Faktor-faktor Penyebab Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Dampaknya Terhadap Korban” (Studi Kasus Pada 3 Orang Korban KDRT yang Ditangani oleh Yayasan Pusaka Indonesia dan PKPA).

(1)

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TINDAK

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN

DAMPAKNYA TERHADAP KORBAN

(Studi Kasus Pada 3 Orang Korban KDRT yang Ditangani oleh

Yayasan Pusaka Indonesia dan PKPA)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

OLEH :

KRISTANTI SIBUEA

040902026

Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Medan


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :

HALAMAN PERSETUJUAN

NAMA

: KRISTANTI SIBUEA

NIM

: 040902026

DEPARTEMEN : ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

JUDUL : FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TINDAK

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

DAN DAMPAKNYA TERHADAP KORBAN

(Studi Kasus Pada 3 Orang Korban KDRT Yang

Terdaftar di Biro Pemberdayaan Perempuan

Setdaprovsu)

MEDAN, MARET 2008

PEMBIMBIMG

(Husni Thamrin, S.Sos, M.sp) Nip. 132 308 603

KETUA DEPARTEMEN

ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

(Drs. Matias Siagian, M.Si) Nip. 132 054 339

DEKAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(Prof. Dr. Arif Nasution, MA) Nip. 131 757 010


(3)

KATA PENGANTAR

Terlebih dahulu penulis panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat dan anugerahNya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan tugas akhir untuk mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Didorong oleh rasa ingin menyalurkan kreasi sebagai buah dari ilmu pengetahuan yang penulis peroleh selama masa perkuliahan, ditambah dengan data dan realita yang penulis temui selama penelitian, maka penulis mencoba mewujudkan dalam sebuah skripsi dengan judul “Faktor-faktor Penyebab Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Dampaknya Terhadap Korban” (Studi Kasus Pada 3 Orang Korban KDRT yang Ditangani oleh Yayasan Pusaka Indonesia dan PKPA). Sebelumnya penulis mohon maaf atas kurang sempurnanya tulisan ini, oleh karena kemampuan penulis yang sangat terbatas.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu atau memberikan dorongan dan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung, moril maupun material, yaitu kepada:

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Matias Siagian, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial.

3. Bapak Husni Thamrin, S.Sos, M.Sp selaku Dosen Pembimbing penulis yang telah banyak memberikan perhatian dan waktu melalui bimbingan teori dan pemikiran serta semangat dalam penulisan skripsi ini.


(4)

4. Bapak Prof. Abdullah Yakub Hsb selaku Dosen Wali penulis selama ini. 5. Seluruh Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial, seluruh Dosen FISIP dan

staf-staf administrasi lainnya yang telah memberikan pengalaman serta ilmu selama perkuliahan penulis.

6. Seluruh staf-staf yang ada di Yayasan Pusaka Indonesia, terutama kepada Bu Elisabeth Juniarti, SH selaku Koordinator Divisi Anak, Kak Widia, dan Bang Ade sebagai pendamping dalam wawancara dengan responden. 7. Seluruh staf-staf yang ada di PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan

Anak), terutama kepada Kak Poppy yang menjadi pendamping penulis dalam mengadakan wawancara, juga pada Kak Fitri dan Kak Siti.

8. Ketiga responden penelitian penulis dan juga informan-informan yang telah membantu memberikan informasi-informasi (data-data) yang sangat penulis butuhkan dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Kedua orangtuaku tercinta, terutama untuk Bundaku (Ny. Elseria Hutapea) yang sangat kucintai, kuhormati, dan kukagumi. ‘Bunda..aku sangat BANGGA pada Bunda, terimakasih yang sangat tidak terhingga kuucapkan atas semua doa dan pengorbanan Bunda selama ini’

10. Amangboru tercinta (Negel M’Queen) dan Namboru tercinta (Maria M’ Queen Br Sibuea) yang telah banyak membantu penulis dalam memenuhi kebutuhan materiil dan moril (jasa Amangboru dan Namboru tidak akan pernah kulupakan).

11. Seluruh keluarga yang telah mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama kakak-kakak dan abang-abangku tercinta, abang iparku, keponakan-keponakanku tersayang.


(5)

12. Sahabat-sahabatku terkasih, yaitu Sefti, Irma, Dhian, Hikmah, Suci, dan Dina. (I will never forget u all), banyak kenangan indah bersama kalian, kalian sangat berarti buatku.

13. Teman-teman seperjuangan di Kessos stambuk 2004, terutama Robby sebagai penyemangat dan Riko yang selalu membantu penulis.

14. Semua teman-teman kostku, terutama kak Inchan, kak Meri, ade’ku Henni dan Renata (bantuan kalian sangat menolongku).

15. Sahabat sekaligus adik juga teman paling menyenangkan yang pernah kumiliki, Gunk_Goez (anak pecinta ‘rock and punk’ tapi berhati lembut dan melankolis).

16. Bang Phopho (Kepho) yang selalu memberi semangat dan mengingatkan penulis agar selalu melibatkan Tuhan Yesus Kristus dalam setiap kegiatan yang penulis lakukan.

17. Seluruh teman-teman penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, tapi sudah memberi dukungan dan semangat pada penulis.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi pengetahuan kita semua.

Medan, Maret 2008 Penulis


(6)

ABSTRAKSI

KRISTANTI SIBUEA 040902026

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN DAMPAKNYA TERHADAP KORBAN (Studi Kasus Pada 3 Orang Korban KDRT yang Terdaftar di Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu)

Masalah kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi saat ini merupakan masalah yang banyak menimpa kehidupan rumah tangga di masyarakat saat ini. Bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga kenyataannya cukup sering terjadi, tetapi jarang mengemuka karena masyarakat berpendapat bahwa campur tangan pihak lain yang bukan anggota rumah tangga dianggap tidak lazim. Tidak dapat dipungkiri masalah kekerasan dalam rumah tangga belum menjadi perhatian masyarakat, dapat dilihat dari segi enggannya masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak yang berwajib, karena dianggap akan membuka aib keluarga yang bersangkutan. Keadaan ini sangat mengkhawatirkan, apalagi akibat yang ditimbulkan kekerasan dalam rumah tangga sangat menimbulkan penderitaan baik fisik maupun psikis pada korban.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Subyek penelitian dalam studi kasus ini adalah 3 orang korban kekerasan dalam rumah tangga yang terdaftar di Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu, melalui lembaga-lembaga yang bekerjasama dengan biro ini. Tehnik pengumpulan data yang dipergunakan adalah penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dengan cara terjun langsung ke lapangan dan melakukan wawancara, dalam hal ini pewawancara terlebih dahulu menanyakan sederetan pertanyaan yang terstruktur, kemudian satu persatu diperdalam untuk mendapat keterangan (data-data) yang lengkap. Tehnik analisa data dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan memaparkan kasus sebagaimana adanya atau mendeskripsikan informasi dan data yang diperoleh dalam penelitian. Data yang diperoleh tentang ketiga kasus kekerasan dalam rumah tangga dalam penelitian ini disajikan terpisah secara perkasus.

Ketiga kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menjadi subyek penelitian ini, walaupun mempunyai perbedaan pada bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dialami, tetapi sama-sama dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi yang lemah, sehingga terjadi perpecahan rumah tangga yang memberi peluang bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap korban. Terdapat juga adanya kesamaan dampak yang dialami oleh korban kekerasan dalam rumah tangga yaitu rasa minder dan malu dalam berhubungan dengan lingkungan sosial (perilaku menarik diri) karena takut diejek, dicemoh ataupun ditanya-tanya mengenai kekerasan dalam rumah tangga yang menimpanya.


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………...………...……… i

ABSTRAKSI ……….…………..………. iv

DAFTAR ISI …..………... v

BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah …………...……..……….. 1

1.2. Perumusan Masalah ………...……..……… 4

1.3. Ruang Lingkup Penelitian ………... 5

1.4. Tujuandan Manfaat Penelitian ………….………..…….…… 5

1.5. Sistematika Penulisan …...……….……….………… 6

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga …..………… 7

2.2. Pelaku dan Korban Kekerasan………12

2.3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga ………. 18

2.4. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga ………. 20

2.5. Kerangka Pemikiran ………...……….. 28

2.6. Defenisi Konsep ……… 30

BAB III : METODE PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian ……….. 32

3.2. Lokasi Penelitian ………..……… 32

3.3. Subjek Penelitian ………. ……… 33

3.4. Tekhnik Pengumpulan Data ……….……… 34


(8)

BAB IV : ANALISA KASUS

4.1. Kasus Responden I ………... 35

4.2. Kasus Responden II ……….……. 56

4.3. Kasus Responden III ………. 70

4.4. Analisa Kasus Secara Umum ……… 83

BAB V : PENUTUP 5.1. Kesimpulan ……….…….. 91

5.2. Saran ……….………… 92 DAFTAR PUSTAKA


(9)

ABSTRAKSI

KRISTANTI SIBUEA 040902026

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN DAMPAKNYA TERHADAP KORBAN (Studi Kasus Pada 3 Orang Korban KDRT yang Terdaftar di Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu)

Masalah kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi saat ini merupakan masalah yang banyak menimpa kehidupan rumah tangga di masyarakat saat ini. Bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga kenyataannya cukup sering terjadi, tetapi jarang mengemuka karena masyarakat berpendapat bahwa campur tangan pihak lain yang bukan anggota rumah tangga dianggap tidak lazim. Tidak dapat dipungkiri masalah kekerasan dalam rumah tangga belum menjadi perhatian masyarakat, dapat dilihat dari segi enggannya masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak yang berwajib, karena dianggap akan membuka aib keluarga yang bersangkutan. Keadaan ini sangat mengkhawatirkan, apalagi akibat yang ditimbulkan kekerasan dalam rumah tangga sangat menimbulkan penderitaan baik fisik maupun psikis pada korban.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Subyek penelitian dalam studi kasus ini adalah 3 orang korban kekerasan dalam rumah tangga yang terdaftar di Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu, melalui lembaga-lembaga yang bekerjasama dengan biro ini. Tehnik pengumpulan data yang dipergunakan adalah penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dengan cara terjun langsung ke lapangan dan melakukan wawancara, dalam hal ini pewawancara terlebih dahulu menanyakan sederetan pertanyaan yang terstruktur, kemudian satu persatu diperdalam untuk mendapat keterangan (data-data) yang lengkap. Tehnik analisa data dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan memaparkan kasus sebagaimana adanya atau mendeskripsikan informasi dan data yang diperoleh dalam penelitian. Data yang diperoleh tentang ketiga kasus kekerasan dalam rumah tangga dalam penelitian ini disajikan terpisah secara perkasus.

Ketiga kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menjadi subyek penelitian ini, walaupun mempunyai perbedaan pada bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dialami, tetapi sama-sama dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi yang lemah, sehingga terjadi perpecahan rumah tangga yang memberi peluang bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap korban. Terdapat juga adanya kesamaan dampak yang dialami oleh korban kekerasan dalam rumah tangga yaitu rasa minder dan malu dalam berhubungan dengan lingkungan sosial (perilaku menarik diri) karena takut diejek, dicemoh ataupun ditanya-tanya mengenai kekerasan dalam rumah tangga yang menimpanya.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Dalam rumah tangga terdapat hubungan sosial antara anggotanya, keluarga juga merupakan unit terkecil masyarakat yang merupakan pengayom kehidupan dan mempunyai fungsi keagamaan, kebudayaan, perlindungan, pembinaan, reproduksi, cinta kasih serta sosialisasi dan pendidikan, ekonomi dan pelestarian lingkungan.

Masalah kekerasan dalam rumah tangga bukanlah masalah yang baru. Data tentang tindak kekerasan dalam rumah tangga masih belum banyak terekspos, berbagai kasus tersebut cukup sering terjadi walaupun jarang mengemuka. Selama ini, dalam menyelesaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan UU Perkawinan, sebagian besar korban kekerasan memilih melakukan perceraian, hanya sedikit korban yang bersedia membawa kasusnya diproses secara pidana. Pandangan masyarakat yang menganggap bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga adalah urusan suami isteri yang bersangkutan, yang harus diselesaikan oleh mereka berdua, juga turut memperlambat proses perlindungan terhadap korban. Masyarakat juga berpendapat bahwa campur tangan pihak lain seperti masyarakat maupun pemerintah dianggap tidak lazim.

Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan KeTuhanan yang Maha Esa, dijamin oleh pasal 29 UUD Negara RI tahun 1945, dengan demikian setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu ditumbuhkembangkan


(11)

dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian dari setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.

Negara menyatakan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak azasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Untuk mencegah, melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945.

Menyadari kenyataan banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga dan perlunya perlindungan terhadap HAM, maka Pemerintahan Indonesia telah melahirkan UU No.23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Dengan disahkannya UU No. 23 tahun 2004 ini, diharapkan kaum perempuan bisa lebih leluasa mengaktualisasikan dirinya tanpa bayang-bayang kekerasan. Undang-undang ini akan melengkapi dasar hukum yang dipakai untuk menangani dan menyelesaikan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini banyak merugikan kaum perempuan. Undang-undang tersebut akan merubah pandangan masyarakat terhadap masalah-masalah kekerasan dalam rumah tangga.

Dalam deklarasi HAM PBB ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas hak azasi dan kebebasan tanpa pembedaan ras dan jenis kelamin. HAM adalah hak yang diberi Tuhan sehingga bersifat kodrati, dimana tidak ada suatu kekuasaan apapun di dunia dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan bebarti orang dapat berbuat semaunya, sebab bila seseorang telah melanggar hak azasi


(12)

orang lain maka ia harus mempertanggungjawabkannya, dan kekerasan dalam rumah tangga pada dasarnya adalah tindakan melawan hak azasi manusia. Kekerasan dalam rumah tangga adalah cerminan dari ketidakberhargaan perempuan dimata suaminya dan penghinaan terhadap harkat dan martabat perempuan yang harus dijamin hak-hak azasinya.

Korban kekerasan dalam rumah tangga sangat banyak dialami kaum perempuan dan anak-anak. Banyaknya korban kekerasan dalam rumah tangga, memicu sejumlah pihak merasa perlu memberikan perlindungan bahkan pembinaan kepada korban. Dalam penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga, tidak selalu menjadi domain pemerintah seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan tapi juga Kepolisian dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Banyak LSM yang peduli terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga, seperti misalnya PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak) dan Pusaka Indonesia. Mereka membuatkan kegiatan positif kepada korban yang diharapkan dapat memberikan masa depan. Berdasarkan monitoring PKPA Sumatera Utara sejak 1999-sekarang, keluarga atau orang yang terdekat dengan korban justru merupakan pelaku kekerasan paling dominan.

Berdasarkan data kekerasan dalam rumah tangga dari WCC (Woman Crisis Centre) Cahaya Perempuan dan LBH Apik Medan yang diperoleh dari Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu, kasus kekerasan dalam rumah tangga setiap tahunnya mengalami peningkatan. Tahun 2005 tercatat sebanyak 189 kasus, tahun 2006 meningkat menjadi 198 kasus. Sementara dari rekap data penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang ditangani Ruang Pelayanan Khusus (RPK) DitReskrim dan Sejajaran Polda Sumut untuk tahun 2005 di Poltabes


(13)

Medan tercatat sebanyak 9 kasus, Deli Serdang 6 kasus dan Binjai 4 kasus (File://F:Sumut%20Pos%20Online.htm).

Di provinsi Sumatera Utara, masalah kekerasan dalam rumah tangga belum menjadi perhatian masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari segi enggannya masyarakat dalam melaporkan kasus-kasus kekerasan ke kantor Polisi. (Manurung, 2002:4)

Melihat persoalan-persoalan kekerasan dalam rumah tangga yang terkait dengan berbagai unsur kehidupan secara kompleks merupakan permasalahan yang penting untuk dikaji secara komprehensif dan mendalam, tidak hanya karena peningkatan skala dan intensitas yang digambarkan diatas, tetapi juga karena masih terbatasnya pihak yang menganggap penting persoalan kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu sampai saat ini belum teridentifikasi secara komprehensif faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan dalam rumah tangga di dalam masyarakat, dan bagaimana dampaknya pada korban. Hal inilah yang membuat penulis sangat tertarik untuk meneliti judul “ Faktor-faktor Penyebab Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Dampaknya Terhadap Korban (Studi Kasus Pada 3 Korban KDRT yang Ditangani Oleh Yayasan Pusaka Indonesia dan PKPA)”.

1.2. Perumusan Masalah

Dengan melihat kompleksnya persoalan yang telah dikemukakan pada latar belakang, maka perlu kajian secara lebih mendalam, dengan mengajukan permasalahan pokok dalam penelitian ini. Adapun permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah: “Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga? Dan bagaimana dampaknya bagi korban?”


(14)

1.3. Ruang Lingkup Penelitian

Mengingat lingkup rumah tangga memiliki unsur atau anggota bukan sebatas suami, istri atau anak saja tapi melainkan luas, maka perlu pembatasan ruang lingkup penelitian. Penelitian ini dilakukan untuk meneliti bagaimana dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap korban. Dimana korban yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi pada istri dan anak saja.

1.4. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Supaya dapat mengetahui dan menggambarkan faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

2. Mencoba mencari pemecahan masalah untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

3. Mengetahui bagaimana dampak terjadinya kekerasan dalam rumah tangga terhadap korban.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara akademis penelitian ini diharapkan akan memperkaya khasanah penelitian Ilmu Kesejahteraan Sosial di lembaga pendidikan di lingkungan FISIP USU.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak terkait dalam mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.


(15)

3. Sebagai bahan referensi dalam memahami kondisi kekerasan dalam rumah tangga saat ini.

4. Secara pribadi, untuk menerapkan ilmu yang diperoleh sebagai mahasiswa FISIP USU serta menambah wawasan dan pengalaman penelitian bagi penulis.

1.4. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN

Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, ruang lingkup penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan uraian-uraian dan konsep-konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang ingin diteliti, kerangka pemikiran, defenisi konsep.

BAB III: METODE PENELITIAN

Berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, subjek penelitian, tehnik pengumpulan data, serta tehnik analisa data.

BAB V: ANALISA KASUS

Berisikan tentang uraian data tentang kasus yang diperoleh dalam penelitian beserta analisanya.

BAB VI: PENUTUP


(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Konsep Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perihal yang bersifat (berciri) keras atau perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.

Rumah tangga, menurut KBBI adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan urusan kehidupan dalam rumah dan berkenaan dengan keluarga. Keluarga adalah bapak dan ibu beserta anak-anaknya dan merupakan satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat.

Lingkup rumah tangga dalam Undang-undang RI No. 23 tahun 2004 adalah meliputi: suami, isteri, dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud, karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, dan atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Dimana orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam kalimat sebelumnya adalah dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Yang termasuk dalam lingkup rumah tangga adalah: a. Suami istri atau mantan suami istri.

b. Orangtua dan anak-anak.


(17)

d. Orang yang bekerja membantu kehidupan rumah tangga orang-orang lain yang menetap di sebuah rumah tangga.

e. Orang yang hidup bersama dengan korban atau mereka yang masih atau pernah tinggal bersama (yang dimaksud dengan orang yang hidup bersama adalah pasangan hidup bersama atau beberapa orang tinggal bersama dalam satu rumah untuk jangka waktu tertentu).

Pengertian dari istri atau suami atau mantan istri/ suami adalah meliputi istri atau suami atau mantan istri/ suami de jure yakni seseorang yang telah melakukan perkawinan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, serta meliputi istri atau suami atau mantan istri/ suami de facto yaitu, seseorang yang telah melakukan perkawinan sesuai dengan agama atau adat istiadat pihak-pihak yang berkaitan, walaupun perkawinan itu tidak didaftarkan atau tidak dapat didaftarkan di bawah undang-undang tertulis.

Defenisi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga mengacu pada pengertian kekerasan terhadap perempuan yang ada dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (PBB, 1993).

Pasal 1 dari Deklarasi menyatakan:

Kekerasan terhadap perempuan adalah “ setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi”.

Pasal 2 dari Deklarasi menyatakan :

“ Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas pada: tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga dan di masyarakat, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak, kekerasa yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan (marital rape), pengrusakan alat kelamin perempuan dan


(18)

praktik-praktik kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan diluar hubungan suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi perempuan, perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa. Serta termasuk kekerasan yang dilakukan dan dibenarkan oleh negara di manapun terjadinya”.

Dengan demikian, ruang lingkup kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam rumah tangga (keluarga), di masyarakat luas (tempat publik) serta yang di wilayah negara. Landasan hukum perumusan ini adalah Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) dan dikuatkan oleh Rekomendasi Umum CEDAW (Convention on the Elimination of all Discrimination Againts Women) No. 19/1992 tentang kekerasan terhadap perempuan sebagai kekerasan berbasis gender dan merupakan suatu bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Dalam usulan rancangan undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang disusun oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat, dengan mengacu pada Deklarasi di atas, pengertian kekerasan dalam rumah tangga dirumuskan sebagai:

“ Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang atau penekanan secara ekonomis, yang terjadi dalam lingkup rumah tangga.”

Menurut Undang-undang RI No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.


(19)

Kekerasan dalam rumah tangga adalah merupakan berbagai bentuk kekerasan yang terjadi didalam hubungan keluarga, antara pelaku dan korbannya memiliki kedekatan tertentu. Tercakup disini penganiayaan terhadap istri, bekas istri, tunangan, anak kandung dan anak tiri, penganiayaan terhadap orangtua, serangan seksual, atau perkosaan oleh anggota keluarga.

Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya berhubungan dengan kekerasan berbasis gender (gender based violence). Bentuk kejahatan ini merupakan bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan untuk mendapatkan hak-hak kebebasannya yang setara dengan laki-laki. Jenis tindak kekerasan yang dialami perempuan karena pertalian hubungan dengan seorang laki-laki, tindak kekerasan ini dapat berupa kekerasan domestik dan kejahatan yang berdalih kehormatan. Kekerasan kategori ini muncul akibat pemposisisan perempuan sebagai pihak yang menjadi tanggungan dan mendapat perlindungan dari seorang pelindung laki-laki, pertama ayahnya kemudian suaminya.

Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk sekaligus dilembagakan secara sosial. Dalam hal ini, masyarakat menentukan batas-batas kepantasan dan melabelkan peran-peran streotip bagi laki-laki dan perempuan. Apa yang ditentukan oleh masyarakat ini sudah berjalan berabad-abad lamanya, dan dianggap kodrat yang tidak bisa berubah, oleh sebab itu seseorang hanya bisa eksis dan dianggap benar apabila mengikuti batas-batas dan label-label sosial yang berlaku. Sebaliknya, seseorang akan merasa bersalah dan dipersalahkan apabila keluar dari batas-batas dan label-label sosial tersebut.

Salah satu bukti adanya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender adalah banyaknya perempuan yang mengalami tindakan kekerasan. Kenyataan ini disebabkan oleh kurangnya penghargaan dan adanya batas-batas kepantasan yang


(20)

diperlakukan secara diskriminatif terhadap perempuan sehingga perempuan dipandang tidak lebih dari sekedar objek yang pantas diperlakukan sewenang-wenang.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan kekerasan-kekerasan fisik, psikologis, seksual, ekonomi, dan perampasan kemerdekaan dirumuskan sebagai berikut:

1. Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, cedera, luka atau cacat pada tubuh seseorang, dan atau menyebabkan kematian.

2. Kekerasan psikologis adalah setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya pada seseorang.

3. Kekerasan seksual adalah tiap-tiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau disaat korban tidak menghendaki, dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban, dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya.

4. Kekerasan ekonomi adalah tiap-tiap perbuatan yang membatasi seseorang untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan atau barang, dan atau membiarkan korban bekerja untuk dingeksploitasi, atau menelantarkan anggota keluarga.

5. Perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang adalah semua perbuatan yang menyebabkan terisolirnya seseorang dari lingkungan sosialnya (seperti diantaranya: larangan keluar rumah, larangan berkomunikasi dengan orang lain).


(21)

2. 2. Pelaku dan Korban Kekerasan

Perempuan sering dilukai dan mengalami kekerasan dalam lingkup personal, baik dalam kaitannya dengan perannya sebagai istri atau anggota keluarga lain (misal:anak, adik ipar). Meskipun demikian, kekerasan jenis ini merupakan satu kekerasan yang sangat sulit diungkap antara lain karena:

1. Cukup banyak pihak yang menganggap hal demikian lumrah saja (bahkan menjadi bagian dari pendidikan yang dilakukan suami pada istri).

2. Konflik dalam rumah tangga sangat sering dilihat sebagai masalah intern keluarga yang tidak boleh dicampuri orang lain. Pandangan ini diyakini baik oleh orang-orang luar maupun orang-orang di dalam keluarga itu sendiri.

3. Pelaku maupun korban sangat sering menutup-nutupi kejadian yang sesungguhnya dari orang lain dengan alasan-alasan yang berbeda.

Pelaku menganggap apa yang terjadi dalam urusan keluarga dan hak pribadinya, orang lain tidak perlu tahu dan tidak berhak campur tangan sementara korban merasa sangat malu dengan hal yang terjadi, akan kehilangan kehormatannya bila aib sampai terbuka. (“Masa saya harus menceritakan kejadian suami saya memukuli saya?”) karena itu, korban berusaha sekuat tenaga menutupi. Bahkan, terkesan membela orang yang telah melakukan kekerasan padanya. Bila kekerasan seksual atau perkosaan oleh orang yang telah dikenal atau berhubungan dekat dengan korban lebih mungkin terjadi berulang, demikian pula tindak kekerasan fisik dan psikologis dalam keluarga dan hubungan intim.

Kekerasan terhadap perempuan dalam hubungan intim mencakup usaha-usaha dari pasangan untuk mengintimidasi, baik dengan ancaman atau melalui penggunaan kekuatan fisik pada tubuh perempuan atau barang-barang miliknya. Tujuan dari


(22)

serangan tersebut adalah untuk mengendalikan tingkah laku si perempuan, atau untuk memunculkan rasa takut. Mendasari semua bentuk kekerasan adalah ketidakseimbangan kekuasaan dan kekuatan antara pelaku kekerasan dan korbannya (Luhulima, 2000 : 21).

2.2.1. Pelaku Kekerasan

Pelaku adalah seseorang atau beberapa orang yang melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku kekerasan rumah tangga (dalam berbagai bentuk kekerasannya) ternyata tidak terbatas pada usia, tingkat pendidikan, agama, status sosial-ekonomi, suku, kondisi psikopatologi, maupun hal-hal lain.

Kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga sering memiliki persamaan dalam hal latar belakang kehidupan pelaku dan kepribadian yang berkaitan dengan tingkah laku agresif. Banyak pelaku kekerasan dalam rumah tangga berasal dari keluarga yang biasa terjadi kekerasan dalam kehidupan sehari-harinya, karenanya pelaku belajar dari keluarganya itu menjadi menganggap bahwa kekerasan sebagai bentuk pengkambinghitaman, atau sekedar sebagai tumpahan frustasi, merupakan bentuk penyelesaian konflik yang biasa dan dapat diterima.

Salah satu karakteristik penting pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah rendahnya harga diri. Seorang suami atau laki-laki sering memiliki anggapan bahwa laki-laki harus menjadi penguasa, pengambil keputusan, orang nomor satu, mungkin (diakui atau tidak) merasa ia tidak dapat mencapai tuntutan itu atau sulit menggapainya, sehingga merasa tidak kompeten, tidak cukup hebat, tidak cukup kuat, tidak cukup berhasil. Ia kemudian melakukan penganiayaan pada pihak yang lebih lemah sebagai bentuk mekanisme pertahanan dirinya, untuk mengatasi perasaan tidak berdayanya.


(23)

2.2.2. Perempuan (Istri) Sebagai Korban Kekerasan

Korban adalah orang yang mengalami tindak kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Perempuan korban kekerasan, seperti juga pelaku kekerasannya, dapat berasal dari berbagai latar belakang usia, pendidikan, tingkat sosial ekonomi, agama dan suku bangsa. Khusus untuk kekerasan dalam rumah tangga, korban kekerasan yang dapat teridentifikasi adalah mereka yang mencari pertolongan dan datang ke lembaga-lembaga yang mereka anggap dapat membantu mereka. Perempuan demikian tidak jarang tampil sebagai perempuan yang sangat pasif, menunjukkan ketakutan dan kekhawatiran berlebihan, terkesan sangat emosional (labil, banyak menangis, histeris) atau sebaliknya terkesan sulit diajak berkomunikasi dan terpaku pada pemikiran-pemikirannya sendiri.

Menanggapi hal ini, orang-orang yang tidak menekuni isu kekerasan terhadap perempuan akan cenderung mengambil sikap blaming the victim dengan menyatakan bahwa perempuan tersebut memang aneh, memiliki banyak masalah pribadi atau mungkin sedikit terganggu sehingga pasangan hidupnya kehilangan kesabaran menghadapinya. Sementara itu, konselor yang memahami isu kekerasan terhadap perempuan, atau berpandangan feministik akan mengajukan atau memandang gangguan atau patologi yang ditampilkan korban sebagai hal yang mungkin muncul sebagai akibat kekerasan yang dialami bukan sebagai penyebab.

Studi terhadap perempuan-perempuan korban kekerasan domestik memang menunjukkan bahwa perempuan dengan sejarah kekerasan yang panjang memang cenderung menjadi sangat membatasi diri dan terisolasi. Mereka sering menarik diri dari teman-teman dan keluarga karena merasa malu dan bersalah. Dapat dipahami bila perempuan demikian akan menunjukkan respon penyesuaian sosial yang canggung.


(24)

Bahkan aneh dimata orang luar yang tidak memahami permasalahannya secara mendalam.

Banyak sekali pertanyaan dan keheranan : mengapa banyak perempuan tetap tinggal dalam hubungan yang penuh kekerasan? Mengapa mereka tidak meninggalkan suaminya? Beberapa alasannya adalah:

a. Ketiadaan dukungan sosial yang sungguh memahami kompleksitas situasi yang dihadapi perempuan.

Orang luar sering enggan bahkan dipersalahkan bila mencampuri urusan keluarga orang lain, karena itu sulit menemukan dukungan yang dapat membantu. Dilain pihak, perempuan itu sendiri juga menganggap apa yang terjadi padanya adalah urusan keluarga atau pribadinya sendiri. Karena isunya sangat memalukan, perempuan akan menutupi kejadian yang sesungguhnya, sehingga tidak dapat memperoleh akses yang dibutuhkannya.

b. Citra diri yang negatif.

Cukup banyak korban, karena pengalaman dimasa kecilnya, yang diperkuat dengan pengalaman kekerasan yang diterimanya, merasa kecil dan tidak berharga, tidak akan dapat memberikan manfaat apapun bagi orang lain. Citra dirinya akan terbantu bila ia dapat mengikat laki-laki karena kesendirian sebagai perempuan dirasakan sebagai situasi yang menunjukkan dirinya tidak berharga.

c. Keyakinan bahwa suami akan berubah

Cukup banyak perempuan yang terus mempercayai suaminya pada dasarnya baik, bahwa kekasarannya merupakan respon terhadap stress dan


(25)

tekanan hidup, dan bahwa waktu akan mengubah semuanya menjadi lebih baik.

d. Kesulitan ekonomi.

Banyak perempuan yang sepenuhnya bergantung kepada orang lain (suami) untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk menghidupi anak-anak.

e. Kekhawatiran tidak dapat membesarkan anak dengan baik tanpa kehadiran pasangan; atau keyakinan bahwa apapun yang terjadi, keluarga dengan orangtua lengkap masih lebih baik daripada keluarga dengan orangtua tunggal.

f. Keraguan bahwa mereka akan dapat bertahan dalam dunia yang kejam, karena merasa suami yang selama ini baik padanya saja bisa berbuat jahat terhadapnya, apalagi lingkungan sosial yang tidak terlalu dikenalnya. g. Akhirnya perempuan dapat terus bertahan dalam kondisi kekerasan, karena

kekhawatiran adanya pembalasan dan kekerasan yang lebih hebat yang akan diterimanya (dan dialami orang-orang yang dekat dan dicintainya) bila ia berusaha meninggalkan pasangannya (Luhulima, 2000 : 33).

2.2.3. Anak Sebagai Korban Kekerasan.

Dalam Undang-undang RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 1 menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Seorang anak haruslah dipandang sebagai mahluk yang harus dilindungi, dikembangkan dan dijamin kelangsungan hidupnya. Bukan sebaliknya memandang anak sebagai sasaran empuk tindak kekerasan. Perlindungan yang dapat dilakukan


(26)

yaitu kebutuhan jasmani, rohani dan sosial agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar sehingga dapat melakukan cita-cita bangsa.

Prof. Dr. Singgih D. Gunarsa.menyatakan bahwa anak membutuhkan orang lain dalam perkembangannya. Dan orang lain yang paling utama dan pertama bertanggungjawab adalah orangtua sendiri. Orangtualah yang bertanggungjawab memperkembangkan keseluruhan eksistensi si anak. (Gunarsa, 1995:28)

Menurut Convention on the right of the child (konvensi hak anak) pada tanggal 20 November 1989 yang telah diratifikasikan oleh Indonesia, disebutkan dalam pasal 1 pengertian anak adalah “semua orang yang dibawah umur 18 tahun. Kecuali undang-undang menetapkan kedewasaan dicapai lebih awal.”

Anak yang hidup dalam keluarga yang diwarnai kekerasan adalah anak yang rentan, yang dalam bahaya karena kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:

1. Laki-laki yang menganiaya istri dapat pula menganiaya anaknya.

2. Istri atau perempuan yang mengalami penganiayaan dari pasangan hidupnya dapat mengarahkan kemarahan dan frustasinya pada anak-anaknya.

3. Anak-anak dapat cedera secara tidak sengaja ketika mencoba menghentikan kekerasan dan melindungi ibunya.

4. Anak-anak yang biasa hidup dalam kekerasan akan belajar bahwa kekerasan adalah cara penyelesaian masalah yang wajar, dibolehkan. Anak laki-laki dapat berkembang menjadi laki-laki dewasa yang juga menganiaya istri dan anak, dan anak perempuan dapat saja menjadi perempuan dewasa yang kembali terjebak menjadi korban kekerasan.


(27)

Anak-anak dari keluarga yang diwarnai kekerasan dapat mengembangkan pemikiran bahwa:

a. Seorang suami boleh memukul istrinya.

b. Kekerasan merupakan cara untuk menenangkan perbedaan pendapat. c. Perempuan adalah lemah, memiliki posisi lebih rendah, tidak mampu

menjaga dirinya sendiri dan tidak mampu menjaga anak-anaknya. d. Laki-laki dewasa adalah pengganggu dan berbahaya.

Anak-anak dari keluarga demikian akan cenderung kurang mampu menyatakan perasaan-perasaannya secara verbal, dan lebih terbiasa menunjukkan kegelisahan, ketakutan dan kemarahan melalui perilakunya. Bila sikap diam karena takut adalah hal lumrah pada keluarga yang diwarnai kekerasan dapat dimengerti bahwa cara adaptasi seperti ini juga dipelajari oleh anak. Anak akan menekan perasaan-perasaannya sendiri. Emosi-emosi negatif yang tidak dapat diberinya nama dirasakan campur aduk; takut, marah, bingung, merasa bersalah, sedih, khawatir, kecewa, ambivalen (bercampur aduk antara perasaan ingin mendekat, memerlukan orangtua, sayang dan menggantungkan diri pada orangtua, tetapi juga marah, tidak mengerti, kecewa takut dll.).

2. 3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tindak Kekerasan dalam Rumah

Tangga

2.3.1. Secara Teoritis.

Faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga secara teoritis maksudnya adalah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam lingkup rumah tangga yang dikategorikan berdasarkan pada suatu teori para ahli.


(28)

Beberapa ahli mendefenisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai pola perilaku yang bersifat menyerang atau memaksa, yang menciptakan ancaman atau mencederai secara fisik yang dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangannya, secara khusus Neil Alan dkk. membatasi ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga kepada Child Abuse (kekerasan kepada anak) dan wife abuse (kekerasan kepada isteri) sebagai korban, namun secara umum pola tindak kekerasan terhadap anak maupun isteri sesungguhnya sama. Penyebab tinggi angka kekerasan dalam rumah tangga masih belum diketahui secara pasti karena kompleksnya permasalahan, tapi beberapa ahli sudah melakukan penelitian untuk menemukan apa sebenarnya menjadi faktor penyebab tindak kekerasan dalam rumah tangga.

2.3.2. Secara Empiris

Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga secara empiris maksudnya adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan pengalaman, terutama yang diperoleh dari penemuan percobaan atau pengamatan yang telah dilakukan.

Masalah kekerasan dalam rumah tangga bukanlah merupakan masalah yang baru, tetapi tetap aktual dalam peredaran waktu dan tidak kunjung reda, malahan memperlihatkan kecenderungan peningkatan. untuk mengungkap kasus kekerasan dalam rumah tangga ini ternyata tidak segampang membalikkan tangan. Masih banyak kasus yang sengaja ditutupi hanya karena takut menjadi aib keluarga. Padahal tindak kekerasan yang dilakukan sudah tergolong tindak pidana. Malu mengungkapkan kasus kekerasan dalam rumah tangga karena aib keluarga, atau persoalan anak dan perasaan masih cinta merupakan hal yang kerap dirasakan korban kekerasan dalam rumah tangga di negara kita.


(29)

2. 4. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga

2. 4.1. Dampak Pada Perempuan/ istri.

Rasa takut adalah perasaan yang paling mendominasi korban. Rasa takut tersebut mengendalikan perilakunya, dan mewarnai segala tindak tanduknya bahkan ketakutan dapat mengganggu tidurnya, memunculkan insomnia dan mimpi-mimpi buruk. Gangguan tidur dapat memunculkan kebergantungan kepada obat-obat tidur dan obat penenang. Pasangannya dapat mengancam keselamatan dirinya. Bahkan akan mengancam jiwanya, kalau sampai ia berusaha membuka mulut, atau bila ia berusaha meninggalkan lelaki itu. Dengan dasar dominasi perasaan takut, respon dan pengalaman psikologis yang sering muncul dari korban kekerasan domestik maka muncul sikap seperti:

1. Meminimalkan kejadian kekerasan yang dialami, karena beberapa alasan:

• Ketakutannya bahwa membicarakan kekerasan tersebut akan membuatnya berada dalam situasi lebih buruk.

• Kurangnya informasi akurat mengenai apa yang sesungguhnya terjadi padanya, siapa yang sesungguhnya bermasalah dan menjadi korban. • Kebutuhannya untuk meyakini itu tidak seberat yang dibayangkan

adalah cara beradaptasi terhadap kekerasan yang dialami, sampai ia siap menghadapi realitas dan mampu mengambil tindakan-tindakan pengamanan.

• Perasaan malu dan kebingungannya menghadapi kekerasan. • Keyakinannya bahwa ia bertanggungjawab atas kejadian tersebut. 2. Terisolasi

Perempuan korban kekerasan memiliki akses sangat sedikit akan jaringan dan dukungan personal. Ketakutannya bahwa orang-orang yang disayanginya akan


(30)

menjadi sasaran dan berada dalam bahaya, membuatnya menutup mulutnya. Rasa malu dan kebingungannya menghadapi pemukulan-pemukulan membuatnya menjaga jarak dari orang lain. Sedikit kenalan dan teman yang mengenalnya jarang tahu teror yang dihadapinya di rumahnya sendiri.

Jika ia berupaya berhubungan dengan orang lain, pasangannya akan mematahkan usahanya dengan mengendalikan aktivitasnya dan membatasi kontaknya dengan orang-orang di luar perkawinan. Ia mungkin secara sengaja bersikap kasar pada keluarga dan teman-teman perempuan tersebut. Perempuan korban jarang punya hubungan positif dengan tempat-tempat yang dapat menyediakan pekerjaan yang baik, tempat penitipan anak, ataupun aktivitas-aktivitas terapetik, rekreasi dan pendidikan yang dapat meningkatkan harga dirinya. Isolasi sosialnya juga menyebabkan sangat sedikit memperoleh umpan balik mengenai kondisinya, suatu hal yang sesungguhnya dapat mengubah persepsinya.

3. Perasaan tidak berdaya.

Perempuan korban kekerasan sering berada dalam situasi learned helplessness fenomena yang dideskripsikan secara detil oleh Lenore Walker (1979). Yang dimaksud adalah mereka belajar bahwa upaya-upaya mereka untuk mengendalikan, menghindari atau melarikan diri dari situasinya ternyata tidak berhasil. Akhirnya, yang muncul adalah perasaan tidak berdaya (powerlessness) dan keyakinan bahwa tiada suatupun dapat dilakukannya untuk mengubah keadaannya.

4. Menyalahkan diri (internalizes blame)

Perempuan korban kekerasan, sama seperti kita dan orang-orang lain, sering mempercayai mitos-mitos tentang kekerasan dalam hubungan intim dan dalam


(31)

rumah tangga. Ia berpikir dialah yang menyebabkan kekerasan terjadi karena pasangannya tidak jarang bertanya:” Mengapa kamu membuat saya terpaksa memukuli kamu? Kalau kamu melakukan apa yang saya inginkan, yang seperti ini tidak akan terjadi.” Sementara itu orang luar juga mungkin bertanya:” Suamimu lelaki yang baik, apa sih yang kamu lakukan sampai ia memukul kamu?”. Ia berusaha untuk menjadi makin sempurna, tidak menyadari bahwa kekerasan tersebut sesungguhnya lekat dan menjadi tanggung jawab pelaku.

5. Ambivalensi

Pasangan yang melakukan kekerasan tidak setiap saat melakukan kekerasan. Kadang kala ada saat bahwa ia merasa pasangannya adalah laki-laki yang baik dan mencintainya. Inilah yang menjadi ambivalensi dan kebingungan korban. Ia ingin kekerasan itu berakhir, tetapi tidak perkawinannya. Ia sangat berharap pasangannya akan berubah, ia ingin mempercayai janji-janji pasangannya. Ia berpikir bahwa ia mencintai laki-laki itu. Ia juga sangat takut membayangkan hidup sendiri. Perpisahan dengan pasangan mungkin akan menyebabkan banyak sekali perubahan hidup. Bila sebelumnya tinggal di rumah sepanjang hari mengurus anak, mungkin ia harus bekerja, menitip anak, atau malahan harus meminta bantuan. Untuk perempuan dari kelas menengah atas, menurun drastisnya tingkat kehidupan memerlukan banyak sekali penyesuaian.

6. Harga diri rendah.

Akhir dari kekerasan yang berulang adalah rusaknya harga diri. Perasaan berharga dan keyakinan diri, kepercayaan akan kemampuan diri dirusakkan. Yang sangat merendahkan adalah bahwa ia mendapat kekerasan dari orang yang dipilih menjadi pasangan, orang yang seharusnya menyayangi,


(32)

menghormati dan menyenangkannya. Perempuan korban kekerasan merasakannya sebagai pukulan yang paling parah, pengkhianatan paling besar. Semakin parah kekerasan yang dialami, dan semakin lama berlangsung, semakin buruklah citra diri yang dimiliki korban. Ia mempercayai panggilan-panggilan yang ditujukan pasangannya padanya: buruk, tidak mampu, bodoh, tidak menarik, dst.

7. Harapan.

Perempuan yang menjadi korban berharap suaminya akan berubah, akan menjadi pasangan seperti yang diimpikannya. Adalah penting bahwa konselor menghormati mimpi-mimpinya akan kehidupan rumah tangga yang bahagia. Mimpinya tidak aneh, mimpi tersebut umum diimpikan orang. Sering kita menyalahkan perempuan dengan pertanyaan: “Kenapa sih dia masih terus bertahan dalam situasi demikian?”, kembali mempersalahkannya. Kita perlu melihatnya secara lebih positif, lebih bermanfaat untuk menganggapnya sebagai perempuan pemberani, yang dapat bertahan meskipun adanya banyak permasalahan. Dengan kata lain, seharusnya kita bertanya: “Bagaimana ia dapat memperoleh kekuatan untuk terus bertahan dalam hubungan penuh kekerasan demikian?” (Luhulima, 2000 : 37)

Berdasarkan kenyataan di seluruh dunia, istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga berasal dari semua golongan masyarakat, dari berbagai lapisan sosial, golongan pekerjaan, suku, bangsa, budaya, agama, maupun tentang usia telah tertimpa musibah kekerasan.


(33)

Perlakuan kejam yang dialami para korban itu mengakibatkan timbulnya berbagai macam penderitaan seperti:

a. Jatuh sakit akibat stres seperti sakit kepala, asma, sakit perut, dll. b. Menderita kecemasan, depresi, dan sakit jiwa akut.

c. Berkemungkinan untuk bunuh diri atau membunuh pelaku. d. Kemampuan menyelesaikan masalah rendah.

e. Kemungkinan keguguran dua kali lebih tinggi bagi korban yang hamil. f. Bagi yang menyusui, ASI sering kali terhenti akibat tekanan jiwa.

g. Lebih berkemungkinan bertindak kejam terhadap anak, karena tidak dapat menguasai diri akibat penderitaan yang berkepanjangan dan tidak menemukan jalan keluar (Ciciek, 1999)

2.4.2. Dampak Pada Anak-anak.

Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak terbatas kepada istri saja, tetapi menimpa anak-anak juga. Anak-anak bisa mengalami penganiayaan secara langsung atau merasakan penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang dialami ibunya. Paling tidak, setengah dari anak-anak yang hidup di dalam rumah tangga yang di dalamnya terjadi kekerasan, juga mengalami perlakuan kejam. Sebagian besar tidak diperlakukan kejam secara fisik, sebagian lagi secara emosional maupun seksual. Kehadiran anak di rumah tidak membuat suami tidak menganiaya istrinya. Bahkan dalam banyak kasus, lelaki penganiaya memaksa anaknya menyaksikan pemukulan ibunya. Sebagian menggunakan perbuatan itu sebagai cara tambahan untuk menyiksa dan menghina pasangannya.

Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi anak-anak. Mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan tidak mampu berbuat


(34)

sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibu mereka. Sebagian berusaha menghentikan tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang lain. Menurut data yang terkumpul dari seluruh dunia, ada anak-anak yang sudah besar yang akhirnya membunuh ayahnya setelah bertahun-tahun tidak bisa membantu ibunya yang diperlakukan kejam.

Akibat kekerasan tidak sama pada semua anak. Diantara ciri-ciri anak yang menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah:

1. Sering gugup 2. Suka menyendiri 3. Cemas

4. Sering ngompol 5. Gelisah

6. Gagap

7. Sering menderita gangguan perut 8. Sakit kepala dan asma

9. Kejam pada binatang

10.Ketika bermain meniru bahasa dan perilaku kejam 11.Suka memukul teman

Kekerasan dalam rumah tangga ternyata merupakan pelajaran kepada anak bahwa kekejaman dalam bentuk penganiayaan adalah bagian yang wajar dari sebuah kehidupan. Anak akan belajar bahwa cara menghadapi tekanan adalah dengan melakukan kekerasan. Menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan adalah sesuatu yang biasa dan baik-baik saja. Kekerasan dalam rumah tangga memberi pelajaran kepada anak lelaki untuk tidak menghormati kaum perempuan (Ciciek, 1999).


(35)

Mengingat bahwa orangtua lebih sibuk dengan permasalahan dan ketegangannya sendiri, sering terjadi bahwa orangtua tidak memberikan perhatian pada kebutuhan anak, khususnya kebutuhan psikologisnya untuk merasa aman, dicintai, didengarkan. Karena itu, banyak hal dapat muncul, seperti:

1. Usia pra sekolah

a. Keluhan fisik, seperti sakit kepala, sakit perut.

b. Adanya gangguan tidur seperti insomnia, takut gelap, ngompol. c. Kecemasan berlebihan bila berpisah dari orangtua.

2. Usia sekolah

a. Lebih umum (meskipun tidak eksklusif) pada anak perempuan: keluhan-keluhan somatik, perilaku menarik diri, pasif, tidak dapat mandiri, sangat bergantung kepada ingin diterima orang lain, toleransi frustasi rendah, atau justru kesabaran berlebihan, sikap penolong, khususnya perhatian untuk dapat membantu ibu.

b. Lebih umum (meskipun tidak eksklusif) pada anak laki-laki: toleransi frustasi rendah, perilaku agresif, mengganggu, menggertak, berlagak jagoan, tempertantrums (mudah sekali marah dengan ekspresi fisik yang berlebihan, seperti menendang-nendang, berteriak-teriak, dan berguling-guling, dsb.)

c. Sebagian anak mengalami gangguan konsentrasi dan belajar, sering membolos, kikuk, sering celaka, dianggap lambat, atau mengalami masalah belajar.


(36)

d. Sebagian anak lain sebagai kompensasi justru menampilkan prestasi menonjol, perfeksionis dan rasa tanggungjawab berlebihan.

3. Remaja

Remaja sangat mungkin menampilkan perilaku melarikan diri dan merusak diri sendiri. Beberapa hal yang mungkin dilakukan adalah: lari dari kenyataan dengan mengkonsumsi obat-obat adiktif dan alkohol, kabur dari rumah, perilaku seksual bebas, agresivitas dan aktivitas kriminal.

4. Dewasa

Anak yang menyaksikan kejadian kekerasan berulang-ulang di rumahnya, dan menyaksikan ibu (perempuan) menjadi korban dapat mengembangkan pola hubungan yang sama dimasa dewasanya. Cukup banyak laki-laki pelaku kekerasan terhadap pasangan berasal dari keluarga abusive dimasa kanaknya, biasa menyaksikan kekerasan yang dilakukan ayah pada ibu, tidak jarang ia sendiri juga menjadi korban kekerasan ayah. Sementara itu, perempuan yang dimasa kanaknya berada dalam suasana keluarga demikian juga akan melihat dan belajar untuk meyakini bahwa laki-laki adalah makhluk yang memang harus menang, keras kepala dan egois, harus serba dilayani, sementara perempuan adalah makhluk yang harus melayani, menyesuaikan diri, mencoba menyenangkan laki-laki dengan berbagai cara. Dimasa dewasa ia akan lebih mudah terjebak dalam pola hubungan yang sama, karena pengalaman hidupnya tidak memberinya paparan mengenai peran-peran orang dewasa dan hubungan laki-laki dan perempuan yang


(37)

lebih sehat, lebih setara, dan lebih membahagiakan (Luhulima, 2000 : 40)

2.5. Kerangka Pemikiran

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah kekerasan dalam keluarga yang banyak terjadi menimpa rumah tangga-rumah tangga di Indonesia saat ini. Kekerasan dalam rumah tangga kadang dikaitkan dengan istilah kekerasan terhadap pasangan (spouse abuse). Adapun kekerasan pasangan didefenisikan sebagai penggunaan kekerasan fisik oleh pasangannya yang terjadi pada hubungan yang telah intim pada pasangannya. Kekerasan pasangan ini mencakup kekerasan secara psikologis seperti intimidasi, ancaman, penghinaan dimuka umum, kata-kata kasar yang dilakukan secara berulang-ulang. Perkembangan ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga selanjutnya ialah bentuk kekerasan terhadap anak, yang sering ikut menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh berbagai faktor yang memicu terjadinya kekerasan tersebut. Faktor-faktor pemicu ini menjadi alasan pelaku untuk melakukan kekerasan terhadap istri atau anak yang menjadi korban kekerasan. Korban menjadi tempat pelampiasan si pelaku dalam menyalurkan emosinya yang dikeluarkan dalam bentuk kekerasan, sehingga menyebabkan korban merasa tersakiti. Faktor pemicu KDRT dalam penelitian ini dapat dilihat dari 2 cara yaitu secara teoritis dan secara empiris. Secara teoritis yaitu menyimpulkan faktor pemicu terjadinya KDRT berdasarkan pendapat ahli sedangkan secara empiris yaitu menyimpulkan faktor pemicu KDRT berdasarkan bagaimana kenyataan KDRT saat ini di masyarakat.


(38)

KDRT menimbulkan berbagai dampak pada korban. Dampak yang paling mendominasi korban adalah rasa takut. Rasa takut tersebut mengendalikan perilakunya, dan mewarnai segala tindak tanduknya bahkan ketakutan dapat mengganggu tidurnya, memunculkan insomnia dan mimpi-mimpi buruk. Juga masih banyak dampak pada korban yang menyebabkan kondisi fisik dan kejiwaan korban terganggu. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada bagan kerangka pemikiran berikut:

Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir.

Masalah KDRT

Korban KDRT  Istri  Anak

Dampak KDRT Faktor-faktor pemicu

 Teoritis  Empiris


(39)

2.6. Defenisi Konsep

Dalam penelitian, seorang peneliti menggunakan istilah yang khusus menggambarkan secara tepat fenomena yang hendak ditelitinya. Inilah yang disebut konsep, yakni istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak: kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995 : 33).

Konsep sangat diperlukan dalam penelitian agar dapat menjaga fokus masalah dan timbulnya kesalahpahaman yang dapat mengaburkan penelitian. Oleh karena itu dalam menjelaskan penelitian ini, perlu dijelaskan beberapa defenisi konsep antara lain:

1. Faktor-faktor penyebab tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah serangkaian indikator-indikator yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang merupakan setiap perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang atau penekanan secara ekonomis, yang terjadi dalam lingkup rumah tangga.

2. Dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap korban adalah keseluruhan akibat yang ditimbulkan oleh suatu kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang yang mengalami penderitaan karena kekerasan dalam rumah tangga tersebut, baik secara fisik maupun psikis.

3. Pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang berakibat


(40)

penderitaan (baik fisik maupun psikis) pada seseorang atau sekelompok orang dalam lingkup rumah tangga.

4. Istri adalah wanita (perempuan) yang telah menikah atau yang sudah bersuami.

5. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki, dengan menggambarkan/ melukiskan berdasarkan objek penelitian pada saat sekarang, sebagaimana adanya. Metode deskriptif memusatkan perhatiannya pada penemuan fakta-fakta (fact finding) sebagaimana keadaan sebenarnya (Nawawi, 1994:73)

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dimulai dari Yayasan Pusaka Indonesia yng beralamat di Jl. Setia Budi No. 173 E. Medan Sumatera Utara. Telp./Fax: (061) 8223252. E-mail: 20238. Telp: (061) 6637821 dan (061) 8200170. Adapun alasan penulis memilih kedua LSM ini sebagai tempat penelitian adalah karena pada lembaga ini penulis mendapat data-data kasus KDRT yang masuk dalam daftar penanganan mereka. Melalui kedua lembaga ini, penulis mendapat banyak informasi tentang bagaimana gambaran KDRT di SUMUT. Dan yang akan menjadi subjek penelitian penulis adalah berasal dari antara korban kasus KDRT yang ditangani oleh Yayasan Pusaka Indonesia dan PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak). Jadi penelitian penulis berawal dari lembaga yang bersangkutan (Yayasan Pusaka Indonesia dan PKPA), lalu dilanjutkan pada masing-masing subjek penelitian.


(42)

3.3. Subjek Penelitian

Pada penelitian ini yang menjadi subjek penelitian menunjuk pada orang/ individu atau kelompok yang dijadikan unit atau satuan (kasus) yang diteliti. Yang menjadi informan utama adalah responden itu sendiri, yang merupakan sumber keterangan yang penting.

Penelitian ini memusatkan diri secara intensif terhadap satu objek tertentu, dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Sumber data tidak dipersoalkan dari sudut populasi atau sampel, yang berarti juga tidak mempersoalkan sifat representatif atau tidak, bahkan tidak perlu menghiraukan berapa ukuran/jumlahnya yang diperlukan. Untuk itu semua pihak yang dinilai dapat memberikan informasi dapat dijadikan sumber data (Nawawi, 1994 : 83)

Berdasarkan hal di atas, dalam penelitian ini, penulis menggunakan 3 orang sebagai informan utama, yaitu ketiga responden penulis dalam mengangkat kisah kehidupan mereka sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga, juga informan-informan tambahan yang mengetahui kasus dari masing-masing korban yang bersangkutan, pada kasus responden I ada 2 orang informan tambahan yaitu Bapak A. Hutabarat (kakek responden I) dan Ibu Elisabeth (staf dari Yayasan Pusaka Indonesia), juga pada kasus responden II ada 2 informan tambahan yaitu Kak Poppy (staf dari PKPA) dan M. Pasaribu (nenek responden II), sedangkan pada kasus responden III hanya ada satu orang informan tambahan yaitu Kak Poppy dari staf PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak). Keseluruhan informan dalam penelitian ini ada 7 orang.


(43)

3.4. Tehnik Pengumpulan Data.

Untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan, penulis menggunakan tehnik pengumpulan data dengan cara sebagai berikut:

1. Penelitian kepustakaan (library reseach)

Yaitu dengan cara mengumpulkan data yang diperlukan melalui buku-buku, massa media, artikel, bulletin, dll, yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti.

2. Penelitian lapangan (field reseach)

Penelitian ini dilakukan dengan cara langsung terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data-data melalui: Wawancara (interview) yaitu tehnik pengumpulan data dengan mengadakan wawancara secara langsung, dengan mengajukan pertanyaan mengenai persoalan KDRT. Dalam hal ini mula-mula pewawancara menanyakan sederetan pertanyaan yang sudah terstruktur, kemudian satu persatu diperdalam untuk mengorek keterangan yang lengkap dan mendalam. Cara pelaksanaannya bebas terpimpin dimana pewawancara membawa pedoman yang hanya merupakan garis besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan.

3.5. Tehnik Analisis Data

Tehnik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah tehnik kualitatif dengan memaparkan hasil penelitian sebagaimana adanya. Sehingga nantinya penulis dapat mendeskripsikan informasi dan data yang diperoleh dalam penelitian, yaitu data yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga.


(44)

BAB IV

ANALISA KASUS

4. 1. KASUS RESPONDEN I

4.1.1. Identitas Responden

Nama : Dandi. Y. Hutabarat

Umur : 5 tahun

Agama : Kristen Protestan

Suku : Batak

Pendidikan : (belum sekolah)

Anak ke : 4 dari 5 bersaudara

Jumlah Saudara Kandung : 4 orang, 3 Pr dan 1 Lk Pekerjaan bapak : Tidak menentu

Pekerjaan ibu : -

Pelaku KDRT terhadap responden I : R. Marpaung (52 tahun), yang merupakan uwak dari responden I (kakak I dari Ibu responden I) 4.1.2. Proses Pengumpulan Data

Pada hari Senin 14 Januari 2008, penulis mendatangi Yayasan Pusaka Indonesia yang berada di Medan, untuk menanyakan perihal korban kekerasan dalam rumah tangga yang mereka tangani saat ini. Penulis mendatangi lembaga ini adalah karena saran dari Biro Pemberdayaan Perempuan Setdapropsu yang menjadi lokasi penelitian awal penulis. Melalui ibu Elisabeth (salah satu staf dari Yayasan Pusaka Indonesia), penulis mendengar kisah tentang korban kekerasan


(45)

dalam rumah tangga yang sekarang masih mereka tangani, yaitu kasus Dandi, anak berumur 5 tahun yang dianiaya oleh uwaknya sendiri.

Ibu Elisabeth menceritakan bagaimana kronologis terungkapnya kasus Dandi, dan tentang pelaku kekerasan ini yang sampai saat ini belum tertangkap. Ibu Elisabeth menjelaskan:

“Dandi disiksa uwaknya, selama disiksa Dandi dititip di rumah teman uwaknya ini, Dandi nggak dikasih keluar rumah selama disana. Untung saja ada warga setempat yang curiga karena tanpa sengaja melihat kondisi Dandi yang mengenaskan, dan berinisiatif melaporkan pada kepling setempat, kalau tidak, kita nggak tau bagaimana kondisi Dandi saat ini.”

Beliau memberikan pada penulis foto-foto Dandi pada waktu masih mengalami luka-luka serius akibat penganiayaan yang dilakukan oleh pelaku. Ibu ini menceritakan bahwa sebenarnya, pemicu awal keberantakan rumah tangga E. Hutabarat (ayah Dandi) adalah faktor ekonomi. Ibu Elisabeth berkata:

“Ibu Dandi yang berasal dari keluarga mewah sering menganggap rendah suaminya, juga keluarga dari pihak ibunya ini nggak pernah suka dengan ayah Dandi, karena dianggap tidak becus mencari nafkah. Ayah Dandi yang sering kesal karena tidak dihargai pihak keluarga istrinya, melampiaskan kekesalannya itu ke ibunya Dandi. Makanya mereka sering terlibat pertengkaran.”

Keramahan bu Elisabeth membuat penulis menjadi cepat akrab bercerita tentang kasus Dandi dengan ibu itu. Setelah mengetahui banyak informasi tentang kasus Dandi darinya, penulis mengatakan bahwa penulis ingin mengadakan wawancara secara langsung kepada Dandi maupun keluarga yang sekarang mengasuhnya. Akhirnya penulis disuruh datang 3 hari lagi ke Yayasan Pusaka Indonesia untuk mendapatkan dampingan dari pihak lembaga ini ketika melakukan wawancara langsung dengan Dandi, penulis menyanggupi.

Pertama kali penulis bertemu dengan responden adalah pada tanggal 17 Januari 2008 di rumah kakek korban dari pihak ayah. Sebelumnya penulis telah menyusun daftar pertanyaan-pertanyaan yang akan penulis tanyakan terkait kasus


(46)

kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa Dandi. Penulis saat itu didampingi oleh salah seorang staf dari Pusaka Indonesia, karena menurut pihak lembaga ini, responden dan keluarganya tidak akan mau diwawancarai tanpa dampingan dari pihak Pusaka Indonesia selaku LSM yang turut menangani kasus Dandi.

Setelah mengadakan perkenalan dengan semua anggota keluarga pihak responden, penulis mencoba membuka pembicaraan dengan menyampaikan terlebih dahulu tentang ketertarikan penulis terhadap kasus Dandi, juga tujuan penulis menjadikan Dandi sebagai salah satu responden penulis untuk mendukung proses penyelesaian skripsi penulis. Dimana skripsi penulis mengangkat judul tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga, yaitu faktor-faktor apa yang memicunya dan bagaimana dampaknya terhadap korban. Sampai akhirnya penulis membuka pembicaraan mengenai keingintahuan penulis tentang kasus kekerasan yang menimpa Dandi dengan bertanya: bagaimana awal terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa Dandi, dan bagaimana hal itu bisa sampai terjadi? Yang menjawab keingintahuan penulis adalah kakek responden sendiri, jawabnya:

“Kalau ditanya bagaimana hal ini bisa terjadi ya kita tidak tau, karena pelakunya belum tertangkap sampai sekarang. Alasan uwaknya itu menyiksa Dandi pun belum diketahui sampai sekarang, ada kemungkinan uwaknya ini mengalami penyakit kejiwaan, kalau tidak bagaimana mungkin dia tega melakukan perbuatan sekejam itu pada Dandi yang masih anak-anak. Perbuatan salah apa sih yang bisa dilakukan anak umur 5 tahun seperti Dandi? Seandainya pun Dandi salah, seberat apa salah Dandi sehingga disiksa seperti itu? Apakah masih bisa dianggap waras orang sekejam uwaknya itu?”

Beliau banyak bercerita tentang bagaimana kehidupan keluarga Dandi jauh sebelum terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa Dandi terjadi. Beliau juga menerangkan satu persatu bagaimana bentuk bekas luka pada tubuh Dandi sebelum sembuh, sambil menunjukkan foto-foto responden ketika


(47)

masih dalam kondisi mengenaskan, yang diambil pada saat proses penyidikan pihak kepolisian pada bulan Mei 2007. Kakek korban berkata:

“Ini kondisi Dandi waktu difoto pihak kepolisian untuk bukti, kondisinya parah sekali, kita tidak tau ada manusia yang bisa berbuat sekejam ini pada anak-anak, apa namanya kalau bukan orang tidak waras?”

Penulis semakin tertarik untuk menanyakan tentang kasus Dandi, apalagi setelah melihat kondisi Dandi yang memang sangat memprihatinkan. Penulis bertanya:

“Kalau menurut Dandi sendiri Pak, bagaimana uwaknya menyiksa dia sehingga mengakibatkan adanya luka-luka parah ditubuhnya?”

Pak A. Hutabarat menjawab:

“Kalau Dandi bilang tumit kakinya itu sedemikian parah karena disuruh nginjak sabut kelapa yang dibakar, trus giginya dicabut pake tangan, tapi kalau kita pikir secara logika itu tidak mungkin dicabut hanya pake tangan, pasti ada alatnya. Bibirnya ini Dandi tidak tau diapain, dia hanya bilang kalau bibirnya pernah dijahit sama uwaknya, kuku-kukunya ini dicabuti. Namanya anak kecil yang masih berumur 5 tahun, belum bisa mengungkapkan dengan jelas apa yang dialaminya.”

Meski keadaan luka Dandi sudah sembuh, tapi keadaan fisiknya sudah terlanjur memiliki bekas luka yang masih tampak jelas dan bersifat permanen (tidak bisa hilang lagi), yang mungkin saja bisa membuat Dandi merasa minder dalam bergaul. Karena ada bagian tubuh Dandi yang sudah tidak bisa lagi kembali utuh seperti bentuk awal, seperti jari dan bentuk mulut korban yang tidak bisa lagi kembali kebentuk normalnya seperti semula.

Dengan ramah kakek korban yang menjadi informan utama pada wawancara ini menjelaskan dan menjawab satu persatu keingintahuan penulis. Melalui pembicaraan yang makin lama makin serius, dengan wajah sedih kakek korban menceritakan bagaimana awalnya beliau tidak menyetujui pernikahan antara anaknya (E. Hutabarat) dengan ibu Dandi, bagaimana dulunya beliau sangat mengharapkan keberhasilan anaknya, dan bagaimana kecewanya hatinya


(48)

melihat anaknya tidak menjadi orang berhasil seperti yang diharapkannya. Penjelasan tentang itu diawali dengan pertanyaan penulis yang menanyakan tentang apa pekerjaan ayah dan ibu Dandi ? Kakek korban menjelaskan:

“Itulah masalahnya, ayah Dandi tidak memiliki pekerjaan tetap, tapi setahu kami dia selalu berusaha mencari pekerjaan, menjadi supir angkot pun dia pernah, meskipun berusaha seperti itu tetap saja keluarga Marpaung tidak menyukainya, dia dianggap tidak becus mencari nafkah. Namanya tidak memiliki gelar, mencari kerja pasti sulit, tapi mau diapain lagi itu memang karena kesalahan anak kami juga, tahun 1990 kami menguliahkannya di Bogor ngambil jurusan informatika, harusnya dia sudah tamat tahun 1997, tapi ternyata dia sudah menikah sebelum menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1996 dengan M. Marpaung ini yang dikenalnya di sana. Kami yang tidak tahu dia menikah tetap mengirimkan biaya bulanan seperti biasanya, bahkan pemintaan pengiriman uang makin sering terjadi, karena ingin anak kami tidak mengalami hambatan apa-apa dalam perkuliahan terutama soal administrasi, ya kami tetap memenuhi permintaannya. Ternyata tahun 1998 anak kami pulang sudah bawa istri dan satu anak, sejak awal kami sudah tidak suka dengan M. Marpaung, apalagi setelah tahu kalau dia sudah pernah kawin cerai sebelum sama anak kami. Pernikahan ini membuat kuliah anak kami tidak selesai, ternyata sejak tahun 1996, dia sudah tidak pernah kuliah lagi Sebagai orangtua tentunya saya pribadi sangat kecewa, tapi mau bagaimana lagi? Kalau ibunya Dandi memang tidak mau kerja, dia selalu saja minta bantuan dari pihak keluarganya, gaya hidupnya mewahlah, maklum keluarganya memang kaya raya.”

Dandi yang pada saat itu juga sedang berada di rumah, sesekali datang mencomot kue yang tersedia di meja. Ketika penulis berniat mengajaknya bicara, anak itu selalu menghindar dan tidak mau bicara dengan penulis. Sampai akhirnya nenek korban memberitahukan bahwa Dandi memang tidak mau berbicara dengan orang yang baru dikenalnya, mungkin karena masih takut akibat kekerasan yang dialaminya. Nenek korban berkata:

“Dandi memang tidak mau bicara sama orang yang baru dikenalnya, mungkin karena masih takut, tapi nanti kalau sudah dikenalnya dia pasti bisa akrab apalagi sama orang yang baik sama dia.”


(49)

Mendengar hal itu, penulis tertarik menanyakan tentang bagaimana sikap Dandi dalam bergaul dengan teman-temannya? Apakah dia minder atau biasa saja? Kakek korban (A. Hutabarat) menjawab:

“Kalau minder sudah pasti, dia sering mengadu sama kami kalau dia sering diejek teman-temannya, katanya dia diejek berwajah aneh dan penyakitan. Di gereja pun kalau dia kalau beribadah di hari Minggu, dia sering cerita kalau dia malu selalu saja dilihat-lihat orang, juga ditanya-tanyai dengan pertanyaan macam-macam tentang bentuk bibirnya yang memang cacat, ini membuat dia malu dan menjadi menolak kalau disuruh ke gereja. Dandi lebih suka bermain di dalam rumah bersama kakak dan adik-adiknya.”

Ada sekitar 4 jam proses berlangsungnya wawancara, semua pertanyaan yang telah penulis susun sebelumnya sudah terjawab satu persatu oleh keterangan kakek korban yang memang sebelumnya mengatakan bahwa beliau bersedia membantu penulis semampu beliau. Setelah semua keingintahuan penulis terjawab, penulispun memutuskan untuk mengakhiri dulu proses wawancara. Penulis permisi untuk pulang, setelah sebelumnya meminta agar diijinkan datang lagi untuk wawancara berikutnya seandainya masih ada data yang kurang atau yang masih penulis perlukan nantinya. Kakek dan nenek korban sambil tersenyum ramah menyatakan mereka masih bersedia untuk diwawancarai dan memberi keterangan semampu mereka jika diperlukan, asalkan membuat janji dulu dengan mereka melalui telepon, penulis menyanggupi untuk menghubungi mereka dulu sebelum datang jika memang penulis ingin mengadakan wawancara lanjutan.

Penulis mencoba menyempurnakan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan informan utama yaitu kakek korban dengan menggabungkan juga mencocokkannya dengan informasi yang didapat dari ibu Elisabeth sebelumnya. Setelah data terkumpul, penulis memulai untuk menganalisa kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa Dandi. Ternyata dalam proses penganalisaan kasus ini, masih ada informasi yang penulis butuhkan, dan belum


(50)

ada pada data-data yang sudah dikumpulkan penulis, untuk melengkapi data yang kurang ini penulis memutuskan untuk mewawancarai informan II saja yaitu ibu Elisabeth melalui telepon. Pada saat itu penulis bertanya mengenai bagaimana uwak korban bisa dijadikan sebagai tersangka utama, apakah memang sudah pasti dia pelakunya?

“Ibu pernah menanyakan pada Dandi tentang siapa yang melakukan kekerasan padanya, Dandi menjawab uwaknya, ibu juga menanyakan apakah H. Sagala ikut menyiksanya, Dandi bilang tidak ikut, H. Sagala melihati saja ketika Dandi disiksa, tapi sampai sekarang masih dilakukan pemeriksaan terhadap H. Sagala, bagaimana pun dia sudah ikut terlibat dalam kasus ini.”

Penulis bertanya lagi mengenai, apakah setelah diambil dari rumahnya, Dandi langsung dititipkan di rumah H. Sagala, atau sebelumnya dibawa dulu ke rumah nenek dari pihak ibunya yang juga merupakan tempat tinggal pelaku. Ibu Elisabeth menjawab:

“Kalau menurut nenek korban dari pihak ibu, Dandi ini tidak pernah dibawa ke rumahnya, jadi menurut dugaan Dandi dibawa langsung ke tempat H. Sagala.”

Proses wawancara melalui telepon ini berlangsung sekitar 20 menit, dan akhirnya informasi yang penulis butuhkan dapat terjawab semuanya. Dengan mengucapkan terimakasih terlebih dahulu, penulis mengakhiri proses wawancara. Ini merupakan proses wawancara terakhir penulis dengan informan yang membantu proses penyelesaian skripsi penulis terkait kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa Dandi.


(51)

4.1.3. Deskripsi kasus

Dandi Hutabarat adalah seorang anak yang berbadan kurus dan memiliki kulit kuning langsat. Dandi juga anak yang ceria, yang bermain dengan penuh tawa dengan saudara-saudaranya. Sekilas kita akan berpikir Dandi tidak memiliki masalah dalam pergaulannya, melihat keceriaannya ketika bermain dengan kakak-kakak dan adiknya, padahal sebenarnya dia minder dan malu bergaul dengan teman-teman di luar rumahnya, karena setiap bermain dengan mereka, Dandi selalu diejek.oleh teman-teman sepermainannya.

Dandi terlahir dari pasangan Bapak E. Hutabarat dan Ibu M. Marpaung. Ayah dan ibu Dandi ini menikah pada tahun 1996 tanpa diketahui oleh orangtua dari pihak ayah Dandi. Yang mereka ketahui adalah bahwa E. Hutabarat (ayah Dandi) masih kuliah di Bogor dan seharusnya wisuda pada tahun 1997. Karena belum mengetahui anaknya telah menikah, maka pengiriman biaya bulanan untuk perkuliahan dan biaya hidup anaknya masih tetap berjalan normal seperti bulan-bulan sebelumnya. Bahkan permintaan pengiriman semakin meningkat frekwensinya, uang yang diminta pun semakin bertambah jumlahnya. Padahal kenyataannya, uang yang dikirim oleh orangtuanya dipergunakan oleh E. Hutabarat untuk memenuhi kebutuhan keluarga baru yang dibangunnya bersama M. Marpaung (mama Dandi). Karena menurut sepengetahuan mereka, uang yang dikirimnya dipergunakan oleh E. Hutabarat untuk keperluan kuliah, pengiriman uang bulanan tetap lancar. Apapun mereka lakukan, asal anaknya tidak kekurangan, dan tidak memiliki hambatan dalam perkuliahan karena biaya yang kurang. Jadi berapapun yang E. Hutabarat minta saat itu, mereka berusaha memenuhinya, meski kadang terbesit kecurigaan karena permintaan uang bulanan yang terus meningkat, bahkan kadang sampai dua kali lipat dari pengiriman


(52)

biasanya. Hal ini terus berlanjut sampai akhirnya pada tahun 1998, E. Hutabarat dan istrinya M. Marpaung pulang ke Medan setelah mereka sudah memiliki seorang anak perempuan, mereka memutuskan untuk memberitahu tentang pernikahan mereka pada orangtua dari E. Hutabarat, yang memang tidak mengetahui hal ini sama sekali. Mengetahui anaknya tidak menyelesaikan kuliahnya sesuai dengan harapan, orangtuanya sangat kecewa. Mereka sempat tidak bisa menerima kenyataan ini dan tidak memiliki rasa suka atau rasa simpati sedikitpun pada M. Marpaung, wanita yang mau tidak mau harus mereka terima sebagai menantunya. Orangtua E. Hutabarat merasa M. Marpaung bukanlah wanita yang seperti mereka inginkan untuk menjadi menantunya, mereka juga merasa bahwa M. Marpaung bukanlah wanita yang tepat untuk dijadikan istri oleh anaknya. Karena bagaimanapun wanita ini telah menghambat jalannya proses penyelesaian pendidikan anaknya dalam perkuliahan. Apalagi setelah mereka mengetahui bahwa M. Marpaung pernah menikah dengan lelaki lain tetapi sudah bercerai sebelum punya anak, didukung lagi oleh perbedaan agama pada keluarga kedua belah pihak, menambah daftar alasan ketidaksukaan mereka pada M. Marpaung. Tetapi melihat cucunya yang telah lahir, kedua orangtua E. Hutabarat pun akhirnya luluh. Meski sampai detik ini beliau tidak pernah menyukai menantunya itu.

Keluarga E. Hutabarat memutuskan untuk menetap di Medan, mereka tinggal di rumah pemberian dari orangtua M. Marpaung yang juga tinggal di Medan. Keluarga yang dibentuk oleh ayah dan ibu Dandi bukanlah keluarga yang harmonis, karena kerap kali terjadi pertengkaran antara ayah dan ibu Dandi. Pertengkaran itu selalu ada, tapi mereka masih berusaha mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka, hingga satu persatu anak mereka lahir. Mereka


(53)

memiliki 5 orang anak, Dandi adalah anak yang ke 4. Sekitar bulan Juni tahun 2006, pertengkaran itu terulang lagi, akibat pertengkaran ini E. Hutabarat diadukan oleh istrinya M. Marpaung kepada pihak yang berwajib, karena telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Ayah Dandi tidak berhasil ditangkap oleh polisi karena sudah lebih dulu melarikan diri dan hingga kini belum diketahui keberadaannya dimana.

Pada bulan November tahun 2006, yaitu selang 5 bulan dari kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa keluarganya, M. Marpaung (ibu Dandi) malah menambah masalah baru dalam keluarga mereka, yaitu ditangkap oleh polisi karena kasus narkoba. Akibat perbuatan kedua orangtuanya, keadaan kelima anaknya menjadi tidak terurus (terlantar). Mereka tinggal berlima saja di rumah itu, tanpa ada yang menemani, menjaga dan memberikan kasih sayang pada mereka. Meskipun salah satu uwak Dandi (salah satu dari kakak ibunya) yang kebetulan tinggal bersebelahan rumahnya dengan rumah yang ditempati oleh Dandi dan saudara-saudaranya saat itu sesekali mendatangi mereka untuk melihat bagaimana keadaan mereka, tapi kondisi Dandi dan saudara-saudaranya tetap memprihatinkan, kurus-kurus seperti kekurangan vitamin karena tidak terurus. Tidak ada yang betul-betul memperhatikan keadaan mereka, memenuhi kebutuhan secara menyeluruh dan memberikan kasih sayang yang sesungguhnya sangat mereka butuhkan saat itu. Hal ini sesuai dengan penjelasan kakek korban sebagai berikut:

“Dandi dan yang lainnya kurus-kurus sekali waktu itu, seperti anak jalanan gitulah, tidak terurus, maklum hanya si Putri kakak pertama Dandi yang menjagai dan mengurusi keperluan adik-adiknya, tapi kami tidak bisa bilang apa-apa, keluarga Marpaung ini keberatan kalau kami yang mengurus Putri dan adik-adiknya, mereka bilang mereka masih sanggup mengurus anak-anak.”


(54)

Kakek dan nenek Dandi dari pihak ayah melihat keadaan itu. berniat mengambil Dandi dan saudara-saudaranya untuk tinggal bersama mereka. Keinginan itu disampaikan kepada keluarga dari pihak ibu Dandi, tetapi pihak keluarga ini tidak menyetujui dan menentang niat mereka. Keluarga dari pihak ibu Dandi ini mengatakan bahwa mereka bisa menjaga dan mengurus segala kebutuhan Dandi dan saudara-saudaranya. Meskipun sudah berbagai usaha sudah dilakukan untuk membujuk keluarga Marpaung (keluarga ibu Dandi) agar mau memberikan cucu-cucunya untuk mereka asuh, tapi tetap saja keluarga dari pihak ibu Dandi tidak mengijinkan dengan alasan bahwa mereka bisa mengurus Dandi dan saudara-saudaranya, karena tidak ingin memperkeruh suasana, apalagi sejak awal pernikahan E. Hutabarat dan M. Marpaung, kedua keluarga ini seperti saling tidak menyukai satu sama lain, akhirnya keluarga dari pihak ayah Dandi mengalah. Ketidaktegaannya terhadap kondisi cucu-cucunya ini, membuat kakek dan nenek Dandi dari pihak ayah sering mengunjungi mereka, sambil membawa makanan-makanan dan membelikan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh Dandi dan saudara-saudaranya.

Keluarga dari pihak ibu juga sebenarnya juga sering meninjau keadaan Dandi dan saudara-saudaranya, mengajak mereka jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, dan ke tempat-tempat bermain anak, hanya saja yang benar-benar mengasuh, menemani dan memberikan kasih sayang pada mereka tidak ada, artinya tidak ada yang bersedia mengajak mereka untuk tinggal bersama. Tetap saja mereka hanya tinggal berlima di rumah itu, hingga pada suatu hari R. Marpaung (52 tahun) yaitu kakak pertama dari ibu mereka yang belum menikah datang mengunjungi mereka, dan ketika pergi lagi membawa Dandi ikut serta


(1)

misalnya dapat membawa pengaruh psikologis yang buruk bagi perkembangan mental dan pendidikan anak.

5. Orang yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga akan mengalami penderitaan yang mengganggu atau mempengaruhi kondisi psikisnya. Korban kekerasan dalam rumah tangga akan cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya karena merasa malu dan minder atas kekerasan dalam rumah tangga yang menimpanya.

5.2. Saran

1. Melihat faktor penyebab tindak kekerasan dalam rumah tangga yang paling dominan pada ketiga kasus dalam penelitian ini adalah faktor ekonomi, maka sangat penting apabila tiap-tiap anggota rumah tangga, mempersiapkan diri dalam suatu bentuk keahlian ataupun dibekali dengan keterampilan khusus sebagai modal dalam usaha untuk memperoleh penghasilan, agar masalah ketergantungan dalam hal ekonomi dapat dihindarkan dalam rumah tangga.

2. Masyarakat sering kali beranggapan bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah intern antar anggota rumah tangga yang bersangkutan sehingga tidak lazim dicampuri oleh orang luar, pemikiran ataupun anggapan seperti ini harus diubah terutama oleh para pekerja sosial karena kekerasan dalam rumah tangga ini merupakan masalah sosial yang mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan pada korban, baik pada kondisi fisik maupun kondisi psikisnya, sehingga masalah kekerasan dalam rumah tangga sangat perlu mendapat penanganan terutama dari para pekerja sosial.


(2)

3. Masalah kekerasan dalam rumah tangga yang merupakan salah satu masalah sosial adalah masalah yang penting untuk diperhatikan maupun ditangani oleh para pekerja sosial, seperti korban-korban kekerasan dalam rumah tangga dalam penelitian ini, korban-korban masalah sosial lainnya (khususnya KDRT) perlu sekali mendapat bimbingan dari pekerja sosial agar dapat lebih percaya diri, dan dapat kembali aktif juga berdiri sendiri ketika membaur di masyarakat tanpa bantuan orang lain.


(3)

WAWANCARA UNTUK RESPONDEN

1. Responden adalah anak keberapa dari berapa bersaudara? 2. Berapa jumlah saudara wanita?

3. Berapa jumlah saudara pria?

4. Apa pekerjaan kedua orangtua responden? 5. Kekerasan apa saja yang dialami oleh korban?

6. Bagaimana perasaan korban ketika mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang menimpanya?

7. Pada saat kapan kekerasan dalam rumah tangga itu menimpa korban? 8. Apakah ada kaitan (keterlibatan) orangtua dengan kasus kekerasan dalam

rumah tangga yang menimpa korban?

9. Bagaimana kondisi keluarga responden sebelum terjadinya kekerasan dalam rumah tangga? Apakah termasuk keluarga yang harmonis atau bukan? 10.Jika tidak harmonis, bagaimanakah bentuk ketidakharmonisan itu? 11.Apa penyebab ketidakharmonisan itu?

12.Bagaimana dampak ketidakharmonisan itu terhadap keutuhan rumah tangga? 13.Bagaimana kondisi perekonomian keluarga sebelum terjadinya kekerasan

dalam rumah tangga?

14.Apakah ada kaitan kondisi perekonomian keluarga dengan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa responden?

15.Apakah sebelum KDRT pernah terjadi kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan?

16.Apakah pemenuhan kebutuhan menjadi sangat kurang setelah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga?

17.Adakah kendala yang dihadapi dari pemenuhan kebutuhan setelah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga?

18.Adakah yang membantu perekonomian dari pihak keluarga setelah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga?

19.Bagaimana komunikasi/ hubungan korban dengan pelaku sebelum terjadinya KDRT?


(4)

20.Apakah ada kesan khusus (perubahan sikap) yang dialami oleh korban setelah terjadinya KDRT?

21.Bagaimana perasaan korban terhadap pelaku kekerasan setelah mengalami kekerasan dalam rumah tangga?

22.Bagaimana perasaan korban kekerasan dalam rumah tangga terhadap lingkungan sosialnya?

23.Apakah ada ketakutan atau rasa tidak percaya pada orang lain setelah mengalami kekerasan dalam rumah tangga?

24.Bagaimana keadaan keluarga setelah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga?

25.Bagaimana hubungan/ interaksi yang terjadi antara responden dengan lingkungannya?

26.Apakah responden aktif mengikuti kegiatan dalam lingkungannya? 27.Bagaimana pengaruh lingkungan terhadap perilaku?

28.Adakah hambatan dalam berinteraksi dengan tetangga (lingkungan)? 29.Kalau ada, apa saja hambatan itu?

30.Bagaimana tanggapan keluarga terhadap terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa korban?


(5)

PANDUAN PENJARINGAN DATA

I. Keterangan Pewawancara

Nama Pewawancara :

Tanggal Wawancara :

Lokasi Wawancara :

II. Identitas Responden

Nama Asli :

Nama Panggilan :

Pekerjaan Formal :

Penghasilan/bulan :

Tingkat Pendidikan Terakhir : 1. SD 2. SLTP 3. SLTA 4. PT Status Perkawinan : 1. Kawin

2. Belum Kawin

Pekerjaan Orangtua :

III. Latar Belakang Keluarga Responden 1. Anak ke … dari … bersaudara 2. Jumlah saudara wanita

3. Jumlah saudara pria

4. Status orang tua kandung/tiri


(6)

5. Pekerjaan orangtua kandung/tiri

6. Komunikasi dan hubungan dengan orangtua kandung/tiri 7. Keterlibatan orangtua kandung/tiri dalam masalah pribadi 8. Hubungan korban dengan pelaku KDRT

9. Bentuk kekerasan yang terjadi

10.Kesan khusus/bentuk trauma yang dialami IV. Latar Belakang Ekonomi Keluarga Responden

1. Perekonomian keluarga dan kaitannya dengan terjadinya KDRT 2. Bentuk kebutuhan yang harus dipenuhi

3. Keadaan ekonomi sebelum/ sesudah KDRT 4. Keahlian yang dimiliki

V. Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1. Kapan terjadinya kekerasan

2. Apa penyebab terjadinya kekerasan 3. Keadaan korban setelah KDRT 4. Keadaan keluarga setelah KDRT

VI. Dampak KDRT

1. Perasaan yang timbul terhadap suasana kelompok/ lingkungan 2. Bentuk kelompok/ lingkungan tersebut

3. Keterlibatan diri dengan kelompok/ teman

4. Pengaruh kelompok/ lingkungan terhadap perilaku