MANGROVE FOREST COVER CHANGE ALONG THE COAST OF EAST LAMPUNG REGENCY PERUBAHAN TUTUPAN HUTAN MANGROVE DI PESISIR KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

(1)

ABSTRACT

MANGROVE FOREST COVER CHANGE ALONG THE COAST OF EAST LAMPUNG REGENCY

By

Yuliasamaya1, Arief Darmawan2, Rudi Hilmanto2 Email: yuliasamaya91@yahoo.com

The purposes of this study were: (1) to describe the change of mangrove forest cover along the coast of East Lampung Regency using Landsat data for 1973, 1983, 1994, 2004, and 2013; (2) to determine triggering factors that occur in the coast of East Lampung Regency during the years 1973-2013 related to the mangrove forest change. The methods used in the study are spatial analysis and qualitative descriptive method. The study was conducted along the coast of East Lampung Regency over period of October 2013-March 2014. The result shows that: in 1973-1983 increased by 2.541,22 ha, in 1983-1994 decreased by 4.903,54 ha, in 1994-2004 decreased by 6.377,11 ha, in 2004-2013 decreased by 3.059,23 ha. The related factors that occur in there were changes in the status management area is happening in Way Kambas National Park (TNWK), there were people migration into Labuhan Maringgai that cutting mangrove, there were fishermen activity in TNWK, transmigration program in Labuhan Maringgai, and land clearing into ponds in Pasir Sakti, the local government issued a regulation:

1

Student in Forestry Departement, Agriculture Faculty, University of Lampung. 2


(2)

Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur Nomor: 03 Tahun 2002 (Rehabilitation of Coastal, Coastal and Marine in East Lampung regency), and many mangrove conservating program organized by Lampung Mangrove Center (LMC) in Labuhan Maringgai and mangrove conservator group (Mutiara Hijau I) in Pasir Sakti.


(3)

ABSTRAK

PERUBAHAN TUTUPAN HUTAN MANGROVE DI PESISIR KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

Oleh

Yuliasamaya1, Arief Darmawan2, Rudi Hilmanto2, Email: yuliasamaya91@yahoo.com

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan perubahan tutupan hutan mangrove di sepanjang pesisir Kabupaten Lampung Timur kurun tahun 1973, 1983, 1994, 2004, dan 2013; (2) menentukan faktor-faktor pemicu perubahan tutupan tersebut kurun tahun 1973-2013. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua metode antara lain dengan analisis spasial dan metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di sepanjang Pesisir Kabupaten Lampung Timur selama bulan Oktober 2013 hingga Maret 2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara tahun 1973-1983 tutupan mangrove tersebut bertambah seluas 2.541,22 ha, tahun 1983-1994 berkurang seluas 4.903,54 ha, tahun 1994-2004 berkurang seluas 6.377,11 ha, dan tahun 2004-2013 berkurang seluas 3.059,23 ha. Faktor pemicu yang terjadi di pesisir Lampung Timur pada kurun waktu tersebut antara lain: terjadi perubahan status pengelolaan kawasan di Taman Nasional Way Kambas (TNWK), munculnya masyarakat pendatang di Labuhan Maringgai yang membuka areal mangrove,

1

Mahasiswa di Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. 2


(4)

terdapat aktivitas nelayan di kawasan TNWK, transmigrasi di Labuhan Maringgai, pembuatan tambak-tambak tradisional di Pasir Sakti, terdapat penetapan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur Nomor: 03 Tahun 2002 tentang Rehabilitasi Pesisir, Pantai dan Laut dalam Wilayah Kabupaten Lampung Timur, dan berbagai upaya pelestarian mangrove bersama Lampung Mangrove

Center (LMC) di Labuhan Maringgai dan kelompok pelestari mangrove, Mutiara

Hijau I di Pasir Sakti.


(5)

(6)

(7)

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bogor Jawa Barat, pada tanggal 21 Juli 1991. Merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri buah cinta Bapak Ir. Rusman dan Ibu Yeti Suparni. Pendidikan Taman Kanak-kanan (TK) Penulis bertempat di TK Pertiwi Tridatu Lampung Timur, Sekolah Dasar (SD) bertempat di SD Negeri 1 Rajabasa Lama Lampung Timur dan diselesaikan di SD Negeri 1 Komodo Nusa Tenggara Timur pada tahun 2003. Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMP Negeri 1 Komodo Nusa Tenggara Timur pada tahun 2006. Sekolah Menengah Atas (SMA) bertempat di SMA Negeri 1 Komodo Nusa Tenggara Timur dan diselesaikan di SMA Negeri 3 Pamekasan Jawa Timur. Pada tahun 2009 Penulis diterima menjadi mahasiswi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian (FP) Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Selama menjadi mahasiswa, Penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Unggulan Jurusan Kehutanan FP Unila dengan Indeks Prestasi (IP) lebih dari 3,5 selama 6 semester berturut-turut. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Inventarisasi Hutan tahun 2012 dan Mata Kuliah Penginderaan Jauh pada tahun 2013. Penulis juga pernah menjadi asisten peneliti dari Kyoei University Japan dengan lokasi penelitian di seluruh Pesisir Lampung pada tahun 2013. Penulis


(9)

aktif di Himpunan Mahasiswa Kehutanan (Himasylva) FP Universitas Lampung sebagai Anggota Utama sejak tahun 2010, Anggota Bidang Komunikasi Informasi dan Pengabdian Masyarakat (Bidang IV Himasylva Unila) khususnya sebagai Penanggung Jawab Media Online Himasylva Unila periode tahun 2011-2012, dan kemudian menjabat sebagai Ketua Bidang IV Himasylva Unila periode tahun 2012-2013.

Penulis pernah mengikuti Kuliah Lapang Kehutanan Universitas Lampung di Pusat Dokumentasi dan Informasi Kehutanan (Pusdokinfo) Manggala Wanabhakti Kementerian Kehutanan RI Jakarta Pusat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor, Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi, Taman Margasatwa Ragunan Jakarta Selatan, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, dan SEOMEO BIOTROP Bogor pada tahun 2011. Penulis pernah melakukan praktikum di Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Cagar Alam Anak Krakatau, Hutan Repong Damar Krui Lampung Barat, dan Tahuran Wan Abdul Rachman Lampung. Penulis juga pernah melakukan praktik umum di Perum Perhutani Unit III Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Purwakarta Jawa Barat pada tahun 2012. Penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik Universitas Lampung di Kelurahan Sukadanaham, Kecamatan Tanjung Karang Timur, Bandar Lampung. Selain itu, Penulis pernah mengikuti kegiatan Summer Course Universitas Lampung dan University of Kentucky di Lampung pada tahun 2013.

Penulis aktif di Relawan Rumah Zakat (RZ) Lampung sebagai Penanggung Jawab Jaringan Komunikasi Relawan RZ pada tahun 2013-2014. Selain itu, Penulis juga


(10)

aktif dalam Insitut Karate Do Indonesia (INKAI) Federasi Karate Do Indonesia (FORKI) Pengprov. Nusa Tenggara Timur pada tahun 2003-2008, Pengprov. Jawa Timur Wilayah Madura pada tahun 2008-2009, dan Pengprov. Lampung UKM Karate Teknokrat Bandar Lampung pada tahun 2011-2014, serta aktif sebagai atlit karate dalam Pekan Olah Raga Provinsi (Porprov) Lampung pada tahun 2014. Penulis juga aktif sebagai kenshi dalam Perkemi (Persaudaraan Beladiri Kempo Indonesia) Lampung, Dojo Nusa Indah Bandar Lampung pada tahun 2013-2014.


(11)

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirrabbil ‘alamin, terucap syukur atas segala nikmat yang telah diberikan Allah SWT, aku persembahkan tulisan ini teruntuk seluruh orang-orang yang kucintai.

Terspesial untuk yang Paling Aku Cintai

Ayah

dan Bunda ialah yang

seijin Allah telah mengajarkan aku dengan genggaman pensil pertamaku, coretan pertamaku,

hingga kini aku telah menyelesaikan karya ilmiah ini

Menggandeng aku memijak nusa demi nusa, memandang seisinya, dan merekam semuanya serta bersyukur atas-Nya

Sebagaimana yang Terujar

“Bacalah, dan Tuhan-mu lah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (baca-tulis). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. Al Alaq 3-5).

“Tuntutlah ilmu mulai dari buaian sampai liang lahat” (hadits Nabi Muhammad SAW).

“ikatlah ilmu dengan menuliskannya” (Ali bin abi thalib).

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”


(12)

SANCAWACANA

Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas nikmat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyusun skripsi yang berjudul “Perubahan Tutupan Hutan Mangrove di Pesisir Kabupaten Lampung Timur” sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kehutanan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, hal ini disebabkan oleh keterbatasan yang ada pada Penulis. Oleh karena itu, Penulis sampaikan rasa terimakasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu antara lain sebagai berikut.

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Ir Agus Setiawan, M.Si selaku Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

3. Bapak Dr. Arief Darmawan, S.Hut, M.Sc selaku Pembimbing Utama, atas kesediaannya memberi bimbingan, motivasi, saran, dan kritik dalam proses penyusunan skripsi.

4. Bapak Rudi Hilmanto, S.Hut, M.Si selaku Pembimbing Kedua, atas kesediaannya memberi bimbingan, motivasi, saran, dan kritik dalam proses penyusunan skripsi.


(13)

5. Bapak Dr. Ir. Samsul Bakri, M.Si sebagai Penguji Utama pada ujian skripsi. Terimakasih untuk masukan dan saran-saran pada seminar terdahulu.

6. Bapak dan Ibu tercinta, Bapak Ir. Rusman dan Ibu Yeti Rusman atas segala restu serta dorongan semangat yang luar biasa selama penulis kuliah di Unila hingga menyelesaikan skripsi.

7. Peneliti kebijakan publik pesisir Lampung Timur, Muhammad Herowandi, atas bantuan teknis serta dorongan semangat dan doanya selama ini.

8. Pihak Taman Nasional Way Kambas atas ijin penelitian yang diberikan, serta Bapak Dwi Hari, Ibu Esy Amalia, dan Bapak Mudori atas bantuan dan dukungannya selama penelitian.

9. Rekan-rekan Himasylva, Fr09forestavarian, dan para Silvikulturis atas segala bantuan dan dukungan semangatnya.

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Juli 2014 Penulis


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... vi

HALAMAN PENGESAHAN ... vii

PERSEMBAHAN ... ix

RIWAYAT HIDUP ... x

SANCAWACANA ... xiii

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR GAMBAR ... .. xx

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 3

E. Kerangka Pemikiran... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove ... 8

B. Fungsi dan Manfaat Mangrove ... 9

C. Degradasi Hutan Mangrove ... 18

D. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis ... 22

E. Pemetaan Perubahan Tutupan Hutan menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis ... 25

F. Etnoekologi ... 28

G. Karakteristik Masyarakat Pesisir ... 30

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat ... 33

B. Bahan dan Alat ... 34


(15)

D. Metode Pengumpulan Data ... 35

E. Metode Analisis Data ... 36

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak Geografis ... 41

B. Satuan Wilayah Administrasi ... 41

C. Geologi dan Bahan Induk ... 43

D. Bentuk Lahan ... ... 44

E. Topografi ... 47

F. Jenis Tanah ... 48

G. Iklim ... ... 50

H. Demografi ... ... 50

I. Perekonomian ... 53

J. Penggunaan Lahan ... ... 54

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Klasifikasi Citra ... 56

a. Klasifikasi Citra Wilayah Pesisir Taman Nasional Way Kambas ... ... 57

b. Klasifikasi Citra Wilayah Pesisir Labuhan Maringgai ... ... 59

c. Klasifikasi Citra Wilayah Pesisir Pasir Sakti ... ... 62

2. Perubahan Luasan Tutupan Hutan Mangrove ... 65

a. Perubahan Luasan Tutupan Hutan Mangrove di Wilayah Pesisir Taman Nasional Way Kambas... 65

b. Perubahan Luasan Tutupan Hutan Mangrove di Wilayah Pesisir Labuhan Maringgai ... 66

c. Perubahan Luasan Tutupan Hutan Mangrove di Wilayah Pesisir Pasir Sakti ... 67

3. Faktor-Faktor Pemicu Perubahan Tutupan Hutan Mangrove di Kabupaten Lampung Timur ... 68

B. Pembahasan 1. Perubahan Tutupan Hutan Mangrove di Kawasan Taman Nasional Way Kambas ... 71

a. Mangrove di Kawasan Taman Nasional Way Kambas Tahun 1973-1983 ... 71

b. Mangrove di Kawasan Taman Nasional Way Kambas Tahun 1983-1994 ... 74

c. Mangrove di Kawasan Taman Nasional Way Kambas Tahun 1994-2004 ... 76

d. Mangrove di Kawasan Taman Nasional Way Kambas Tahun 2004-2013 ... 77

2. Perubahan Tutupan Hutan Mangrove di Labuhan Maringgai ... 80

a. Mangrove di Labuhan Maringgai Tahun 1973-1983... 80


(16)

c. Mangrove di Labuhan Maringgai Tahun 1994-2004... 86

d. Mangrove di Labuhan Maringgai Tahun 2004-2013... 88

3. Perubahan Tutupan Hutan Mangrove di Pasir Sakti ... 90

a. Mangrove di Pasir Sakti Tahun 1973-1983 ... 90

b. Mangrove di Pasir Sakti Tahun 1983-1994 ... 93

c. Mangrove di Pasir Sakti Tahun 1994-2004 ... 94

d. Mangrove di Pasir Sakti Tahun 2004-2013 ... 96

4. Perbedaan Perubahan Tutupan Hutan Mangrove di Kabupaten Lampung Timur ... 98

5. The Tragedy of The Commons di Pesisir Kabupaten Lampung Timur ... 102

6. Analisis Citra Landsat terhadap Tutupan Hutan Mangrove di Pesisir Kabupaten Lampung Timur ... 103

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 109


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Tipe-tipe informasi hasil ekstraksi dari data penginderaan jauh ... 24

2. Wilayah kawasan/kecamatan dan desa di sepanjang pesisir Pantai Timur Lampung ... 42

3. Bentuk lahan di Kabupaten Lampung Timur ... 46

4. Kelas lereng beserta luasannya di Kabupaten Lampung Timur ... 48

5. Jenis tanah di daerah Kabupaten Lampung Timur ... 49

6. Perkembangan persentase penduduk usia kerja menurut lapangan usaha utama di Kabupaten Lampung Timur ... 52

7. Penggunaan lahan di Kabupaten Lampung Timur ... 54

8. Perubahan luasan tutupan hutan mangrove di wilayah pesisir TNWK ... 65

9. Perubahan luasan tutupan hutan mangrove di Labuhan Maringgai... 66

10. Perubahan luasan tutupan hutan mangrove di Pasir Sakti... 68

11. Perubahan tutupan hutan maangrove di Kabupaten Lampung Timur beserta faktor-faktor pemicunya kurun 1973-2013... 69

12. Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra path 123 row 63 tahun 2013 bagian 1 ... 116

13. Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra path 123 row 63 tahun 2013 bagian 2 ... 116

14. Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra path 123 row 64 tahun 2013 bagian 1 ... 117

15. Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra path 123 row 64 tahun 2013 bagian 2 ... 117


(18)

16. Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra path 123 row 63

tahun 2004 bagian 1 ... 118 17. Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra path 123 row 63

tahun 2004 bagian 2 ... 118 18. Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra path 123 row 64

tahun 2004 bagian 1 ... 119 19. Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra path 123 row 64

tahun 2004 bagian 2 ... 119 20. Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra path 123 row 63

tahun 1994 bagian 1 ... 120 21. Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra path 123 row 63

tahun 1994 bagian 2 ... 120 22. Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra path 123 row 64

tahun 1994 bagian 1 ... 121 23. Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra path 123 row 64

tahun 1994 bagian 2 ... 121 24. Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra path 123 row 63

tahun 1983 bagian 1 ... 122 25. Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra path 123 row 63

tahun 1983 bagian 2 ... 122 26. Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra path 123 row 64

tahun 1983 bagian 1 ... 123 27. Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra path 123 row 64

tahun 1983 bagian 2 ... 123 28. Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra path 123 row 63

tahun 1973 bagian 1 ... 124 29. Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra path 123 row 63

tahun 1973 bagian 2 ... 124 30. Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra path 123 row 64

tahun 1973 bagian 1 ... 125 31. Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra path 123 row 64


(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian ... 7 2. Peta lokasi penelitian ... 33 3. Kelas daratan sebelum citra diklasifikasi (a), kelas daratan setelah

citra diklasifikasi (b), kelas mangrove sebelum citra diklasifikasi (c), kelas mangrove setelah citra diklasifikasi (d), badan air sebelum

citra diklasifikasi (e), kelas badan air setelah citra diklasifikasi (f) ... 56 4. Peta citra Landsat MSS1 tahun 1973 di wilayah pesisir TNWK

yang diklasifikasi (Akurasi 75,68%) ... 57 5. Peta citra Landsat MSS3 tahun 1983 di wilayah pesisir TNWK

yang diklasifikasi (Akurasi 76,58%) ... 57 6. Peta citra Landsat TM5 tahun 1994 di wilayah pesisir TNWK

yang diklasifikasi (Akurasi 84,69%) ... 58 7. Peta citra Landsat ETM7 tahun 2004 di wilayah pesisir TNWK

yang diklasifikasi (Akurasi 85,59%) ... 58 8. Peta citra Landsat OLI8 tahun 2013 di wilayah pesisir TNWK

yang diklasifikasi (Akurasi 87,39%) ... 59 9. Peta citra Landsat MSS1 tahun 1973 di wilayah pesisir Lab.

Maringgai yang diklasifikasi (Akurasi 75,26%) ... 60 10. Peta citra Landsat MSS3 tahun 1983 di wilayah pesisir Lab.

Maringgai yang diklasifikasi (Akurasi 75,68%) ... 60 11. Peta citra Landsat TM5 tahun 1994 di wilayah pesisir Lab.

Maringgai yang diklasifikasi (Akurasi 84,54%) ... 61 12. Peta citra Landsat ETM7 tahun 2004 di wilayah pesisir Lab.

Maringgai yang diklasifikasi (Akurasi 85,57%) ... 61 13. Peta citra Landsat OLI8 tahun 2013 di wilayah pesisir Lab.


(20)

14. Peta citra Landsat MSS1 tahun 1973 di wilayah pesisir Pasir Sakti

yang diklasifikasi (Akurasi 75,26%) ... 62

15. Peta citra Landsat MSS3 tahun 1983 di wilayah pesisir Pasir Sakti yang diklasifikasi (Akurasi 77,31%) ... 63

16. Peta citra Landsat TM5 tahun 1994 di wilayah pesisir Pasir Sakti yang diklasifikasi Akurasi 84,54%) ... 63

17. Peta citra Landsat ETM7 tahun 2004 di wilayah pesisir Pasir Sakti yang diklasifikasi Akurasi 85,57%) ... 64

18. Peta citra Landsat OLI8 tahun 2013 di wilayah pesisir Pasir Sakti yang diklasifikasi (Akurasi 86,60%) ... 64

19. Perubahan tutupan mangrove di TNWK antara tahun 1973-2013 ... 65

20. Trend perubahan luasan tutupan mangrove di TNWK antara tahun 1973-2013 ... 66

21. Perubahan tutupan mangrove di Labuhan Maringgai antara tahun 1973-2013 ... 66

22. Trend perubahan luasan tutupan mangrove di Labuhan Maringgai antara tahun 1973-2013 ... 67

23. Perubahan tutupan mangrove di Pasir Sakti antara tahun 1973-2013 ... 67

24. Trend perubahan luasan tutupan mangrove di Pasir Sakti antara tahun 1973-2013 ... 68

25. Cuplikan citra Landsat OLI 8 tahun 2013 path 123 row 63... 126

26. Cuplikan citra Landsat OLI 8 tahun 2013 path 123 row 64... 126

27. Mangrove di kawasan TNWK ... 127

28. Mangrove dan sawah di Labuhan Maringgai ... 127

29. Pantai terabrasi di Pasir Sakti ... 128

30. Aktivitas petani tambak di pantai terabrasi di Pasir Sakti ... 128

31. Peneliti bersama nelayan di kawasan TNWK ... 129


(21)

33. Peneliti bersama peneliti Kebijakan Penggunaan Lahan

Pesisir Lampung Timur ... 130

34. Peneliti bersama warga Desa Margasari, Maringgai ... 130

35. Peneliti bersama warga Desa Mulyo Sari, Pasir Sakti ... 131


(22)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Wetlands (2009), Lampung merupakan provinsi yang memiliki luasan hutan mangrove ke tiga terkecil di Sumatera. Luasan hutan mangrove terbesar dimiliki oleh Provinsi Riau kemudian disusul oleh Sumatera Selatan, sedangkan luasan hutan mangrove terkecil dimiliki oleh Provinsi Bengkulu kemudian Sumatera Barat dan Lampung.

Hutan mangrove di Lampung berada di sepanjang 896 km dari total panjang pantai sepanjang 1.105 km (Priyanto, 2012). Keberadaan hutan mangrove yang menutupi sekitar 81% pantai Lampung ini dapat memberikan berbagai manfaat, di antaranya ialah sebagai stabilitator kondisi pantai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan non akuatik, sebagai sumber bahan yang dapat dikonsumsi masyarakat, dan lain sebagainya.

Keberadaan hutan mangrove dapat memberikan banyak manfaat, baik secara fisik, biologis, maupun ekonomi, namun pemanfaatan yang berlebihan (khususnya pemanfaatan ekonomi) oleh masyarakat dapat menyebabkan kerusakan ekosistemnya. Menurut Priyanto (2012), kerusakan ekosistem mangrove disebabkan oleh adanya pembukaan kawasan untuk dijadikan lahan tambak udang. Adapun kerusakan tersebut mencapai 48% (Watala, 2012).


(23)

Sebagaimana yang termuat dalam Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung (Wiryawan, et al., 1999), kawasan pesisir sepanjang pantai Lampung Timur yang tidak termasuk Taman Nasional Way Kambas, hampir seluruh bagiannya telah diubah dari rawa-rawa dan hutan mangrove menjadi lahan pertanian padi dan tambak udang windu. Adapun tambak-tambak tersebut di antaranya terdiri atas sebagian besar tambak tradisional, dan sisanya adalah tambak semi-intensif dan intensif. Konversi lahan tersebut diawali dari pinggir pantai, kemudian dilanjutkan dengan konversi lahan yang menuju ke arah daratan.

Kerusakan lahan di pesisir Kabupaten Lampung Timur membuat berbagai pihak melakukan berbagai upaya penanggulangan, baik yang bersifat lokal maupun nasional. Upaya-upaya tersebut dilakukan oleh pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten, masyarakat setempat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perguruan tinggi, dan lain-lain. Upaya penanggulangan kerusakan lahan pesisir tersebut terdiri atas kegiatan rehabilitasi lahan kritis seperti penanaman mangrove.

Informasi mengenai perubahan tutupan hutan mangrove di pesisir Kabupaten Lampung Timur begitu penting, namun sejauh ini belum ada penelitian yang dilakukan untuk menghasilkan informasi tersebut. Adapun dengan demikian, maka dalam penelitian ini dihasilkan informasi berupa data trend perubahan tutupan hutan mangrove beserta faktor pemicunya, sehingga bermanfaat bagi perencanaan rehabilitasi dan pelestarian mangrove di masa mendatang.


(24)

B. Perumusan Masalah

Adapun dalam penelitian ini rumusan masalah yang akan dikaji adalah sebagai berikut.

1. Seberapa besar perubahan tutupan hutan mangrove di sepanjang pesisir Kabupaten Lampung Timur selama kurun waktu 40 tahun?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang memicu terjadinya perubahan tutupan hutan mangrove di pesisir Kabupaten Lampung Timur selama tahun 1973 hingga 2013?

B. Tujuan Penelitian

Berikut ini adalah tujuan dari penelitian yang akan dilaksanakan.

1. Mendeskripsikan perubahan tutupan hutan mangrove di sepanjang pesisir Kabupaten Lampung Timur kurun tahun 1973, 1983, 1994, 2004, dan 2013. 2. Menentukan faktor-faktor pemicu perubahan tutupan tersebut kurun tahun

1973-2013.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan informasi berupa data trend perubahan tutupan hutan mangrove di pesisir Kabupaten Lampung Timur dari tahun 1973 hingga 2013 beserta faktor pemicunya. Adapun informasi tersebut dapat bermanfaat bagi perencanaan rehabilitasi dan pelestarian mangrove di masa mendatang.


(25)

E. Kerangka Pemikiran

Landsat merupakan salah satu satelit teknologi sumberdaya bumi (Earth

Resources Technology Satelite/ ERTS) milik the National Aeronautical and Space

Administration (NASA) di Amerika. Satelit ini pertama kali diluncurkan pada

tanggal 23 Juni 1972 (Wedehanto, 2004). Berdasarkan peluncuran satelit yang pertama kali tersebut, yaitu pada tahun 1972, maka citra dari satelit ini dipilih untuk digunakan dalam penelitian, di mana citra yang dibutuhkan adalah citra satelit sejak tahun 1973. Landsat didisain untuk memantau daerah pertanian, hutan, geologi, tata guna lahan dan untuk mendeteksi fenomena-fenomena di kawasan pesisir (Wedehanto, 2004). Hal tersebut sesuai dengan penggunaan citra satelit pada penelitian ini.

Citra Landsat memiliki keterbatasan, di antaranya di dalam citra ini terdapat objek gangguan seperti awan dan bayangannya yang umumnya menutupi objek pengamatan di permukaan bumi. Terdapat pula distorsi geometri yang timbul karena jarak wahana dengan objek yang jauh. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengatasi beberapa hal tersebut di antaranya adalah dengan koreksi radiometrik dan koreksi geometrik.

Adapun hal yang dilakukan selanjutnya adalah menyorot lokasi yang diteliti. Batas lokasi disesuaikan dengan peta digital batas (peta batas kecamatan) yang kemudian di-overlay-kan dengan data citra. Data citra yang telah diketahui mengenai batas lokasi yang diteliti kemudian dilakukan subset image untuk mempermudah dalam melakukan penginterpretasian data citra tersebut.


(26)

Interpretasi citra adalah tahapan selanjutnya yang dilakukan agar menghasilkan gambaran objek pada citra satelit. Klasifikasi citra terdiri atas klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification) dan klasifikasi terbimbing (supervised

classification). Klasifikasi tak terbimbing digunakan apabila kualitas citra sangat

tinggi dengan distorsi atmosferik dan tutupan awan yang rendah, serta digunakan untuk memberikan gambaran kasar sebagai informasi awal yang terdapat pada suatu citra. Klasifikasi tak terbimbing dilakukan sebelum kegiatan cek lapangan

(ground check), sehingga peta hasil klasifikasi ini selanjutnya digunakan sebagai

pedoman dalam kegiatan cek lapangan. Klasifikasi terbimbing adalah klasifikasi yang melibatkan interaksi analisis secara intensif. Analisis dari klasifikasi terbimbing menggunakan tahapan identifikasi objek pada citra dengan training area, sehingga pengambilan sample perlu dilakukan dengan mempertimbangkan pola spektral pada setiap panjang gelombang tertentu. Berdasarkan hal tersebut, maka diperoleh daerah acuan yang baik untuk mewakili suatu objek tertentu.

Adapun tahapan yang perlu dilakukan selanjutnya adalah pengukuran accuracy

assessment. Tahapan ini dilakukan dengan membandingkan interpretasi komputer

dan pengecekan lapangan (ground truth). Percentage correct yang direkomendasikan pada hasil penginterpretasian citra satelit adalah sebagai berikut.

1. Akurasi 85% dibutuhkan untuk land-use data resource management (Anderson et al., 1976).

2. Akurasi 85% dibutuhkan untuk USGS land-cover map bagi central Atlantic


(27)

1:100.000, serta 73% bagi peta berskala 1:250.000 (Fitzpatrick dan Lins, 1978).

3. Akurasi 78% dibutuhkan untuk automasi interpretasi dari MSS+, dan 38% bagi yang hanya menggunakan data MSS PC (Thomas et al., 2011).

Berdasarkan beberapa acuan di atas, maka data citra yang belum memenuhi

percentage correct tersebut perlu dilakukan pengklasifikasian ulang, sedangkan

data citra yang telah memenuhi percentage correct tersebut dapat dijadikan sebagai peta penutupan lahan.

Adapun dalam penelitian ini peta-peta penutupan lahan diamati dengan membandingkan beberapa data citra olahan berkala setiap sepuluh tahun yang kemudian dapat menghasilkan data dinamika perubahan luas penutupan lahan. Dinamika tersebut menggambarkan suatu kondisi yang beruntut sepanjang 40 tahun. Hal yang perlu diketahui selanjutnya adalah kejadian-kejadian apa saja yang terjadi terkait dengan perubahan luas penutupan lahan (mangrove) tersebut.

Kejadian-kejadian tersebut diketahui dengan pendekatan etnoekologi. Menurut Hilmanto (2010), dalam ilmu etnoekologi terdapat chronological approach yang merupakan suatu pendekatan yang memfokuskan perkembangan dinamis dari suatu kajian suatu interaksi manusia dengan alam, berdasarkan proses kronologis dengan memahami kurun waktunya. Adapun dalah penelitian ini pendekatan etnoekologi yang digunakan adalah dengan cara memperoleh data sekunder berupa studi pustaka serta melakukan wawancara secara purposive. Hasil pemerolehan data tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif.


(28)

Citra Landsat Patch/Row 63-64/123/132

Koreksi Radiometrik dan Geometrik

Citra Terkoreksi Subset Image overlay

Peta Digital Batas Administrasi Kabupaten Lampung Timur Klasifikasi Tak Terbimbing Ground Truth Klasifikasi Terbimbing Citra Hasil Klasifikasi Penghitungan Akurasi Tidak Diterima

Diterima Peta Penutupan Mangrove

Dinamika Luasan Mangrove Hal-hal yang Terjadi

selama Rentang Waktu tersebut (1973-2013) Sumber

Informasi

Studi Pustaka dan Wawancara

Analisis Deskriptif

Kualitatif

Penelitian Pendekatan Etnoekologi Pesisir Kabupaten Lampung Timur

Berdasarkan pemikiran tersebut maka penulis mencoba merangkainya dalam suatu alur pemikiran sebagai berikut.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Mangrove

Mangrove didefinisikan sebagai tumbuhan berkayu maupun semak belukar yang menempati habitat antara darat dan laut yang secara periodik tergenangi air pasang (Hogarth, 1999).

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Hutan mangrove mempunyai ciri-ciri antara lain sebagai berikut.

1. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung dan berpasir

2. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove

3. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat

4. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat 5. Air bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (mencapai 38 permil)


(30)

Menurut Bengen (1999), ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman spesies tumbuhan yang tinggi dengan jumlah spesies tercatat sebanyak kurang lebih 202 spesies. Adapun di antara 202 spesies tersebut terdiri atas spesies-spesies pohon utama yaitu Avicennia spp., Sonneratia spp.,

Rhizophora spp., dan Bruguiera spp. Spesies-spesies pohon yang dapat menjadi

pionir menuju ke arah laut adalah Avicennia spp., Sonneratia spp., dan

Rhizophora spp., tetapi bergantung kepada kedalaman pantai dan ombaknya

(Indriyanto, 2005).

Onrizal (2002) menyatakan mangrove sebagai salah satu komponen ekosistem pesisir memegang peranan yang cukup penting, baik di dalam memelihara produktivitas perairan pesisir maupun di dalam menunjang kehidupan penduduk di wilayah tersebut. Bagi wilayah pesisir, keberadaan hutan mangrove, terutama sebagai jalur hijau di sepanjang pantai/muara sungai sangatlah penting untuik suplai kayu bakar, nener/ikan dan udang serta mempertahankan kualitas ekosistem pertanian, perikanan dan permukiman yang berada di belakangnya dari gangguan abrasi, instrusi dan angin laut yang kencang.

B. Fungsi dan Manfaat Mangrove

Kusmana (2011) merincikan fungsi mangrove sebagai berikut. 1. Lindungan lingkungan ekosistem pantai secara global, yakni:

a. proteksi garis pantai dari hempasan gelombang b. proteksi dari tiupan angin kencang


(31)

d. retensi nutrien

e. memperbaiki kualitas air f. mengendalikan intrusi air laut

g. pengaturan air bawah tanah (groundwater) h. stabilitas iklim mikro

2. Pembangun lahan dan pengendapan lumpur 3. Habitat fauna

4. Lahan pertanian, dan kolam garam 5. Keindahan bentang darat

6. Pendidikan dan penelitian.

Sedangkan menurut Arief (2001) dalam Ningsih (2008), hutan mangrove memiliki fungsi–fungsi penting atau fungsi–fungsi ganda, antara lain sebagai berikut.

1. Fungsi fisik, yakni sebagai pencegahan proses intrusi (perembesan air laut) dan proses abrasi (erosi laut)

2. Fungsi biologis, yakni sebagai tempat pembenihan ikan, udang, kerang dan tempat bersarang burung–burung serta berbagai jenis biota. Penghasil bahan pelapukan sebagai sumber makanan penting bagi kehidupan sekitar lingkungannya

3. Fungsi kimia, yakni sebagai proses dekomposisi bahan organik dan proses-proses kimia lainnya yang berkaitan dengan tanah mangrove

4. Ekonomi, yakni sebagai sumber bahan bakar dan bangunan, lahan pertanian dan perikanan, obat-obatan dan bahan penyamak. Saat ini hasil dari mangrove,


(32)

terutama kayunya telah diusahakan sebagai bahan baku industri penghasil bubur kertas (pulp).

Berbagai macam produk dan jasa yang dapat dimanfaatkan dari hutan mangrove adalah sebagai berikut (Kustanti, 2011).

1. Kayu

Kayu yang ditebang dari mangrove biasanya dimanfaatkan untuk peralatan pertanian, kerangka perahu, konstruksi berat (kuda-kuda atap, balok, dan sambungan), konstruksi dermaga dan jembatan, tiang pagar, dan lain sebagainya. Sedangkan pemanfaatan lainnya adalah untuk tiang penyangga perangkap ikan di pantai, bahan pembuatan perahu, pembuatan tanin, dan sebagai bahan bakar pembuatan garam (MacNae, 1974; Thorhaug, 1988; Ngoile dan Shunula, 1992; Mitsch dan Gosselink, 1993; dalam Kustanti, 2011). Genus yang dapat dimanfaatkan kayunya antara lain adalah Avicennia,

Bruguiera, Ceriops, Rhizophora, sonneratia, dan Xylocarpus.

2. Arang

Adapun jenis mangrove yang dapat digunakan sebagai arang antara lain adalah

Rhizophora spp., dan Avicennia spp. Nilai panas kayu Rhizophora spp. adalah

4.400 kal/kg (Doat, 1977; dalam Kustanti, 2011), di mana kayu tersebut menghasilkan arang sebesar 24% lebih berat daripada kayu Pinus.

3. Kayu Bakar

Jenis-jenis Rhizophora spp. sangat disukai sebagai kayu bakar karena jenis ini mempunyai kualitas sumber panas nomor satu. Kayu bakar dapat digunakan untuk pengasapan ikan, dan juga untuk memasak air laut guna menghasilkan garam.


(33)

4. Joran Pancing/Tiang

Fungsi lainnya dari kayu mangrove adalah sebagai tiang yang telah dikupas kulitnya untuk penahan reklamasi tanah dan industri konstruksi. Kayu dari hutan mangrove lebih tahan lama terendam air dan juga tahan terhadap cacing laut. Jenis kayu nibung digunakan untuk joran pancing di Asia Tenggara. Sepanjang tepian sungai yang berlumpur, joran/tiang pancing yang kecil digunakan untuk menahan jaring ikan pasang surut.

5. Pulp

Jenis buta-buta (Excoecaria agallocha) merupakan jenis penghasil pulp utama untuk industri percetakan di Bangladesh, sedangkan jenis Sonneratia

caseolaris, Excoecaria agallocha, Avicennia marina merupakan penghasil pulp

yang kaya akan sulfat. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Mangrove di Indonesia berada di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera (Riau), di mana kayu mangrove di wilayah tersebut dibuat dalam bentuk chip (serpihan kayu) dengan bahan dasar kayu Rhizophora dan Bruguiera. Adapun selain itu Indonesia mengekspor

pulp ke Jepang dalam bentuk rayon untuk bahan tekstil.

6. Tanin

Kulit Rhizophora, Bruguiera gymnorrhiza, dan Ceriops menghasilkan tanin yang berkualitas sangat bagus yang termasuk golongan catechol penghasil

phlobaphene yang tidak akan rusak jika difermentasi, sehingga sangat cocok

untuk menyamak kulit. Tanin dari berbagai jenis mangrove juga digunakan untuk mengawetkan dan memperbaiki ketahanan jaring ikan yang berasal dari serat alami sehingga lebih tahan dan tidak mudah busuk. Tanin dapat dipakai untuk keperluan pabrik, tinta, plastik, dan lem.


(34)

Berikut ini adalah bagian-bagian pohon dari vegetasi mangrove yang dapat dimanfaatkan (Kustanti, 2011).

1. Nipa fruticans

Kegunaan jenis tanaman palma ini antara lain sebagai berikut. a. Daunnya dapat diambil untuk anyaman.

b. Cairan manis dari bunga mayang berupa nira, yang berguna dalam pembuatan alkohol, cairan gula/pemanis, gula jawa, dan cuka.

2. Avicennia alba

a. Daun yang masih muda dapat dijadikan sebagai makanan ternak. b. Kulitnya untuk obat tradisional.

c. Zat semacam resin yang dikeluarkan bermanfaat dalam usaha mencegah kehamilan.

d. Salep yang dicampur dengan biji tumbuhan ini sangat baik untuk mengobati luka penyakit cacar.

e. Bijinya sangat beracun sehingga harus berhati-hati dalam memanfaatkannya, yakni dengan direbus dahulu sebelum dimakan dan air rebusannya dibuang.

3. Avicennia marina

a. Daun yang muda dapat dimakan atau disayur.

b. Polen bunga dapat digunakan untuk menarik koloni-koloni lebah penghasil madu yang diternakkan.

c. Abu kayunya sangat baik untuk bahan baku dalam pembuatan sabun cuci. d. Buahnya bisa dimanfaatkan untuk pembuatan aneka kue.


(35)

4. Avicennia officinalis

Adapun biji mangrove berjenis Avicennia officinalis dapat dikonsumsi/dimakan setelah terlebih dahulu dicuci dan direbus.

5. Avicennia alba dan Avicennia officinalis

Kayu gubal Avicennia agak asin dan air rebusannya bisa mengembalikan vitalitas. Apabila direbus bersama kayu gubal Cassia, ekstraknya dapat diminum untuk memperlancar darah menstruasi.

6. Bruguiera gymnorrhiza

Kulit batang yang masih muda dapat digunakan untuk menambah rasa sedap ikan yang masih segar.

7. Bruguiera sexangula

a. Daun muda, embrio buah, buluh akar dapat dimakan sebagai sayuran. b. Daunnya mengandung alkaloid sehingga dapat dipakai untuk mengobati

tumor kulit.

c. Akarnya digunakan untuk kayu menyan.

d. Buahnya digunakan untuk campuran obat cuci mata tradisional.

8. Ceriops tagal

Kulit batangnya baik sekali untuk mewarnai dan sebagai bahan pengawet/penguat jala-jala ikan dan juga untuk industri batik serta dapat pula digunakan untuk obat radisional.

9. Ceriops decandra

a. Tanin dari kulit batangnya digunakan untuk pengawet jala dan penyamak kulit.


(36)

c. Kulit kayu untuk obat pelangsing. Obat pelangsing ini digunakan secara oral, air ekstraknya bersifat anti mencret, anti muntah dan anti pengaruh disentri. Cacahan kulit yang halus dapat digunakan untuk menghentikan pendarahan.

10. Rhizophora apiculata dan Rhizophora mucronata

a. Air rebusan kulit batang dipakai untuk astringen (obat tradisional), anti diare dan anti muntah.

b. Kulit batang yang sudah dilumatkan bila ditempelkan pada luka baru dapat menghentikan pendarahan.

c. Gilingan daun muda yang dikunyah berfungsi untuk menghentikan pendarahan dan berfungsi juga sebagai antiseptik.

11. Rhizophora mucronata

Air buah dan kulit akar yang muda dapat dipakai untuk mengusir nyamuk dari badan/tubuh.

12. Sonneratia alba

Pancang dapat digunakan untuk perangkap ikan, pelampung, bahan pencelup pakaian, makanan ternak, pupuk hijau, cuka, manisan, sayuran, dan mebel.

13. Xylocarpus moluccensis

a. Akar-akarnya dapat dipakai sebagai bahan dasar kerajinan tangan (hiasan dinding).

b. Kulit batangnya dapat digunakan untuk obat tradisional penyakit diare. c. Buahnya dapat mengeluarkan minyak yang dapat digunakan untuk minyak


(37)

14. Xylocarpus granatum dan Xylocarpus maluccensis

a. Bijinya digunakan secara oral untuk menyembuhkan diare dan kolera. b. Air ekstraknya dapat dibakai untuk membasuh luka (Kusmana, et al.,

2003).

15. Sonneratia caseolaris

a. Kulit batang dapat digunakan sebagai bahan bakar.

b. Buahnya digunakan sebagai bahan makanan seperti permen, dodol, dan wajik.

16. Lumnitzera racemosa

Getahnya atau terutum digunakan sebagai bahan obat-obatan karena getah dari kulit batangnya dapat menahan pendarahan.

17. Hibiscus tiliaceus

a. Kulit batangnya dapat digunakan sebagai tali (diambil seratnya) dan alat pemilin tali.

b. Daunnya dimanfaatkan sebagai pakan ternak, pembungkus makanan, dan bahan obat-obatan seperti obat untuk sakit paru-paru, batuk, sesak napas, amandel, demam, muntah darah, bisul, dan penyubur rambut.

c. Akarnya dimanfaatkan sebagai obat demam dan terlambat haid.

d. Bunganya dapat digunakan sebagai obat radang mata (Noor, et al., 1999; dalam Kustanti, 2011).

18. Acanthus ilicifolius

a. Daunnya dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Khasiat daun jeruju ini antara lain adalah dapat menyembuhkan penyakit bisul, kanker, rematik, sebagai obat perengsang libido, dan penyembuh asma.


(38)

b. Buah jeruju yang ditumbuk dapat digunakan sebagai pembersih darah dan mengatasi kulit terbakar.

c. Perasan buah dan akar dapat digunakan untuk mengobati racun gigitan ular, dan bijinya dapat mengobati penyakit cacingan.

d. Tanaman jeruju dapat digunakan sebagai pakan ternak (Noor, et al., 1999).

19. Ipomoea pes-caprae

a. Getahnya digunakan sebagai bahan obat-obatan, yaitu untuk mengobati gigitan atau sengatan binatang.

b. Daunnya memiliki khasial untuk menyembuhkan penyakit rematik, nyeri persendian/pegal-pegal, wasir, dan korengan.

c. Bijinya dapat digunakan sebagai obat sakit perut dan keram.

d. Akarnya sebagai obat sakit gigi dan eksim, akan tetapi wanita hamil dilarang menggunakan obat dari tanaman ini (Purnobasuki, 2004).

20. Sesbania graniflora

Bagian tanaman turi yang dimanfaatkan adalah bunganya. Bunga turi digunakan untuk bahan tanaman.

21. Lannea caromandelica

Kulit batangnya dapat digunakan sebagai bahan bakar.

22. Pluchea indica

Daunnya dapat digunakan sebagai bahan makanan dan juga dapat digunakan untuk mengobati sengatan ubur-ubur (Purnobasuki, 2004).

23. Derris elliptica

Bagian tanaman jenu yang bisa dimanfaatkan adalah akar. Akar jenu banyak dimanfaatkan sebagai racun ikan. Saat ini akar jenu diolah dengan lebih


(39)

modern dan dicampur dengan zat lain sehingga menjadi racun ikan yang kemudian dapat dijual secara komersial (Noor, et al., 1999; dalam Kustanti 2011).

C. Degradasi Hutan Mangrove

Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75 % dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia (Dahuri, 2002; dalam Chafid et al., 2012), namun keberadaan ekosistem mangrove semakin merosot dari tahun ke tahun. Adapun disebutkan luas mangrove Indonesia menurun yakni dari 4,25 juta ha pada tahun 1982 menjadi 3,9 juta ha pada tahun 2003, kemudian menyusut lagi menjadi 3,3 juta ha pada tahun 2009 (Saputro et al., 2009; dalam Chafid et al., 2012).

Secara garis besar, ada dua faktor penyebab kerusakan hutan mangrove, yaitu faktor alam seperti banjir, kekeringan dan hama penyakit, badai, atau gelombang yang menghempas wilayah pantai dan faktor manusia seperti konversi area hutan mangrove menjadi area pemukiman dan tambak, kegiatan reklamasi, dan pemanfaatan kayu mangrove untuk berbagai keperluan (Tirtakusumah, 1994 dan Dahuri et al.,2001).

Menurut Kustanti (2011), beberapa faktor yang mendukung terjadinya degradasi hutan mangrove antara lain adalah sebagai berikut.


(40)

1. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi dan pertambahan populasi memerlukan prasarana dan sarana transportasi, terutama jalan raya. Pembangunan industri, pelabuhan, terminal, dan prasarana lainnya, urbanisasi, dan sebagainya merupakan indikator terjadinya peningkatan aktivitas perekonomian. Peningkatan aktivitas perekonomian seperti ini ikut mempercepat terjadinya kerusakan areal hutan mangrove.

2. Penggunaan Lain Lahan Mangrove

Sebagian besar lahan mangrove merupakan hutan cadangan nasional yang secara hukum dapat disewakan sementara waktu dengan tarif dasar yang jauh di bawah harga pasar dari lahan tersebut. Hai ini mendorong masyarakat untuk mengatur budidaya pertanian lahan basah atau pertanian.

3. Manajemen Perencanaan Tidak Ada

Rencana pengelolaan hutan mangrove umumnya tidak jelas. Kebijakan pengelolaan tumpang tindih dan tidak konsisten, dan konflik kepentingan antar instansi sering kali membuat hutan mangrove terbengkalai.

4. Pelaksanaan Peraturan Tidak Jelas

Pelanggaran batas yang tidak sah mungkin merupakan hasil dari peraturan yang terlalu rumit dan tumpang tindih. Hal ini sering menimbulkan berbagai masalah. Undang-undang dan peraturan yang tidak jelas (sanksinya) juga turut mempercepat kerusakan hutan mangrove.

5. Kekurangan Sumberdaya Manusia (Kuantita dan Kualita)

Sumberdaya manusia dan peralatan yang ada tidak cukup untuk lebih mengontrol penggunaan sumberdaya mangrove. Setiap unit manajemen


(41)

mangrove dapat menangani 2.000 – 10.000 ha, hal ini merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh 1 – 3 pegawai.

6. Rendahnya Kesadaran di antara Stakeholders

Rendahnya kesadaran di antara kelompok masyarakat, termasuk pembuat peraturan, pegawai pemerintahan, pembangun/pengembang dan masyarakat lokal dalam menjalankan perannya serta kurangnya pengetahuan mengenai ekosistem mangrove menyebabkan timbulnya keputusan yang tidak tepat dan praktik-praktik serta peraturan yang merusak keberadaan ekosistem mangrove.

Degradasi lingkungan dan penurunan kualitas mangrove untuk aktivitas yang lain dan industri, di antaranya tambak udang, pertambangan dan pertanian, mempunyai dampak atau pengaruh yang kuat terhadap lingkungan dalam ekosistem mangrove. FAO (1994) mencatat bahwa dampak degradasi wilayah perairan terhadap hutan mangrove menyebabkan timbulnya H2SO4 pada wilayah

mangrove, adanya pembagian air dan kadar garam, dan suhu air, tersisanya 135/m2 famili Arthropoda, Molussca, san Polycheanthces secara alami, dan terbukanya hutan serta hilangnya nutrisi hutan untuk laut.

Selain itu, kegiatan pertambangan, terutama minyak bumi, cukup banyak dilakukan di areal mangrove. Pengaruh pencemaran minyak terhadap ekosistem mangrove adalah minyak menutupi permukaan sistem perakaran mangrove (sedimen, kulit kayu, akar penyangga, pneumatofora, dan sebagainya) yang berfungsi sebagai tempat pertukaran CO2 dan O2 sehingga akan menurunkan


(42)

(Clark, 1986; dalam Kustanti, 2011). Fraksi minyak yang bersifat toksik akan berpengaruh terhadap proses perkecambahan dan menyebabkan kegagalan pada permudaan mangrove.

Selain pertambangan, kegiatan pertanian dapat pula memberi dampak negatif bagi mangrove. Sebagian besar pertanian di areal mangrove terdiri atas padi sawah dan perkebunan kelapa. Kegiatan ini dilakukan oleh penduduk di kawasan pesisir. Secara umum, tanah mangrove bersifat terbatas untuk pertanian jangka panjang mengingat sifat kimia tanahnya, salinitas, dan adanya penyusutan ketika diolah/digarap. sepanjang musim kering, kekurangan air tanah juga menimbulkan masalah sanitasi.

Mengingat tingginya potensi asam sulfat dan kondisi asam sulfat pada lumpur mangrove, maka jumlah air yang cukup bukan saja merupakan hal yang penting, tetapi pengendalian air untuk menjaga agar tingkat air tetap di atas lapisan sulfitic merupakan pra kondisi untuk berhasilnya reklamasi mangrove (Kustanti, 2011).

Urbanisasi terus meningkat sepanjang tahun, di mana hal ini menjadi penyebab lainnya yang menimbulkan konversi hutan mangrove yang lokasinya berdekatan dengan perkotaan. selain dijadikan lokasi pemukiman, hutan mangrove tersebut dikonversi pula untuk keperluan jalan raya, tambak, pelabuhan, pembuangan limbah dan lain-lain.

Adapun konversi hutan untuk kepentingan lainnyaseperti pembuatan garam, jalan, dan lain sebagainya menyebabkan terjadinya peningkatan kematian jenis dari


(43)

pohon-pohon mangrove sehingga nilai dari sumberdaya tersebut menjadi hilang yang akhirnya sangat berpengaruh negatif terhadap perekonomian nasional. Untuk menanggualangi permasalahan yang terjadi, perlu dilakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove (Kustanti, 2011).

D. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis

Lillesand dan Kiefer (1979) mendefenisikan penginderaan jauh sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh melalui suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji.

Menurut Butler et al. (1988) mengatakan bahwa teknik penginderaan jauh merupakan suatu cara untuk mendapatkan atau mengumpulkan informasi mengenai obyek dengan dasar pengukuran dilakukan pada jarak tertentu dari objek atau kejadian tersebut tanpa menyentuh atau melakukan kontak fisik langsung dengan objek yang sedang diamati. Informasi yang diperoleh berupa radiasi gelombang elektromagnetik yang datang dari suatu obyek di permukaan bumi, baik yang dipancarkan maupun yang dipantulkan oleh obyek tersebut yang kemudian diterima oleh sensor. Sensor ini dapat berupa kamera atau peralatan elektronik lainnya.

Menurut Sutanto (1994), ada empat komponen penting dalam sistem penginderaan jauh adalah sebagai berikut.


(44)

1. Sumber tenaga elektromagnetik 2. Atmosfer

3. Interaksi antara tenaga dan objek 4. Sensor.

Komponen dalam sistem ini bekerja bersama untuk mengukur dan mencatat informasi mengenai target tanpa menyentuh obyek tersebut. Sumber energi yang menyinari atau memancarkan energi elektromagnetik pada target mutlak diperlukan. Energi berinteraksi dengan target dan sekaligus berfungsi sebagai media untuk meneruskan informasi dari target kepada sensor. Sensor adalah sebuah alat yang mengumpulkan dan mencatat radiasi elektromagnetik. Setelah dicatat, data akan dikirimkan ke stasiun penerima dan diproses menjadi format yang siap pakai, diantaranya berupa citra. Citra ini kemudian diinterpretasi untuk menyarikan informasi mengenai target. Proses interpretasi biasanya berupa gabungan antara visual dan automatic dengan bantuan komputer dan perangkat lunak pengolah citra (Puntodewo et al., 2003).

Penginderaan jauh vegetasi mangrove didasarkan pada dua sifat penting yaitu bahwa mangrove mempunyai zat hijau daun (klorofil) dan mangrove tumbuh di pesisir (Susilo, 1997). Sifat optik klorofil yang khas yaitu, menyerap spektrum sinar merah dan memantulkan dengan kuat spektrum inframerah. Klorofil fitoplankton yang berada di air laut dapat dibedakan dari klorofil mangrove, karena sifat air yang sangat kuat menyerap spektrum inframerah. Tanah, pasir dan batuan juga memantulkan inframerah tetapi tidak menyerap spektrum sinar merah sehingga tanah dan mangrove secara optik dapat dibedakan. Vegetasi mangrove


(45)

dan vegetasi teresterial yang lain mempunyai sinar optik yang hampir sama dan sulit dibedakan, tetapi karena mangrove hidup ditepi pantai (dekat air laut) maka biasanya dapat dipisahkan dengan memperhitungkan jarak pengaruh air laut, atau terpisah oleh lahan terbuka, padang rumput, daerah pertambakan danpemukiman (Lillesand and Kiefer, 1990).

Data penginderaan jauh dapat berupa data analog, misalnya foto udara cetak atau data video; dan data digital, misalnya citra satelit (Jensen, 1996). Teknologi penginderaan jauh berkembang pesat dewasa ini seiring peranannya yang semakin diperlukan dalam proses pengambilan dan pengumpulan informasi mengenai obyek yang diamati.

Murai (1996) mengklasifikasikan tipe-tipe informasi yang bisa diekstrak melalui data penginderaan jauh menjadi 5 tipe (Tabel 1).

Tabel 1. Tipe-Tipe Informasi Hasil Ekstraksi dari Data Penginderaan Jauh

Tipe Contoh

Klasifikasi Land cover, vegetasi Deteksi perubahan Perubahan land cover

Ekstraksi kualitas fisik Temperatur, komponen atmosfer, elevasi Ekstraksi index Indeks vegetasi, indeks kekeruhan

Identifikasi feature Identifikasi bencana alam seperti kebakaran hutan, atau banjir

Spesifik Ekstraksi of linearnment, deteksi feature arkeologi.

Sumber: Murai (1996)

Perencanaan dan pengelolaan sumber daya hutan yang baik mutlak diperlukan untuk menjaga kelestariannya, maka dari itu, diperlukan informasi yang memadai


(46)

yang bisa dipakai oleh pengambil keputusan, termasuk diantaranya informasi spasial. Geography Information System(GIS), Penginderaan Jauh (PJ) dan Global

Positioning System (GPS) merupakan tiga teknologi spasial yang sangat berguna

(Ekadinata et al.,2008).

Dahuri (1997) menyatakan bahwa keuntungan penggunaan GIS pada perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam adalah sebagai berikut.

1. Mampu mengintegrasikan data dari berbagai format data (grafik, teks, analog, dan digital) dari berbagai sumber

2. Memiliki kemampuan yang baik dalam pertukaran data diantara berbagai macam disiplin ilmu dan lembaga terkait

3. Mampu memproses dan menganalisis data lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan pekerjaan manual

4. Mampu melakukan pemodelan, pengujian dan perbandingan beberapa alternatif kegiatan sebelum dilakukan aplikasi lapangan

5. Memiliki kemampuan pembaruan data yang efisien terutama model grafik 6. Mampu menampung data dalam volume besar.

E. Pemetaan Perubahan Tutupan Hutan Mangrove menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis

Data penginderaan jauh merupakan sumber paling utama data dinamis dalam GIS. Salah satu apliaksi yang dimungkinkan oleh penginderaan jauh adalah pemetaan tutupan lahan (Puntodewo et al., 2003). Pemetaan tutupan lahan dilakukan dengan membedakan dan mengenali ciri spektral dari obyek di permukaan bumi. Dibutuhkan beberapa proses untuk dapat menerjemahkan nilai spektral menjadi


(47)

informasi tutupan lahan. Keseluruhan proses ini disebut proses interpretasi citra satelit (Ekadinata et al., 2008).

Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek yang tergambar dalam citra dan menilai arti penting obyek tersebut (Estes dan Simonett, 1975; dalam Sutanto, 1986). Adapun di dalam pengenalan obyek yang tergambar pada citra, ada rangkaian kegiatan yang diperlukan, yaitu deteksi, identifikasi, dan analisis. Deteksi adalah pengamatan atas ada atau tidaknya suatu obyek pada citra. Identifikasi adalah upaya untuk mencirikan obyek yang dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup yaitu menggunakan unsur interpretasi citra. Pada tahap analisis dikumpulkan keterangan lebih lanjut untuk membuat kesimpulan (Lint dan Simonett, 1975; dalam Sutanto, 1986).

Aplikasi pengelolaan hutan mangrove dapat dilakukan melalui interpretasi visual citra penginderaan jauh untuk mengetahui persebaran komunitas vegetasi mangrove di suatu wilayah. Apabila data penginderaan jauh yang digunakan bersifat multitemporal, maka dapat diaplikasikan untuk kegiatan monitoring, seperti monitoring perubahan luasan, monitoring perubahan distribusi tutupan lahan, dan lain sebagainya (Fathurrohmah et al., 2013).

Adapun di beberapa negara termasuk Indonesia telah banyak dilakukan penelitian tentang pemetaan dan perubahan sebaran dan luas hutan mangrove. Berikut ini adalah beberapa penelitian tentang pemetaan hutan mangrove.


(48)

1. Pemetaan hutan mangrove dan luasannya dilakukan dengan menggunakan citra landsat TM dan SPOT XS di bagian barat pulau Caribbean berdasarkan metode klasifikasi (Dephut, 1993; Green et al., 1998)

2. Pemetaan perubahan luasan hutan mangrove menggunakan data citra SPOT HRV dan Landsat TM di bagian barat pelabuhan Waitemata, Auckland (Goa, 1999)

3. Pemetaan hutan mangrove, luasan dan jenis dengan menggunakan data SPOT di Cilacap (Hartono, 1994).

4. Pemetaan hutan mangrove dengan menggunakan Landsat dan foto udara di Terengganu, Malaysia (Sulong et al., 2002).

5. Pemetaan hutan mangrove dengan menggunakan Landsat 7 ETM+ di Pulau Kabaena Sulawesi Utara (Tarigan, 2008).

6. Pemetaan hutan dengan analisis perubahan luas lahan mangrove di Kabupaten Pouwato Gorontalo menggunakan Landsat TM (Opa, 2010).

Secara visual, tutupan lahan mangrove disajikan ke dalam peta sehingga dapat diketahui distribusinya. Berdasarkan polanya, tutupan lahan mangrove di area pengamatan cenderung membentuk poligon-poligon yang relatif luas dengan bentuk kurang teratur. Pola tersebut mengindikasikan bahwa hutan mangrove cenderung masih alami meskipun tidak merata, sedangkan pada pola poligon-poligon tutupan lahan mangrove yang cenderung memiliki bentuk memanjang dengan lebar yang relatif sempit mengindikasikan adanya eksploitasi ataupun kerusakan hutan mangrove. Adapun pada tutupan lahan mangrove dengan pola membentuk poligon-poligon dengan sudut yang lebih tegas mengindikasikan adanya pengelolaan hutan mangrove dalam bentuk sylvofishery atau wanamina,


(49)

yaitu model pengembangan tambak ramah lingkungan yang memadukan hutan/pohon (sylvo), dalam hal ini mangrove, dengan budidaya perikanan

(fishery) (Fathurrohmah et al., 2013).

Adapun dengan adanya pengaplikasian teknik penginderaan jauh dan SIG maka penelitian dapat memberikan informasi mengenai pengurangan maupun pertambahan tutupan lahan mangrove. Selain itu, hal tersebut juga dapat mempermudah pembuatan basis data dalam rangka pengelolaan hutan mangrove sebagai salah satu sumberdaya dan modal pembangunan (Fathurrohmah et al., 2013).

F. Etnoekologi

Etnoekologi adalah ilmu yang membahas mengenai hubungan yang erat antara manusia, ruang hidup, dan semua aktivitas manusia di bumi. Ilmu etnoekologi merupakan sintesis dan adaptasi dari ilmu geografi, hal ini dikarenakan ilmu geografi cakupannya sangat luas. Karena ilmu geografi yang memiliki cakupan yang sangat luas, maka diperlukan suatu bidang ilmu yang menspesifikan ilmu-ilmu tersebut yang difokuskan pada fenomena-fenomena yang terjadi di ruang aktivitas manusia. Dengan demikian, ilmu etnoekologi merupakan ilmu yang menjembatani ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu lingkungan alam dan ilmu lingkungan yang memfokuskan manusia sebagai aktor dalam aktivitas lingkungan alam (Hilmanto, 2010).


(50)

Bentuk interaksi dan adaptasi manusia dengan alam, yaitu adanya aktivitas manusia mengubah bentang alam di bumi, baik lingkungan biotik dan lingkungan abiotik. Membuka ladang, melakukan domestikasi hewan maupun tumbuhan, melakukan penghijauan, membuat bendungan, dan membuat sistem irigasi merupakan contoh bentuk interaksi dan adaptasi manusia. Manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya tidak bisa lepas dari faktor geografis (Hilmanto, 2010).

Deskripsi prilaku masyarakat berinteraksi dengan alam pada suatu wilayah bisa berlaku pada waktu tertentu, tetapi kondisi saat ini yang terjadi merupakan suatu hasil dari proses yang sudah berlangsung sejak dulu, melalui berbagai macam perubahan. Perubahan-perubahan bisa berlangsung dalam jangka pendek atau dalam jangka panjang. Banjir, gunung meletus, tanah longsor merupakan perubahan dalam jangka pendek yang disebabkan oleh fenomena insidental, sedangkan pola musim yang disebabkan iklim merupakan perubahan yang terjadi dalam jangka panjang. Reaksi dari berbagai macam perubahan geografi tersebut menyebabkan manusia memiliki prilaku untuk mengadakan perubahan dan tanggapan terhadap tawaran atau tawaran yang berubah. Perubahan-perubahan yang mendesak manusia mampu mendorong manusia untuk melakukan penemuan-penemuan baru untuk menjaga kelestarian hidup manusia itu sendiri (Hilmanto, 2010).

Chronological approach merupakan suatu pendekatan yang memfokuskan

perkembangan dinamis dari suatu kajian suatu interaksi manusia dengan alam, berdasarkan proses kronologis dengan memahami kurun waktunya. Menurut


(51)

Baihaqi Arif (2009) dalam Hilmanto (2010) dengan memahami dimensi sejarah atau kronologis, kita tidak hanya dapat mengkaji perkembangannya, melainkan dapat pula melakukan pendugaan proses fenomena atau masalah tersebut pada pasa yang akan datang. Berdasarkan pendekatan sejarah atau kronologi tersebut kita juga dapat melakukan pengkajian dinamika dan perkembangan suatu fenomena di daerah atau wilayah tertentu. Manfaat dari pendekatan sejarah ini dapat digunakan untuk menyusun suatu perencanaan pembangunan suatu aspek kehudupan dan dapat pula menyusun suatu perencanaan yang serasi dan seimbang untuk kepentingan masa yang akan datang.

Spatial approach merupakan pendekatan dengan mengedepankan prinsip‐prinsip

penyebaran, interelasi, dan deskripsi. Ilmu etnoekologi yang mengedepankan pendekatan aktivitas manusia, diarahkan pada aktivitas manusia yang dilakukannya, dengan pertanyaan utama; “bagaimana kegiatan manusia atau

penduduk di suatu daera wi aya yang bersangkutan berja an?” Pendekatan

spatial approach mengenai aktivitas manusia ini juga dikaji penyebarannya,

interelasinya, dan deskripsinya dengan fenomena‐fenomena alaminya (Arif, 2009; dalam Hilmanto, 2009).

G. Karakteristik Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria, 2002).


(52)

Adapun apabila ditinjau dari aspek biofisik wilayah, ruang pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya bersifat khas, maka adanya intervensi manusia pada wilayah tersebut dapat mengakibatkan perubahan yang signifikan, seperti bentang alam yang sulit diubah, proses pertemuan air tawar dan air laut yang menghasilkan beberapa ekosistem khas dan lain-lain. Apabila ditinjau dari aspek kepemilikan, maka wilayah pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya sering memiliki sifat terbuka (open access). Kondisi tersebut berbeda dengan sifat kepemilikan bersama (common property) seperti yang terdapat di beberapa wilayah di Indonesia seperti Ambon dengan kelembagaan Sasi, Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan kelembagaan tradisional Awig-Awig dan Sangihe, Talaud dengan kelembagaan Maneeh yang pengelolaan sumberdayanya diatur secara komunal. Adapun dengan karakteristik open access tersebut, kepemilikan tidak diatur, setiap orang bebas memanfaatkan sehingga dalam pembangunan wilayah dan pemanfaatan sumberdaya sering menimbulkan konflik kepentingan pemanfaatan ruang dan sumberdaya. Selain itu, terdapat pula peluang terjadinya degradasi lingkungan dan problem eksternalitas lebih besar karena terbatasnya pengaturan pengelolaan sumberdaya (Ikhsani dan Winna, 2011).

Masyarakat pesisir pada umumnya sebagian besar penduduknya bermatapencaharian di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resource

based), seperti nelayan, pembudidaya ikan, penambangan pasir dan transportasi

laut. Kondisi lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum tertata dengan baik dan terkesan kumuh. Adapun dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang relatif berada dalam tingkat kesejahteraan


(53)

rendah, maka dalam jangka panjang tekanan terhadap sumberdaya pesisir akan semakin besar guna pemenuhan kebutuhan masyarakat (Ikhsani dan Winna, 2011).


(54)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 hingga Maret 2014. Adapun penelitian dilaksanakan di pesisir Kabupaten Lampung Timur. Berikut ini adalah gambar peta lokasi penelitian.

Gambar 2. Peta lokasi penelitian

U

Legenda:

Provinsi Lampung di luar Kabupaten Lampung Timur Daerah pesisir potensial ditemukannya mangrove

Jalan Lintas Timur Jalan raya

Sungai Laut

PETA

LOKASI PENELITIAN MANGROVE LAMPUNG TIMUR 2013

Skala 1 : 1.043.478

30

5

30

5

30


(55)

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data citra satelit Landsat path 123/132 row 63-64 dengan perekaman peta pada tahun 1973, 1983, 1994, 2004, 2013, serta data-data spasial lain seperti peta Rupa Bumi Indonesia (RBI).

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi perangkat keras dan perangkat lunak, dan alat tulis. Perangkat keras yang digunakan adalah Personal

Computer (PC), Global Posotioning System (GPS), dan kamera. Sedangkan

perangkat lunak yang digunakan adalah ERDAS 8.5, ArcGIS 10, Microsoft Word 2010 dan Microsoft Excell 2010.

C. Jenis Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Data citra Landsat path 123/132 row 63-64 dengan perekaman peta pada tahun 1973, 1983, 1994, 2004, 2013

2. Hasil wawancara

3. Dokumentasi dan temuan saat observasi lapang.

Data sekunder mencakup data yang telah tersedia baik dari studi pustaka,serta dokumentasi dan publikasi instansi terkait. Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.


(56)

1. Penelitian-penelitian terdahulu terkait dengan perubahan penutupan hutan mangrove di Kabupaten Lampung Timur, serta publikasi lainnya.

2. Keadaan umum lokasi penelitian dan sejarah mangrove di lokasi tersebut. 3. Keadaan umum penduduk meliputi kondisi sosial ekonomi penduduk.

D. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan mengunduh citra Landsat dari http://earthexplorer.usgs.gov, wawancara, dan dokumentasi temuan observasi lapang. Wawancara dilakukan kepada masyarakat pesisir Kabupaten Lampung Timur yang ditentukan secara

purposive. Berikut ini adalah langkah-langkah dalam pengumpulan data primer

yang dilakukan dalam penelitian ini.

1. Interview yaitu cara untuk memperoleh data dengan berbentuk pertanyaan

yang menggambarkan pengalaman, pengetahuan, opini, dan perasaan narasumber. Metode yang dilakukan adalah interview standar tak terskedul

(Non-Schedule Standardised Interview).

2. Participant Observation yaitu dilakukan dengan cara mengamati secara

langsung perilaku individu dan interaksi mereka dalam setting penelitian. 3. Telaah Organisation Record yaitu bukti unik dalam studi kasus, yang tidak

ditemui dalam interview dan observasi.

Adapun data sekunder diperoleh dengan dua cara, antara lain dengan mengunduh data secara online, maupun pengumpulan data secara langsung. Mengunduh secara online adalah mengunduh berbagai publikasi ilmiah dari portal-portal


(57)

jurnal dan mengunduh data dari berbagai lembaga survey terkait. Pengumpulan data secara langsung adalah melakukan pengumpulan data dari instansi-instansi terkait.

E. Metode Analisis Data

Teknik analisis data primer dilakukan dengan dua metode. Data primer berupa citra Landsat dianalisis dengan metode Maximum Likehood dengan menggunakan Penginderaan Jauh dan GIS, sedangkan data primer berupa hasil wawancara dan observasi lapang dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Analisis data primer serta data sekunder yang menunjang berupa hasil wawancara serta studi pustaka diolah menggunakan tiga tahapan meliputi reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Adapun prosedur dalam menganalisis data kualitatif, menurut Miles dan Huberman (1984) dalam Sugiyono (2008) adalah sebagai berikut.

1. Reduksi Data

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema danpolanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

2. Penyajian Data

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menampilkan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisadilakukan dalam bentuk uraian


(58)

singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya dengan menggunakan teks yang bersifat naratif.

3. Kesimpulan atau Verifikasi

Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

Adapun data primer berupa citra Landsat diolah dengan menggunakan software ERDAS 8.5 dan ArcGIS 10 dengan tahapan sebagai berikut.

1. Reproject Image

Reproject image diperlukan untuk mengubah proyeksi dari image. Adapun

karena data yang akan digunakan adalah proyeksi Universal Tranverse Mecator

(UTM), maka citra yang proyeksinya bukan UTM perlu diubah menjadi UTM

terlebih dahulu.

2. Koreksi Geometri

Koreksi geometri adalah suatu proses mentransformasi koordinat titik-titik pada citra yang masih mengandung kesalahan geometrik menjadi citra yang benar. Tahapan dalam koreksi geometri antara lain proses retifikasi, yaitu


(59)

memproyeksikan citra yang ada ke bidang datar dan menjadikan bentuk konform dengan sistem proyeksi peta yang digunakan, juga terkadang meng-orientasikan citra sehingga mempunyai arah yang benar (Erdas, 1991).

3. Koreksi Kontras

Koreksi kekontrasan citra bertujuan untuk memperbaiki ketajaman citra sehingga menghasilkan tampilan visual yang terbaik. Metode koreksi kontras yang umum digunakan antara lain metode linier, Gaussian, equalization dan eksponensial.

4. Penggabungan Band

Penggabungan band dilakukan untuk menggabungkan beberapa data citra yang

didownload dengan kondisi masing-masing band terpisah. Penggabungan band

atau sering disebut layerstack dilakukan dengan menggunakan Interpreter pada ERDAS 8.5. Hasil layerstack kemudian diubah kombinasi RGB-nya menggunakan kombinasi 5,4,3 pada citra Landsat 7 dan generasi sebelumnya, serta kombinasi 6,5,3 pada citra Landsat 8.

5. Penggabungan Citra

Adapun dikarenakan wilayah penelitian berada pada lokasi yang dimuat oleh dua buah citra, yaitu path 123/132 row 63 dan path 123/132 row 64, maka diperlukan penggabungan atas kedua citra tersebut. Penggabungan citra atau sering disebut


(1)

web pada 29 Maret 2013, pukul 15:56 WIB. http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jmr

Darmawan, A. 2002. Perubahan Tutupan Lahan di Cagar Alam Rawa Danau. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Green, E.P., C.D. Clark, P.J. Mumby, A.J. Edwards, A.C. Ellis. 1998. International Journal of Remote Sensing.Vol. 19(1998) 935-956. Indiana. USA.

Goa, J. 1999. International Journal of Remote Sensing. Vol. 20 (1999) 2823-2833. Indiana. USA.

Dahuri, R. 1991. Dinamic Interaction between Regional Development and Kutai National Park, East Kalimantan, Indonesia. Journal. Bogor Agricultural University. Bogor.

______. 1997. Aplikasi Teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Perencanaan dan Pengelolaan Tata Ruang Wilayah Pesisir. Makalah. Disampaikan pada Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. PKSPL – Insitut Pertanian Bogor. Bogor.

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Departemen Kehutanan (Dephut). 1993. Laporan Analisa Data Hasil Penafsiran Citra Landsat MSS, Proyek Inventarisasi, Pengukuran dan Pemetaan Hutan. Laporan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Lampung. 2005. Keberadaan Hutan

Mangrove dan Tanah Timbul di Desa-desa Pesisir Sepanjang Pantai Timur Kabupaten Lampung Timur Tahun 2005. Bandar Lampung.

Ekadinata, A., S. Dewi, D.P. Hadi, D.K. Nugroho, F. Johana. 2008. Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Bentang Lahan Berbasis Sumber Daya Lahan. World Agroforestry Centre. Bogor.

Erdas. 1991. Erdas Field Guide. Erdas Inc. Atlanta.

Fathurrohmah, S., B.H. Karina, M. Bramantiyo. 2013. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Hutan Mangrove sebagai Salah Satu Sumberdaya Wilayah Pesisir (Studi Kasus di Delta Sungai Wulan Kabupaten Demak). Jurnal. Disampaikan pada Seminar Nasional Pendayagunaan Informasi Geospatial untuk Optimalisasi Otonomi Daerah 2013. Program Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. Jogjakarta.


(2)

Fitzpatrick, K.A. Lins. 1978. Accuracy and Consistency Comparisons of Land Use and Land Cover Maps Made from High-Altitude Photographs and Landsat Multispectral Imagery. U.S Geological Survey Journal of Research. U.S.

Food and Agriculture Organization (FAO). 1994. Mangrove Forest Management Guidelines. FAO Forestry Paper No. 117. FAO. Rome.

Hartono. 1994. The Indonesia Journal of Geography. Vol. 26, No. 68(1994) 11-26. Faculty of Geography. Universitas Gadjah Mada. Jogjakarta.

Hilmanto, R. 2010. Etnoekologi. Penerbit Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Himpunan Mahasiswa Biologi Universitas Lampung (HIMBIO Unila). 2014. Laporan Survey PKSDA XVII Universitas Lampung. Laporan. Situs Hijau Indonesia. Bandar Lampung.

Hogarth, P.J. 1999. The Biology of Mangrove. Oxford University Press, inc. New York.

Ikhsani, F. Winna. 2011. Optimasi Pengelolaan dan Pengembangan Budidaya Ikan Kerapu Macan pada Kelompok Sea Farming di Pulau Panggang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Tesis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Insitut Pertanian Bogor. Bogor.

Indriyanto. 2005. Ekologi Hutan. PT Bumi Aksara. Jakarta.

Inoue, Y., O. Hadiyati, A.H.M. Afwan, K.R. Sudarma, I.N. Budiana. 1999. Sustainable Management Models For Mangrove Forest. Japan International Cooperation Agency. Japan.

Jensen, J.R. 1996. Remote Sensing of The Environment. Diakses melalui web

pada 25 Agustus 2013, pukul 15:45 WIB.

http://www.amazon.com/gp/aw/d/0131453610

Katelman. 2011. Penelitian Historis. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Kenedie, J. 2010. Revisi Zonasi Taman Nasional Way Kambas. Laporan. Presentasi Kepala Taman Nasional disampaikan dalam rangka pembahasan revisi zonasi TN Way Kambas di hadapan Tim Pokja Direktorat Konservasi Kawasan Ditjen PHKA. Jakarta.

Kun, W. 2014. Ekologi Lahan Basah. Laporan Ekologi Lahan Basah. Universitas Diponegoro. Semarang.


(3)

Kusmana, C., S. Wilarso, I. Hilwan, P. Pamoengkas, C. Wibowo, T. Tiryana, A. Triswanto, Yunasfi, Hamzah. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan Insitut Pertanian Bogor. Bogor.

Kusmana, C. 2011. Konsep Pengelolaan Mangrove yang Rasional. Diakses melalui web pada 25 Agustus 2013, pukul 15:32 WIB.

http://cecep_kusmana.staff.ipb.ac.id/files/2011/01/2010-PAPER-KONSEP-PENGELOLAAN-MANGROVE-YANG-RASIONAL.pdf Kustanti, A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. Kampus IPB Taman Kencana

Bogor. IPB Press. Bogor.

Lillesand, T.M., R.W. Kiefer. 1979. Remote Sensing and Image Interpretation. Diakses melalui web pada 27 Agustus 2013, pukul 19:30 WIB. http://sti.usra.edu/

______. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Terjemahan. UGM Press. Yogyakarta.

Lillesand, T.M. 1997. Estimation of Leaf Area Index Using Ground Spectral – ISPRS. Diakses melalui web pada 27 Agustus 2013, pukul 20:32 WIB. http://www.isprs.org/proceedings/xxxv/

Mansyur, N.S., Temmy. 2012. Ekologi Hutan Mangrove. Universitas Diponegoro. Semarang.

Murai, S. 1996. Remote Sensing Note. Japan Association on Remote Sensing. Japan.

Muslikah, N., A.O. Eriza. 2010. Masyarakat Peduli Pelestarian Hutan Mangrove di Desa Purworejo Pasir Sakti Lampung Timur. Buletin Berita. Wanamina (Wahana Berita Mangrove Indonesia). BPHM II. Medan. Ningsih, S.S. 2008. Analisis Vegetasi Hutan Mangrove. Skripsi. Universitas

Sumatera Utara. Diakses melalui web pada 27 Agustus 2013, pukul 19:17 WIB.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5807/1/057004200.pdf Ningsih, K. 2011. Pemanfaatan Citra Satelit Multisensor-Multiwaktu dalam

Mengidentifikasi Perubahan Penutupan Lahan. Tesis. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Nugroho, A.S., M. Fujimura, T. Inaoke. 2010. Evaluation of Transmigration (transmigrasi) in Indonesia: Changes In Socioeconomic Status, Community Health and Environmental Qualities of Two Specific Migrant Populations. Dissertation. The Graduate School of Agriculture Science. Kagoshima University. Kagoshima. Jepang.


(4)

Onrizal. 2002. Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove dan Alternatif Rehabilitasinya di Jawa Barat dan Banten. Jurnal. Fakultas Pertanian. Program Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Medan.

Opa, E.T. 2010. Analisis Perubahan Luas Lahan Mangrove di Kabupaten Pohuwato Propinsi Gorontalo dengan Menggunakan Citra Landsat. Jurnal. Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNSRAT. Manado.

Pariwono, J.I. 1999. Kondisi Oseanografi Perairan Pesisir Lampung. CRC/URI CRMP NRM Secertariat. Jakarta.

Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Timur. 2002. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur Nomor: 03 Tahun 2002 tentang Rehabilitasi Pesisir, Pantai dan Laut dalam Wilayah Kabupaten Lampung Timur. Peraturan Daerah. Sukadana. Lampung Timur.

Pemerintah Daerah Provinsi Lampung. 2000. Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Lampung. Kerjasama Pemerintah Daerah Provinsi Lampung dengan Proyek Pesisir Lampung dan PKSPL – IPB. Bandar Lampung.

Priyanto. 2012. Dalam berita: 48% Hutan ‘Mangrove’ di Lampung Rusak. Harian Lampung Post. Diakses melalui web pada 28 Agustus 2013, pukul 4:17 WIB. http://watala.org/new/?p=156

Puntodewo, A., D. Sonya, T. Jusupta. 2003. Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Center for International Forestry Research. Jakarta.

Purnobasuki, H. 2004. Potensi Mangrove sebagai Tanaman Obat. Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Jogjakarta.

Satria, A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta Selatan.

Singh. 1989. Change Detection Using Various Image Processing Algorithms on Dehradoon City. Indian Insitute of Remote Sensing. India. Diakses melalui web pada 27 Maret 2013, pukul 20:17 WIB. http://www.gisdevelopment.net/application/environtment/conservation/ma f06_14.html

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta. Bandung.

Sulong, I., H. Mohd-Lokman, K. Mohd-Tarmizi, A. Ismail. 2002. Mangrove Mapping using Landsat Imagery and Aerial Photographs: Kemaman


(5)

District, Terengganu, Malaysia Environment, Development Sustainability. Journal. 4(4) (2002) 135-152. Malaysia.

Susilo, S.B. 1997. Penginderaan Jauh untuk Mangrove. Fakultas Perikanan IPB. Bogor.

Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh Jilid I. Gadjah Mada University Press. Bulaksumur. Yogyakarta.

______. 1994. Penginderaan Jauh. Gadjah Mada University Press. P.O.Box 14 Bulaksumur. Yogyakarta.

Tarigan, M.S. 2008. Sebaran dan Luas Hutan Mangrove di Wilayah Pesisir Teluk Pising Utara Pulau Kabaena Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal. Bidang Dinamika Laut Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta.

Thomas, N.E., C. Huang, S.N. Goward, S. Powell, K. Rishmawi, K. Schleeweis. 2011. Validation of North American Forest Disturbance Dynamics Derived from Landsat Time Series Stacks. Remote Sensing of Environment. Elsevier Inc. USA.

Tim Coastal Resources Management Project (CRMP). 1998. Laporan Penyelidikan Geologi Lingkungan Daerah Pesisir Pantai Propinsi Lampung. Laporan. Proyek Pesisir Lampung. Resources Management Project. Bandar Lampung.

Tim Lampung Mangrove Center (LMC). 2010. Pengelolaan Kolaboratif Hutan Mangrove Berbasis Pemerintah, Masyarakat dan Perguruan Tinggi. Profil (Portofolio) Lampung Mangrove Center. Lampung Mangrove Center Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Diakses melalui web pada 28

Maret 2013, pukul 13:33 WIB.

http://xa.yimg.com/kq/groups/2395425/1427403687/name/PROFIL+LAM PUNG+MANGROVE+CENTER.pdf

Tirtakusumah, R. 1994. Pengelolaan Hutan Mangrove Jawa Barat dan Beberapa Pemikiran untuk Tindak Lanjut. Jurnal. Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove di Jember, 3-6 Agustus 1994. Jember.

United States Geological Survey (USGS) Earth Explorer. United States Geological Survey. ttp eart e p orer usgs gov

Warga Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup (Watala). 2009. 48% Hutan

‘Mangrove’ di Lampung Rusak Dipublikasi oleh Harian Lampung Post.

Diakses melalui web pada pada 27 Maret 2013, pukul 20:35 WIB. http://watala.org/new/?p=156

Wedehanto, S. 2004. Penggunaan Citra Landsat 7 ETM untuk Menduga Keberadaan Air Tanah – Studi Kasus Pemboran Sumur P2AT di Wilayah


(6)

Kabupaten Madiun. Jurnal. Riset Program S2 Bidang Ilmu Penginderaan Jauh. FTSP. Insitut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.

Wetlands. 2009. Luas Kawasan Mangrove Per Kabupaten. Wetlands. Diakses melalui web pada 30 Agustus 2013, pukul 15:35 WIB. http://indonesia.wetlands.org/Portals/28/PDF/Luas%20Kawasan%20Mang rove%20Per%20Kabupaten.pdf

Wijaya, S.W. 2005. Aplikasi Penginderaan Jauh dengan Citra Satelit Quickbird Untuk Pemetaan Mangrove di Pulau Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Skripsi. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Wiryawan, B., B. Marsden, H.A. Susanto, A.K. Mahi, M. Ahmad, H. Poespitasari. 1999. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung. E-book kerjasama PEMDA Propinsi Lampung dengan Proyek Pesisir (Coastal Resources Center, University of Rhode Island dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor). Bandar Lampung.