Dalam kenyataan yang diperoleh dari Sdr. Ayik dalam petikan wawancara tersebut bahwa Sdr. Ayik diminta untuk meninggalkan telepon
genggam yang dimilikinya ke service center yang ditunjuk di dalam kartu garansi selama 2 dua minggu. Namun setelah 2 dua minggu berjalan, pihak
service center tidak mampu untuk melaksanakan kewajibannya dalam perbaikan telepon genggam yang dimaksudkan.
Setelah itu, Sdr. Ayik diminta untuk membawa telepon genggam miliknya ke kantor pusat di Jakarta. Namun lagi-lagi Sdr. Ayik juga
dikecewakan karena Sdr. Ayik dalam memperoleh hak-haknya sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen tidak didapatkan sebagaimana mestinya. Kantor pusat yang berada di Jakarta memberikan pernyataan secara
sepihak bahwa suku cadang yang digunakan dalam rangka perbaikan telepon genggam yang dimaksudkan sudah tidak diproduksi lagi dan dengan berat
hati, kantor pusat yang ada di Jakarta tidak mampu untuk memenuhi permintaan Sdr. Ayik.
III. 1. 2. Peranan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dalam Melindungi
Konsumen Barang Elektronik Dimasa Yang Akan Datang
Berkaca mata dari semua permasalahan yang terjadi pada saat ini, dengan fenomena dan realitas masyarakat yang semakin kritis ditunjang
dengan ilmu pengetahuan dan pengetahuan yang sudah sangat maju, tentunya
membawa dampak yang mengkhawatirkan jika masih berpijak pada peraturan perundang-undangan yang belaku pada saat ini.
Manusia dengan realitas yang dimiliki akan memberi sedikit peluang untuk bisa menentukan arah kemana yang akan dibawa dalam menjalankan
usahanya. Demikian halnya dengan melakukan perlindungan terhadap konsumen barang elektronik.
Disangkal atau tidak, kebutuhan barang elektronik dimasa sekarang ke masa yang akan datang akan semakin tumbuh dengan pesatnya. Dengan
semakin majunya teknologi maka akan semakin maju pula instensitas barang elektronik yang beredar dimasyarakat dan tidak menutup kembungkinan akan
semakin manambah rumit tindak kejahatan yang dapat dilakukanoleh para pelaku usaha untuk melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan kerugian
bagi para konsumen terutama konsumen barang elektronik. Oleh karena itu, dalam suatu tinjauan pemikiran yang didapat oleh
peneliti dalam malakukan peneltian terhadap fenomena yang terjadi sekarang ini tidak menutup kemungkinan untuk melakukan suatu pembaharuan dalam
peraturan peundang-undangan yang berlaku yang khusus menyangkut mengenai masalah kejahatan bidang kejahatan teknologi.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen hanya mencakup tentang masalah hak dan kewajiban yang
sedianya dilakukan oleh konsumen dan pelaku usaha, badan penyelesaian
p=sengketa konsumen, lembaga perlindungan konsumen , dan pengawasan dan pembinaan serta sanksi dan aturan peralihan namun juga perlu adanya
penggolongan yang jelas mengenai jenis kejahatan dan dalam kategori yang membahayakan atau tidak.
Dengan adanya spesialisai dalam kategori jenis tindakan yang dapat melanggar hak konsumen, para pelaku usaha masih merasa kurang mengerti
batasan-batasan mana yang seharusnya dilakukan dan yang tidak dilakukan. Jadi hal ini tentunya membuat para pelaku usaha merasa dikambing hitamkan
terhadap semua produk yang dibuat oleh para pelaku usaha. Untuk itu perlu dibuat lebih lanjut mengenai batas-batas kewenangan
dari konsumen dan para pelaku usaha dalam memperlakukan produk yang dihasilkan oleh para pelaku usaha.
Pemerintah dalam peranannya membutuhkan suatu elemen yang dapat mengatur tentang lalu lintas permasalahan jadi dalam hal ini tidak terkesan
menyerahkan sepenuhnya kepada Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang secara langsung bertanggungjawab kepada Presiden.
III. 2 PEMBAHASAN