Hubungan Tingkat Sosial Ekonomi Keluarga dan Pengetahuan Tentang Anemia dengan Perilaku Konsumsi FE Remaja
HUBUNGAN TINGKAT SOSIAL EKONOMI KELUARGA
DANPENGETAHUAN TENTANG ANEMIA DENGAN
PERILAKU KONSUMSI FE REMAJA
Siti Zulaekah,Yuli Kusumawati, Rista Nugraheni dan Ratna Arditya Tri Astuti Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadyah Surakarta
Email : sz102.ums.ac.id
Abstrak
Masalah gizi pada remaja terjadi karena remaja memerlukan zat gizi yang lebih tinggi karena peningkatan pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi secara dramatis, perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan remaja mempengaruhi tingkat asupan dan keadaan kebutuhan gizinya. Remaja memiliki resiko tinggi terhadap kejadian anemia terutama anemia gizi besi. Pengetahuan merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Selain itu perilaku makan yang berkaitan dengan anemia pada remaja juga di pengaruhi oleh
tingkat pendidikan yang rendah, sosial ekonomi rendah, demograi, dan juga gaya hidup yang
tidak baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat sosial ekonomi dan pengetahuan tentang anemia dengan perilaku konsumsi Fe remaja di Sekolah menengah pertama. Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Menengah Pertama di wilayah Surakarta, yaitu SMP Muhammadiyah 1 Surakarta dan SMP Muhammadiyah 5 Surakarta. Data yang diambil meliputi : pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, pendapatan perkapita keluarga, pendidikan ayah, pendidikan ibu, pengetahuan siswi dan konsumsi fe. Analisis Bivariat, dilakukan untuk menguji hubungan, pendidikan orang, pekerjaan dan pendapatan perkapita keluarga, pengetahuan siswi dengan perilaku konsumsi fe. Uji yang digunakan adalah uji uji Chi-Square Test dan uji Spearman’s rho. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan ayah, pendidikan ibu, pendapatan orang tua dan pengetahuan siswa dengan perilaku konsumsi fe.
A. PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan suatu tahapan kehidupan dimana terjadi perkembangan psikologis dari kanak-kanak menjadi dewasa. Pada masa remaja terjadi pula peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. Selain itu pada masa ini terjadi perubahan yang dramatis dalam diri seseorang. Pertumbuhan yang mendadak ini disertai dengan perubahan-perubahan hormonal, kognitif, dan emosional. Perubahan-perubahan ini berdampak pada peningkatan kebutuhan zat gizi baik zat gizi makro maupun zat gizi mikro (Almatsier, 2011; Poltekkes, 2010).
Selanjutnya Almatsier (2011) menyatakan bahwa usia remaja merupakan usia rentan terhadap masalah gizi. Masalah gizi ini disebabkan karena : remaja memerlukan zat gizi yang lebih tinggi karena peningkatan pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi secara dramatis, perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan remaja mempengaruhi tingkat asupan dan keadaan kebutuhan gizinya. Selain itu remaja yang memiliki kebutuhan gizi khusus merupakan remaja yang aktif dalam kegiatan olah raga, menderita penyakit kronis, hamil, melakukan diet secara berlebihan, pencandu alkohol atau obat-obatan terlarang.
Remaja memiliki resiko tinggi terhadap kejadian anemia terutama anemia gizi besi. Hal itu terjadi karena masa remaja memerlukan zat gizi yang lebih tinggi termasuk zat besi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Remaja putri memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan remaja putra, hal ini dikarenakan remaja putri setiap bulannya mengalami
(2)
haid (menstruasi). Selain itu remaja putri cenderung sangat memperhatikan bentuk badannya sehingga akan membatasi asupan makan dan banyak pantangan terhadap makanan seperti melakukan diet vegetarian (Almatsier, 2011).
Dampak anemia pada remaja dapat menurunkan konsentrasi dan prestasi belajar, serta mempengaruhi produktivitas di kalangan remaja Akibat dari jangka panjang penderita anemia pada remaja putri, maka remaja putri yang nantinya menjadai dan akan hamil tidak mampu memenuhi zat-zat gizi pada dirinya dan pada janinnya sehingga dapat meningkatkan terjadinya resiko kematian maternal, prematuritas, BBLR, dan kematian perinatal (Hayati, 2010; Poltekes Depkes Jakarta RI, 2010). Melihat dampak yang anemia sangat merugikan tersebut, maka diperlukan pencegahan maupun penanggulangan masalah anemia perlu ditingkatkan.
Cara mencegah dan menanggulangi kejadian anemia pada remaja diantaranya adalah dengan meningkatkan konsumsi zat besi terutama makanan sumber hewani yang mudah diserap dan juga makanan yang banyak mengandung vitamin C yang membantu proses penyerapan zat besi serta memberikan suplementasi besi terutama pada saat menstruasi. Peningkatan konsumsi zat besi ini dilakukan dengan berbagai cara dianyataranya menigkatkan pengetahuan gizi remaja. Pengetahuan gizi yang baik akan membuat seseorang atau sekelompok masyarakat sadar akan pentingnya gizi bagi kesehatan (Notoatmodjo, 2012).
Pengetahuan merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Seseorang yang melakukan tindakan tanpa didasari dengan pengetahuan, maka mereka akan segera meninggalkan tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2012). Sehingga pengetahuan itu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap adanya perilaku. Perilaku kesehatan merupakan suatu usaha atau tindakan seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha penyembuhan apabila sakit (Kholid, 2012). Selain itu perilaku makan yang berkaitan dengan anemia pada remaja juga di pengaruhi oleh tingkat pendidikan yang
rendah, sosial ekonomi rendah, demograi, dan juga gaya hidup yang tidak baik (Permaesih dan
Herman, 2005; Beck 2011).
Hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan di SMP Muhammadiyah se- Surakarta didapatkan 84,4% remaja SMP memiliki tingkat pengetahuan anemia sedang dan sebesar 15,6% memiliki tingkat pengetahuan anemia kurang. Beberapa penelitian menunjukan bahwa pendidikan gizi pada remaja remaja SMP perlu diberikan dengan harapan pengetahuan gizi pada remaja bisa lebih baik dan nantinya dapat mengubah perilaku makan yang lebih baik terutama asupan zat besi agar para remaja dapat terhindar dari anemia dan mengetahui cara menanggulanginya apabila telah terjadi anemia. (Kartini, dkk ,2001; Eliana dan Solikhah 2012).
Dari uraian di atas, maka peneliti bermaksud meneliti hubungan tingkat sosial ekonomi dan pengetahuan tentang anemia dengan perilaku konsumsi Fe remaja di Sekolah menengah pertama.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat sosial ekonomi dan pengetahuan tentang anemia dengan perilaku konsumsi Fe remaja di Sekolah menengah pertama.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode survei observasional dengan pendekatan cross sectional, karena variabel bebas dan variabel terikatnya diambil secara bersamaan. Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Menengah Pertama di wilayah Surakarta, yaitu SMP Muhammadiyah 1 Surakarta dan SMP Muhammadiyah 5 Surakarta. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja atau purposive dengan alasan skor pengetahuan anemia remaja pada kedua SMP tersebut hampir sama yaitu nilai rata-rata untuk SMP Muhammadiyah 1 Surakarta adalah 65
(3)
SMP hampir sama yaitu daerah perkotaan.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa putri kelas VIII SMP Muhammadiyah 1 Surakarta pada Tahun ajaran 2014/ 2015 sebanyak 123 siswi dan siswa putri kelas VIII SMP Muhammadiyah 5 Surakarta pada Tahun ajaran 2014/ 2015 sebanyak 102 siswa. Total siswa putri kelas VIII keseluruhan pada kedua SMP tersebut sebanyak 225 siswi. Dari 225 siswi tersebut yang memenuhi syarat untuk menjadi sampel adalah 203 siswi. Sampel adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria penelitian. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan Cluster Random Sampling berdasarkan kelas. Cluster Random Sampling yaitu kelompok yang telah ditentukan memilki kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel dalam penelitian (Notoatmodjo, 2010).
Data sosial ekonomi diperoleh dari pengisian form data sosial ekonomi keluarga yang diisi oleh orang tua siswa. Data ini meliputi pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, pendidikan ayah, pendidikan ibu dan pendapatan keluarga. Data pengetahuan diperoleh melalui penjumlahan skor jawaban yang benar dari pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada kuesioner pengetahuan tentang anemia. Data perilaku konsumsi Fe remaja diperoleh melalui pengisian form semi-quantitative FFQ siswi. Kemudian dihitung rata-rata jumlah fe yang dikonsumsi siswa setiap hari.
Hasil survei konsumsi makanan dengan form semi-quantitative FFQ diolah dengan program Nutrisurvey, kemudian dikonversikan ke dalam unsur-unsur fe. Untuk menilai tingkat konsumsi, data asupan ini dibandingkan dengan RDA (Recommended Dietary Allowances)
untuk remaja. Analisis Univariat, dilakukan untuk mendeskripsikan berbagai variabel yaitu:data jpekerjaan ayah, pekerjaan ibu, pendapatan perkapita keluarga, pendidikan ayah, pendidikan ibu dan konsumsi fe sampel sebagai bahan informasi dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi. Analisis Bivariat, dilakukan untuk menguji hubungan, pendidikan orang, pekerjaan dan pendapatan perkapita keluarga, pengetahuan siswi dengan perilaku konsumsi fe.. Analisis hubungan antar variabel menggunakan uji Chi-Square Test dan uji Spearman’s rho
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Gambaran Pengetahuan tentang Anemia Siswa
Data pengetahuan diperoleh melalui penjumlahan skor jawaban yang benar dari pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner pengetahuan tentang anemia yang diberikan pada siswa. Tingkat pengetahuan pada penelitian ini dikelompokkan menurut Khomsan (2000), pengetahuan baik apabila jawaban benar 80 % total butir pertanyaan, pengetahuan sedang apabila 60-80 % jawaban benar dan pengetahuan kurang apabila jawaban benar < 60 %. Tingkat pengetahuan siswa tentang anemia secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Distribusi Tingkat Pengetahuan Anemia Siswa
Tingkat Pengetahuan Anemia Siswa
Jumlah Siswa n Prosentase (%)
Baik 4 5.1
Sedang 56 71.8 Kurang 18 23.1 Total 78 100.0
Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan tentang anemia siswa sebagian besar berada pada tingkat sedang yaitu 71,8 % disusul tingkat pengetahuan kurang dan
(4)
baik. Hal ini menunjukkan masih perlunya peningkatan pengetahuan tentang anemia pada remaja. Pengetahuan yang baik pada remaja akan mendorong siswa untuk berperilaku yang baik pula terutama dalam hal pemilihan makanan dan perilaku pola hidup sehat remaja. Perilaku makan dan hidup sehat yang baik akan mencegah resiko anemia pada remaja, terutama remaja puteri.
b. Gambaran Pendidikan Orangtua Siswa
Menurut Notoatmodjo(2003) tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang. Pendidikan dapat membawa seseorang memiliki wawasan atau pengetahuan, selanjutnya pengetahuan dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Data tingkat pendidikan orang tua secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3
Tabel 2. Distribusi Pendidikan Ayah Siswa
Tingkat Pendidikan Ayah
Jumlah
n Prosentase (%)
SD 9 11.5
SMP 17 21.8
SMA 28 35.9
PT 24 30.8
Total 78 100.0
Tabel.2 menunjukkan bahwa distribusi tingkat pendidikan ayah pada penelitian ini hampir merata. Meskipun demikian prosentase terbesar berada pada tingkat pendidikan SMA dan terendah pada tingkat pendidikan SD. Selain itu Tabel 2 juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan lanjut ayah lebih besar prosentasenya yaitu 66,7% dibanding dengan pendidikan dasar yaitu 33,3 %.
Tabel 3. Distribusi Pendidikan Ibu Siswa
Tingkat Pendidikan Ibu
Jumlah
n Prosentase (%)
SD 9 11.5
SMP 14 17.9
SMA 38 48.7
PT 17 21.8
Total 78 100.0
Seperti halnya dengan Tabel 2, Tabel 3 menunjukkan bahwa distribusi tingkat pendidikan ibu pada penelitian ini hampir merata. Meskipun demikian prosentase terbesar berada pada tingkat pendidikan SMA dan terendah pada tingkat pendidikan SD. Selain itu Tabel 5 juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan lanjut ibu dua kali lebih besar prosentasenya yaitu 70,5% dibanding dengan pendidikan dasar yaitu 29,5%.
c. Gambaran Pendapatan Keluarga Siswa
Penghasilan atau pendapatan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan, Akan tetapi bila seseorang mempunyai pendapatan yang cukup maka ia akan mampu
(5)
menyediakan fasilitas-fasilitas yang dia butuhkan (Notoatmodjo,2012). Gambaran pendapatan keluarga dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Distribusi Pendapatan Keluarga Siswa
Tingkat Pendapatan Keluarga
Jumlah Keluarga n Prosentase (%)
Cukup 50 64.1
Kurang 28 35.9
Total 78 100.0
Data pendapatan pada penelitian ini dinilai berdasarkan Upah Minimum Kerja (UMK) perbulan di Surakarta tahun 2015 yaitu Rp. 1.222.400,-. Hasil penelitian menunjukkan bahwa separuh lebih 64,1% dari keluarga siswa memiliki pendapatan cukup atau lebih dari UMK.
d. Gambaran Perilaku Konsumsi Fe Siswa
Perilaku kesehatan merupakan suatu respon seseorang terhadap suatu objek yang berhubungan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan. Praktik atau tindakan menurut Notoatmodjo (2012), mempunyai beberapa tingkatan, yaitu: a) Respon terpimpin, merupakan praktik tingkat pertama, dimana seseorang melakukan tindakan sesuai dengan contoh; b) Mekanisme, merupakan praktik tingkat kedua, dimana sesorang melakukan suatu tindakan dengan benar secara otomatis dan sudah merupakan suatu kebiasaan; dan c) Adopsi, merupakan suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan tersebut sudah
dimodiikasikan tanpa mengurangi kebenaran dari tindakan tersebut.
Pada penenlitian ini perilaku makan remaja diukur menggunakan FFQ (Food Frequecy Question). FFQ merupakan metode untuk memperoleh data mengenai frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu, seperti hari, minggu, bulan, atau tahun. Metode ini juga dapat digunakan untuk melihat gambaran pola konsumsi bahan makanan seseorang secara kualitatif (Supariasa, 2002).Sedangkan form yang digunakan menggunakan form Semi-quantitative Food Frequecy Question.
Tabel 5. Distribusi Perilaku Konsumsi Fe Siswa
Tingkat Konsumsi Fe Jumlah Orangtua n Prosentase (%)
Cukup 8 10.3
Kurang 70 89.7
Total 78 100.0
Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar siswa mempunyai perilaku konsumsi Fe yang masih kurang yaitu 89,7 %. Hal ini berarti perlu dilakukan upaya perbaikan konsumsi Fe untuk siswa SMP karena siswa SMP terutama siswa putri merupakan karakter individu yang sangat rentan terhadap kejadian anemia. Anemia merupakan kondisi dimana kadar hemoglobin rendah dan remaja yang anemia berisiko untuk mengalami gangguan konsentrasi. Gangguan konsentrasi pada remaja ini yang akan menyebabkan menurunnya prestasi belajar siswa.
(6)
e. Hubungan Tingkat Pendidikan orang tua dengan Perilaku Konsumsi Fe Siswa
Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2012), menunjukkankan bahwa sebelum individu mengadopsi perilaku baru, terjadi beberapa proses dalam diri seseorang tersebut. Proses tersebut terdiri dari: Awaraness (kesadaran), Interest, yaitu orang mulai tertarik, Evaluation, yaitu mempertimbangkan baik, Trial, yaitu seseorang telah mencoba memulai perilaku baru; dan Adoption, yaitu seseorang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Menurut Notoatmodjo (2003) tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang. Pendidikan dapat membawa seseorang memiliki wawasan atau pengetahuan, selanjutnya pengetahuan dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Pada awal penelitian pendidikan orang tua siswa dikelompokkan menjadi empat tingkatan, yaitu Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan Perguruan Tinggi. Setelah dilakukan analisis ternyata terdapat sel kosong, maka pendidikan orang tua selanjutnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu pendidikan dasar dan pendidikan lanjut. Gambaran lengkap distribusi perilaku konsumen Fe siswa berdasarkan pendidikan orang tua dapat dilihat pada Tabel. 6 dan Tabel 7.
Tabel 6. Distribusi Perilaku Konsumsi Fe Siswa Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ayah Tingkat
Pendidikan Ayah
Perilaku Konsumsi Fe Total p
Kurang Cukup
n % n % n %
0,833*
Dasar 25 92,6 2 7,4 27 100
Lanjut 45 88,2 6 11,8 51 100
* Chi-Square Tests
Tabel 6 menunjukkan bahwa kelompok siswa dengan perilaku konsusmsi Fe kurang tingkat pendidikan ayah dalam tingkatan pendidikan dasar lebih tinggi yaitu 92,6% dibandingkan dengan tingkatan pendidikan lanjut 88,2%. Sedangkan pada kelompok siswa dengan perilaku konsumsi fe cukup, tingkat pendidikan ayah dalam tingkan cukup lebih tinggi 11,8% dibandingkan dengan tingkatan pendidikan lanjut 7,4%.
Hasil uji hubungan antara tingkat pendidikan ayah dengan perilaku konsumsi fe dengan menggunakan uji Chi-Square Test menunjukkan nilai p=0,833. Hal ini menunjukkan
tidak ada hubungan siqniikan antara tingkat pendidikan ayah dengan perilaku konsosmsi fe. Meskipun tidak berhubungan secara siqniikan akan tetapi Tabel 6 menunjukkan
adanya kecenderungan bahwa pendidikan ayah yang bebih linggi akan mendorong siswa menpunyai perilaku konsumsi fe yang lebih baik.
Tabel 7 . Distribusi Perilaku Konsumsi Fe Siswa Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu Tingkat Pendidikan
Ayah
Perilaku Konsumsi Fe Total p
Kurang Cukup
n % n % n %
1,000*
Dasar 21 91,3 2 8,7 23 100
Lanjut 49 89,1 6 10,9 55 100
(7)
Tabel 7 menunjukkan bahwa kelompok siswa dengan perilaku konsusmsi Fe kurang tingkat pendidikan ibu dalam tingkatan pendidikan dasar lebih tinggi yaitu 91,3% dibandingkan dengan tingkatan pendidikan lanjut 89,1%. Sedangkan pada kelompok siswa dengan perilaku konsumsi fe cukup, tingkat pendidikan ibu dalam tingkan cukup lebih tinggi 10,9% dibandingkan dengan tingkatan pendidikan lanjut 8,7%.
Hasil uji hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan perilaku konsumsi fe dengan menggunakan uji Chi-Square Test menunjukkan nilai p=1,000. Hal ini menunjukkan tidak
ada hubungan siqniikan antara tingkat pendidikan ibu dengan perilaku konsumsi fe. Meskipun tidak berhubungan secara siqniikan akan tetapi Tabel 9 menunjukkan adanya
kecenderungan bahwa pendidikan ibu yang lebih tinggi akan mendorong siswa menpunyai perilaku konsumsi fe yang lebih baik. Hasil ini memberikan gambaran bahwa pendidikan ibu berperan dalam peningkatan konsumsi fe.
f. Hubungan Tingkat Pendapatan orang tua dengan Perilaku Konsumsi Fe Siswa
Perilaku makan seseorang dal;am hal ini remaja dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya adalah pendapatan keluarga. Pendapatan keluarga memegang peran yang sangat penting. Makanan apa yang dikonsumsi remaja sangat tergantung dengan makanan apa yang disajikan oleh keluarga dalam hal ini ibu. Jenis makanan ini juga sangat tergantung dengan berapa besar dana yang tersedia untuk pembelian makanan keluarga (Notoatmodjo, 2012).
Tabel 8. Distribusi Perilaku Konsumsi Fe Siswa Berdasarkan Tingkat Pendapatan Orang tua
Tingkat Pendapatan Perilaku Konsumsi Fe Total
Kurang Cukup
n % n % n %
Kurang 26 92,9 2 7,1 28 100
Cukup 44 88,0 6 12,0 50 100
Tabel 8 menunjukkan bahwa kelompok siswa dengan perilaku konsusmsi fe kurang mempunyai tingkat pendapatan orang tua yang kurang lebih tinggi yaitu 92,9% dibandingkan dengan tingkatan pendapatan cukup 88,0%. Sedangkan pada kelompok siswa dengan perilaku konsumsi fe cukup, tingkat pendapatan orang tua cukup lebih tinggi 12,0% dibandingkan dengan tingkatan pendapatan orangtua kurang 7,1%. Hal ini menunjukkah kecenderungan bahwa tingkat pendapatan orang tua yang lebih tinggi mendorong terjadinya peningkatan perilaku konsusmsi fe yang lebih baik.
Tabel 9. Uji Hubungan Pendapatan Orang tua dengan Perilaku Konsumsi Fe Siswa
Variabel Minimum Maximum Mean SD p
Pendapatan Orang tua 400000,00 10000000,00 2007948,72 1470206,59
0.984* Perilaku konsumsi Fe 2,10 32,20 12,79 8,16
* Uji Spearman’s rho
Hasil uji hubungan antara tingkat pendapatan orang tua dengan perilaku konsumsi fe siswa dengan menggunakan uji Spearman’s rho menunjukkan nilai p=0,984. Hal ini
menunjukkan tidak ada hubungan siqniikan antara pendapatan orang tua dengan perilaku
(8)
g. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Perilaku Konsumsi Fe Siswa
Perilaku kesehatan merupakan sebuah respon individu terhadap objek tertentu yang berkaitan dengan kejadian penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan. Dalam usaha untuk mengubah perilaku individu menjadi lebih baik diperlukan pengetahuan, fasilitas, dan dukungan (Notoatmodjo, 2012). Menurut Notoatmodjo (2012), ada 3 faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku adalah: faktor predisposisi seperti pengetahuan, sikap, kepercayaan,keyakinan, nilai-nilai, dan
sebagainya, faktor pendukung seperti lingkungan isik dan fasilitas atau sarana kesehatan
dan faktor pendorong seperti petugas kesehatan, tokoh masyarakat, dan kelompok.
Tabel 10. Distribusi Perilaku Konsumsi Fe Siswa Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Tingkat
Pengetahuan
Perilaku Konsumsi Fe
Total
Kurang Cukup
n % n % n %
Kurang 15 83,3 3 16,7 18 100
Sedang 51 91,1 5 8,9 56 100
Baik 4 100 0 0 4 100
Tabel 10 menunjukkan bahwa pada kelompok siswa dengan konsumsi fe kurang, pengetahuan siswa paling banyak adalah pada pengetahuan baik (100 %) disusul oleh tingkat pengetahuan sedang (91,1%) dan kurang (83,3%). Hal berbeda terjadi pada kelompok siswa dengan konsumsi fe cukup yang menunjukkan bahwa prosentase tertinggi adalah pada tingkat pengetahuan kurang (16,7%), disusul pengetahuan sedang (8,9%) dan baik (0%).
Tabel 11. Uji Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Konsumsi Fe Siswa
Variabel Minimum Maximum Mean SD p
Nilai pengetahuan 40,00 83,33 65,30 8,28
0,78* Perilaku konsumsi Fe 2,10 32,20 12,80 8,16
* Uji Spearman’s rho
Hasil uji hubungan antara pengetahuan siswa dengan perilaku konsumsi fe siswa dengan menggunakan uji Spearman’s rho menunjukkan nilai p=0,78. Hal ini menunjukkan
tidak ada hubungan siqniikan antara pengetahuan siswa dengan perilaku konsosmsi
fe siswa. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori sebelumnya bahwa perubahan perilaku seseorang akan bersifat langgeng apabila dilandasi dengan pengetahuan dan kesadaran dari sikap positif orang tersebut. Hasil ini juga berbeda dengan hasil penelitian Emilia (2009), yang menunjukkan bahwa remaja yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik akan lebih mampu memilih makanan yang sesuai dengan kebutuhan tubuhnya, tidak hanya sekedar mengikuti trend masa kini yang sedang terjadi.
D. KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok siswa dengan perilaku konsusmsi Fe kurang tingkat pendidikan ayah dalam tingkatan pendidikan dasar lebih tinggi yaitu 92,6% dibandingkan dengan tingkatan pendidikan lanjut 88,2%. Sedangkan pada kelompok siswa dengan perilaku konsumsi fe cukup, tingkat pendidikan ayah dalam tingkan cukup lebih tinggi
(9)
11,8% dibandingkan dengan tingkatan pendidikan lanjut 7,4%. Hasil uji hubungan antara tingkat pendidikan ayah dengan perilaku konsumsi fe dengan menggunakan uji Chi-Square Test menunjukkan nilai p=0,833.
Kelompok siswa dengan perilaku konsusmsi Fe kurang tingkat pendidikan ibu dalam tingkatan pendidikan dasar lebih tinggi yaitu 91,3% dibandingkan dengan tingkatan pendidikan lanjut 89,1%. Sedangkan pada kelompok siswa dengan perilaku konsumsi fe cukup, tingkat pendidikan ibu dalam tingkan cukup lebih tinggi 10,9% dibandingkan dengan tingkatan pendidikan lanjut 8,7%. Hasil uji hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan perilaku konsumsi fe dengan menggunakan uji Chi-Square Test menunjukkan nilai p=1,000.
Kelompok siswa dengan perilaku konsusmsi fe kurang mempunyai tingkat pendapatan orang tua yang kurang lebih tinggi yaitu 92,9% dibandingkan dengan tingkatan pendapatan cukup 88,0%. Sedangkan pada kelompok siswa dengan perilaku konsumsi fe cukup, tingkat pendapatan orang tua cukup lebih tinggi 12,0% dibandingkan dengan tingkatan pendapatan orangtua kurang 7,1%. Hasil uji hubungan antara tingkat pendapatan orang tua dengan perilaku konsumsi fe siswa dengan menggunakan uji Spearman’s rho menunjukkan nilai p=0,984. Hal
ini menunjukkan tidak ada hubungan siqniikan antara pendapatan orang tua dengan perilaku
konsosmsi fe siswa.
Pada kelompok siswa dengan konsumsi fe kurang, pengetahuan siswa paling banyak adalah pada pengetahuan baik (100 %) disusul oleh tingkat pengetahuan sedang (91,1%) dan kurang (83,3%). Hal berbeda terjadi pada kelompok siswa dengan konsumsi fe cukup yang menunjukkan bahwa prosentase tertinggi adalah pada tingkat pengetahuan kurang (16,7%), disusul pengetahuan sedang (8,9%) dan baik (0%).
Hasil uji hubungan antara pengetahuan siswa dengan perilaku konsumsi fe siswa dengan menggunakan uji Spearman’s rho menunjukkan nilai p=0,78. Hal ini menunjukkan tidak ada
hubungan siqniikan antara pengetahuan siswa dengan perilaku konsosmsi fe siswa. E. DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Almatsier, S., Soetardjo, S., Soekarti, M. 2011. Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Arisman. 2009. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.
Beck, ME. 2011. Ilmu Gizi dan Diet Hubungannya dengan Penyakit-Penyakit untuk Perawat dan Dokter. Yogyakarta: Andi Publisher.
Departemen Kesehatan. 2003. Gizi Dalam Angka Sampai Dengan Tahun 2002. Jakarta: Depkes RI.
Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, FKM UI. 2008. Gizi dan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta: Raja Graindo Persada.
DeMaeyer, EM. 1993. Pencegahan dan Pengawasan Anemia Deisiensi Besi. Alih bahasa:
Arisman,M.B. Widya Medika. Jakarta : 7-21.
Eliana, D dan Sholikah. 2012. Pengaruh Buku Saku Gizi Terhadap Tingkat Pengetahuan Gizi pada Anak Kelas 5 Muhammadiyah Dadapan Desa Wonokerto Kecamatan Turi Kabupaten Sleman Yogyakarta. Jurnal KESMAS UAD, Vol. 6, No. 2: 162-232.
Emilia, E. 2009. Pendidikan Gizi Sebagai Salah Satu Sarana Perubahan Perilaku Gizi Pada Remaja. Jurnal Tabularasa PPS UNIMED. Vol. 6, No. 2
Hayati, RM. 2010. Pengetahuan dan Sikap Anemia Deisiensi Besi dan Dampaknya terhadap
Kesehatan Reproduksi di MAL IAIN Medan Tahun 2009/2010. Medan: Universitas Sumatera Utara.
(10)
International Life Sciences Institute Europe (ILSI). 2000. Healthy, Lifestye: Nutrition and Physicl Activity. ILSI Press.
Irawati, A. 1992. Pengetahuan Gizi Murid SD dan SMP di Kodya Bogor. Bogor :Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Departemen Kesehatan RI.
Kartini, A., Fatimah, S., Nugraha, P., Rahiludin, MZ. 2001. Uji Coba Model KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) Dalam Upaya Penanggulangan Anemia Anak Sekolah. Laporan Akhir. Bappeda Kota Semarang Kerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan. Lembaga Penelitian Kesehatan Universitas Diponegoro Semarang.
Kholid, A. 2012. Promosi Kesehatan: Dengan Pendekatan Teori Perilaku, Media, dan Aplikasinya. Jakarta: PT RajaGraindo Persada.
Moore, H., Greenwood, D., Gill, T., Waine, C., Soutter, J., Adamson, A. 2003. A Cluster Randomised Trial to Evaluate a Nutrition Training Programme. Br. J. Gen, Pract.;53(489):271-7.
Murti, B. 2013. Desain Ukuran Sampel Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif do Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. 2005. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Notoatmodjo, S. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nurbaiti. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Anemia Pada Remaja Putri di SMA
Negeri 11 Banda Aceh Tahun 2013. Jurnal. Banda Aceh. StiKes Ubudiyah Banda Aceh. Permaesih, D dan Herman, S. 2005. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Anemia pada Remaja.
Buletin Penelitian Kesehatan, Vol.33, No.4: 162-171.
Poltekkes Depkes Jakarta I. 2010. Kesehatan Remaja Problem dan Solusinya. Jakarta: Salemba Medik.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2013. Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Saraswati E, Sumarno. 1997. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Anemia Remaja Putri SMU Anemia dan Non Anemia di Enam Dati II Propinsi Jawa Barat. Diakses: 25 Mei 2014. http//w.w.w.p3gizi.litbang.depkes.go.id.
Supariasa, IDN. 2012. Pendidikan dan Konsultasi Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Supariasa, I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC
Tarwoto, NS. 2009. Kesehatan Remaja Problem dan Solusinya. Jakarta: Salemba Medika. World Health Organization (WHO). 2011. Prevention of Iron Deiciency Anaemia in Adolescents,
Role of Weekly Iron And Folic Acid Supplementation. Geneva: WHO Press.
WHO. 2011. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of severity. Vitamin and Mineral Nutrition Information System. Geneva: World Health Organization.
Wong ,Y., Huang, HC., Ohen, SL., Yamanoto.1999. Is The College Environment Adequate for Accessing to Nutition Education? Study in Taiwan. Nutrition Research 19:1327-1337 Zulaekah, S. 2007. Efek Suplementasi Besi, Vitamin C dan Pendidikan Gizi Terhadap Perubahan
Kadar Hemoglobin Anak Sekolah Dasar yang Anemia di Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.
(11)
Zulaekah, S. 2012. Pendidikan Gizi dengan Media Booklet terhadap Pengetahuan Gizi. Jurnal KEMAS 7 (2): 123-133.
(1)
e. Hubungan Tingkat Pendidikan orang tua dengan Perilaku Konsumsi Fe Siswa Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2012), menunjukkankan bahwa sebelum individu mengadopsi perilaku baru, terjadi beberapa proses dalam diri seseorang tersebut. Proses tersebut terdiri dari: Awaraness (kesadaran), Interest, yaitu orang mulai tertarik, Evaluation, yaitu mempertimbangkan baik, Trial, yaitu seseorang telah mencoba memulai perilaku baru; dan Adoption, yaitu seseorang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Menurut Notoatmodjo (2003) tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang. Pendidikan dapat membawa seseorang memiliki wawasan atau pengetahuan, selanjutnya pengetahuan dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Pada awal penelitian pendidikan orang tua siswa dikelompokkan menjadi empat tingkatan, yaitu Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan Perguruan Tinggi. Setelah dilakukan analisis ternyata terdapat sel kosong, maka pendidikan orang tua selanjutnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu pendidikan dasar dan pendidikan lanjut. Gambaran lengkap distribusi perilaku konsumen Fe siswa berdasarkan pendidikan orang tua dapat dilihat pada Tabel. 6 dan Tabel 7.
Tabel 6. Distribusi Perilaku Konsumsi Fe Siswa Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ayah Tingkat
Pendidikan Ayah
Perilaku Konsumsi Fe Total p
Kurang Cukup
n % n % n %
0,833*
Dasar 25 92,6 2 7,4 27 100
Lanjut 45 88,2 6 11,8 51 100
* Chi-Square Tests
Tabel 6 menunjukkan bahwa kelompok siswa dengan perilaku konsusmsi Fe kurang tingkat pendidikan ayah dalam tingkatan pendidikan dasar lebih tinggi yaitu 92,6% dibandingkan dengan tingkatan pendidikan lanjut 88,2%. Sedangkan pada kelompok siswa dengan perilaku konsumsi fe cukup, tingkat pendidikan ayah dalam tingkan cukup lebih tinggi 11,8% dibandingkan dengan tingkatan pendidikan lanjut 7,4%.
Hasil uji hubungan antara tingkat pendidikan ayah dengan perilaku konsumsi fe dengan menggunakan uji Chi-Square Test menunjukkan nilai p=0,833. Hal ini menunjukkan tidak ada hubungan siqniikan antara tingkat pendidikan ayah dengan perilaku konsosmsi fe. Meskipun tidak berhubungan secara siqniikan akan tetapi Tabel 6 menunjukkan adanya kecenderungan bahwa pendidikan ayah yang bebih linggi akan mendorong siswa menpunyai perilaku konsumsi fe yang lebih baik.
Tabel 7 . Distribusi Perilaku Konsumsi Fe Siswa Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu Tingkat Pendidikan
Ayah
Perilaku Konsumsi Fe Total p
Kurang Cukup
n % n % n %
1,000*
Dasar 21 91,3 2 8,7 23 100
Lanjut 49 89,1 6 10,9 55 100
(2)
Tabel 7 menunjukkan bahwa kelompok siswa dengan perilaku konsusmsi Fe kurang tingkat pendidikan ibu dalam tingkatan pendidikan dasar lebih tinggi yaitu 91,3% dibandingkan dengan tingkatan pendidikan lanjut 89,1%. Sedangkan pada kelompok siswa dengan perilaku konsumsi fe cukup, tingkat pendidikan ibu dalam tingkan cukup lebih tinggi 10,9% dibandingkan dengan tingkatan pendidikan lanjut 8,7%.
Hasil uji hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan perilaku konsumsi fe dengan menggunakan uji Chi-Square Test menunjukkan nilai p=1,000. Hal ini menunjukkan tidak ada hubungan siqniikan antara tingkat pendidikan ibu dengan perilaku konsumsi fe. Meskipun tidak berhubungan secara siqniikan akan tetapi Tabel 9 menunjukkan adanya kecenderungan bahwa pendidikan ibu yang lebih tinggi akan mendorong siswa menpunyai perilaku konsumsi fe yang lebih baik. Hasil ini memberikan gambaran bahwa pendidikan ibu berperan dalam peningkatan konsumsi fe.
f. Hubungan Tingkat Pendapatan orang tua dengan Perilaku Konsumsi Fe Siswa Perilaku makan seseorang dal;am hal ini remaja dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya adalah pendapatan keluarga. Pendapatan keluarga memegang peran yang sangat penting. Makanan apa yang dikonsumsi remaja sangat tergantung dengan makanan apa yang disajikan oleh keluarga dalam hal ini ibu. Jenis makanan ini juga sangat tergantung dengan berapa besar dana yang tersedia untuk pembelian makanan keluarga (Notoatmodjo, 2012).
Tabel 8. Distribusi Perilaku Konsumsi Fe Siswa Berdasarkan Tingkat Pendapatan Orang tua
Tingkat Pendapatan Perilaku Konsumsi Fe Total
Kurang Cukup
n % n % n %
Kurang 26 92,9 2 7,1 28 100
Cukup 44 88,0 6 12,0 50 100
Tabel 8 menunjukkan bahwa kelompok siswa dengan perilaku konsusmsi fe kurang mempunyai tingkat pendapatan orang tua yang kurang lebih tinggi yaitu 92,9% dibandingkan dengan tingkatan pendapatan cukup 88,0%. Sedangkan pada kelompok siswa dengan perilaku konsumsi fe cukup, tingkat pendapatan orang tua cukup lebih tinggi 12,0% dibandingkan dengan tingkatan pendapatan orangtua kurang 7,1%. Hal ini menunjukkah kecenderungan bahwa tingkat pendapatan orang tua yang lebih tinggi mendorong terjadinya peningkatan perilaku konsusmsi fe yang lebih baik.
Tabel 9. Uji Hubungan Pendapatan Orang tua dengan Perilaku Konsumsi Fe Siswa
Variabel Minimum Maximum Mean SD p
Pendapatan Orang tua 400000,00 10000000,00 2007948,72 1470206,59
0.984*
Perilaku konsumsi Fe 2,10 32,20 12,79 8,16
* Uji Spearman’s rho
Hasil uji hubungan antara tingkat pendapatan orang tua dengan perilaku konsumsi fe siswa dengan menggunakan uji Spearman’s rho menunjukkan nilai p=0,984. Hal ini menunjukkan tidak ada hubungan siqniikan antara pendapatan orang tua dengan perilaku konsosmsi fe siswa.
(3)
g. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Perilaku Konsumsi Fe Siswa
Perilaku kesehatan merupakan sebuah respon individu terhadap objek tertentu yang berkaitan dengan kejadian penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan. Dalam usaha untuk mengubah perilaku individu menjadi lebih baik diperlukan pengetahuan, fasilitas, dan dukungan (Notoatmodjo, 2012). Menurut Notoatmodjo (2012), ada 3 faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku adalah: faktor predisposisi seperti pengetahuan, sikap, kepercayaan,keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya, faktor pendukung seperti lingkungan isik dan fasilitas atau sarana kesehatan dan faktor pendorong seperti petugas kesehatan, tokoh masyarakat, dan kelompok.
Tabel 10. Distribusi Perilaku Konsumsi Fe Siswa Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Tingkat
Pengetahuan
Perilaku Konsumsi Fe
Total
Kurang Cukup
n % n % n %
Kurang 15 83,3 3 16,7 18 100
Sedang 51 91,1 5 8,9 56 100
Baik 4 100 0 0 4 100
Tabel 10 menunjukkan bahwa pada kelompok siswa dengan konsumsi fe kurang, pengetahuan siswa paling banyak adalah pada pengetahuan baik (100 %) disusul oleh tingkat pengetahuan sedang (91,1%) dan kurang (83,3%). Hal berbeda terjadi pada kelompok siswa dengan konsumsi fe cukup yang menunjukkan bahwa prosentase tertinggi adalah pada tingkat pengetahuan kurang (16,7%), disusul pengetahuan sedang (8,9%) dan baik (0%).
Tabel 11. Uji Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Konsumsi Fe Siswa
Variabel Minimum Maximum Mean SD p
Nilai pengetahuan 40,00 83,33 65,30 8,28
0,78*
Perilaku konsumsi Fe 2,10 32,20 12,80 8,16
* Uji Spearman’s rho
Hasil uji hubungan antara pengetahuan siswa dengan perilaku konsumsi fe siswa dengan menggunakan uji Spearman’s rho menunjukkan nilai p=0,78. Hal ini menunjukkan tidak ada hubungan siqniikan antara pengetahuan siswa dengan perilaku konsosmsi fe siswa. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori sebelumnya bahwa perubahan perilaku seseorang akan bersifat langgeng apabila dilandasi dengan pengetahuan dan kesadaran dari sikap positif orang tersebut. Hasil ini juga berbeda dengan hasil penelitian Emilia (2009), yang menunjukkan bahwa remaja yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik akan lebih mampu memilih makanan yang sesuai dengan kebutuhan tubuhnya, tidak hanya sekedar mengikuti trend masa kini yang sedang terjadi.
D. KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok siswa dengan perilaku konsusmsi Fe kurang tingkat pendidikan ayah dalam tingkatan pendidikan dasar lebih tinggi yaitu 92,6% dibandingkan dengan tingkatan pendidikan lanjut 88,2%. Sedangkan pada kelompok siswa dengan perilaku konsumsi fe cukup, tingkat pendidikan ayah dalam tingkan cukup lebih tinggi
(4)
11,8% dibandingkan dengan tingkatan pendidikan lanjut 7,4%. Hasil uji hubungan antara tingkat pendidikan ayah dengan perilaku konsumsi fe dengan menggunakan uji Chi-Square Test menunjukkan nilai p=0,833.
Kelompok siswa dengan perilaku konsusmsi Fe kurang tingkat pendidikan ibu dalam tingkatan pendidikan dasar lebih tinggi yaitu 91,3% dibandingkan dengan tingkatan pendidikan lanjut 89,1%. Sedangkan pada kelompok siswa dengan perilaku konsumsi fe cukup, tingkat pendidikan ibu dalam tingkan cukup lebih tinggi 10,9% dibandingkan dengan tingkatan pendidikan lanjut 8,7%. Hasil uji hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan perilaku konsumsi fe dengan menggunakan uji Chi-Square Test menunjukkan nilai p=1,000.
Kelompok siswa dengan perilaku konsusmsi fe kurang mempunyai tingkat pendapatan orang tua yang kurang lebih tinggi yaitu 92,9% dibandingkan dengan tingkatan pendapatan cukup 88,0%. Sedangkan pada kelompok siswa dengan perilaku konsumsi fe cukup, tingkat pendapatan orang tua cukup lebih tinggi 12,0% dibandingkan dengan tingkatan pendapatan orangtua kurang 7,1%. Hasil uji hubungan antara tingkat pendapatan orang tua dengan perilaku konsumsi fe siswa dengan menggunakan uji Spearman’s rho menunjukkan nilai p=0,984. Hal ini menunjukkan tidak ada hubungan siqniikan antara pendapatan orang tua dengan perilaku konsosmsi fe siswa.
Pada kelompok siswa dengan konsumsi fe kurang, pengetahuan siswa paling banyak adalah pada pengetahuan baik (100 %) disusul oleh tingkat pengetahuan sedang (91,1%) dan kurang (83,3%). Hal berbeda terjadi pada kelompok siswa dengan konsumsi fe cukup yang menunjukkan bahwa prosentase tertinggi adalah pada tingkat pengetahuan kurang (16,7%), disusul pengetahuan sedang (8,9%) dan baik (0%).
Hasil uji hubungan antara pengetahuan siswa dengan perilaku konsumsi fe siswa dengan menggunakan uji Spearman’s rho menunjukkan nilai p=0,78. Hal ini menunjukkan tidak ada hubungan siqniikan antara pengetahuan siswa dengan perilaku konsosmsi fe siswa.
E. DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Almatsier, S., Soetardjo, S., Soekarti, M. 2011. Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Arisman. 2009. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.
Beck, ME. 2011. Ilmu Gizi dan Diet Hubungannya dengan Penyakit-Penyakit untuk Perawat dan Dokter. Yogyakarta: Andi Publisher.
Departemen Kesehatan. 2003. Gizi Dalam Angka Sampai Dengan Tahun 2002. Jakarta: Depkes RI.
Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, FKM UI. 2008. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Raja Graindo Persada.
DeMaeyer, EM. 1993. Pencegahan dan Pengawasan Anemia Deisiensi Besi. Alih bahasa: Arisman,M.B. Widya Medika. Jakarta : 7-21.
Eliana, D dan Sholikah. 2012. Pengaruh Buku Saku Gizi Terhadap Tingkat Pengetahuan Gizi pada Anak Kelas 5 Muhammadiyah Dadapan Desa Wonokerto Kecamatan Turi Kabupaten Sleman Yogyakarta. Jurnal KESMAS UAD, Vol. 6, No. 2: 162-232.
Emilia, E. 2009. Pendidikan Gizi Sebagai Salah Satu Sarana Perubahan Perilaku Gizi Pada Remaja. Jurnal Tabularasa PPS UNIMED. Vol. 6, No. 2
Hayati, RM. 2010. Pengetahuan dan Sikap Anemia Deisiensi Besi dan Dampaknya terhadap
Kesehatan Reproduksi di MAL IAIN Medan Tahun 2009/2010. Medan: Universitas Sumatera Utara.
(5)
International Life Sciences Institute Europe (ILSI). 2000. Healthy, Lifestye: Nutrition and Physicl Activity. ILSI Press.
Irawati, A. 1992. Pengetahuan Gizi Murid SD dan SMP di Kodya Bogor. Bogor :Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Departemen Kesehatan RI.
Kartini, A., Fatimah, S., Nugraha, P., Rahiludin, MZ. 2001. Uji Coba Model KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) Dalam Upaya Penanggulangan Anemia Anak Sekolah. Laporan Akhir. Bappeda Kota Semarang Kerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan. Lembaga Penelitian Kesehatan Universitas Diponegoro Semarang.
Kholid, A. 2012. Promosi Kesehatan: Dengan Pendekatan Teori Perilaku, Media, dan Aplikasinya. Jakarta: PT RajaGraindo Persada.
Moore, H., Greenwood, D., Gill, T., Waine, C., Soutter, J., Adamson, A. 2003. A Cluster Randomised Trial to Evaluate a Nutrition Training Programme. Br. J. Gen, Pract.;53(489):271-7.
Murti, B. 2013. Desain Ukuran Sampel Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif do Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. 2005. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Notoatmodjo, S. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nurbaiti. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Anemia Pada Remaja Putri di SMA
Negeri 11 Banda Aceh Tahun 2013. Jurnal. Banda Aceh. StiKes Ubudiyah Banda Aceh. Permaesih, D dan Herman, S. 2005. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Anemia pada Remaja.
Buletin Penelitian Kesehatan, Vol.33, No.4: 162-171.
Poltekkes Depkes Jakarta I. 2010. Kesehatan Remaja Problem dan Solusinya. Jakarta: Salemba Medik.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2013. Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Saraswati E, Sumarno. 1997. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Anemia Remaja Putri SMU Anemia dan Non Anemia di Enam Dati II Propinsi Jawa Barat. Diakses: 25 Mei 2014. http//w.w.w.p3gizi.litbang.depkes.go.id.
Supariasa, IDN. 2012. Pendidikan dan Konsultasi Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Supariasa, I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC
Tarwoto, NS. 2009. Kesehatan Remaja Problem dan Solusinya. Jakarta: Salemba Medika. World Health Organization (WHO). 2011. Prevention of Iron Deiciency Anaemia in Adolescents,
Role of Weekly Iron And Folic Acid Supplementation. Geneva: WHO Press.
WHO. 2011. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of severity. Vitamin and Mineral Nutrition Information System. Geneva: World Health Organization.
Wong ,Y., Huang, HC., Ohen, SL., Yamanoto.1999. Is The College Environment Adequate for Accessing to Nutition Education? Study in Taiwan. Nutrition Research 19:1327-1337 Zulaekah, S. 2007. Efek Suplementasi Besi, Vitamin C dan Pendidikan Gizi Terhadap Perubahan
Kadar Hemoglobin Anak Sekolah Dasar yang Anemia di Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.
(6)
Zulaekah, S. 2012. Pendidikan Gizi dengan Media Booklet terhadap Pengetahuan Gizi. Jurnal KEMAS 7 (2): 123-133.