengan aborsi karena alasan darurat pemaksa pada akhirnya penyelesaian kasus tersebut sangat tergantung pada para
penegak hukum untuk menegakkan keadilan terutama bagi perempuan yang jelas- jelas berkedudukan sebagai korban. Pendapat ahli hukum masa kini, sudah
seharusnya menjadi pertimbangan dalam rangka menjatuhkan pidana, jadi tidak semata-mata didasarkan pada bunyi undang-undang, akan tetapi juga
memperhatikan latar belakang perbuatan dilakukan. Hal inipun dalam proses
Universitas Sumatera Utara
pembuktiannya juga tidak mudah, karena harus dibuktikan lebih dahulu perkosaannya.
Dengan demikian alasan psikologis tidak cukup dijadikan alasan aborsi apabila tindakan perkosaannya tidak dapat dibuktikan atau tidak terbukti.
Mengingat dewasa ini perkosaan tidak hanya murni dilakukan oleh orang yang benar-benar belum pernah dikenal oleh korban, tapi juga telah dikenal
sebelumnya bahkan memiliki hubungan dekat dengan korban sebagai pacar pisalnya.
Apabila aborsi karena perkosaan dijadikan pengecualian sebagaimana alasan medis, maka kriteria yang dijadikan pengecualian harus benar-benar jelas
dan tegas, sehingga tidak disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, akibatnya aborsi marak dilakukan.
2. Aborsi adalah berakhirnya masa kehamilan dengan keluarnya janin dari
kandungan sebelum tiba masa kelahiran secara alamiah. Dalam kasus perkosaan yang merupakan kejahatan seksual tidak dapat disamakan dengan perzinahan dan
free sex, karena dalam perkosaan melibatkan pemaksaan dan kekerasan. Terhadap tindak kejahatan aborsi, perangkat hukum kita telah melarang dan memberikan
hukuman bagi pelakunya sebagaimana Pasal 346-349 KUHP. Lalu bagaimana dengan kehamilan yang diakibatkan perkosaan. Padahal dalam perkosaan terdapat
berbagai kondisi yang beraneka ragam, misalnya adanya luka-luka fisik, stess pasca trauma yang menghantui korban, maupun kondisi psiko sosial yang
bermacam-macam. Legalisasi Aborsi Terhadap Korban Perkosaan Menurut Pandangan Agama
Universitas Sumatera Utara
Memang dalam kondisi apapun termasuk kesehatan KUHP melarangnya karena KUHP hanya menitik beratkan aborsi kriminalis saja. Tetapi UU No. 36
tahun 2009 tentang kesehatan memberikan peluang dilakukannya aborsi apabila terdapat indikasi medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi
untuk hidup. Aborsi juga dibenarkan terhadap kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Hal ini jelas
meberikan kepastian hukum terhadap legalisasi aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan. Dimana sebelum keluarnya Udang-undang Kesehatan No. 36 Tahun
2009 dan masih berlakunya Undang-undang No.23 Tahun 1992 tidak termuat secara jelas mengenai pengaturan aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan.
Aborsi dalam realitanya masih menimbulkan perdebatan yang sangat banyak menimbulkan pro dan kontra diberbagai kalangan. Hal itu dikarenakan
aborsi merupakan suatu masalah yang mempunyai nilai yang berbeda baik dari nilai social, budaya , etika, hukum dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Aborsi apapun alasannya tetaplah dilarang oleh agama karena menyangkut hidup seseorang, apalagi aborsi terhadap korban perkosaan. Berikut ini akan dikaji
bagaiman pandangan agama terhadap aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan.
Kemudian dalam hukum Islam dengan mengacu pada al-Qur’an surat al- Mu’minun ayat 12-14 dan surat al-Hajj ayat 4 serta hadis yang diriwayatkan
Bukhari dan Muslim dari ibn Mas’ud terdapat perbedaan pendapat tentang aborsi sebelum ditiupkannya ruh. Dalam madzhab Hanafiah misalnya ibn Abidin
Universitas Sumatera Utara
membolehkan aborsi dengan adanya alasan pembenar sampai habisnya bulan ke empat, demikian juga dikalangan madzhab Syafi’i, Muhammad Ramli
membolehkan dengan alasan belum ada makhluk yang bernyawa. Sedang pendapat yang melarang sebelum ditiupkan ruh diantaranya Imam al-Ghazali dan
Imam Malik. Dari beberapa pendapat ulama di atas, pendapat ulama Hanafi lebih luwes karena memberikan ruang lebih lanjut untuk menetapkan alasan lain yang
dianggap sebagai pembenar aborsi. Sehingga dengan dibolehkannya aborsi dalam kasus perkosaan sebagaimana pendapat ulama Hanafiah tersebut adalah adanya
pertimbangan kemaslahatan. Jadi dalam hukum Islam juga bisa dibenarkan dengan syarat sebelum usia kandungan 120 hari atau sebelum ditiupkan ruh, tetapi
harus dibuktikan bahwa secara medis kehamilan tersebut mengganggu kesehatan ibu.
Sementara itu dalam kehidupan umat kristiani bahwa hubungan seks sebelum nikah adalah perzinahan dan dikategorikan sebagai dosa dan dikalangan
umat hindu dalam Manawara Dharama Sastra Adhyaya VIII, Sloka 364 dikatakan bahwa perkosaan dianggap suatu kejahatan besar dan sebagi sanksinya pemerkosa
dapat dikenakan sanksi potongan dua jari tangan dan denda uang. Hal ini menunjukkan betapa serius akibat yang ditimbulkan karena kejahatan itu.
39
Oleh karena kejahatan perkosaan tersebut menjadikan si wanita sangat, menderita, maka kita seharusnya jangan malahan mempromosikan kejahatan lain
lagi, apalagi kejahatan yang lebih keji lagi dengan melakukan pembunuhan. Kalua
39
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , Aborsi Dalam Persepektif Fiqh Kontemporer, Jakarta, 2002 Hlm 4
Universitas Sumatera Utara
demikian halnya akan menjadi lingkaran setan. Sebab kejahatan yang satu dibalas dengan kehajahatan yang lainnya.
Kalangan kristen dan katolik sendiri beranggapan, bahwa setiap pengguguran janin sejak pembuahan dapat digolongkan sebagai pembunuhan
manusia. Dalam pandangan kristen pengguguran dengan alasan apapun dilarang apalagi pengguguran karena perkosaan setiap pembuahan yang terjadi baik itu
karena perkawinan atau tidak tetap merupakan pemberian Tuhan, karena yang bersalah adalah perbuatannya bukan janin yang dikandungnya.
Dari pandangan agama diatas dapat disimpulkan bahwa mengenai pengguguran kandungan merupakan perbuatan terlarang, islam memang
mengakui aborsi akibat perkosaan namum ada batas usia janin yang harus dilihat.
Universitas Sumatera Utara
85
BAB IV PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP ABORSI YANG
DILAKUKAN OLEH KORBAN PEMERKOSAAN DAN LEGALISASI TERHADAP ABORSI
A. Aborsi Yang Dilakukan Oleh Korban Perkosaan