PELAKSANAAN TRANSAKSI MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH

BAB III PELAKSANAAN TRANSAKSI MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH

Pembahasan dibawah ini mengenai pelaksanaan mudharabah dan musyarakah yang pernah dijalankan oleh salah satu lembaga swadaya masyarakat. Untuk menggambarkan pelaksanaan bagi hasil di lembaga tersebut akan diuraikan satu persatu tentang ketentuan-ketentuan mudharabah dan musyarakah. 1 Untuk kemudian dielaborasi

dan dianalisis dari sudut pandang hukum islam (pendapat ahli fiqh), yang telah dibahas pada bab sebelumnya dalam tulisan ini.

1. Ketentuan-Ketentuan Mudharabah Dalam melaksanakan transaksi bagi hasil sistem

mudharabah, lembaga menerapkan 8 (delapan) ketentuan. Ketentuan ini diterapkan jika lembaga akan melakukan kerjasama dengan salah sorang mitra usaha. Berikut ketentuan-ketentuan tersebut dan akan dikupas dari sudut pandang hukum islam.

a. Keseluruhan modal disediakan oleh lembaga sebagai pemilik modal (shohibul maal) dan pelaksanaan usaha dilakukan oleh mitra usaha sebagai shohibul’a mal.

Dari ketentuan ini dipahami bahwa yang bertindak sebagai pemilik modal adalah lembaga. Sedangkan modal yang disediakan berasal dari seluruh pengurus,

1 Penulis pernah melakukan kajian tentang pelaksanaan transaksi bagi hasil di Yayasan Bina Sektor Informal Tasikmalaya pada tahun 1997. Dalam

pembahasannya penulis tidak menyebutkan lembaga tersebut, melainkan hanya mengisitilahkan dengan kata ”lembaga” saja.

artinya modal yang ada merupakan modal bersama yang disatukan untuk dimudharabahkan pada pihak lain. Dalam pelaksanaanya lembaga mengangkat salah seorang pengurus untuk melakukan akad (perjanjian) dengan mitra usaha.

Mengenai pemilik modal terdiri dari beberapa orang sah saja, hal ini menurut Ali Al-Khafif sebagaimana dikutip M. Nejatullah Siddiqi, dan boleh juga pihak pelaksana terdiri dari beberapa orang dan

pemilik modal hanya satu orang. 2 Jenis modal yang disediakan lembaga berbentuk uang tunai, yaitu

rupiah. Mengenai jenis modal berbentuk uang tunai dalam

hal ini rupiah (bukan emas dan perak), menurut ulama madzhab Hambali tidak boleh, mereka hanya membatasi dengan uang emas dan uang perak yang telah distempel raja (pemerintah).

Sementara itu dikalangan ulama madzhab Syafi’i terdapat dua pendapat, sebagian membolehkan dan sebagian lagi melarang. Pendapat yang membolehkan modal selain uang emas dan uang perak mensyaratkan agar uang tersebut telah dijadikan alat tukar menukar.

Dengan menggunakan rupiah sebagai modal yang disediakannya, berarti yang dipakai dalam hal ini adalah pendapat sebagian ualama madzhab Syafi’i.

Pada prinsipnya jenis modal ini termasuk kepada hukum yang senantiasa berubah sesuai dengan kondisi

2 M. Nejatullah Siddiqi, op. cit. hal. 8 2 M. Nejatullah Siddiqi, op. cit. hal. 8

ِلا َوْﺣَﻷا َو ِﺔَﻧِﻛْﻣَﻷا َو ِﺔَﻧِﻣْزَﻷا ِرﱡﯾَﻐَﺗِﺑ ِمﺎَﻛْﺣَﻷا ُرﱡﯾَﻐَﺗ Artinya: Hukum itu bisa berubah sesuai dengan

perubahan zaman, tempat dan keadaan.

b. Jangka waktu kerjasama maksimal 12 bulan Dengan ketentuan ini lembaga berharap agar mitra

usaha (binaan) setelah satu tahun mampu mandiri dengan modal sendiri, namun bila mitra usaha masih menginginkan (membutuhakan) maka dilakukan perjanjian (akad) mudharabah yang baru atau jika mitra usaha memiliki sebagian modal tapi masih membutuhkan sebagiannya lagi, maka bisa dilakukan perjanjian musyarakah.

Meskipun ada batas waktu yang ditentukan, tapi tidak menutup kemungkinan salah satu pihak membatalkan perjanjian (fasakh) sebelum akhir waktu, hal ini bisa dilakukan jika lembaga atau mitra usaha menginginkannya.

Penggunaan ketentuan ini dimaksudkan untuk mengimplementasikan

program pengembangan sebagai misi lembaga, relevan dngan firman Allah surat Al-Hasyr ayat 7:

ْمُﻛْﻧِﻣ ِءﺎَﯾِﻧْﻏَﻷا َنْﯾَﺑ ًﺔَﻟ ْوُد َن ْوُﻛَﯾَﻻ ﻰَﻛ Artinya: Supaya harta itu tidak beredar diantara

orang-orang kaya diantara kamu. Para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai adanya

pembatasan waktu dalam perjanjian mudharabah. Ulama madzhab Syafi’i dan Maliki tidak pembatasan waktu dalam perjanjian mudharabah. Ulama madzhab Syafi’i dan Maliki tidak

Sementara itu ulama madzhab Hambali membolehkannya, namun demikian bukan berarti menutup kemungkinan adanya fasakh sebelum akhir bisnis. Bahkan meskipun mereka (Hambaliyah) membolehkan adanya batas waktu pada saat perjanjan, tetapi melarang adanya persyaratan yang melarang salah satu pihak membatalkan perjanjian pada saat mereka berkehendak.

Jika ditelaah dari pernyataan diatas, menunjukkan bahwa adanya ketentuan batas waktu yang ditetapkan lembaga, sesuai dengan pendapat madzhab Hambali.

Adanya ketentuan batas waktu dengan tidak menutup kemungkianan salah seorang fasakh sebelum akhir bisnis (habis batas waktu), sesuai dengan qaidah:

ﱞبَﺣَﺗْﺳُﻣ ِفَﻼِﺧْﻟا َنِﻣ ُج ْوُرُﺧْﻟَا Artinya: Keluar dari perbedaan pendapat disukai.

c. Besarnya prosentase pembagian keuntungan berdasarkan hasil kesepakatan antara lembaga dengan pihak mitra.

Dengan adanya bahasa ”pembagian keuntungan”, maka dipahami bahwa pembagian masing-masing menggunakan bentuk serikat bukan nilai uang (nominal), karena bagaimana mungkin menentukan pembagian keuntungan dengan jumlah tertentu, sementara keuntungan yang diperolehnya belum terwujud. Mengenai

kesepakatan pembagian keuntungan dalam bentuk serikat seperti sepertiga, seperempat, semua ulama madzhab menyepakatinya kesepakatan pembagian keuntungan dalam bentuk serikat seperti sepertiga, seperempat, semua ulama madzhab menyepakatinya

Dari ketentuan inipun dipahami bahwa kedua pihak diberi kebebasan untuk menegosiasikan prosentase keuntungan yang akan menjadi bagian masing-masing, sehingga kesepakatan yang dicapai betul-betul atas kerelaan masing-masing. Hal ini penting, karena prinsip utama dalam perniagaan dalam islam adalah keadilan dan kerelaaan (suka sama suka). Sebagaimana diperintah Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 29:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka diantara kamu.

d. Pembagian keuntungan dilakukan setiap kali usaha telah menghasilkan laba (satu kali putaran produksi)

Dalam ketentuan ini menunjukan bahwa pembagian keuntungan dilakukan sebelum akhir bisnis. Namun bila terjadi kerugian yang menanggung adalah lembaga selaku pemilik modal.

Mengenai pembagian keuntungan sebelum akhir bisnis (modal dikembalikan kepada pemilik), ulama madzhab Syafi’i menganggap hal itu sah, dengan ketentuan jika terjadi kerugian, pelaku berkewajiban mengembalikan keuntungan yang telah diterimanya, tujuannya untuk menutupi modal dan keuntungan yang diterima pemilik dianggap sebagai bagian dari Mengenai pembagian keuntungan sebelum akhir bisnis (modal dikembalikan kepada pemilik), ulama madzhab Syafi’i menganggap hal itu sah, dengan ketentuan jika terjadi kerugian, pelaku berkewajiban mengembalikan keuntungan yang telah diterimanya, tujuannya untuk menutupi modal dan keuntungan yang diterima pemilik dianggap sebagai bagian dari

Sedangkan ulama madzhab Hambali dan Hanafi melarang pembagian keuntungan sebelum akhir bisnis apalagi memilikinya.

Dari beberapa pendapat diatas jelaslah bahwa ketentuan yang diterapkan oleh lembaga sesuai dengan madzhab Syafi’i.

e. Tingkat prosentase pembagian keuntungan ditentukan pada waktu penandatanganan akad.

Ketentuan ini merupakan tindak lanjut atas kesepakatan dari hasil negosiasi, sebagaimana disebutkan sebelumnya (point c).

Adanya penandatanganan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya pengingkaran dari kedua belah pihak terhadap hal-hal yang telah disepakati. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar.

Mengenai adanya penulisan dan penandatanganan akad dikalangan ulama fiqh, tidak ada pembahasan secara rinci, karena umumnya mereka menganggap cukup dengan lafadz (perkataan) yang menunjukan maksud dan tujuan diadakannya perjanjian. Namun demikian tidak ada larangan untuk itu. Karenanya ketentuan yang ada ini sesuai dengan qaidah:

ِﺢَﻠْﺻَﻷْا ِدْﯾِدَﺟْﻟﺎِﺑ ُذْﺧَﻷا َو ِﺢِﻟﺎﱠﺻﻟا ِمْﯾِدَﻘْﻟا ﻰَﻠَﻋ ُﺔَظَﻓﺎَﺣُﻣْﻟَا Artinya: Menjaga (melestarikan) tradisi lama

yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.

f. Keuntungan yang dibagikan adalah pendapatan usaha- usaha setelah dikurangi biaya-biaya operasional (laba bersih).

Ketentuan ini akan sangat meringankan pelaksanaan (mitra usaha), karena biaya-biaya operasional

seperti ongkos-ongkos tidak menggunakan biaya sendiri.

Ketentuan ini didasarkan pada salah satu prinsip bisnis, bahwa keuntungan adalah konsekwensi dari kesuksesan usaha bisnis itu sendiri. Untuk kesuksesan bisnis memerlukan biaya-biaya yang dikeluarkan, karena itulah maka antara keuntungan, bisnis, dan biaya-biaya operasional merupakan tiga mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Manakala pemilik modal sanggup menyerahkan hartanya untuk mendapat keuntungan, harus disertai kerelaan konsekwensi dari bisnis berupa kerugian maupun biaya-biaya operasional bisnis. Sebagaimana dinyatakan dalam satu qaidah:

Artinya: Rela terhadap sesuatu, dibarengi dengan kerelaan terhadap sesuatu yang ditimbulkannya

(konsekwensinya). 3

g. Apabila terjadi kerugian, maka pemilik modal (shohibul maal) dalam hal ini lembaga yang mengalami kerugian secara finansial, sedangkan mitra usaha (shohibul ‘amal) mengalami kerugian dari sisi tenaga dan nama baik atas kegagalannya dalam menjalankan usaha

Hal ini didasarkan atas prinsip bahwa kerugian merupakan reduksi dari modal yang diberikan pemilik modal. Sehingga lembaga wajib menaggung kerugian yang ditimbulkan dan mitra usaha tidak berkewajiban mengganti, kecuali kerugian tersebut akibat kelalaian mitra usaha.

Apabila lembaga meragukan pengakuan mitra usaha, bahwa kerugian bukan diakibatkan oleh kelalaiannya, maka lembaga berhak mengambil sumpah dari mitra usaha tersebut. Sesuai dengan qaidah:

َرَﻛْﻧَا ْنَﻣ ﻰَﻠَﻋ ُنْﯾِﻣَﯾْﻟا َو ﻰِﻋﱠدُﻣْﻟا ﻰَﻠَﻋ ُﺔَﻧﱢﯾَﺑْﻟَا Artinya: Pembuktian (alat bukti) wajib bagi yang

mendakwa dan sumpah wajib bagi orang yang inkar (mengingkari dakwaan). 4

h. Divestasi atau pengambilan modal hanya dapat dilakukan jika kerjasama akan berakhir

3 Jalaluddin Abdul Rahman bin Abi Bakar, Al- Asybah wa an-Nadloir, (Darul 4 ibid : hal. 7 Ihya, tanpa tahun), hal. 97

Dalam hal ini, tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan ahli fiqh, karena bila modal telah dikembalikan, maka secara otomatis perjanjian tersebut berakhir. Ketentuan ini didasarkan atas tujuan dilaksanakannya perjanjian adalah untuk pengelolaan modal.

2. Ketentuan-Ketentuan Musyarakah Dalam melaksanakan transaksi bagi hasil dalam

sistem musyarakah, lembaga menerapkan tujuh ketentuan. Berikut tujuh ketentuan tersebut, untuk kemudian diulas dan diberikan komentar berdasarkan hukum islam.

a. Adanya ketentuan waktu yang didentukan, tetapi tidak mengikat.

Diberlakukannya ketntuan ini dimaksudkan agar jika telah sampai batas waktu yang telah ditentukan, lembaga bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat lain yang membutuhkan. Hal ini merupakan

cara dalam mengimplementasikan komitmen sosial berupa pengembangan masyarakat.

salah

satu

Mengenai adanya pembatasan waktu dalam perjanjian musyarakah, para ulama berbeda pendapat. Ulama madzhab Syafi’i dan Maliki melarangnya, dengan alasan karena musyarakah merupakan akad jaiz yang bisa berakhir kapan saja, bila salah seorang diantara mereka (anggota syirkah) menghendakinya.

Namun sebagian ulama madzhab Syafi’i yang membolehkannya. 5

Adapun ulama yang membolehkan adanya penentuan waktu dalam perjanjian musyarakah adalah

ulama madzhab Hambali dan Hanafi. 6 Meskipun dibolehkan adanya penentuan waktu,

tetapi setiap anggota syirkah mempunai hak untuk mengakhiri kontraknya sewaktu-waktu. Sebagaimana dinyatakan Ibnu Qudama salah seorang pengikut

madzhab Hambali. 7

b. Kedua belah pihak sama-sama dalam pengelolaan usaha

Ketentuan ini menunjukan bahwa kedua belah pihak baik lembaga maupun mitra usaha ikut serta dalam usaha bisnis. Usaha ini ada yang bersifat langsung dan proses pengelolaan modal yang tersedia, juga ada yang bersifat tidak langsung seperti pengelolaan manajemen. Dalam hal ini lembaga lebih banyak terlibat dalam pengelolaan manajemen.

Dari pernyataan diatas dipahami bahwa dalam pengelolaan usaha tidak disyaratkan adanya kesamaan jenis dan bentuk usaha yang dilakaukan.

Mengenai usaha (pekerjaan) dalam perjanjian musyarakah, dikalangan ulama fiqh terjadi perbedaan pendapat. Dalam hal ini ulama madzhab Maliki mensyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan

6 M. Nejatullah Siddiqi, op. cit. hal. 99 7 ibid : hal. 99 ibid : hal. 100 6 M. Nejatullah Siddiqi, op. cit. hal. 99 7 ibid : hal. 99 ibid : hal. 100

Sementara ulama madzhab Syafi’i, Hambali dan Hanafi berpendapat bahwa pekerjaan yang dilakukan tidak mesti disesuaikan dengan prosentase modal yang diinvestasikan, sebab bila disyaratkan demikian, maka jika modal yang ditanamkan jumlahnya sama berarti pekerjaan mereka harus sama, sedangkan tiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda.

Meskipun ulama madzhab Syafi’i, Hambali dan Hanafi berpendapat sama mengenai tidak mesti disyaratkan samanya dalam pekerjaan, namun mereka berbeda pendapat mengenai pengaruhnya terhadap pembagian keuntungan.

Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa keuntungan yang dihasilkan dalam perjanjian syirkah harus tetap disesuaikan dengan prosentase modal yang diinvestasikan, tanpa mempertimbangkan adanya perbedaan pekerjaan (usaha). Adanya perbedaan pekerjaan dipandang sebagai sebuah kebaikan saja.

Sedangkan ulama madzhab Hambali dan Hanafi berpandangan bahwa adanya perbedaan pekerjaan bisa berpengaruh kepada keuntungan yang diperoleh masing-masing anggota syirkah, meskipun hal ini (pengaruh terhadap keuntungan) bukan suatu keharusan, artinya boleh saja keuntungan tetap disesuaikan dengan modal yang diinvestasikan tanpa memperhitungkan pekerjaan yang berbeda.

c. Modal usaha ditanggung oleh kedua belah pihak tergantung kemampuan masing-masing.

Dengan ketentuan ini lembaga bisa bekerjasama dengan pihak yang memiliki modal namun tidak mencukupi.

Mengenai ketentuan ini ulama fiqh sepakat bahwa modal berasal dari masing-masing pihak dan disatukan pada saat dilakukan akad dan dimulainya pekerjaan musyarakah.

d. Pembagian keuntungan dibagi antara kedua belah pihak berdasarkan proposional modalnya masing- masing.

Mengenai hal ini dikalangan ulama fiqh tidak terjadi perbedaan pendapat. Namun mereka berbeda pendapat, apakah pembagian keuntungan berdasarkan jumlah modal yang ditanamkan merupakan suatu keharusan atau salah satu alternatif?.

Ulama madzhab Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa pembagian keuntungan berdasarkan prosentase modal yang ditanamkan adalah merupakan suatu keharusan, artinya kedua belah pihak tidak mempunyai pilihan lain untuk menentukan rasio atas pembagian keuntungan selain berdasarkan modal yang diinvestasikan.

Lain halnya dengan ulama madzhab Hanafi dan Hambali, mereka berpendapat bahwa pembagian keuntungan berdasarkan prosentase modal bukan merupakan suatu keharusan, melainkan hanya merupakan suatu alternatif, artinya pembagian keuntungan bisa berdasarkan kesepakatan antara anggota syirkah tanpa memperdulikan prosentase modal yang ditanamkan oleh masing-masing anggota.

e. Pembagian keuntungan dilakukan setiap kali usaha telah menghasilkan laba (keuntungan) (satu kali putaran produksi)

Pada prinsipnya ketentuan ini sama dengan yang diterapkan lembaga pada perjanjian mudharabah, bedanya dalam hal terjadi kerugian.

Jika terjadi kerugian dalam mudharabah, maka lembaga sebagai pemilik modal harus menganggap keuntungan yang diperoleh sebelumnya merupakan bagian dari modal dan mitra usaha (pelaksana) harus mengembalikan keuntungan tersebut untuk menutupi kerugian yang timbul. Sementara dalam musyarakah kedua belah pihak baik lembaga maupun mitra usaha (anggota syirkah yang lain) harus menganggap keuntungan yang telah diperolehnya merupakan bagian dari modal, karena kedua belah pihak sama- sama menanamkan modal.

Mengenai pembagian keuntungan dalam musyarakah sebelum akhir bisnis, tidak ditemukan pembahasan secara rinci yang dikemukakan para ahli fiqh.

Namun demikian, jika dalam mudharabah ulama madzhab Syafi’i membolehkan hal ini, tentu dalam musyarakah hal ini lebih leluasa lagi, karena dalam musyarakah keduanya sama-sama menanamkan modal, dan musyarakah statusnya lebih tinggi dibanding mudharabah. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Qudama (pengikut madzhab Hambali) yang

dikutip oleh M. Nejatullah Siddiqi. 8

8 Ibid : hal. 44 8 Ibid : hal. 44

Ketentuan ini akan meringankan kedua belah pihak, dimana biaya-biaya operasional dalam usaha- usaha yang dilakukannya sebagai suatu proses untuk mendapatkan keuntungan tidak ditanggung oleh pribadi, karena keuntungan yang akan diperoleh kedua belah pihak ditimbulkan oleh adanya bisnis yang menggunakan biaya-biaya tersebut.

g. Apabila terjadi kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh kedua belah pihak berdasarkan proposional modalnya masing-masing.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, bahwa kerugian merupakan reduksi dari modal, maka kedua belah pihak, baik lembaga maupun mitra usaha berkewajiban menanggung kerugian tersebut berdasarkan prosentase modal yang diinvestasikannya.

ditanggung bersama berdasarkan prosentase modal yang diinvestasikan, dikalangan ulama fiqh tidak terjadi perbedaan pendapat, sebagaimana pernyataan Syaikh Ali Al- Khafif yang dikutip M. Nejatullah Siddiqi berikut ini:

Mengenai

kerugian

”Kerugian selalu akan dibagi sesuai ukuran terhadap modal sebenarnya. Semua Imam sepakat akan hal ini, meskipun mereka berasal dari kelompok yang berbeda. Jika ada ketentuan yang dipertentangkan dengan prinsip ini maka akan dianggap batal, tidak diberlakukan dan tidak akan

dilaksanakan”. 9

9 ibid : hal. 15

Penutup

Setelah mengupas beberapa ketentuan yang diberlakukan oleh lembaga diatas, bisa dinyatakan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut sesuai dengan hal-hal yang dikemukakan para ahli fiqh.

Namun demikian, bila ditelaah lebih lanjut, dalam pelaksanaannya terdapat penggabungan (pengambilan) hukum dari berbagai pendapat serta madzhab yang berbeda, yang dikenal dengan istilah talfiq.

Dalam tulisan ini tidak akan diuraikan secara terperinci, melainkan hanya akan dikemukakan tentang talfiq yang ada kaitannya dengan pembahasan diatas (penggabungan ketentuan-ketentuan mudharabah dan musyarakah).

Untuk kepentingan dimaksud, berikut ini dikemukakan pendapat salah seorang pakar yang ahli dalam bidang Ushul Fiqh, yaitu DR. H. Rachmat Syafe’i, Lc.MA. dalam bukunya pengantar Ushul Fiqh Perbandingan.

Dalam pembahasannya tentang talfiq, beliau membagi tiga golongan ulama berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh mereka, yaitu:

1. Golongan yang melarang

2. Golongan yang membolehkan dengan syarat

3. Golongan yang membolehkan tanpa adanya syarat Setelah menguraikan pendapat-pendapat ketiga

golongan tersebut berikut alasan-alasannya, kemudian beliau berpendapat bahwa talfiq yang berkaitan dengan individu-individu tidak diperbolehkan bagi orang awam, lain halnya dengan orang yang memilki daya pikir dan istidlal tertentu serta mampu mentarjih dan mampu golongan tersebut berikut alasan-alasannya, kemudian beliau berpendapat bahwa talfiq yang berkaitan dengan individu-individu tidak diperbolehkan bagi orang awam, lain halnya dengan orang yang memilki daya pikir dan istidlal tertentu serta mampu mentarjih dan mampu

Sementara kaitannya dengan talfiq yang berhubungan dengan jama’ah beliau berpendapat:

”Akan halnya bila dikaitkan dengan jama’ah, maka apabila dalam hal menerapkan peraturan-peraturan dari fiqh islam itu ada hal yang membolehkan mengikuti yang paling ringan, yang memudahkan para pembuat peraturan itu, untuk mencari hukum yang sesuai dengan kondisi dan lingkungan yang diambil dari kumpulan madzhab-madzhab, maka yang demikian itu jelas baik dilakukan, dan tidak diragukan lagi kebaikannya bila dihubungkan dengan kepentingan jama’ah dan upaya kembali kepada fiqh islam dan bernaung dibawahnya, manakala kita mempersempit gerak orang banyak yang menyebabkan mereka harus mengikuti madzhab tertentu dan yang lainnya mengikuti madzhab yang lain lagi, yang merupakan sikap yang tidak sesuai lagi dengan kondisi dan situasi sekarang. Dalam pada itu Allah juga tidak memerintahkan kepada kita agar menyembahnya mengikuti salah satu madzhab saja, dan menundukkan hukun-hukum kita kepada madzhab tersebut, sedangkan mengikuti hukum yang paling ringan adalah merupakan masalah yang dibicarakan para mujtahid dan pula dalil- dalil yang hukum-hukumnya disimpulkan dari dari pendapat-pendapat ulama. Sikap ini juga lebih baik ketimbang kita kembali kepada perundang-undangan yang asing bagi aqidah dan linkungan kita, untuk itu kita terapkan dalam kehidupan dan lingkungan kita”. 10

10 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ushul Fiqh Perbandingan, (Piara Bandung, tahun 1994), hal 106-107

Pendapat ini sesuai dengan qaidah fiqhiyah: ِلا َوْﺣَﻷْا َو ِﺔَﻧِﻛْﻣَﻷْا َو ِﺔَﻧِﻣْزَﻷْا ِرﱡﯾَﻐَﺗِﺑ ِمﺎَﻛْﺣَﻷْا ُرﱡﯾَﻐَﺗ Artinya: Hukum-hukum itu bias berubah sesuai

dengan perubahan zaman, tempat dan keadaan. Qaidah lain yang bisa dijadikan pertimbangan tentang

pelaksanaan ketentuan-ketentuan mudharabah dan musyarakah diatas, antara lain:

ﺎَﮭِﻣْﯾ ِرْﺣَﺗ ﻰَﻠَﻋ ُلْﯾِﻟﱠدﻟا ﱠلُدَﯾ ﻰﱠﺗَﺣ ِﺔَﺣﺎَﺑِﻹَا ِﺔَﻠَﻣﺎَﻌُﻣْﻟا ﻰِﻓ ُلْﺻَﻷَا Artinya: Asal (pokok) dalam mu’amalah adalah

boleh selama tidak ada dalil yang menunjukan keharamannya.

Dengan memperhatikan dan -jika- menyepakati kutipan pendapat diatas, yakni tentang kebolehan talfiq kaitannya dengan kepentingan jama’ah (masholihu al-‘ammah) serta mengacu kepada salah satu qaidah pada dasarnya hukum dalam mu’amalah itu boleh selama tidak ada yang menunjukan keharamannya, maka dapat dinyatakan bahwa pelaksanaan transaksi mudharabah dan musyarakah dengan ketntuan-ketentuan tersebut diatas relevan dan tidak bertentangan dngan hukum islam. Selebihnya diserahkan

sepenuhnya kepada pembaca untuk menyikapinya.

Contoh Kasus:

Atas saran dari teman santeri penulis, untuk menambah pemahaman tentang pelaksanaan mudharabah dan musyarakah, berikut ditulis mengenai contoh-contoh kasus teknis pembagian dan penghitungan keuntungan yang disesuaikan dengan modal yang ditanamkan..

Mudharabah

1. Pemilik modal dari 1 (satu) orang dan pelaksana satu orang.

Zaed menyerahkan modal sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) kepada Umar untuk diniagakan. Pada saat perjanjian (akad) disepakati bahwa keuntungan akan dibagi 40% untuk Zaed (pemilik modal) dan 60% untuk Umar, dan keuntungan dibagikan setiap usaha setelah mendapatkan keuntungan (1 kali putaran produksi).

Jika Untung: Setelah dilakukan usaha, keuntungan bersih (setelah

dikurangi biaya-biaya) yang diperoleh sebesar Rp. 500.000,- Maka keuntungan yang diperoleh masing-masing adalah: Zaed

:40% x Rp. 500.000 = Rp. 200.000,- Umar

:60% x Rp. 500.000 = Rp. 300.000,- Dengan keuntungan tersebut, diakhir bisnis uang yang

diterima Zaed adalah: (seluruh modal + bagian)

1.000.000 + 200.000 = Rp. 1.200.000

Jika Rugi: Pada saat akhir bisnis mengalami kerugian (ingat

menentukan kerugian setelah kerjasama mau berakhir/penyerahan modal kepada pemilik) yang bukan diakibatkan oleh kelalaian Umar, maka kerugian tersebut ditanggung oleh Zaed selaku pemilik modal.

Untuk mengembalikannya maka komoditi yang ada dijual seluruhnya sehingga menjadi bentuk uang tunai. Dan keuntungan yang telah diperoleh Zaed selama ini dihitung menjadi bagian modal dan yang bagian Umar diserahkan kepada Zaed untuk menutupi kerugian pada modal.

Jika seluruh komoditi telah dijual dan memiliki kelebihan dari Rp. 1000.000,- (modal usaha) maka selebihnya itu dianggap keuntungan dan dibagi sesuai prosentase yang telah disepakati.

2. Pemilik modal terdiri dari beberapa orang dan pelaksana

1 orang Zaed, Umar dan Bakar bersepakat mengumpulkan

modal, kemudian akan diserahkan kepada Husen dengan sistem mudharabah. Modal yang dibutuhkan Husen sebesar Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Mereka (Zaed, Umar, Bakar) bersepakat bahwa keuntungan akan disesuaikan dengan modal yang diinvestasikan masing- masing.

Rincian prosentase dari modal yang ditanam masing- masing sebesar Rp. 12.000.000,- adalah: Zaed

:40% (Rp. 4.800.000,-) Umar

:25% (Rp. 3.000.000,-) Bakar

:35% (Rp. 4.200.000,-)+ 100% (Rp.12.000.000,-)

Selanjutnya uang tersebut diserahkan kepada Husen untuk diniagakan dengan akad mudharabah. Pada saat akad disepakati bahwa keuntungan dibagi 60% untuk pemilik modal (Zaed, Umar, Bakar) dan 40% untuk pelaksana (Husen). Keuntungan dibagikan (dihitung) setiap usaha telah memperoleh laba (satu kali putaran produksi).

Jika untung: Setelah satu kali putaran produksi, diperoleh keuntungan sebesar Rp. 2.500.000,- Maka cara pembagian keuntungannya:

Langkah 1 Pembagian keuntungan antara pemilik modal dengan pelaksana - Pemilik modal :

60% x Rp. 2.500.000 = Rp. 1.500.000,- - Husen 40% x Rp. 2.500.000 = Rp. 1.000.000,-

Langkah 2 Pembagian keuntungan Rp. 1.500.000,- antara pemilik modal sesuai dengan modal masing-masing sebagai berikut:

Cara 1 Prosentase saham masing-masing pemilik modal dikalikan dengan keuntungan yang diperoleh:

Zaed :40% x 1.500.000 = Rp. 600.000 Umar :25% x 1.500.000 = Rp. 375.000 Bakar :35% x 1.500.000 = Rp. 525.000 +

Rp. 1.500.000

Cara 2 Menggunakan rumus:

Jumlah seluruh keuntungan dibagi seluruh modal dikali modal masing-masing

Jadi : Rp. 1.500.000 = 0,125 Rp. 12.000.000

Keuntungan yang diterima masing-masing pemilik modal: Zaed : 0,125 x Rp. 4.800.000 = Rp. 600.000 Umar : 0,125 x Rp. 3.000.000 = Rp. 375.000 Bakar : 0,125 x Rp. 4.200.000 = Rp. 525.000 +

Rp. 1.500.000 Ingat : Jika hasil bagi ini (0,125) dibulatkan menjadi

0,13 hasil penghitungannya belum tentu sesuai dengan keuntungan yang akan dibagikan

Jika rugi  Kasus jika kerugian yang ada pada modal tertutupi

oleh keuntungan yang telah dibagikan saat bisnis berjalan (sebelum akhir bisnis)

Contoh: Setelah akhir bisnis dan modal yang ada diperhitungkan

dilakukan divestasi (pengembalian modal), ternyata modal mengalami kerugian. Kerugian yang ada sebesar Rp.1.000.000,- (jadi sisa modal yang ada sebesar Rp. 11.000.000,- (12.000.000 – 1.000.000)

serta

Perhitungkan kembali keuntungan yang pernah dibagikan disaat bisnis sedang berjalan.

Sisa modal yang ada ditambah keuntungan yang pernah dibagikan kemudian digunakan untuk

menutupi modal, sisanya menjadi keuntungan

dan dibagikan sesuai prosentase yang telah disepakati pada saat akad

Dalam kasus ini maka pelaksana harus mengembalikan sebagian keuntungan yang pernah diambilnya dan pemilik modal harus

menganggap keuntungan yang pernah diperolehnya sebagai bagian dari modal.

Contoh diatas menunjukan pernah dibagikan keuntungan sebesar Rp. 2.500.000. Maka cara penghitungannya: (Sisa modal + keuntungan yang dikembalikan) 11.000.000 + 2.500.000 = Rp. 13.500.000

Ternyata modal tidak mengalami kerugian, karena tertutupi oleh keuntungan yang pernah dibagikan.

Uang yang ada – jumlah modal, sisanya menjadi keuntungan. 13.500.000 – 12.000.000 = Rp. 1.500.000

Berarti keuntungan yang diperoleh sebenarnya sebesar Rp. 1.500.000, maka keuntungan inilah yang dibagikan sesuai dengan kesepakatan.

Bagian masing-masing antara pemilik modal dan Husen (pelaksana) - Pemilik modal ; 60% x 1.500.000 = Rp. 900.000 - Husen

; 40% x 1.500.000 = Rp. 600.000

Jika keuntungan yang pernah diterima Husen sebelum akhir bisnis sebesar Rp. 1000.000, maka ia harus mengembalikannya sebesar Rp. 400.000 (Rp. 1.000.000 – 600.000) untuk menutupi kekurangan pada modal.

Sisa modal yang ada sebesar Rp. 11.000.000 ditambah Rp. 400.000 (dari Husen) menjadi sebesar

Rp. 11.400.000

Sedangkan untuk pemilik modal (Zaed, Umar dan Bakar) harus menganggap keuntungan yang pernah diterimanya sebagai bagian dari modal sesuai dengan proposional modal yang ditanamnya.

Jika keuntungan yang pernah diterima sebesar Rp. 1.500.000, sedangkan keuntungan diakhir bisnis yang sebenarnya hanya Rp. 900.000,-, maka mereka harus menganggap keuntungan yang telah diterimanya sebagai modal sebesar Rp. 600.000,- dan disesuaikan dengan proposional modal yang ditanamkan oleh masing-masing pemilik modal.

Jadi bagian keuntungan yang pernah diterima masing-masing yang harus dianggap sebagai modal, adalah:

Zaed : 40% x 600.000 = Rp. 240.000 Umar : 25% x 600.000 = Rp. 150.000 Bakar : 35% x 600.000 = Rp. 210.000 +

Rp. 600.000

Maka ketiga orang ini diakhir bisnis masing-masing akan menerima pengembalian modal, sebagai berikut:

Zaed : 4.800.000 – 240.000 = Rp. 4.560.000 Umar : 3.000.000 – 150.000 = Rp. 2.850.000 Bakar : 4.200.000 – 210.000 = Rp. 3.990.000 +

Rp.11.400.000 Meskipun mereka menerima lebih kecil dari modal

yang ditanamkannya, pada dasarnya modal tidak mengalami kerugian, karena mereka telah menikmati keuntungan saat usaha sedang berjalan.

 Kasus jika kerugian yang ada pada modal tidak tertutupi oleh keuntungan yang telah dibagikan saat bisnis berjalan (sebelum akhir bisnis)

Contoh: Setelah akhir bisnis dan modal yang ada diperhitungkan

dilakukan divestasi (pengembalian modal), ternyata modal mengalami kerugian. Kerugian/ kekurangan pada modal sebesar Rp. 5.000.000,- jadi sisa modal yang ada sebesar Rp. 7.000.000,- (12.000.000 – 5.000.000)

serta

Sisa modal yang ada ditambah keuntungan yang pernah dibagikan kemudian digunakan untuk menutupi modal, jika modal belum tertutupi

(Rugi), maka kerugian yang ada ditanggung oleh pemilik modal sesuai saham yang diinvestasikan

Dalam kasus ini maka pelaksana harus mengembalikan seluruh keuntungan yang pernah diambilnya dan tidak berkewajiban menanggung

kerugian, sedangkan pemilik modal harus menganggap keuntungan yang pernah diperolehnya sebagai bagian dari modal serta menanggung kerugian yang ada pada modal

Ingat kerugian harus selalu menjadi tanggungan pemilik modal, karena kerugian merupakan reduksi

dari modal

Contoh diatas menunjukan pernah dibagikan keuntungan sebesar Rp. 2.500.000. Maka cara perhitungannya:

(Sisa modal + keuntungan yang dikembalikan) 7.000.000 + 2.500.000 = Rp. 9.500.000

Ternyata modal mengalami kerugian, karena tidak tertutupi oleh keuntungan yang pernah dibagikan.

Jumlah modal seharusnya – uang (modal) yang ada, sisanya menjadi kerugian yang harus ditanggung bersama-sama antara pemilik modal. 12.000.000 – 9.500.000 = Rp. 2.500.000,-

Berarti modal mengalami kerugian sebesar Rp. 2.500.000, maka kerugian ini yang ditanggung oleh pemilik modal sesuai modal yang diinvestasikan.

Dalam hal ini Husen (selaku pelaksana) hanya berkewajiban mengembalikan keuntungan yang pernah diambilnya sebesar Rp. 1.000.000 dan tidak

berkewajiban menanggung kerugian.

Untuk pengembalian sisa modal kepada masing- masing pemilik modal ada beberapa cara:

Cara 1 Setiap pemilik modal harus mengembalikan keuntungan yang pernah diambil saat bisnis berjalan, dengan rincian: Zaed : Rp. 600.000 Umar : Rp. 375.000 Bakar : Rp. 525.000 +

Rp. 1.500.000 Kemudian dijumlahkan dengan sisa modal yang ada setelah ditambah dengan pembelian dari pelaksana.

(Sisa modal + pengambilan keuntungan dari pelaksana + pengembalian keuntungan dari pemilik modal) 7.000.000 + 1.000.000 + 1.500.000 = Rp. 9.500.000

Jadi pengembalian modal kepada masing-masing pemilik modal adalah:

Zaed : 40% x 9.500.000 = Rp. 3.800.000 Umar : 25% x 9.500.000 = Rp. 2.375.000 Bakar : 35% x 9.500.000 = Rp. 3.325.000 +

Rp. 9.500.000 Untuk melihat kerugian yang dialami masing-masing

pemilik modal adalah: (prosentase masing-masing modal yang ditanamkan

dikalikan dengan jumlah kerugian yang menjadi tanggungan) Zaed : 40% x 2.500.000 = Rp. 1.000.000 Umar : 25% x 2.500.000 = Rp. 625.000 Bakar : 35% x 2.500.000 = Rp. 875.000 +

Rp. 2.500.000

Bandingkan dengan perhitungan dibawah ini: (jumlah modal masing-masing –

jumlah pengembalian sisa modal yang ada untuk masing- masing)

Zaed : 4.800.000 – 3.800.000 = Rp.1.000.000 Umar : 3.000.000 – 2.375.000 = Rp. 625.000 Bakar : 4.200.000 – 3.325.000 = Rp. 875.000 +

Rp.2.500.000 Cara 2

Pemilik modal tidak mengembalikan keuntungan, tetapi langsung menganggap bahwa keuntungan yang pernah diambil dianggap sebagai bagian dari modal. Maka jumlah uang yang dibagikan antara pemilik modal adalah:

(Sisa modal + pengembalian keuntungan dari pelaksana) 7.000.000 + 1.000.000 = Rp. 8.000.000,-

Dengan tidak mengembalikan keuntungan yang pernah diambil saat bisnis berjalan, maka diakhir bisnis, pada saat divestasi (pengembalian modal) masing-masing pemilik modal akan menerima uang sebagai berikut:

Zaed : 40% x 8.000.000 = Rp. 3.200.000 Umar : 25% x 8.000.000 = Rp. 2.000.000 Bakar : 35% x 8.000.000 = Rp. 2.800.000 +

Rp. 8.000.000

Dengan tidak mengembalikan keuntungan yang pernah diambil, pada saat divestasi seolah-olah pemilik modal mengalami kerugian sebagai berikut:

Zaed : 4.800.000 – 3.200.000 = Rp. 1.600.000 Umar : 3.000.000 – 2.000.000 = Rp. 1.000.000 Bakar : 4.200.000 – 2.800.000 = Rp. 1.400.000 +

Rp. 4.000.000

Musyarakah

Husin, Hasan dan Husen bersepakat untuk melakukan perjanjian kerjasama musyarakah, dalam satu usaha bisnis, dimana semua pihak mengumpulkan modal dan mengelolanya secara bersama-sama.

Modal yang dibutuhkan Husen sebesar Rp. 20.000.000,- (lima belas juta rupiah). Mereka (Husin, Hasan dan Husen) bersepakat, pembagian keuntungan akan disesuaikan dengan modal yang diinvestasikan masing-masing tanpa membedakan kemampuan dalam melakukan pekerjaannya.

Modal yang diinvestasikan sesuai dengan kesanggupan masing-masing, yaitu:

Husin : 25% x 20.000.000 = Rp. 5.000.000 Hasan : 40% x 20.000.000 = Rp. 8.000.000 Husen : 35% x 20.000.000 = Rp. 7.000.000 +

Rp. 20.000.000 Jika untung:

Setelah satu kali putaran produksi, diperoleh keuntungan sebesar Rp. 2.500.000,-

Pembagian keuntungan antara anggota syirkah disesuaikan dengan modal yang diinvestasikan masing-masing anggota syirkah sebagai berikut:

Cara 1

Prosentase saham masing-masing pemilik modal dikalikan dengan keuntungan yang diperoleh:

Husin : 25% x 2.500.000 = Rp. 625.000 Hasan : 40% x 2.500.000 = Rp. 1.000.000 Husen : 35% x 2.500.000 = Rp. 875.000 +

Rp. 2.500.000 Cara 2 Menggunakan rumus :

Jumlah seluruh keuntungan dibagi seluruh modal dikali modal masing-masing

Jadi : Rp. 2.500.000 = 0,125 Rp. 20.000.000 Keuntungan yang diterima masing-masing pemilik modal:

Husin : 0,125 x 5.000.000 = Rp. 625.000 Hasan : 0,125 x 8.000.000 = Rp. 1.000.000 Husen : 0,125 x 7.000.000 = Rp. 875.000 +

Rp. 2.500.000 Ingat : Jika hasil bagi ini (0,125) dibulatkan menjadi 0,13

hasil penghitungannya belum tentu sesuai dengan keuntungan yang akan dibagikan

Jika Rugi Jika diakhir bisnis mengalami kerugian ada beberapa hal

yang perlu diperhatikan:

Terhadap keuntungan yang pernah dibagikan, setiap anggota syirkah harus menganggap sebagai bagian dari modal serta menanggung kerugian yang ada pada modal.

Ingat kerugian harus selalu menjadi tanggungan pemilik modal, karena kerugian merupakan reduksi dari modal

Cara pengembalian keuntungan bisa 2 cara yaitu: - Masing-masing

syirkah tidak perlu mengembalikan keuntungan yang pernah diterima saat bisnis berjalan, melainkan langsung membagi sisa modal yang ada sesuai prosentase modal yang diinvestasikan

anggota

- Masing-masing anggota syirkah mengembalikan terlebih dahulu setiap keuntungan yang pernah diterimanya selama bisnis berjalan dan mencampurkannya dengan sisa modal yang ada, kemudian dibagikan sesuai prosentase modal yang diinvestasikannya.

Sedangkan untuk melihat berapa tanggungan masing- masing anggota syirkah dari kerugian yang ditimbulkannya adalah sama dengan cara pembagian keuntungan, yaitu dengan rumus :

Prosentase modal masing-masing dikalikan jumlah kerugian yang ada

Cara penghitungannya sama dengan cara pembagian keuntungan atau kerugian pada kasus mudharabah diatas yang pemilik modalnya terdiri dari beberapa orang

Demikian contoh-contoh teknis pembagian keuntungan dan kerugian dalam sistem bagi hasil mudharabah dan musyarakah.

Pembaca bisa menggunakan dan mencari teknis penghitungan yang lebih mudah dan cepat, selama tidak keluar dari prinsip-prinsip mudharabah dan musyarakah yang telah ditetapkan oleh ahli fiqh.

Daftar Pustaka

1. Imam Abu Ishak Asy-Syaeroziy, Al-Muhazab fi Al- Fiqh ’Ala Madzhab Asy-Syafi’i, (Isa Al-Ababi Al- Halabi Mesir, tanpa tahun)

2. Abu Bakar Jabir Al-Jaziriy, Minhaju al-Muslim, (Darul Fikri, tahun 1995)

3. Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ’Ala Al-Madzahibil Al-Arba’ah, Zuz III (Al-Maktabah Tajariyah Kubra, 1976).

4. Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ’Ala Al-Madzahibil Al-Arba’ah, Zuz IV, terjemah (Asy-Syifa Semarang, tahun 1994).

5. Dr. Ahmad Muhammad Al-’Assal dan Dr. Fathi Ahmad Abdul karim, Sistem Ekonomi Islam dan tujuan-tujuannya. (PT. Bina Ilmu Surabaya).

6. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah. (PT. Alma’arif Bandung, tanpa tahun).

7. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Zuz II (Darul Ihya, tanpa tahun).

8. Jalaluddin Abdul Rahman bin Abi Bakar, Al-Asybah wa an-Nadloir, (Darul Ihya, tanpa tahun)

9. M. Amin Rais, Cakrawala Islam, (Mizan Bandung, tahun 1989).

10. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (CV. Masagung Jakarta 1994).

11. Rachmat Syafe’i, Pengantar Ushul Fiqh Perbandingan, (Piara Bandung, tahun 1994).

12. M. Nejatullah Sidiqi, Kemitrausahaan dan Bagi Hasil, (PT. Dana Bhakti Prima Yasa Yogyakarta, tahun 1996).

13. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Zuz III (Darul Tasaqafah Islamiyah, tanpa tahun).

14. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Zuz 12 dan 13, terjemah (PT. Al-Ma’arif Bandung, tahun 1996).

15. Sayyid Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al- Kahlaniy, Subulu as-Salam Zuz III, (Dahlan Bandung, tanpa tahun).

16. Soenarjo DKK, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Jakarta, tahun 1995).

17. Thohir Abdul Muhsin Sulaiman, Menanggung Krisis Ekonomi Secara Islami, (PT. Al-Ma’arif, Bandung, tahun 1985).

18. Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibary, Fathul Mu’in, lihat hamisy I’anatut Tholibin Zuz III.

19. Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibary, Fathul Mu’in Zuz II, terjemah (Menara Kudus, tahun 1979).