KAJIAN PENGEMBANGAN ALTERNATIF USAHA PRODUKTIF PADA INDUSTRI TEPUNG TAPIOKA RAKYAT (ITTARA) DI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

ABSTRAK
KAJIAN PENGEMBANGAN ALTERNATIF USAHA PRODUKTIF
PADA INDUSTRI TEPUNG TAPIOKA RAKYAT (ITTARA)
DI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR
Oleh
MUHADI
Industri Tepung Tapioka Rakyat (ITTARA) merupakan usaha agroindustri yang
mengolah ubi kayu menjadi tepung tapioka dalam skala kecil atau skala
perdesaan. Dalam perkembangannya, sebagian besar ITTARA tidak mampu
beroperasi lagi karena berbagai permasalahan, antara lain permasalahan pada
subsistem on farm (budidaya) dan off farm (subsistem pengolahan dan subsistem
pemasaran). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh konsep strategi yang
potensial sehingga usaha ITTARA khususnya di Lampung Timur tetap dapat
berkembang dan mampu memperoleh keuntungan secara ekonomis.
Pada penelitian ini, dilakukan analisis SWOT terhadap kondisi terkini ITTARA,
dan diperoleh sejumlah alternatif usaha perbaikan ITTARA, yang terdiri atas :
melakukan variasi produk akhir, melakukan usaha sampingan, memanfaatkan by
product dan melakukan peningkatan penggunaan teknologi serta efisiensi biaya
produksi. Analisis kemudian dilanjutkan dengan metode Analytical Hierarchy
Process (AHP). Alternatif terpilih selanjutnya diuji kelayakannya melalui
serangkaian analisis, seperti analisis pasar, teknis dan teknologi serta finansial.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi tapioka dengan proses dua kali
giling merupakan jenis usaha terpilih yang paling potensial untuk dikembangkan
dalam rangka peningkatan pendapatan pelaku usaha ITTARA. Faktor pendukung
kelayakan pengembangan produksi tapioka dengan proses dua kali giling antara
lain adalah kebutuhan tapioka dalam negeri sangat tinggi, dan teknologi yang
dibutuhkan sederhana dengan hasil yang efisien.
Produksi tapioka dengan proses dua kali giling memenuhi semua kriteria
kelayakan usaha yaitu NPV bernilai positif (Rp. 1.830.907.496), payback period
1,51 tahun (lebih kecil dari umur ekonomis usaha yaitu 10 tahun), IRR lebih besar
dari discount factor 12,5% (yaitu 51,05%), nilai B/C Ratio lebih besar dari 1
(yaitu 1,14). Produksi tapioka dengan proses dua kali giling juga menghasilkan
nilai tambah yang lebih tinggi (yaitu Rp.283,750/kg) dibandingkan dengan nilai
tambah tapioka dengan proses satu kali giling (yaitu Rp. 251,413/kg).
Kata kunci : ITTARA, tapioka dua kali giling, nilai tambah, kelayakan usaha.

ABSTRACT
A STUDY ON PRODUCTIVE BUSINESS ALTERNATIVE
DEVELOPMENT OF PUBLIC TAPIOCA POWDER INDUSTRY
(ITTARA) IN EAST LAMPUNG DISTRICT
By

MUHADI
The public tapioca industry (ITTARA) is an agroindustry business which
processes cassava into tapioca in small scale or village scale. Along its
development, the majority members of ITTARA were not able to operate any
longer because of some problems, such as on farm and off farm sub-system
problem (sub-system of processing and marketing). The objective of this research
was to obtain potential strategy concept for ITTARA to be able to develop and to
gain economical profit especially in East Lampung.
In this research, SWOT analysis has been conducted on current condition of
ITTARA and some alternatives of business improvements for ITTARA were
resulted such as diversifying final products, conducting additional business,
utilization of by product, improving technology used, and improving production
cost efficiency. This analysis was then followed by AHP method to get the best
alternative. The selected alternatives were then analyzed by feasibility test
including market analysis, technical and technology analysis, and financial
analysis.
The results showed that a two times milling tapioca production was the most
potential selected business type to be developed for increasing ITTARA
entrepreneur’s income. The feasibility supporting factors of this selected business
were very high domestic tapioca demand and simple technology needed with

efficient result.
Based on feasibility study, the two times milling tapioca production met all
business feasibility criteria: positive NPV value (Rp. 1,830,907,496), 1.51 year
payback period (smaller than economic business period of 10 years), IRR
(51.05%) that bigger than discount factor (12.5%), and B/C ratio value (1.14) that
bigger than 1. A two times milling tapioca production also produced higher
additional value (Rp. 283.750 /kg) than those of one milling tapioca production
(Rp. 251.413 /kg).

Keywords

: ITTARA, two times milling tapioca production, additional value,
business feasibility

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Pati, Jawa Tengah pada tanggal 2 Juli 1966, sebagai anak ke
empat dari lima bersaudara, dengan orang tua bernama Bapak Saridjojo Sanding
dan Ibu Mu’inah.


Penulis mengawali pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Negeri Tambahmulyo,
Kabupaten Pati, diselesaikan pada tahun 1979, Sekolah Menengah Pertama Negeri
I Pati, diselesaikan pada tahun 1982, dan Sekolah Menengah Atas Kristen Metro,
diselesaikan pada tahun 1985. Pada tahun 1989, penulis melanjutkan pendidikan
pada Jurusan Budidaya Pertanian Sekolah Tinggi Pertanian Dharma Wacana
Metro. Pada tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi
Magister Teknologi Industri Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Penulis pertama kali berkerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada tahun 1988 di
Balai Proteksi Tanaman Pangan Wilayah Sumatera Selatan pada bidang
Perlindungan Tanaman. Sejak tahun 1996, penulis bekerja di Dinas Pertanian
Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung, dan saat ini bertugas pada
Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Balai Pengembangan Lahan Kering dan
Alat Mesin Pertanian, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi
Lampung.

Penulis menikah dengan Rani Februarini pada tahun 1997, dan telah dikaruniai
tiga orang anak, terdiri dari dua anak laki-laki dan satu anak perempuan.

MOTO


KEBAIKAN HIDUP KITA
ADALAH TANGGUNG JAWAB
KITA SENDIRI. APAPUN KATA
ORANG LAIN YANG PENTING
KITA TETAP HARUS HIDUP
DALAM KEBAIKAN.
-----------------------------------------------------------------------------------

SELALU LAKUKAN YANG TERBAIK.
APAPUN YANG ANDA TANAM SAAT INI,
AKAN ANDA PANEN DI KEMUDIAN HARI.
----------------------------------------------------

SANWACANA

Dalam kemuliaan, keagungan dan kasih sayang Allah ‘Azza wa Jalla, akhirnya
penyusunan tesis ini dapat terselesaikan, maka kepadaNyalah puji syukur yang
tak terhingga penulis panjatkan.. Atas terciptanya karya ini, penulis juga
menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan kepada :

1.

Ir. Neti Yuliana, M.Si., Ph.D., selaku Pembimbing Utama,

pembimbing

Akademik dan Ketua Program Magister Teknologi Industri Pertanian yang
telah membimbing, mengarahkan dan membantu dalam proses penyusunan
tesis ini.
2.

Ir. Suriaty Situmorang, M.Si., selaku Pembimbing Kedua, yang telah
memberikan arahan dan saran dalam proses penyusunan tesis ini.

3.

Dr. Eng. Ir. Udin Hasanudin, M.T., selaku Pembahas, yang telah memberikan
masukan, saran dan arahan yang sangat berguna bagi kesempurnaan tesis ini.

4.


Bapak dan ibu dosen pengajar Program Pascasarjana Magister Teknologi
Industri Pertanian, yang dengan tulus telah memberikan ilmu pengetahuan
yang berguna bagi penulis.

5.

Karyawan dan Staf Program Pascasarjana Magister Teknologi Industri
Pertanian, yang telah membantu dalam proses kegiatan belajar mengajar.

6.

Istriku Rani Februarini dan ketiga buah hatiku tercinta Fafa, Qiqi dan Aning,
yang tak henti-hentinya memberikan doa, dukungan dan semangat yang tulus
dan luar biasa kepada penulis.

7.

Keluarga besar Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi
Lampung, yang telah membantu dalam kelancaran penyusunan tesis ini.


8.

Keluarga besar MTIP Angkatan 2010, yang telah berjuang dan bergandeng
tangan bersama dalam menyelesaikan studi

9.

Rekan, teman dan sahabat-sahabatku, yang selalu memberikan doa dan
dukungan dalam penyusunan tesis ini.

10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala bantuan
dan motivasinya selama penulis menyelesaikan studi dan penyusunan tesis
ini.
Akhirnya, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan, dan
khususnya bagi keberadaan dan kelangsungan industri tepung tapioka rakyat
(ITTARA) di Kabupaten Lampung Timur.

Bandar Lampung, Juni 2014
Penulis


Muhadi

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................

Iii

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................

V

I

PENDAHULUAN .............................................................................

1

A.

B.
C.
D.
E.

Latar Belakang dan Masalah .....................................................
Tujuan Penelitian ......................................................................
Kerangka Pemikiran ..................................................................
Hipotesis ...................................................................................
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ………………………

1
5
5
8
9

TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................

10


A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.

Industri Tepung Tapioka Rakyat (ITTARA) ............................
Proses Produksi Tepung Tapioka pada ITTARA .....................
Tepung Tapioka ........................................................................
Produksi Tepung Tapioka dengan Proses Dua Kali Giling ......
Pengelolaan Limbah Padat ........................................................
Tapioka Basah ...........................................................................
Metode Pengembilan Keputusan Kriteria Majemuk ................
1. Perumusan Strategi dengan Analisis SWOT .......................
2. Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) …………….
Nilai Tambah …………………………………………………
Teori Kelayakan Usaha ……………………………………….
Analisis Finansial Kelayakan Usaha ………………………….

10
12
16
17
19
20
21
21
27
29
31
33

METODOLOGI PENELITIAN ........................................................

36

A.
B.
C.

Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................
Metode Penelitian dan Pengumpulan Data ..............................
Tahapan Pelaksanaan Penelitian ...............................................
1. Penentuan Strategi Perbaikan dengan Analisis SWOT .......
2. Penentuan Alternatif Usaha Terpilih ..................................
3. Analisis Nilai Tambah .........................................................
4. Analisis Kelayakan Usaha ...................................................
Batasan Operasional Penelitian .................................................

36
36
37
37
39
40
41
44

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................................

47

II

H.
I.
J.
III

D.

A.

Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Lampung Timur ..........
1. Keadaan Geografi dan Luas Wilayah ................................

47
47

2.
B.
C.
D.

E.

V.

Kondisi Sarana dan Prasarana ...........................................

50

Penentuan Strategi Perbaikan ITTARA dengan Analisis
SWOT ....................................................................................... 53
Pemilihan Strategi dengan Metode Analytical Hierarchy
Process ……………………………………………………….. 64
Nilai Tambah Produk Diversifikasi .......................................... 74
1. Nilai Tambah Alternatif Usaha ITTARA yang tidak
Melakukan Pengelolaan Limbah Padat ............................. 77
2. Nilai Tambah Alternatif Usaha ITTARA yang
Dipadukan dengan Melakukan Pengelolaan Limbah
Padat .................................................................................. 81
Analisis Kelayakan Usaha ........................................................ 87
1. Analisis Diskriptif Kualitatif ............................................... 87
a. Aspek Bahan Baku ........................................................ 87
b. Aspek Pasar ................................................................... 90
c. Aspek Teknologi ............................................................ 92
2. Anaisis Finansial .................................................................. 94
a. Asumsi ........................................................................... 94
b. Biaya Investasi ............................................................... 94
c. Biaya Produksi ............................................................... 96
d. Proyeksi Laba Bersih ..................................................... 98
e. Kriteria Kelayakan Investasi .......................................... 101

KESIMPUAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ...............................................................................
B. Saran .........................................................................................

103
104

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................

105

LAMPIRAN ................................................................................................

109

DAFTAR TABEL

Tabel

Halaman
Daftar ITTARA yang masih aktif di Kabupaten Lampung Timur, tahun
2008 ....................................................................................................

11

Perusahaan industri tapioka skala besar di Kabupaten Lampung
Timur, tahun 2008 ..............................................................................

11

3.

Fasilitas dan peralatan produksi ITTARA, tahun 2005…….……….

12

4.

Skala perbandingan Saaty ….………………………………………

29

5.

Prosedur perhitungan nilai tambah metode Hayami ……………….

41

6.

Luas Kecamatan dan jumlah desa di Kabupaten Lampung Timur,
tahun 2012 ….……………………………………………………….

49

Perkembangan luas panen dan produksi ubi kayu di Kabupaten
Lampung Timur, tahun 2005 – 2012 ……………………………….

50

Matriks Internal Factor Evaluation usaha ITTARA Lampung
Timur ………………………………………………………………..

53

Matriks Eksternal Factor Evaluation usaha ITTARA Lampung
Timur ………………………………………………………………..

54

10.

Analisis nilai tambah berbagai jenis alternatif usaha pada ITTARA.

75

11.

Perbedaan upah tenaga kerja langsung agroindustri tapioka ……….

78

12.

Perbedaan komponen input lain pada agroindustri tapioca di
Lampung Timur, tahun 2012 ………………………………………. 79

13

Analisis nilai tambah usaha ITTARA produksi tapioka basah yang
tidak melakukan pengelolaan limbah padat di Lampung Timur…… 86

14.

Perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi ubikayu di
Kabupaten Lampung Timur, tahun 2005 – 2012 …………………... 88

1.

2.

7.
8.
9.

15.

Asumsi dan parameter untuk analisis finansial usaha ITTARA di
Lampung Timur, tahun 2012 ………………………………………. 95

16.

Rekapitulasi biaya investasi ………………………………………... 96

17.

Biaya investasi dan umur ekonomis ITTARA dengan proses dua
dan satu kali giling di Lampung Timur, tahun 2012 ……………….. 97

18.

Komponen biaya produksi tahun pertama ………………………….

19.

Proyeksi perolehan laba bersih agroindustri tapioka tanpa
pengelolaan limbah padat di Lampung Timur, tahun 2012 ………... 99

20.

Proyeksi penerimaan agroindustri tapioka tahun pertama ………….

21.

Perbandingan kelayakan investasi agroindustri tapioka di Lampung
Timur, tahun 2012 ………………………………………………….. 101

98

99

DAFTAR GAMBAR

Gambar
1.

Halaman

Skema Kerangka Pikir Penelitian Kajian Pengembangan Alternatif
Usaha Produktif Pada Industri Tepung Tapioka Rakyat (ITTARA)

8

Di Kabupaten Lampung Timur ……………………………………
2

Diagram alir proses pengolahan tepung tapioka pada ITTARA di
Provinsi Lampung, tahun 2011 ........................................................

3

15

Diagram alir produksi tepung tapioka dengan proses dua kali
giling di ITTARA di Kabupaten Lampung Timur, 2012 .................

18

4

Matriks SWOT Kearns …………………………………………….

22

5

Format Perhitungan Analisis SWOT ………………………………

25

6

Kuadran analisis SWOT …………………………………………...

25

8

Struktur hierarki dalam metode AHP ……………………………...

28

9

Skema tahapan pelaksanaan penelitian …..………………………..

37

10

Skema hierarki penentuan jenis diversifikasi usaha ITTARA di
Lampung Timur, tahun 2012 ……………………….……. ……….

40

11

Grafik analisis SWOT ITTARA Lampung Timur ………………...

55

12

Formulasi strategi kinerja pengembangan usaha ITTARA …….....

63

13

Beberapa

alternatif

penganekaragaman

usaha

yang

dapat

dilakukan ITTARA …………………………………………..……

64

14

Skema hierarki penentuan jenis diversifikasi usaha ITTARA …….

69

15

Tingkat kepentingan kriteria dalam penentuan diversifikasi usaha .

69

16

Tingkat kepentingan alternatif diversifikasi usaha ………………...

72

17

Neraca massa industri tapioka rakyat (ITTARA) …………………

82

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Pengembangan agroindustri ubi kayu di Lampung didukung oleh ketersediaan
lahan, prospek yang menguntungkan, ketersediaan industri pengolahan skala besar
dan kecil, peningkatan permintaan ubi kayu untuk kebutuhan lokal dan ekspor,
ketersediaan sumber daya manusia, serta pengalaman bertani yang cukup lama
(Tim Fakultas Pertanian Unila, 2006). Sejalan dengan hal tersebut, maka sejak
tahun 1990 Pemerintah Kabupaten Lampung Timur sebagai wilayah penghasil ubi
kayu telah menggalakkan upaya pengembangan kawasan agroindustri ubi kayu
berbasis petani perdesaan. Upaya tersebut dilaksanakan melalui program
pengembangan Industri Tepung Tapioka Rakyat (ITTARA). Industri Tepung
Tapioka Rakyat merupakan industri pengolahan tapioka berskala kecil dengan
kapasitas 1 – 5 ton tapioka per satu kali penggilingan (Anonim, 2000).

Sebagai sebuah kebijakan yang didasarkan pada konsep ekonomi kerakyatan,
ITTARA pada tahun 1990-an berkembang pesat dengan berbagai kebijakan yang
diberikan oleh Pemerintah Provinsi Lampung, antara lain bantuan anggaran,
kemudahan perizinan serta bimbingan. Melalui berbagai kebijakan tersebut, pada
tahun 1998 telah berdiri 128 unit ITTARA dari berbagai sumber dana, antara lain
dari APBD I, APBD II, kerja sama dengan bank, serta swadaya masyarakat

2

(Anonim, 2000). Akan tetapi kondisi tersebut tidaklah bertahan lama, dan saat ini
cenderung banyak yang sudah tidak aktif lagi. Sebagian besar ITTARA, terutama
yang pembangunannya difasilitasi oleh Pemerintah, saat ini tidak lagi mampu
berproduksi secara optimal, bahkan sebagian sudah tidak beroperasi lagi.
Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lampung
Timur, pada tahun 2008 terdapat 12 unit ITTARA yang masih beroperasi di
Kabupaten Lampung Timur.

Menurut Tim Fakultas Pertanian Unila (2006), secara umum permasalahan yang
dihadapi ITTARA adalah permasalahan pada subsistem on farm (budidaya), dan
off farm (subsistem pengolahan dan subsistem pemasaran). Keadaan ini
menyebabkan tidak adanya keuntungan sehingga berujung pada penutupan usaha.
Permasalahan utama pada subsistem on farm adalah masih rendahnya
produktivitas lahan (15-25 ton/ha) dan kadar pati.

Rendahnya produktivitas

tersebut disebabkan oleh teknik budidaya yang semi intensif, sedangkan
rendahnya kadar pati disebabkan oleh pemanenan ubi kayu yang dilakukan saat
tanaman belum mencapai umur optimum. Hal tersebut menyebabkan usaha
ITTARA kesulitan untuk berproduksi secara efisien pada kapasitas terpasang
normal (20-50 ton/hari) dan hanya mampu mencapai 40% dari kapasitas tersebut.

Permasalahan pada subsistem off farm antara lain adalah teknologi pengolahan
masih sederhana, ketersediaan ubi kayu berfluktuasi sepanjang tahun, kemitraan
antara ITTARA dengan petani hanya sebatas transaksi jual beli ubi kayu, serta
belum dikembangkannya teknologi pemanfaatan hasil samping (limbah) menjadi
produk yang lebih bernilai dalam rangka meningkatkan nilai tambah bagi

3

pengusaha. Kendala lain pada subsistem off farm terjadi pada sistem pemasaran,
antara lain belum adanya bantuan pemasaran produk dari pemerintah, masih
terbatasnya pengetahuan tentang manajemen agribisnis dan agroindustri, masih
kurangnya keberanian dalam mengambil resiko usaha serta persaingan dengan
industri tapioka skala menengah dan besar dalam memperoleh bahan baku ubi
kayu.

Kajian terhadap sisi off farm (subsistem pengolahan) sangat diperlukan, karena
pengolahan memiliki dampak yang signifikan bagi pengembangan usaha ITTARA
karena dapat memberikan nilai tambah bagi suatu bahan baku. Menurut
Soekartawi (1991), peranan agroindustri pengolahan hasil pertanian mampu
meningkatkan pendapatan masyarakat perdesaan, menyerap tenaga kerja, dan
meningkatkan devisa negara.

Untuk membangkitkan kembali kejayaan usaha ITTARA dibutuhkan upaya
terobosan baru yang prospektif agar ITTARA tetap dapat berkembang dan
memperoleh keuntungan secara ekonomis. Salah satunya adalah melalui
diversifikasi usaha bernilai tambah melalui proses pengolahan. Strategi yang
dikembangkan harus tetap memperhatikan keunggulan ITTARA di antaranya
menggunakan teknologi dan proses yang sederhana, modal investasi yang relatif
kecil serta manajemen usaha yang tidak rumit.

Penerapan strategi tersebut harus pula memperhatikan kondisi internal dan
eksternal ITTARA, mengingat strategi ini diterapkan dalam rangka memperbaiki
kondisi ITTARA, sehingga faktor internal dan eksternal menjadi faktor penting
yang dapat mempengaruhi keberhasilan penerapan strategi tersebut. Faktor yang

4

perlu diperhatikan adalah kekuatan (strength) yang dimiliki, kelemahan (weakness)

yang dihadapi, peluang atau kesempatan (opportunity) yang seharusnya diraih dan
ancaman (threat) yang mungkin berpengaruh pada masa depan ITTARA. Dengan
mengetahui faktor kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman, maka strategi
yang disusun dapat mewakili kondisi ITTARA yang sebenarnya.

Strategi yang diterapkan dititikberatkan pada pengolahan dengan tujuan
mendapatkan nilai tambah. Strategi ini diuraikan dalam beberapa konsep yang
akan dipilih melalui metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Penggunaan
metode ini diharapkan dapat menghasilkan satu konsep terbaik yang pemilihannya
dilakukan dengan melibatkan beberapa orang pakar yang terlibat, baik secara
langsung maupun tidak langsung, terhadap ITTARA. Beberapa konsep yang
dipilih melalui metode Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah pengolahan
tepung tapioka dengan dua kali penggilingan, pengelolaan limbah padat tapioka
serta pengolahan tepung tapioka basah.

Penelitian ini akan mengkaji pengembangan alternatif usaha ITTARA dengan
memperhatikan berbagai aspek serta melalui serangkaian analisis, meliputi
pengkajian faktor eksternal dan internal (analisis SWOT), penentuan konsep
pengembangan ITTARA (metode Analytical Hierarchy Process), analisis nilai
tambah terhadap berbagai konsep strategi pengembangn usaha ITTARA, serta
analisis kelayakan pengembangannya ditinjau dari aspek bahan baku, pasar dan
teknologi, serta finansial. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi para
pengambil kebijakan dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan

5

ITTARA, sehingga dapat kembali berjaya, khususnya di Kabupaten Lampung
Timur.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan tujuan :
1.

Memperoleh konsep strategi yang potensial sehingga usaha ITTARA di
Lampung Timur tetap dapat berkembang dan memperoleh keuntungan secara
ekonomis.

2.

Mengetahui nilai tambah terhadap berbagai konsep strategi pengembangn
usaha ITTARA di Lampung Timur.

3. Mengetahui kelayakan penerapan konsep tersebut pada usaha ITTARA
ditinjau dari aspek pasar, teknis, teknologi, dan finansial.

C. Kerangka Pemikiran

Latar belakang yang mendasari Pemerintah Kabupaten Lampung Timur
mengembangkan proyek Industri Tepung Tapioka Rakyat (ITTARA) adalah
dalam rangka meningkatkan nilai tambah dengan menggalakkan industri
pengolahan ubi kayu menjadi tapioka di tingkat petani (skala perdesaan). Fakta di
lapangan saat ini menunjukkan bahwa sebagian besar ITTARA yang
pembangunannya difasilitasi oleh pemerintah tersebut justru tidak beroperasi
secara efektif. Faktor penyebabnya pun saling berkaitan, mulai dari budidaya,
pasca panen, pengolahan, pemasaran hingga kelembagaan.

6

Upaya mengembalikan kejayaan ITTARA diperlukan perbaikan kebijakan lintas
sektoral. Setiap lini yang mempengaruhi keberhasilan pengembangan kembali
ITTARA harus memberikan pengaruhnya sehingga terjadi upaya perbaikan dari
semua lini. Oleh sebab itu dibutuhkan upaya perbaikan terintegrasi dengan
melibatkan semua stakeholder.

Perbaikan dari sisi teknologi pengolahan merupakan salah satu upaya perbaikan
untuk mengembalikan tujuan dasar pendirian ITTARA, yaitu dalam rangka
peningkatan nilai tambah dengan menggalakkan industri pengolahan ubi kayu
menjadi tapioka berbasis perdesaan. Pada umumnya ITTARA masih menerapkan
metode tradisional dengan teknologi sederhana tanpa penerapan GHP (Good
Handling Practices) dan GMP (Good Manufacturing Practices) dalam proses
pengolahannya, sehingga mutu produk yang dihasilkan pun rendah dan tidak
konsisten (Trijaya, 2005).

Di sisi lain, industri pengolahan ubi kayu skala besar relatif terbatas, sedangkan
industri pengolahan makanan dan minuman maupun non pangan berbahan baku
olahan ubi kayu cukup berkembang. Kondisi ini berdampak pada meningkatnya
permintaan olahan ubi kayu seperti pati dan tepung tapioka. Produk utama usaha
ITTARA berupa tepung tapioka memiliki peluang pasar yang cukup potensial,
baik dalam maupun luar negeri. Permintaan dalam negeri berasal dari Surabaya,
Bogor, Tasikmalaya, Indramayu serta Sumatera Selatan, sedangkan permintaan
pasar luar negeri berasal dari negara-negara Asia dan Eropa (Tim Fakultas
Pertanian Unila, 2006). Menurut BPS (2012), produksi tepung tapioka lokal hanya
mampu memenuhi 25% dari total kebutuhan, sedangkan 75% kekurangannya

7

dipenuhi dari impor terutama dari Jerman dan Amerika Serikat. Dengan demikian
kemampuan produsen tepung tapioka lokal dalam memenuhi permintaan pasar
belum optimal dan merupakan peluang pasar yang besar bagi ITTARA.

Upaya peningkatan nilai tambah dapat dioptimalkan dengan cara meningkatkan
grade produk tapioka yang dihasilkan atau dengan cara melakukan pengolahan
pada limbah yang dihasilkan. Pengelolaan limbah industri tapioka yang dilakukan
dengan baik, selain dapat mengatasi masalah pencemaran lingkungan juga mampu
memberikan nilai tambah, karena menghasilkan suatu produk baru. Konsep inilah
yang akan dikaji dalam rangka upaya pengembalian kembali kejayaan ITTARA
ditinjau dari sisi teknologi pengolahan.

Konsep perbaikan ITTARA harus mengadaptasi dari kondisi terkini ITTARA
yang ada dengan menyertakan kondisi internal dan eksternal melalui analisis
SWOT (strength, weakness, opportunity, and threat). Analisis SWOT akan
melahirkan sejumlah alternatif usaha perbaikan ITTARA, yang selanjutnya
dianalisis menggunakan bantuan metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
dengan bantuan beberapa pakar. Berbagai alternatif usaha perbaikan ITTARA
selanjutnya diuji nilai tambahnya, kemudian alternatif yang terpilih diuji
kelayakannya melalui serangkaian analisis meliputi analisis pasar, teknis dan
teknologi serta dikaji analisis finansialnya mengingat tujuan akhir penerapan
konsep perbaikan adalah meningkatkan pendapatan pemilik ITTARA ditinjau dari
sisi ekonomi. Skema kerangka pikir penelitian disajikan dalam Gambar 1.

8

Permasalahan utama terjadi pada sektor off farm

Diperlukan upaya perbaikan pengelolaan
ITTARA di Lampung Timur
ditinjau dari sisi teknologi pengolahan

Alternatif upaya perbaikan pengelolaan
ITTARA di Lampung Timur

(1).
Analisis kondisi
eksternal dan internal
ITTARA melalui
analisis SWOT
(strength, weakness,
opportunity, threat)

Hasil yang ingin
dicapai

Tujuan & sasaran

Latar belakang & rumusan

Pengelolaan ITTARA di Kabupaten Lampung Timur
belum optimal, cenderung stagnan, tidak menguntungkan
secara finansial bahkan sebagian tidak beroperasi lagi

(2).
Penentuan
alternatif
usaha
perbaikan
ITTARA
melalui AHP

(3).
Analisis
nilai
tambah

(2).
Analisis kelayakan
penerapan alternatif
terpilih meliputi
aspek pasar, bahan
baku, teknologi,
serta finansial

Perbaikan kondisi ITTARA di Lampung Timur
secara ekonomis dan finansial

Gambar 1. Skema kerangka pikir penelitian Kajian Pengembangan Alternatif
Usaha Produktif pada ITTARA di Kabupaten Lampung Timur, tahun
2012

D. Hipotesis

Alternatif usaha perbaikan ITTARA yang terpilih layak dilaksanakan di Lampung
Timur, ditinjau dari aspek pasar, teknis, teknologi, dan finansial.

9

E. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Penelitian dilakukan terhadap beberapa alternatif usaha yang dilakukan oleh
pengusaha ITTARA di Lampung Timur dalam upaya meningkatkan pendapatan
guna mempertahankan usaha utamanya, yaitu produksi tapioka, meliputi :
1.

Usaha produksi tepung tapioka dengan proses dua kali giling

2.

Usaha produksi tepung tapioka basah

3.

Usaha pengelolaan limbah padat.

Penelitian tidak dilakukan terhadap usaha pengelolaan limbah cair mengingat
usaha tersebut belum mampu dilakukan oleh pengusaha ITTARA di Lampung
Timur, karena adanya kendala dari sisi teknologi dan modal.

10

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Industri Tepung Tapioka Rakyat (ITTARA)

Industri Tepung Tapioka Rakyat (ITTARA) merupakan usaha agroindustri yang
mengolah ubi kayu menjadi tepung tapioka dalam skala kecil atau skala
perdesaan. ITTARA merupakan salah satu jenis industri sektor pertanian yang
memberi andil cukup besar terhadap perkembangan ekonomi masyarakat terutama
di Pulau Jawa dan Sumatera (Hasanudin, 2006). Kapasitas produksi berkisar
antara 5 sampai 100 ton ubi kayu segar per hari. Teknologi yang digunakan
tergolong teknologi mekanik sederhana. Pada teknologi ini, sebagian proses
produksi menggunakan mesin penggerak untuk melakukan pemarutan dan
pengepresan, sedangkan pengeringan masih mengandalkan bantuan sinar
matahari, atau tepung tapioka dijual secara langsung dalam keadaan basah.

Pada tahun 1990an telah berkembang usaha agroindustri ITTARA di Lampung,
sebagian berdiri atas fasilitas dari Pemerintah dan sebagian lagi berdiri atas
swadaya petani.

Dalam perkembangannya, sebagian ITTARA tidak mampu

beroperasi lagi karena berbagai kendala. Berdasarkan data Dinas Perindustrian
dan Perdagangan Kabupaten Lampung Timur tahun 2008, terdapat 12 unit
ITTARA yang masih beroperasi di Kabupaten Lampung Timur seperti disajikan
pada Tabel 1.

11

Tabel 1. Daftar ITTARA yang masih aktif di Kabupaten Lampung Timur, tahun
2008
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Nama Perusahaan
Anugerah Mandiri
CV. Karya Indah
PT Kedaton Mandiri
PT Obeng Taholo
PT Tjung Sanjaya
Rukun Sentausa
Sumber Maju
Wonosari
Heri Prasetyo
Herman Juntak
Sejahtera Mandiri
Soesilowati

Lokasi
Batanghari Nuban
Sekampung Udik
Batanghari Nuban
Batanghari Nuban
Labuhan Ratu
Sukadana
Batanghari Nuban
Pekalongan
Sekampung Udik
Batanghari Nuban
Batanghari Nuban
Labuhan Ratu
Jumlah

Kapasitas Produksi
(Ton/Tahun)*
1.500
1.500
3.000
4.000
3.000
2.000
2.000
2.500
1.800
1.800
2.000
5.000
30.100

* Kapasitas terpasang dalam izin
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Lampung Timur, 2008
Perusahaan tapioka skala besar yang ada di Kabupaten Lampung Timur disajikan
pada Tabel 2.

Tabel 2. Perusahaan industri tapioka skala besar di Kabupaten Lampung Timur,
tahun 2008
No

Nama Perusahaan

1
2
3
4
5
6
7
8
9

CV. Way Raman
PT. Budi Acid Jaya
PT. Florindo Makmur
PT. Inti Sumber Agung
PT. Muara Jaya
PT. Umas Jaya Agrotama
PT. Wira Kencana Adiperdana
PT. Wira Kencana Adiperdana
PT. Sorini Co

Alamat
Raman Utara
Labuhan Ratu
Batanghari Nuban
Batanghari
Sukadana
Sekampung Udik
Batanghari Nuban
Labuhan Ratu
Way Bungur
Jumlah

Kapasitas Produksi
(Ton/Tahun)*
13.824
75.000
75.000
8.000
8.000
75.000
75.000
75.000
120.000
524.824

* Kapasitas terpasang dalam izin
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Lampung Timur, 2008

12

Untuk memproduksi tapioka dengan kapasitas 30 ton ubi kayu per hari,
agroindustri ITTARA membutuhkan fasilitas dan peralatan produksi sebagaimana
disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Fasilitas dan peralatan produksi ITTARA, tahun 2005
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Fasilitas/peralatan produksi
Mesin Penggerak/Generator
Mesin Parut
Mesin Pompa
Mesin Ayakan
Bak Kaca
Bak Penampung
Alat Semprot
Saringan
Bambu
Pipa
Rak
Tambir
Mesin Induk
Timbangan

Satuan
Unit
Unit
Unit
Unit
m2
Unit
Unit
Unit
Unit
Set
m2
Unit
Unit
Unit

Jumlah/nilai
2
2
2
10
25
4
1
10
1000
1
16
1.000
1
2

Sumber : Ditjen P2HP Departemen Pertanian RI, 2005

B. Proses Produksi Tepung Tapioka pada ITTARA

Proses produksi tepung tapioka di ITTARA merupakan suatu mata rantai yang
dimulai dari proses penerimaan bahan baku ubi kayu, pengupasan kulit,
pencucian, pemotongan, pemarutan, pengekstrasian, pengendapan, pengeringan,
penggilingan, pengayakan, pengemasan, dan penggudangan. Ubi kayu diperoleh
dari pemasok di daerah sekitar, penerimaannya dilakukan dengan cara
penimbangan terhadap berat bersih ubi kayu melalui jembatan timbang (Prayati,
2005). Selanjutnya, ubi kayu dikumpulkan di ruang bahan baku kemudian
dilakukan proses produksi. Menurut Prayati (2005), proses produksi tapioka
meliputi tahapan :

13

1. Tahap Pengupasan/pencucian
Ubi kayu segar dimasukkan ke dalam alat pengupas kulit sekaligus mesin
pembersih yang bertujuan untuk memisahkan ubi kayu dari kotoran-kotoran yang
melekat, kerikil, pasir, dan kulit ubi kayu. Selama pengupasan, sortasi juga
dilakukan untuk memilih ubi kayu berkualitas tinggi dari ubi kayu lainnya.

2. Tahap Pengecilan ukuran dan Pemarutan
Setelah ubi kayu bersih kemudian dilakukan tahap pemotongan atau pengecilan
ukuran dan pemarutan yang bertujuan untuk memperkecil ukuran ubi kayu serta
membantu untuk menghancurkan dinding sel ubi kayu agar diperoleh hasil yang
maksimal. Pemarutan dilakukan dengan menggunakan parut semi mekanis yang
digerakkan dengan generator.

3. Tahap Pemerasan/Ekstraksi
Tahap pengekstraksian bertujuan untuk memisahkan cairan yang mengandung
pati dengan ampas. Pengekstrasian (bubur ubi kayu) dilakukan dengan
menggunakan saringan goyang (sintrik). Bubur ubi kayu diletakkan di atas
saringan yang digerakkan dengan mesin. Pada saat saringan tersebut bergoyang,
kemudian ditambahkan air melalui pipa berlubang. Cairan pati yang dihasilkan
ditampung ke dalam kolam pengendapan yang terbuat dari keramik. Pada tahap
ini didapatkan ampas ubi kayu yang disebut onggok dengan jumlah yang relatif
banyak, yaitu untuk setiap produksi 1 ton ubi kayu diperoleh onggok sebanyak
0,114 ton.

4. Tahap Pengendapan
Pati yang bercampur air diendapkan dalam bak penampung untuk memisahkan

14

cairan pati yang kental dan berat dengan cairan yang ringan atau air limbah. Bak
penampungan berukuran kurang lebih 2 m x 100 m membentuk huruf (letter) U.
Semua dinding dilapisi keramik untuk menjaga kebersihan dan memudahkan
dalam pengambilan pati untuk proses selanjutnya. Karena berat jenis pati lebih
berat dari pada air, maka pati akan mengendap pada bagian bawah, sedangkan air
yang berada pada posisi di atas akan dibuang dengan cara dialirkan dan akan
menjadi limbah cair. Proses pengendapan dalam bak berlangsung selama kurang
lebih 5 jam. Untuk mempercepat pengendapan, dapat ditambahkan tawas atau
aluminium sulfat Al2(SO4)3, sedangkan untuk memperbaiki warna dapat
ditambahkan natrium bisulfit (Na2SO4).
5. Tahap Pengeringan, Penggilingan dan Pengayakan.
Dari bak penampung, pati yang masih basah selanjutnya dikeringkan menjadi
tepung. Sistem pengeringan bisa menggunakan oven, sedangkan pada agroindustri
ITTARA, pengeringan menggunakan sinar matahari, dengan cara menjemur
tapioka dalam nampan atau widig atau tambir yang diletakkan di atas rak-rak
bambu selama 1-2 hari (tergantung dari cuaca). Hasil pengeringan ini masih
berupa gumpalan tepung kasar, yang kemudian digiling dan diayak untuk
mendapatkan tepung tapioka yang halus sebagai produk jadi.

6. Tahap Pengemasan
Produk yang dihasilkan dari proses pengayakan berupa tepung halus kemudian
dikemas dengan menggunakan karung yang terbuat dari nilon. Tepung tapioka
yang telah dikemas disimpan dalam gudang. Diagram alir proses pengolahan
tepung tapioka ITTARA disajikan pada Gambar 2.

15

Ubi kayu

Air

Pengupasan kulit

Tanah dan kulit

Pencucian

Limbah cair

Pengecilan ukuran

Air

Pemarutan
Air

Pengekstraksian

Onggok

Air

Pengendapan

Limbah cair

Pengeringan

Penggilingan

Pengayakan

Tepung tapioka
Pengemasan

Penggudangan
Gambar 2. Diagram alir proses pengolahan tepung tapioka pada ITTARA di
Provinsi Lampung, tahun 2011
Sumber : Dedi Aprizal, 2011

16

Dalam proses produksi tepung tapioka (seperti diuraikan sebelumnya) terdapat
tiga jenis limbah, yaitu :
1. Kulit ubi kayu dan meniran, limbah ini dapat dimanfaatkan untuk bahan pakan
ternak dan kompos oleh penduduk yang ada di sekitarnya.
2. Ampas ubi kayu (onggok), merupakan ampas basah hasil pemisahan dengan
pati. Ampas ini mempunyai nilai ekonomi dan dapat digunakan untuk pakan
ternak dan pabrik asam sitrat.
3. Limbah cair, yang harus diolah terlebih dahulu agar tidak mengakibatkan
pencemaran lingkungan. Limbah cair ini juga bisa dimanfaatkan sebagai bio
gas untuk bahan bakar.

C. Tepung Tapioka

Tepung tapioka merupakan salah satu diversifikasi produksi tanaman ubi kayu
yang dihasilkan dari pemerasan/ekstraksi umbi ubi kayu (Manihot utilissima
Pohl). Tepung tapioka juga dikenal dengan nama tepung aci atau tepung kanji. Di
dunia perdagangan dikenal beberapa kualitas (grade) tepung tapioka (archive
kaskus.co.id/thread, 2010), antara lain :
1.

Grade 1. Tapioka Kering Oven Super (A1) merupakan tapioka yang
dikeringkan dengan menggunakan oven, untuk mendapatkan hasil yang lebih
putih dengan kadar keputihan minimal 94% dibandingkan dengan BaSO4
(Barium sulfate) dan lebih bersih.

2.

Grade 1. Tapioka Kering Matahari Super (A2) yaitu tapioka yang dikeringkan
menggunakan sinar matahari menghasilkan tapioka yang lebih mengembang.

17

Kebersihan dan keputihan tapioka tetap dijaga dengan kadar keputihan
minimal 92 % dibandingkan dengan BaSO4.
3.

Grade 2. Tapioka Reguler (A3), merupakan hasil produksi tapioka yang tidak
memenuhi spesifikasi tapioka A1 dan A2, dikeringkan dengan pengeringan
matahari. Tepung tapioka hasil produksi ITTARA sebagian digolongkan
dalam kualitas A2 dan sebagian lagi digolongkan dalam kualitas A3.

D. Produksi Tepung Tapioka dengan Proses Dua Kali Giling

Yang dimaksud dengan produksi tepung tapioka dengan proses dua kali giling
adalah usaha untuk menghasilkan tepung tapioka dengan kualitas yang lebih baik
(lebih bersih dan lebih putih) dibanding dengan tepung tapioka yang dihasilkan
oleh produksi ITTARA pada umumnya. Usaha ini dilakukan

dengan cara

melakukan penggilingan ulang terhadap tepung tapioka basah yang dihasilkan
pada proses produksi ITTARA. Setelah proses produksi tapioka mencapai tahap
pengendapan, tapioka yang masih basah dan menggumpal dimasukkan kembali ke
dalam mesin parut ke dua

untuk dilakukan proses pengahancuran kembali.

Proses penghancuran di dalam mesin parut kedua tersebut dilakukan dengan terus
memberikan aliran air bersih ke dalamnya, dan selanjutnya dialirkan ke dalam bak
penampung tapioka yang ke dua. Sebelum masuk ke dalam bak penampung,
terlebih dahulu aliran tapioka disaring dengan saringan yang lebih halus dari pada
saringan yang terdapat pada proses produksi tapioka satu kali giling. Pada proses
dua kali giling mampu memisahkan kotoran, serat dan bahan lain yang masih
terbawa pada proses satu giling. Diagram alir produksi tapioka dengan proses dua
kali giling disajikan pada Gambar 3.

18

Ubikayu

Air

Pengupasan kulit

Tanah dan kulit

Pencucian

Limbah cair

Pengecilan ukuran

Pemarutan

Air

Pengekstraksian

Air

Pengendapan

Air

Onggok

Limbah cair

Pemarutan/
Penggilingan Tahap 2

Pengendapan

Limbah cair +
padat

Pengeringan

Tepung tapioka 2
kali penggiingan
Pengemasan

Penggudangan
Gambar 3. Diagram alir produksi tepung tapioka dengan proses dua kali giling di
ITTARA di Kabupaten Lampung Timur, tahun 2012
Sumber : Data Primer (diolah)

19

E. Pengelolaan Limbah Padat
Salah satu alternatif usaha produktif dalam rangka meningkatkan pendapatan
usaha ITTARA adalah dengan jalan melakukan pengelolaan terhadap limbah
padat berupa onggok dan

meniran. Pada sebagian ITTARA, limbah padat

(onggok) yang dihasilkan langsung dijual kepada pembeli tanpa ada proses
pengelolaan (pengeringan) terlebih dahulu, bahkan untuk limbah meniran
biasanya hanya diberikan secara cuma-cuma kepada yang membutuhkan.
Limbah padat tapioka bersumber dari proses pengupasan, pengekstraksian dan
pengepresan.
Onggok merupakan ampas ubi kayu sisa hasil ekstraksi pati, yang masih memiliki
potensi pengembangan yang cukup tinggi bila dimanfaatkan. Pada industri besar
biasanya onggok diolah menjadi bahan baku pembuatan asam sitrat. Saat ini,
onggok tidak hanya dimanfaatkan untuk pembuatan asam sitrat saja tetapi onggok
juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pakan, pangan, obat
nyamuk, dupa dan lain sebagainya (Purwati, 2010).

Pada ITTARA pengolahan onggok masih dilakukan dengan cara yang sederhana,
yaitu dengan cara dijemur langsung di bawah sinar matahari. Komponen penting
yang terdapat dalam onggok adalah pati dan selulosa. Onggok juga mengandung
air dan karbohidrat yang cukup tinggi serta kandungan protein kasar dan lemak
yang rendah. Onggok yang dihasilkan oleh ITTARA karena tingkat ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dimiliki masih rendah maka masih mengandung
pati dengan konsentrasi yang cukup tinggi (Chardialani, 2008).

20

Selain onggok, limbah padat yang juga memiliki nilai ekonomis adalah meniran.
Limbah meniran yang terdiri dari kulit, bonggol, dan serpihan ubi kayu sisa hasil
ekstraksi yang telah dipisahkan dengan tanah dapat dimanfaatkan sebagai pakan
ternak. Limbah meniran ubikayu terdiri dari kulit (80%) serta bonggol dan
serpihan ubi (20%). Menurut Hikmiyati, et al. (2009), limbah kulit singkong dapat
menjadi sumber pakan ternak ruminansia karena kulit singkong memiliki
kandungan nutrisi yang lengkap, diantaranya serat, karbohidrat, lemak, dan
protein serta mineral makro.

F.

Tapioka Basah

Tapioka basah adalah produksi tapioka yang belum mengalami proses
pengeringan atau penjemuran sehingga produk ini belum dapat dikatakan sebagai
produk tepung. Tapioka basah dapat digolongkan sebagai produk setengah jadi
sebagai bahan baku bagi industri penghasil tepung tapioka skala besar.
Bagi sebagian pelaku usaha ITTARA, memproduksi tapioka basah dinilai
menguntungkan, karena tidak diperlukan

proses pengeringan, penggilingan,

pengayakan, dan pengemasan seperti pada proses produksi tepung tapioka yang
dilakukan ITTARA pada umumnya. Proses produksi menjadi lebih pendek dan
dapat menekan biaya produksi, karena proses produksi berhenti sampai pada tahap
pengendapan saja. Tepung basah langsung dijual kepada industri

tapioka

bersakala lebih besar yang telah melakukan pengeringan tapioka dengan
menggunakan oven. Dengan demikian produksi tepung tapioka basah dapat

21

menutupi kelemahan ITTARA dalam pengeringan tepung, yang selama ini masih
mengandalkan pada keberadaan sinar matahari.

G. Metode Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk

Pengambilan keputusan adalah suatu proses yang dilakukan berdasarkan
pengetahuan dan informasi yang tersedia. Keputusan dapat diambil dari beberapa
alternatif keputusan yang ada dengan dukungan sistem penunjang keputusan.
Metode pengambilan keputusan yang dapat digunakan antara lain adalah analisis
SWOT dan Analytical Hierarchy Process (AHP).
1.

Perumusan Strategi dengan Analisis SWOT

Analisis SWOT adalah suatu cara untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara
sistematis dalam rangka merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan
pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang
(opportunity), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan
(weakness) dan ancaman (threat). Proses pengambilan keputusan strategis selalu
berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan.
Dengan demikian, perencana strategis (strategic planner) harus menganalisis
faktor-faktor strategis perusahaan yang ada pada saat ini. Hal ini disebut dengan
analisis situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah analisis
SWOT (Rangkuti, 1998).

Analisis SWOT adalah analisis kondisi internal maupun eksternal suatu organisasi
yang selanjutnya akan digunakan sebagai dasar untuk merancang strategi dan

22

p
program
kerja.
ker
Analisi
isis internal m
meliputi penilaian
pen
terh
rhadap faktor
tor kekuatan
(
(strength)
dan
d kelemah
ahan (weakne
ness), sedang
ngkan analisis
sis eksternall mencakup
f
faktor
pelua
luang (opport
ortunity) dan
an tantangann (threat). Terdapat
T
du macam
dua
p
pendekatan
n dalam
d
analis
lisis SWOT,, yyaitu:
a
a.

Pendeka
katan Kualitat
tatif Matriks S
SWOT

P
Pendekatan
n kualitatif matriks
m
SWO
OT sebagaim
aimana dikem
mbangkan ol
oleh Kearns
m
menampilka
kan delapan ko
kotak seperti
rti yang ditunj
njukkan dalam
am Gambar 4,
4 yaitu dua
p
paling
atass adalah
a
kotak
ak faktor ekst
sternal (pelua
uang dan tant
ntangan) seda
dangkan dua
k
kotak
sebela
lah kiri adala
lah faktor inte
nternal (kekua
uatan dan keleemahan). Empat
Em
kotak
l
lainnya
mer
erupakan kotak
ko
isu-isu
su strategis yang
y
timbu
bul sebagaii hasil titik
p
pertemuan
antara
an
faktor--faktor intern
ernal dan ekste
sternal.

G
Gambar
4. Ma
Matriks SWOT
OT Kearns
Su
Sumber
: Ran
angkuti, 1998.
8.

K
Keterangan
gambar :
(a) Sel A: Comparative
C
ve Advantages
es
Sel inii merupakann pertemuann dua elemen
en kekuatann dan
d peluang
ng sehingga
member
erikan kemun
ungkinan bagi
gi suatu organ
anisasi untukk bisa berkem
mbang lebih
cepat.

23

(b) Sel B: Mobilization
Sel ini merupakan interaksi antara ancaman dan kekuatan. Di sini harus
dilakukan upaya mobilisasi sumber daya yang merupakan kekuatan
organisasi untuk memperlunak ancaman dari luar tersebut, bahkan kemudian
merubah ancaman itu menjadi sebuah peluang.
(c) Sel C: Divestment/Investment
Sel ini merupakan interaksi antara kelemahan organisasi dan peluang dari
luar. Situasi seperti ini memberikan suatu pilihan pada situasi yang kabur.
Peluang yang tersedia sangat meyakinkan namun tidak dapat dimanfaatkan
karena kekuatan yang ada tidak cukup untuk menggarapnya. Pilihan
keputusan yang diambil adalah melepas peluang yang ada untuk dimanfaatkan organisasi lain atau memaksakan menggarap peluang itu (investasi).
(d) Sel D: Damage Control
Sel ini merupakan kondisi yang paling lemah dari semua sel karena
merupakan pertemuan antara kelemahan organisasi dengan ancaman dari luar,
dan karenanya keputusan yang salah akan membawa bencana yang besar bagi
organisasi.

Strategi

yang

harus

diambil

adalah

Damage

Control

(mengendalikan kerugian) sehingga tidak menjadi lebih parah dari yang
diperkirakan.

b.

Pendekatan Kuantitatif Analisis SWOT

Data SWOT kualitatif dapat dikembangkan secara kuantitaif melalui perhitungan
Analisis SWOT yang dikembangkan oleh Pearce dan Robinson (1998) agar

24

diketahui secara pasti posisi organisasi yang sesungguhnya. Perhitungan yang
dilakukan melalui tiga tahap, yaitu:
(a) Melakukan perhitungan skor (a) dan bobot (b) point faktor serta jumlah
total perkalian skor dan bobot (c = a x b) pada setiap faktor S-W-O-T;
Menghitung skor (a) masing-masing point faktor dilakukan secara saling
bebas (penilaian terhadap sebuah point faktor tidak boleh dipengaruhi atau
mempengaruhi penilaian terhadap point faktor lainnya). Pilihan rentang
besaran skor sangat menentukan akurasi penilaian namun yang lazim
digunakan adalah dari 1 sampai 10, dengan asumsi nilai 1 berarti skor
yang paling rendah, dan 10 berarti skor yang paling tinggi. Perhitungan
bobot (b) masing-masing point faktor dilaksanakan secara saling
ketergantungan. Artinya, penilaian terhadap satu point faktor adalah
dengan membandingkan tingkat kepentingannya dengan point faktor
lainnya, sehingga formulasi perhitungannya adalah nilai yang telah didapat
(rentang nilainya sama dengan banyaknya point faktor) dibagi dengan
banyaknya jumlah point faktor.
(b) Melakukan pengurangan antara jumlah total faktor S dengan W (d) dan
faktor O dengan T (e); Perolehan angka (d = x) selanjutnya menjadi nilai
atau titik pada sumbu X, sementara perolehan angka (e = y) selanjutnya
menjadi nilai atau titik pada sumbu Y. Format perhitungan ditunjukkan
pada Gambar 5.
(c) Mencari posisi organisasi yang ditunjukkan oleh titik (x,y) pada kuadran
SWOT seperti ditunjukkan pada Gambar 6.

25

No.
1.
2.

No.
1.
2.

No.
1.
2.

No.
1.
2.

Strength

Skor

Bobot

Total

Skor

Bobot

Total

Dan seterusnya
Total kekuatan
Weakness

Dan seterusnya
Total kelemahan
Selisih total kekuatan – total kelemahan = S – W = X
Opportunity

Skor

Bobot

Total

Skor

Bobot

Total

Dan seterusnya
Total peluang
Treath

Dan seterusnya
Total tantangan
Selisih total peluang – total tantangan = O – T = Y

Gambar 5. Format Perhitungan Analisis SWOT
Sumber : Rangkuti, 1998

Opportunity
O
(-,+)
Ubah strategi
Weakness
W

(+,+)
Progresif

Kuadran III

Kuadran I

Kuadran IV

Strength
S

Kuadran II

(-,-)
Strategi bertahan

(+,-)
Diversifikasi strategi
T
Treath

Gambar 6. Kuadran analisis SWOT
Sumber : Rangkuti, 1998

26

Gambar 6 menunjukkan berbagai kemungkinan posisi suatu perusahan dan tipe
strategi yang sesuai. Dengan mengetahui posisi perusahaan pada kuadran yang
tepat, maka perusahaan dapat mengambil keputusan dengan lebih tepat, yaitu :
(i)

Kuadran I (positif, positif)
Posisi ini menandakan sebuah organisasi yang kuat dan berpeluang,
Rekomendasi strategi yang diberikan adalah progresif, artinya organisasi
dalam kondisi prima dan mantap sehingga sangat di