PERANAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR (CURANMOR) RODA DUA (Studi Pada Polsek Labuhan Maringgai Lampung Timur)

ABSTRACT
POLICE ROLE IN MOTOR YEHICLE THETT ERADICATE
(cuRAr[MoR) TWO WTTEELS
(Studies in East Lampung Police Labuhan Marnggai)
By The
AMBOASE AP
The Police are trying to build an empirical understanding of the universal aspects
of police functions and related sociological understanding of the history of
struggle and culture of Indonesia. The research problem is how the role of the
police in dealing with motor vehicle theft (curanmor) two wheels in East
Lampung Police Labuhan Maringgai? and what factors which inhibit the role of
police in dealing with motor vehicle theft (curanmor) two wheels in East
Lampung Police Labuhan Maringgai?
Data analysis was performed using a qualitative analysis method that is after the
data obtained systematically described and summarized in a manner thought to be
a general inductive answer to the problem based on the results of the research.

The results showed that the role / legal action Labuhan Maringgai police in
tackling the crime of theft of motorcycles has actively perform actions in dealing
with the crime of theft of motorcycles. Factors inhibiting the role of the police in
dealing with motor vehicle theft (cwanmor) two wheels in Labuhan Maringgai

East Lampung Police, Criminal limited resources and inhibiting of the welfare of
members, resulting in the occurrence of irregularities in the conduct of the
investigation. Role llegal action Labuhan Maringgai police in tackling the crime
of theft of motorcycles has actively perform actions in dealing with the crime of
theft of motorcycles.
Advice, it is expected to Labuan police chief Maringgai to cooperate with FKPM,
community policing, and the agency side in order to improve efforts preemptive,
preventive and repressive. To improve the disclosure of the case and eliminate
abuses in Labuhan Maringgai police.
Keywords: Role, Police, mauling

ABSTRAK
PERANAN KEPOLISIAN DALAM MENAI\GGULANGI PENCT]RIAN
KENDARAAN BERMOTOR (CURANMOR) RODA DUA
(Studi Pada Polsek Labuhan Maringgai Lampung Timur)
Oleh
AMBOASE AP
Polri berusaha membangun pemahaman empiris tentang aspek fungsi Kepolisian
universal dan pemahaman sosiologis yang terkait dengan sejarah perjuangan dan
budaya bangsa Indonesia. Permasalahan penelitian adalah bagaimanakah peranan

Kepolisian dalam menanggulangi pencurian kendaraan bermotor (curanmor) roda
dua di Polsek Labuhan Maringgai Lampung Timur? dan faktor-faktor apakah
yang menghambat peranan Kepolisian dalam menanggulangi pencurian kendaraan
bermotor (curanmor) roda dua di Polsek Labuhan Maringgai Lampung Timur ?

Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis secara kuatitatif
yaitu setelah data didapat diuraikan secara sistematis dan disimpulkan dengan cara
pikir induktif sehingga menjadi gambaran umum jawaban permasalahan
berdasarkan hasil penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran/tindakan hukum Polsek Labuhan
Maringgai dalam menanggulangi tindak pidana pencurian kendaraan bermotor
roda dua telah berperan aktif melakukan tindakan-tindakan dalam menangani
tindak pidana pencurian kendaraan bermotor roda dua. Faktor penghambat
peranan Kepolisian dalam menanggulangi pencurian kendaraan bermotor
(curanmor) roda dua di Polsek Labuhan Maringgai Lampung Timur, keterbatasan
sumber daya Reskrim dan tingkat kesejahteraan anggota yang tidak memadai,
mengakibatkan terjadinya hambatan-hambatan dalam pelaksanaan kegiatan
penyidikan. Peran/tindakan hukum Polsek Labuhan Maringgai dalam
menanggulangi tindak pidana pencurian kendaraan bermotor roda dua telah

berperan aktif melakukan tindakan-tindakan dalam menangani tindak pidana
pencurian kendaraan bermotor roda dua.

Saran, itu diharapkan kepada Kapolsek Labuhan Maringgai untuk menjalin
kerjasama dengan FKPM, Polmas, dan instansi samping guna meningkatkan
upaya preemtif preventif dan represif. Untuk meningkatkan pengungkapan
perkara dan mengeliminir penyimpangan yang terjadi di Polsek Labuhan
Maringgai.
Kata Kunci: Peranan, Kepolisian, Curanmor

PERANAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI PENCURIAN
KENDARAAN BERMOTOR (CURANMOR) RODA DUA
(Studi Pada Polsek Labuhan Maringgai Lampung Timur)

Oleh
AMBOASE AP
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
MAGISTER HUKUM
Pada

Program Pascasarjana Magister Hukum
Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015

PERANAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI PENCURIAN
KENDARAAN BERMOTOR (CURANMOR) RODA DUA
(Studi Pada Polsek Labuhan Maringgai Lampung Timur)

TESIS

Oleh
AMBOASE AP

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG

2015

DAFTAR ISI

Halaman
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ............................................
1. Permasalahan Penelitian......................................................
2. Ruang Lingkup Penelitian ...................................................
C. Tujuan dan Kegunaan ...............................................................
1. Tujuan Penelitian ................................................................
2. Kegunaan Penelitian............................................................
D. Kerangka Pikir ..........................................................................
1. Teori Peranan ......................................................................
2. Teori Penegakan Hukum .....................................................
3. Teori Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap
Penegakan Hukum ..............................................................
E. Metode Penelitian......................................................................
1. Pendekatan Masalah ............................................................

2. Sumber dan Jenis Data ........................................................
3. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ....................
4. Analisis Data .......................................................................

1
6
6
6
7
7
7
8
8
10
11
15
15
15
17
18


BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hukum Pidana dan Tindak Pidana ..........................
B. Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Roda Dua .......
C. Pengertian, Tugas dan Fungsi Kepolisian Republik
Indonesia (Polri)) ......................................................................
1. Pengertian Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
Menurut UU No. 2 Tahun 2002 dan KUHAP ....................
2. Tugas Kepolisian Republik Indonesia (Polri) .....................
3. Fungsi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) ....................
D. Sebab-sebab terjadinya Tindak Pidana Pencurian ....................

19
30
40
40
41
44
46


BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Peranan Kepolisian dalam Menanggulangi Pencurian
Kendaraan Bermotor (Curanmor) Roda Dua di Polsek
Labuhan Maringgai Lampung Timur ........................................ 50
B. Faktor Penghambat Peranan Kepolisian Menanggulangi
Pencurian Kendaraan Bermotor (Curanmor) Roda Dua
di Polsek Labuhan Maringgai Lampung Timur ........................ 76
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................... 77
B. Saran .......................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGAIYTAR

Jlhntdulillah, puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas
Iimpahan rahmat dan hidayahNya sehingga pernrlis dapat menyelesaikan tesis ini,

lang berjudul: PERANAIII KEPOLNIAN DALAM MENAI\iGGULAI\IGI
PEI{CURTAN KENDARAA}I BERMOTOR (CURANMOR) RODA DUA
(Studi Pada PolsekLabuhan Maringgai Lampung Timur).


Penulis dalam melakukan penulisan tesis ini tidak sedikit mendapatkan hambatan,

ujian dan berbagai persoalan. Namun dengm adanya keterlibatan berbagai pihak
]ang telah mernberikan bantuan, dorongan, bimbingan, petunjuk, kritik dan saran
sehingga penulis dapat melaluinya dengan baik. Oleh karena dalam kesempatan

ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan

Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

2.

Bapak

Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Pasca


Sarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Dr.Nikmah

Rosidah,S.H.,M.H. selaku Ketua Sub Program Hukum Pidana

Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung sekaligus sebagai selaku

Penguji I yang juga memberikan saran kepada penulis.

4.

Bapak Dr.Eddy Rifai, S.H., M.H., selaku Pembimbing

I

yang berkenan

meluangkan waktu dan pikiran unfuk membac4mengoreksi,mengarahkan dan


mendukung penulis selama pembuatan tesis degan penuh perhatian dan
kesabaran hingga terselesaikan nya tesis

5. Ibu Dr,Erna Dewi S.H.,M.H.,

ini

selaku Pembimbing

II yang berkenan

meluangkan waktu dan pikiran untuk membaca, mengoreksi, mengarahkan

rl"n mendukung penulis selama pembuatan tesis degan penuh perhatian dan
kesabaran hingga terselesaikan nya tesis

6.

ini

Bapak Dr.Heni Siswanto,S.H.,M.H Selaku penguji yang telah memberi
masukan dan saran membantu penulis hingga terselesaikannya tesis ini.

7.

Bapak Dr.Maroni,s.H.,M.H selaku

3enguji

yang telah memberi masukan dan

saran rrembantu penulis hingga terselesaikannya tesis

8.

ini.

Seluruh Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat.

9-

S€hrruh Staf

Dan

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

I^mpung
10.

Bapak Brigadir Polisi Samsul Selaku penyidik Pembantu Polsek Labuhan
Maringai Lampung Timur,Selaku Narasumber Wawancara

ll.

Bapak Tri Andrisman,S.H.,M.H Selaku Salah Satu Praktik Hukum Fakultas
Hukum Universitas Lampung

12. S€rta

tidak lupa kepada bapak Ahmat salet5S.H.,MH ,Bapak rusmiadi S.H

serta Ibu Nurma

Yani S.H.,M.H yang selalu membantu memberian dorongan

dan semangat kepada saya agar tidak gampang menyerah sesulit apapun yang
saya hadapi seperty layak nya ke dua orang tua saya.
I 3.

Almamaterku tercinta.

-'l

Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan, semangat, dan dorongan
Jalarn p€n)'usunan tesis ini, yang tidak bisa disebutkan satu-persatu

: :::*iS menyadari bahwa tesis

ini masih banyak kekurangan dan jauh dari

)e:r;wrur. Penulis dengan terbuka mengharapkan saran yang membangun guna

*erlE6ptlrllakan tesis ini.
Semoga tesis ini bermanfat bagi pembaca dan ilnu
;ergetahuan.

Bandar l-ampung, 15 Januari 2015

MENGESAHKAN

L.

/.

Tim Pengui
Pembimbing I

Dr,Eddy Rifai, S.H, M.H.

Pernbimbing II

Dr,Erna Dewi S-H., M.H.

Penguji

Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H.

Penguji

Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H.

Penguji

Dn Maroni,S.H,,M.H

ogt0lKAA

:b6+f",
'^i"'irsjT'

)--fl\

siss
ndi, s.H., M.S.
62L109 198703 1 003

iarwo, S.H., M.S.
28t98t03 L 002

Tanggal Lulus Ujian Tesis : 15 fanuari ZOLS

Xudul Tesis

PERANAN KEPOTISIAN DAIIIJI{
MENANGGUUTNGI PENCURIAN
KENDARAAN BERMOTOR
(CUMNMOR) RODA DUA
{Studi Pada Polsek tabuhan Maringgai

Lampung Timur)
Nama Mahasiswa

AMBOASE AP

liomor Pokok Mahasiswa

1222011047

frogram Kekhususan

Hukum Pidana

Program Studi

Program Pascasarjana Magister Hukum

Fakultas

Hukum
MENYETUIUI
Komisi Pembimbing

Pembimbing Utama

_-

/7

Pembimbing Pendamping

Rifai, S.H., M.H.
P.19610912198603 1003
I Eddy

Dr Erna Dewi, S.H., M.H.
NIP. 19610715 198503 2003

MENGETAHUI
Ketua Program
Program Studi Magister

rJana
m fakultas Hukum
ung

S.H., M.Hum.
198603 1 001

PER}TYATAAIY

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1. Tesis

ini

dengan

judul PERANAN KEPOLISIAII

DALAM

MENANGGULANGI PENCURIAN KENDARAAII BERMOTOR
(CURANMOR)Roda Dua (Studi Pada Polsek Labuhan Maringgai
Lampung Timur) adalah karya, saya sendiri dan saya tidak melakukan
penjiplakan (plagiat) dari karya penulis lain dengan carayangtidak sesuai
dengan etika'ilmiah yang berlaku dalam akademik.

2. Hak intelektual atas karya ilmiah ini

diserahkan sepenuhnya kepada

Universitas Lampung.

Atas pbrnyataan ini, apabila di kemudian hari ternyata ditemukan ketidakbenaran,
saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan berdasarkan hukum

yang berlaku

Bandar Lampung, 15 Januari 2015
Pembuat Pernyataan

NPM t222011047

PERSEMBAHAN
puji syukur kupersembahkan kehadirat allah swt
yang tiada bandingannya yang telah menjadikan segalah sesuatu yang sulit ini
menjadi mudah,
dengan segalah kerendahan hati kupersembahkan karya kecilku ini kepada:
Bapak Hi.Ambo Ocong & ibu Hj.Indo Kanto yang telah membesarkan dan
mendidikku dengan penuh kesabaran dan kasih sayang,yang selalu berdo’a
disetiap waktu demi keberhasilan anakmu tersayang.
Kakakku: Hj.Bunga Intan,Hj.Indo Ufek,Ambo Acok,Hj.Indo Asse,Ambo
Siang.Hj.Indo Jemmah(alm),hi.Ambo Angka,Hj.Tantri Ampah,Terima kasih atas
dukungan serta bimbingan nya.
Kakak Iparku:Abdul Talib,Hi.Abdul Gani(Alm),Indo Assa, Hi.Arifin (alm),
Nurlena, Hj.Yusma Wati S,Pd ,Basok Jamal, terima kasih atas dukungan serta
bimbingannya.
Serta ponakanku tersayang (Tahani, Indo Ake ,Ambo Tappa ,Abdul Rahmat
,Ambo Ufek ,Firda Yanti ,Rina Yanti ,Rani Susanti ,Selvi Diana ,M Aldi
Kurniawan ,Celvin Eka Saputra ,Vira ,Reza ,M Yusuf Riski)yang telah
menjadikan ku dewasa secara berfikir dan bertanggung jawab

Almamater Tercinta Universitas Lampung

MOTO

“bila kau ingin dicintai,belajarlah mencintai dan bersikap dapat dicintai”
(Benjamin Franklin)
“Tawa menyembuhkan berbagai kepedihan”
(Madeleine L’Engle)
“Tidak mempunyai kontrol atas perasaan adalah seperti berlayar dengan kapal
tampa kemudi,yang akan pecah berkeping-keping ketika terbentur batu karang
yang pertama”
(mahatma gandhi)
“jangan perna menyepelekan sesuatu,karna belum tentu apa yang anda
sepelekan itu mudah sesuwai apa yang anda fikirkan”
“hargailah orang bila anda ingin dihargai orang lain”
“kerjakan apa yang dapat anda kerjakan hari ini’jangan menunggu hari
esok,karna waktu tidak akan menunggumu”
“katakan itu benar bilah memang benar dan jangan perna takut mengatakan
salah bilah memang itu salah’meski nyawa taruhan nya”

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Arnboase AP, beragama Islam dilahirkan di Jambi, pada Tanggal

01 Juni 1985 penulis

mlyakan

anak kesembilan dari Sembilan bersaudara yang

merupakan buah cinta kasih dari pasangan bapak Hi. Ambo Ocong Dengan Ibu

Hj.Indo Kanto. Riwayat pendidikan penulis SDN 01 Pasir Salli Lampung Timur
Yang diselesaikan pada tahun 1998. SLTP PGRI 4 Jabung Lampung Timur pada
tahun 2001, SMU Perjuangan Lampung Timur pada tahun 2004.Padatahun2007

penulis diterima sebagai mahasisiwa Fakultas Hukum Universitas Lampung dan
lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikan tinggi di

Program Pasca Sarjana Universitas Lampung dan untuk lebih mematangkan
ilmu hukum yang diperoleh, penulis mengkonsentrasikan diri pada hukum pidana

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Polri Pasca orde Baru adalah Polri yang berbeda dengan masa sebelumnya. Bila
selama rezim pembangunan Polri dijadikan sebagai instrumennya, sekarang tidak
lagi. Sejak 1 April 1999, secara kelembagaan Polri keluar dari Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Sebagai mana organisasi Kepolisian di
negara-negara demokrasi lainnya, fungsi Polri selanjutnya adalah sebagai alat
negara, penegak hukum, pelindung dan pengayom serta pelayan masyarakat.1

Apabila hal ini terjadi, maka kesatuan ini tidak lagi mampu mengklaim dirinya
sebagai Kepolisian Negara Republik Indonesia, melainkan Kepolisian yang jauh
dari rakyat yang harus dilindungi dan dilayaninya, yakni rakyat Indonesia. Hampir
satu dasawarsa sudah didengar jargon “Reformasi Menuju Polri yang Profesional”
belakangan, jargon tadi mendapat tambahan satu kata kunci lagi, yakni
“Mandiri”.2

1

Sesuai dengan tuntutan reformasi, Tri Barata pun mendapatkan pemaknaan baru. Bila
sebelumnya menggunakan Bahasa Sansekerta, sejak Sarasehan Sespimpol 17-19 Juni 2002 di
Lembang dasar dan pedoman moral Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Bahasa
Indonesia maknanya adalah: 1. Berbakti kepda nusa dan bangsa dengan penuh ketaqwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. 2. Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam
menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
3. Senantiasa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk
mewujudkan keamanan dan ketertiban. Lihat Jendral Pol (Purn.) Awaloedin Djamin et al, Sejarah
Perkembangan Kepolisian di Indonesia: Dari Zaman Kuno sampai sekarang, hlm. 493
2
LMUI dan Kepolisian Negara RI, Reformasi Berkelanjutan: Institusi Kepolisian Republik
Indonesia, Bidang Sumber Daya Manusia, Kemitraan, Jakarta, 2006, hlm. 7.

2

Efektivitas dan efisiensi pengolahan keamanan dan ketertiban, Polri sudah
seharusnya masuk dan menjadi bagian dari ABRI dan instrumen kekuasaan,
sehingga sifat militeristiknya sangat terlihat, kedepan Polri harus berprilaku sipil
dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Demikian juga dalam
memecahkan masalah kejahatan, Polri harus professional dan proporsional. Selain
itu, Polri harus lebih dekat dengan rakyat di dalam melaksanakan misi penegak
hukumnya. Menjunjung tinggi keadilan dan menghormati Hak Asasi Manusia
(HAM), merupakan persyaratan lain yang harus dilakukan Polri dalam
mereformasikan dirinya, dengan kata lain dalam mewujudkan misinya Polri harus
membangun citra sebagai pelindung, pengayom, pelayanan masyarakat, serta
penegak hukum yang menjunjung tinggi HAM.

Banyak faktor berada di luar Polri, utamanya soal anggaran buat Polri misalnya,
tak semuanya ditentukan oleh Polri sendiri, dalam sistem politik yang demokratik,
tak satu rupiah pun anggaran departemen dan lembaga Negara yang lepas dari
peran DPR didalamnya. Reformasi memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada kita untuk melakukan pemikiran ulang (rethinking) tentang berbagai aspek
kehidupan bernegara. Belajar dari sejarah pengalaman politik selama ini, ternyata,
jiwa kemerdekaan yang terkandung dalam UUD 1945 belum sepenuhnya
dilaksanakan secara optimal.3
Kedaulatan rakyat yang merupakan pangkal tolak Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) lebih banyak dijadikan retorika daripada dilaksanakan. Presiden
yang mustinya menjadi kepala kekuasaan eksekutif, dimasa lalu justru menjadi
pemimpin dari tiga kekuasaan sekaligus: legislatif, eksekutif, yudikatif.

Polri, yang mestinya menjadi alat Negara bukan alat kekuasaan-berama TNI,
dintegrasikan ke dalam ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) untuk
menjadi pilar utama stabilitas politik di dalam negri. Untuk sekian lama, baik
dimasa Presiden Suekarno, dan terutama di era Soeharto, peran ABRI yang
demikian justru dilembagakan. Kesempatan untuk menata ulang struktur dan
3

Ibid, hlm. 3

3

peran lembaga-lembaga Negara agar sesuai dengan UUD 1945 baru dapat
dilakukan setelahreformasi politik terjadi. Tiadanya kekuatan sentral yang sangat
dominan, telah memungkinkan bangsa ini menyusun kembali landasan pokok
dalam bernegara secara modern, yakni konstitusi. Bahkan, bila konstitusi
dianggap perlu diamandemen, bukan lagi menjadi sesuatu yang tabu dan itulah
yang terjadi, lewat empat kali amandemen, dalam waktu relatif yang cepat, telah
mampu melakukan berbagai perubahan langkah dalam berbangsa dan bernegara.4

Reformasi Polri diharapkan mampu mewujudkan Polri sebagai alat penegak
hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsip masyarakat madani (civil society), yang
berincikan supermasi hukum dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).
Kedua, Keputusan Presiden RI No. 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian
Negara RI lebih melembagkan lagi kedudukan Polri yang lepas dari Departemen
Pertahanan RI. Disana dinyatakan bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia
berkedudukan langsung dibawah Presiden” (Passal 2 ayat 1). Keppres ini yang
lahir bersamaan dengan HUT Polri pada 1 Juli 2000 selanjutnya menyatakan juga
bahwa untuk masa dalam urusan ketentraman dan ketertiban umum. Ketiga, untuk
lebih memberikan bobot hukum mengenai kedudukan Polri yang baru tersebut,
selanjutnya dirumuskanlah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri. Dalam Pasal 1 Tap MPR
tersebut ditegaskan bahwa “Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi
masing-masing. Dalam Pasal 2 Ayat (1) dinyatakan bahwa “Tentara Nasional
Indonesia alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan” (Pasal 2 ayat
2). Untuk lebih memperkuat peran kedua institusi yang sebelumnya pernah
menyatu tersebut, MPR kemudian membuat Ketettapan No. VII/MPR/2000
tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik
Indonesia.

Khusus mengenai Polri dinyatakan dalam Tap MPR sebagai berikut : Kepolisian
Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam
memelihara keamanan

dan ketertiban masyarakat,

menegakkan

hukum,

memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Mengenai posisi Polri, selanjutnya, dinyatakan dalam salah satu konsideran Tap
MPR tersebut bahwa TNI dan Polri merupakan lembaga yang setara
kedudukannya. Oleh karenanya, baik panglima TNI maupun Kapolri, sama-sama
4

Awaloedin Djamin et al., Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia, dari zaman
Kuno sampai Sekarang, Penerbit PTIK Press, 2006, hlm. 25

4

“berada di bawah Presiden” dan “…diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, yang membedakannya
adalah bahwa “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk kepada
kekuasaan peradilan umum”, sementara TNI tunduk pada peradilan militer Selain
itu, “ Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dibantu oleh lembaga Kepolisian nasional”. Reformasi Polri selanjutnya
ditegaskan dalam UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Berangkat dari semangat perubahan tersebut di atas, maka Polri berusaha
membangun pemahaman empiris tentang aspek fungsi Kepolisian universal dan
pemahaman sosiologis yang terkait dengan sejarah perjuangan dan budaya bangsa
Indonesia. Lewat reformasi pula Polri berupaya menggugah semua pihak untuk
ikut berperan serta di dalam upaya mewujudkan Polri yang mampu menjawab
tantangan profesi mas depan sesuai tuntunan reformasi.

Secara operasional, Polri berusaha melakukan perubahan struktural, instrumenal
dan kultural. Dengan cara itu maka kemandirian Polri merupakan salah satu pilar
untuk mewujudkan masyarakat madani. Aspek struktural menyangkut instusi,
organisasi, susunan dan kedudukan. Perubahan instrumenal melibatkan perubahan
filosofi, doktrin, kewanangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan iptek.
Sementara perubahan cultural memusatkan pada manajemen sumber daya,
manajemen operasional dan sistem pengawasan masyarakat, yang pada gilirannya
akan berakibat pada perubahan tata laku, etika dan budaya pelayanan Kepolisian.

5

Secara universal, peran polisi dalam masyarakat dirumuskan sebagai penegak
hukum (law enforcement officers, pemelihara ketertiban (order maintenance).
Peran tersebut didalamnya mengandung pula penertian polisi sebagai pembasmi
kejahatan (crime fighters). Namun di dalam negara yang sistem politiknya
otoriter, makna peran polisi sebagai alat penegak hukum reduksi menjadi alat
kekuasaan.

Berpijak dari kenyataan ini penulis akan menggali, mengkaji, kemudian akan
mengadakan penelitian untuk mendapatkan informasi, data dan kesimpulan
mengenai peranan Polri dalam Menciptakan kondisi masyarakat yang kondusif,
terhindar dari rasa takut dan khawatir akan terjadinya gangguan keamanan dan
ketertiban masyarakat terutama dari gangguan tindak pidana pencurian kendaraan
bermotor roda dua.

Berdasarkan data dari Polsek Labuhan Maringgai Lampung Timur diperoleh data
bahwa kasus pencurian kendaraan (curanmor) bermotor roda dua selama periode
bulan Januari hingga September 2014 sebanyak 17 kasus, dan kasus yang selesai
ditangani sebanyak 8 kasus, dengan banyaknya kasus pencurian kendaraan
(curanmor) bermotor roda dua Kepolisian dituntut untuk meningkatkan peran dan
fungsi sebagai pelindung dan pengayom bagi ketertiban dan keamanan
masyarakat khususnya dalam menanggulangi pencurian kendaraan bermotor
(curanmor) roda dua.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul: Peranan Kepolisian Dalam Menanggulangi

6

Pencurian kendaraan bermotor (curanmor) roda dua (Studi Pada Polsek Labuhan
Maringgai Lampung Timur)
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan Penelitian
Berdasarkan

latar

belakang

di

atas,

maka

peneliti

mengangkat

permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah peranan Kepolisian dalam menanggulangi pencurian
kendaraan bermotor (curanmor) roda dua di Polsek Labuhan Maringgai
Lampung Timur.
b. Faktor-faktor apakah yang menghambat peranan Kepolisian dalam
menanggulangi pencurian kendaraan bermotor (curanmor) roda dua di
Polsek Labuhan Maringgai Lampung Timur

2. Ruang Lingkup Penelitian
Agar tidak terjadi kerancuan dalam pembahasan sehingga memungkinkan
penyimpangan dari judul, maka peneliti membatasi ruang lingkup dalam
penelitian ini hanya terbatas pada hukum pidana, khususnya meliputi:
1) Peranan Kepolisian dalam menanggulangi pencurian kendaraan
bermotor (curanmor) roda dua di Polsek Labuhan Maringgai Lampung
Timur.
2) Faktor-faktor penghambat peranan Kepolisian dalam menanggulangi
pencurian kendaraan bermotor (curanmor) roda dua di Polsek Labuhan
Maringgai Lampung Timur.

7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian proposal ini, pada garis besarnya adalah untuk
menjawab permasalahan, yaitu:
a. Untuk memahami dan menganalisis peranan Kepolisian dalam
menanggulangi pencurian kendaraan bermotor (curanmor) roda dua di
Polsek Labuhan Maringgai Lampung Timur.
b. Untuk memahami dan menganalisis faktor-faktor penghambat peranan
Kepolisian dalam menanggulangi pencurian kendaraan bermotor
(curanmor) roda dua di Polsek Labuhan Maringgai Lampung Timur

2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang diharapkan dari penelitian adalah sebagai berikut:
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis diharapkan penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan
kajian bagi kalangan hukum dalam mengembangkan dan memperluas
ilmu pengetahuan dan dalam bidang hukum pada umumnya dan
khususnya hukum pidana.
b. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan
kepada Praktisi Hukum khususnya, serta kepada masyarakat umumnya
untuk mengetahui dan turut serta berpartisipasi dalam peranan

8

Kepolisian dalam menanggulangi pencurian kendaraan bermotor
(curanmor) roda dua di Polsek Labuhan Maringgai Lampung Timur.
D. Kerangka Pikir

1. Teori Peranan
Peranan menurut Poerwadarminta adalah “tindakan yang dilakukan seseorang
atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa” Berdasarkan pendapat di atas
peranan adalah tindakan yang dilakukan orang atau sekelompok orang dalam
suatu peristiwa, peranan merupakan perangkat tingkah laku yang diharapkan,
dimiliki oleh orang atau seseorang yang berkedudukan di masyarakat. Kedudukan
dan peranan adalah untuk kepentingan pengetahuan, keduanya tidak dapat
dipisahkan satu sama lain.5

Menurut Soerjono Soekanto, peranan adalah sebagai berikut: Peranan merupakan
aspek dinamis kedudukan (status) apabila seseorang melaksanakan hak dan
kewajibannya maka ia menjalankan suatu peranan. Konsep tentang Peran (role)
adalah sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.

Bagian dari tugas utama yang harus dilakukan oleh manajemen
Pola prilaku yang diharapkan dapat menyertai suatu status
Bagian suatu fungsi seseorang dalam kelompok atau pranata
Fungsi yang diharapkan dari seseorang atau menjadi karakteristik yang ada
padanya
e. Fungsi setiap variabel dalam hubungan sebab akibat.6

5

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. PT.Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm.

6

Soerjono Soekanto, Teori Peranan, Bumi Aksara, Jakarta, 2002, hlm. 243.

751.

9

Teori peranan yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa
peranan (role) merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status), sebagai aspek
dinamis maka peranan mencakup:
a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian
peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan
masyarakat.
b. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapt dilakukan oleh individu
dalam masyarakat yang organisasi.
c. Peranan yang dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi
struktur masyarakat.7

Suatu peranan dari individu atau kelompok dapat dijabarkan:
1.

Peranan yang ideal (ideal role)

2.

Peranan yang seharusnya (expect role)

3.

Peranan yang dianggap diri sendiri (perceived role)

4.

Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role). 8

Peran merupakan tingkah laku individu yang mementaskan suatu kedudukan
tertentu. Dalam peranan yang berhubungan dengan pekerjaannya, seseorang
diharapkan menjalankan kewajiban-kewajibannya yang berhubungan dengan
peranan yang dipegangnya. Melalui belajar berperan, norma-norma kebudayaan
dipelajari. Eshelem, J.R, Cashion, E.G & Basirico,L. A membedakan peran
menjadi role ambiguity, role strain dan role conflict. Role ambiguity adalah peran
yang terjadi bila harapan-harapan yang terkait dengan status tertentu tidak jelas.
Role strain adalah peran yang terlalu banyak harapan atau tuntutan yang berbeda
dari status sosial, misal status wanita pekerja mampunyai peran yang overload.
Role conflict terjadi apabila tuntutan atas harapan perilaku dari dua atau lebih
status sosial inidvidu. Namun, lain lagi pengertian peranan yang dikemukakan
oleh Soerjono Soekanto. Ia mengatakan bahwa “peranan (role) merupakan aspek
dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan
kewajibannya sesuai kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan. 9

7

Ibid, hlm. 243.
Ibid, hlm. 245.
9
Ibid, hlm. 245.
8

10

Peranan adalah perangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu atau
kelompok untuk melaksanakan hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
pemegang peran sesuai dengan yang diharapkan masyarakat. Setiap orang
memiliki macam-macam peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupya.
Hal ini sekaligus berarti bahwa peranan menentukan apa yang diperbuatnya bagi
masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat
kepadanya.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat diambil pengertian bahwa

peranan merupakan penilaian sejauh mana fungsi seseorang atau bagian dalam
menunjang usaha pencapaian tujuan yang ditetapkan atau ukuran mengenai
hubungan 2 (dua) variabel yang merupakan hubungan sebab akibat.

Begitu pentingnya peranan sehingga dapat menentukan status kedudukan
seseorang dalam pergaulan masyarakat. Posisi seseorang dalam masyarakat
merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu pada organisasi
masyarakat. Hal inilah yang hendaknya kita fikirkan kembali, karena
kecenderungan untuk lebih mementingkan kedudukan daripada peranan. Hal ini
juga yang menunjukkan gejala yang lebih mementingkan nilai materialisme
daripada spiritualisme. Nilai materialisme dalam kebanyakan hal diukur dengan
adanya atribut-atribut atau ciri-ciri tertentu yang bersifat lahiriah dan di dalam
kebanyakan hal bersifat konsumtif. Tinggi rendahnya prestise seseorang diukur
dari atribut-atribut lahiriah tersebut, misalnya gelar, tempat kediaman mewah,
kendaraan, pakaian, dan sebagainya. Hal-hal tersebut memang diperlukan, akan
tetapi bukanlah yang terpenting dalam pergaulan hidup manusia.

2. Teori Penegakan Hukum

11

Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto
Rahardjo, merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan
hukum menjadi kenyataan.10

Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini menurut Satjipto Rahardjo
yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang
dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat
hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana
penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses
penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak
hukum itu sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa
keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan
tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan
itu dibuat.11

3. Teori Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Penegakan Hukum

Pada proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto, dipengaruhi
oleh lima faktor, yaitu
a. faktor hukum atau peraturan perundang-undangan.
b. faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam
peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah
mentalitas.
c. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum.
d. faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang
merefleksi dalam perilaku masyarakat.
e. faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup. 12

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan
esensi dari penegak hukum, juga merupakan tolok ukur dari pada efektivitas
penegakan hukum. Berdasarkan dengan faktor-faktor tersebut, Gunnar Myrdal
sebagaimana di kutip oleh Soerjono Soekanto, menulis sebagai Sof Development
10

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, 1983. hlm. 24.
Ibid, hlm. 25.
12
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, BPHN & Binacipta, Jakarta 1983, hlm. 15;
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,Rajawali, Jakarta.
1983. hlm. 4,5.
11

12

dimana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan, ternyata tidak
efektif. Gejala-gejala semacam itu akan timbul. Apabila ada faktor-faktor tertentu
menjadi halangan faktor- faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum,
penegak hukum, para pencari keadilan (Jastitabeken) maupun golongan-golongan
lain di dalam masyarakat.13

Agar sistem hukum dapat berfungsi dengan baik, Parson mempunyai gagasan,
yang nampaknya dapat menjadi semacam alternatif, beliau menyebut ada 4
(empat) hal yang harus diselesaikan terlebih dahulu, yaitu:
a. Masalah legitimasi (yang menjadi landasan bagi penataan kepada aturanaturan).
b. Masalah interprestasi (yang menyangkut soal penetapan hak dan kewajiban
subyek, melalui proses penerapan aturan tertentu).
c. Masalah sanksi (menegaskan sanksi apa, bagaimana penertapannya dan siapa
yang menerapkannya).
d. Masalah yuridis yang menetapkan garis kewenangan bagi yang berkuasa
menegakkan norma hukum, dan golongan apa yang berhak diatur oleh
perangkat norma itu.14

Berpijak pada pendapat Parson ini maka untuk menanggulangi dan memberantas
tindak pidana pencurian kendaraan bermotor maka masalah legitimasi,
interpretasi, sanksi dan kewenangan ini harus diselesaikan terlebih dahulu.

Teori Rawls didasarkan atas dua prinsip yaitu Ia melihat tentang Equal Right dan
juga Economic Equality. Dalam Equal Right dikatakannya harus diatur dalam
tataran leksikal, yaitu different principles bekerja jika prinsip pertama bekerja
atau dengan kata lain prinsip perbedaan akan bekerja jika basic right tidak ada
yang dicabut (tidak ada pelanggaran HAM) dan meningkatkan ekspektasi mereka
yang kurang beruntung. Dalam prinsip Rawls ini ditekankan harus ada
pemenuhan hak dasar sehingga prinsip ketidaksetaraan dapat dijalankan dengan
kata lain ketidaksetaraan secara ekonomi akan valid jika tidak merampas hak
dasar manusia.15

Bagi Rawls rasionalitas ada 2 bentuk yaitu Instrumenal Rationalitydimana akal
budi yang menjadi instrumen untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi
dan kedua yaitu Reasonable, yaitu bukan fungsi dari akal budi praktis dari orang
per orang. Hal kedua ini melekat pada prosedur yang mengawasi orang-orang
yang menggunakan akal budi untuk kepentingan pribadinya untuk mencapai suatu
13

Ibid, hlm. 127
Ibid, hlm. 128
15
Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali), Bandung: PT. Refika Aditama. 2004, hlm. 150
14

13

konsep keadilan atau kebaikan yang universal. Disini terlihat ada suatu prosedur
yang menjamin tercapainya kebaikan yang universal, dengan prosedur yang
mengawasi orang per orang ini akan menghasilkan public conception of justice.
Untuk itu Rawls mengemukakan teori bagaimana mencapai public conception,
yaitu harus ada well ordered society (roles by public conception of justice)
dan person moral yang kedunya dijembatani olehthe original position. Bagi
Rawls setiap orang itu moral subjek, bebas menggagas prinsip kebaikan, tetapi
bisa bertolak belakang kalau dibiarkan masyarakat tidak tertata dengan baik. Agar
masyarakat tertata dengan baik maka harus melihat the original position. Bagi
Rawls public conception of justice bisa diperoleh dengan original position.
Namun bagi Habermas prosedur yang diciptakan bukan untuk melahirkan prinsip
publik tentang keadilan tetapi tentang etika komunikasi, sehingga muncul prinsip
publik tentang keadilan dengan cara consensus melalui percakapan di ruang
publik atau diskursus.16

Sementara itu Satjipto Rahardjo, membedakan berbagai unsur yang berpengaruh
dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses,
yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan
tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat
dalam proses penegakan hukum.
1) Unsur pembuatan undang-undang cq. lembaga legislatif.
2) Unsur penegakan hukum cq. Polisi, Jaksa dan Hakim.
3) Unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial. 17

Pada sisi lain, Jerome Frank dalam Theo Huijbers, juga berbicara tentang berbagai
faktor yang turut terlibat dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor ini
selain faktor kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka politik, ekonomi,
moral serta simpati dan antipati pribadi. 18

Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell
dalam Mochtar Kusumaatmadja, konsep budaya hukum itu menjelaskan
keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan
posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktik-praktik
hukum, sikap warga Negara terhadap hukum dan kemauan dan ketidakmauannya
untuk mengajukan perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam
menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik dan bentuk
diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan demikian, variasi
budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaanperbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada
masyarakat yang berbeda.19
16

Ibid, hlm. 152
Satjipto Rahardjo, Op. cit., hlm. 23,24.
18
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1991. hlm. 122.
19
Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Fungsi dan Perkem-bangan Hukum dalam Pembangunan
Nasional, Binacipta, Bandung, hlm. 25.
17

14

Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan Perundang-undangan, telah
diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan,
yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial
yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal
dengan konsep hukum law as a tool of social engineering dari Roscoe Pound atau
yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmadja disebutkan sebagai hukum
yang berfungsi sebagai sarana untuk membantu perubahan masyarakat. 20

Menurut Max Weber dalam bukunya A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto,
karakter keberpihakan hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai
hukum yang emansipatif. Hukum yang emansipatif mengindikasikan sifat
demokratis dan egaliter, yakni hukum yang memberikan perhatian pada upaya
memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar
kepada warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan politis untuk
dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dikatakan bahwa hukum yang responsif
terdapat di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi semangat demokrasi.
Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan demi hukum itu
sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan untuk membuat
pemerintah senang, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam
masyarakat.21

Arti terpenting dari adanya hukum pidana sebagai bagian dari sistem hukum yang
berlaku di dalam suatu negara terletak pada tujuan hukum pidana itu sendiri yakni
menciptakan tata tertib di dalam masyarakat sehingga kehidupan masyarakat
dapat berlangsung dengan damai dan tenteram. Tujuan hukum pidana secara
umum demikian ini, sebenarnya tidak banyak berbeda dengan tujuan yang ingin
dicapai oleh bidang-bidang hukum lainnya. Perbedaannya terletak pada cara kerja
hukum pidana dalam mencapai tujuannya, yaitu bahwa upaya untuk mewujudkan
20

Ibid, hlm. 11.
A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial (Buku I),
Sinar Harapan, Jakarta, 1988. hlm. 483.
21

15

tata tertib dan suasana damai ini oleh hukum pidana ditempuh melalui apa yang di
dalam ilmu hukum pidana dikenal dengan istilah pemidanaan atau pemberian
pidana.

E. Metode Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah secara yuridis
normatif.
1. Pendekatan Masalah
a. Pendekatan Yuridis Normatif
Pendekatan

yuridis

normatif

ini

dilaksanakan

melalui

studi

kepustakaan (library research).
b. Pendekatan Empiris
Pendekatan yang dilakukan melalui penelitian secara langsung
terhadap objek penelitian dengan cara observasi dan wawancara yang
berhubungan dengan masalah penelitian.

2. Sumber dan Jenis Data
a. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu kepada pendapat
Soerjono Soekanto yang bersumber dari penulisan kepustakaan
(library research) dan penelitian lapangan (field research).22

b. Jenis Data
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah:

22

Soerjono Soekamto, Metode Penelitian Sosial, UI Press, Jakarta, 1991, hlm. 76.

16

1) Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara studi
kepustakaan (library research).

Data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu:
1) Bahan Hukum Primer dimaksud, antara lain yaitu:
a. Undang-Undang Dasar 1945 hasil Amandemen
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang
Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakukan Peraturan
Hukum Pidana di Seluruh Indonesia (KUHP)
c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
d. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.
e. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia
f. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pedoman
Pelaksanaan KUHAP
2) Bahan hukum sekunder yaitu terdiri dari karya ilmiah, makalah
dan tulisan ilmiah lainnya yang berhubungan dengan masalah
yang diteliti.

17

3) Bahan hukum tersier merupakan data pendukung yang berasal
dari informasi dari media massa, kamus Bahasa Indonesia dan
Kamus Hukum maupun data-data lainnya.

2) Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung terhadap
objek

penelitian

dengan

cara

obervasi

(observation)

dan

wawancara (interview).

3. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
a. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
1) Studi Lapangan (Field Research)
a) Observasi (observation) atau pengamatan, dilaksanakan dengan
jalan mengamati objek penelitian.
b) Wawancara (interview), wawancara ini dilakukan untuk
mengumpulkan data primer yaitu dengan cara wawancara
langsung

secara

terarah

(directive

interview)

terhadap

narasumber yang terkait dengan permasalahan penelitian
tersebut, yaitu:
(1) Penyidik Kepolisian Sektor Labuhan Maringgai: 1 orang
(2) Akademisi Fakultas Hukum Unila
Jumlah

: 1 orang
: 2 orang

18

2) Studi Pustaka (Library Research)
Mempelajari literatur-literatur untuk memperoleh data sekunder
yang berhubungan dengan masalah yang diteliti berupa azas-azas
hukum, peraturan-peraturan hukum dan bahan hukum lain yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti.
b. Prosedur Pengolahan Data
Setelah data diperoleh baik data primer maupun data sekunder,
kemudian data tersebut diperiksa kelengkapan dan relevansinya sesuai
dengan permasalahan. Setelah data tersebut diperiksa mengenai
kelengkapannya dapat diketahui dari data tersebut yang mana
dipergunakan untuk dianalisis.

4. Analisis Data
Setelah diperoleh data kemudian dianalisis dengan menggunakan metode
analisis secara kualitatif yaitu setelah data didapat diuraikan secara
sistematis dan disimpulkan dengan cara pikir induktif sehingga menjadi
gambaran umum jawaban permasalahan berdasarkan hasil penelitian.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hukum Pidana dan Tindak Pidana

Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum Publik
merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya sejak
zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting eksistensinya dalam menjamin
keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan
(bahkan) merupakan “lembaga moral” yang berperan merehabilitasi para pelaku
pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan tuntutan tindak pidana yang
ada di setiap masanya.

Menurut W.L.G. Lemaire dalam Lamintang menyebutkan bahwa hukum pidana
itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan laranganlarangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu
sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan
demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem
norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan
untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukum itu
dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi
tindakan-tindakan tersebut.23

Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, bahwa hukum pidana adat pun yang tidak
dibuat oleh negara atau political authority masih mendapat tempat dalam
pengertian hukum pidana. Hukum adat tumbuh dan berakar dalam kesadaran dan
pergaulan hidup masyarakat. Kenyataan masih berlakunya hukum adat di
Indonesia sampai saat ini tidak dapat dipungkiri, dengan demikian maka
perumusan hukum pidana adalah bagian dari hukum positif yang berlaku di suatu
negara dengan memper-hatikan waktu, tempat dan bagian penduduk, yang
memuat dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan mengenai tindakan larangan atau
23

1-2.

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm.

20

tindakan keharusan dan kepada pelanggarnya diancam dengan pidana.
Menentukan pula bilamana dan dalam hal apa pelaku pelanggaran tersebut
dipertanggungjawabkan, serta ketentuan-ketentuan mengenai hak dan cara
penyidikan, penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana demi tegaknya
hukum yang bertitik berat kepada keadilan. Perumusan ini mencakup juga hukum
(pidana) adat, serta bertujuan mengadakan keseim-bangan di antara pelbagai
kepentingan atau keadilan.24

Pidana menurut Barda Nawawi Arief memiliki pengertian perbuatan yang
dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat
melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sedangkan
Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana, untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain
perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan PerundangUndangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan
kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat
melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.25

Menurut Roscoe Pound dalam Lili Rasjidi menyatakan bahwa konstelasi negara
modern, hukum dapat difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of
social engineering).26

Roscoe Pound menekankan arti pentingnya hukum sebagai sarana rekayasa sosial
ini, terutama melalui mekanisme penyelesaian kasus oleh badan-badan peradilan
yang akan menghasilkan jurisprudensi. Konteks sosial teori ini adalah masyarakat
dan badan peradilan di Amerika Serikat. Dalam konteks ke Indonesiaan, fungsi
hukum demikian itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja diartikan sebagai sarana
pendorong pembaharuan masyarakat.27

Sebagai sarana untuk mendorong pembaharuan masyarakat, penekanannya
terletak pada pembentukan peraturan Perundang-Undangan oleh lembaga
legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi masyarakat baru yang
24

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,:
Alumni AHM- PTHM, Jakarta, 1982, hlm. 15-16.
25
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 1996, hlm. 152-153.
26
Roscoe Pound, Filsafat Hukum, Bhratara. Lili Rasjidi, Jakarta 1992, Dasar-Dasar Filsafat
Hukum,Alumni, Bandung, 1978. hlm. 43.
27
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Hukum Dalam Masyarakat Yang Sedang Membangun,
BPHN-Binacipta, Jakarta, 1978. hlm. 11.

21

ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan peraturan PerundangUndangan itu.

Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto
Rahardjo, merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan
hukum menjadi kenyataan.28

Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini menurut Satjipto Rahardjo
yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk Undang-Undang yang
dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat
hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana
penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses
penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat pene

Dokumen yang terkait

PERAN POLISI DALAM MENANGGULANGI PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR (Studi Kasus di Polresta Bandar Lampung)

3 17 42

UPAYA POLRI DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENADAHAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA (Studi Wilayah Hukum Polresta Bandar Lampung)

3 63 57

UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA (Studi Kasus di Wilayah Hukum Polsek Way Jepara Kabupaten Lampung Timur)

2 58 75

PERAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN KEKERASAN YANG MENYEBABKAN KORBAN MENINGGAL DUNIA (STUDI PADA POLDA LAMPUNG)

2 35 67

Tinjauan Kriminologis terhadap Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Roda Dua dengan Kekerasan (Begal) yang Dilakukan oleh Pelajar (Studi Kasus Polsek Delitua)

5 45 60

Tinjauan Kriminologis terhadap Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Roda Dua dengan Kekerasan (Begal) yang Dilakukan oleh Pelajar (Studi Kasus Polsek Delitua)

0 0 7

Tinjauan Kriminologis terhadap Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Roda Dua dengan Kekerasan (Begal) yang Dilakukan oleh Pelajar (Studi Kasus Polsek Delitua)

0 1 1

Tinjauan Kriminologis terhadap Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Roda Dua dengan Kekerasan (Begal) yang Dilakukan oleh Pelajar (Studi Kasus Polsek Delitua)

0 0 32

Tinjauan Kriminologis terhadap Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Roda Dua dengan Kekerasan (Begal) yang Dilakukan oleh Pelajar (Studi Kasus Polsek Delitua)

0 0 4

Tinjauan Kriminologis terhadap Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Roda Dua dengan Kekerasan (Begal) yang Dilakukan oleh Pelajar (Studi Kasus Polsek Delitua)

0 0 2