Politik Hukum Berkaitan dengan Perlindungan Saksi, Korban dan Pelapor

445 Fatoni, Urgensitas Perlindungan Saksi dan Korban dalam Mengungkap Kasus Kekerasan dalam Rumah kesepakatan antara suami dan istri dalam keluarga atau antara kaum laki-laki dan perempuan dalam hidup masyarakat. 8 Seringkali praktik penegakan hukum kasus- kasus kekerasan dalam rumah tangga, aparat penegak hukum justru terkendala atau mengalami kesulitan, karena tidak dapat menghadirkan saksi dan atau korban disebabkan ancaman baik isik, psikis dari pihak-pihak tertentu terutama mereka yang merasa terancam dengan keberadaan saksi dan atau korban. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas mengenai: Pertama, bagaimana politik hukum berkaitan dengan perlindungan saksi, korban dan pelaporpengadu? Kedua, bagaimana sistem penegakan hukum pidana terhadap kekerasan dalam rumah tangga KDRT?

B. Pembahasan

1. Politik Hukum Berkaitan dengan Perlindungan Saksi, Korban dan Pelapor

Pengadu Sudarto merumuskan, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat serta kebijakan dari suatu Negara melalui Badan-Badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan mencapai apa yang dicita-citakan. 9 Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana HAP dimana macam-macam alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. 10 Pasal 185 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana HAP terkait dengan keterangan saksi dan atau korban yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri terjadinya tindak pidana dan keberadaannya berguna untuk mencari dan menemukan kejelasan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. 11 Sehubungan dugaan telah terjadinya Tindak Pidana maka kehadiran saksi dan korban serta pelaporpengadu memerlukan pengaturan sebab yang selama ini lebih mengedepankan kepentingan tersangka, terdakwa dan terpidana. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga PKDRT menyatakan bahwa setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara isik, seksual, psikologis, danatau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 12 Sedangkan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga PKDRT dimana lingkup rumah tangga, suami, isteri, dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tersebut. 13 Dengan demikian, pelakunya dapat orang dewasa terhadap orang dewasa suami, isteri, pembantu atau orang dewasa terhadap anak dan sebaliknya sedangkan korbannya orang dewasa dan anak. Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga 8 Talcott Parsons dan Robert F. Bales, 1955, Family, Socialization and Interaction Process, The Free Press, Glencoe, hlm. 23. 9 Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 159. 10 Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209. 11 Pasal 185 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209. 12 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4419. 13 Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4419. 446 MIMBAR HUKUM Volume 26, Nomor 3, Oktober 2014, Halaman 442-456 menentukan bahwa yang dapat melaporkan secara langsung adanya KDRT kepada polisi adalah korban. 14 Sebaliknya, Pasal 26 ayat 2 Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, keluarga atau pihak lain tidak dapat melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT kecuali telah mendapat kuasa dari korban. 15 Meskipun demikian, pihak keluarga dapat melakukan tindakan lain untuk mencegah berlanjutnya kekerasan terhadap korban. Kewajiban masyarakat untuk turut serta dalam pencegahan KDRT ini diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang berbunyi sebagai berikut: Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: a mencegah berlangsungnya tindak pidana; b memberikan perlindungan kepada korban; c memberikan pertolongan darurat; dan d membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. 16 UU PKDRT menyebutkan bahwa permohonan huruf d dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Ditegaskan pula dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani, maka korban harus memberikan persetujuannya. Namun, Pasal 30 ayat 1, ayat 3, dan ayat 4 UU PKDRT, dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban. 17 Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam ketentuan tersebut, misalnya pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menyebutkan “korban” berhak mendapatkan: 18 a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis. c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban. d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan e. Pelayanan bimbingan rohani. Pasal 44 ayat 1 Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga mengatur ancaman pidana terhadap kekerasan isik dalam lingkup rumah tangga ini adalah pidana penjara pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 lima belas juta rupiah. 19 Khusus KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 4 empat bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 lima juta rupiah. 20 Meskipun UU sudah mengatur bentuk- bentuk perlindungan tersebut, aparat penegak 14 Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4419. 15 Pasal 26 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4419. 16 Pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4419. 17 Pasal 30 ayat 1, ayat 3 dan ayat 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4419. 18 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4419. 19 Pasal 44 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4419. 20 Pasal 44 ayat 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4419. 447 Fatoni, Urgensitas Perlindungan Saksi dan Korban dalam Mengungkap Kasus Kekerasan dalam Rumah hukum seringkali terkendalamengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan atau korban disebabkan ancaman baik isik, psikis dari pihak-pihak tertentu terutama mereka yang merasa terancam dengan keberadaan saksi dan atau korban. Dalam Rancangan KUHAP dinyatakan: Setiap pelapor atau pengadu, setiap orang atau korban dan setiap pegawai negeri, berhak memperoleh perlindungan hukum, perlindungan isik dan perlindungan non isik. 21 Perlindungan hukum berlaku juga dalam proses penuntutan dan proses pemeriksaan di sidang pengadilan. 22 Jika diperlukan, perlindungan hukum dapat dilakukan secara khusus dan tanpa batas waktu. 23 Tata cara pemberian perlindungan hukum dilaksanakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang. 24 Masalah- nya, mekanisme yang ditunjuk oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidaklah mudah dalam aplikasinya. Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana HAP, yang kurang mengakomodir perlindungan saksi dan korban, sehingga sebagai ilmu hukum dogmatik tidak dapat menghadapi situasi yang baru, dengan meminjam istilah Satjipto Rahardjo maka diperlukan hukum yang progresif dimana hukum adalah untuk manusia. 25 Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 26 dan Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 27 dinyatakan bahwa LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan atau korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Secara garis besarnya LPSK: a. LPSK adalah lembaga mandiri, berkedudukan di Jakarta dan mem- punyai perwakilan di daerah sesuai kebutuhan. 28 b. LPSK bertanggungjawab pada Presiden dan wajib membuat laporan secara berkala kepada DPR sedikitnya sekali dalam setahun. 29 c. Anggota LPSK terdiri atas 7 tujuh orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, akademisi, advokat, atau lembaga swadaya masyarakat. 30 d. Masa jabatan anggota LPSK adalah 5 lima tahun dan setelah berakhir masa jabatan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 satu kali masa jabatan berikutnya. 31

2. Sistem Penegakan Hukum Pidana terhadap Kekerasan dalam Rumah