Dengan demikian, pendidikan Islam berbasis sekolah alam sesungguhnya mampu menjadi terobosan baru mencari format
pendidikan Islam yang lebih humanis. Dengan pendidikan Islam berbasis sekolah alam diharapkan akan terjadi perubahan dalam
semua dimensi pendidikan yang selama ini justru melanggengkan dehumanisasi.
C. Mencari Arah Perubahan: Pendidikan Agama melalui Penyadaran Diri
Pendidikan Agama sering terjebak pada persoalan hafalan semata, baik itu menghafal ayat-ayat al-
Qur’an maupun teks-teks hadis nabi. Namun sesungguhnya yang terpenting dalam
mengajarkan agama adalah bagaimana menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam ayat-ayat suci maupun hadis nabi tersebut
memiliki kebermaknaan yang nyata dalam kehidupan anak didik. Sebagaimana menurut Kareel A. Steenbrink, bahwa memahami
agama sesungguhnya tidak hanya meliputi hubungan antara manusia dengan Tuhan, melainkan juga antara manusia dengan
manusia, dunia dan masyarakat, sejauh yang diatur dengan wahyu yang diturunkan Allah.
6
Dari sini, maka sudah jelas sekali jika keberadaan pendidikan agama bukan berarti mengajarkan anak didik terkungkung oleh
nilai-nilai normativitas keagamaan hanya untuk meningkatkan kesalehan personal semata, melainkan bagaimana pendidikan
agama bisa membawa seorang anak didik pada kesalehan personal dan juga sosial.
Bila kita kembali berkiblat pada tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional adalah membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur melalui proses pembentukan kepribadian,
kemandirian dan norma-norma tentang baik dan buruk. Pendidikan diartikan sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk
menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Dan dalam pasal 1 UU Sistem Pendidikan
Nasional juga jelas memposisikan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
6
Kareel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta: LP3ES, 1986, hlm. 107.
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak serta
keterampilan yang di perlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
7
Dari penjelasan di atas sesungguhnya telah sangat jelas digambarkan bahwa pendidikan sebagai usaha sadar untuk
mengaktualisasikan setiap potensi fitrah yang ada pada setiap manusia. Dan potensi tersebut harus dikembangkan untuk
mengantarkan setiap individu pada proses pendewasaan sosial untuk mencapai perkembangan manusia seutuhnya. Dan di antara
potensi fitrah manusia yang bisa dikembangkan adalah modal dasar manusia sebagai makhluk yang berpikir dan mempunyai
kesadaran. Potensi tersebut dapat berkembang dengan baik manakala proses pendidikan yang diberikan menitikberatkan pada
pada eksistensi manusia itu sendiri. Sementara proses pendidikan yang mendukung untuk terciptanya eksistensi manusia tentu
mengarah kepada mekanisme yang demokratis dan senantiasa berorientasi pada proses memanusiakan manusia. Dengan begitu
proses pendidikan bukan hanya semata-mata menjadi agen transfer ilmu pengetahuan, namun lebih mengarahkan dan membantu anak
didik untuk bisa memaksimalkan potensinya dalam rangka menggali pengetahuan yang luas, kritis, dan komprehensif.
Paulo Freire seorang tokoh pendidikan Kritis asal Brazil yang memiliki pandangan yang lebih menekankan peserta didik sebagai
subjek yang bebas ketimbang objek yang hanya menerima pengetahuan dari manusia yang dianggap lebih tahu kepada
manusia yang dianggap belum tahu. Pendidikan kontekstual atau hadap masalah adalah sebuah teori dan model pendidikan yang
mengupayakan peserta didik untuk menjadi subyek dalam rangka menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam realitas sosial.
Freire menekankan peran berpikir dalam pembuatan kembali dunia. Dari sini fakta sosial bisa diungkapkan melalui pendidikan,
dan menurut Freire, harus diupayakan adanya penyatuan integration dunia fakta nyata ke dalam dunia pendidikan.
8
7
Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara, Jogjakarta: Ar
–Ruzz Media, 2009, hlm. 19.
8
Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan ..., hlm. 19. Lihat pula httpelemen-elemen kritis dalam konsep pendidikan paulo freire.htm.
Diakses 7 Desember 2014.
Istilah penting yang diajukan Freire dalam Pedagogy of The Oppressed untuk mengajukan teorinya adalah penyadaran
conscientizacao atau yang sering kita sebut konsientisasi. Konsientisasi adalah pemahaman mengenai keadaan nyata yang
sedang dialami siswa atau murid. Meskipun wilayah terakhir yang ingin dituju adalah perubahan sistemik, namun pendidikan Freire
bertujuan untuk pembebasan dan pemanusiaan humanisasi.
Dalam rangka itulah Freire melihat bahwa ‘penyadaran’ konsientisasi sebagai inti dari pendidikannya. Pendidikan harus
bertujuan menyadarkan peserta didik akan realitas sosialnya.
Freire 1979 membagi kesadaran manusia menjadi kesadaran magis, naif, dan kritis. Pertama, kesadaran magis magical
consciousness adalah kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lain. Misalnya
masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan.
Kesadaran ini lebih melihat pada faktor di luar manusia natural maupun
supranatural sebagai
penyebab dari
ketidakberdayaannya. Kedua, kesadaran naif naival consciousness yang lebih
melihat aspek manusia menjadi akar permasalahan dalam masyarakat. Dalam kesadaran ini, masalah etika, kreativitas, need
for achievement dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, mereka
menganggap hal itu karena salah mereka sendiri.
Ketiga, kesadaran kritis critical consciousness yang lebih melihat pada aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah.
Pendidikan mencoba menganalisis secara kritis sistem dan struktur sosial, politik, ekonomi, budaya, dan konteks masyarakat lainnya.
Paradigma kritis dalam pendidikan adalah melatih siswa agar mampu mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem dan struktur
yang ada, kemudian menganalisis bagaimana sistem itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam
paradigma ini adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar siswa terlibat aktif dalam proses penciptaan struktur yang secara
fundamental baru dan lebih baik.
9
9
William A. Smith, Conscientizacou Tujuan Pendidikan Paulo Freire, terj. Agung Prihantoro, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Hal positif yang dapat dipetik dari teori pendidikan kritis Freire mengenai penyadaran konsientisasi adalah bahwa
pendidikan harus mendorong adanya proses dialogis antara guru pengajar dan anak didik. Maka dengan paradigma dialogis ini
seorang pengajar harus rendah hati dan mengasihi peserta didiknya supaya terbuka terhadap berbagai kritik dari peserta didik.
Sebaliknya, peserta didik seharusnya senantiasa kritis dan mempertanyakan kembali tentang hal yang belum diketahui oleh
sang guru. Dari sini, akan terjadi komunikasi dua arah yang harmonis dan proses pembelajaran tidak hierarkis atas - bawah,
pintar - bodoh, sudah tahu - belum tahu dan seterusnya.
Sementara Munir Mulkhan memformulasikan adanya integrasi kepribadian pada anak didik. Integrasi kepribadian ialah
pribadi setiap individu yang terintegrasi pada setiap pertumbuhan dan perkembangan dirinya. Individu anak didik ini benar-benar
menyadari bahwa hidupnya adalah sebuah “proses menjadi”, “proses berubah” dan “proses berkembang”. Di dalam proses situ
seorang anak didik terus berusaha secara sadar memilih berbagai pengalaman yang kondusif atau mendukung perkembangan,
perubahan dan pertumbuhannya tersebut. Karena pilihannya dan kesadarannya itulah anak didik dengan suka rela menerima risiko,
menghadapi konflik dan pertentangan dengan keinginannya.
10
Dalam proses pembelajaran agama sangat dibutuhkan nuansa dialogis-harmonis. Karena persoalan pembelajaran agama tidak
semata bersifat indoktrinasi nilai-nilai yang dianggap sudah mapan dan tidak perlu dikritisi dan diinterpretasi kembali. Akan tetapi
pembelajaran agama sesungguhnya sangat dinamis dan progresif, sehingga
sangat terbuka
akan adanya
perkembangan- perkembangan pengetahuan seiring dengan laju perkembangan
zaman. Maka, pendidikan Islam perlu mengevaluasi kembali bagaimana proses pembelajaran agama yang selama ini diterapkan
di sekolah-sekolah apakah sudah menuju pada humanisasi pendidikan ataukah masih terkungkung pada struktur kemapanan?
Di sekolah alam yang berbasis pada pendekatan pembebasan sangat dimungkinkan adanya ruang untuk mengarah pada
pendidikan melalui penyadaran sebagaimana teori yang dikemukakan Freire tersebut. Karena dalam proses pembelajaran
di sekolah alam anak didik sangat diberikan kebebasan untuk
10
Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual …, hlm. 93.
berkreasi, menggali dan menemukan potensi, serta menemukan pengetahuan berbasis pada pengalaman-pengalaman dari dunia
realitas. Oleh karena itu, hal ini merupakan terobosan baru dalam dunia pendidikan yang patut diapresiasi dan alternatif lain dari
pendidikan yang sudah mapan untuk menemukan eksistensi manusia seutuhnya.
D. Peran Guru Sebagai Perantara Antara Manusia dan Tuhan