ANALISIS PERBANDINGAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH SEBELUM DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH (Studi Pada Kabupaten/Kota Provinsi Lampung)

(1)

ANALISIS PERBANDINGAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH SEBELUM DAN SESUDAH

OTONOMI DAERAH

(Studi Pada Kabupaten/Kota Provinsi Lampung) (Skripsi)

Oleh

DANIA HELLIN AMRINA

Jurusan Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung Bandarlampung


(2)

REGIONAL FINANCIAL CAPABILITIES AND ECONOMIC GROWTHS IN PRE AND POST REGIONAL AUTONOMY PERIOD

(STUDY ON DISTRICTS / PROVINCIAL CITY OF LAMPUNG) By

DANIA HELLIN AMRINA

ABSTRACT

This study aims to analyze the differences between financial capabilities and types of economic growth in the Districts / Provincial City of Lampung in pre and post the implementation of regional autonomy period of times.Based on that criteria, there are five selected samples of this study: West Lampung, South Lampung, North Lampung, Central Lampung, and Bandarlampung.The analytical methods used in this study comes from Deddy K (Bappenas, 2003) which are the

Calculation by the Share, Growth, and Elasticity;Mapping of Financial Capability based on Quadrant Method and Index Method; Index Map of Financial

Capability;Klassen Typology to classify the types of economic growth.The results of this study are (1) there are differences in the financial capabilities of the Districts / Provincal City of Lampung in pre and post regional autonomy periods, however the financial capabilities are decreasing, it is based on calculations by the Share, Growth, and Elasticity(2) there are differences in the types of economic growth of the Districts / Provincial City of Lampung, only West Lampung experiences the decreasing financial capability, while the financial capabilities of Central Lampung, North Lampung, and Bandarlampung are increasing, the financial capabilities of South Lampung is static.Some suggestions based on this results are there should be an effort to increase the regional revenue and economic growth, the regional budget should be used efficiently, there should be certainl efforts to increase the economic growths in regional which are included in Quadrant IV or low in the Index Map of Financial Capability or relatively underdeveloped regions, the national government should be involved in transfering the funds to help the local governments improving their underdeveloped regions.

Keywords: Regional Autonomy, Regional Financial Capability, Economic Growth, Klassen Typology, and Districts / Provincial City of Lampung.


(3)

ANALISIS PERBANDINGAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH SEBELUM DAN SESUDAH

OTONOMI DAERAH

(STUDI PADA KABUPATEN/KOTA PROVINSI LAMPUNG)

oleh

DANIA HELLIN AMRINA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan kemampuan keuangan dan tipe pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Lampung saat sebelum dan sesudah pelaksanaan otonomi daerah. Terdapat lima sampel yang dipilih berdasarkan kriteria yaitu Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Lampung Utara, Kabupaten Lampung Tengah, dan Kota Bandarlampung. Metode analisis yang digunakan bersumber dari Deddy K (Bappenas, 2003) yaitu Perhitungan melalui ukuran Share, Growth, dan Elastisitas; Pemetaan Kemampuan Keuangan berdasarkan Metode Kuadran dan Metode Indeks; Peta Indeks Kemampuan Keuangan (IKK); serta Tipologi Klassen untuk mengklasifikasikan tipe pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian ini adalah (1) terdapat perbedaan kemampuan keuangan Kabupaten/Kota Provinsi Lampung namun mengalami penurunan, hal ini berdasarkan hasil perhitungan Share, Growth, dan Elastisitas, (2) terdapat perbedaan tipe pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Lampung, hanya Kabupaten Lampung Barat yang mengalami penurunan, hanya Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Lampung Utara, dan Kota Bandarlampung yang mengalami peningkatan, dan hanya Kabupaten Lampung Selatan yang tidak mengalami perubahan posisi. Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah upaya peningkatan PAD dan pertumbuhan ekonomi, efisiensi penggunaan belanja daerah, upaya khusus untuk daerah yang berada di Kuadran IV atau IKK rendah atau daerah relatif tertinggal, serta peran pemerintah pusat dalam hal transfer dana perimbangan dan membantu pemerintah daerah yang melakukan upaya khusus terhadap daerahnya yang tertinggal.

Kata Kunci : Otonomi Daerah, Kemampuan Keuangan Daerah, Pertumbuhan Ekonomi, Tipologi Klassen, dan Kabupaten/Kota Provinsi Lampung.


(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Dania Hellin Amrina lahir di Bandarlampung tanggal 20 April 1992 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara, buah hati dari pasangan Dr. H. Achmad Asrori, M.A dan Dra. Hj. Halimah.

Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-kanak Pratama Bandarlampung pada tahun 1997 kemudian melanjutkan di Sekolah Dasar Negeri 1 Sukarame Bandarlampung pada tahun 1999 dan lulus tahun 2004, melanjutkan Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 Bandarlampung dan lulus tahun 2007, Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bandarlampung lulus tahun 2010, kemudian diterima sebagai Mahasiswa Ekonomi Pembangunan di Fakultas Ekonomi Universitas Lampung pada tahun 2010 yang sekarang berganti nama menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung. Penulis menyelesaikan pendidikan di Universitas Lampung pada tahun 2014.

Penulis aktif di dunia kemahasiswaan baik di internal maupun eksternal kampus, di internal kampus penulis mengawali karirnya sebagai Anggota Brigadir Muda (Brigmud) BEM FEB tahun 2010, Anggota Kesekretariatan HIMEPA tahun 2011, Redaktur Pelaksana Pers Mahasiswa PILAR tahun 2011, Sekretaris Umum Pers Mahasiswa PILAR tahun 2012, dan Bendahara Umum Pers Mahasiswa


(9)

Training pada Januari 2011, diamanahkan menjadi Kepala Departemen Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Sekretaris Bidang Pemberdayaan Perempuan tahun 2012-2013.

Penulis juga pernah mengikuti kegiatan Kuliah Kunjungan Lapangan (KKL) HIMEPA pada tahun 2012, mengikuti Latihan Kader KOHATI (LKK) di Semarang tahun 2012, serta mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Kalipasir Kecamatan Way Bungur Kabupaten Lampung Timur selama 40 hari di tahun 2013 serta menjadi surveyor Bank Indonesia pada tahun 2012.


(10)

MOTO

“… Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan …”

(Q.S. Al-Insyiraah (94) : 5-6)

―Nothing is Impossible. The word itself says I’m Possible‖

(Audrey Hepburn)

“Kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”

(RA. Kartini)


(11)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan untuk Allah SWT sebagai rasa syukur atas ridho serta karunia-Nya sehingga skripsi ini telah terselesaikan dengan baik. Serta Rasulullah Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat dari zaman kebodohan menuju

zaman ilmu pengetahuan. Alhamdulillaahirabbil’ alamiin.

Ayahku Dr. H. Achmad Asrori, M.A dan Ibuku Dra. Hj. Halimah yang paling

kucintai, terimakasih untuk segala do’a, semangat, dan dukungan kalian kepada

anakmu,

Kakak-kakakku Chusna Amalia, S.S., M.Pd. dan Heni Anggraini, S.ST serta kembaranku Dani Amran Hakim, S.H, terimakasih semangat dan dukungan

kalian.

Dosen dan sahabat yang selalu memberikan arahan dan dukungan agar saya menjadi lebih baik lagi.

Almamater tercinta. Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung,


(12)

SANWACANA Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Perbandingan Kemampuan Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah (Studi pada Kabupaten/Kota Provinsi Lampung)” ini sebagai salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Ekonomi.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak terbantu dan didukung oleh beberapa pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Satria Bangsawan, S.E., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung;

2. Bapak Muhammad Husaini, S.E., M.Si., selaku Ketua dan Ibu Asih Murwiati, S.E., M.E., selaku Sekretaris Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas

Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung yang membantu mengarahkan dan memberikan saran;

3. Bapak Dr. H. Toto Gunarto, S.E., M.Si., selaku Pembimbing I yang atas kesediaannya untuk membantu meluangkan waktu memberikan bimbingan, saran dalam proses penyelesaian skripsi;


(13)

saran dalam proses penyelesaian skripsi;

5. Bapak Dr. Saimul, S.E., M.Si., selaku penguji utama yang telah membantu mengarahkan penulis;

6. Bapak Yornie Atmadja, S.E., M.P., selaku Pembimbing Akademik; 7. Seluruh Bapak Ibu dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, yang telah

membimbing dan membagi ilmunya yang bermanfaat untuk penulis; 8. Ayahanda Dr. H. Achmad Asrori, MA dan Ibunda Dra. Hj. Halimah, yang

dengan sabarnya telah mendidik penulis, yang dengan keikhlasannya selalu mendoakan, yang dengan segala kemampuannya selalu mengupayakan membantu penulis hingga menjadi seperti sekarang;

9. Kakak-kakakku Chusna Amalia, S.S., M.Pd. dan Heni Anggraini, S.ST serta kembaranku Dani Amran Hakim, S.H., dan Keluarga Besar yang selalu memotivasi penulis sampai sekarang;

10. Guntur Siswanto, S.E., selaku abang, sahabat, rekan, dan pasangan yang selalu membantu, mendukung, mengarahkan penulis dalam banyak hal; 11. Puji, Zaini, Aditya, Rulia, Cinthia, Venti, sahabat yang selalu mendukung; 12. Sahabat semester I sampai sekarang Echy, Sonia, Nova, Ajeng, Caca, Dimas,

Dicki, Dede, Chairman, Fany, dan Darus. Sukses untuk kita semua; 13. Teman-teman Ekonomi Pembangunan 2010, Lathifa, Nurmala, Devi N,

Lutfida, Monic, Chairunisa, Tetiek, Susanti, Desta, Wuri, Diah, Devi M, Devy S, Fischa, Army, Dina, Citra, Shinta, Hana, Erika, Enny, Desi, Reni,


(14)

14. Kakak tingkat EP 2008 dan 2009 serta adik tingkat EP 2011, 2012, dan 2013; 15. Keluarga besar kanda dan adinda HmI Cabang Bandarlampung Komisariat

Ekonomi Unila, Bang Entol, Bang Indra Jantana, Bang Hadi, Yunda Kurnia, Yunda Wenny, Anas, Wahyu, Satria, Viras, Zulianri, Yuda, Doy, Ali, Jevri, Roy, Sufyan, Teja, Febi, Beni, Faiz, Ari, Ario, Fera, Vetty, Aulia, Yusmitha, Yuni, dan Acil, serta yang lain yang tidak bisa disebut satu persatu;

16. Kakak dan Adik di Pers Mahasiswa PILAR, Bang Ivan, Mbak Lintang, Mbak Renita, Mbak Tiya, Gita, Dewi, Nanda, Faradina, Odi, Fadli, Suci, Mega, Cyntia, dan Duwi, serta yang lain yang tidak bisa disebut satu persatu; 17. Keluarga KKN Kalipasir Waybungur Lampung Timur, Ana, Deni, Markus,

Yuda, Uli, Yahya, Rofi’i, dan Jimmy.

18. Staf FEB dan EP, Ibu Mardiana, Ibu Yati, Pakde Koperasi Gedung C, Mas Kus, dan Mas Edi;

19. Berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih.

Akhir kata, penulis berharap skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat untuk semua. Aamiin.

Bandar Lampung, 1 September 2014 Penulis,


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. RumusanMasalah ... 8

C. Tujuan ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

F. Kerangka Pemikiran ... 9

G. Hipotesis ... 11

II.TINJAUAN PUSTAKA A. Desentralisasi Fiskal ... 12

B. Otonomi Daerah ... 16

C. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ... 21

1. Anggaran Pendapatan Daerah ... 21

2. Anggaran Belanja Daerah ... 26

3. Pembiayaan Daerah ... 28

D. Kemampuan Keuangan Daerah ... 29

1. Keuangan Daerah ... 29

2. Kemampuan Keuangan Daerah ... 31

E. Pertumbuhan Ekonomi ... 34

1. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi ... 34

2. Tipologi Klassen ... 37

F. Relevansi Kemampuan Keuangan Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi ... 38

G. Studi Empirik ... 38

III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Penelitian ... 41

1. Jenis Penelitian ... 41

2. Sumber Data Penelitian ... 42

B. Batasan Variabel, Teknik dan Sampel Penelitian ... 42

1. Batasan Variabel ... 42

2. Teknik Sampel ... 43

3. Sampel Penelitian ... 44


(16)

D. Tahapan dan Alat Analisis ... 45

1. Menghitung Kemampuan Keuangan Daerah ... 45

2. Mengklasifikasikan Tipe Pertumbuhan Ekonomi 3. Menggunakan Analisis Tipologi Klassen ... 50

E. Gambaran Umum Wilayah ... 52

1. Wilayah Administratif ... 52

2. Gambaran Perekonomian ... 53

3. Sejarah Otonomi Daerah di Provinsi Lampung ... 55

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kemampuan Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah ... 59

1. Peran (Share) PAD Terhadap Belanja ... 59

2. Pertumbuhan (Growth) PAD ... 65

3. Elastisitas Pertumbuhan PAD Terhadap Pertumbuhan Ekonomi ... 70

4. Peta Kemampuan Berdasarkan Metode Kuadran Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah ... 74

5. Peta Kemampuan Berdasarkan Metode Indeks Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah ... 78

B. Tipe Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan Tipologi Klassen Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah ... 80

C. Keterbatasan Penelitian ... 85

V.SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 87

B. Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... v LAMPIRAN


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Proporsi PAD Terhadap APBD Kabupaten/Kota Provinsi

Lampung Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah (Rupiah) ... 6

2. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Lampung Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah (Persen) ... 7

3. Ringkasan Penelitian Terdahulu ... 39

4. Kriteria Pemilihan Sampel... 43

5. Sampel Kabupaten/Kota Provinsi Lampung ... 44

6. Klasifikasi Status Kemampuan Keuangan Daerah Berdasarkan Metode Kuadran ... 47

7. Kriteria Kemampuan Keuangan Daerah... 49

8. Luas Wilayah Kabupaten/Kota Provinsi Lampung Tahun 2013 ... 53

9. PDRB Kabupaten/Kota Provinsi Lampung Tahun 2008-2012 (Juta Rupiah) ... 54

10.Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Lampung Tahun 2008-2012 (Persen) ... 55

11.Share PAD Terhadap Belanja Daerah Tahun 1996-2000 (Persen) ... 59

12.Indeks Share PAD Terhadap Belanja Daerah Tahun 1996- 2000 ... 59

13.Share PAD Terhadap Belanja Daerah Tahun 2001-2012 (Persen) ... 61


(18)

14.Indeks Share PAD Terhadap Belanja Daerah Tahun 2001-

2012 ... 61

15.Growth PAD Tahun 1996-2000 (Persen) ... 65

16.Indeks Growth PAD Tahun 1996-2000 ... 65

17.Growth PAD Tahun 2001-2012 (Persen) ... 67

18.Indeks Growth PAD Tahun 2001-2012 ... 67

19.Elastisitas Growth PAD Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Tahun 1996-2000 ... 71

20.Indeks Elastisitas Growth PAD Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Tahun 1996-2000 ... 71

21.Elastisitas Growth PAD Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2001-2012 ... 72

22.Indeks Elastisitas Growth PAD Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2001-2012 ... 72

23.Peta Kemampuan Keuangan Metode Kuadran Tahun 1996-2000 ... 74

24.Peta Kemampuan Keuangan Metode Kuadran Tahun 2001-2012 ... 76

25.Peta Kemampuan Keuangan Metode Indeks ... 79

26.Tipe Pertumbuhan Ekonomi Tipologi Klassen Tahun 1996-2000 ... 80

27.Tipe Pertumbuhan Ekonomi Tipologi Klassen Tahun 2001-2012 ... 82


(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Jumlah Kabupaten/Kota Provinsi Lampung Tahun

1959-2013 ... 3 2. Kerangka Pemikiran ... 10 3. Kerangka Teori Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal... 13 4. Peta Kemampuan Keuangan Daerah Berdasarkan

Metode Kuadran ... 47 5. Tipologi Klassen untuk Pengidentifikasian Daerah

Tertinggal ... 51 6. Peta Provinsi Lampung ... 52 7. Peta Kemampuan Keuangan Metode Kuadran Tahun

1996-2000 ... 75 8. Peta Kemampuan Keuangan Metode Kuadran Tahun

2001-2012 ... 76 9. Tipologi Klassen Tahun 1996-2000 ... 81 10.Tipologi Klassen Tahun 2001-2012 ... 83


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Kabupaten/Kota Provinsi

Lampung Tahun 1996-2012 (Juta Rupiah) ... L-1 2. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Lampung

Tahun 1996-2012 (Persen) ... L-2 3. PDRB Perkapita Kabupaten/Kota Provinsi Lampung Tahun

1996-2012 (Ribu Rupiah) ... L-3 4. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten/Kota Provinsi

Lampung Tahun 1996-2012 (Rupiah) ... L-4 5. Belanja Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Lampung Tahun

1996-2012 (Rupiah) ... L-5 6. Struktur APBD ... L-6 7. Share, Growth, dan Elastisitas PAD Tahun 1996-2012 ... L-7 8. Peta Kemampuan Berdasarkan Metode Kuadran Tahun

1996-2012 ... L-8 9. Peta Kemampuan Berdasarkan Metode Indeks Tahun

1996-2012 ... L-9 10.Tipe Pertumbuhan Berdasarkan Tipologi Klassen Tahun


(21)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pembangunan daerah merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan

pemerintah daerah dalam hal keuangan maupun pelayanan daerah serta mengelola kekayaan daerah baik dalam bidang ekonomi maupun sumber daya yang dimiliki guna memajukan daerah dan mensejahterakan masyarakat. Salah satu pendekatan yang digunakan pemerintah dalam pembangunan daerah adalah desentralisasi, yaitu pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah guna memberikan peluang bagi daerah untuk mengoptimalkan sumber daya secara efektif dan efisien agar lebih dapat memajukan daerah. Desentralisasi diharapkan mampu mendorong peningkatan partisipasi dan kreativitas masyarakat dalam memanfaatkan potensi sumber daya daerah dan tidak terlalu bergantung pada pemerintah pusat (Saragih, 2003).

Diberlakukannya Undang-undang (UU) No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, merupakan awal dari otonomi daerah dan reformasi pemerintah daerah serta pengelolaan keuangan daerah di Indonesia yang memberi dampak terjadinya pelimpahan wewenang yang luas dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah


(22)

untuk menyelenggarakan fungsi pemerintah daerah secara optimal, walaupun implementasi otonomi daerah baru dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 berdasarkan ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan serta Keuangan Pusat Daerah. Kedua undang-undang ini kemudian diperbaharui menjadi UU No. 33 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

Konsekuensi dari pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 adalah pemahaman tentang pemberian wewenang yang lebih luas kepada daerah dan kejelasan perimbangan keuangan pusat dan daerah menjadi sangat penting bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, karena dengan pemahaman yang tepat dan benar maka upaya pemberian otonomi akan menjadi lebih efektif dan efisien. Sebaliknya bila pemahaman yang keliru maka pemberian otonomi akan menambah beban daerah (Frediyanto, 2010). Menurut Saragih (2003), desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat

pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemeritahan yang dilimpahkan. Sehingga pemerintah pusat maupun pemerintah daerah menyadari bahwa pelayanan dan pembangunan daerah sudah menjadi tanggungjawab dan urusan daerah, hal ini bisa berdampak lebih baik pada transfer dana pusat ke daerah.


(23)

Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri RI 2013, sejak diberlakukannya undang-undang tentang otonomi daerah tahun 1999, Indonesia mengalami

perubahan jumlah provinsi dan kabupaten/kota sampai dengan tahun 2013. Total daerah otonom di Indonesia pada tahun 2013 berjumlah 539 daerah yang terdiri atas 34 Provinsi, 412 Kabupaten, dan 93 Kota. Jumlah ini bertambah sejak tahun 1999 sebanyak 220 daerah otonom (delapan Provinsi, 178 Kabupaten, dan 34 Kota). Total daerah otonom Provinsi Lampung sendiri sejak tahun 1999 berjumlah delapan terdiri atas tujuh Kabupaten dan satu Kota. Total

Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung tahun 2013 berjumlah 15 (13 Kabupaten dan dua Kota). Dapat dilihat pada Gambar 1 jumlah Kabupaten/Kota Provinsi Lampung sejak tahun 1959-2013.

Sumber : Data diolah dari Kementerian Dalam Negeri RI, 2013.

Gambar 1. Jumlah Kabupaten/Kota Provinsi Lampung Tahun 1959-2013.

Berdasarkan Gambar 1 di atas, terlihat bahwa sebelum Provinsi Lampung terbentuk (Tahun 1964), pada tahun 1959 sudah terdapat empat Kabupaten/Kota yakni Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten

Tahun 1959 Tahun 1991 Tahun 1997 Tahun 1999 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2012 Tahun 2013 Jumlah Kabupaten/Kota

Provinsi Lampung 4 5 7 10 11 14 15 15

0 2 4 6 8 10 12 14 16


(24)

Lampung Utara dan Kota Bandarlampung. Tahun 1991 terbentuk Kabupaten Lampung Barat yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara. Tahun 1997 terdapat dua Kabupaten baru yakni Kabupaten Tanggamus

(pemekaran dari Kabupaten Lampung Selatan) dan Kabupaten Tulang Bawang (pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara). Berdiri tiga Kabupaten/Kota baru pada tahun 1999 yaitu Kabupaten Lampung Timur (pemekaran dari Kabupaten Lampung Tengah), Kabupaten Way Kanan (pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara), dan Kota Metro (pemekaran dari Lampung Tengah). Kabupaten

Pesawaran (pemekaran dari Kabupaten Lampung Selatan) berdiri pada tahun 2007. Kabupaten Pringsewu (pemekaran dari Kabupaten Tanggamus), Kabupaten Mesuji (pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang), serta Kabupaten Tulang Bawang Barat (pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang), berdiri bersamaan pada tahun 2008. Terakhir pada tahun 2012 berdiri Kabupaten Pesisir Barat (pemekaran dari Kabupaten Lampung Barat). Sehingga total Kabupaten/Kota Provinsi Lampung sampai tahun 2013 berjumlah 15 Kabupaten/Kota.

Di era otonomi, dalam hal memanfaatkan sumber daya secara optimal dan menuju daerah yang mandiri, tidak terlepas dari adanya sumber pembiayaan yang

memadai. Keuangan daerah identik dengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan saling berkaitan dengan desentralisasi fiskal dalam konteks otonomi daerah. Menurut Halim dalam Aryanto (2011), ciri utama suatu daerah berhasil melaksanakan otonomi daerah, yakni (1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti kewenangan dan kemampuan harus dimiliki daerah untuk menggali sumber-sumber keuangan guna membiayai penyelenggaraan pemerintahannya,


(25)

dan (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin agar pendapatan asli daerah (PAD) dapat menjadi sumber keuangan terbesar. Namun, terdapat daerah dengan sumber daya yang dimiliki mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun ada beberapa daerah pula yang kesulitan karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Hal tersebut dikarenakan kebijakan otonomi dimulai pada saat daerah di Indonesia sedang melepaskan diri dari krisis moneter (1997-1998), sehingga kesiapan (fiskal) daerah satu berbeda dengan yang lainnya dalam hal ketersediaan, kemampuan, maupun pengelolaan daerah

terutama dalam hal keuangan.

Pengelolaan keuangan daerah atau APBD paling mendekati sebagai pengelolaan keuangan yang modern yang dapat diterapkan pemerintah daerah dalam

pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah. Menurut Mardiasmo (2002), pengelolaan keuangan APBD adalah perubahan dari traditional budget

(pengelolaan tradisional) ke performance budget (pengelolaan modern). Dalam era otonomi walaupun terdapat sumber pendapatan daerah dalam APBD yang berasal dari pemerintah pusat seperti dana perimbangan, namun pengelolaan keuangan APBD sepenuhnya wewenang pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, APBD merupakan dasar pengelolaan

keuangan daerah tahun anggaran. Dengan kata lain, pendapatan dalam APBD juga mendukung pelaksanaan otonomi daerah, yakni berupa sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah


(26)

(PAD), namun setiap daerah tidak harus memaksakan untuk menekan pengeluaran tanpa diimbangi kemampuan penerimaannnya. Pendapatan daerah, merupakan sebuah faktor penting untuk menjalankan otonomi daerah. Pendapatan daerah memiliki beberapa variabel pembentuknya, diantaranya adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Tabel 1 berikut akan menampilkan proporsi pendapatan asli daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota Provinsi Lampung dua tahun sebelum dan dua tahun sesudah pelaksanaan otonomi daerah (Tahun1999-2000 dan Tahun 2001-2002).

Tabel 1. Proporsi PAD Terhadap APBD Kabupaten/Kota Provinsi Lampung Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah (Rupiah).

Kabupaten/Kota Sebelum Otonomi Daerah Sesudah Otonomi Daerah

1999 2000 2001 2002

Lampung Barat 2,876,640,979 1,344,527,751 2,054,020,000 4,932,423,000 Lampung Selatan 1,615,821,690 1,956,446,480 9,811,720,000 9,519,590,000 Lampung Tengah 6,537,034,684 5,361,171,029 7,064,160,000 8,521,040,000 Lampung Utara 469,386,966 2,205,243,223 4,562,010,000 6,090,060,000 Lampung Timur 793,737,229 404,846,258 2,696,060,000 3,521,080,000 Tanggamus 3,707,020,000 1,948,987,458 2,244,590,000 3,170,990,000 Tulang Bawang 1,516,250,107. 2,051,557,000 2,195,500,000 4,747,950,000 Way Kanan 142,082,970 122,546,561 1,218,340,000 1,365,000,000 Bandarlampung 1,297,042,513 11,922,339,267 23,696,670,000 31,586,280,000 Kota Metro 4,667,796,000 4,025,974,050 4,478,010,000 7,198,010,000 Sumber : Kementerian Keuangan RI, 2013.

Dalam Tabel 1 di atas, diketahui bahwa sebelum otonomi daerah (Tahun 1999-2001) Kota Bandarlampung mengalami peningkatan PAD yang sangat drastis pada tahun 1999-2000 yakni dari Rp1,297,042,513 ke Rp11,922,339,267. Sedangkan setelah otonomi daerah (Tahun 2001-2002), semua Kabupaten/Kota mengalami peningkatan PAD kecuali Kabupaten Lampung Selatan.

Selain dengan mengukur kemampuan keuangan daerah, kesiapan daerah


(27)

daerah. Saragih dalam Adi (2012), menyatakan bahwa peningkatan kemampuan keuangan daerah merupakan ekses dari pertumbuhan ekonomi, selain itu dalam upaya peningkatan kemampuan keuangan daerah, daerah juga perlu melakukan upaya-upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi. Otonomi daerah memberikan keleluasaan daerah mengelola berbagai potensi yang dimiliki di mana alokasi penerimaan daerah menjadi faktor penting dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Tabel 2 di bawah menampilkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Lampung dua tahun sebelum dan dua tahun sesudah pelaksanaan

otonomi daerah (Tahun1999-2000 dan Tahun 2001-2002).

Tabel 2. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Lampung Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah (Persen).

Kabupaten/Kota Sebelum Otonomi Daerah Sesudah Otonomi Daerah

1999 2000 2001 2002

Kab. Lampung Barat 5,94 5,64 3,35 3,80 Kab. Lampung Selatan 2.55 3,55 3,64 3,88 Kab. Lampung Tengah 5,25 3,66 4,23 3,90 Kab. Lampung Utara 2,45 3,03 3,55 4,34 Kab. Lampung Timur 27,26 4,17 3,40 13,42 Kab. Tanggamus 3,85 3,87 3,93 3,57 Kab. Tulang Bawang 8,67 3,29 2,81 3,62 Kab. Way Kanan 12,52 3,62 3,88 4,05 Kota Bandarlampung 3,56 3,29 3,14 3,82

Kota Metro 14,98 3,26 3,74 3,40

Provinsi Lampung 4,87 5,12 3,59 5,62

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung.

Pada Tabel 2 di atas, terlihat bahwa dua tahun sebelum pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 1999 dan tahun 2000, hanya Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Lampung Utara, dan Kabupaten Tanggamus yang meningkat, sedangkan setelah otonomi daerah pada tahun 2001-2002, Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Tanggamus, dan Kota Metro mengalami penurunan.

Pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung mengalami peningkatan kecuali pada tahun 2001 menjadi 3,59%.


(28)

Dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengambil judul penelitian “Analisis Perbandingan Kemampuan Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah (studi pada kabupaten/kota Provinsi Lampung).

B.Rumusan Masalah

Penelitian ini akan melihat perbandingan kemampuan keuangan dan perbedaan pertumbuhan ekonomi daerah pada Kabupaten/Kota Provinsi Lampung dalam memasuki era otonomi. Dari uraian tersebut, maka permasalahan yang akan diteliti adalah :

1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan keuangan daerah Kabupaten/Kota Provinsi Lampung sebelum dan sesudah memasuki era otonomi daerah ? 2. Apa saja tipe pertumbuhan ekonomi daerah Kabupaten/Kota Provinsi Lampung

sebelum dan sesudah memasuki era otonomi daerah ?

C.Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka tujuan penulis adalah: 1. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan kemampuan keuangan daerah

Kabupaten/Kota Provinsi Lampung sebelum dan sesudah memasuki era otonomi daerah.

2. Untuk mengetahui tipe-tipe pertumbuhan ekonomi daerah Kabupaten/Kota Provinsi Lampung sebelum dan sesudah memasuki era otonomi daerah.


(29)

D.Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan pertimbangan dan sumber informasi pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam mengupayakan peningkatan kemampuan keuangan daerah serta pertumbuhan ekonomi daerah.

2. Sebagai bahan refrensi bagi peneliti, mahasiswa dan dosen lain yang akan melakukan penelitian dengan topik yang sama.

3. Sebagai informasi dan pengetahuan bagi peneliti maupun orang lain untuk menyelaraskan apa yang didapat selama kuliah dan kenyataan di lapangan.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian tentang Kemampuan Keuangan Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi Dalam Era Otonomi pada Kabupaten/KotaProvinsi Lampung ini terfokus untuk menganalisa kemampuan keuangan daerah dengan menggunakan formula Kemampuan Keuangan daerah, serta menganalisa perbedaan tipe pertumbuhan ekonomi pada Kabupaten/Kota Provinsi Lampung menggunakan Tipologi Klassen sebelum pelaksanaan otonomi daerah tahun 1996-2000 dan sesudah pelaksanaan otonomi daerah tahun 2001-2012.

F. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini, secara skematis dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.


(30)

Gambar 2. Kerangka Pemikiran.

Kerangka pemikiran pada Gambar 2 dapat dijelaskan sebagai berikut, otonomi daerah memberikan hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengurus dan mengatur segala urusan daerahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah bertujuan agar pemerintah daerah dapat mandiri untuk mengurus kepentingan daerah termasuk keuangan daerah dan upaya peningkatan

pertumbuhan ekonomi agar tidak terlalu bergantung pada pemerintah pusat. Penelitian ini akan menganalisa kemampuan keuangan dan pertumbuhan ekonomi daerah sebelum dan sesudah era otonomi pada Kabupaten/Kota Provinsi

Lampung. Kemampuan Keuangan dihitung dengan menggunakan formula Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) dari Deddy K (Badan Perencanaan dan

Pembangunan Nasional, 2003) dan perbedaan pertumbuhan ekonomi dianalisa dengan menggunakan Tipologi Klassen untuk mengetahui tipe-tipe pertumbuhan ekonomi pada Kabupaten/kota Provinsi Lampung sebelum era otonomi dan

Kabupaten/Kota Provinsi Lampung

Sebelum Era Otonomi Daerah Sesudah Era Otonomi Daerah

Simpulan dan Saran Kemampuan Keuangan

Tipologi Klassen Pertumbuhan Ekonomi

Indeks Kemampuan Keuangan


(31)

sesudah era otonomi. Sehingga dapat diketahui perbedaan kemampuan keuangan dan pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Lampung sebelum dan sesudah era otonomi.

G. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang dapat disimpulkan adalah: Terdapat perbedaan kemampuan keuangan daerah dan perbedaan tipe

pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Lampung pada era otonomi daerah.


(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Desentralisasi Fiskal

Litvack (1999), membedakan pengertian desentralisasi dalam tiga jenis berikut : 1. Desentralisasi politik, pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah

yang menyangkut aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan.

2. Desentralisasi administrasi, merupakan pelimpahan kewenangan, tanggungjawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan. 3. Desentralisasi fiskal, merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk

menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan investasi.

Saragih (2003) mendefinisikan desentralisasi fiskal yakni suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Menurut Saragih, salah satu prinsip yang harus dilakukan pada pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah membawa konsekuensi anggaran yang diperlukan dalam melaksanakan pelimpahan wewenang tersebut (money should


(33)

follow). Jadi, semakin tinggi pelimpahan wewenang, semakin besar pula anggaran yang diperlukan. Selain prinsip money should follow, prinsip efisiensi juga

digunakan dalam mengelola anggaran agar output yang dihasilkan dapat maksimal.

Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal secara legal formal dituangkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan

Daerah. Kedua undang-undang ini mengatur pokok-pokok penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah serta pendanaan bagi pelaksanaan kewenangan tersebut. Selain itu, terdapat juga UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengatur hal-hal mengenai kewenangan Pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan kepada masyarakat daerah guna mendapatkan sumber pendanaan bagi pembangunan daerah. Landasan teoritis pelaksanaan desentralisasi fiskal digambarkan sebagai berikut :

Sumber : Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Gambar 3. Kerangka Teori Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal.

Alasan melakukan transfer ( Ma (1997) dan

Shah (1994)) Dasar pelaksanaan

desentralisasi fiskal (Oates, 1999)

Kerangka Konsepsi/Landasan Teoritis Desetralisasi

Fiskal

Dasar penentuan transfer (Minsky, 1994)

Kriteria transfer (Ma (1997) dan Shah (1994))


(34)

Gambar 3 di atas merupakan teoritis pelaksaan desentralisasi fiskal yang terdiri dari empat bagian, yaitu :

1. Dasar pelaksanaan desentralisasi fiskal (Oates, 1999):

a. Negara yang luas wilayahnya tidak dapat melakukan sentralisasi. b. Sentralisasi menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan.

c. Kebutuhan daerah lebih dikenal dan diketahui oleh orang yang tinggal di dalamnya desentralisasi fiskal dan otonomi daerah lebih efisien dari manfaat dan pembiayaan.

2. Alasan melakukan transfer (Ma (1997) dan Shah (1994)):

a. Vertical fiscal imbalances (ketidakseimbangan fiskal vertikal) yaitu terjadi ketika pendapatan dari tingkat pemerintahan yang berbeda tidak sesuai dengan tanggungjawab pengeluaran mereka. Hal ini akan mengharuskan pembayaran transfer dari pihak pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintahan di bawahnya agar terjadi pemerataan fiskal vertikal. b. Horizontal fiscal imbalances (ketidakseimbangan fiskal horizontal) yaitu

terjadi bila berbagai daerah di suatu negara memiliki kemampuan yang berbeda untuk menyediakan layanan karena kemampuan yang berbeda dalam mengumpulkan dana. Hal ini dapat terjadi jika suatu daerah memiliki kemampuan lebih banyak dalam pengumpulan dana melalui dasar

pengenaan pajak mereka dari daerah lain dan/atau biaya penyediaan jasa yang lebih tinggi di beberapa daerah daripada daerah lain. Hal ini biasanya diperbaiki melalui pembayaran transfer ke daerah yang lebih membutuhkan agar terjadi pemerataan fiskal horizontal.


(35)

c. Spill-over effects (pelimpahan efek) yaitu eksternalitas atas sebuah keputusan fiskal dari suatu daerah kepada masyarakat daerah lain.

d. Stabilization objectives (tujuan stabilisasi) yaitu untuk mencapai tujuan stabilisasi dari pemerintah pusat.

3. Kriteria transfer (Ma (1997) dan Shah (1994)) :

a. Daerah dapat melaksanakan tugas yang direncanakan dari revenue adequacy

(kecukupan pendapatan).

b. Formula tidak mendorong terjadinya defisit anggaran.

c. Formula berbanding lurus dengan kebutuhan fiskal dan berbanding terbalik dengan kapasistas fiskal daerah.

d. Transparansi dan stabilitas.

4. Dasar penentuan transfer (Minsky, 1994) :

a. Alokasi pusat ke daerah ditentukan fiscal capacity, dan/atau fiscal reed

(kapasitas fiskal).

b. Kapasitas fiskal mencerminkan potensi kemampuan daerah mendanai jasa-jasa yang harus disediakan pemerintah.

c. Kebutuhan fiskal menunjukkan total pengeluaran yang dibutuhkan daerah. Formula transfer umumnya menggunakan fiscal gap (kesenjangan fiskal) sebagai indikasi menentukan besaran transfer.

Pelaksanaan desentralisasi diarahkan untuk mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan daerah, peningkatan pelayanan, penyelenggaraan pemerintahan. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004,


(36)

Negara yang terdiri atas (1) Asas Kepastian Hukum, (2) Asas Tertib

Penyelenggara Negara, (3) Asas Kepentingan Umum, (4) Asas Keterbukaan, (5) Asas Proporsionalitas, (6) Asas Profesionalitas, (7) Asas Akuntabilitas, (8) Asas Efisiensi, dan (9) Asas Efektivitas.

Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintah daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Sejalan dengan hal tersebut, kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia diwujudkan dalam bentuk pemberian transfer kepada daerah berupa dana perimbangan, dana otonomi khusus dan penyesuaian, serta dalam bentuk instrumen peningkatan potensi pendapatan asli daerah (PAD). Pemberian tanggung jawab yang semakin besar kepada daerah harus diikuti dengan kemampuan daerah untuk memenuhi tingginya tuntutan masyarakat akan pelayanan yang semakin baik. Untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam mendanai kebutuhan pengeluarannya, dan sekaligus untuk meningkatkan akuntabilitas daerah, perlu upaya penguatan kemampuan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah atau taxing power daerah (Savitry, 2013).

B.Otonomi Daerah

Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik


(37)

Indonesia. Sedangkan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Otonomi atau autonomy berasal dari Bahasa Yunani, autos yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Dengan demikian, otonomi pada dasarnya memuat makna kebebasan dan kemandirian. Koesoemahatmadja dalam Savitry (2013), berpendapat bahwa otonomi itu mengandung arti perundangan (bestuur). Menurut Saragih (2003), hakikat otonomi daerah adalah adanya hak penuh untuk mengurus dan menjalankan sendiri apa yang menjadi bagian atau wewenangnya. Otonomi daerah di Indonesia bukan merupakan pendelegasian wewenang melainkan penyerahan atau pelimpahan wewenang, jadi si penerima wewenang mempunyai otoritas penuh untuk mengatur dan menjalankannya sesuai dengan caranya masing-masing. Banyak faktor suatu negara atau pemerintahan memberlakukan kebijakan otonomi daerah, seperti luas wilayah yang luas, besarnya jumlah dan heterogenitas penduduk merupakan beberapa faktor alasan terjadinya otonomi.

Wewenang daerah kabupaten/kota sebagai daerah otonom diatur jelas dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah berskala kabupaten/kota meliputi (1) perencanaan dan pengendalian


(38)

pembangunan, (2) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, (3) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, (4) penyediaan sarana dan prasarana umum, (5) penanganan bidang kesehatan, (6)

penyelenggaraan pendidikan, (7) penanggulangan masalah sosial, (8) pelayanan bidang ketenagakerjaan, (9) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah, (10) pengendalian lingkungan hidup, (11) pelayanan pertanahan, (12) pelayanan kependudukan, dan catatan sipil, (13) pelayanan administrasi umum pemerintahan, (14) pelayanan administrasi penanaman modal, (15)

penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Sedangkan urusan

pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Untuk mewujudkan pembangunan kewenangan yang proporsional antara pemerintah, daerah provinsi, kabupaten, dan kota seperti yang tercermin dalam UU No. 32 Tahun 2004, maka disusunlah kriteria yang meliputi:

1. Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintah dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam

penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut.

2. Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang


(39)

menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. 3. Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan

dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan.

Agar dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang menitikberatkan pada

kabupaten/kota sesuai dengan tujuannya, seperti yang dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa penyelenggaraan

pemerintah daerah mempunyai prinsip sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, potensi dan keanekaragaman daerah. 2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan

bertanggungjawab.

3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan kota, sedangkan untuk provinsi merupakan otonomi yang terbatas.

4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, serta antar daerah.

5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada bagi wilayah administrasi.


(40)

6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.

7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam

kedudukannya sebagai wilayah administratif untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah.

Untuk mengetahui apakah suatu daerah otonom mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Syamsi dalam Yanuar Frediyanto (2010), menegaskan beberapa ukuran sebagai berikut:

1. Kemampuan struktural organisasi.

Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu menampung segala aktivitas dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya, jumlah dan ragam unit cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan tanggungjawab yang cukup jelas.

2. Kemampuan aparatur pemerintah daerah.

Aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerah. Keahlian, moral, disiplin dan kejujuran saling menunjang tercapainya tujuan yang diinginkan.

3. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat.

Pemerintah daerah harus mampu mendorong masyarakat agar memiliki kemauan untuk berperan serta dalam kegiatan pembangunan.


(41)

4. Kemampuan keuangan daerah.

Pemerintah daerah harus mampu membiayai kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan secara keseluruhan sebagai wujud pelaksanaan, pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri. Sumber-sumber dana antara lain berasal dari PAD atau sebagian dari subsidi

pemerintah pusat.

C.Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Menurut UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari : 1. Pendapatan Daerah

2. Belanja Daerah 3. Pembiayaan

1. Anggaran Pendapatan Daerah

Menurut UU No. 33 Tahun 2004,anggaran pendapatan daerah terdiri dari (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, (2) Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan


(42)

APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, dan (3) Lain-lain pendapatan yaitu terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan Dana Darurat.

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditentukan sumber-sumber pendapatan daerah sebagaimana ditentukan secara implisit dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, ditetapkan sumber-sumber pendapatan daerah yaitu :

1. Pendapatan asli daerah, terdiri atas : a. Hasil pajak daerah.

b. Hasil retribusi daerah yaitu suatu pungutan yang dapat dilakukan apabila secara nyata ada pelayanan atau jasa yang diterima oleh wajib retribusi dari pemerintah daerah. Retribusi tersebut dibagi dalam 3 golongan, yaitu : retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi untuk perijinan tertentu Perusahaan Milik Daerah merupakan usaha daerah untuk

memperoleh pendapatan guna pembiayaan penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah, dengan menyisihkan sebagian dari kekayaan daerah. Di samping untuk memperoleh pendapatan, perusahaan daerah juga dimaksudkan sebagai upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam bidang tertentu.

c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.

d. Lain-lain PAD yang sah, dapat berasal dari usaha daerah yang sah yang dapat diperoleh secara sah selain pendapatan sebagaimana dikategorikan seperti tersebut di atas, seperti sumbangan pihak ketiga. Sumber-sumber


(43)

pendapatan tersebut dapat dikembangkan baik secara intensif maupun secara ekstensif guna meningkatkan pendapatan daerah. Pengembangan pendapatan daerah selain Pendapatan Asli Daerah sangat tergantung kepada kemampuan daerah dan kegiatan yang dapat dilakukan oleh daerah sendiri atau perkembangan perekonomian daerah.

2. Dana perimbangan, yang terdiri dari :

a. Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu dana bagi hasil yang bersumber dari pajak dan dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam. Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perdesaan, perkotaan, perkebunan, pertambangan serta kehutanan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sektor perdesaan, perkotaan, perkebunan, pertambangan serta kehutanan, serta Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, Pasal 25 dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam terdiri dari penerimaan kehutanan yang berasal dari iuran hak pengusahaan hutan (IHPH), provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan,

penerimaan pertambangan umum yang berasal dari penerimaan iuran tetap (landrent) dan penerimaan iuran eksplorasi (royalty) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan, penerimaan perikanan yang diterima


(44)

secara nasional yang dihasilkan dari penerimaan pungutan pengusahaan perikanan dan penerimaan pungutan hasil perikanan, penerimaan pertambangan minyak yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan, penerimaan pertambangan gas alam yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan, serta penerimaan pertambangan panas bumi yang berasal dari penerimaan setoran bagian pemerintah, iuran tetap dan iuran produksi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan. b. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan

APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil daerah.

c. Dana Alokasi Khusus (DAK), adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN. Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan


(45)

Kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian negara/departemen teknis. Daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari alokasi DAK. Dana Pendamping dianggarkan dalam APBD. Daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan menyediakan Dana Pendamping.

3. Lain-lain Pendapatan terdiri dari :

a. Pendapatan hibah yaitu merupakan bantuan yang tidak mengikat. Hibah kepada daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui pemerintah. Hibah dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara pemerintah daerah dan pemberi hibah. Hibah digunakan sesuai dengan naskah perjanjian. Tata cara pemberian, penerimaan, dan penggunaan hibah, baik dari dalam negeri maupun luar negeri diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

b. Dana Darurat yaitu dana yang berasal dari APBN untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan menggunakan sumber APBD. Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana nasional dan/atau

peristiwa luar biasa ditetapkan oleh Presiden. Pemerintah dapat

mengalokasikan Dana Darurat pada daerah yang dinyatakan mengalami krisis solvabilitas. Daerah dinyatakan mengalami krisis solvabilitas

berdasarkan evaluasi Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Krisis solvabilitas ditetapkan oleh pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.


(46)

2. Anggaran Belanja Daerah

Anggaran belanja daerah digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah. Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. Klasifikasi belanja daerah terdiri dari : 1. Klasifikasi belanja daerah menurut organisasi disesuaikan dengan susunan

organisasi pemerintah daerah.

2. Klasifikasi belanja daerah menurut fungsi terdiri dari urusan pemerintahan dan pengelolaan keuangan negara.

a. Klasifikasi fungsi berdasarkan urusan pemerintahan diklasifikasikan menurut kewenangan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota.

b. Klasifikasi fungsi berdasarkan pengelolaan negara digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara yang terdiri dari: Pelayanan Umum, Ketertiban dan Keamanan, Ekonomi, Lingkungan Hidup, Perumahan dan Fasilitas Umum, Kesehatan, Pariwisata dan Budaya,

Agama, Pendidikan, dan Perlindungan Sosial.

3. Klasifikasi belanja daerah menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.

Klasifikasi belanja daerah menurut jenis belanja terdiri dari :

1. Belanja Tidak Langsung yakni belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Terdiri dari :


(47)

a. Belanja Pegawai yakni menganggarkan belanja penghasilan pimpinan dan anggota DPRD, gaji pokok dan tunjangan kepala daerah dan wakilnya. b. Bunga yakni pembayaran bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok

utang berdasarkan pinjaman jangka pendek, menengah, dan panjang. c. Subsidi yakni subsidi untuk masyarakat melalui lembaga tertentu yang telah

diaudit.

d. Hibah yakni pemberian dalam bentuk uang, barang/jasa kepada pihak tertentu yang tidak mengikat antara pemerintah daerah dengan penerima hibah.

e. Bantuan Sosial yakni pemberian dalam bentuk uang, barang/jasa kepada masyarakat yang tidak secara terus-menerus dan selektif untuk memenuhi instrument keadilan.

f. Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan yakni bersumber dari bantuan pemerintah pusat dari APBN berupa DBH, DAU, dan DAK.

g. Belanja Tidak Terduga yakni semua pengeluaran tidak terduga selama tahun anggaran.

2. Belanja Langsung yakni belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Terdiri dari :

a. Belanja Pegawai yakni pembayaran yang dibayarkan kepada pegawai daerah otonom berupa gaji, honorarirum, uang lembur, upah, biaya perawatan, dan belanja pegawai lain-lain.

b. Belanja Barang dan Jasa yakni semua pengeluaran untuk kantor, pembelian inventaris kantor, biaya pendidikan, biaya perpustakaan, biaya hansip, biaya


(48)

pakaian dinas, pembelian peralatan dokter, pembelian alat-alat laboratorium, dan lain-lain.

c. Belanja Modal yakni belanja yang dikeluarkan untuk membeli/memperoleh modal seperti tanah, mobil, alat, dan lain-lain.

3. Pembiayaan Daerah

Pembiayaan daerah meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan daerah meliputi :

1. Penerimaan Pembiayaan :

a) SiLPA tahun anggaran sebelumnya b) Pencairan dana cadangan

c) Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan d) Penerimaan pinjaman

e) Penerimaan kembali pemberian pinjaman 2. Pengeluaran Pembiayaan :

a) Pembentukan dana cadangan

b) Penyertaan modal pemerintah daerah c) Pembayaran pokok utang


(49)

D.Kemampuan Keuangan Daerah 1. Keuangan Daerah

Menurut Frediyanto (2010), keuangan daerah merupakan bagian integral dari keuangan negara dalam pengalokasian sumber-sumber ekonomi, pemerataan hasil-hasil pembangunan dan menciptakan stabilitas ekonomi guna stabilitas sosial politik. Peranan keuangan daerah menjadi semakin penting karena adanya keterbatasan dana yang dapat dialihkan ke daerah berupa subsidi dan bantuan. Selain itu juga karena semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi daerah yang pemecahannya membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat di daerah. Peranan keuangan daerah akan dapat meningkatkan kesiapan daerah untuk mendorong terwujudnya otonomi daerah yang lebih nyata dan bertanggungjawab.

Mamesah (1995) mengemukakan bahwa keuangan negara ialah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pemerintah daerah sebagai sebuah institusi publik dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan memerlukan sumber dana atau modal untuk dapat membiayai pengeluaran pemerintah tersebut (governmentexpenditure) terhadap barang-barang publik (public goods) dan jasa pelayanan. Pemerintah dalam melaksanakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab memerlukan dana yang cukup dan terus meningkat sesuai dengan meningkatnya tuntutan masyarakat, kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Dana tersebut diperoleh melalui kemampuan menggali sumber-sumber keuangan sendiri yang didukung oleh


(50)

perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai sumber pembiayaan. Oleh karena itu, keuangan daerah merupakan tolak ukur bagi penentuan kapasitas dalam menyelenggarakan tugas-tugas otonomi, di samping tolak ukur lain seperti kemampuan sumber daya alam, kondisi demografi, potensi daerah, serta

partisipasi masyarakat.

Upaya pemberdayaan pemerintah daerah akan perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah sebagai berikut (Mardiasmo, 2000) :

1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented). Hal tersebut tidak hanya terlihat dari besarnya pengalokasian

anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat dari besarnya partisipasi masyarakat (DPRD) dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan daerah. 2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan

anggaran daerah pada khususnya.

3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran serta dari partisipasi yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, Kepala Daerah, Sekda dan perangkat daerah lainnya.

4. Kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan pengelolaan. 5. Keuangan daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money,

transparansi dan akuntabilitas.

6. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, Kepala Daerah, dan PNS, baik rasio maupun dasar pertimbangannya.


(51)

7. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi tahunan.

8. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang-barang daerah yang lebih profesional.

9. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, serta transparansi informasi anggaran kepada publik.

10. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah.

11. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi, sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian, serta mempermudah mendapatkan informasi.

2. Kemampuan Keuangan Daerah

Menurut Nataluddin dalam Savitry(2013), sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan, keuangan daerah sebagai salah satu indikator untuk mengetahui

kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan dikeluarkannya undang-undang tentang otonomi daerah, membawa konsekuensi bagi daerah yang akan menimbulkan perbedaan antar daerah yang satu dengan yang lainnya, terutama dalam hal kemampuan keuangan daerah, antara lain:


(52)

1. Daerah yang mampu melaksanakan otonomi daerah.

2. Daerah yang mendekati mampu melaksanakan otonomi daerah. 3. Daerah yang sedikit mampu melaksanakan otonomi daerah.

4. Daerah yang kurang mampu melaksanakan urusan otonomi daerah.

Selain itu lanjut menurut Nataluddin (2001), ciri utama yang menunjukkan suatu daerah mampu melaksanakan otonomi daerah adalah sebagai berikut :

a. Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan

menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya.

b. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin agar Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah, sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar.

Berkaitan dengan hakekat otonomi daerah yaitu berkaitan dengan pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat, maka peranan data keuangan daerah sangat dibutuhkan untuk

mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis dan besar belanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan


(53)

analisa terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah untuk melihat kemandirian daerah (Yuliati, 2001).

Secara konseptual, pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah dalam membiayai

pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, walaupun pengukuran kemampuan keuangan daerah ini akan menimbulkan perbedaan. Hersey dan Blanchard dalam Nataluddin (2001), memperkenalkan “Hubungan Situasional” dalam pelaksanaan otonomi daerah, yaitu:

a. Pola Hubungan Instruktif adalah peranan pemerintah pusat lebih dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah).

b. Pola Hubungan Konsultif adalah campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan

otonomi.

c. Pola Hubungan Partisipatif adalah peranan pemerintah pusat semakin berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.

d. Pola Hubungan Delegatif aadalah campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah.


(54)

Dalam Deddy K (Bappenas, 2003), terdapat langkah-langkah untuk mengukur kemampuan keuangan suatu daerah, yakni :

1. Perhitungan dan Analisis Kinerja PAD melalui Ukuran Share (Peran PAD), Growth (Pertumbuhan PAD), dan Elastisitas.

2. Pemetaan dan Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dengan Metode Kuadran dan Metode Indeks.

3. Menyusun Peta Kemampuan berdasarkan IKK berdasarkan range IKK tertinggi dan IKK terendah, kemudian disusun peta kemampuan keuangan yang dibagi dalam tiga kategori, yaitu tinggi, sedang, dan rendah.

E.Pertumbuhan Ekonomi

1. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi

Dalam Sukirno (2006), kebanyakan literatur ekonomi mengartikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tingkat pertumbuhan ekonomi menggambarkan mengenai perkembangan kegiatan ekonomi yang berlaku dalam suatu tahun tertentu. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu syarat penting dalam mewujudkan pembangunan ekonomi. Menurut Sukirno (2000), alat untuk mengukur

keberhasilan perekonomian suatu wilayah adalah pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. Perekonomian wilayah akan mengalami kenaikan dari tahun ketahun dikarenakan adanya penambahan pada faktor produksi. Selain faktor produksi, jumlah angkatan kerja yang bekerja juga akan meningkat dari tahun ke tahun


(55)

sehingga apabila dimanfaatkan dengan maksimal maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Menurut Todaro (2003), pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

1. Pertumbuhan Penduduk dan Angkatan Kerja

Pertumbuhan penduduk sangat berkaitan dengan jumlah angkatan kerja yang bekerja yang merupakan salah satu faktor yang akan mempengaruhi

pertumbuhan ekonomi. Kemampuan pertumbuhan penduduk ini dipengaruhi seberapa besar perekonomian dapat menyerap angkatan kerja yang bekerja produktif.

2. Akumulasi Modal

Akumulasi modal merupakan gabungan dari investasi baru yang di dalamnya mencakup lahan, peralatan fiskal dan sumber daya manusia yang digabung dengan pendapatan sekarang untuk dipergunakan memperbesar output pada masa datang.

3. Kemajuan Teknologi

Kemajuan teknologi menurut para ekonom merupakan faktor terpenting dalam terjadinya pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan karena kemajuan

teknologi memberikan dampak besar karena dapat memberikan cara-cara baru dan menyempurnakan cara lama dalam melakukan suatu pekerjaan.

Model pertumbuhan ekonomi neoklasik yang dikemukakan oleh Solow menyatakan bahwa persediaan modal dan angkatan yang bekerja dan asumsi


(56)

bahwa produksi memiliki pengembalian konstan merupakan hal-hal yang mempengaruhi besarannya output. Model pertumbuhan Solow juga dirancang untuk mengetahui apakah tingkat tabungan, stok modal, tingkat populasi dan kemajuan teknologi mempunyai dampak terhadap pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan. Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut harga konstan.

Pertumbuhan ekonomi di daerah dapat dilihat menggunakan PDRB per kapita sehingga diketahui apakah kesejahteraan masyarakat sudah tercapai atau belum.

(Wicaksono, 2013), ada beberapa alat pengukur dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu :

1. Produk Domestik Bruto (PDB)/ Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) PDB/PDRB apabila ditingkat nasional adalah jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam satu tahun dan dinyatakan dalam harga pasar. Apabila di tingkat daerah merupakan jumlah barang jasa yang dihasilkan dalam suatu wilayah negara tertentu.

2. Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita

Produk domestik bruto per kapita dapat digunakan sebagai alat ukur

pertumbuhan yang lebih baik dalam mencerminkan kesejahteraan penduduk dalam skala daerah.


(57)

2. Tipologi Klassen

Tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui klasifikasi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan atau produk

domestik regional bruto perkapita daerah. Dengan menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata produk domestik regional bruto (PDRB) perkapita sebagai sumbu horizontal, daerah yang diamati dapat dibagi menjadi empat klasifikasi/golongan, yaitu: daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and highincome), daerah maju tapi tertekan (high incomebut low growth), daerah yang berkembang cepat (high growth but low income), dan daerah yang relatif tertinggal (low growth and low income)

(Syafrizal, 1997; Kuncoro dan Aswandi, 2002).

Kabupaten/kota yang termasuk kategori kabupaten/kota yang maju dan tumbuh cepat pada umumnya daerah yang maju baik dari segi pembangunan atau kecepatan pertumbuhan. Kabupaten/kota yang maju tapi tertekan adalah daerah yang relatif maju tetapi dalam beberapa tahun mengalami pertumbuhan yang relatif kecil, akibat tertekannya kegiatan utama kabupaten/kota yang

bersangkutan. Kabupaten/kota yang termasuk dalam kategori berkembang cepat atau sedang tumbuh adalah daerah belum optimal dalam pengelolaan potensi pengembangan daerahnya. Serta kabupaten/kota yang termasuk dalam kategori relatif tertinggal di mana pertumbuhan ekonomi maupun PDRB perkapita daerah tersebut rendah. Tipologi Klassen juga merupakan salah satu alat analisis ekonomi regional, yaitu alat analisis yang digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi suatu daerah.


(58)

F. Relevansi Kemampuan Keuangan Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi

Dalam Adi (2012), Saragih menyatakan bahwa peningkatan kemampuan keuangan daerah merupakan ekses dari pertumbuhan ekonomi, selain itu dalam upaya peningkatan kemampuan keuangan daerah, daerah juga perlu melakukan upaya-upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi. Bappenas (2003) juga

menyatakan bahwa pertumbuhan PAD seharusnya sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi. Diperlukan prioritas kebijakan pemerintah daerah yang tepat dalam meningkatkan sektor riil sehingga mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah daerah lebih berkonsentrasi pada pemberdayaan ekonomi lokal, alokasi yang efisien terhadap potensi lokal yang sesuai dengan kebutuhan publik (Lin dan Liu 2000, Mardiasmo 2002, dan Wong 2004). Sehingga

peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah diikuti pula oleh peningkatan kemampuan keuangan daerah. Bertambahnya penerimaan pemerintah akan mendorong peningkatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat yang nantinya diharapkan dapat meningkatkan produktivitas masyarakat yang akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi kembali. Begitu juga sebaliknya dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita masyarakat, maka akan mendorong kemampuan masyarakat untuk membayar pajak dan pungutan lainnya (Masyhuri).

G. Studi Empirik

Sebelum melakukan penelitian ini, penulis mencoba mempelajari hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan topik yang sedang ditulis yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.


(59)

Tabel 3. Ringkasan Penelitian Terdahulu. 1. Judul :

Penulis : Alat Analisis :

Simpulan :

Peta Kemampuan Keuangan Provinsi Dalam Era Otonomi Daerah : Tinjauan atas Kinerja PAD, dan Upaya yang Dilakukan Daerah.

Deddy K (Bappenas 2003)

1. Perhitungan dan analisis kinerja PAD melalui ukuran

share, growth, dan elastisitas.

2. Menyusun indeks untuk setiap komponen indeks kemampuan keuangan.

3. Menyusun peta kemampuan keuangan.

Dilihat dari indikator kinerja PAD, secara umum provinsi-provinsi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) mempunyai kemampuan keuangan lebih baik jika dibanding provinsi-provinsi di Kawasan Timur Indonesia (KTI).

2. Judul :

Penulis : Alat Analisis :

Simpulan :

Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Era Otonomi dan Relevansinya dengan Pertumbuhan Ekonomi (Studi pada Kabupaten/Kota Se-Jawa Bali).

Priyo Hari Adi (2012).

1. Perhitungan dan analisis kinerja PAD melalui ukuran

share, growth, dan elastisitas.

2. Menyusun indeks untuk setiap komponen indeks kemampuan keuangan.

3. Menyusun peta kemampuan keuangan berdasarkan range IKK tertinggi dan IKK terendah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum daerah mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan PAD. Sayangnya, pertumbuhan ini tidak diikuti dengan peningkatan peran (share) PAD terhadap belanja. Selanjutnya, penelitian ini jga menunjukkan masih tingginya ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat.

3. Judul :

Penulis : Alat Analisis :

Simpulan :

Analisis Kemandirian Keuangan Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan.

Rudi Aryanto (2011).

1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah. 2. Tipologi Klassen.

3. Peta Kemampuan Keuangan Daera

Kemandirian keuangan Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan memiliki indikasi termasuk kategori sangat rendah.


(60)

Sedangkan hanya beberapa daerah yang termasuk tipe daerah maju berdasarkan analisis Tipologi Klassen,

termasuk dalam peta kemampuan keuangan yang menonjol hanya Kota Palembang.

4. Judul :

Penulis : Alat Analisis :

Simpulan :

Peta Kemampuan Keuangan Daerah Sesudah Otonomi Daerah : apakah Mengalami Pergeseran ? (Studi Pada Kabupaten dan Kota se Jawa – Bali).

Wirawan Setiaji dan Priyo Hari Adi (2007).

1. Perhitungan dan analisis kinerja PAD melalui ukuran

share dan growth.

2. Pemetaan dan analisis kemampuan keuangan daerah dengan metode kuadran.

3. Pengujian hipotesis menggunakan uji t berpasangan (paired sampled t test).

1. Pada peta kemampuan keuangan sebelum otonomi daerah dilaksanakan (1999-2000) persebaran daerah paling tinggi berada pada kuadran IV. Persebaran yang cukup merata berada pada kuadra II dan III. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 1999 dan 2000 sebagian besar daerah yang terletak di Jawa dan Bali belum mempunyai kemandirian dalam membiayai belanja daerah mereka. 2.Terdapat perbedaan Growth (pertumbuhan) PAD yang

signifikan antara sebelum dan sesudah otonomi daerah. Namun, tidak diikuti dengan kenaikan share (kontribusi) PAD terhadap belanja. Kontribusi PAD terhadap belanja justru lebih rendah dibanding kontribusi setelah otonomi.


(61)

III. METODE PENELITIAN

.

A.Jenis dan Sumber Data Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan metode deskriptif kuantitatif, dengan menggunakan data sekunder yang berasal dari instansi atau dinas terkait.

Pendekatan kuantitatif adalah suatu penelitian yang menekankan analisisnya pada data-data angka yang diolah dengan metode statistika tertentu (Azwar, 1998). Dengan kata lain, penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif jika data yang digunakan bersifat angka. Selanjutnya, Menurut Azwar penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik, akurat, dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud untuk mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi atau pun mencari implikasi. Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif. Hal ini disebabkan penelitian ini ingin memberikan

gambaran suatu data yang dianalisis secara statistik secara sistematis, akurat, dan jelas.


(62)

2. Sumber Data Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yakni Pendapatan Asli Daerah (PAD), Belanja Daerah, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), PDRB Perkapita, dan pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Lampung. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung dan

Kementerian Keuangan Republik Indonesia serta buku dan literatur lain sebagai refrensi untuk menunjang penelitian ini.

B. Batasan Variabel, Teknik, dan Sampel Penelitian 1. Batasan Variabel

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Peran (Share) PAD: merupakan rasio PAD terhadap belanja rutin dan belanja pembangunan daerah. Rasio ini mengukur seberapa jauh kemampuan daerah membiayai kegiatan rutin dan kegiatan pembangunan. Rasio ini dapat

digunakan untuk melihat kapasitas kemampuan keuangan daerah (Deddy K). b. Pertumbuhan (Growth) PAD: merupakan angka pertumbuhan PAD tahun i dari

tahun i-1 (Deddy K).

c. Elastisitas PAD terhadap PDRB: merupakan rasio pertumbuhan PAD dengan pertumbuhan PDRB. Rasio ini bertujuan melihat sensitivitas atau elastisitas PAD terhadap perkembangan ekonomi suatu daerah. Daerah yang mempunyai nilai elastisitas ≥ 1, maka setiap perubahan PDRB di daerah tersebut sensitif terhadap perubahan/peningkatan PAD. Bagi daerah dengan elastisitas < 1 patut diduga nilai tambah PDRB-nya lebih banyak keluar dari daerah tempat


(63)

2. Teknik Sampel

Penelitian ini menggunakan teknik Non Probability Sampling yaitu teknik

pengambilan sampel yang tidak memberikan peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2008). Peneliti menggunakan salah satu teknik Non Probability Sampling yakni teknik purposive sampling atau teknik pengambilan sampel penelitian dengan sengaja (tidak acak) menggunakan kriteria atau pertimbangan tertentu. Menurut Sugiyono pengertian purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu, sehingga data yang diperoleh lebih representatif dengan melakukan proses penelitian yang kompeten dibidangnya. Dalam penelitian ini yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan sampel adalah Kabupaten/Kota Provinsi Lampung yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

Tabel 4. Kriteria Pemilihan Sampel.

No. Kriteria Pemilihan Sampel Jumlah Sampel

1. Kabupaten/Kota Provinsi Lampung sampai tahun 2013

15 2. Kabupaten/Kota yang berdiri

sejak tahun 2001-2013 dikeluarkan dari sampel, karena berdiri setelah

implementasi otonomi (2001).

(5)

3. Kabupaten/Kota yang berdiri setelah Tahun 1996

dikeluarkan dari sampel karena tidak memenuhi data.

(5)

Sehingga Kabupaten/Kota Provinsi Lampung yang berdiri sebelum implementasi otonomi daerah dan

memenuhi data.

5

Sumber : BPS Lampung (data diolah).

Pada Tabel 4 di atas, diketahui bahwa jumlah Kabupaten/Kota Provinsi Lampung tahun 2013 berjumlah 15 Kabupaten/Kota, dan Kabupaten/Kota Provinsi


(64)

Lampung yang sudah berdiri sejak tahun 2001-2013 berjumlah lima

Kabupaten/Kota. Namun terdapat tiga Kabupaten/Kota yang berdiri setelah tahun penelitian (tahun 1996) sehingga tidak memenuhi data. Penelitian ini menganalisis Kabupaten/Kota Provinsi Lampung yang sudah berdiri sebelum implementasi otonomi daerah (tahun 2001), sehingga diketahui jumlah Kabupaten/Kota Provinsi Lampung yang sudah berdiri sebelum tahun 2001 dan memenuhi data berjumlah 5 (lima) Kabupaten/Kota.

3. Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari populasi yang diharapkan mampu mewakili populasi dalam penelitian. Sampai tahun 2013, Provinsi Lampung memiliki 15

Kabupaten/Kota dan sampel yang diambil untuk memperoleh data dalam penelitian ini sebanyak 5 (lima) sampel yang termasuk dalam kriteria berdiri sebelum implementasi otonomi daerah (sebelum tahun 2001) dan memenuhi data. Lima Kabupaten/Kota ini mengalami transisi sebelum disahkannya undang-undang tentang otonomi daerah pada tahun 1999 dan implementasi otonomi daerah tahun 2001.

Tabel 5. Sampel Kabupaten/Kota Provinsi Lampung.

No. Nama Kabupaten/Kota Ibukota

1. Kabupaten Lampung Barat Liwa 2. Kabupaten Lampung Selatan Kalianda 3. Kabupaten Lampung Tengah Gunung Sugih 4. Kabupaten Lampung Utara Kota Bumi 5. Kota Bandarlampung Bandarlampung Sumber : BPS Lampung.

Tabel 5 di atas diketahui jumlah sampel penelitian berjumlah 5 (lima) Kabupaten/Kota Provinsi Lampung yakni Kota Bandarlampung, Kabupaten


(65)

Lampung Selatan, Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Lampung Utara, dan Kabupaten Lampung Barat.

C.Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan. Studi pustaka adalah metode pengumpulan data yang dapat dilakukan dengan cara melakukan pengamatan data dari literatur-literatur dan buku-buku yang mendukung (Sholikhah, 2011). Data dalam penelitian ini berupa data sekunder yakni sumber data yang diperoleh dari membaca, mempelajari dan memahami melalui media lain yang bersumber dari literatur, buku, serta dokumen perusahaan (Sugiyono, 2008). Dalam penelitian ini pengumpulan data diperoleh dari :

1. Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2. Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

3. Data atau informasi yang diperoleh dari buku refrensi dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.

D.Tahapan dan Alat Analisis

Dalam penelitian ini alat software yang digunakan adalah Microsoft Office Excel.

Tahapan-tahapan serta alat analisis yang digunakan adalah :

1. Menghitung Kemampuan Keuangan Daerah

Kemampuan keuangan daerah adalah seberapa jauh daerah dapat menggali sumber-sumber keuangan sendiri guna membiayai kebutuhannya tanpa harus


(66)

selalu menggantungkan diri pada bantuan pemerintah pusat. Kemampuan keuangan daerah ditampilkan dengan mengunakan peta kemampuan daerah. Untuk menentukan Kemampuan Keuangan Daerah, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Perhitungan dan Analisis Kinerja PAD melalui Ukuran Peran (Share) PAD,

Pertumbuhan (Growth) PAD, dan Elastisitas. - Share PAD

PAD

Share = --- x 100% (5.1) Belanja Daerah

(Sumber: Deddy K.)

- Growth PAD

PADt – PADt-1

Growth = --- x 100% (5.2) PADt-1

(Sumber: Deddy K.)

- Elastisitas PAD

Growth PAD

Elastisitas = --- (5.3) Pertumbuhan Ekonomi

(Sumber: Deddy K.)

b. Pemetaan dan Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dengan Metode Kuadran dan Metode Indeks.

Metode kuadran adalah salah satu cara menampilkan peta kemampuan keuangan daerah. Masing-masing kuadran ditentukan oleh besaran nilai pertumbuhan (growth) PAD dan peran (share) PAD. Dengan nilai growth dan


(1)

Kabupaten/Kota

Indeks 2009 Indeks 2010 Indeks 2011 Indeks 2012 Indeks

Kab. Lampung Barat 0.000000000 0.192139754 0.231607125 0.118249073 0.322877168

Kab. Lampung Selatan 0.256403191 0.000000000 0.092847414 0.047288898 0.153110791

Kab. Lampung Tengah 0.165401175 0.482455134 0.285820987 0.274539713 0.340137482

Kab. Lampung Utara 0.221284979 0.128854857 0.127632661 0.250082869 0.349637880

Kota Bandar Lampung 0.007328575 0.020557645 0.187161684 0.315059565 0.162297933


(2)

Lampiran 8. Peta Kemampuan Berdasarkan Metode Kuadran Tahun 1996-2012.

Rata-rata GROWTH (%)

KUADRAN II KUADRAN I

Kab. Lampung Barat

Kota Bandarlampung

Rata-rata

SHARE (%) KUADRAN IV KUADRAN III

Kab. Lampung Selatan Kab. Lampung Utara Kab. Lampung Tengah

Kab/Kot

SEBELUM OTONOMI DAERAH TAHUN 1996-2000 Rata-rata

Growth Per

Kab/Kota

Rata-Rata

Growth

Kab/kot Kategori Growth

Rata-rata

Share Per

Kab/Kot

Rata-Rata

Share

Kab/Kot

Kategori

Share Kuadran

Kab. Lampung Barat 104% 90% Tinggi 5% 12% Rendah II

Kab. Lampung Selatan 19% 90% Rendah 6% 12% Rendah IV

Kab. Lampung Tengah 51% 90% Rendah 5% 12% Rendah IV

Kab. Lampung Utara 21% 90% Rendah 5% 12% Rendah IV


(3)

Kab/Kot

SESUDAH OTONOMI DAERAH TAHUN 2001-2012 Rata-rata

Growth Per

Kab/Kota

Rata-Rata

Growth

Kab/kot Kategori Growth

Rata-rata

Share Per

Kab/Kot

Rata-Rata

Share

Kab/Kot

Kategori

Share Kuadran

Kab. Lampung Barat 28% 34% Rendah 5% 10% Rendah IV

Kab. Lampung Selatan 63% 34% Tinggi 8% 10% Rendah II

Kab. Lampung Tengah 22% 34% Rendah 6% 10% Rendah IV

Kab. Lampung Utara 26% 34% Rendah 5% 10% Rendah IV

Kota Bandar Lampung 32% 34% Rendah 24% 10% Tinggi III

Rata-rata GROWTH (%)

KUADRAN II KUADRAN I

Rata-rata Kab. Lampung Selatan

SHARE (%) KUADRAN IV KUADRAN III

Kab. Lampung Tengah Kab. Lampung Barat


(4)

Lampiran 9. Peta Kemampuan Keuangan Berdasarkan Metode Indeks Tahun 1996-2012.

Kabupaten/Kota SEBELUM 1996-2000 SESUDAH 2001-2012

IKK PETA IKK PETA

Kab. Lampung Barat 0.388792337 Sedang 0.298092751 Rendah Kab. Lampung Selatan 0.404361957 Sedang 0.245854056 Rendah Kab. Lampung Tengah 0.449335399 Sedang 0.341176423 Sedang Kab. Lampung Utara 0.423299625 Sedang 0.334136272 Rendah Kota Bandar Lampung 0.336205008 Rendah 0.226026846 Rendah


(5)

Lampiran 10. Tipe Pertumbuhan Berdasarkan Tipologi Klassen Tahun 1996-2012.

SEBELUM OTODA TAHUN 1996-2000

Kabupaten/Kota Pertumbuhan Ekonomi PDRB Perkapita r y Tipe Pertumbuhan

LAMPUNG BARAT 5.92 673.41 > < Daerah Berkembang Cepat

LAMPUNG SELATAN 1.48 819.21 < < Daerah Relatif Tertinggal

LAMPUNG TENGAH 2.40 1,038.32 < < Daerah Relatif Tertinggal

LAMPUNG UTARA 0.80 803.22 < < Daerah Relatif Tertinggal

BANDARLAMPUNG 0.88 2,141.62 < > Daerah Maju tetapi Tertekan

PROVINSI LAMPUNG 5.20 2,116.23

PDRB Perkapita (y)

Laju

Pertumbuhan PDRB (r)

yi > y yi < y

ri > r

Daerah Maju dan Cepat Daerah Berkembang Cepat

Kab. Lampung Barat ri < r

Daerah Maju tetapi Tertekan

Kota Bandarlampung

Daerah Relatif Tertinggal

Kab. Lampung Tengah Kab. Lampung Selatan Kab. Lampung Utara


(6)

SESUDAH OTODA TAHUN 2001-2012

Kabupaten/Kota Pertumbuhan Ekonomi PDRB Perkapita R y Tipe Pertumbuhan

LAMPUNG BARAT 4.73 3,102.54 < < Daerah Relatif Tertinggal

LAMPUNG SELATAN 4.66 4,059.79 < < Daerah Relatif Tertinggal

LAMPUNG TENGAH 5.74 4,627.11 > > Daerah Maju dan Cepat

LAMPUNG UTARA 5.25 4,833.98 < > Daerah Maju tetapi Tertekan

BANDARLAMPUNG 6.19 6,809.85 > > Daerah Maju dan Cepat

PROVINSI LAMPUNG 5.27 4,498.55

PDRB Perkapita (y)

Laju

Pertumbuhan PDRB (r)

yi > y yi < y

ri > r

Daerah Maju dan Cepat

Kota Bandarlampung Kab. Lampung Tengah

Daerah Berkembang Cepat

ri < r

Daerah Maju tetapi Tertekan

Kab. Lampung Utara

Daerah Relatif Tertinggal

Kab. Lampung Barat Kab. Lampung Selatan