Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery di Desa Lama, Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, S. 2008. Efesiensi Pengelolaan Kawasan Tambak Udang Dan
Dampaknya Terhadap Aspek Ekonomi Sosial Dan Ekologi Di Wilayah
Pesisir Kabupaten Dompu NTP. IPB . Bogor.
Abdullah. 1984. Pelestarian dan Peranan Hutan Mangrove di Indonesia dalam
Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Proyek Lingkungan Hidup
LIPI. Jakarta.
Ahmad, T. and M. Mangampa. 2000. The use of mangrove stands for
bioremediation in a close shrimp culture system. Proceeding of
International Symposium on Marine Biotechnology. Bogor Agricultural
University, Bogor. p. 114−122.
Bengen, G. B. 1998. Strategi Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelestarian Hutan
Mangrove. Makalah Lokakarya Jaringan Kerja Pelestarian Mangrove,
Instiper. Yogyakarta.
David, M. H. O. 2008. Enhancing Mangrove Wetland Conservation through
Silvofisheries Opportunities in two Coastal Commonities Of Kenya.
Kenya: Ruffond Small Grants Program.
Dewi, R.H. 1995. Pengaruh Kerapatan Tegakkan Mangrove Terhadap Aspek
Ekologis Tambak Tumpangsari (Silvofishery) (Studi Kasus di KPH
Cibuaya, Besar Pengembangan Budidaya Air Payau) [Tesis] Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ditjen Bina Pesisir. 2004. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Ditjen
Pesisir dan Pulau Kecil, DKP. Jakarta.
Gunawan, H. dan Anwar, C. 2008. Kualitas Perairan dan Kandungan Merkuri
(Hg) dalam Ikan pada Empang Parit. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi
Alam. Bogor.
Hartina, S. 1996. Evaluasi Usaha Tumpang Sari Empang Parit di RPH Cemara,
BKPH Indramayu, KPH Indramayu. Program Pascasarjana. UGM.
Yogyakarta.
Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M. Afwan Affendi, K. R. Sudarma, and I.N. Budiana.
1999. Sustainable management models for mangrove forest. Japan
International Cooperation Agency, hlm. 46.
Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo, dan I. G. M. Tantra. 1979.
Status Pengetahuan Hutan Bakau di Indonesia. Prosiding Seminar
Ekosistem Mangrove. LIPI-MAB: 21-39. Jakarta.
45
Universitas Sumatera Utara
Kusnendar, E. K., Coco K., Erik S., 1999. Sistem Resirkulasi Tertutup pada
Budidaya Udang Windu Paket teknologi. Direktorat Perikanan. Jakarta.
Balai Budidaya Air Payau. Jepara. 22 p.
Mulyadi, E., R. Dhania,. dan H. Zubair. 2009. Fungsi Mangrove Sebagai
Pengendali Pencemar Logam Berat. Jurusan Teknik Lingkungan FTSP
UPN Veteran. Surabaya.
Nur, S. H. 2002. Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove untuk Tambak
Tumpangsari di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. IPB. Bogor.
Nurfiarini, A. 2003. Kajian Pengembangan Budidaya Perikanan Pesisir Di Teluk
Saleh Kabupaten Dompu. IPB. Bogor.
Nuryanto, A. 2003. Silvofishery (Mina Hutan): Pendekatan Pemanfaatan
Mangrove secara Lestari. IPB. Bogor.
Puspita, L., Ratnawati, E., Suryadiputra, I. N. N., Meutia. A. A. 2005. Buku
Lahan Basah Buatan di Indonesia. Wetland Internasional. Bogor.
RENSTRA, 2004. Rencana Strategis Sumatera Utara. Medan.
Simanjuntak, P. 2008. Pengetahuan Masyarakat Dusun XIV Kampung Nelayan
Desa Paluh Kurau Kecamatan Hamparan Perak Tentang Fungsi dan
Peranan Mangrove di Pesisir : 101 Halaman. USU Press.
Supriharyono. 2009. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati. Penerbit Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.
Setyawan, A.D. 2002. Ekosistem Mangrove sebagai Kawasan Peralihan
Ekosistem Perairan Tawar dan Perairan Laut. Enviro 2 (1): 25-40.
Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani UI-Press. Jakarta.
Sofiawan, A. 2000. Pemanfaatan Mangrove yang Berkelanjutan: Pengembangan
Model-Model Silvofishery dalam Warta Konservasi Lahan Basah, Vol. 9
No. 2 November 2000. Wetlands International – Indonesia Programme.
Bogor.
Triyanto, Wijaya, N.I., Widiyanto, T., Yuniarti, I., Setiawan, F. dan Lestari, F.S.
2012. Pengembangan Silvofishery Kepiting Bakau (Scylla serrata) dalam
Pemanfaatan Kawasan Mangrove Di Kabupaten Berau, Kalimantan
Timur. Prosiding Seminar Nasional Limnologi VI, (Online version),
(Diakses,17 November 2013).
Wibowo, K. dan Handayani, T., 2006. Pelestarian Hutan Mangrove Melalui
Pendekatan Mina Hutan (silvofishery). Pusat Teknologi Lingkungan
BPPT. Jakarta
46
Universitas Sumatera Utara
Widigdo, B. 2000. “Potensi Alami” Kawasan Pesisir Untuk Budidaya Udang.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB. Bogor.
47
Universitas Sumatera Utara
KONDISI UMUM PENELITIAN
Desa Lama
Penelitian ini dilakukan di Desa Lama, Desa Paluh Manan dan Desa Paluh
Kurau terletak di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera
Utara. Desa Lama tergabung dalam Kelompok Tani Paluh Pandan dengan tambak
silvofishery seluas 6 ha terdiri dari 13 anggota, dua diantaranya wanita atau istri
dari petani tambak yang ikut serta membantu dalam pengelolaan tambak
silvofishery.
Kelompok Tani Paluh Pandan terbentuk pada tahun 2005 pada saat itu
tambak menggunakan sistem teknologi tambak intensif yakni mengelola
tambaknya tanpa tanaman mangrove yang ditanam di pematangnya, sirkulasi
tidak tergantung sepenuhnya dengan pasang surut. Bentuk petakan teratur, luas
petakan tambak antara 0,3 – 0,5 hektar, dan hasil produksinya tinggi, tetapi tiga
tahun selanjutnya hasil produksi menurun drastis dan bisa dikatakan hancur
karena bibit yang dibudidayakan banyak terkena penyakit.
Pada tahun 2010 kelompok tani Paluh Pandan mendapatkan penyuluhan
dari Dinas Perikanan, dan pada tahun yang sama dari Dinas Kehutanan melalui
penanaman KBR 2010 mulai ditanam pada areal tambak dengan tanaman jenis
bakau seperti Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa dengan sebanyak
1200 bibit perkolam dan sekarang ada jenis tanaman mangrove lainnya yang
tumbuh seperti Avicenia sp. dan Acrostichum aureum Linn, dan ada juga tanaman
pertanian yang sengaja yang ditanam di sela pematang tambak seperti ubi kayu
dan rimbang. Dalam 1 kolam biasanya terdiri dari 3 petak yakni seluas 1ha. Benur
yang dibudidayakan adalah ikan nila, kepiting, dan udang tiger.
27
Universitas Sumatera Utara
Desa Paluh Manan
Desa Paluh Manan memiliki kelompok Tani Lestari Hijau yang berjumlah
25 anggota. Pada tahun 1990 s.d tahun 2000 kelompok binaan di Desa Paluh
manan membuka lahan tambak udang secara intensif dan bekerja sama dengan
pengusaha, tetapi usaha ini beresiko cukup tinggi dan tidak ramah lingkungan.
Sejak tahun 2005 kelompok binaan mulai melestarikan tambak dengan menanam
mangrove dan juga tanaman kelapa sawit di bedengannya.
Pada tahun 2007 peserta kelompok binaan mendapatkan pelatihan singkat
untuk mengembangkan bibit mangrove dan pada tahun yang sama di Desa Paluh
Manan dibentuk Kelompok Tani Kehutanan Hijau Lestari, pada tahun 2008 s.d
2010 Kelompok Tani Kehutanan Hijau Lestari mendapat bantuan bibit
R. mucronata dan R. stylosa dari Balai Mangrove Wilayah II sebanyak ± 100.000
bibit yang telah ditanam secara swadaya bersama kelompok tani dan masyarakat
sekitar.
Pengguna tambak silvofishery di Desa Paluh Manan lahannya terpisah
yakni tidak tergabung dalam satu lahan, oleh karena itu peneliti menganalisis
tambak silvofishery yang dimiliki Bapak Timur Ginting dijadikan obyek
penelitian karena lahan tersebut sudah mewakili luas lahan milik pribadi dan ada
juga lahan sewanya. Tambak yang dimiliki Bapak Timur Ginting menggunakan
jarak tanam 0.5m x 0.5m dengan jumlah mangrove dalam satu kolam sekitar
tanaman ± 2.500 mangrove. Mangrove yang ditanam dengan tambak dengan
sistem silvofishery di Desa Paluh Manan terdiri atas dua jenis mangrove yaitu
R.mucronata dan R.stylosa.
28
Universitas Sumatera Utara
Desa Paluh Kurau
Desa Paluh kurau memiliki Kelompok Tani Serai Mangrove yang
berjumlah 14 anggota. Tambak silvofishery yang ada di Desa Paluh Kurau
merupakan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Kelompok tani Serai
Mangrove terbentuk pada tahun 2010 dan dibina oleh Dinas Kehutanan
Kabupaten Deli Serdang dan bibit mangrove ditanam pada areal tambak pada
tahun 2010 seluas 10 ha oleh biaya kelompok tani sendiri dan tenaga kerjanya
gotong royong sesama anggota Kelompok Tani Serai Mangrove.
Bibit yang ditanam meliputi
Avicennia alba. Untuk jenis
R.mucronata, R.apiculata, R.stylosa dan
R.mucronata, R.apiculata, R.stylosa ditanam
didalam kawasan tambak sedangkan A.alba sengaja ditanam di depan kawasan
tambak karena jenis tersebut diharapkan melindungi jenis yang lain dari hempasan
ombak langsung dari laut dan jenis A.alba sengaja ditanam paling depan kawasan
tambak karena sesuai zonasinya. Untuk jenis mangrove yang ditanam di dalam
kawasan tambak ditanam dengan jarak tanam 2m x 2m dalam 1 ha sebanyak 2500
tanaman mangrove dalam satu kolam.
29
Universitas Sumatera Utara
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan
Desember 2013. Penelitian ini dilakukan di Desa Lama, Desa Paluh Manan dan
Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumate
Gambar 2. Peta Tutupan Lahan di Kecamatan Hamparan Perak pada Tahun 2012
30
Universitas Sumatera Utara
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera dan alat tulis.
Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, peta
wilayah kabupaten, serta dokumen lain yang berhubungan dengan lokasi dan
kegiatan penelitian. Data kuesioner yang akan digunakan dalam pelaksanaan
penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kuesioner yang digunakan penelitian
No Nama
Umur
Kelompok
Tani
Luas
Tambak
Kepemilikan
Jenis mangrove
Tata air
Jenis budidaya
1.
2.
3
Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
skunder. Data primer yang digunakan mengenai lahan silvofishery yang
digunakan yang diperoleh melalui wawancara, observasi lapangan, dan kuesioner,
yang ditujukan langsung kepada masyarakat atau kelompok pengguna lahan
silvofishery. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui sumber resmi seperti
Badan Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Wilayah II Sumatera Utara.
Kementrian Kehutanan, serta instansi pemerintah setempat mengenai informasi
lokasi dan kondisi daerah penelitian, dan data-data pendukung lainnya.
31
Universitas Sumatera Utara
Populasi dan Sampel Penelitian
Desa yang akan di ambil sampel penelitiannya adalah Desa Lama, Desa
Paluh Manan, dan Paluh Kurau di Kecamatan Hamparan Perak, karena ketiga
desa tersebut menerapkan sistem silvofishery, dan biasanya tergabung dalam
kelompok tani. Jumlah sampel pada penelitian ini diperkirakan sebanyak 52
responden dari ketiga desa masing masing mempunyai satu kelompok tani. Dalam
satu kelompok tani mempunyai anggota sebanyak 13-25 orang.
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah :
1. Data Primer
Data primer yang diperlukan adalah :
a. Ciri-ciri keluarga yakni nama, umur, identitas, jumlah anggota keluarga,
pendidikan, mata pencaharian.
b. Pendapatan rumah tangga yakni pendapatan seluruh anggota keluarga dari
kegiatan pemanfaatan sistem silvofishery ditambah pendapatan lainnya.
c. Bentuk pemanfaatan sistem silvofishery secara aktual yang dilakukan
kelompok tani dan pengambilan manfaat ekonomi sistem silvofishery
tersebut.
Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1. Wawancara
Wawancara dilakukan seebagai upaya untuk mengkaji ulang dan
melengkapi informasi lainnya yang berkaitan dengan penelitian.
Keterbukaan dan kejujuran responden memberikan informasi sangat
penting adanya karena wawancara dilakukan seperti pembicaraan secara
32
Universitas Sumatera Utara
informal dan bersifat dialogis, terutama dengan membangun kepercayaan
antara responden dan peneliti.
2. Kuisioner
Data yang diambil dari kuisioner kepada seluruh sampel penelitian untuk
melengkapi hasil dari wawancara yang dilaksanakan sehingga di dapatkan
data yang akurat.
3. Observasi
Kegiatan yang dilakukan pada observasi yakni melihat kehidupan seharihari masyarakat (kelompok tani) setempat, melihat kegiatan masyarakat
dalam pemanfaatan ekosistem mangrove dengan tambak dan interaksi
terhadap masyarakat lain.
2.
Data Sekunder
Data sekunder yang diperlukan adalah data umum yang ada instansi
pemerintah desa, kecamatan, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) dan
Badan Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Wilayah II Sumatera Utara yang
meliputi letak dan luas desa, kelompok tani, dan data dari sumber lain.
Pengolahan Data
1. Analisis deskriftif, digunakan untuk mengetahui dan menganalisis data
yang terkumpul dari hasil kuesioner, wawancara, dan observasi
2. Penulisan literatur, dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat
dengan cara mengumpulkan referensi sebanyak mengkin tentang
penelitian ini. Kemudian referensi tersebut dipadukan dengan data-data
penelitian baik data primer maupun data skunder yang telah dilakukan
33
Universitas Sumatera Utara
analisis data. Penelusuran literatur akan memperkaya isi dari penelitian
yang nantinya berguna dan pengguna hasil penelitian ini.
Persiapan
Survey Pendahuluan
Pengumpulan Data
Pelaksanaan Penelitian
Wawancara
Kuisioner
Penelusuran Literatur
Data Sekunder
Observasi
Data Primer
Analisis
Deskriptif
Model pengelolaan tambak yang terbaik dalam silvofishery
Gambar 3. Bagan Alir Penelitian
34
Universitas Sumatera Utara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Model Tambak yang digunakan di Desa Lama
Tambak yang dibuat oleh kelompok tani di Desa Lama menggunakan
Model Kao-Kao, pengelolaan dan pemeliharaan tambak yang ada di Desa Lama
dilakukan sangat sederhana yang masing-masing memiliki luasan tambak 0,5 ha
per tambak dari luasan 6 ha lahan yang mereka miliki dengan jumlah tambak
sebanyak 15 tambak, setiap tambaknya memiliki saluran pintu air yang dibuat
khusus dari pipa paralon dengan ukuran panjang 6 meter yang digunakan sebagai
saluran keluar masuknya air ke dalam tambak. Pengelolaan dan pemeliharaan
pintu air sangat penting karena bagus tidaknya hasil panen tergantung dari besar
kecilnya debit air yang ada di dalam tambak.
Sebelum
menggunakan
Model Kao-Kao kelompok tani tersebut
menggunakan sistem tambak intensif
tetapi setelah mengikuti beberapa
penyuluhan dari Dinas Kehutanan dan Dinas Perikanan tata cara pengelolaan
tambak yang baik mulai dari pengeloaan tata air sampai proses produksi,
kemudian kelompok tani di Desa Lama mengkombinasikan
tambak mereka
dengan tanaman mangrove yang disebut silvofishery. Pola silvofishery yang
merupakan paduan kegiatan budidaya perikanan dan kehutanan ini menerapkan
tehnik budidaya sederhana. Kegiatan ini dapat meningkatkan efisiensi
pemanfaatan dan produktivitas lahan yang berimplikasi terhadap peningkatan
pendapatan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.
Wilayah tambak dipengaruhi oleh proses pasang surut air laut, oleh karena
itu warga yang mengelola tambak tersebut melakukan penanaman mangrove di
sekitar pematang tambak tujuannya untuk menguatkan struktur tanah pematang
35
Universitas Sumatera Utara
agar tidak digerus oleh pasang surut air laut, sedangkan mangrove yang ditanam
dalam area tambak dimaksudkan untuk mengembalikan kesuburan dan memberi
ruang lindung pada benih yang telah di sebar oleh petani tambak.
Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang
berada di sekitarnya. Kawasan pesisir terdapat beberapa ekosistem vital seperti
ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun dan ekosistem hutan
mangrove dapat dilihat pada Gambar 4.
a
b
d
c
e
f
g
h
i
Gambar 4. Model tambak yang digunakan di Desa Lama
Keterangan :
a. Waduk
b. Tambak
c. Pipa paralon
d. Acrostichum aureum
e. Bedengan
f. Mangrove
g. R.mucronata
h. R.stylosa
i. Pintu air
36
Universitas Sumatera Utara
Pada Gambar 4, terlihat bahwa model yang digunakan di Desa Lama
merupakan Model Kao-Kao yang dikombinasikan dengan tanaman mangrove.
Jenis yang ditanam lebih dominan pada jenis R.mucronata dan R.stylosa karena
lebih mudan tumbuh, sedangkan jenis yang lainnya tumbuh tanpa di tanam atau
biji yang terbawa oleh burung dan arus air laut yang menuju tambak. Tambak
dibuat dengan ukuran 0,5 ha untuk masing-masing tambak, kemudian di buat
pintu air untuk keluar masuknya air menggunakan pipa paralon yang di pasang
dibawah bedengan tambak. Melalui pipa tersebut air akan disalurkan dan di
masukan serta untuk pengeringan dalam proses produksi. Pemeliharaan tambak di
Desa Lama kurang teratur dikarenakan yang mengelola hanya petani yang
memiliki modal saja sehingga perawatan dan pemeliharaan kurang memadai yang
membuat hasil panen menjadi kurang berhasil.
Model Tambak yang digunakan di Desa Paluh Manan
Mangrove yang ditanam dengan tambak dengan teknik silvofishery di
Desa Paluh Manan terdiri atas dua jenis mangrove yaitu R.mucronata dan
R.stylosa. Kedua jenis mangrove ini ditanam dipinggir tambak karena jenis
tanaman tersebut memiliki keunggulan yakni dengan akar tunjang yang
memudahkan dalam pemanenan hasil produksi tambak. Daun Rhizophora
mucronata dan Rhizophora stylosa ini dapat digunakan pakan ternak seperti pakan
sapi dan kambing. Dari hasil wawancara kepada responden yakni memberi
naungan. Selain mangrove ada juga tanaman kelapa sawit yang sengaja ditanam
untuk menambah pendapatan mereka karena tambak dipanen satu kali panen
dalam 4 bulan tersebut sedangkan kelapa sawit dalam waktu satu kali seminggu.
37
Universitas Sumatera Utara
Model tambak
yang digunakan di
Desa
Paluh
Manan adalah
Model Kao-Kao yang dikombinasikan dengan tanaman mangrove tetapi ada juga
tanaman kelapa sawit yang membedakan dari Desa lainnya. Dengan model
tersebut untuk pendapatan dari tambak lebih menguntungkan karena lahan tambak
tersebut dibuat dengan kombinasi antara bidang kehutanan, bidang perikanan dan
bidang perkebunan yang baik dapat dilihat pada Gambar 5.
a
b
c
d
e
f
g
h
Gambar 5. Model tambak yang digunakan di Desa Paluh Manan
Keterangan :
a. Jalan desa
b. Pipa paralon
c. R.mucronata
d. Tambak
e. Paluh (aliran sungai)
f. Bedengan
g. Kelapa Sawit
h. R.stylosa
38
Universitas Sumatera Utara
Pemeliharaan tambak di Desa Paluh Manan dari segi pengelolaan tata air
sampai proses produksi terlihat sederhana dan sangat teratur. Pada Gambar 5, air
yang berasal dari paluh masuk ke dalam tambak melalui pipa paralon yang dibuat
untuk mamasukkan air serta mengeluarkan air secara teratur. Tanaman mangrove
yang ditanam memiliki jenis seperti R.mucronata dan R.stylosa tetapi ada tanman
kelapa sawit yang sengaja ditanam karena adanya tanaman mangrove tersebut
membuat tanaman kelapa sawit menjadi lebih bagus. Jarak tanam juga
mempengaruhi kualitas dari budidaya tambak, di Desa Paluh Manan jarak tanam
mangrove 0.5 m x 0.5 m pada setiap masing-masing tambak.
Model Tambak yang digunakan di Desa Paluh Kurau
Di Desa Paluh Kurau penanaman mangrove di sekitar tambak memiliki
tiga jenis mangrove yaitu R.mucronata, R.stylosa dan R.apiculata. Kombinasi
antara mangrove dengan tambak tersebut menggunakan Model Kao-Kao sama
seperti di dua Desa sebelumnya tetapi pengelolaan tambak di Desa Paluh Kurau
sederhana tetapi untuk mengaplikasikan dilapangan termasuk sulit karena berada
dikawasan mangrove Hutan Produksi Terbatas (HPT), air yang masuk ke tambak
adalah air laut, untuk jenis yang dibudidayakan hanya jenis kepiting bakau karena
kepiting mampu hidup tanpa ada tidaknya pengaruh air sungai (payau) sedangkan
jenis yang lainnya seperti ikan nila dan udang tiger tidak dapat beradaptasi tanpa
adanya pengaruh air sungai.
Penambahan tanaman mangrove yang dilakukan pada saat sekarang untuk
mengurangi dampak negative pada tambak. Perawatan saluran air sangat penting
karena pintu air digunakan sebagai saluran keluar masuknya air ke dalam tambak,
39
Universitas Sumatera Utara
ketika terjadi pasang besar pintu air akan dibuka dan apabila tambak sudah penuh
dengan air maka pintu air akan ditutup kembali. Untuk proses produksi, pintu air
digunakan juga untuk mengeringkan tambak yang dilakukan pada 4 bulan sekali
masa panen ketika terjadi pasang mati karena disaat pasang mati air akan surut
dapat dilihat pada Gambar 6.
a
b
c
d
e
f
g
h
i
Gambar 6. Model tambak yang digunakan di Desa Paluh Kurau
Keterangan :
a. Pintu air
b. Mangrove
c. Pipa paralon
d. Bedengan
e. R.mucronata
f. Paluh (aliran sungai)
g. Tambak
h. R.stylosa
i. R.apiculata
40
Universitas Sumatera Utara
Pengelolaan tata air pada tambak di Desa Paluh Kurau memiliki sistem
buka tutup air ketika terjadi pasang dan surut air laut dengan menggunakan pintu
air yang digunakan sebagai aliran masuknya air ke tambak dengan maksud untuk
mempermudah proses produksi tambak. Pola tersebut merupakan paduan kegiatan
budidaya perikanan dan kehutanan ini menerapkan teknik budidaya sederhana.
Kegiatan ini dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan dan produktivitas lahan
yang berimplikasi terhadap peningkatan pendapat dan kondisi sosialekonomi
masyarakat setempat.
Kelompok tani di Desa Lama, Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau
menggunakan tambak dengan Model Kao-Kao karena areal model budidaya
mangrove yang ditanam berada di tepian guludan yang mengelilingi tambak
sesuai
dengan
penelitian
(Sofiawan,
2000)
yang
mengatakan
bahwa
Model Kao-Kao adalah sistem silvofishery dengan tambak di tengah dan hutan
mengelilingi tambak, pada Model Kao-Kao ini mangrove ditanam pada tepian
guludan-guludan (bedengan). Lebar guludan 1-2 m dengan jarak antara guludan
adalah 5-10 m (disesuaikan dengan lebar tambak). Variasi yang lain adalah
mangrove ditanam di sepanjang tepian guludan dengan jarak tanam 1 meter.
Tanaman mangrove memiliki peranan penting karena daerah mangrove
merupakan daerah yang subur, baik daratannya maupun perairannya, karena selalu
terjadi transportasi nutrien akibat adanya pasang surut. Mangrove mempunyai
berbagai peranan penting, yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil,
melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan
intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Serta sebagai habitat benih
ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber
41
Universitas Sumatera Utara
keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera,
kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah.
Model dan Pengelolaan Tambak Terbaik
Diperoleh model dalam pengelolaan lahan mangrove dengan tambak
dalam silvofishery oleh kelompok tani di Kabupaten Deli Serdang Kecamatan
Hamparan Perak di Desa Lama, Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau
menggunakan Model Kao-Kao karena tambak yang dibuat sesuai dengan
penelitian (Sofiawan, 2000) yang menyatakan bahwa Model Kao-Kao adalah
sistem silvofishery dengan tambak di tengah dan hutan mengelilingi tambak, pada
Model Kao-Kao ini mangrove ditanam pada tepian guludan-guludan (bedengan).
Keuntungan Model Kao-Kao ini adalah ruang pemeliharaan ikan cukup
besar, pelapukan serasah tanaman dapat meningkatkan kesuburan tambak dan
intensitas matahari cukup tinggi sedangkan kerugiannya menggiring ikan pada
satu sudut tambak. Perbandingan luas mangrove dan luas tambak adalah 80:20,
hasil produksi terbilang cukup kecil dikarenakan lebih mengutamakan
keseimbangan ekologi perairan.
Model tambak yang terbaik terdapat di Desa Paluh Manan dibandingkan
dengan Desa Lama dan Desa Paluh Kurau karena dari segi pengelolaan tata air
sampai proses produksi terlihat sederhana tetapi sangat teratur dan terjaga
kualitasnya. Saluran pipa yang dibuat untuk memasukkan dan mengeluarkan air
yang berasal dari paluh masuk ke dalam tambak melalui pipa paralon yang
berukuran 6 meter. Untuk tanaman mangrove yang ditanam memiliki jenis seperti
R.mucronata dan R.stylosa tetapi ada tanman kelapa sawit yang sengaja ditanam
42
Universitas Sumatera Utara
karena adanya tanaman mangrove tersebut membuat tanaman kelapa sawit
menjadi lebih bagus. Jarak tanam juga mempengaruhi kualitas dari budidaya
tambak, di Desa Paluh Manan jarak tanam mangrove 1 m x1,5 m pada setiap
masing-masing tambak. Daun dari tanaman mangrove tersebut dimanfaatkan
untuk pakan ternak oleh kelompok tani di Desa Paluh manan, sedangkan akarnya
dapat menetralisirkan racun yang ada didalam tambak sehingga sumber plasma
nuftah melimpah yang dimanfaatkan untuk pakan benih didalam tambak dan
sebagai naungan.
Menurut mereka dengan model yang digunakan untuk di tambak lebih
efisien dan sesuai. Selain sebagai naungan tanaman mangrove di tambak mereka
banyak manfaatnya bagi mereka. Pemeliharaan yang dilakukan secara rutin oleh
kelompok tani Desa Paluh Manan membuat pendapatan yang mereka peroleh
meningkat, proses produsi hasil tambak lebih menguntungkan menggunakan
sistem silvofishery tersebut dikarenakan saling menguntungkan. Pembuatan areal
model budidaya tanaman mangrove tersebut dapat dimanfaatkan seabagai sarana
percontohan bagi masyarakat sekitar areal model pada khususnya dan masyarakat
luas pada umumnya tentang bagaimana suatu ekosistem hutan mangrove
terbentuk. Adapun tujuannya agar dapat terbentuk jalur hijau perlindungan pantai
selain berfungsi lindung juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat
desa dari pengelolaan sistem tambaknya mulai dari tata air, tanaman mangrove
yang ada ditambak dari pemeliharaannya hingga proses produksi lebih
menguntungkan buat kelompok tani Desa Paluh Manan.
43
Universitas Sumatera Utara
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Model yang digunakan dalam pengelolaan lahan mangrove dengan
tambak dalam silvofishery oleh kelompok tani di Kabupaten Deli
Serdang Kecamatan Hamparan Perak di Desa Lama, Desa Paluh
Manan dan Desa Paluh Kurau adalah Model Kao-Kao.
2. Model dan pengelolaan tambak yang terbaik terdapat di Desa
Paluh Manan dibandingkan dengan Desa Lama dan Desa Paluh
Kurau, yang memiliki kriteria dari segi pengelolaan tata air,
tanaman
mangrove yang ditanam hinnga proses produksi.
Pemanfaatan tanaman mangrove sebagai habitat benih ikan, udang,
dan kepiting untuk hidup dan mencari makan serta daunnya untuk
pakan ternak sampai proses produksi yang dilakukan sangat teratur
dan terjaga kualitasnya.
Saran
Sebaiknya Pemerintah lebih memperhatikan para kelompok tani tambak
untuk membantu langsung dan mensejahterakan mereka. Serta diperlukan
penelitian-penelitian selanjutnya yang terkait dengan model terbaik dari beberapa
model silvofishery yang ada saat ini.
44
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di
sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di
suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai
dengan reaksi tanah anaerob. Secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan
sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai
yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari
genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap
garam (Nur, 2002).
Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme
(tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam
suatu habitat mangrove. Mangrove merupakan ekosistem hutan yang unik karena
merupakan perpaduan antara ekosistem darat dan ekosistem perairan. Hutan
mangrove mempunyai peranan yang sangat penting terutama bagi kehidupan
masyarakat sekitarnya dengan memanfaatkan produksi yang ada di dalamnya,
baik sumberdaya kayunya maupun sumberdaya biota air (udang, kepiting, ikan)
yang biasanya hidup dan berkembang biak di hutan mangrove (RENSTRA, 2004).
Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka dan khas di dunia,
karena luasnya hanya 2% permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan
ekosistem mangrove terluas di dunia. Ekosistem ini memiliki peranan ekologi,
sosial-ekonomi, dan sosia-budaya yang sangat penting. Fungsi ekologi hutan
mangrove meliputi tempat sekuestrasi karbon, remediasi bahan pencemar,
16
Universitas Sumatera Utara
menjaga stabilitas pantai dari abrasi, intrusi air laut, dan gelombang badai,
menjaga kealamian habitat, menjadi tempat bersarang, pemijahan dan pembesaran
berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung dan fauna lain, serta pembentuk
daratan (Setyawan, 2002).
Ekosistem mangrove adalah tipe ekosistem yang khas terdapat disepanjang
pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove
tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya
disepanjang sisi pulau yang terlindung dari angina tau dibelakang terumbu karang
di lepas pantai yang terlindung. Ekosistem mangrove yang merupakan ekosistem
peralihan antara darat dan lau, sejak lama diketahui mempunyai peranan penting
dalam kehidupan dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam
memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan (Abdullah, 1984).
Silvofishery
Silvofishery telah berkembang di berbagai negara, seperti Indonesia, Hong
Kong, Thailand, Vietnam, Pilipina, Kenya dan di Indonesia lebih dikenal dengan
sistem empang parit dan telah dikembangkan oleh Departemen Kehutanan
bekerjasama dengan Ditjen Perikanan dalam berbagai research project di
Sulawesi Selatan, Cikalong dan Blanakan di Jawa Barat. Silvofishery telah
berhasil dikembangkan di Indonesia antara lain di Sinjai (Sulawesi), Cikeong
(Jawa Barat), Pemalang (Central Java), dan Bali (Puspita et al, 2005).
Silvofishery merupakan pola pemanfaatan hutan mangrove yang
dikombinasikan dengan dengan tambak/empang. Pola ini dianggap paling cocok
untuk pemanfatan hutan mangrove bagi perikanan saat ini. Dengan pola ini
17
Universitas Sumatera Utara
diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan sedangkan hutan
mangrove masih tetap terjamin kelestariannya. Silvofishery atau tambak
tumpangsari merupakan suatu bentuk “agroforestry” yang pertama kali
diperkenalkan di Birma dimana bentuk tersebut dirancang agar masyarakat dapat
memanfaatkan hutan bagi kegiatan perikanan tanpa merusak hutan mangrove
(Dewi, 1995).
Dalam penerapan wanamina berwawasan lingkungan, untuk meningkatkan
dan melestarikan fungsi biologis dan ekologis ekosistem hutan mangrove perlu
suatu pendekatan yang rasional didalam pemanfaatanya dengan melibatkan
masyarakat disekitar kawasan dan masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan
mangrove secara langsung. Penerapan pola wanima (silvofishery) didalam
ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu pendekatan yang tepat dalam
pemanfaatan dan pelestarian kawasan pesisir (Nuryanto, 2003).
Kegiatan wanamina (silvofishery) berdasarkan David (2008) berbagai
kajian yang telah banyak dilakukan mempunyai tujuan antara lain:
Sebagai sarana/metode konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove, sumber
daya tanah, sumber daya kelautan dan spesies air.
Sebagai
sarana
pengembangan
ekonomi
kerakyatan,
dimana
dengan
berlangsungnya kegiatan budidaya maka kegiatan produksi perikanan akan
tetap berlangsung sehingga memberikan dampak ekonomi bagi masyarakaat
Sebagai sarana ekowisata, pertanian/perikanan budidaya ramah lingkungan
Sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan konservasi
sumberdaya hutan mangrove.
18
Universitas Sumatera Utara
Dalam mengakomodasi kebutuhan lahan dan lapangan pekerjaan, hutan
mangrove dapat dikelola dengan model silvofishery atau wanamina yang dikaitkan
dengan program rehabilitasi pantai dan pesisisr. Kegiatan silvofishery berupa
empang parit pada kawasan hutan mangrove, terutama di areal Perum Perhutani
telah dimulai sejak tahun 1978. Empang parit ini pada dasarnya adalah semacam
tumpangsari pada hutan jati, di mana ikan dan udang sebagai pengganti tanaman
palawija (Soekartawi, 1995).
Peranan Hutan Mangrove dengan Tambak
Tambak adalah merupakan bangunan air yang dibangun pada daerah
pasang surut yang diperuntukkan sebagai wadah pemeliharaan ikan/udang dan
memenuhi syarat yang diperlukan sesuai dengan sifat biologi hewan yang
dipeliharan. Pembangunan tambak pada umumnya dipilih di daerah sekitar pantai,
khususnya yang mempunyai atau dipengaruhi oleh sungai besar, sebab banyak
petambak beranggapan, bahwa dengan adanya air payau akan memberikan
pertumbuhan
ikan/udang
yang
lebih
baik
ketimbang
air
laut
murni
(Wibowo dan Handayani, 2006).
Melihat fungsi mangrove yang sangat strategis dan semakin meluasnya
kerusakan yang terjadi, maka upaya pelestarian mangrove harus segera dilakukan
dengan berbagai cara. Dalam budi daya udang dan ikan, misalnya, harus
diterapkan teknik budi daya yang ramah mangrove, artinya dalam satu hamparan
tambak harus ada hamparan mangrove yang berfungsi sebagai biofilter dan tandon
air sebelum air masuk ke petakan tambak. Upaya penghutanan kembali tepi
19
Universitas Sumatera Utara
perairan pantai dan sungai dengan tanaman mangrove perlu dilakukan dengan
melibatkan partisipasi masyarakat (Inoue, et al,. 1999).
Mangrove mengangkut nutrien dan detritus ke perairan pantai sehingga
produksi primer perairan di sekitar mangrove cukup tinggi dan penting bagi
kesuburan perairan. Dedaunan, ranting, bunga, dan buah dari tanaman mangrove
yang mati dimanfaatkan oleh makrofauna, misalnya kepiting sesarmid, kemudian
didekomposisi oleh berbagai jenis mikroba yang melekat di dasar mangrove dan
secara
bersama-sama
membentuk
rantai
makanan.
Detritus
selanjutnya
dimanfaatkan oleh hewan akuatik yang mempunyai tingkatan lebih tinggi seperti
bivalvia, gastropoda, berbagai jenis juvenil ikan dan udang, serta kepiting. Karena
keberadaan mangrove sangat penting maka pemanfaatan mangrove untuk budi
daya perikanan harus rasional (Ahmad dan Mangampa, 2000).
Komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya di air payau kawasan
mangrove adalah kepiting bakau (Scylla serrata), ikan bandeng (Chanos chanos),
udang windu (Penaeus monodon), udang vanamei (Penaeus vannamei), ikan patin
(Pangasius pangasius), ikan kakap (Lates calcarifer), rumput laut. Sedangkan
komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya silvofishery di kawasan
mangrove adalah kepiting bakau. Kepiting bakau mempunyai karakteristik yang
sedikit berbeda dengan komoditas lainnya karena kemampuannya untuk bertahan
hidup dalam kondisi kurang air. Oleh karena itu membudidayakan kepiting tidak
memerlukan tambak yang luas (Triyanto, et al, 2012).
Teknologi budidaya tambak yang ada selalu mengalami perkembangan,
dimana mulai dari teknologi sederhana hingga maju. Kusnendar, et al, (1999)
20
Universitas Sumatera Utara
Menguraikan teknologi yang diterapkan tentu akan mempengaruhi dari tipologi
tambak yang dipergunakan. Karakter pembagian teknologi tersebut adalah:
1.
Tambak sederhana dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran air
umumnya tergantung sepenuhnya dengan pasang surut, Bentuk petakan tidak
teratur, Luas petakan tambak antara 0,5 – 5 hektar, Kedalaman air umumnya
hanya mampu < 70 cm, Produksi yang dicapai umumnya rendah
2.
Tambak semi intensif dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran air
tidak tergantung sepenuhnya dengan pasang surut, Bentuk petakan teratur , Luas
petakan tambak antara 0,5 – 1 hektar, Kedalaman air umumnya hanya mampu >90
cm, Produksi yang dicapai umumnya lebih tinggi dari tambak sederhana
3.
Tambak intensif dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran air tidak
tergantung sepenuhnya dengan pasang surut. Bentuk petakan teratur, Luas petakan
tambak antara 0,3 – 0,5 hektar, Kedalaman air umumnya >1,0 cm, Produksi yang
dicapai umumnya tinggi
Daerah mangrove merupakan daerah yang subur, baik daratannya maupun
perairannya, karena selalu terjadi transportasi nutrien akibat adanya pasang surut.
Mangrove mempunyai berbagai peranan penting, yaitu untuk menjaga kondisi
pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah
terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Serta
sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan,
sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik seperti burung,
ular, kera, kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi
ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan
21
Universitas Sumatera Utara
bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan
(Mulyadi et al., 2009).
Budidaya tambak merupakan salah suatu bentuk kegiatan usaha
pemeliharaan dan pembesaran baik ikan maupun udang di tambak yang dimulai
dari ukuran benih sampai menjadi ukuran yang layak dikonsums. Penggunaan
tambak secara terus menerus untuk budidaya akan menyebabkan menurunnya
produktivitas udang karena daya dukung lingkungan yang tidak mampu lagi
menopang pertumbuhan. Menurunnya daya dukung lingkungan disebabkan
karena penggunaan pakan, obat-obatan dan pupuk anorganik secara terus menerus
selama kegiatan budidaya ikan di tambak berlangsung (Abubakar, 2008).
Pengukuran
dampak
pengembangan
kawasan
tambak
untuk
menghubungkan antara upaya efisiensi penggunaan sarana produksi sebagai suatu
keharusan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum dengan dampak yang
ditimbulkan pembudidayaan tambak. Dampak yang dapat ditimbulkan dari
pengembangan kawasan tambak antara lain dampak sosial, ekonomi dan budaya
(Nurfiarini, 2003). Untuk menentukan dampak ekonomi dari kegiatan
pengembangan tambak, terlebih dahulu harus dihitung nilai ekonomi dari
sumberdaya yang digunakan, yaitu dengan menggunakan metode valuasi
ekonomi.
Model Pengelolaan Mangrove
Teknologi budidaya dalam tambak dilakukan dengan beberapa tingkatan
yaitu non intensif, semi intensif, dan intensif. Perbedaan dari sistem tersebut
terletak pada penerapan tingkat teknologi pengelolaan yaitu padat penebaran, pola
pemberian pakan serta sistem pengelolaan air dan lingkungan. Sistem budidaya
22
Universitas Sumatera Utara
non intensif dilakukan secara sederhana dengan input dan manajemen yang
minimal, sistem semi intensif menggunakan input yang menengah, dan sistem
budidaya intensif biasanya membutuhkan input sumberdaya dan manajemen yang
lebih banyak (Widigdo, 2000).
Adanya fakta bahwa tambak empang parit yang masih mempertahankan
mangrovenya mengandung bahan pencemar lebih rendah daripada tambak yang
sudah tidak ada mangrovenya merupakan indikasi bahwa mangrove memiliki
peranan yang penting dalam menjaga kualitas habitat perairan. Laporan ini
seharusnya menjadi pembelajaran dan disebarluaskan kepada para petambak yang
telah membabat mangrovenya agar menanaminya kembali. Pemahaman juga
diberikan, bahwa kualitas produk akan sangat menentukan harga jual di pasar.
Oleh karena itu kualitas habitat perairan (dalam hal ini termasuk ekosistem
mangrove) perlu dijaga kelestariannya (Gunawan dan Anwar, 2008).
Pencemaran perairan pantai utara Jakarta ditengarai telah menyebar
sampai ke pantura Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu. Hartina, (1996)
telah melakukan penelitian di pantura Kabupaten Subang, sekitar Blanakan
menemukan bahwa substrat tambak non silvofishery mengandung bahan
pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari substrat hutan
mangrove dan 14 kali lebih tinggi dari substrat tambak yang masih bermangrove
(model silvofishery).
Penanaman tumpangsari selain pada jalur tanam juga dapat dilakukan di
pelataran tambak dengan jarak tanam yang disesuaikan dengan kondisi lapangan.
Pada umumnya jarak tanam yang digunakan adalah 5 x 5 m dengan jumlah bibit
per hektar 320 batang, menurut (Sofiawan, 2005) bentuk tambak silvofishery
23
Universitas Sumatera Utara
terdapat 5 macam pola yaitu tipe empang parit tradisonal, tipe komplangan, tipe
empang parit terbuka, tipe kao-kao serta tipe tasik rejo seperti pada Gambar 1
(a)
(b)
(d)
(c)
(e)
Gambar 1. Tipe atau model tambak pada sistem silvofishery : a. tipe empang parit tradisional,
tipe komplangan, c. tipe kao-kao, d. tipe empang terbuka, e. tipe tasik rejo
b.
Keterangan :
A. Saluran air
B. Tanggul/pematang tambak
C. Pintu air
D. Empang
X. Pelataran tambak
1) Tipe empang Parit Tradisional
Pada tambak silvofishery Model Empang Parit Tradisional ini penanaman
bakau dilakukan merata di pelataran tambak dengan jarak tanam 2 x 3 m atau 1
x 1 m sehingga tanaman terkonsentrasi di tengah-tengah pelataran tambak. Luas
daerah penanaman mangrove pada sistem ini bisa mencapai 80% dari keseluruhan
luas tambak. Tempat mangrove tumbuh dikelilingi oleh saluran air dan berbentuk
24
Universitas Sumatera Utara
sejajar dengan pematang tambak. Saluran ini biasanya memiliki lebar 3-5 m dan
tinggi muka air berada 40-80 cm di bawah pelataran tanah tempat tumbuhnya
mangrove. Ada beberapa variasi lain dari model dasar ini, misalnya dengan
membuat wilayah yang dialiri air sampai 40-60%. Ikan, udang, dan kepiting
dibudidayakan secara ekstensif pada saluran air ini (Sofiawan, 2000).
2) Tipe Komplangan
Model ini merupakan modifikasi dari Model Empang Parit Tradisional.
Pepohonan mangrove ditanam pada daerah yang terpisah dengan empang tempat
memelihara ikan/udang, dimana diantara keduanya terdapat pintu air penghubung
yang mengatur keluar masuknya air (Sofiawan, 2000)
3) Tipe Kao-kao
Model Kao-Kao adalah sistem silvofishery dengan tambak berada di
tengah dan hutan mengelilingi tambak, pada Model Kao-Kao ini mangrove
ditanam pada tepian guludan-guludan (bedengan). Lebar guludan 1-2 m dengan
jarak antara guludan adalah 5-10 m (disesuaikan dengan lebar tambak). Variasi
yang lain adalah mangrove ditanam di sepanjang tepian guludan dengan jarak
tanam 1 meter.
4) Tipe Empang Terbuka
Bentuk model empang terbuka ini tidak berbeda jauh dengan model
empang tradisional. Bedanya hanya pada pola penanaman tanaman mangrove.
Pada model ini mangrove ditanam pada tanggul yang mengelilingi tambak.
5) Tipe Tasik Rejo
Pada model ini mangrove ditanam di sepanjang tepian parit yang
berbentuk saluran air tertutup yang langsung berhubungan dengan saluran air
25
Universitas Sumatera Utara
utama (saluran air yang menghubungkan tambak dengan laut). Mangrove ditanam
cukup rapat dengan jarak tanam 1 x 1 m atau bahkan 50 x 50 cm. Pada model ini
tambak hanya berbentuk parit sedalam kurang lebih 1 m yang juga dipakai
sebagai
tempat
pemeliharaan
ikan.
Pelataran
tambak
pada
umumnya
dibudidayakan untuk usaha pertanian tanaman semusim, seperti padi gogo,
palawija, atau bunga melati.
Pada awalnya sistem silvofishery merupakan pengelolaan daerah hutan
mangrove kuno yang membutuhkan pendekatan penelitian dan penilaian yang
lebih modern. Pendekatan terpadu terhadap konservasi dan pemanfaatan
sumberdaya hutan mangrove memberikan kesempatan untuk mempertahankan
kondisi kawasan hutan tetap baik, disamping itu budidaya perairan payau dapat
menghasilkan keuntungan ekonomi. Faktor penting lainnya adalah teknologi ini
menawarkan
alternatif
yang praktis
untuk
tambak
tetap
berkelanjutan
(sustainable).
Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah suatu bentuk
kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan
pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep silvofishery ini
dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan
dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan
kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan
mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan
keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan (Bengen, 1998).
26
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai daerah peralihan antara laut dan darat, ekosistem mangrove
mempunyai gradien sifat lingkungan yang tajam. Pasang surut air laut
menyebabkan terjadinya fluktuasi beberapa faktor lingkungan yang besar,
terutama suhu dan salinitas. Oleh karena itu, jenis-jenis tumbuhan dan binatang
yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan ekstrim faktor-faktor
tersebut yang dapat bertahan dan berkembang. Kenyataan ini menyebabkan
keanekaragaman jenis biota mangrove kecil, akan tetapi kepadatan populasi
masing-masing umumnya besar (Kartawinata et al., 1979).
Teknik pengelolaan tambak empang parit dapat dijadikan sebagai
alternatif pengelolaan tambak di kawasan mangrove. Ekosistem mangrove
berperan penting dalam mendukung usaha pertambakan, dengan vegetasi
mangrove yang subur dapat mencegah erosi, menjaga area dari banjir, badai dan
bencana alam lain sehingga tidak diperlukan biaya tinggi untuk membangun
infrastruktur tambak. Selain itu, mangrove juga berfungsi sebagai sumber daya
perikanan pantai, yakni sebagai tempat pemijahan ikan-ikan sehingga jumlahnya
dapat berkembang biak secara alami dan dalam jumlah yang mencukupi
(Supriharyono, 2009).
Dari hasil penelitian yang dilakukan Ditjen Bina Pesisir (2004) pada sektor
pertanian mempunyai potensi yang strategis bagi pembangunan di kawasan Pantai
Timur Sumatera Utara, karena tanahnya subur dan cocok untuk komoditas
tanaman pangan, hortikultur dan tanaman perkebunan. Hutan mangrove yang
13
Universitas Sumatera Utara
membentang dari pantai utara Kabupaten Langkat ke daerah pantai selatan
Kabupaten Labuhan Batu dengan ketebalan bervariasi antara 50-150 meter
ditumbuhi oleh mangrove sejati dan mangrove asosiasi. Mangrove terluas terdapat
di Kabupaten Langkat (35.000 Ha), Deli Serdang dan Serdang Bedagai (11.800
Ha) dan Asahan (4.801,2 Ha), tetapi sebagian besar berada dalam kondisi rusak.
Kekayaan sumberdaya pesisir seperti sumberdaya perikanan laut dan hutan
mangrove yang memiliki nilai ekonomis yang cukup baik mendorong berbagai
pihak untuk berusaha melakukan pemanfaatan kawasan sumberdaya tersebut.
Pemanfaatan sumberdaya tanpa memperhatikan lingkungan di sekitarnya
menyebabkan kerusakan ekosistem wilayah pesisir. Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan kerusakan kawasan hutan mangrove yang ada di Dusun Kampung
Nelayan lebih disebabkan karena faktor nilai ekonomi mangrove yang baik.
Penebangan hutan mangrove, pembukaan lahan tambak, dan pengalihan fungsi
hutan mangrove menjadi tanaman kelapa sawit merupakan faktor penyebab
rusaknya kawasan hutan mangrove yang terdapat di Kampung Nelayan
(Simanjuntak, 2008).
Survey lapangan secara umum terlihat bahwa tambak yang ada di kawasan
mangrove Kabupaten Deli Serdang menggunakan sistem tambak intensif. Tambak
yang dikelola masyarakat berada di sekitar mangrove pada awalnya dilakukan
oleh beberapa kelompok masyarakat dalam skala kecil yang terdiri dari usaha
rumah tangga petani atau beberapa kelompok masyarakat. Pemanfaatan tambak
udang cukup menjanjikan, hanya saja memerlukan modal yang cukup besar dan
keuletan dari pengusaha tambak. Namun dalam pengelolaannya perlu tetap
memperhatikan lingkungan sehingga tidak sampai menyebabkan kerusakan
14
Universitas Sumatera Utara
mangrove, dan menjaga kelestarian dengan mengkombinasikan tanaman di dalam
tambak (silvofishery). Kawasan mangrove seluas 3.691,6 hektar terkonsentrasi di
wilayah Kecamatan Hamparan Perak di Kabupaten Deli Serdang. Oleh karena itu
perlu diteliti model pengelolaan hutan mangrove berbasis silvofishery dengan
mengakomodasi tambak dengan melibatkan masyarakat secara langsung di tiga
desa kawasan mangrove, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mendapatkan model dan
pengelolaan terbaik lahan mangrove dengan tambak yang berbasis silvofishery di
Desa Lama, Desa Paloh Manan, dan Desa Paloh Kurau, Kecamatan Hamparan
Perak, Kabupaten Deli Serdang.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1.
Diperoleh model dan pengelolaan lahan mangrove dengan tambak dalam
silvofishery di Kecamatan Hamparan Perak yang terbaik sehingga dapat
bermanfaat bagi pengguna model silvofishery dan masyarakat luas.
2.
Data dan hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian lebih
lanjut tentang upaya-upaya peningkatan peranan ekosistem mangrove sebagai
salah satu komponen pengembangan wilayah dalam ekologi dan ekonomi.
15
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
RAHMAT FAUZI HIDAYAT : Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis
Silvofishery Di Desa Lama, Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau,
Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Dibawah Bimbingan
MOHAMMAD BASYUNI dan YUNASFI.
Silvofishery merupakan pola pemanfaatan hutan mangrove yang
dikombinasikan dengan dengan tambak/empang. Pola ini dianggap paling cocok
untuk pemanfaatan hutan mangrove bagi perikanan saat ini. Model untuk
budidaya dalam tambak dilakukan dengan beberapa tingkatan yaitu non intensif,
semi intensif, dan intensif. Model Kao-Kao adalah sistem silvofishery dengan
tambak berada di tengah dan hutan mengelilingi tambak. Model Kao-Kao ini
mangrove ditanam pada tepian tanggul. Lebar tanggul 1-2 m dengan jarak antara
guludan adalah 5-10 m (disesuaikan dengan lebar tambak). Variasi yang lain
adalah mangrove ditanam di sepanjang tepian guludan dengan jarak tanam 1
meter.
Kata kunci : Silvofishery, mangrove, model tambak Kao-Kao
4
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
RAHMAT FAUZI HIDAYAT : Mangrove Forest Management Based
Silvofishery at Three Village : Lama, Paluh Manan and Paluh Kurau, Hamparan
Perak Distric, Deli Serdang Regency. Supervised by MOHAMMAD BASYUNI
and YUNASFI.
Silvofishery constitute utilization pattern of mangrove forest integrated
with fishpond. This pattern is currently most suitable for mangrove forest use and
fishery. The are three models for fishpond agriculture namely, non intensive,
intensive half, and intensive. Kao Kao model is silvofishery system with fishpond
was centered and forest surrounded to fishpond. This Kao Kao model, mangrove
was planted on the wide of levee. The wide of levee was 1-2 m, the distance among
the levees was 5-10 m, adjusted to fishpond area. Another variation of levee,
mangrove was planted along levee bank with 1 m distance.
Key word: Silvofishery , mangrove, Kao Kao model
5
Universitas Sumatera Utara
PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERBASIS
SILVOFISHERY DI DESA LAMA, DESA PALUH MANAN DAN
DESA PALUH KURAU, KECAMATAN HAMPARAN PERAK,
KABUPATEN DELI SERDANG
SKRIPSI
Oleh :
RAHMAT FAUZI HIDAYAT
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2014
1
Universitas Sumatera Utara
PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERBASIS
SILVOFISHERY DI DESA LAMA, DESA PALUH MANAN DAN
DESA PALUH KURAU, KECAMATAN HAMPARAN PERAK,
KABUPATEN DELI SERDANG
SKRIPSI
Oleh :
RAHMAT FAUZI HIDAYAT
101201056 / BUDIDAYA HUTAN
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Kehutanan Di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2014
2
Universitas Sumatera Utara
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian
:
Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Silvof
Abubakar, S. 2008. Efesiensi Pengelolaan Kawasan Tambak Udang Dan
Dampaknya Terhadap Aspek Ekonomi Sosial Dan Ekologi Di Wilayah
Pesisir Kabupaten Dompu NTP. IPB . Bogor.
Abdullah. 1984. Pelestarian dan Peranan Hutan Mangrove di Indonesia dalam
Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Proyek Lingkungan Hidup
LIPI. Jakarta.
Ahmad, T. and M. Mangampa. 2000. The use of mangrove stands for
bioremediation in a close shrimp culture system. Proceeding of
International Symposium on Marine Biotechnology. Bogor Agricultural
University, Bogor. p. 114−122.
Bengen, G. B. 1998. Strategi Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelestarian Hutan
Mangrove. Makalah Lokakarya Jaringan Kerja Pelestarian Mangrove,
Instiper. Yogyakarta.
David, M. H. O. 2008. Enhancing Mangrove Wetland Conservation through
Silvofisheries Opportunities in two Coastal Commonities Of Kenya.
Kenya: Ruffond Small Grants Program.
Dewi, R.H. 1995. Pengaruh Kerapatan Tegakkan Mangrove Terhadap Aspek
Ekologis Tambak Tumpangsari (Silvofishery) (Studi Kasus di KPH
Cibuaya, Besar Pengembangan Budidaya Air Payau) [Tesis] Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ditjen Bina Pesisir. 2004. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Ditjen
Pesisir dan Pulau Kecil, DKP. Jakarta.
Gunawan, H. dan Anwar, C. 2008. Kualitas Perairan dan Kandungan Merkuri
(Hg) dalam Ikan pada Empang Parit. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi
Alam. Bogor.
Hartina, S. 1996. Evaluasi Usaha Tumpang Sari Empang Parit di RPH Cemara,
BKPH Indramayu, KPH Indramayu. Program Pascasarjana. UGM.
Yogyakarta.
Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M. Afwan Affendi, K. R. Sudarma, and I.N. Budiana.
1999. Sustainable management models for mangrove forest. Japan
International Cooperation Agency, hlm. 46.
Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo, dan I. G. M. Tantra. 1979.
Status Pengetahuan Hutan Bakau di Indonesia. Prosiding Seminar
Ekosistem Mangrove. LIPI-MAB: 21-39. Jakarta.
45
Universitas Sumatera Utara
Kusnendar, E. K., Coco K., Erik S., 1999. Sistem Resirkulasi Tertutup pada
Budidaya Udang Windu Paket teknologi. Direktorat Perikanan. Jakarta.
Balai Budidaya Air Payau. Jepara. 22 p.
Mulyadi, E., R. Dhania,. dan H. Zubair. 2009. Fungsi Mangrove Sebagai
Pengendali Pencemar Logam Berat. Jurusan Teknik Lingkungan FTSP
UPN Veteran. Surabaya.
Nur, S. H. 2002. Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove untuk Tambak
Tumpangsari di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. IPB. Bogor.
Nurfiarini, A. 2003. Kajian Pengembangan Budidaya Perikanan Pesisir Di Teluk
Saleh Kabupaten Dompu. IPB. Bogor.
Nuryanto, A. 2003. Silvofishery (Mina Hutan): Pendekatan Pemanfaatan
Mangrove secara Lestari. IPB. Bogor.
Puspita, L., Ratnawati, E., Suryadiputra, I. N. N., Meutia. A. A. 2005. Buku
Lahan Basah Buatan di Indonesia. Wetland Internasional. Bogor.
RENSTRA, 2004. Rencana Strategis Sumatera Utara. Medan.
Simanjuntak, P. 2008. Pengetahuan Masyarakat Dusun XIV Kampung Nelayan
Desa Paluh Kurau Kecamatan Hamparan Perak Tentang Fungsi dan
Peranan Mangrove di Pesisir : 101 Halaman. USU Press.
Supriharyono. 2009. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati. Penerbit Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.
Setyawan, A.D. 2002. Ekosistem Mangrove sebagai Kawasan Peralihan
Ekosistem Perairan Tawar dan Perairan Laut. Enviro 2 (1): 25-40.
Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani UI-Press. Jakarta.
Sofiawan, A. 2000. Pemanfaatan Mangrove yang Berkelanjutan: Pengembangan
Model-Model Silvofishery dalam Warta Konservasi Lahan Basah, Vol. 9
No. 2 November 2000. Wetlands International – Indonesia Programme.
Bogor.
Triyanto, Wijaya, N.I., Widiyanto, T., Yuniarti, I., Setiawan, F. dan Lestari, F.S.
2012. Pengembangan Silvofishery Kepiting Bakau (Scylla serrata) dalam
Pemanfaatan Kawasan Mangrove Di Kabupaten Berau, Kalimantan
Timur. Prosiding Seminar Nasional Limnologi VI, (Online version),
(Diakses,17 November 2013).
Wibowo, K. dan Handayani, T., 2006. Pelestarian Hutan Mangrove Melalui
Pendekatan Mina Hutan (silvofishery). Pusat Teknologi Lingkungan
BPPT. Jakarta
46
Universitas Sumatera Utara
Widigdo, B. 2000. “Potensi Alami” Kawasan Pesisir Untuk Budidaya Udang.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB. Bogor.
47
Universitas Sumatera Utara
KONDISI UMUM PENELITIAN
Desa Lama
Penelitian ini dilakukan di Desa Lama, Desa Paluh Manan dan Desa Paluh
Kurau terletak di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera
Utara. Desa Lama tergabung dalam Kelompok Tani Paluh Pandan dengan tambak
silvofishery seluas 6 ha terdiri dari 13 anggota, dua diantaranya wanita atau istri
dari petani tambak yang ikut serta membantu dalam pengelolaan tambak
silvofishery.
Kelompok Tani Paluh Pandan terbentuk pada tahun 2005 pada saat itu
tambak menggunakan sistem teknologi tambak intensif yakni mengelola
tambaknya tanpa tanaman mangrove yang ditanam di pematangnya, sirkulasi
tidak tergantung sepenuhnya dengan pasang surut. Bentuk petakan teratur, luas
petakan tambak antara 0,3 – 0,5 hektar, dan hasil produksinya tinggi, tetapi tiga
tahun selanjutnya hasil produksi menurun drastis dan bisa dikatakan hancur
karena bibit yang dibudidayakan banyak terkena penyakit.
Pada tahun 2010 kelompok tani Paluh Pandan mendapatkan penyuluhan
dari Dinas Perikanan, dan pada tahun yang sama dari Dinas Kehutanan melalui
penanaman KBR 2010 mulai ditanam pada areal tambak dengan tanaman jenis
bakau seperti Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa dengan sebanyak
1200 bibit perkolam dan sekarang ada jenis tanaman mangrove lainnya yang
tumbuh seperti Avicenia sp. dan Acrostichum aureum Linn, dan ada juga tanaman
pertanian yang sengaja yang ditanam di sela pematang tambak seperti ubi kayu
dan rimbang. Dalam 1 kolam biasanya terdiri dari 3 petak yakni seluas 1ha. Benur
yang dibudidayakan adalah ikan nila, kepiting, dan udang tiger.
27
Universitas Sumatera Utara
Desa Paluh Manan
Desa Paluh Manan memiliki kelompok Tani Lestari Hijau yang berjumlah
25 anggota. Pada tahun 1990 s.d tahun 2000 kelompok binaan di Desa Paluh
manan membuka lahan tambak udang secara intensif dan bekerja sama dengan
pengusaha, tetapi usaha ini beresiko cukup tinggi dan tidak ramah lingkungan.
Sejak tahun 2005 kelompok binaan mulai melestarikan tambak dengan menanam
mangrove dan juga tanaman kelapa sawit di bedengannya.
Pada tahun 2007 peserta kelompok binaan mendapatkan pelatihan singkat
untuk mengembangkan bibit mangrove dan pada tahun yang sama di Desa Paluh
Manan dibentuk Kelompok Tani Kehutanan Hijau Lestari, pada tahun 2008 s.d
2010 Kelompok Tani Kehutanan Hijau Lestari mendapat bantuan bibit
R. mucronata dan R. stylosa dari Balai Mangrove Wilayah II sebanyak ± 100.000
bibit yang telah ditanam secara swadaya bersama kelompok tani dan masyarakat
sekitar.
Pengguna tambak silvofishery di Desa Paluh Manan lahannya terpisah
yakni tidak tergabung dalam satu lahan, oleh karena itu peneliti menganalisis
tambak silvofishery yang dimiliki Bapak Timur Ginting dijadikan obyek
penelitian karena lahan tersebut sudah mewakili luas lahan milik pribadi dan ada
juga lahan sewanya. Tambak yang dimiliki Bapak Timur Ginting menggunakan
jarak tanam 0.5m x 0.5m dengan jumlah mangrove dalam satu kolam sekitar
tanaman ± 2.500 mangrove. Mangrove yang ditanam dengan tambak dengan
sistem silvofishery di Desa Paluh Manan terdiri atas dua jenis mangrove yaitu
R.mucronata dan R.stylosa.
28
Universitas Sumatera Utara
Desa Paluh Kurau
Desa Paluh kurau memiliki Kelompok Tani Serai Mangrove yang
berjumlah 14 anggota. Tambak silvofishery yang ada di Desa Paluh Kurau
merupakan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Kelompok tani Serai
Mangrove terbentuk pada tahun 2010 dan dibina oleh Dinas Kehutanan
Kabupaten Deli Serdang dan bibit mangrove ditanam pada areal tambak pada
tahun 2010 seluas 10 ha oleh biaya kelompok tani sendiri dan tenaga kerjanya
gotong royong sesama anggota Kelompok Tani Serai Mangrove.
Bibit yang ditanam meliputi
Avicennia alba. Untuk jenis
R.mucronata, R.apiculata, R.stylosa dan
R.mucronata, R.apiculata, R.stylosa ditanam
didalam kawasan tambak sedangkan A.alba sengaja ditanam di depan kawasan
tambak karena jenis tersebut diharapkan melindungi jenis yang lain dari hempasan
ombak langsung dari laut dan jenis A.alba sengaja ditanam paling depan kawasan
tambak karena sesuai zonasinya. Untuk jenis mangrove yang ditanam di dalam
kawasan tambak ditanam dengan jarak tanam 2m x 2m dalam 1 ha sebanyak 2500
tanaman mangrove dalam satu kolam.
29
Universitas Sumatera Utara
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan
Desember 2013. Penelitian ini dilakukan di Desa Lama, Desa Paluh Manan dan
Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumate
Gambar 2. Peta Tutupan Lahan di Kecamatan Hamparan Perak pada Tahun 2012
30
Universitas Sumatera Utara
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera dan alat tulis.
Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, peta
wilayah kabupaten, serta dokumen lain yang berhubungan dengan lokasi dan
kegiatan penelitian. Data kuesioner yang akan digunakan dalam pelaksanaan
penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kuesioner yang digunakan penelitian
No Nama
Umur
Kelompok
Tani
Luas
Tambak
Kepemilikan
Jenis mangrove
Tata air
Jenis budidaya
1.
2.
3
Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
skunder. Data primer yang digunakan mengenai lahan silvofishery yang
digunakan yang diperoleh melalui wawancara, observasi lapangan, dan kuesioner,
yang ditujukan langsung kepada masyarakat atau kelompok pengguna lahan
silvofishery. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui sumber resmi seperti
Badan Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Wilayah II Sumatera Utara.
Kementrian Kehutanan, serta instansi pemerintah setempat mengenai informasi
lokasi dan kondisi daerah penelitian, dan data-data pendukung lainnya.
31
Universitas Sumatera Utara
Populasi dan Sampel Penelitian
Desa yang akan di ambil sampel penelitiannya adalah Desa Lama, Desa
Paluh Manan, dan Paluh Kurau di Kecamatan Hamparan Perak, karena ketiga
desa tersebut menerapkan sistem silvofishery, dan biasanya tergabung dalam
kelompok tani. Jumlah sampel pada penelitian ini diperkirakan sebanyak 52
responden dari ketiga desa masing masing mempunyai satu kelompok tani. Dalam
satu kelompok tani mempunyai anggota sebanyak 13-25 orang.
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah :
1. Data Primer
Data primer yang diperlukan adalah :
a. Ciri-ciri keluarga yakni nama, umur, identitas, jumlah anggota keluarga,
pendidikan, mata pencaharian.
b. Pendapatan rumah tangga yakni pendapatan seluruh anggota keluarga dari
kegiatan pemanfaatan sistem silvofishery ditambah pendapatan lainnya.
c. Bentuk pemanfaatan sistem silvofishery secara aktual yang dilakukan
kelompok tani dan pengambilan manfaat ekonomi sistem silvofishery
tersebut.
Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1. Wawancara
Wawancara dilakukan seebagai upaya untuk mengkaji ulang dan
melengkapi informasi lainnya yang berkaitan dengan penelitian.
Keterbukaan dan kejujuran responden memberikan informasi sangat
penting adanya karena wawancara dilakukan seperti pembicaraan secara
32
Universitas Sumatera Utara
informal dan bersifat dialogis, terutama dengan membangun kepercayaan
antara responden dan peneliti.
2. Kuisioner
Data yang diambil dari kuisioner kepada seluruh sampel penelitian untuk
melengkapi hasil dari wawancara yang dilaksanakan sehingga di dapatkan
data yang akurat.
3. Observasi
Kegiatan yang dilakukan pada observasi yakni melihat kehidupan seharihari masyarakat (kelompok tani) setempat, melihat kegiatan masyarakat
dalam pemanfaatan ekosistem mangrove dengan tambak dan interaksi
terhadap masyarakat lain.
2.
Data Sekunder
Data sekunder yang diperlukan adalah data umum yang ada instansi
pemerintah desa, kecamatan, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) dan
Badan Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Wilayah II Sumatera Utara yang
meliputi letak dan luas desa, kelompok tani, dan data dari sumber lain.
Pengolahan Data
1. Analisis deskriftif, digunakan untuk mengetahui dan menganalisis data
yang terkumpul dari hasil kuesioner, wawancara, dan observasi
2. Penulisan literatur, dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat
dengan cara mengumpulkan referensi sebanyak mengkin tentang
penelitian ini. Kemudian referensi tersebut dipadukan dengan data-data
penelitian baik data primer maupun data skunder yang telah dilakukan
33
Universitas Sumatera Utara
analisis data. Penelusuran literatur akan memperkaya isi dari penelitian
yang nantinya berguna dan pengguna hasil penelitian ini.
Persiapan
Survey Pendahuluan
Pengumpulan Data
Pelaksanaan Penelitian
Wawancara
Kuisioner
Penelusuran Literatur
Data Sekunder
Observasi
Data Primer
Analisis
Deskriptif
Model pengelolaan tambak yang terbaik dalam silvofishery
Gambar 3. Bagan Alir Penelitian
34
Universitas Sumatera Utara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Model Tambak yang digunakan di Desa Lama
Tambak yang dibuat oleh kelompok tani di Desa Lama menggunakan
Model Kao-Kao, pengelolaan dan pemeliharaan tambak yang ada di Desa Lama
dilakukan sangat sederhana yang masing-masing memiliki luasan tambak 0,5 ha
per tambak dari luasan 6 ha lahan yang mereka miliki dengan jumlah tambak
sebanyak 15 tambak, setiap tambaknya memiliki saluran pintu air yang dibuat
khusus dari pipa paralon dengan ukuran panjang 6 meter yang digunakan sebagai
saluran keluar masuknya air ke dalam tambak. Pengelolaan dan pemeliharaan
pintu air sangat penting karena bagus tidaknya hasil panen tergantung dari besar
kecilnya debit air yang ada di dalam tambak.
Sebelum
menggunakan
Model Kao-Kao kelompok tani tersebut
menggunakan sistem tambak intensif
tetapi setelah mengikuti beberapa
penyuluhan dari Dinas Kehutanan dan Dinas Perikanan tata cara pengelolaan
tambak yang baik mulai dari pengeloaan tata air sampai proses produksi,
kemudian kelompok tani di Desa Lama mengkombinasikan
tambak mereka
dengan tanaman mangrove yang disebut silvofishery. Pola silvofishery yang
merupakan paduan kegiatan budidaya perikanan dan kehutanan ini menerapkan
tehnik budidaya sederhana. Kegiatan ini dapat meningkatkan efisiensi
pemanfaatan dan produktivitas lahan yang berimplikasi terhadap peningkatan
pendapatan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.
Wilayah tambak dipengaruhi oleh proses pasang surut air laut, oleh karena
itu warga yang mengelola tambak tersebut melakukan penanaman mangrove di
sekitar pematang tambak tujuannya untuk menguatkan struktur tanah pematang
35
Universitas Sumatera Utara
agar tidak digerus oleh pasang surut air laut, sedangkan mangrove yang ditanam
dalam area tambak dimaksudkan untuk mengembalikan kesuburan dan memberi
ruang lindung pada benih yang telah di sebar oleh petani tambak.
Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang
berada di sekitarnya. Kawasan pesisir terdapat beberapa ekosistem vital seperti
ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun dan ekosistem hutan
mangrove dapat dilihat pada Gambar 4.
a
b
d
c
e
f
g
h
i
Gambar 4. Model tambak yang digunakan di Desa Lama
Keterangan :
a. Waduk
b. Tambak
c. Pipa paralon
d. Acrostichum aureum
e. Bedengan
f. Mangrove
g. R.mucronata
h. R.stylosa
i. Pintu air
36
Universitas Sumatera Utara
Pada Gambar 4, terlihat bahwa model yang digunakan di Desa Lama
merupakan Model Kao-Kao yang dikombinasikan dengan tanaman mangrove.
Jenis yang ditanam lebih dominan pada jenis R.mucronata dan R.stylosa karena
lebih mudan tumbuh, sedangkan jenis yang lainnya tumbuh tanpa di tanam atau
biji yang terbawa oleh burung dan arus air laut yang menuju tambak. Tambak
dibuat dengan ukuran 0,5 ha untuk masing-masing tambak, kemudian di buat
pintu air untuk keluar masuknya air menggunakan pipa paralon yang di pasang
dibawah bedengan tambak. Melalui pipa tersebut air akan disalurkan dan di
masukan serta untuk pengeringan dalam proses produksi. Pemeliharaan tambak di
Desa Lama kurang teratur dikarenakan yang mengelola hanya petani yang
memiliki modal saja sehingga perawatan dan pemeliharaan kurang memadai yang
membuat hasil panen menjadi kurang berhasil.
Model Tambak yang digunakan di Desa Paluh Manan
Mangrove yang ditanam dengan tambak dengan teknik silvofishery di
Desa Paluh Manan terdiri atas dua jenis mangrove yaitu R.mucronata dan
R.stylosa. Kedua jenis mangrove ini ditanam dipinggir tambak karena jenis
tanaman tersebut memiliki keunggulan yakni dengan akar tunjang yang
memudahkan dalam pemanenan hasil produksi tambak. Daun Rhizophora
mucronata dan Rhizophora stylosa ini dapat digunakan pakan ternak seperti pakan
sapi dan kambing. Dari hasil wawancara kepada responden yakni memberi
naungan. Selain mangrove ada juga tanaman kelapa sawit yang sengaja ditanam
untuk menambah pendapatan mereka karena tambak dipanen satu kali panen
dalam 4 bulan tersebut sedangkan kelapa sawit dalam waktu satu kali seminggu.
37
Universitas Sumatera Utara
Model tambak
yang digunakan di
Desa
Paluh
Manan adalah
Model Kao-Kao yang dikombinasikan dengan tanaman mangrove tetapi ada juga
tanaman kelapa sawit yang membedakan dari Desa lainnya. Dengan model
tersebut untuk pendapatan dari tambak lebih menguntungkan karena lahan tambak
tersebut dibuat dengan kombinasi antara bidang kehutanan, bidang perikanan dan
bidang perkebunan yang baik dapat dilihat pada Gambar 5.
a
b
c
d
e
f
g
h
Gambar 5. Model tambak yang digunakan di Desa Paluh Manan
Keterangan :
a. Jalan desa
b. Pipa paralon
c. R.mucronata
d. Tambak
e. Paluh (aliran sungai)
f. Bedengan
g. Kelapa Sawit
h. R.stylosa
38
Universitas Sumatera Utara
Pemeliharaan tambak di Desa Paluh Manan dari segi pengelolaan tata air
sampai proses produksi terlihat sederhana dan sangat teratur. Pada Gambar 5, air
yang berasal dari paluh masuk ke dalam tambak melalui pipa paralon yang dibuat
untuk mamasukkan air serta mengeluarkan air secara teratur. Tanaman mangrove
yang ditanam memiliki jenis seperti R.mucronata dan R.stylosa tetapi ada tanman
kelapa sawit yang sengaja ditanam karena adanya tanaman mangrove tersebut
membuat tanaman kelapa sawit menjadi lebih bagus. Jarak tanam juga
mempengaruhi kualitas dari budidaya tambak, di Desa Paluh Manan jarak tanam
mangrove 0.5 m x 0.5 m pada setiap masing-masing tambak.
Model Tambak yang digunakan di Desa Paluh Kurau
Di Desa Paluh Kurau penanaman mangrove di sekitar tambak memiliki
tiga jenis mangrove yaitu R.mucronata, R.stylosa dan R.apiculata. Kombinasi
antara mangrove dengan tambak tersebut menggunakan Model Kao-Kao sama
seperti di dua Desa sebelumnya tetapi pengelolaan tambak di Desa Paluh Kurau
sederhana tetapi untuk mengaplikasikan dilapangan termasuk sulit karena berada
dikawasan mangrove Hutan Produksi Terbatas (HPT), air yang masuk ke tambak
adalah air laut, untuk jenis yang dibudidayakan hanya jenis kepiting bakau karena
kepiting mampu hidup tanpa ada tidaknya pengaruh air sungai (payau) sedangkan
jenis yang lainnya seperti ikan nila dan udang tiger tidak dapat beradaptasi tanpa
adanya pengaruh air sungai.
Penambahan tanaman mangrove yang dilakukan pada saat sekarang untuk
mengurangi dampak negative pada tambak. Perawatan saluran air sangat penting
karena pintu air digunakan sebagai saluran keluar masuknya air ke dalam tambak,
39
Universitas Sumatera Utara
ketika terjadi pasang besar pintu air akan dibuka dan apabila tambak sudah penuh
dengan air maka pintu air akan ditutup kembali. Untuk proses produksi, pintu air
digunakan juga untuk mengeringkan tambak yang dilakukan pada 4 bulan sekali
masa panen ketika terjadi pasang mati karena disaat pasang mati air akan surut
dapat dilihat pada Gambar 6.
a
b
c
d
e
f
g
h
i
Gambar 6. Model tambak yang digunakan di Desa Paluh Kurau
Keterangan :
a. Pintu air
b. Mangrove
c. Pipa paralon
d. Bedengan
e. R.mucronata
f. Paluh (aliran sungai)
g. Tambak
h. R.stylosa
i. R.apiculata
40
Universitas Sumatera Utara
Pengelolaan tata air pada tambak di Desa Paluh Kurau memiliki sistem
buka tutup air ketika terjadi pasang dan surut air laut dengan menggunakan pintu
air yang digunakan sebagai aliran masuknya air ke tambak dengan maksud untuk
mempermudah proses produksi tambak. Pola tersebut merupakan paduan kegiatan
budidaya perikanan dan kehutanan ini menerapkan teknik budidaya sederhana.
Kegiatan ini dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan dan produktivitas lahan
yang berimplikasi terhadap peningkatan pendapat dan kondisi sosialekonomi
masyarakat setempat.
Kelompok tani di Desa Lama, Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau
menggunakan tambak dengan Model Kao-Kao karena areal model budidaya
mangrove yang ditanam berada di tepian guludan yang mengelilingi tambak
sesuai
dengan
penelitian
(Sofiawan,
2000)
yang
mengatakan
bahwa
Model Kao-Kao adalah sistem silvofishery dengan tambak di tengah dan hutan
mengelilingi tambak, pada Model Kao-Kao ini mangrove ditanam pada tepian
guludan-guludan (bedengan). Lebar guludan 1-2 m dengan jarak antara guludan
adalah 5-10 m (disesuaikan dengan lebar tambak). Variasi yang lain adalah
mangrove ditanam di sepanjang tepian guludan dengan jarak tanam 1 meter.
Tanaman mangrove memiliki peranan penting karena daerah mangrove
merupakan daerah yang subur, baik daratannya maupun perairannya, karena selalu
terjadi transportasi nutrien akibat adanya pasang surut. Mangrove mempunyai
berbagai peranan penting, yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil,
melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan
intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Serta sebagai habitat benih
ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber
41
Universitas Sumatera Utara
keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera,
kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah.
Model dan Pengelolaan Tambak Terbaik
Diperoleh model dalam pengelolaan lahan mangrove dengan tambak
dalam silvofishery oleh kelompok tani di Kabupaten Deli Serdang Kecamatan
Hamparan Perak di Desa Lama, Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau
menggunakan Model Kao-Kao karena tambak yang dibuat sesuai dengan
penelitian (Sofiawan, 2000) yang menyatakan bahwa Model Kao-Kao adalah
sistem silvofishery dengan tambak di tengah dan hutan mengelilingi tambak, pada
Model Kao-Kao ini mangrove ditanam pada tepian guludan-guludan (bedengan).
Keuntungan Model Kao-Kao ini adalah ruang pemeliharaan ikan cukup
besar, pelapukan serasah tanaman dapat meningkatkan kesuburan tambak dan
intensitas matahari cukup tinggi sedangkan kerugiannya menggiring ikan pada
satu sudut tambak. Perbandingan luas mangrove dan luas tambak adalah 80:20,
hasil produksi terbilang cukup kecil dikarenakan lebih mengutamakan
keseimbangan ekologi perairan.
Model tambak yang terbaik terdapat di Desa Paluh Manan dibandingkan
dengan Desa Lama dan Desa Paluh Kurau karena dari segi pengelolaan tata air
sampai proses produksi terlihat sederhana tetapi sangat teratur dan terjaga
kualitasnya. Saluran pipa yang dibuat untuk memasukkan dan mengeluarkan air
yang berasal dari paluh masuk ke dalam tambak melalui pipa paralon yang
berukuran 6 meter. Untuk tanaman mangrove yang ditanam memiliki jenis seperti
R.mucronata dan R.stylosa tetapi ada tanman kelapa sawit yang sengaja ditanam
42
Universitas Sumatera Utara
karena adanya tanaman mangrove tersebut membuat tanaman kelapa sawit
menjadi lebih bagus. Jarak tanam juga mempengaruhi kualitas dari budidaya
tambak, di Desa Paluh Manan jarak tanam mangrove 1 m x1,5 m pada setiap
masing-masing tambak. Daun dari tanaman mangrove tersebut dimanfaatkan
untuk pakan ternak oleh kelompok tani di Desa Paluh manan, sedangkan akarnya
dapat menetralisirkan racun yang ada didalam tambak sehingga sumber plasma
nuftah melimpah yang dimanfaatkan untuk pakan benih didalam tambak dan
sebagai naungan.
Menurut mereka dengan model yang digunakan untuk di tambak lebih
efisien dan sesuai. Selain sebagai naungan tanaman mangrove di tambak mereka
banyak manfaatnya bagi mereka. Pemeliharaan yang dilakukan secara rutin oleh
kelompok tani Desa Paluh Manan membuat pendapatan yang mereka peroleh
meningkat, proses produsi hasil tambak lebih menguntungkan menggunakan
sistem silvofishery tersebut dikarenakan saling menguntungkan. Pembuatan areal
model budidaya tanaman mangrove tersebut dapat dimanfaatkan seabagai sarana
percontohan bagi masyarakat sekitar areal model pada khususnya dan masyarakat
luas pada umumnya tentang bagaimana suatu ekosistem hutan mangrove
terbentuk. Adapun tujuannya agar dapat terbentuk jalur hijau perlindungan pantai
selain berfungsi lindung juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat
desa dari pengelolaan sistem tambaknya mulai dari tata air, tanaman mangrove
yang ada ditambak dari pemeliharaannya hingga proses produksi lebih
menguntungkan buat kelompok tani Desa Paluh Manan.
43
Universitas Sumatera Utara
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Model yang digunakan dalam pengelolaan lahan mangrove dengan
tambak dalam silvofishery oleh kelompok tani di Kabupaten Deli
Serdang Kecamatan Hamparan Perak di Desa Lama, Desa Paluh
Manan dan Desa Paluh Kurau adalah Model Kao-Kao.
2. Model dan pengelolaan tambak yang terbaik terdapat di Desa
Paluh Manan dibandingkan dengan Desa Lama dan Desa Paluh
Kurau, yang memiliki kriteria dari segi pengelolaan tata air,
tanaman
mangrove yang ditanam hinnga proses produksi.
Pemanfaatan tanaman mangrove sebagai habitat benih ikan, udang,
dan kepiting untuk hidup dan mencari makan serta daunnya untuk
pakan ternak sampai proses produksi yang dilakukan sangat teratur
dan terjaga kualitasnya.
Saran
Sebaiknya Pemerintah lebih memperhatikan para kelompok tani tambak
untuk membantu langsung dan mensejahterakan mereka. Serta diperlukan
penelitian-penelitian selanjutnya yang terkait dengan model terbaik dari beberapa
model silvofishery yang ada saat ini.
44
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di
sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di
suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai
dengan reaksi tanah anaerob. Secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan
sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai
yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari
genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap
garam (Nur, 2002).
Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme
(tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam
suatu habitat mangrove. Mangrove merupakan ekosistem hutan yang unik karena
merupakan perpaduan antara ekosistem darat dan ekosistem perairan. Hutan
mangrove mempunyai peranan yang sangat penting terutama bagi kehidupan
masyarakat sekitarnya dengan memanfaatkan produksi yang ada di dalamnya,
baik sumberdaya kayunya maupun sumberdaya biota air (udang, kepiting, ikan)
yang biasanya hidup dan berkembang biak di hutan mangrove (RENSTRA, 2004).
Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka dan khas di dunia,
karena luasnya hanya 2% permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan
ekosistem mangrove terluas di dunia. Ekosistem ini memiliki peranan ekologi,
sosial-ekonomi, dan sosia-budaya yang sangat penting. Fungsi ekologi hutan
mangrove meliputi tempat sekuestrasi karbon, remediasi bahan pencemar,
16
Universitas Sumatera Utara
menjaga stabilitas pantai dari abrasi, intrusi air laut, dan gelombang badai,
menjaga kealamian habitat, menjadi tempat bersarang, pemijahan dan pembesaran
berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung dan fauna lain, serta pembentuk
daratan (Setyawan, 2002).
Ekosistem mangrove adalah tipe ekosistem yang khas terdapat disepanjang
pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove
tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya
disepanjang sisi pulau yang terlindung dari angina tau dibelakang terumbu karang
di lepas pantai yang terlindung. Ekosistem mangrove yang merupakan ekosistem
peralihan antara darat dan lau, sejak lama diketahui mempunyai peranan penting
dalam kehidupan dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam
memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan (Abdullah, 1984).
Silvofishery
Silvofishery telah berkembang di berbagai negara, seperti Indonesia, Hong
Kong, Thailand, Vietnam, Pilipina, Kenya dan di Indonesia lebih dikenal dengan
sistem empang parit dan telah dikembangkan oleh Departemen Kehutanan
bekerjasama dengan Ditjen Perikanan dalam berbagai research project di
Sulawesi Selatan, Cikalong dan Blanakan di Jawa Barat. Silvofishery telah
berhasil dikembangkan di Indonesia antara lain di Sinjai (Sulawesi), Cikeong
(Jawa Barat), Pemalang (Central Java), dan Bali (Puspita et al, 2005).
Silvofishery merupakan pola pemanfaatan hutan mangrove yang
dikombinasikan dengan dengan tambak/empang. Pola ini dianggap paling cocok
untuk pemanfatan hutan mangrove bagi perikanan saat ini. Dengan pola ini
17
Universitas Sumatera Utara
diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan sedangkan hutan
mangrove masih tetap terjamin kelestariannya. Silvofishery atau tambak
tumpangsari merupakan suatu bentuk “agroforestry” yang pertama kali
diperkenalkan di Birma dimana bentuk tersebut dirancang agar masyarakat dapat
memanfaatkan hutan bagi kegiatan perikanan tanpa merusak hutan mangrove
(Dewi, 1995).
Dalam penerapan wanamina berwawasan lingkungan, untuk meningkatkan
dan melestarikan fungsi biologis dan ekologis ekosistem hutan mangrove perlu
suatu pendekatan yang rasional didalam pemanfaatanya dengan melibatkan
masyarakat disekitar kawasan dan masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan
mangrove secara langsung. Penerapan pola wanima (silvofishery) didalam
ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu pendekatan yang tepat dalam
pemanfaatan dan pelestarian kawasan pesisir (Nuryanto, 2003).
Kegiatan wanamina (silvofishery) berdasarkan David (2008) berbagai
kajian yang telah banyak dilakukan mempunyai tujuan antara lain:
Sebagai sarana/metode konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove, sumber
daya tanah, sumber daya kelautan dan spesies air.
Sebagai
sarana
pengembangan
ekonomi
kerakyatan,
dimana
dengan
berlangsungnya kegiatan budidaya maka kegiatan produksi perikanan akan
tetap berlangsung sehingga memberikan dampak ekonomi bagi masyarakaat
Sebagai sarana ekowisata, pertanian/perikanan budidaya ramah lingkungan
Sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan konservasi
sumberdaya hutan mangrove.
18
Universitas Sumatera Utara
Dalam mengakomodasi kebutuhan lahan dan lapangan pekerjaan, hutan
mangrove dapat dikelola dengan model silvofishery atau wanamina yang dikaitkan
dengan program rehabilitasi pantai dan pesisisr. Kegiatan silvofishery berupa
empang parit pada kawasan hutan mangrove, terutama di areal Perum Perhutani
telah dimulai sejak tahun 1978. Empang parit ini pada dasarnya adalah semacam
tumpangsari pada hutan jati, di mana ikan dan udang sebagai pengganti tanaman
palawija (Soekartawi, 1995).
Peranan Hutan Mangrove dengan Tambak
Tambak adalah merupakan bangunan air yang dibangun pada daerah
pasang surut yang diperuntukkan sebagai wadah pemeliharaan ikan/udang dan
memenuhi syarat yang diperlukan sesuai dengan sifat biologi hewan yang
dipeliharan. Pembangunan tambak pada umumnya dipilih di daerah sekitar pantai,
khususnya yang mempunyai atau dipengaruhi oleh sungai besar, sebab banyak
petambak beranggapan, bahwa dengan adanya air payau akan memberikan
pertumbuhan
ikan/udang
yang
lebih
baik
ketimbang
air
laut
murni
(Wibowo dan Handayani, 2006).
Melihat fungsi mangrove yang sangat strategis dan semakin meluasnya
kerusakan yang terjadi, maka upaya pelestarian mangrove harus segera dilakukan
dengan berbagai cara. Dalam budi daya udang dan ikan, misalnya, harus
diterapkan teknik budi daya yang ramah mangrove, artinya dalam satu hamparan
tambak harus ada hamparan mangrove yang berfungsi sebagai biofilter dan tandon
air sebelum air masuk ke petakan tambak. Upaya penghutanan kembali tepi
19
Universitas Sumatera Utara
perairan pantai dan sungai dengan tanaman mangrove perlu dilakukan dengan
melibatkan partisipasi masyarakat (Inoue, et al,. 1999).
Mangrove mengangkut nutrien dan detritus ke perairan pantai sehingga
produksi primer perairan di sekitar mangrove cukup tinggi dan penting bagi
kesuburan perairan. Dedaunan, ranting, bunga, dan buah dari tanaman mangrove
yang mati dimanfaatkan oleh makrofauna, misalnya kepiting sesarmid, kemudian
didekomposisi oleh berbagai jenis mikroba yang melekat di dasar mangrove dan
secara
bersama-sama
membentuk
rantai
makanan.
Detritus
selanjutnya
dimanfaatkan oleh hewan akuatik yang mempunyai tingkatan lebih tinggi seperti
bivalvia, gastropoda, berbagai jenis juvenil ikan dan udang, serta kepiting. Karena
keberadaan mangrove sangat penting maka pemanfaatan mangrove untuk budi
daya perikanan harus rasional (Ahmad dan Mangampa, 2000).
Komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya di air payau kawasan
mangrove adalah kepiting bakau (Scylla serrata), ikan bandeng (Chanos chanos),
udang windu (Penaeus monodon), udang vanamei (Penaeus vannamei), ikan patin
(Pangasius pangasius), ikan kakap (Lates calcarifer), rumput laut. Sedangkan
komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya silvofishery di kawasan
mangrove adalah kepiting bakau. Kepiting bakau mempunyai karakteristik yang
sedikit berbeda dengan komoditas lainnya karena kemampuannya untuk bertahan
hidup dalam kondisi kurang air. Oleh karena itu membudidayakan kepiting tidak
memerlukan tambak yang luas (Triyanto, et al, 2012).
Teknologi budidaya tambak yang ada selalu mengalami perkembangan,
dimana mulai dari teknologi sederhana hingga maju. Kusnendar, et al, (1999)
20
Universitas Sumatera Utara
Menguraikan teknologi yang diterapkan tentu akan mempengaruhi dari tipologi
tambak yang dipergunakan. Karakter pembagian teknologi tersebut adalah:
1.
Tambak sederhana dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran air
umumnya tergantung sepenuhnya dengan pasang surut, Bentuk petakan tidak
teratur, Luas petakan tambak antara 0,5 – 5 hektar, Kedalaman air umumnya
hanya mampu < 70 cm, Produksi yang dicapai umumnya rendah
2.
Tambak semi intensif dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran air
tidak tergantung sepenuhnya dengan pasang surut, Bentuk petakan teratur , Luas
petakan tambak antara 0,5 – 1 hektar, Kedalaman air umumnya hanya mampu >90
cm, Produksi yang dicapai umumnya lebih tinggi dari tambak sederhana
3.
Tambak intensif dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran air tidak
tergantung sepenuhnya dengan pasang surut. Bentuk petakan teratur, Luas petakan
tambak antara 0,3 – 0,5 hektar, Kedalaman air umumnya >1,0 cm, Produksi yang
dicapai umumnya tinggi
Daerah mangrove merupakan daerah yang subur, baik daratannya maupun
perairannya, karena selalu terjadi transportasi nutrien akibat adanya pasang surut.
Mangrove mempunyai berbagai peranan penting, yaitu untuk menjaga kondisi
pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah
terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Serta
sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan,
sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik seperti burung,
ular, kera, kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi
ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan
21
Universitas Sumatera Utara
bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan
(Mulyadi et al., 2009).
Budidaya tambak merupakan salah suatu bentuk kegiatan usaha
pemeliharaan dan pembesaran baik ikan maupun udang di tambak yang dimulai
dari ukuran benih sampai menjadi ukuran yang layak dikonsums. Penggunaan
tambak secara terus menerus untuk budidaya akan menyebabkan menurunnya
produktivitas udang karena daya dukung lingkungan yang tidak mampu lagi
menopang pertumbuhan. Menurunnya daya dukung lingkungan disebabkan
karena penggunaan pakan, obat-obatan dan pupuk anorganik secara terus menerus
selama kegiatan budidaya ikan di tambak berlangsung (Abubakar, 2008).
Pengukuran
dampak
pengembangan
kawasan
tambak
untuk
menghubungkan antara upaya efisiensi penggunaan sarana produksi sebagai suatu
keharusan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum dengan dampak yang
ditimbulkan pembudidayaan tambak. Dampak yang dapat ditimbulkan dari
pengembangan kawasan tambak antara lain dampak sosial, ekonomi dan budaya
(Nurfiarini, 2003). Untuk menentukan dampak ekonomi dari kegiatan
pengembangan tambak, terlebih dahulu harus dihitung nilai ekonomi dari
sumberdaya yang digunakan, yaitu dengan menggunakan metode valuasi
ekonomi.
Model Pengelolaan Mangrove
Teknologi budidaya dalam tambak dilakukan dengan beberapa tingkatan
yaitu non intensif, semi intensif, dan intensif. Perbedaan dari sistem tersebut
terletak pada penerapan tingkat teknologi pengelolaan yaitu padat penebaran, pola
pemberian pakan serta sistem pengelolaan air dan lingkungan. Sistem budidaya
22
Universitas Sumatera Utara
non intensif dilakukan secara sederhana dengan input dan manajemen yang
minimal, sistem semi intensif menggunakan input yang menengah, dan sistem
budidaya intensif biasanya membutuhkan input sumberdaya dan manajemen yang
lebih banyak (Widigdo, 2000).
Adanya fakta bahwa tambak empang parit yang masih mempertahankan
mangrovenya mengandung bahan pencemar lebih rendah daripada tambak yang
sudah tidak ada mangrovenya merupakan indikasi bahwa mangrove memiliki
peranan yang penting dalam menjaga kualitas habitat perairan. Laporan ini
seharusnya menjadi pembelajaran dan disebarluaskan kepada para petambak yang
telah membabat mangrovenya agar menanaminya kembali. Pemahaman juga
diberikan, bahwa kualitas produk akan sangat menentukan harga jual di pasar.
Oleh karena itu kualitas habitat perairan (dalam hal ini termasuk ekosistem
mangrove) perlu dijaga kelestariannya (Gunawan dan Anwar, 2008).
Pencemaran perairan pantai utara Jakarta ditengarai telah menyebar
sampai ke pantura Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu. Hartina, (1996)
telah melakukan penelitian di pantura Kabupaten Subang, sekitar Blanakan
menemukan bahwa substrat tambak non silvofishery mengandung bahan
pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari substrat hutan
mangrove dan 14 kali lebih tinggi dari substrat tambak yang masih bermangrove
(model silvofishery).
Penanaman tumpangsari selain pada jalur tanam juga dapat dilakukan di
pelataran tambak dengan jarak tanam yang disesuaikan dengan kondisi lapangan.
Pada umumnya jarak tanam yang digunakan adalah 5 x 5 m dengan jumlah bibit
per hektar 320 batang, menurut (Sofiawan, 2005) bentuk tambak silvofishery
23
Universitas Sumatera Utara
terdapat 5 macam pola yaitu tipe empang parit tradisonal, tipe komplangan, tipe
empang parit terbuka, tipe kao-kao serta tipe tasik rejo seperti pada Gambar 1
(a)
(b)
(d)
(c)
(e)
Gambar 1. Tipe atau model tambak pada sistem silvofishery : a. tipe empang parit tradisional,
tipe komplangan, c. tipe kao-kao, d. tipe empang terbuka, e. tipe tasik rejo
b.
Keterangan :
A. Saluran air
B. Tanggul/pematang tambak
C. Pintu air
D. Empang
X. Pelataran tambak
1) Tipe empang Parit Tradisional
Pada tambak silvofishery Model Empang Parit Tradisional ini penanaman
bakau dilakukan merata di pelataran tambak dengan jarak tanam 2 x 3 m atau 1
x 1 m sehingga tanaman terkonsentrasi di tengah-tengah pelataran tambak. Luas
daerah penanaman mangrove pada sistem ini bisa mencapai 80% dari keseluruhan
luas tambak. Tempat mangrove tumbuh dikelilingi oleh saluran air dan berbentuk
24
Universitas Sumatera Utara
sejajar dengan pematang tambak. Saluran ini biasanya memiliki lebar 3-5 m dan
tinggi muka air berada 40-80 cm di bawah pelataran tanah tempat tumbuhnya
mangrove. Ada beberapa variasi lain dari model dasar ini, misalnya dengan
membuat wilayah yang dialiri air sampai 40-60%. Ikan, udang, dan kepiting
dibudidayakan secara ekstensif pada saluran air ini (Sofiawan, 2000).
2) Tipe Komplangan
Model ini merupakan modifikasi dari Model Empang Parit Tradisional.
Pepohonan mangrove ditanam pada daerah yang terpisah dengan empang tempat
memelihara ikan/udang, dimana diantara keduanya terdapat pintu air penghubung
yang mengatur keluar masuknya air (Sofiawan, 2000)
3) Tipe Kao-kao
Model Kao-Kao adalah sistem silvofishery dengan tambak berada di
tengah dan hutan mengelilingi tambak, pada Model Kao-Kao ini mangrove
ditanam pada tepian guludan-guludan (bedengan). Lebar guludan 1-2 m dengan
jarak antara guludan adalah 5-10 m (disesuaikan dengan lebar tambak). Variasi
yang lain adalah mangrove ditanam di sepanjang tepian guludan dengan jarak
tanam 1 meter.
4) Tipe Empang Terbuka
Bentuk model empang terbuka ini tidak berbeda jauh dengan model
empang tradisional. Bedanya hanya pada pola penanaman tanaman mangrove.
Pada model ini mangrove ditanam pada tanggul yang mengelilingi tambak.
5) Tipe Tasik Rejo
Pada model ini mangrove ditanam di sepanjang tepian parit yang
berbentuk saluran air tertutup yang langsung berhubungan dengan saluran air
25
Universitas Sumatera Utara
utama (saluran air yang menghubungkan tambak dengan laut). Mangrove ditanam
cukup rapat dengan jarak tanam 1 x 1 m atau bahkan 50 x 50 cm. Pada model ini
tambak hanya berbentuk parit sedalam kurang lebih 1 m yang juga dipakai
sebagai
tempat
pemeliharaan
ikan.
Pelataran
tambak
pada
umumnya
dibudidayakan untuk usaha pertanian tanaman semusim, seperti padi gogo,
palawija, atau bunga melati.
Pada awalnya sistem silvofishery merupakan pengelolaan daerah hutan
mangrove kuno yang membutuhkan pendekatan penelitian dan penilaian yang
lebih modern. Pendekatan terpadu terhadap konservasi dan pemanfaatan
sumberdaya hutan mangrove memberikan kesempatan untuk mempertahankan
kondisi kawasan hutan tetap baik, disamping itu budidaya perairan payau dapat
menghasilkan keuntungan ekonomi. Faktor penting lainnya adalah teknologi ini
menawarkan
alternatif
yang praktis
untuk
tambak
tetap
berkelanjutan
(sustainable).
Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah suatu bentuk
kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan
pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep silvofishery ini
dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan
dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan
kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan
mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan
keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan (Bengen, 1998).
26
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai daerah peralihan antara laut dan darat, ekosistem mangrove
mempunyai gradien sifat lingkungan yang tajam. Pasang surut air laut
menyebabkan terjadinya fluktuasi beberapa faktor lingkungan yang besar,
terutama suhu dan salinitas. Oleh karena itu, jenis-jenis tumbuhan dan binatang
yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan ekstrim faktor-faktor
tersebut yang dapat bertahan dan berkembang. Kenyataan ini menyebabkan
keanekaragaman jenis biota mangrove kecil, akan tetapi kepadatan populasi
masing-masing umumnya besar (Kartawinata et al., 1979).
Teknik pengelolaan tambak empang parit dapat dijadikan sebagai
alternatif pengelolaan tambak di kawasan mangrove. Ekosistem mangrove
berperan penting dalam mendukung usaha pertambakan, dengan vegetasi
mangrove yang subur dapat mencegah erosi, menjaga area dari banjir, badai dan
bencana alam lain sehingga tidak diperlukan biaya tinggi untuk membangun
infrastruktur tambak. Selain itu, mangrove juga berfungsi sebagai sumber daya
perikanan pantai, yakni sebagai tempat pemijahan ikan-ikan sehingga jumlahnya
dapat berkembang biak secara alami dan dalam jumlah yang mencukupi
(Supriharyono, 2009).
Dari hasil penelitian yang dilakukan Ditjen Bina Pesisir (2004) pada sektor
pertanian mempunyai potensi yang strategis bagi pembangunan di kawasan Pantai
Timur Sumatera Utara, karena tanahnya subur dan cocok untuk komoditas
tanaman pangan, hortikultur dan tanaman perkebunan. Hutan mangrove yang
13
Universitas Sumatera Utara
membentang dari pantai utara Kabupaten Langkat ke daerah pantai selatan
Kabupaten Labuhan Batu dengan ketebalan bervariasi antara 50-150 meter
ditumbuhi oleh mangrove sejati dan mangrove asosiasi. Mangrove terluas terdapat
di Kabupaten Langkat (35.000 Ha), Deli Serdang dan Serdang Bedagai (11.800
Ha) dan Asahan (4.801,2 Ha), tetapi sebagian besar berada dalam kondisi rusak.
Kekayaan sumberdaya pesisir seperti sumberdaya perikanan laut dan hutan
mangrove yang memiliki nilai ekonomis yang cukup baik mendorong berbagai
pihak untuk berusaha melakukan pemanfaatan kawasan sumberdaya tersebut.
Pemanfaatan sumberdaya tanpa memperhatikan lingkungan di sekitarnya
menyebabkan kerusakan ekosistem wilayah pesisir. Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan kerusakan kawasan hutan mangrove yang ada di Dusun Kampung
Nelayan lebih disebabkan karena faktor nilai ekonomi mangrove yang baik.
Penebangan hutan mangrove, pembukaan lahan tambak, dan pengalihan fungsi
hutan mangrove menjadi tanaman kelapa sawit merupakan faktor penyebab
rusaknya kawasan hutan mangrove yang terdapat di Kampung Nelayan
(Simanjuntak, 2008).
Survey lapangan secara umum terlihat bahwa tambak yang ada di kawasan
mangrove Kabupaten Deli Serdang menggunakan sistem tambak intensif. Tambak
yang dikelola masyarakat berada di sekitar mangrove pada awalnya dilakukan
oleh beberapa kelompok masyarakat dalam skala kecil yang terdiri dari usaha
rumah tangga petani atau beberapa kelompok masyarakat. Pemanfaatan tambak
udang cukup menjanjikan, hanya saja memerlukan modal yang cukup besar dan
keuletan dari pengusaha tambak. Namun dalam pengelolaannya perlu tetap
memperhatikan lingkungan sehingga tidak sampai menyebabkan kerusakan
14
Universitas Sumatera Utara
mangrove, dan menjaga kelestarian dengan mengkombinasikan tanaman di dalam
tambak (silvofishery). Kawasan mangrove seluas 3.691,6 hektar terkonsentrasi di
wilayah Kecamatan Hamparan Perak di Kabupaten Deli Serdang. Oleh karena itu
perlu diteliti model pengelolaan hutan mangrove berbasis silvofishery dengan
mengakomodasi tambak dengan melibatkan masyarakat secara langsung di tiga
desa kawasan mangrove, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mendapatkan model dan
pengelolaan terbaik lahan mangrove dengan tambak yang berbasis silvofishery di
Desa Lama, Desa Paloh Manan, dan Desa Paloh Kurau, Kecamatan Hamparan
Perak, Kabupaten Deli Serdang.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1.
Diperoleh model dan pengelolaan lahan mangrove dengan tambak dalam
silvofishery di Kecamatan Hamparan Perak yang terbaik sehingga dapat
bermanfaat bagi pengguna model silvofishery dan masyarakat luas.
2.
Data dan hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian lebih
lanjut tentang upaya-upaya peningkatan peranan ekosistem mangrove sebagai
salah satu komponen pengembangan wilayah dalam ekologi dan ekonomi.
15
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
RAHMAT FAUZI HIDAYAT : Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis
Silvofishery Di Desa Lama, Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau,
Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Dibawah Bimbingan
MOHAMMAD BASYUNI dan YUNASFI.
Silvofishery merupakan pola pemanfaatan hutan mangrove yang
dikombinasikan dengan dengan tambak/empang. Pola ini dianggap paling cocok
untuk pemanfaatan hutan mangrove bagi perikanan saat ini. Model untuk
budidaya dalam tambak dilakukan dengan beberapa tingkatan yaitu non intensif,
semi intensif, dan intensif. Model Kao-Kao adalah sistem silvofishery dengan
tambak berada di tengah dan hutan mengelilingi tambak. Model Kao-Kao ini
mangrove ditanam pada tepian tanggul. Lebar tanggul 1-2 m dengan jarak antara
guludan adalah 5-10 m (disesuaikan dengan lebar tambak). Variasi yang lain
adalah mangrove ditanam di sepanjang tepian guludan dengan jarak tanam 1
meter.
Kata kunci : Silvofishery, mangrove, model tambak Kao-Kao
4
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
RAHMAT FAUZI HIDAYAT : Mangrove Forest Management Based
Silvofishery at Three Village : Lama, Paluh Manan and Paluh Kurau, Hamparan
Perak Distric, Deli Serdang Regency. Supervised by MOHAMMAD BASYUNI
and YUNASFI.
Silvofishery constitute utilization pattern of mangrove forest integrated
with fishpond. This pattern is currently most suitable for mangrove forest use and
fishery. The are three models for fishpond agriculture namely, non intensive,
intensive half, and intensive. Kao Kao model is silvofishery system with fishpond
was centered and forest surrounded to fishpond. This Kao Kao model, mangrove
was planted on the wide of levee. The wide of levee was 1-2 m, the distance among
the levees was 5-10 m, adjusted to fishpond area. Another variation of levee,
mangrove was planted along levee bank with 1 m distance.
Key word: Silvofishery , mangrove, Kao Kao model
5
Universitas Sumatera Utara
PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERBASIS
SILVOFISHERY DI DESA LAMA, DESA PALUH MANAN DAN
DESA PALUH KURAU, KECAMATAN HAMPARAN PERAK,
KABUPATEN DELI SERDANG
SKRIPSI
Oleh :
RAHMAT FAUZI HIDAYAT
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2014
1
Universitas Sumatera Utara
PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERBASIS
SILVOFISHERY DI DESA LAMA, DESA PALUH MANAN DAN
DESA PALUH KURAU, KECAMATAN HAMPARAN PERAK,
KABUPATEN DELI SERDANG
SKRIPSI
Oleh :
RAHMAT FAUZI HIDAYAT
101201056 / BUDIDAYA HUTAN
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Kehutanan Di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2014
2
Universitas Sumatera Utara
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian
:
Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Silvof