Dzat Allah Tabaraka wa Ta'ala

1. Dzat Allah Tabaraka wa Ta'ala

Ketahuilah wahai saudaraku, -semoga Allah menunjukkan kita kepada kebenaran- bahwa Dzat Allah itu jauh lebih besar dari yang bisa digambarkan oleh akal manusia, dan lebih besar dari apa yang terbersit dalam pemikiran manusia. Karena, betapapun tinggi dan cerdasnya pengetahuan akal manusia, ia tetap saja terbatas oleh kekuatan dan kemampuannya. Perihal masalah itu, kami akan membahasnya secara khusus insya Allah, di mana dalam pembahasan itu anda akan tahu sejauhmana keterbatasan akal manusia dalam menguak hakekat segala sesuatu.

Namun cukuplah kiranya kami memperingatkan anda bahwa akal kita dari yang besar sampai yang paling kecil sangat berguna untuk mengetahui banyak hal, meski kita sendiri tidak sampai mengetahui hakekatnya. Sama seperti listrik, magnet, dan yang lainnya adalah kekuatan yang kita daya gunakan dan kita ambil manfaatnya, sementara kita tidak mengetahui sedikit pun hakekatnya (baca: dzatnya). Seorang pakar sepintar apapun tidak akan bisa mempresentasikan kepada anda tentang hal itu dan akan berkesimpulan bahwa mengetahui dzat dan hakekat sesuatu itu tidak mendatangkan manfaat kepada kita. Dan cukuplah kita untuk mengetahui karakteristiknya, yang menyebabkan kita mendapatkan manfaat darinya.

Jika demikian kondisi kita dalam menguak berbagai hal yang kita lihat dan kita rasakan, maka bagaimana lagi dengan dzat Allah swt.? Sunggguh telah tersesat kaum- kaum yang berusaha untuk memperbicangkan dzat Allah. Perbincangan mereka inilah yang menyebabkan mereka tersesat, mendapat fitnah, dan memicu persengketaan di kalangan mereka, karena mereka berbicara tentang sesuatu hal yang mereka sendiri tidak tahu batasan dan tidak mampu menguak eksistensinya. Oleh karena itulah, Rasulullah melarang berpikir tentang dzat Allah dan memerintahkan untuk memikirkan makhluk-makhluk-Nya.

Berpikir tentang Dzat Allah

Dari lbnu Abbas ra. bahwa suatu kaum berpikir tentang dzat Allah swt., maka Rasulullah saw. bersabda,

"Berpikirlah tentang ciptaan Allah dan jangan memikirkan (dzat) Allah, Karena kalian tidak mungkin akan mampu memperhitungkan kadarnya." Imam Al-Iraqi berkata bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam kitab Al-Hilyah dengan sanad yang dhaif Dan diriwayatkan pula oleh AI-Ashbahani dalam kitab At-Targhib wat Tarhib dengan sanad yang lebih shahih. Demikian pula yang diriwayatkan oleh Abu Syaikh. Apa pun riwayatnya, yang jelas maknanya shahih.

Hal itu bukan berarti membatasi kebebasan berpikir, jumud dalam menganalisa atau penyempitan ruang gerak akal. Namun itu merupakan penjagaan bagi akal agar tidak terjebak kepada jurang kesesatan, menjauhkannya dari berbagai pembahasan yang tidak memungkinkan ada sarana ke sana dan tidak akan kuat dalam membahasnya, kendali sebesar apa pun akal itu. Ini merupakan jalan yang telah ditempuh oleh orang- Hal itu bukan berarti membatasi kebebasan berpikir, jumud dalam menganalisa atau penyempitan ruang gerak akal. Namun itu merupakan penjagaan bagi akal agar tidak terjebak kepada jurang kesesatan, menjauhkannya dari berbagai pembahasan yang tidak memungkinkan ada sarana ke sana dan tidak akan kuat dalam membahasnya, kendali sebesar apa pun akal itu. Ini merupakan jalan yang telah ditempuh oleh orang-

Allah swt., maka beliau menjawab, "Dialah Allah Yang Maha Esa dan sudah ma'ruf sebelum ada batas dan sebelum ada huruf."

Dikatakan kepada Yahya Bin Mu'adz, "Beritahukan kepadaku tentang Allah!" Beliau menjawab, "Dia adalah Allah, Ilah yang Maha Esa". Dikatakan kepada beliau lagi, "Bagaimana Dia (Allah)?" Beliau menjawab, "Dia Sang Raja diraja Yang Mahakuasa." Beliau ditanya lagi, "Di mana Dia?" Beliau menjawab, Dia benar-benar mengintai." Sang penanya tadi berkata, "Saya tidak menanyakan soal itu," Beliau berkata, 'Apa yang selain itu adalah sifat makhluk, sedangkan sifat-sifat-Nya adalah apa yang telah kuberitahukan kepadamu. Maka batasi keinginanmu untuk mengetahui keagungan Rabbmu dengan cara memikirkan makhluk-makhluk-Nya dan berpegang teguh kepada berbagai konsekuensi dari sifat-sifat-Nya.