Mudharabah dan Musyarakah kajian teoriti

DAFTAR ISI

Pengantar Penulis iii Kata Pengantar KH. Moch. Ilays Ruhiat

vii Daftar Isi

viii BAB I

MUQADIMAH

1 BAB II

TINJAUAN TEORITIS TENTANG MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH

1. Mudharabah

8 Pengertian Mudharabah

8 Landasan Hukum Mudharabah

10 Ketentuan-ketentuan Mudharabah

A. Rukun Mudharabah

B. Syarat Mudharabah

2. Musyarakah

32 Pengertian Musyarakah

32 Landasan Hukum Musyarakah

40 Ketentuanketentuan Musyarakah

A. Rukun Musyarakah

45 BAB III

B. Syarat Musyarakah

PELAKSANAAN TRANSAKSI MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH

1. Ketentuan Mudharabah

70 Contoh Kasus Contoh Lembar akad Daftar Pustaka Tentang Penulis

2. Ketentuan Musyarakah

BAB I MUQODIMAH

Allah telah menciptakan alam semesta, dan diciptakan-Nya manusia dengan dibekali akal untuk memakmurkan alam semesta ini, sekaligus untuk melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi ini. Alam semesta ini Allah tundukan kepada manusia, agar manusia memperoleh sebab-sebab penghidupannya. Dengan bekal akal itulah manusia akan senantiasa memilih dan mencari segala sesuatu yang diinginkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan jasmani (material) maupun rohani (spiritual).

Memiliki keinginan semacam ini telah merupakan naluri dan fitrah manusia, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 14:

ِبﺂَﻣْﻟا Artinya: Dijadikannya indah pada (pandangan) manusia

kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: Wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan dunia, disisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga).

Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa salah satu yang diingini manusia adalah harta benda sebagai bagian dari sarana untuk memperoleh kesenangan di dunia. Untuk mendapatkan harta tersebut, manusia dengan segala kemampuan akal pikiran yang dimilikinya melakukan berbagai usaha dan pekerjaan. Usaha manusia ini sering disebut dengan istilah kegiatan ekonomi, sebagaimana sebagian ahli mendefinisikan bahwa:

”Ekonomi adalah salah satu ilmu sosial yang bertujuan menerangkan cara-cara menghasilkan, mengedarkan, membagi, memakai barang dan jasa dalam masyarakat. Dan juga bagaimana memperkembangkan cara-cara tersebut agar produksi semakin tumbuh, sirkulasi semakin mudah dan distribusi semakin baik, sehingga kebutuhan-kebutuhan masyarakat bisa terpenuhi sebaik-baiknya, baik sekarang

maupun di masa yang akan datang”. 1 Berdasarkan depinisi di atas, jelaslah bahwa dalam tatanan

kehidupan bermasyarakat, Cita-cita ekonomi ekonomi merupakan salah satu

menurut islam, yakni gejala yang timbul secara

mampu merubah universal. Hal ini berarti bahwa

persaingan yang tidak ekonomi tidak dapat dilepaskan

sehat, egoisme dan keterkaitannya dari kehidupan

monopoli menjadi saling sosial lainnya, karena hubungan

pengertian dan timbal balik yang sangat

mengeksploitir kekayaan menentukan itu merupakan

dengan cara terbaik demi kemaslahatan seluruh

kenyataan prinsip yang tidak umat manusia, serta tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, menyimpang dari nilai- maka aspek hukum yang nilai kebajikan dan

menyangkut ajaran agama pun ketaqwaan. harus

dilibatkan

dalam

pelaksanaannya, dengan harapan munculnya keinginan masyarakat terhadap kegiatan ekonominya selalu didasarkan atas norma-norma agama.

Dalam pandangan agama islam, kegiatan ekonomi bukan semata-mata hanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan materi demi kesenangan duniawi saja, akan tetapi merupakan jembatan bagi tujuan yang lebih besar dan cita-cita yang lebih

1 Thohir Abdul Muhsin Selaiman, Menanggung krisis Ekonomi Secara Islami, (PT. Al-Ma’arif, Bandung, tahun 1985). Hal. 29 1 Thohir Abdul Muhsin Selaiman, Menanggung krisis Ekonomi Secara Islami, (PT. Al-Ma’arif, Bandung, tahun 1985). Hal. 29

Dengan hal ini diharapkan tercapainya cita-cita ekonomi menurut islam, yakni mampu merubah persaingan yang tidak sehat, egoisme dan monopoli menjadi saling pengertian dan mengeksploitir kekayaan dengan cara terbaik demi kemaslahatan seluruh umat manusia, serta tidak menyimpang dari nilai-nilai kebajikan dan ketaqwaan. Sebagaimana diperintahkan Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 2:

ِنا َوْدُﻌْﻟا َو ِمْﺛﻹا ﻰَﻠَﻋ ا ْوُﻧ َوﺎَﻌَﺗ َﻻ َو ى َوْﻘﱠﺗﻟا َو ﱢرِﺑْﻟا ﻰَﻠَﻋ ا ْوُﻧ َوﺎَﻌَﺗ َو Artinya: Dan tolong menolonglah kamu dalam hal

mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

Dalam merealisasikan prinsip ta’awun, islam mengatur cara kerja sama dalam kegiatan ekonomi, diantaranya tentang bagi hasil melalui persekutuan untuk mendapatkan keuntungan dalam hal perniagaan yaitu Mudharabah dan Musyarakah.

Keijinan konsep bagi hasil ini akan sangat memudahkan manusia, karena kadang-kadang ada sebagian orang yang memiliki modal (kaya), tapi miskin tentang cara (teknik) pengembangannya, dilain pihak ada orang yang tidak memiliki modal (miskin), tapi kaya tentang cara dan kemampuan dalam mengembangkannya.

Dengan melakukan salah satu konsep ekonomi islam seperti bagi hasil ini, diharapkan dapat tercapai keterkendalian Dengan melakukan salah satu konsep ekonomi islam seperti bagi hasil ini, diharapkan dapat tercapai keterkendalian

Pelaksanaan kegiatan ekonomi dinegara indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam, saat ini justru menghadapi kenyataan bahwa persoalan-persoalan keagamaan mendapat tempat terpenting yang tidak dapat dikesampingkan dalam melaksanakan kegiatan ekonominya. Hal ini menunjukan pentingnya teori-teori ekonomi yang sesuai dengan syari’at islam.

Kenyataan ini menempatkan pesantren pada posisi strategis untuk melakukan kegiatan ekonomi melalui jalur bahasa agama. Penempatan pesantren sebagai salah satu lembaga keagamaan pada posisi strategis ini disebabkan oleh kemampuannya dalam membentuk watak populis dan etik sosial, artinya apa saja yang diajarkan di pesantren sebagai sesuatu yang baik dan terpuji akan dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajib untuk dilaksanakan, dan apa saja yang diajarkan di pesantren sebagai sesuatu yang buruk dan tercela, akan dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajib untuk tidak dilaksanakan.

Disamping itu, sebagai institusi sosial, pondok pesantren mampu menampilkan diri sebagai model gerakan alternatif bagi pemecahan masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat, peran pesantren sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan dituntut daya kreatifnya agar dapat memberikan jawaban konstruktif terhadap problema dan keluhan masyarakat di sekelilingnya.

Sebagai lembaga pendidikan islam, hubungan sosial fsikologis pesantren dengan komunitasnya mempunyai sistem nilai tersendiri yang berbeda dengan sistem lainnya. Sistem nilai yang berkembang mempunyai ciri watak tersendiri, yakni nilai pokok yang tumbuh dan berkembang bahwa seluruh kehidupan dipandang sebagai ibadah.

Dalam perkembangannya, fungsi pesantren bukan saja sebagai lembaga sosial, tugas yang diemban bukan saja sosial agama (baca akhirat), tetapi juga menyikapi soal kemasyarakatan yang diferennsial.

Tugas kemasyarakatan pesantren ini sebenarnya tidak mengurangi tugas keagamaan, karena justru dengan hal inilah penjabaran nilai-nilai yang dikaji dapat diimplementasikan demi kemaslahatan umat.

Diantara nilai-nilai keagamaan yang dikaji melalui kitab kuning di pesantren adalah ilmu fiqh yang didalamnya dibahas mengenai konsep-konsep ekonomi islam (fiqh mu’amalah). Melalui penerapan konsep ekonomi yang sesuai syari’ah ini diharapkan menjadi entry point dalam menanggulangi kesenjangan sosial yang disebabkan oleh adanya pelaku ekonomi yang terlepas dari kontrol agama, sehingga mengakibatkan terciptanya tatanan dan stratifikasi sosial ekonomi masyarakat yang makin tajam, berkembang dan tak terkendali. Pada kenyataanya justru yang menjadi korban mayoritas umat islam.

Ditingkat masyarakat, peranan pesantren ini akan diambil alih oleh santeri yang sudah muqim (kembali kekampung halaman), sehingga seorang santeri diharapkan mampu menjadi agent of change terhadap perilaku-perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan syari’at, termasuk didalamnya mengenai mu’amalah.

Hal ini didasari atas keyakinan dan kesadaran bahwa setiap muslim dituntut untuk melaksanakan tugas kehambaannya secara utuh, baik bidang ritual (ibadah mahdhah) maupun sosial (mu’amalah). Pemahaman ini penting, karena seringkali terjadi adanya anggapan bahwa ritual lebih penting dari mu’amalah, padahal bagaimana mungkin suatu ibadah ritual diterima jika perut kita diisi oleh makanan yang diperoleh dengan cara yang tidak diinginkan syar’i (bathil).

Untuk kepentingan inilah buku ini disusun, yang didalamnya memuat kutipan-kutipan pendapat para ahli fiqh tentang konsep bagi hasil sistem mudharabah dan musyarakah. Dengan harapan paling tidak memunculkan rangsangan- rangsangan untuk mengkaji dan menerapkan konsep-konsep ekonomi islam secara mendalam.

Sebagai bahan perbandingan diuraikan tentang ketentuan- ketentuan perjanjian mudharabah dan musyarakah yang pernah dilakukan oleh salah satu lembaga swadaya masyarakat di Tasikmalaya, tempat dimana penulis pernah melakukan kajian mengenai hal tersebut. Dengan harapan dapat dijadikan gambaran praktis dalam mengimplementasikan kedua konsep bagi hasil ini.

Diakhir pembahasan dimuat pula tentang contoh pembagian keuntungan dan kerugian dalam transaksi mudharabah dan musyarakah.

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH

Dalam hukum islam terdapat empat konsep bagi hasil yang sering menjadi pembahasan jumhur (kebanyakan) ulama fiqh, yaitu:

1. Muzaro’ah

2. Musyaqah

3. Mudharabah

4. Musyarakah (Syirkah) Meskipun keempat konsep ini merupakan aturan bagi

hasil, namun memiliki konteks yang berbeda-beda, yakni, dua yang pertama (muzaro’ah dan musyaqah) adalah konsep bagi hasil di bidang pertanian, sedangkan dua yang terakhir (mudharabah dan musyarakah) adalah konsep bagi hasil dalam bidang permodalan (perniagaan).

Sebelum melangkah kepada pembahasan lebih lanjut, sebagaimana dikemukakan di awal tulisan ini, konsep bagi hasil yang akan dibahas adalah yang berkaitan dengan perniagaan, yaitu mudharabah dan musyarakah, dengan pertimbangan bahwa dua konsep inilah yang mulai banyak dilakukan masyarakat, namun aturan-aturan hukumnya seringkali terabaikan.

Secara berturut-turut pembahasan mudharabah dan musyarakah yang akan diuraikan di bawah ini meliputi pengertian, landasan hukum, rukun dan syarat-syaratnya serta ketentuan-ketentuan lain yang memiliki keterkaitan dan dipandang perlu untuk dikemukakan.

1. Mudharabah Pengertian Mudharabah Tentang pengertian mudharabah Abdurrahman Al-

Jaziri mengemukakan sebagai berikut: ”Mudharabah menurut pengertian etimologi

(bahasa) ialah salah satu pernyataan yang mengandung pengertian bahwa

seseorang memberikan modal niaga kepada orang lain agar modal itu diniagakan dengan perjanjian keuntungan dibagi antara dua belah pihak sesuai perjanjiannya, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal.

Perkataan ”mudharabah” ( ﮫﺑرﺎﻀﻣ) adalah dikeluarkan dari bentuk masdar ( بﺮﻀﻟا) yang artinya pergi. Tentang ma’na ini Allah SWT berfirman:

ِضْرَﻻا ﻰِﻓ ْمُﺗْﺑَرَﺿ اَذِإ َو Artintya: Dan apabila kamu bepergian di muka

bumi Mudharabah juga disebut ”qiradh” ( ضاﺮﻗ) dan

“muqaradhah”, yang dibentuk dari masdar ( ضﺮﻘﻟا)

yang artinya memotong. Mudharabah disebut qairadh atau muqaradhah karena pemilik modal memotong sebagian hartanya agar diniagakan dengan memperoleh sebagian keuntungan, dan demikian juga yang meniagakan memotong sebagian keuntungan pemilik modal yang diperoleh karena usahanya.

Adapun mudharabah menurut para ahli fiqh ialah: Akad perjanjian kerjasama antar dua orang Adapun mudharabah menurut para ahli fiqh ialah: Akad perjanjian kerjasama antar dua orang

Yang jelas pengertian di atas seirama dengan pengertian etimologi. Hanya saja dibatasi dengan syarat-syarat yang mengakibatkan sah dan batalnya perjanjian tersebut dalam pandangan syar’i”. 1

Sedangkan Sayyid Sabiq mengemukakan tentang pengertian mudharabah sebagai berikut:

”Mudharabah disebut juga mu’amalah. Yang dimaksud disini, ialah: Akad antara kedua belah pihak, salah seorangnya (salah satu pihak) mengeluarkan uang kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan/ diniagakan. Dan laba dibagi dua

sesuai dengan kesepakatan.” 2 Sementara itu seorang ahli fiqh, yaitu Syaikh

Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibariy menyebutkan mudharabah dengan sebutan qiradh dan memberikan pengertian sebagai berikut:

”Qiradh yaitu suatu akad penyerahan harta oleh pemiliknya

orang lain untuk diperdagangkan dengan keuntungan dimiliki

kepada

berdua”. 3

1 Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Al-‘Arba’ah, Zuz III (Al- 2 Maktabah Tijariyah Kubra, 1976), hal. 34 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Zuz III (Darul Tsaqofah Islamiyah, tanpa tahun).

3 Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibary, Fathul Mu’in, lihat hamisy Hal. 147 I’anatuth Tholibin Zuz III hal. 99

Setelah menelaah beberapa pendapat para ahli fiqh diatas, kiranya dapat dinyatakan, bahwa mudharabah atau qiradh adalah perjanjian kerjasama (kontrak) antara kedua belah pihak untuk mendapatkan keuntungan dengan bekerjasama dimana salah satu pihak bertindak sebagai pemilik modal (shohibul maal) yang menyerahkan modalnya kepada pihak lain dengan permintaan agar meniagakannya dan pihak penerima modal tersebut bertindak sebagai pengelola (shohibul ’amal) . Sedangkan mengenai pembagian keuntungan disesuaikan dengan hasil kesepakatan antara kedua belah pihak pada saat mengadakan perjanjian.

Landasan Hukum Mudharabah Dalil yang dijadikan landasan tentang pelaksanaan

mudharabah atau qiradh adalah ijma’, sebagai mana diuraikan oleh Syaikh Sayyid Sabiq berikut ini:

”Hukum mudharabah jaiz (boleh) menurut ijma’.

Rasulullah Sholallohu ’Alaihi Wasalam pernah melakukan mudharabah dengan Khodijah, dengan modal daripadanya (Khodijah). Beliau (Rasulullah) pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk diperdagangkan. Ini sebelum beliau diangkat menjadi Rasul.

Pada zaman Jahiliyah, mudharabah telah ada dan setelah datang islam, maka islam mengakuinya/menetapkannya.

Hajar mengatakan: Mudharabah telah terjadi pada masa Rasulullah SAW, beliau mengakuinya dan menetapkannya. Kalaulah tidak demikian (terlarang) tentu

Al-Hafidz

Ibnu

Rasulullah tidak akan membolehkannya sama sekali (melarang).

Diriwayatkan bahwa Abdullah dan Ubaidillah putra-putra Umar bin al-Khatab. r.a., keluar bersama pasukan Irak. Ketika mereka kembali, mereka singgah kepada bawahan Umar yaitu Abu Musa Al-’Asy’ari, gubernur Bashrah. Ia menerima mereka dengan senang hati dan berkata ”Sekiranya aku dapat memberikan pekerjaan kepada kalian yang bermanfaat, aku akan melakukannya”. Kemudian ia berkata: ”Sebetulnya begini, ini adalah sebagian dari harta Allah yang ingin aku kirimkan kepada Amirul Mu’minin. Aku pinjamkan kepada kalian untuk dipakai membeli barang-barang yang ada di Irak, kemudian kalian jual di Madinah. Kalian kembalikan modal pokoknya kepada Amirul Mu’minin, dengan demikian kalian akan mendapat keuntungannya”. Keduanya lalu berkata:

”Kami senang melakukannya”.

Abu Musa melakukannya, dan menulis surat kepada Umar agar beliau menerima harta dari keduanya. Setelah mereka tiba, mereka menjual dan mendapatkan laba. Umar lalu berkata: ”Adakah semua pasukan telah dipinjamkan uang seperti kamu?”. Mereka menjawab: ”Tidak”. Umar kemudian berkata: ”Dua anak Amirul Mu’minin, karenanya mereka meminjamkan kepada keduanya. Serahkan harta dan labanya”.

Selanjutnya

Abdullah diam saja, tetapi Ubaidillah menjawab: ”Wahai Amirul Mu’minin kalau harta ini binasa (habis) kami menjaminnya”. Ia (Umar) terus berkata: ”Serahkanlah!”. Abdullah diam saja dan Ubaidillah tetap mendebatnya. Salah seorang Abdullah diam saja, tetapi Ubaidillah menjawab: ”Wahai Amirul Mu’minin kalau harta ini binasa (habis) kami menjaminnya”. Ia (Umar) terus berkata: ”Serahkanlah!”. Abdullah diam saja dan Ubaidillah tetap mendebatnya. Salah seorang

labanya”. 4 Dalam kitab Subulu as-Salaam dinyatakan Imam

Malik menulis dalam kitab Al-Muwatho bahwa seseorang pernah mengelola harta Utsman r.a. dan

labanya dibagi antara mereka berdua. 5 Selain yang disebutkan oleh Sayyid Sabiq diatas,

ada salah satu hadits Rasulullah yang dijadikan dasar hukum mudharabah oleh ulama fiqh, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah diterima dari Shuhaib r.a.:

ِﻊْﯾَﺑْﻠِﻟ َﻻ ِتْﯾَﺑْﻠِﻟ ِرْﯾِﻌﱠﺷﻟﺎِﺑ ﱢرُﺑْﻟا ُﺔ ْﻠَﺧ َو ُﺔَﺿَرﺎَﻘُﻣْﻟا َو Artinya: “Bahwa Nabi SAW. Telah bersabda: “Ada

tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkatan (1) menjual dengan pembayaran cicilan (tidak kontan) (2) muqaradhah (nama lain dari mudharabah) dan (3) mencampur gandum untuk keperluan rumah bukan

untuk dijual”. 6

4 Sayyid Sabiq, op. cit. hal. 148 5 Sayyid Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al-Kahlany, Subulu as-Salaam Zuz 6 Ibid : hal. 77 III, (Dahlan Bandung, tanpa tahun), hal. 77

Ketentuan-Ketentuan Mudharabah Yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan

mudharabah dalam buku ini meliputi rukun dan syarat mudharabah menurut sebagian fuqaha.

A. Rukun Mudharabah Sayyid Sabiq berpendapat bahwa rukun

mudharabah ada dua yaitu:

1. Ijab

2. Qabul Dalam hal ini beliau tidak mensyaratkan adanya

lafadz (shigat) tertentu, tetapi bisa dengan bentuk apa saja yang menunjukan ma’na mudharabah. Alasannya karena yang dimaksudkan akad adalah tujuan dan ma’nanya bukan lafadz dan susunan kata.

Pendapat Sayyid Sabiq ini. Sama halnya dengan pendapat ulama madzhab Hanafi, sebagaimana

diterangkan oleh Abdurrahman Al-Jaziri. 7 Sedangkan ulama madzhab Maliki berpendapat

rukun mudharabah itu ada lima, yaitu:

4. Dua orang yang melakukan kerjasama (Al’Aqidani)

5. Shigat (ijab qabul). 8

8 Abdurrahman Al-Jaziri, op.cit. hal. 36 Ibid : hal. 41

Menurut ulam madzhab Syafi’i, rukun mudharabah ada enam, yaitu:

1. Pemilik modal

2. Modal yang diserahkan

3. Orang yang berniaga

4. Perniagaan yang dilakukan

5. Ijab (pernyataan penyerahan)

6. Qabul (pernyataan penerimaan) 9 Menelaah beberapa kutipan diatas terlihat

perbedaan pada penentuan jumlah rukun mudharabah diantara para ulama, mengenai hal ini Abdurrahman Al- Jaziri menjelaskan sebagai berikut:

”....bahwa rukun terbagi menjadi dua macam yaitu:

a. Asli (pokok) yaitu sesuatu hal masuk dalam hakikat perkara, ialah ijab qabul

b. Bukan asli (bukan pokok) yaitu suatu hal dimana perkara lain bisa terwujud lantaran terwujudnya hal tersebut.

Orang yang berpandangan dengan rukun pertama, maka ia tentu mengatakan bahwasannya rukun kerjasama (mudharabah) hanyalah ijab qabul semata. Sedangkan orang yang berpandangan dengan rukun kedua, maka ia tentu menghitung rukun-rukun mudharabah sesuai dengan yang disampaikan oleh ulama madzhab Syafi’i. Pandangan seperti ini berlaku pada setiap

perjanjian kerjasama”. 10

10 Ibid : hal. 44 Ibid : hal. 34

B. Syarat Mudharabah Mengenai pembahasan tentang syarat-syarat

mudharabah, di bawah ini akan dikutip sebagian pendapat para ahli fiqh terhadap persyaratan- persyaratan mudharabah tersebut, yang meliputi: Permodalan, keuntungan dan kerugian, pemilik modal, pelaku dan pekerjaan. Hal ini akan diuraikan satu persatu secara terpisah, dengan tidak menutup kemungkinan akan dikutip ketentuan-ketentuan lain menurut para ahli, meskipun mereka tidak memasukannya secara langsung kepada persyaratan mudharabah.

1. Permodalan Untuk kesahan mudharabah Sayyid Sabiq

memberikan syarat-syarat terhadap permodalan, antara lain:

a. Modal harus berbentuk uang tunai, jika berbentuk emas atau perak yang masih batangan, atau masih berbentuk barang, maka tidak sah.

b. Modal harus diketahui dengan jelas, agar dapat

dibedakan antara modal dan keuntungan. 11

Sementara itu selain dua syarat diatas, ulama madzhab Hanafi mensyaratkan bahwa:

a. Modal itu harus benar-benar berada dipihak pemilik modal, karena itu tidak sah mudharabah dengan modal hutang yang ada pada penerima modal. Lain halnya bila modal itu berada di tangan orang lain (bukan penerima modal),

11 Sayyid Sabiq, op.cit. hal. 148-149 11 Sayyid Sabiq, op.cit. hal. 148-149

b. Modal tersebut diserahkan kepada penerima modal,

ia (penerima) mendayagunakannya.

sehingga

Bila keduanya mendayagunakannya maka perjanjian itu batal. 12

Mengenai jenis modal, ulama madzhab Hambali membatasi, bahwa modal hanya berupa emas dan perak yang telah distempel raja. Maka tidak boleh

dengan mata uang selain emas dan perak. 13 Demikian juga dengan ulama madzhab Syafi’i, namun

demikian ada juga sebagian ulama madzhab Syafi’i yang membolehkan dengan mata uang yang terbuat dari tembaga yang sudah dijadikan alat tukar

menukar kebutuhan hidup seperti emas dan perak. 14 Mengomentari tentang jenis modal yang akan

diniagakan, Ibnu Rusyd mengemukakan: ”Para ulama sepakat bahwa mudharabah

boleh dengan uang emas (dinar) dan uang perak (dirham). Kebanyakan (jumhur) ulama di berbagai tempat berpendapat mudharabah dengan barang tidak boleh, sementara Ibnu Abi Laili membolehkannya.

13 Abdurrahman Al-Jaziri, op.cit. hal. 36 14 iIbid : hal. 43 iIbid : hal. 47

Adapun alasan jumhur, bahwa bila modal berbentuk barang, maka mencakup barang lain yang seharga dan ada pula barang yang serupa namun harganya berbeda, maka modal dan

keuntungan akan menemui kesamaran”. 15

2. Keuntungan dan Kerugian Keuntungan

Sayyid Sabiq mengemukakan syarat mudharabah yang berhubungan dengan keuntungan, hanya satu syarat saja, yaitu: Bahwa keuntungan yang menjadi milik kedua belah pihak harus jelas prosentasenya,

seperi setengah, sepertiga, atau seperempat. 16 Hal ini berarti bahwa menentukan keuntukan tidak boleh

disebutkan dalam nilai uang (nominal), melainkan penyebutannya (penentuannya) masih berbentuk serikat.

Mengenai hal ini ulama dari empat madzhab sepakat, sebagaimana dikemukakan oleh DR. M. Netajullah Siddiqi sebagai berikut:

”Keempat imam ahli fiqh menyetujui bahwa baik dalam mudharabah ataupun syirkah, pembagian keuntungan tidak boleh ditetapkan dengan jumlah yang tetap (nilai uang), juga dalam hal yang sama dalam mudharabah pihak- pihak tersebut boleh menentukan berapapun jumlah keuntungan dengan adanya perjanjian

bersama”. 17

15 Ibnu Rusyd, Bidayatul Hidayah, Zuz II (Darul Ihya, tanpa tahun), hal. 178

17 Sayyid Sabiq, op. cit. hal. 149 M. Nejatullah Siddiqi, Kemitrausahaan dan Bagi Hasil, (PT. Dana Bhakti Prima Yasa Yogyakarta, tahun 1996), hal. 19

Dari pernyataan di atas dipahami bahwa kedua belah pihak tidak boleh menentukan jumlah keuntungan dengan nilai uang pasti sekecil apapun (seperti satu juta atau lainnya), namun kedua belah pihak diberi kebebasan untuk menentukan jumlah keuntungan dalam bentuk serikat, seperti setengah, sepertiga dan seperempat, sesuai dengan kesepakatan bersama.

Dalam hal ini Ibnu Munjir, sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq mengemukakan:

”Semua yang ilmunya kami pelihara sependapat untuk membatalkan qiradh, apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak

menjadikan dirham tertentu untuk dirinya”. 18 Setelah

kesepakatan pembagian keuntungan, tidak diperbolehkan salah satu pihak mensyaratkan adanya keuntungan lebih (tambahan) dari bagian yang telah ditentukan. Mengenai hal ini

terjadi

di kalangan ulama tidak terjadi perbedaan pendapat. 19 Lain halnya bila si pelaku mensyaratkan bahwa

seluruh keuntungan diserahkan baginya (si pelaku), dalam hal ini ulama berbeda pendapat, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rusyd berikut ini:

”....Imam Malik mengatakan boleh, dan Imam Syafi’i mengatakan tidak boleh, sementara Abu Hanifah berpendapat bahwa hal itu termasuk qardh (hutang) bukan qiradh (mudharabah). Adapun alasan Imam Maliki

19 Sayyid Sabiq, op. cit. hal 149 Ibnu Rusyd, op. cit. hal 179 19 Sayyid Sabiq, op. cit. hal 149 Ibnu Rusyd, op. cit. hal 179

(keuntungan), dalam hal ini ada keanehan”. 20 Pembagian keuntungan

Ketentuan lain yang berkaitan dengan keuntungan yaitu tentang pengambilan keuntungan oleh pekerja. Mengenai hal ini Ibnu Rusyd mengemukakan:

”Tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama fiqh tentang pihak yang bekerja dengan modal yang diperoleh melalui mudharabahnya boleh mengambil bagian atas keuntungan tersebut, apabila semua modal yang ditanamkannya itu telah dialihkan ke dalam bentuk uang tunai, apabila dalam hal terjadi kerugian dan ia akan melanjutkan pekerjaan sampai memperoleh

keuntungan, maka keuntungan tersebut pertama-tama digunakan

untuk menutupi kerugian yang timbul”. 21

21 ibid : hal 179 ibid. hal. 181

Para ahli fiqh sepakat bahwa keuntungan dan kerugian yang sebenarnya bagi pihak-pihak tersebut

ditetapkan pada akhir bisnis. 22 Namun para ahli fiqh berbeda pendapat tentang

diperbolehkan atau tidaknya bila membagi keuntungan yang ada sebelum bisnis berakhir atau sebelum seluruh modal diserahterimakan kepada pemilik modal. Dalam hal ini ulama madzhab Syafi’i membolehkan, sebagaimana dijelaskan oleh Abdurrahman Al-Jaziriy berikut ini:

”Ulama madzhab Syafi’i menjelaskan bahwa membagi keuntungan sebelum modal diserahkan kepada pemiliknya adalah sah. Hanya saja bila keuntungan dibagi sebelum dijualnya seluruh komoditi dan sebelum berubahnya modal dari komoditi menjadi uang emas atau perak, maka kepemilikan terhadap keuntungan itu belum

stabil (bersifat sementara)”. 23 Sementara itu ulama madzhab Hanafi dan

Hambali menganggap tidak sah terhadap pembagian keuntungan sebelum akhir bisnis. 24

Adanya perbedaan pandangan terhadap sah dan tidaknya pembagian keuntungan sebelum akhir bisnis (modal dikembalikan kepada pemilik) menimbulkan perbedaan pendapat mengenai status hukum keuntungan yang telah diambil (dibagikan). Menurut madzhab Syafi’i bagian keuntungan yang sudah diambil bersifat sementara, artinya bila diakhir bisnis

23 M. Nejatullah Siddiqi, op. cit. hal. 27 24 Abdurrahman Al-Jaziri, op.cit. hal. 61 ibid : hal. 61 dan 62 23 M. Nejatullah Siddiqi, op. cit. hal. 27 24 Abdurrahman Al-Jaziri, op.cit. hal. 61 ibid : hal. 61 dan 62

kesementaraannya. 25 Sedangkan ulama madzhab Hanafi dan Hambali

dengan menganggap tidak sah terhadap pembagian keuntungan sebelum akhir bisnis, maka si pelaku tidak boleh memiliki keuntungan tersebut sebelum pengembalian modal (akhir bisnis), artinya pembagian tersebut ditangguhkan lebih dulu sampai pengembalian modal pada pemilik dan si pelaku menggunakan keuntungan sementara tersebut (tanpa

memiliki). 26 Terkait dengan hal ini Ibnu Qudama,

sebagaimana dikutip M. Nejatullah mengemukakan: ”Mengenai persoalan tentang hak mitra

usaha pelaksana terhadap bagiannya dari keuntungan seiring dengan bertambahnya keuntungan

bahkan sebelum pengembalian (modal) menurut pendapat kami

tersebut,

yang dominan harus ditetapkan”. 27

26 ibid : hal. 61 27 ibid : hal. 61 dan 62 M. Nejatullah Siddiqi, op. cit. hal. 31

Angsuran pengembalian modal Ketentuan lain yang berkaitan dengan masalah

keuntungan adalah bila pemilik modal meminta pengembalian modal secara angsuran, dalam hal ini ulama madzhab Syafi’i mengemukakan:

”Apabila pemilik modal meminta kembali sebagian dari uang modalnya sebelum jelasnya keuntungan dan kerugian, maka demikian itu tidaklah mengapa. Dan modalnya berarti tinggal sisanya setelah ia minta sebagiannya. Atau seandainya ia minta kembali sebagian modalnya setelah tampak keuntungan, maka yang diminta itu dianggap sebagian dari modalnya dan sebagian dari keuntungannya dengan prosentase

modalnya”. 28 Pada prinsipnya dalam hal ini tergantung kepada

kesepakatan antara kedua belah pihak, sebagaimana ditulis oleh Abu Bakar Jabir berikut ini:

”Keuntungan tidak boleh dibagikan selama akad masih berlangsung (sebelum akhir bisnis),

kecuali atas kesepakatan kedua belah pihak”. 29 Kerugian

Mengenai kerugian pada saat bisnis berlangsung, maka si pelaku tidak bertanggung jawab, kecuali kerugian tersebut karena kesalahannya. Dalam hal ini Ibnu Rusyd mengemukakan:

29 Abdurrahman Al-Jaziri, op.cit. hal. 62 Abu Bakar Jabir Al-Jazairy, Minhaju al-Muslim (Darul Fikri, tahun 1995), hal 318

”Tidak ada perbedaan pendapat berkaitan dengan masalah validitas mudharabah, bahwa si pelaku tidak dibebani tanggung jawab bila terjadi kerugian dari modal yang sebenarnya, bila kerugian tersebut tidak diakibatkan oleh kesalahannya”. 30

Tentang batasan kerugian Syamsudin As- Sarkhasi, sebagaimana dikutip oleh M. Nejatullah mengemukakan:

”kerugian itu merupakan kehancuran modal”. 31

kerugian tersebut tidak dibebankan merupakan reduksi kepada pelaku, karena

Alasan

kerugian

dari modal kerugian

sehingga reduksi dari modal sehingga

merupakan

pertanggung pertanggung jawabannya

jawabannya harus harus dikembalikan kepada

dikembalikan pemilik modal.

kepada pemilik modal. Bila kerugian terjadi karena kesalahan/kelalaian si pelaku, seperti menyalahi aturan yang telah disepakati, maka ia wajib mengganti modal tersebut.

3. Pemilik Modal Dalam hal persyaratan yang berkaitan dengan

pemilik modal, semua ahli fiqh sepakat tentang keharusan pemilik modal adalah orang yang telah

31 Ibnu Rusyd, op. cit. hal. 178 M. Nejatullah Siddiqi, op. cit. hal. 15 31 Ibnu Rusyd, op. cit. hal. 178 M. Nejatullah Siddiqi, op. cit. hal. 15

4. Pelaku Niaga (pelaksana) Selain si pelaku harus seseorang yang mampu

berniaga (jaizu tasharuf), ada ketenuan lain yang berhubungan dengan pelaksana, yaitu tentang kedudukan dia setelah mengadakan perjanjian dan diserahi modal. Mengenai hal ini Sayyid Sabiq menjelaskan:

”Jika akad telah berlangsung dan pelaksana sudah memegang harta (modal) maka segala tindakan pelaksana itu menjadi amanat. Ia tidak berkewajiban menjamin kecuali dengan sengaja. Dan jika terjadi kerugian tanpa disengaja maka sedikit pun ia tidak berkewajiban apa-apa. Selain itu ucapan yang dipegang adalah ucapannya (pelaksana) yang disertai sumpah jika dituduh menyia-nyiakan harta atau terjadi kerugian. Karena persoalan

pertama tidak ada pengkhianatan”. 32

Karena si pelaku bertindak sebagai pemegang amanat, menurut Abu Bakar Jabir seorang pelaksana mudharabah harus seorang muslim, sebab seorang muslim selain dapat menjaga amanat juga dapat menjauhi usaha-usaha yang dilarang oleh syara’, jelasnya beliau menulis :

”Mudharabah harus dilakukan diantara dua orang muslim yang telah mampu berniaga

32 Sayyid Sabiq, op. cit. hal 149

(usaha), tetapi tidak mengapa dilakukan antara muslim dan kafir dengan ketentuan bahwa harta dari orang kafir dan pelaku orang muslim, karena seorang muslim tidak dikhawatirkan atasnya

riba, dan tidak pula harta yang haram”. 33

5. Pekerjaan Terjadi perbedaan pendapat mengenai pekerjaan

yang dilakukan pelaku mudharabah itu bersifat mutlaq (tanpa syarat-syarat tertentu) atau muqayyad (terikat). Untuk mengetahui hal ini, berikut pendapat dan penjelasan Sayyid Sabiq:

”Mudharabah itu bersifat mutlaq, pemilik modal tidak mengikat pelaksana (pekerja) untuk berdagang

tertentu atau memperdagangkan barang tertentu, atau berdagang pada waktu tertentu, sementara di waktu lain tidak, atau ia hanya bermu’amalah kepada orang-orang tertentu dan syarat-syarat lain semisalnya. Karena persyaratan yang mengikat seringkali dapat menyimpangkan tujuan akad, yaitu keuntungan. Karena itu harus tidak ada persyaratannya, tanpa itu mudharabah menjadi fasid. Demikian menurut madzhab Maliki dan As-Syafi’i.

di

negara

Adapun Abu Hanifah dan Ahmad, keduanya tidak mensyaratkan syarat tertentu, mereka mengatakan:

”Sesungguhnya sebagaimana mudharabah menjadi sah dengan mutlaq, sah pula dengan muqayyad (terikat)”. Dalam

33 Abu Bakar Jabir Al-Jazairiy, Minhaju al-Muslim (Darul Fikri, tahun 1995), hal 317 33 Abu Bakar Jabir Al-Jazairiy, Minhaju al-Muslim (Darul Fikri, tahun 1995), hal 317

wajib menjaminnya”. 34 Dari pernyataan di atas ditemukan bahwa Abu

Hanifah dan Ahmad membolehkan mudharabah muqayyad, namun demikian, dalam hal persyaratan- persyaratan pemilik modal, ulama madzhab Hanafi memberi batasan berikut ini:

”Pemilik modal tidak boleh mensyaratkan satu syarat yang tidak ada faedahnya. Seperti ia melarang pelaku niaga menjual dengan harga tunai. Syarat seperti itu tidak boleh dilaksanakan, sebab syarat itu justru membahayakan keuntungan, sedangkan pelaku niaga merupakan yang berpartisipasi adanya”. 35

Demikian juga ulama madzhab Hambali, meskipun mereka membolehkan mudharabah muqayyad dengan memakai persyaratan-persyaratan tertentu, namun mereka memberikan batasan tentang syarat-syarat yang tidak boleh dilaksanakan, berikut ini kutipan Abdurrahman Al-Jaziriy tentang hal itu :

”Ada beberapa macam syarat yang tidak membatalkan perjanjian (mudharabah), namun merupakan persyaratan-persyaratan yang batal dan tidak boleh dilaksanakan, yaitu:

a. Mensyaratkan hendaknya bagian pemilik modal dari segi kerugian lebih banyak dari segi keuntungan

35 Sayyid Sabiq, op. cit. hal. 149 Abdurrahman Al-Jaziri, op.cit. hal. 52 35 Sayyid Sabiq, op. cit. hal. 149 Abdurrahman Al-Jaziri, op.cit. hal. 52

c. Mensyaratkan hendaknya tetap berlangsung terus persekutuan kerjasama antara kedua belah pihak dalam jangka waktu yang ditentukan sehingga salah satu pihak tidak bisa membatalkan

d. Pemilik modal melarang pada sekutu niaga, artinya membatasinya dalam pendayagunaan modal seperti ia mensyaratkan hendaknya pelaku niaga tidak melakukan jual beli kecuali dengan barang dagangan tertentu, atau tidak membeli komoditi kecuali dari si fulan saja.

Itu semua adalah syarat-syarat yang batal. Tidak boleh dilestarikan dan tidak boleh dilaksanakan. Tapi perjanjian kerjasama tetap berlangsung sesuai dengan keadaannya. Kerjasama perniagaan ini juga sah dibatasi

dengan waktu”. 36 Alasan yang berpendapat bahwa pekerjaan

mudharabah tidak boleh dibatasi dengan waktu, karena mudharabah merupakan akad jaiz yang boleh memfasakhkan kapan saja, demikian pendapat

Sayyid Sabiq. 37 Namun bila melihat pernyataan di atas tentang syarat-syarat yang tidak boleh

dilaksanakan menurut ulama madzhab Hambali, yaitu point c (batalnya persyaratan berupa tidak boleh memfasakhkan), menunjukan bahwa dengan

37 ibid : hal. 43 - 44 Sayyid Sabiq, op. cit. hal. 149 37 ibid : hal. 43 - 44 Sayyid Sabiq, op. cit. hal. 149

Me-mudharabah-kan harta mudharabah Ketentuan lain yang berhubungan dengan

pekerjaan mudharabah, yaitu bila si pelaksana me- mudharabah-kan harta mudharabah yang diterimanya dari pemilik modal. Mengenai hal ini Sayyid Sabiq

menganggap suatu pelanggaran. 38 Mengomentari

pelaksana me- mudharabah-kan harta mudharabah, Ibnu Rusyd mengemukakan:

tentang

”Dikalangan para fuqoha yang termashur di kota-kota tidak ada perselisihan pendapat, bahwa kalau seseorang pelaksana menyerahkan harta qiradh kepada orang lain, maka dia harus menanggung bila terjadi kerugian. Tapi kalau laba (untung), maka laba itu (dibagi dengan pemilik modal) menurut syarat dia (dengan pelaksana pertama). Kemudian untuk pelaksana kedua diberi bagian sesuai dengan syarat dia (pelaksana kedua) dengan pelaksana pertama yang telah menyerahkan harta kepadanya. Barulah kepada pelaksana pertama diberikan

bagian dia, yaitu laba selebihnya dari harta itu”. 39 Mengenai hal ini Abu Bakar Jabir berpendapat:

tidak boleh memudharabahkan harta kepada orang lain

”Bagi

pelaksana

38 ibi : hal 149 39 Ibnu Rusyd, op. cit. hal. 182

(pelaksana kedua), apabila menimbulkan kerusakan pada harta modal tersebut, kecuali ada ijin dari pemilik modal (yang menyerahkan modal pertama kepada pelaksana pertama), dengan alasan haramnya menimbulkan madharat

(kerusakan) sesama muslim”. 40 Nafakah Pelaksana

Ketentuan lain adalah dalam mengerjakan (meniagakan) harta mudharabah, dalam hal ini Sayyid Sabiq berpendapat bahwa nafakah (bekal) pelaksan diambil dari hartanya sendiri baik selagi muqim (tidak bepergian) ataupun pada saat bepergian, adapun alasan beliau, karena nafakah terkadang sama besarnya dengan jumlah keuntungan, sehingga jika pelaksana mengambil nafakah berarti ia mengambil seluruh keuntungan, maka pemilik modal tidak akan kebagian keuntungan, padahal keuntungan merupakan syarat utama dalam mudharabah. Namun demikian beliau (Sayyid Sabiq) juga membolehkan pelaksanaan mengambil nafakah bila ada ijin dari pemilik modal.

Lebih jelasnya mengenai hal ini, berikut kutipan Ibnu Rusyd:

”Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama, apakah si ’amil (pelaksana) ada nafakah dalam harta modal atau tidak?, dalam hal ini ada tiga pendapat:

1. As-Syafi’i dalam pendapatnya yang paling kuat berkata: ”Pada pokoknya (ashal) tidak

40 Abu Bakar Jabir Al-Jaziriy, op. cit. hal. 318 40 Abu Bakar Jabir Al-Jaziriy, op. cit. hal. 318

2. Sekelompok orang (qaum) berkata: ”bagi pelaksana ada nafakah”. Yang mendukung pendapat ini antara lain, Ibrahim An-Nakho’i dan Hasan salah seorang pemikir dari kalangan Madzhab Syafi’i.

3. Ulama yang lain berkata: ”Bagi pelaksana ada nafakah untuk makanan dan pakaian dalam perjalanan, tapi tidak ada (nafakah) pada waktu hadir (muqim)”. Hal ini dikatakan oleh Imam Malik, Abu Hanifah, Ats-Tsauriy dan jumhur ulama, hanya saja Imam Malik mengatakan: ”Bila memungkinkan untuk itu (ada keluangan untuk nafakah)”. Dan As- Tsauriy berkata: ”Nafakah pada waktu

berangkat tetapi tidak pada saat pulang”. 41 Dari beberapa kutipan diatas, baik dalam hal si

pelaksana memudharabahkan harta (modal) mudharabah ataupun tentang nafakah pelaksana, kebolehannya tergantung atas ijin dari pemilik modal.

Fasakh (pembatalan akad) Pembahasan lain yang berkaitan dengan

mudharabah adalah tentang fasakhnya (pembatalan) mudharabah. Selain karena salah seorang dari kedua belah pihak (pemilik modal dan pelaksana) memfasakhkannya, ada sebab lain yang bisa mengakibatkan fasakhnya mudharabah.

41 Ibnu Rusyd, op. cit. hal. 181

Mengenai fasakhnya mudharabah, Sayyid Sabiq mengemukakan:

”Mudharabah menjadi batal karena hal-hal dibawah ini:

1. Tidak

syarat sahnya mudharabah.

terpenuhinya

Jika ternyata salah satu syarat mudharabah tidak terpenuhi sedang pelaksana sudah memegang modal dan sudah diperdagangkan, maka dia (pelaksana) berhak mendapatkan sebagian upahnya, karena tindakannya berdasarkan ijin dari pemilik modal.

Jika terdapat keuntungan, maka untuk pemilik modal, demikian juga kerugianpun menjadi tanggungannya. Karena pelaksana tak lebih hanya sebagai orang bayaran (ajir) dan seorang bayaran tidak terkena kewajiban menjamin,

hal itu atas kesengajaannya.

kecuali

2. Bahwa jika pelaksana bersengaja tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya dalam memelihara modal atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Dalam keadaan seperti ini pelaksana wajib menjamin modal jika rugi.

3. Salah seorang dari kedua belah pihak meninggal dunia”. 42

Tentang fasakh yang diakibatkan oleh meninggalnya salah seorang dari kedua belah pihak,

42 Sayyid Sabiq, op. cit. hal. 150

Ali Al-Khafif sebagaimana dikutip oleh M. Nejatullah berpendapat:

”Ketika seorang mitra usaha meninggal dunia, maka pengembangan sahamnya dalam kemitraan dan usahanya berakhir, demikian bagian tersebut diserahkan kepada ahli waritsnya, dan kontrak yang telah dilakukan dengan almarhum menjadi terhapus. Ini adalah ketentuan dari kasus kematian dari pemilik

modal atau mitra usaha dalam mudharabah”. 43 Dalam kasus yang meninggal dunia adalah

pemilik modal, maka pelaksana tidak boleh menggunakan

tersebut jika ia menggunakannya padahal ia tahu bahwa pemilik modal sudah meninggal dan tanpa ijin ahli waritsnya, maka perbuatan itu dianggap sebagai ghasab

modal

(merampas) dan ia wajib menjaminnya. 44 Perselisihan

Masalah lain yang berkaitan dengan pekerjaan mudharabah adalah jika terjadi perselisihan antara kedua belah pihak. Perselisihan ini bisa terjadi dalam hal kesepakatan pembagian keuntungan atau hal lain seperti terjadi kerugian, sehingga pelaksan dituduh melakukan penghianatan.

Bila terjadi perselisihan dalam pembagian keuntungan yang telah disepakati sebelumnya, Abu Bakar Jabir Al-Jazairiy berpendapat:

44 M. Nejatullah Siddiqi, op. cit. hal. 107 Lihat Sayyid Sabiq, op. cit. hal. 150

”Bila ada perselisihan antara kedua belah pihak

pembagian yang telah disyaratkan/disepakati, apakah seperempat atau sepertiga misalnya, maka yang diterima

dalam

pernyataan pemilik modal disertai sumpah”. 45 Lain halnya bila perselisihan itu terjadi dalam hal

pengelolaan modal, seperti terjadinya kerugian tanpa disengaja, sementara si pelaksana dituduh menyia- nyiakan harta modal, maka dalam hal ini yang diterima adalah perkataan pelaksana dengan disertai sumpah. 46

Demikian tentang rukun dan syarat tentang ketentuan- ketentuan yang berkaitan dengan mudharabah.

2. Musyarakah (Syirkah) Pengertian Musyarakah Sebelum menguraikan lebih jauh tentang

musyarakah, perlu dijelaskan bahwa sebutan musyarakah adalah nama lain dari syirkah yang sering digunakan oleh para pelaku ekonomi islam sekarang, sementara para ulama fiqh terdahulu lebih banyak menggunakan kata syirkah. Maka untuk lebih memudahkan pembahasannya akan menggunakan kata syirkah, hal ini disesuaikan dengan buku atau kitab fiqh yang dijadikan rujukan.

Mengenai pengertian syirkah Abdurrahman Al- Jaziriy mengemukakan sebagai berikut:

46 Abu Bakar Jabir Al-Jaziriy, op. cit. hal. 318 Sayyid Sabiq, op. cit. hal. 149

”Syirkah atau kadang-kadang dikatakan syarikah tetapi yang lebih fasih adalah yang pertama, sehingga sebagian ulama mengatakan yang berlaku hanya perkataan syirkah. Menurut pengertian etimologi (bahasa), syirkah ialah mencampurkan salah satu dari macam harta dengan harta yang lainnya, sehingga tak dapat dibedakan

antara keduanya”. 47 Sedangkan untuk mengetahui pengertian syirkah

secara terminologi (istilah) perlu dipisahkan satu persatu, hal ini disesuaikan dengan macam-macam syirkah yang berbeda-beda dan memiliki pengertian yang berbeda-beda pula. Dibawah ini akan diuraikan tentang macam-macam syirkah menurut sebagian ahli fiqh, berikut pengertiannya masing-masing.

Syaikh Sayyid Sabiq mengemukakan tentang syirkah sebagai berikut:

”Macam-macam syirkah: Syirkah ada dua macam:

1. Syirkah Amlak

2. Syirkah ‘Uqud Syirkah amlak ialah, bahwa lebih dari satu

orang memiliki sesuatu jenis barang tanpa akad”. 48 Pembagian syirkah menjadi dua macam ini sama

dengan pendapat madzhab Hanafi sebagaimana yang ditulis oleh Abdurrahman Al-Jaziriy. 49

48 Abdurrahman Al-Jaziriy, op. cit. hal. 61 49 Sayyid Sabiq, op. cit. hal. 202 Lihat Abbdurrahman Al-Jaziriy, op. cit. hal. 63

Dalam tulisan ini tidak akan diuraikan tentang syirkah amlak , melainkan hanya menguraikan tentang syirkah yang menggunakan akad (syirkah ’uqud) saja.

Tentang pengertian syirkah ’uqud Sayyid Sabiq mengemukakan:

”Syirkah ’uqud yaitu bahwa dua orang atau lebih melakukan akad untuk menggabungkan dalam suatu kepentingan harta dan hasilnya berupa keuntungan.

Macam-macam Syirkah ’uqud:

1. Syirkah ’Inan

2. Syirkah Mufawadhah

3. Syirkah Abdan

4. Syirkah Wujuh”. 50 Tidak semua para ahli fiqih mengkatagorikan

syirkah menjadi syirkah amlak dan syirkah ’uqud seperti Sayyid Sabiq, namun demikian mereka sepakat tentang empat macam syirkah yang disebut oleh Sayyid Sabiq sebagai bagian dari syirkah ’uqud. Hal ini seperti dikemukakan oleh Ibnu Rusyd sebagai berikut:

”Para ahli fiqih ternama menyimpulkan bahwa syirkah itu ada empat macam, yaitu Syirkah ’Inan, Syirkah Mufawadhah, Syirkah Abdan, dan Syirkah

Wujuh”. 51 Tentang pengertian keempat macam syirkah

tersebut, dibawah ini dikutip sebagian pendapat ahli fiqih.

51 Sayyid Sabiq, op. cit. hal. 202 Ibnu Rusyd, op. cit. hal. 189

1. Syirkah ’Inan Dr. Ahmad Muhammad Al-’Assal dan Dr. Fathi

Ahmad Abdulkarim mengemukakan : ”Syirkah ’Inan ialah, dua orang atau lebih

mengumpulkan hartanya dan mengerjakannya bersama-sama, dan labanya dibagi diantara mereka yang mengerjakan harta kumpulan tersebut, dengan syarat dia mendapat laba lebih dari ukuran hartanya sendiri sesuai dengan tertib

administrasi dan kerjanya”. 52 Syaikh Sayyid Sabiq mengemukakan sebagai

berikut: ”Syirkah ’Inan adalah persekutuan dalam

urusan harta oleh dua orang, bahwa mereka akan memperdagangkannya dengan keuntungan dibagi dua”. 53

Sedangkan menurut Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi syirkah ’inan itu ialah:

”Kerja sama antara dua orang atau lebih dalam permodalan untuk suatu bisnis atas dasar profit and loss sharing (membagi untuk rugi) sesuai dengan modal masing-masing”. 54

Dengan memperhatikan pendapat para ahli tentang definisi syirkah ’inan di atas, dapat dinyatakan bahwa syirkah ’inan adalah akad

52 Dr. Ahmad Muhammad Al-’Assal dan Dr. Fathi Ahmad Abdulkarim, Sistem 53 Ekonomi Islam dan Tujuan-tujuannya (PT. Bina Ilmu Surabaya). Hal. 210

54 Sayyid Sabiq, op.cit. hal 210 Masfuk Zuhdi, Masail Fiqiyah, (CV. Masagung Jakarta 1994), hal 119

(perjanjian) antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha (bisnis) dengan cara menyatukan harta, dimana harta tersebut dijadikan modal bersama agar mendapatkan keuntungan bagi kedua belah pihak sesuai dengan perjanjian, dalam hal besar atau kecilnya keuntungan yang diperoleh masing-masing kedua belah pihak, disesuaikan dengan besar kecilnya modal yang ditanamkan, demikian juga bila terjadi kerugian.

Adapun tentang pengelolaan (meniagakan) modal tersebut, bisa dilakukan secara bersama-sama oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak dari mereka, dengan syarat orang yang mengusahakannya mendapat keuntungan lebih dari ukuran modalnya sendiri, disesuaikan dengan tertib administrasi yang disepakati oleh kedua belah pihak.

2. Syirkah Mufawadah Terkait dengan Syirkah Mufawadah, ulama

madzhab Hambali sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Al-Jaziriy, memberikan definisi sebagai berikut:

”Syirkah Mufawadah ialah berserikat dalam mengembangkan harta dengan cara menetapkan masing-masing anggota sebagai ganti teman serikatnya dalam hal membeli, menjual, bekerjasama niaga, mewakilkan, menjual dengan hutang, menawar (transaksi), menggadai menerima gadai,

menjamin dan lain sebagainya” 55

55 Abdurrahman Al-Jaziriy. op.cit. hal 70

Lain halnya dengan Syeikh Sayyid Sabiq, beliau mengemukakan tentang syirkah Mufawadah sebagai berikut :

”Syirkah Mufawadah adalah bergabungnya dua orang atau lebih untuk melakukan kerjasama dalam suatu urusan. Dengan ketentuan syarat- syarat sebagai berikut: Samanya modal masing- masing, mempunyai wewenang bertindak yang sama, mempunyai agama yang sama dan masing- masing menjadi penjamin lainnya atas apa yang

ia beli dan ia jual”. 56 Sedangkan Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi

mendefinisikan Syirkah Mufawadah sebagai berikut: ”Syirkah Mufawadah, ialah kerjasama antara

dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha dengan modal uang atau jasa dengan syarat sama modalnya, agamanya, punya wewenang melakukan perbuatan hukum, dan masing-masing berhak bertindak atas nama syirkah”. 57

Dengan memperhatikan ketiga definisi syirkah mufawadah menurut para ahli diatas, jelaslah bahwa syirkah mufawadah ini merupakan syirkah yang lebih umum, karena dalam syirkah ini bisa dilakukan jenis usaha apa saja yang bisa mendatangkan keuntungan, dan usaha-usaha itu bisa dilakukan atas nama syirkah oleh masing-masing yang berserikat sesuai dengan kehendaknya.

57 Sayyid Sabiq, op.cit. hal. 203-204 Masjfuk Zuhdi, op. cit. hal 119

3. Syirkah Abdan Tentang pengertian Syirkah Abdan, Abu Bakar

Jabir Al-Jaziriy menerangkan sebagai berikut:

”Syirkah Abdan ialah bersekutunya dua orang atau lebih dalam suatu pekerjaan yang dikerjakan oleh mereka berdua seperti berserikat dalam membuat sesuatu, menenun, mencuci baju dan lain sebagainya, dalam hal (keuntungan) dari pekerjaan mereka dibagi dua baik separoh- separoh atau disesuaikan dengan kesepakatan mereka”. 58

Syaikh Sayyid Sabiq memberikan pengertian sebagai berikut:

”Syirkah Abdan yaitu dua orang bersepakat untuk menerima pekerjaan, dengan ketentuan upah yang mereka terima dibagi menurut

kesepakatan”. 59 Sementara itu Masjfuk Zuhdi memberikan

pengertian sebagai berikut : ”Syirkah Abdan ialah syirkah (kerjasama)

antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha/pekerjaan, yang hasilnya/upahnya dibagi antara mereka menurut perjanjian, misalnya usaha konfeksi, bangunan dan

sebagainya”. 60

59 Abu Bakar Al-Jazairiy, op.cit. hal. 316 60 Sayyid Sabiq, op. cit. hal. 204 Masjfuk Zuhdi, op.cit. hal 119

Dari kutipan beberapa pendapat para ahli diatas, jelaslah bahwa syirkah abdan adalah syirkah dalam hal melakukan suatu pekerjaan dengan tujuan mendapatkan hasil untuk dibagikan diantara mereka sesuai kesepakatan. Dengan kata lain, mereka bersekutu dengan modal kerja/tenaga untuk mendapatkan upah kerjasama secara bersama-sama.

4. Syirkah Wujuh Tentang pengertian syirkah wujuh Sayyid Sabiq

memberikan pengertian sebagai berikut: ”Syirkah wujuh yaitu bahwa dua orang atau

lebih membeli sesuatu tanpa permodalan, yang ada hanya berpegangan pada nama baik mereka dan kepercayaan para pedagang terhadap mereka. Syirkah ini adalah syirkah tanggung jawab, tanpa kerjasama dan modal, dengan

catatan keuntungan untuk mereka”. 61 Syaikh Al-Hijawi Al-Muqoddasi dalam kitabnya

Al-Iqna, seperti yang dikutip oleh Dr. Ahmad Muhammad Al-’Assal dan Dr. Fathi Ahmad Abdulkarim mengemukakan:

”Syirkah wujuh adalah dua orang tanpa modal, menerima penjualan barang yang mereka tanggung bersama karena pengaruh mereka, dimana mereka berdua berserikat tentang labanya, dengan keuntungan apa yang telah mereka beli adalah milik mereka berdua, masing- masing separoh, sepertiga untuk seorang dan dua pertiga untuk yang lainnya atau semisalnya. Jadi

61 Sayyid Sabiq, op. cit. hal. 204 61 Sayyid Sabiq, op. cit. hal. 204

Sedangkan Masjfuk Juhdi mendefinisikan syirkah wujuh sebagai berikut:

”Syirkah wujuh ialah kerja sama antara dua orang atau lebih untuk membeli sesuatu tanpa modal uang tetapi hanya berdasarkan kepercayaan para pengusaha dengan perjanjian profit sharing (membagi untung diantara mereka

sesuai dengan perjanjian)”. 63 Demkianlah kutipan berbagai pendapat para ahli

tentang pengertian keempat syirkah (’inan, mufawadhah, abdan, wujuh) tersebut, namun disamping pengertian secara khusus (memberikan pengertian satu persatu), sebagian para ahli ada yang memberikan pengertian secara umum.

Dalam hal ini Sayyid Sabiq mengemukakan sebagai berikut:

”Para ahli mendefinisikan syirkah sebagai: Akad antara orang-orang yang berserikat dalam

hal modal dan keuntungan”. 64 Jika memperhatikan definisi syirkah secara