UPAYA PEMDA DALAM ALIH FUNGSI TANAH PERTANIAN MENJADI TANAH NON PERTANIAN UNTUK PEMBANGUNAN PLTU (STUDI KASUS DI KECAMATAN KANDEMAN, KABUPATEN BATANG)

(1)

UPAYA PEMDA DALAM ALIH FUNGSI TANAH PERTANIAN MENJADI TANAH NON PERTANIAN UNTUK PEMBANGUNAN PLTU

(STUDI KASUS DI KECAMATAN KANDEMAN, KABUPATEN BATANG)

SKRIPSI

Diajukan dalam Rangka Penyelesaian Studi Strata I Untuk Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

AGUS GUNAWAN 3301411138

JURUSAN POLITIK DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2015


(2)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi pada:

Hari : Tanggal :

Pembimbing I Pembimbing II

Martien Herna Susanti, S.Sos., M.Si. Drs. Sunarto, M.Si.

NIP. 19730331 200501 2 001 NIP. 19630612 198601 1 002

Mengetahui,

Ketua Juruasan Politik dan Kewarganegaraan

Drs. Slamet Sumarto, M.Pd. NIP. 19610127 198601 001


(3)

(4)

iv

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Apabila dikemudian hari terbukti skripsi ini adalah hasil jiplakan dari karya tulis orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Semarang, Juni 2015

Agus Gunawan NIM. 3301411138


(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

 Jangan tanya apa yang dibuat oleh negara untukmu, tapi tanyalah apa yang boleh kamu buat untuk negara (Abraham Lincorn).

 Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan selama ada komitmen bersama untuk menyelesaikannya (Al Baqarah: 153)

PERSEMBAHAN

Dengan penuh kebahagiaan kupersembahkan skripsi ini untuk :  Ayah dan ibuku tercinta

 Keluarga yang telah mendukung  Almameterku Unnes

 Rakhima An naafy Solekha, S.Pd.

 Keluarga Bapak Sunarto, S.Pt.  Keluarga Bapak Waryono  Keluarga Kos Baitussalam  Keluarga Kos Imtihan  Sedulur Viking Batang


(6)

vi PRAKATA

Puji syukur bagi Allah SWT yang selalu senantiasa menganugerahkan rahmat, taufik, hidayah serta kenikmatan dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “UPAYA PEMDA DALAM ALIH FUNGSI TANAH PERTANIAN MENJADI TANAH NON PERTANIAN UNTUK PEMBANGUNAN PLTU (STUDI KASUS DI KECAMATAN KANDEMAN,

KABUPATEN BATANG)”. Penulisan skripsi ini disusun untuk memenuhi salah

satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Politik dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak karena itu pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tiada terhingga kepada :

1. Prof. Fathur Rohman, M.Hum, Rektor Universitas Negeri Semarang, yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan studi di Universitas Negeri Semarang.

2. Dr. Subagyo, M.Pd, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan ijin penelitian.

3. Drs. Slamet Sumarto, M.Pd., Ketua Jurusan Politik dan Kewarganegaraan yang telah memberikan kemudahan dalam administrasi.

4. Martien Herna Susanti, S.Sos., M.Si., pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan sarannya.

5. Drs. Sunarto, M.Si., pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan sarannya.

6. Heru Setyo Wibowo S.Sos., MM., Kepala Bidang Litbang BAPPEDA Batang yang telah memberikan rekomendasi ijin penelitian.

7. H. Harun Al Rasyid, S.H., Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor BPN Batang yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.


(7)

vii

8. Supomo, SH., MH., Sekretaris BPMPT Batang yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.

9. Sunarto, S.P., Kasie Holtikultura dan Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Batang yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.

10.Casmudin, Sekretaris Desa Ujungnegoro, Kecamatan Kandeman yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.

11.Sawal, Kepala Desa Karanggeneng, Kecamatan Kandeman yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.

12.Warga Desa Ujungnegoro dan Karanggeneng, Kecamatan Kandeman yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini.

13.Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Besar harapan penulis bila segenap pembaca memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan selanjutnya. Akhirnya penilis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penyusun, pembaca dan semua pihak yang memerlukan.

Semarang, Juni 2015


(8)

viii SARI

Gunawan, Agus. 2015. “UPAYA PEMDA DALAM ALIH FUNGSI TANAH PERTANIAN MENJADI TANAH NON PERTANIAN UNTUK PEMBANGUNAN PLTU (STUDI KASUS DI KECAMATAN KANDEMAN,

KABUPATEN BATANG)”. Jurusan Poltik dan Kewarganegaraan. Fakultas Ilmu

Sosial. Universitas Negeri Semarang.

Kata Kunci: Upaya Pemda, Alih Fungsi Tanah, PLTU Batang.

Pada dasarnya pembangunan PLTU Batang di Kecamatan Kandeman termasuk kedalam katagori pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diatur dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang Tahun 2011 – 2031. Pengadaan tanah untuk pembangunan PLTU Batang masih terkendala mengenai ganti rugi tanah. Maka perlu diadakan penelitian oleh penulis untuk mengkaji tentang pelaksanaan ganti rugi pengadaan tanah untuk pembangunan PLTU Batang di desa Karanggeneng dan Ujungnegoro Kandeman. Gunan mengungkap hal-hal yang berkaitan dengan upaya Pemda dalam alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian untuk pembangunan PLTU Batang.

Penelitian mengenai upaya Pemda dalam alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian untuk pembangunan PLTU Batang, dikaji dengan teori-teori dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku yang dapat dijadikan sebagai landasan teori. Hal ini dilakukan agar dalam pengelolahan data tidak bertentangan dengan konsep pemikiran peneliti. Teori yang digunakan dalam penelitian menggunakan teori pendekatan yuridis empiris dimana penelitian dilakukan dengan metode kualitatif. Sementara data diperoleh melalui studi pustaka. Analisis data menggunakan metode analisis kualitatif melalui kegiatan pengumpulan data, reduksi data, dan kesimpulan atau verifikasi data.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis mengenai upaya Pemda dalam alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian untuk pembangunan PLTU Batang, pelaksanaan penetapan harga ganti rugi tanah yang dilakukan pengembang terhadap warga pemilik tanah kurang memperhatikan dari segi fisik tanah dan nilai ekonomisnya. Harga ganti rugi tanah yang ditetapkan dari pihak pengembang hanya berpatokan pada pagu anggaran yang ditetapkan oleh pengembang dan harga tanah disamaratakan, hal inilah yang membuat warga yang mempunyai tanah di pinggir jalan dan tanah pertanian produktif merasa dirugikan sehingga membuat warga melakukan demo meminta harga ganti tidak disamaratakan. Pemerintah mengupayakan memberikan pemahaman dengan melakukan pendekatan, penyuluhan dan sosialisasi agar warga pemilik tanah memahami fungsi tanah sebagai milik sosial dan melakukan musyawarah mufakat, mediasi antara pemilik tanah dengan pengembang agar mencapai kesepakatan antara pemilik tanah dan pihak pengembang.


(9)

ix ABSTRACK

Gunawan , Agus . 2015. " LG EFFORTS IN AGRICULTURAL LAND TRANSFER FUNCTIONS TO BE NON FARM LAND FOR DEVELOPMENT Power Plant (CASE STUDY IN DISTRICT KANDEMAN , DISTRICT BAR ) " . Department of Politics and Civic . Faculty of Social Sciences . Semarang State University.

Keywords : local government efforts , the Land Transfer Function , PLTU Batang. Basically the construction of the power plant in the district of Batang Kandeman included into the category of land acquisition for public purposes set out in Regulation Spatial Plan, Batang in 2011 - 2031. Procurement of land for the construction of the power plant is still constrained Trunk land compensation. It is necessary to research by the authors to assess the implementation of the compensation of land acquisition for the construction of the power plant in the village of Batang Karanggeneng and Ujungnegoro Kandeman. Opment reveal matters relating to local government efforts in the conversion of agricultural land into non-agricultural for power plant Trunk.

Research on the efforts of local governments in the conversion of agricultural land into non-agricultural for power plant rods, studied the theories and the legislation in force which can be used as a theoretical basis. This is done so in pengelolahan data are not opposed to the concept of thought researchers. The theory used in the study using the theory of juridical empirical approach in which research is conducted with qualitative methods. While the data obtained through library. Analysis of the data using the method of qualitative analysis through data collection, data reduction, and conclusions or data verification.

Based on research by the author regarding local government efforts in the conversion of agricultural land into non-agricultural rod for power plant, the implementation of the pricing of land compensation conducted developers to landowners less attention in terms of soil physical and economic value. Land compensation price is determined from the developers just based on the budget ceiling set by the developer and generalized land prices, this is what makes people who have land on the roadside and productive agricultural land so as to make citizens feel aggrieved demonstration asking price does not replace generalized , Government shall provide insight into the approach, education and socialization that landowners understand soil functions as social property and do consensus, mediation between landowners with developers in order to reach an agreement between the land owner and developer.


(10)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PERNYATAAN ... iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

PRAKATA ... v

SARI ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Penegasan Istilah ... 9

F. Sistematika Skripsi ... 10

BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori Tentang Tanah ... 12

1. Pengertian Tanah ... 12

2. Tanah Pertanian ... 13

3. Tanah Non Pertanian ... 16

4. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum ... 17

5. Sistem Pengadaan Tanah ... 20


(11)

xi

7. Tanah Bagi Kepentingan masyarakat dan Pembangunan... 32

8. Penatagunaan Tanah ... 34

B. Kajian Teori Tentang Pemerintahan Daerah ... 38

1. Kewenangan Pemda di Bidang Pertanahan ... 38

C. Kajian Tentang Tentang Proyek Pembangunan PLTU ... 44

1. Proyek Pembangunan PLTU ... 44

D. Kerangka Berfikir ... 46

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 48

B. Lokasi Penelitian ... 48

C. Fokus Penelitian... 49

D. Sumber Data Penelitian ... 50

E. Teknik Pengumpulan Data ... 51

1. Wawancara (Interview)... 51

2. Observasi ... 51

3. Dokumentasi ... 52

4. Studi Pustaka ... 52

F. Validitas Data Penelitian ... 53

G. Model Analisis Data ... 56

H. Prosedur Penelitian ... 58

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN I Hasil Penelitian ... 60

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 60

1. Gambaran Umum Kecamatan Kandeman ... 60

2. Penggunaan Lahan Sawah di Kecamatan Kandeman ... 63

B. Persoalan-persoalan Dalam Alih Fungsi Tanah Pertanian Menjadi Non Pertanian Untuk Pembangunan PLTU ... 64

1. Kurangnya Kepedulian Masyarakat Untuk Mengorbankan Tanah . 64 2. Adanya Warga yang Tidak Sepakat dengan Harga yang ditetapkan oleh Pihak Pengembang ... 65


(12)

xii

3. Harga Ganti Rugi Disamaratakan ... 68

C. Regulasi Alih Fungsi Tanah Pertanian Menjadi Non Pertanian Untuk Pembangunan PLTU ... 69

1. Kesesuaian Pembangunan PLTU Batang dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang ... 69

2. Pelaksanaan Alih Fungsi Tanah Dilihat Dari Data Fisik dan Data Yuridis ... 73

a. Pihak Instansi yang Memerlukan Tanah Mengajukan Permohonan Pengadaan Tanah dan Penetapan Lokasi Kepada Panitia dari Instansi yang Memerlukan Tanah ... 75

b. Pemberian Ijin Perubahan Penggunaan Tanah Pertanian Menjadi Non Pertanian ... 78

c. Pelaksanaan Pemberian Ijin Lokasi Bagi Pembangunan PLTU Batang ... 79

D. Upaya Pemerintah Kabupaten Batang dalam Menanggapi Persoalan Alih Fungsi Tanah Pertanian Menjadi Non Pertanian ... 86

1. Musyawarah Penentuan Besaran Harga Ganti Kerugian ... 86

2. Pemerintah Membentuk Forum Komunikasi ... 88

E. Dampak Pembangunan PLTU Batang ... 89

II Pembahasan ... 91

BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 101

B. Saran ... 102


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Luas Wilayah dan Klasifikasi Tanah Kecamatan Kandeman ... 62 2. Luas Lahan Sawah di Kecamatan Kandeman Tahun 2013... 63 3. Susunan Keanggotaan Tim Teknis Perijinan Terpadu Kabupaten


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN

Gambar Halaman

4.1 Peta Kecamatan Kandeman ... .60 4.2 Proyek Pembangunan PLTU Batang ... .77 4.3 Lokasi Proyek Pembangunan PLTU Batang... .81

Bagan Halaman

1. Kerangka Berfikir ... .47 2. Prosedur Ijin Lokasi di BPMPT Kabupaten Batang ... .83


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Pedoman Wawancara ... 106

2. Surat Ijin Penelitian Kantor BPN Batang ... 120

3. Surat Ijin Penelitian Desa Karanggeneng ... 121

4. Surat Rekomendasi BAPPEDA Batang ... 122

5. Surat Keterangan Kantor BPN ………… ... 123

6. Surat Keterangan Dinas Pertanian dan Peternakan Batang .……….... 124

7. Surat Keterangan BPMPT ... 125

8. Surat Keterangan Desa Karanggeneng ... 126

9. Rekapitulasi Penggunaan Lahan Sawah Kecamatan Kandeman 2013 ... 127

10. Rencana Luas Tanam Padi 2015 ... 128

11. Data Status Sawah Kabupaten Batang ... 130

12. Profil BPMPT ... 132


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka memenuhi amanat Pembukaan UUD 1945, dari tahun ke tahun terus meningkat. Bersamaan dengan itu jumlah penduduk terus bertambah, dan sejalan dengan semakin meningkatnya pembangunan dan hasil-hasilnya, maka semakin meningkat dan beragam pula kebutuhan penduduk itu. Termasuk dalam kegiatan pembangunan nasional itu adalah pembangunan untuk kepentingan umum. Pembangunan untuk kepentingan umum ini harus terus diupayakan pelaksanaannya seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk yang disertai dengan semakin meningkatnya kemakmurannya.

Penduduk yang semakin bertambah dengan tingkat kemakmuran yang semakin baik, tentunya membutuhkan berbagai fasilitas umum seperti: jaringan transportasi, fasilitas pendidikan, peribadatan, sarana olahraga, fasilitas komunikasi, fasilitas keselamatan umum dan sebagainya. Pembangunan fasilitas-fasilitas umum tersebut memerlukan tanah sebagai wadahnya. Dalam hal jika persediaan tanah masih luas, maka pembangunan fasilitas umum tersebut tidak menemui masalah, tetapi persoalannya tanah merupakan sumberdaya alam yang sifatnya terbatas, dan tidak pernah bertambah luasnya. Oleh sebab itu tanah merupakan kebutuhan vital manusia. Tanah yang produktif semakin lama semakin sempit, sementara yang


(17)

2

menggunakan semakin bertambah, dan hal ini akan mempengaruhi terhadap hasil produksi pertanian, luas tanah, dan jumlah tenaga kerja. Tanah yang tersedia sudah banyak yang dilekati dengan hak (tanah hak), dan tanah negara sudah sangat terbatas persediaannya. Permasalahan ini dianggap penting karena penyusutan lahan/tanah pada akhirnya menyangkut alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian.

Pada masa sekarang ini sangat sulit melakukan pembangunan untuk kepentingan umum di atas tanah negara, dan sebagai jalan keluar yang ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah hak. Kegiatan “mengambil” tanah (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum (pasal 1 Keppres No. 55 tahun 1993).

Permintaan akan tanah dari tahun ke tahun semakin meningkat dengan tajam, bahkan di banyak tempat telah terjadi komersialisasi tanah yang cenderung semakin individualistik dan terkosentrasi pada segelintir pemilik. Kejadian ini menyebabkan fungsi sosial tanah sebagian besar telah bergeser dan berubah menjadi fungsi ekonomi atau produksi saja.

Undang-Undang Pokok Agraria sendiri melalui Pasal 16 ayat (1) dan (2), memberikan landasan hukum bagi pengambilan tanah hak ini dengan menentukan: untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang. Dalam hal ini, kebijakan yang berkaitan dengan tata


(18)

ruang dan alih fungsi lahan merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam upaya penataan serta pengaturan kecenderungan penggunaan lahan. Lebih dari itu diharapkan mampu mengendalikan laju alih fungsi lahan pertanian dalam suatu wilayah guna menjaga keseimbangan lingkungan.

Pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat yang terjadi di Kabupaten Batang, menuntut adanya pembangunan berbagai infrastruktur sehingga permintaan lahan pertanian menjadi non pertanian untuk pembangunan menjadi cukup besar. Dengan meningkatnya permintaan lahan yang semakin meningkat menyebabkan degradasi lahan pertanian yang sangat pesat. Tidak terkecuali pada Kecamatan Kandeman. Kecamatan Kandeman ini merupakan salah satu Kecamatan yang memiliki sistem pertanian yang sudah baik. Hal ini dikarenakan selain jenis tanah yang subur untuk pertanian, jumlah lahan pertanian di Kecamatan Kandeman tersebut cukup luas. Dari data yang didapatkan Kecamatan Kandeman memiliki luas wilayah sekitar 41.175,675 Ha atau 5,29 persen dari luas total Kabupaten Batang. Jumlah penduduk Kecamatan Kandeman adalah 47.072 jiwa. Kecamatan Kandeman terdiri dari 13 desa. Sebagian besar wilayah kecamatan Kandeman terdiri dari lahan kering sebesar 62% atau seluas 2.584,019 Ha dan lahan sawah seluas 1.591,656 Ha. Dari 13 desa yang ada di Kecamatan Kandeman tersebut tercatat bahwa terdapat 3 desa yang akan terkena dampak dari proyek pembangunan PLTU, antara lain Desa Karanggeneng dan Desa Ujungnegoro. Pembangunan PLTU ini akan dibangun di kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban, yang merupakan kawasan kaya ikan dan terumbu


(19)

4

karang, kawasan yang menjadi wilayah tangkapan ikan nelayan dari berbagai wilayah di Pantai Utara Jawa (BPS Kabupaten Batang).

Alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian untuk pembangunan PLTU di Kecamatan Kandeman menjadi suatu permasalahan sosial karena Kandeman memiliki tanah yang subur dan masyarakat yang mayoritas sebagai petani dan nelayan sehingga mereka harus mengikuti arus perekonomian yang menuntut adanya alih fungsi tanah pertanian.

Total kebutuhan lahan PLTU Batang seluas 326 Ha. Lahan tersebut sebanyak 226 ha akan digunakan untuk power block dan 100 ha diperuntukkan bagi pembangunan jaringan transmisi dan gardu induk. Adapun untuk power block total lahan yang sudah dibebaskan mencapai 87 persen dan sisanya akan menjadi tanggung jawab PLN untuk membebaskan lahannya (Antara News, Maret 2013)

Pembangunan PLTU ini mempunyai dampak negatif maupun dampak positifnya. Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya pembangunan PLTU ini adalah terdapatnya polutan-polutan beracun yang menyebabkan berbagai dampak serius bagi kesehatan terhadap warga disekitar PLTU. Pasalnya batubara merupakan bahan bakar fosil terkotor, selain menjadi penyumbang utama emisi karbon penyebab perubahan iklim, pembakaran batubara di PLTU juga melepaskan berbagai polutan beracun ke udara seperti Nox, Sox, PM 2,5 dan Mercuri.

Menurut perhitungan yang dilakukan Greenpeace, jika rencana pembangunan PLTU raksasa ini dilanjutkan, maka PLTU Batang akan


(20)

melepaskan emisi karbon sebesar 10.8 juta ton CO2 pertahun. PLTU batubara ini juga akan melepaskan polutan-polutan beracun lain dalam jumlah yang sangat besar, seperti SOx sebesar 16.200 ton pertahun, NOx sebesar 20.200 ton pertahun, dan PM 2,5 sebesar 610 ton pertahun (greenpeace.org).

Dengan dibangunnya PLTU di Kabupaten Batang, ada jaminan kelak masyarakat bisa mendapatkan pelayanan listrik yang memuaskan. Sejalan dengan tujuan penambahan pembangkit itu, yakni menjaga pasokan listrik, terutama di Jawa Tengah, mengingat peningkatan permintaan listrik di provinsi Jawa Tengah mencapai rata-rata 6,5% per tahun. Bila proyek PLTU yang ditarget mulai beroperasi 2017 itu selesai, dipastikan Jawa Tengah akan surplus listrik. Bahkan bisa menjadi pemasok energi untuk Jawa, Bali, dan Madura (Kompas, 26 April 2014).

Dampak positif dalam jangka pendek pembangunan PLTU Batang tentunya bakal menyerap banyak tenaga kerja berbagai tingkatan. Banyaknya warga masyarakat yang bekerja di Proyek PLTU secara tidak langsung dapat meningkatkan roda perekonomian. Warga sekitar bisa membangun perumahan yang disewa/dikontrakan ke pekerja-pekerja dari luar kota, yang secara tidak langsung berpengaruh ke pada pendapatan para pedagang di sekitar proyek PLTU.

Dari sisi publisitas, Kabupaten Batang jelas sangat diuntungkan. Penempatan proyek PLTU di Kabupaten Batang secara tidak langsung dapat mengangkat citra Kabupaten Batang, khususnya di kalangan investor sehingga mereka tidak ragu menanamkan investasi di Kabupaten Batang. Kalau sudah


(21)

6

ada investor besar yang mengawali masuk Kabupaten Batang, tentunya akan menarik investor-investor lain, baik dalam maupun luar negeri, yang berkenan melirik Kabupaten Batang mengingat Batang sebenarnya menyimpan banyak potensi alam yang belum dimanfaatkan.

Berdasarkan pada hasil observasi awal yang telah dilakukan peneliti di Bappeda dan Kantor Pertanahan Kabupaten Batang diketahui bahwa terdapat permasalahan yang akan timbul dalam penyediaan tanah skala besar untuk pembangunan PLTU yaitu, masalah pertama adalah tidak diperhatikanya ketentuan tentang perolehan tanah walaupun telah diperoleh ijin lokasi. Masalah kedua adalah perolehan tanahnya sudah dimulai namun belum seluruhnya diselesaikan. Masalah ketiga berkaitan dengan kemungkinan bahwa untuk pembangunan proyeknya yang sudah memperoleh Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) ternyata belum mulai dibangun sesuai skala besar untuk penggunaan tersebut, namun setelah beberapa lama ternyata belum dimanfaatkan atau belum seluruh perolehan arealnya dituntaskan.

Fenomena yang tampak dari masalah adalah belum dimanfaatkan tanah yang tersedia (namun proses perolehannya sudah sepenuhnya diselesaikan), maka ada pembangunan yang belum sepenuhnya selesai atau bahkan areal tersebut masih dibiarkan dalam keadaan kosong, tanpa bangunan pembangunan PLTU merencanakan untuk perolehan tanah tertentu namun belum sepenuhnya diselesaikan.

Dalam hal ini penulis mengambil Kecamatan Kandeman, Kabupaten Batang sebagai lokasi penelitian, karena dari hasil pra penelitian yang penulis


(22)

lakukan, dan berdasarkan informasi dari Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Batang bahwa di Kabupaten Batang telah dilakukan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum berupa pembangunan PLTU Batang.

Melihat alih fungsi tanah pertanian menjadi tanah non pertanian dan implikasinya terhadap penyusutan bahan pangan serta perubahan kondisi sosial masyarakat di Kecamatan Kandeman seperti dikemukakan di atas, maka perlu dikaji bagaimana regulasi alih fungsi tersebut di dalam kondisi empirisnya. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “UPAYA PEMDA DALAM ALIH FUNGSI TANAH PERTANIAN MENJADI TANAH NON PERTANIAN UNTUK PEMBANGUNAN PLTU (STUDI KASUS DI KECAMATAN KANDEMAN, KABUPATEN BATANG)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dalam masalah ini adalah:

1. Persoalan-persoalan apa yang timbul dalam alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian untuk pembangunan PLTU?

2. Bagaimana regulasi alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian untuk pembangunan PLTU?

3. Bagaimana upaya Pemerintah Kabupaten Batang dalam menanggapi persoalan alih fungsi lahan dalam kerangka regulasi/peraturan Perundang-undangan yang berlaku?


(23)

8

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui persoalan apa yang timbul dalam alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian untuk pembangunan PLTU.

2. Untuk mengetahui regulasi alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian untuk pembangunan PLTU melalui dinas-dinas terkait yaitu Kantor Bappeda, dan Kantor Pertanahan Kabupaten Batang.

3. Untuk mengkaji upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Pemda Batang melalui Kantor Bappeda dan Kantor Pertanahan Kabupaten Batang dalam alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian untuk pembangunan PLTU.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan masukan-masukan tentang regulasi alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian untuk pembangunan PLTU.

b. Memberikan informasi bagaimana upaya yang di lakukan Pemda Batang dalam alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian untuk pembangunan PLTU.

c. Dapat digunakan sebagai acuan dalam kegiatan penelitian berikutnya bagi masyarakat dan mahasiswa yang akan mengadakan penelitian sejenis.


(24)

2. Manfaat Praktis

Secara praktis skripsi ini diharapkan menjadi bahan kajian dalam menyusun kebijakan Pemda Batang terkait dengan kebijakan alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian untuk pembangunan PLTU agar muncul kebijakan yang lebih tepat sasaran agar tidak terjadi ketimpangan dalam ekosistem kehidupan.

E. Penegasan Istilah

Penegasan istilah dalam penelitian ini agar langkah selanjutnya tidak menyimpang dari obyek penelitian.

1. Tanah

Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang jumlahnya terbatas. Tanah menjadi sangat penting karena keberadaanya dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia dalam melakukan kegiatannya.

2. Alih Fungsi Tanah

Alih fungsi tanah merupakan bergesernya pola penggunaan tanah dari tanah pertanian ke non pertanian.

3. Tanah Pertanian

Tanah Pertanian adalah tanah yang digunakan untuk usaha pertanian dalam arti mencakup persawahan, hutan, perikanan, perkebunan, tegalan, ladang penggembalaan dan semua jenis penggunaan lain yang lazim dikatakan sebagai usaha pertanian.


(25)

10

4. Tanah Non Pertanian

Tanah non pertanian adalah tanah yang dipergunakan untuk kegiatan selain usaha pertanian. Contohnya untuk industri, pemukiman, pertambangan dan property.

5. Tata Guna Tanah

Penatagunaan tanah adalah pola pengelolahan tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagai sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.

6. PLTU

PLTU merupakan pembangkit listrik yang mengandalkan energi kinetik dari uap untuk menghasilkan energi listrik. Bentuk utama dari pembangkit listrik jenis ini adalah generator yang dihubungkan ke turbin yang digerakkan oleh tenaga kinetik dari uap panas/kering. F. Sistematika Skripsi

Untuk memperoleh gambaran dan untuk memudahkan pembahasan, maka dalam skripsi ini di kelompokkan dalam V bab dengan sistematika sebagai berikut:

I. Bagian Awal Skripsi, berisi tentang: Halaman judul, Abstrak, Halaman Pengesahan, Motto dan Persembahan, Kata Pengantar, Daftar Isi, dan Daftar Lampiran.


(26)

II. Bagian Isi Skripsi, berisi tentang:

BAB I PENDAHULUAN, berisi tentang judul, latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah dan sistematika skripsi.

BAB II LANDASAN TEORI, berisi tentang konsep-konsep, dalil-dalil serta teori yang menjadi reverensi dalam skripsi. . BAB III METODE PENELITIAN, berisi tentang pendekatan

penelitian, lokasi penelitian, fokus penelitian, sumber data penelitian, metode pengumpulan data, validitas data penelitian, model analisis data, dan prosedur penelitian. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, berisi

tentang hasil penelitian dan pembahasan.

BAB V PENUTUP, berisi tentang kesimpulan dan saran.

III. Bagian Akhir Skripsi, berisi tentang daftar pustaka, dan lampiran-lampiran.


(27)

12 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori Tentang Tanah 1. Tanah

Didalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Pasal 4 ayat 10 dan 2 dinyatakan bahwa: atas dasar menguasai dari negara ditentukan macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai baik secara sendirian maupun secara bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum, dimana hak atas tanah ini memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sedemikian rupa, begitu pula bumi dan air serta ruang udara yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi (Kartasapoetra, 1986 : 1).

Lingkup bumi meliputi permukaan bumi termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di bawah air (pasal 1 ayat 4 jo pasal 4 ayat 1), dengan demikian pengertian “tanah” meliputi permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang berada dibawah air, termasuk air laut (Boedi Harsono, 2005: 6).


(28)

Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang jumlahnya terbatas. Tanah menjadi sangat penting karena keberadaanya dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia dalam melakukan kegiatannya. Tanah sebagai lahan pertanian merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting perannya dalam pertanian jika dibandingkan dengan faktor produksi yang lain. Jika tidak ada lahan, maka tidak akan ada pertanian. Hal ini dikarenakan lahan tersebut merupakan tempat dimana pertanian tersebut dapat berjalan.

2. Tanah Pertanian

Dalam UU No. 56 Perpu tahun 1960 tidak diberikan penjelasan tentang tanah pertanian. Berhubung dengan itu dalam Instruksi Bersama Mendagri dan Otda dengan Menneg Agraria/Kepala BPN tanggal 5 Januari 1961 No. Sekra 9/1/12 diberikan penjelasan sebagai berikut:

Tanah pertanian adalah juga sama tanah perkebunan, tambak untuk perikanan, tanah tempat penggembalaan ternak, tanah belukar bekas ladang dan hutan yang menjadi tempat mata pencaharian bagi yang berhak. Pada umumnya tanah pertanian adalah semua tanah yang menjadi hak orang, selain tanah untuk perumahan dan perusahaan. Bila atas sebidang tanah luas berdiri rumah tinggal seorang, maka pendapat setempat itulah menentukan


(29)

14

berapa luas bagian yang dianggap halaman rumah dan berapa yang merupakan tanah pertanian (Budi Harsono, 1999: 358).

Tanah pertanian biasanya digunakan untuk usaha bidang pertanian dalam arti luas mencakup persawahan, tegalan, ladang, perikanan, perkebunan dan penggunaan tanah lainnya yang lazim sebagai usaha pertanian.

Tanah pertanian adalah lapisan atas bumi yang terdiri dari bahan-bahan padat cair, udara dan jasad hidup yang merupakan medium untuk tumbuhnya tanam-tanaman. Tanah pertanian merupakan tanah yang digunakan untuk usaha pertanian yang selain sebagai persawahan dan tegalan juga semua tanah perkebunan, tambak untuk perikanan, tanah tempat penggembalaan ternak, tanah belukar bekas ladang dan hutan yang menjadi tempat mata pencaharian bagi yang berhak.

Sesuai dengan ketentuan UU No. 56 Perpu tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian, bahwa penetapan tanah pertanian yang boleh dimiliki dan kuasai ditentukan luas maksimum dan minimum. Sebagai mana tercantum dalam pasal 1 ayat (2) penetapan luas maksimum itu adalah paling banyak untuk daerah-daerah yang tidak padat 15 hektar untuk tanah sawah dan 20 hektar untuk tanah kering, untuk daerah yang kurang padat luasnya 10 hektar untuk tanah sawah dan 12 hektar untuk tanah kering, untuk daerah cukup padat luasnya 7,5 hektar tanah sawah


(30)

dan 9 hektar tanah kering sedangkan untuk daerah sangat padat 5 hektar untuk tanah sawah dan 6 hektar untuk tanah kering. Luas minimum ditetapkan 2 hektar, baik untuk tanah sawah maupun tanah kering. Untuk mengetahui kepadatan digunakan indikator jumlah penduduk setiap kilometer persegi di tiap kabupaten.

Luas maksimum yang ditetapkan oleh pasal 1 ayat (2) tidak berlaku terhadap tanah pertanian:

a. Yang dikuasai dengan hak guna usaha atau hak-hak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas yang didapat dari pemerintah.

b. Yang dikuasai oleh badan-badan hukum.

Luas maksimum ditetapkan untuk tiap-tiap daerah tingkat I dengan memperhatikan keadaan daerah masing-masing dan faktor-faktor sebagai berikut:

a. Tersedianya tanah-tanah yang masih dapat dibagi. b. Kepadatan penduduk.

c. Jenis-jenis dan kesuburan tanahnya (diadakan perbedaan antara sawah dan tanah kering, diperhatikan pula apakah ada pengairan yang teratur atau tidak).

d. Besarnya usaha tani yang sebaik-baiknya menurut kemampuan satu keluarga dengan mengerjakan beberapa buruh tani.


(31)

16

Tujuan ditetapkannya luas maksimum dan minimum adalah sebagai berikut:

a. Agar pemilikan tanah yang merupakan faktor utama dalam produksi pertanian akan lebih merata.

b. Agar pemilikan dan penguasaan tanah tidak melampaui batas yang akan merugikan kepentingan umum, karena hal ini menyangkut terbatasnya persediaan lahan.

c. Dengan ditetapkannya luas maksimum dan minimum maka fungsi sosial tanah dapat dilaksanakan.

3. Tanah Non Pertanian

Tanah non pertanian adalah tanah yang yang digunakan untuk usaha/kegiatan selain usaha pertanian. Penggunaan tanah non pertanian adalah sebagai berikut:

a. Tanah Perumahan (misal penggunaan tanah untuk tempat tinggal, lapangan, tempat rekreasi, pemakaman dll.).

b. Tanah perusahaan (misal penggunaan tanah untuk pasar, pertokoan, gudang, bank, bioskop, hotel, stasiun dll.).

c. Tanah industri (misal penggunaan tanah untuk pabrik, percetakan dll.).

d. Tanah untuk jasa (misal pengunaan tanah untuk kantor-kantor pemerintah, tempat ibadah, rumah sakit, sekolah dan sarana umum).


(32)

e. Tanah kosong yang sudah siap diperuntukkan (siap bangun).

Terjadinya perubahan penggunaan lahan dapat disebabkan karena adanya perubahan rencana tata ruang wilayah, adanya kebijakan arah pembangunan dan karena mekanisme pasar. Pada masa lampau yang terjadi adalah lebih banyak karena dua hal yang terakhir, karena kurangnya pengertian masyarakat maupun aparat pemerintah mengenai tata ruang wilayah, atau rencana tata ruang wilayah yang sulit diwujudkan.

Kebijakan pembangunan yang menekankan kepada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi, baik kepada investor lokal maupun luar negeri dalam penyediaan tanahnya, maka perubahan penggunaan tanah dari pertanian ke non pertanian terjadi secara meluas.

4. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Oka Mahendra (dalam Adrian Sutedi 2006) menjelaskan bahwa dalam pasal 9 ayat (2) UUPA, menguasai dan menggunakan tanah secara individual dimungkinkan dan diperoleh, hal itu ditegaskan dalam pasal 4 ayat (1), dan pasal 21, 29, 36, 42, dan 45 Undang-Undang Pokok Agraria yang berisikan persyaratan pemegang hak atas tanah juga menunjukan prinsip penguasaan dan penggunaan tanah secara individu. Namun, hak-hak atas tanah yang individu dan bersifat pribadi tersebut dalam Undang-Undang Pokok Agraria, dalam dirinya terkandung unsur kebersamaan.


(33)

18

Unsur kebersamaan atau unsur kemasyarakatan tersebut ada pada setiap hak atas tanah, karena semua hak atas tanah secara langsung atau secara tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang merupakan hak bersama. Sifat pribadi hak-hak atas tanah yang sekaligus mengandung unsur kebersamaan atau kemasyarakatan tersebut, dalam pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria telah mendapat penegasan, dimana semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Namun salah satu persoalan yang harus dihadapi sehubungan dengan pelaksanaan kepentingan umum adalah menentukan titik keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi di dalam pembangunan.

Menurut pasal 1 butir 2 UU nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk kepentingan Umum, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Sedangkan Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. berdasarkan rumusan itu dapat diketahui bahwa istilah pengadaan tanah lahir karena keterbatasan persediaan tanah untuk pembangunan, sehingga untuk memperolehnya perlu dilakukan dengan memberi ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah itu.


(34)

Tanah mempunyai fungsi sosial dan pemanfaatannya harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk itu perlu terus dikembangkan rencana tata ruang dan tata guna tanah secara nasional sehingga pemanfaatan tanah dapat terkoordinasi antara berbagai jenis penggunaan dengan tetap memelihara kelestarian alam dan lingkungan serta mencegah penggunaan tanah yang merugikan kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan (Andi Hamzah, 1994: 11).

Menurut pasal 1 butir 1 Keppres No. 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti-kerugian kepada yang berhak atas tanah. Berdasarkan rumusan itu dapat diketahui bahwa istilah pengadaan tanah lahir karena keterbatasan persediaan tanah untuk pembangunan, sehingga untuk memperolehnya perlu dilakukan dengan memberikan ganti-kerugian kepada yang berhak atas tanah itu. Singkatnya, istilah pengadaan tanah pada prinsipnya hanya dikenal dalam perolehan tanah yang sudah dikuasai seseorang atau badan hukum dengan suatu hak (Oloan Sitorus, 2004: 5).

Berdasarkan rumusan tersebut di atas berarti bahwa adanya keterbatasan persediaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum, maka perlu mengadakan pengambil alihan tanah hak


(35)

20

masyarakat dengan memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah itu. Istilah pengadaan tanah muncul karena pengambilalihan tanah yang sudah dilekati sesuatu hak seseorang atau badan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan tanah untuk pembangunan kepentingan umum.

5. Sistem Pengadaan Tanah

Cara pengadaan tanah yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961 adalah pencabutan hak atas tanah. Cara ini mempunyai hakikat tindakan hukum yang berbeda dengan cara-cara pengadaan tanah sebagaimana yang diatur dalam Keppres No. 55 Tahun 1993. Cara pengadaan tanah yang diatur dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 adalah cara sukarela (voluntary acquisition of land) yaitu pengadaan tanah dengan persetujuan yang empunya tanah. Sedangkan pengadaan tanah yang disebut sebagai “pencabutan hak” seperti yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961 adalah cara wajib (compulsory acquisition of land) yaitu pengadaan tanah yang dilakukan tanpa persetujuan yang empunya tanah (Oloan Sitorus, 2004: 15).

Menurut I. Soegiarto (dalam Oloan Sitorus, 2004) macam cara pengadaan tanah menurut peraturan Perundang-undangan yang berlaku di negara kita adalah sebagai berikut:

a. Pelepasan atau penyerahan hak. b. Jual beli:


(36)

1) Tukar-menukar.

2) Cara lain yang disepakati secara sukarela. c. Pencabutan hak atas tanah.

Dalam pengadaan tanah untuk melaksanakan pembangunan yang luasnya melebihi 1 hektar perlu di bentuk panitia pengadaan tanah. Panitia pengadaan tanah adalah panitia yang dibentuk untuk membantu pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Panitia pengadaan tanah diangkat atau ditunjuk oleh pemerintah setempat berdasarkan lokasi dimana diinginkan adanya pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Panitia pengadaan tanah ditunjuk oleh Bupati, Walikota, Gubenur dan Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut jelas ditegaskan dalam Pasal 6 Perpres Nomor 65 Tahun 2006 yakni:

a. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah Kabupaten/ Kota dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/ Kota yang dibentuk oleh Bupati atau Walikota.

b. Panitia Pengadaan Tanah Provinsi Daerah khusus ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur.

c. Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah Kabupaten/Kota atau lebih, dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Provinsi yang dibentuk oleh Gubernur.


(37)

22

d. Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah Provinsi atau lebih, dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur pemerintah dan unsur pemerintah daerah tersebut.

e. Susunan keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 terdiri atas unsur perangkat daerah terkait dengan unsur Badan Pertanahan Nasional.

Menurut Perkab Nomor 3 Tahun 2007 susunan keanggotan panitia pengadaan tanah Kabupaten/Kota paling banyak 9 (sembilan) orang dengan susunan sebagai berikut:

a. Sekretaris Daerah sebagai Ketua merangkap Anggota.

b. Pejabat dari unsur perangkat daerah setingkat eselon II sebagai Wakil Ketua merangkap Anggota.

c. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau pejabat yang ditunjuk sebagai Sekretaris merangkap Anggota.

d. Kepala Dinas/Kantor/Badan di Kabupaten/Kota yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan tanah atau pejabat yang ditunjuk sebagai Anggota.

Keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah Provinsi Dalam hal tanah yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, terletak di 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih


(38)

dalam 1 (satu) Provinsi paling banyak 9 (sembilan) orang dengan susunan sebagai berikut:

a. Sekretaris Daerah sebagai Ketua merangkap Anggota.

b. Pejabat daerah di Provinsi yang ditunjuk setingkat eselon II sebagai Wakil Ketua merangkap anggota.

c. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai Sekretaris merangkap Anggota.

d. Kepala Dinas/Kantor/Badan di Provinsi yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan tanah atau pejabat yang ditunjuk sebagai Anggota.

Keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan terletak di 2 (dua) Provinsi atau lebih, paling banyak 9 (sembilan) orang dengan susunan sebagai berikut:

a. Sekretaris Jenderal pada Departemen Dalam Negeri sebagai Ketua merangkap Anggota.

b. Pejabat eselon I pada Departemen Pekerjaan Umum sebagai Wakil Ketua merangkap Anggota.

c. Pejabat eselon I pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang ditunjuk sebagai Sekretaris merangkap Anggota.

d. Direktur Jenderal/Asisten Menteri/Deputi pada instansi yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan tanah sebagai Anggota.


(39)

24

e. Gubernur yang bersangkutan atau pejabat yang ditunjuk setingkat eselon II sebagai Anggota.

f. Bupati/Walikota yang bersangkutan atau pejabat yang ditunjuk setingkat eselon II sebagai Anggota.

Baik dalam peraturan Kepala BPN Nomor 3 tahun 2007 maupun dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006 telah dicantumkan tugas dari pada Panitia Pengadaan Tanah. Dalam Peraturan kepala BPN diuraikan secara satu persatu, bagi Panitia pengadaan tanah yang hanya ada di Kabupaten atau Provinsi saja serta Panitia Pengadaan Tanah yang mencakupi dua wilayah kepentingan pengadaan tanah. Dalam Pasal 7 Perpres Nomor 65 Tahun 2006 menegaskan bahwa Panitia Pengadaan Tanah bertugas:

a. Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan.

b. Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya.

c. Menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan.

d. Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau Pemegang Hak Atas Tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah


(40)

tersebut dalam bentuk konsultasi publik melalui tatap muka, media cetak, maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau Pemegang Hak Atas Tanah.

e. Mengadakan musyawarah dengan para Pemegang Hak Atas Tanah dan instansi pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarmya ganti rugi.

f. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para Pemegang Hak Atas Tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah.

g. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

h. Mengadministrasikan dan mendokumnetasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten.

Dalam melaksanakan tugasnya, tim pembebasan tanah harus berpedoman kepada aturan-aturan yang berlaku dan hal ini harus dikuasai oleh semua anggota tim sebelum mereka bertugas di lapangan.


(41)

26

Berikut tugas-tugas dari panitia pembebasan tanah (Soetrisno, 2004: 9):

a. Mengadakan inventarisasi serta penelitian setempat terhadap keadaan tanahnya, tanaman atau tumbuhan, dan bangunan diatasnya.

b. Mengadakan perundingan dengan para pemegang hak atas tanah dan bangunan/tanaman di atasnya.

c. Menaksir besarnya ganti rugi yang akan dibayarkan kepada yang berhak.

d. Membuat berita acara pembebasan tanah disertai fatwa/pertimbangannya.

e. Melaksanakan pembayaran ganti rugi kepada yang berhak atas tanah, bangunan, dan tanah tersebut.

f. Mencegah ikut campurnya pihak ketiga, seperti kuasa atau perantara yang dapat merugikan kepentingan para pihak, terutama para pemilik tanah yang berhak.

6. Alih Fungsi Tanah Pertanian Menjadi Non Pertanian

Perubahan penggunaan tanah merupakan kegiatan yang biasa tetapi jika menimbulkan dampak negatif akan menjadi masalah. Alih fungsi tanah sawah beririgasi teknis menjadi kawasan pemukiman atau industri yang kemudian disebut alih fungsih tanah pertanian menjadi non pertanian, merupakan keadaan


(42)

yang sangat kontras mengingat kapasitas Indonesia sudah di kenal sebagai negara agraris.

Alih fungsi tanah merupakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan dari pembangunan, baik itu pembangunan untuk kepentingan umum atau pemerintah maupun utuk kepentingan pribadi. Adapun syarat-syarat tanah yang akan dialihkan fungsinya dari tanah pertanian ke non pertanian adalah sebagai berikut: a. Tanah tersebut tidak produktif.

b. Pengadaan tanah untuk proyek-proyek pembangunan harus memenuhi syarat tata ruang dan tata guna tanah.

c. Penggunaan tanah tidak boleh mengakibatkan kerusakan atau pencemaran terhadap kelestarian alam dan lingkungan.

d. Dalam penggunaan tanah sebisa mungkin menghindari pemindahan penduduk.

Dasar hukum pengalihan fungsi penggunaan tanah pertanian ke non pertanian:

a. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan-peraturan Pokok-pokok Agraria, terutama pasal 14 yang berbunyi:

1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3), pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka Sosialisasi Indonesia. Membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan


(43)

28

penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya:

a) Untuk keperluan Negara.

b) Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.

c) Untuk keperluan-keperluan pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan, dan lain-lain kesejahteraan.

d) Untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu.

e) Untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi, dan pertambangan.

2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat 1 pasal ini dapat mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan, penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.

3) Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini berlaku setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari Gubenur Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah


(44)

Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan.

b. UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang

Dalam izin perubahan dan penggunaan tanah, baik yang ada di kantor pertanahan tingkat kabupaten/provinsi maupun yang ada di kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional tingkat provinsi harus berpedoman pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kotamadya.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.

Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolahan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang terwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil. d. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan

Nasional di Bidang Pertanahan.

e. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 590/11108/1984 tentang Perubahan Penggunaan Tanah Pertanian Ke Non Pertanian.


(45)

30

f. Instruksi Gubernur Nomor 590/107/1985 tentang Pencegahan Perubahan Penggunaan Tanah Pertanian Ke Non Pertanian yang tidak terkendalikan.

Usaha pencegahan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian yang tidak terkendalikan mempunyai maksud dan tujuan agar usaha pemerintah dalam meningkatkan produksi pertanian tidak terganggu dengan adanya pengurangan lahan pertanian yang tidak terencana dengan matang dan mantap.

g. UU Nomor 12 Tahun 1992.

Dalam pasal 44 ayat 2 menjelaskan bahwa “dalam pelaksanaan kegiatan budidaya tanaman harus memperhatikan kesuburan dan kemampuan lahan maupun kelestarian lingkungan hidup khususnya mengenai konversi tanah”.

h. Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989

Yaitu menyangkut masalah Kawasan Industri yang bertujuan untuk menciptakan Kesejahteraan rakyat dan untuk kemajuan di dalam pembangunan dimana dalam pelaksanaanya membutuhkan tanah. Maka dari itu perlu pengaturan dalam penempatannya sehingga tidak mengurangi areal pertanian.


(46)

i. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993.

Keputusan ini berisi tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam keputusan ini juga menyatakan yang dimaksud dengan pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara menggunakan ganti-kerugian kepada yang berhak atas tanah.

j. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Kegiatan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dimulai dengan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum. Pengadaan tanah dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah jika dilakukan oleh instansi pemerintah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

k. Surat Keputusan Gubernur Nomor 6 Tahun 1998.

Yaitu mengenai pengendalian penggunaan tanah pertanian sawah untuk kegiatan non pertanian di provinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah.


(47)

32

l. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi.

7. Tanah Bagi Kepentingan Masyarakat dan Pembangunan

Pada permulaannya, manusia bertindak secara sedikit demi sedikit untuk memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alam pada tanah untuk memenuhi tuntutan hidupnya yang utama, yaitu pangan, sandang, dan papan (kebutuhan primer). Dalam keadan demikian mereka kebanyakan hanya mementingkan hak daripada kewajiban-kewajibannya ialah hak untuk mendayagunakan dan memungut hasil tanah sedang kewajiban-kewajiban pemeliharaan tanah sangat diabaikan (pertanian yang berpindah-pindah) dan atau sangat tidak seimbang (pertanian tradisional). Dalam pendayagunaan dan pengelohan tanah, manusia wajib memperhatikan hukum alam dan hukum masyarakat, agar antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban atas tanah selalu berimbang sehingga kemampuan tanah sebagai sumber utama kehidupam mereka dapat berlangsung terus-menerus sepanjang masa (Kartasapoetra, 1991: 1-3).

Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Mereka hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah. Manusia akan hidup serba kecukupan kalau mereka dapat menggunakan tanah yang dikuasai


(48)

atau dimilikinya sesuai dengan hukum alam yang berlaku, dan manusia akan hidup tenteram dan damai kalau mereka dapat menggunakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat (Kartasapoetra, 1991: 1-3).

Umumnya, tanah hanya dinilai berdasarkan utilitis ekonominya. Artinya nilai tanah lebih ditentukan oleh mekanisme pasar, yaitu permintaan dan penawaran atasnya. Secara emosional, ikatan tanah dengan manusia dan dengan dimensi-dimensi non ekonomi lain tidak menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan harga tanah. Karena itu, tidak mengherankan kalau terjadi banyak konflik dan sengketa mengenai tanah adat yang secara tradisional dilindungi oleh hukum adat. Perkembangan kapitalisme juga mendorong perubahan fungsi tanah, yaitu fungsi sebagai salah satu faktor produksi utama menjadi sarana investasi. Bagi banyak investor, pemilikan atau penguasaan tanah merupakan investasi yang sangat menguntungkan. Dalam jangka panjang, investasi seperti itu menjanjikan keamanan, kepastian pendapatan, nilai tinggi, dan umumnya terhindar dari inflasi. Akibatnya, banyak tanah yang dibeli tidak untuk digarap atau dikembangkan.

Menurut Hermayulis (dalam Adrian Sutedi 2010: 13-14) Dalam pembangunan, tanah tidak saja berfungsi sebagai sosial


(49)

34

asset, tetapi juga berfungsi sebagai capital asset. Oleh karena itu, kebijakan hukum yang berkaitan dengan tanah harus dilakukan secara hati-hati. Untuk kondisi sosial budaya dan hukum tanah pada masyarakat indonesia yang beraneka ragam, kehati-hatian ini perlu dicermati untuk menjaga agar tidak menimbulkan disintegrasi dalam negara kesatuan.

8. Penatagunaan Tanah

Tata guna tanah merupakan pengaturan penggunaan tanah. Dalam tata guna tanah dibicarakan bukan saja mengenai penggunaan permukaan bumi di daratan, tetapi juga penggunaan permukaan bumi di lautan (Johara T. Jayadinata, 1999: 10).

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 pasal 1, pengertian penatagunaan tanah adalah pola pengelolahan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.

Manusia itu hidup bermasyarakat dan dalam masyarakatnya itu dilakukan berbagai macam usaha dan kegiatan, yang pada dasarnya tidak terlepas dari masalah pertanahan, misalnya kegiatan bertani, kegiatan industri, kegiatan pembangunan perkampungan dan kegiatan lain-lainnya, maka demi kelancaran kegiatan dan usaha-usahanya serta untuk mencegah masalah-masalah yang


(50)

kemudian akan timbul, Pemerintah telah mengadakan pendayagunaan tanah atau lazim disebut tata guna tanah (Kartasapoetra, 1991: 24).

Kemunculan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) setelah Indonesia merdeka merupakan wujud untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat. UUPA sendiri terdiri dari lima bagian, yaitu pertama mengenai Undang-Undang tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, kedua tentang ketentuan konversi, tentang perubahan susunan pemerintah desa untu menyelenggarakan perombakan hukum agraria menurut UUPA akan diatur sendiri, keempat tentang hak-hak dan wewenang swapraja hapus dan beralih kepada negara, dan kelima tentang sebutan Undang-Undang Pokok Agraria. Sedangkan dasar-dasar dan ketentuan poko UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria adalah sebagai berikut :

a. Bumi, air, dan ruang angkasa adalah kekayaan nasional (pasal 1 ayat (2)).

b. Bumi, air, dan ruang angkasa dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (pasal 2 ayat (1)). Dalam hal ini hak menguasai negara memberi wewenang untuk:


(51)

36

1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.

2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa. 3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum

antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum ysng mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Dari ketiga wewenang tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum agraria Indonesia mengandung unsur-unsur hukum benda dan hukum perikatan.

c. Hukum agraria Indonesia adalah hukum adat (pasal 5). d. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (pasal 6). e. Penguasaan dan pemilikan tanah yang melampaui batas

dilarang (pasal 7).

f. Yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa hanya warga Negara Indonesia (pasal 9).

g. Setiap orang atau badan hukum yang mempunyai hak atas tanah pertanian diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif (pasal 10).

Mengenai tata guna tanah di kawasan-kawasan yang telah cukup penghuninya, demi untuk mencegah kerugian yang akan


(52)

diderita sesama anggota masyarakat, demikian juga bencana yang akan timbul, serta demi terjaminya keamanan dan ketentraman pelaksanaan kegiatan/usaha-usaha, pemerintah telah menetapkan tanah-tanah untuk pertanian, tanah untuk perindustrian, tanah untuk perumahan dan lain sebagainya, sehingga sengketa dan perselisihan-perselisihan dapat dihindarkan, karena mereka yang memaksakan suatu kegiatan/usaha pada tanah yang buka semestinya akan mendapat tindakan dari pemerintah.

Dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah harus disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditentukan berdasarkan pedoman, standar, dan kriteria teknis harus sesuai dengan kondisi wilayah masing-masing. Apabila penggunaan tanahnya tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah tidak dapat diperluas atau dikembangkan penggunaannya selain itu juga tidak dapat ditingkatkan pemanfaatannya. Kebijakan penatagunaan tanah diselenggarakan terhadap:

a. Bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya baik yang sudah atau yang belum terdaftar.

b. Tanah Negara.

c. Tanah ulayat masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(53)

38

Penatagunaan tanah mempunyai beberapa tujuan yaitu: a. Mengatur penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah

bagi berbagai kebutuhaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.

b. Mewujudkan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang wilayah.

c. Mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan-penguasaan dan pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta pengendalihan pemanfaatan tanah.

d. Menjamin kepastian hukum menguasai menggunakan dan memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang telah ditetapkan.

B. Kajian Teori Tentang Pemerintahan Daerah 1. Kewenangan Pemda di Bidang Pertanahan

Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam hukum tata pemerintahan (hukum administrasi), karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperoleh. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (legaiteit beginselen). Suatu kewenangan harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku sehingga


(54)

bersifat sah. Perihal kewenangan dapat dilihat pada konstitusi negara yang memberika legitimasi kepada badan publik dan lembaga negara dalam menjalankan fungsinya (Suriansyah Murhaini, 2009: 14).

Menurut Harold Alderfer (dalam Arie Sukanti, 2008: 109) menyebutkan. Dekonsentrasi menciptakan kesatuan administratif atau instasi vertikal untuk mengembang perintah atasan. Kesatuan administrasi atau instansi vertikal tersebut merupakan bawahan dari pemerintah pusat sehingga segala sesuatu yang dilakukan oleh penerima pelimpahan kewenangan (daerah atau instansi vertikal) adalah atas nama pemberi pelimpahan kewenangan (pemerintah pusat) dalam wilayah yuridiksi tertentu. Selain itu di dalam dekonsentrasi juga tidak terdapat keputusan yang mendasar atau keputusan kebijaksanaan di tingkat daerah. Hal tersebut dekonsentrasi juga disebut sebagai “desentralisasi administrasi” (administrative decentralization) atau “desentralisasi birokrasi” (bureaucratic decentralization) karena dalam dekonsentrasi wewenang yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada pejabat di daerah merupakan wewenang untuk mengambil keputusan administrasi.

Sejak tahun 2001 urusan di bidang pertanahan didesentralisasikan kepada daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah beberapa provinsi maupun


(55)

40

kabupaten di Indonesia telah membentuk dinas pertanahan yang sebelumnya ditangani Pemerintah Pusat melalui Badan Pertanahan Nasional yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh kantor wilayah ditingkat provinsi, dan kantor pertanahan kabupaten/kota selaku unit dibawah kantor BPN. Pengambilan urusan di bidang pertanahan tersebut didasarkan pada prinsip otonomi daerah secara luas yang diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakasa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Pembentukan dinas pertanahan oleh Provinsi dan Kabupaten/Kota disamping didasarkan pada UU Pemerintahan Daerah juga mendasar pada pasal 2 UUPA (UU No. 5 tahun 1986) yang menyatakan bahwa masalah pertanahan merupakan sumber keuangan bagi daerah yang dalam pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah otonom. UU No. 22 tahun 1999 kemudian di ganti dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota meliputi pelayanan pertanahan. Ketentuan tersebut isinya hampir sama dengan pasal 11 ayat (2) UU No. 22 tahun 1999 yang menyatakan bahwa salah satu urusan pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah


(56)

(kabupaten/kota) adalah bidang pertanahan. Berdasarkan kewenangan yang ditafsirkan dari kedua Undang-Undang tersebut maka daerah menganggap bahwa bidang pertanahan merupakan lahan basah bagi pengisian kas daerah (Pendapatan Asli Daerah) dengan membentuk dinas pertanahan untuk mengurusi bidang pertanahan yang sebelumnya diurusi oleh pemerintah pusat (Suriansyah Murhaini, 2009: 1-3).

Kewenangan yang pelaksanaanya dapat dilimpahkan kepada pemerintahan daerah ditetapkan dalam pasal 2 ayat (2) huruf (a) UUPA, yaitu wewenang mengatur dan menyelengarakan peruntukan penggunaan, persediaan tanah didaerah yang bersangkutan, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 14 ayat 2 UUPA yang meliputi perencanaan tanah pertanian dan tanah non pertanian sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.

Berdasarkan pasal 14 UUPA dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pemerintahan daerah diberi wewenang mengatur peruntukan, penggunaan, dan persediaan serta pemeliharaan tanah. Penataan ruang meliputi suatu proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, wewenang penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan,


(57)

42

pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang, didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif. Dengan pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupaten, dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut merupakan subsistem ruang menurut batasan administratif (Arie Sukanti. 2008: 114).

Terkait dengan otonomi daerah dan pemberian wewenang kepada Pemerintahan Daerah untuk mengurus bidang pertanahan di daerah seperti yang dijelaskan diatas. Mengenai kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengurusi bidang pertanahan telah ditentukan secara rinci dalam Lampiran PP No. 38 tahun 2007 yang meliputi 9 sub bidang antara lain: Sub Bidang Ijin Lokasi, Sub Bidang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Sub Bidang Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan, Sub Bidang Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah Untuk Pembangunan, Sub Bidang Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah, serta Ganti Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee, Sub Bidang Penetapan Tanah Ulayat, Sub Bidang Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong, Sub Bidang Ijin Membuka Tanah, dan Sub Bidang Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota.


(58)

Terkait dengan kewenangan Pemda untuk mengurus bidang pertanahan maka di setiap Kabupaten/Kota dibentuk juga Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Perda RTRW yang terbaru di Kabupaten Batang adalah Perda Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang Tahun 2011-2031. Perda RTRW Kabupaten Batang ini dibuat untuk melaksanakan pembangunan wilayah Kabupaten Batang secara terpadu, lestari, optimal, seimbang dan serasi, sesuai dengan karakteristik, fungsi, dan predikatnya, diperlukan dasar untuk pedoman perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang di wilayah Kabupaten Batang. Salah satu tujuan dari dibentuknya Perda RTRW seperti hal diatas tidak terkecuali untuk rencana pembangunan energi altenatif yaitu pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Kecamatan Kandeman. Sebagaimana tertulis dalam Pasal 19 ayat (4) Perda Nomor 7 Tahun 2011 Kabupaten Batang adalah:

“Rencana pengembangan energi altenatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:

a. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap di kawasan peruntukan industri Ujungnegoro Kecamatan Kandeman. b. Pengembangan energi altenatif lainnya sesuai dengan potensi


(59)

44

C. Kajian Teori Tentang Proyek Pembangunan PLTU 1. Proyek Pembangunan PLTU

Abad ke-19 menjadi saksi bangkitnya teknologi energi baru lain yang mencatat perubahan yang sama pentinganya dalam membentuk kehidupan abad ke-20. Di New York, Thomas Alfa Edison merintis perusahaan listrik pertama di dunia. Pada sebuah gedung di Wall Street, Edison memasang ketel pemanas batubara ke mesin uap dan dinamo kemudian menghubungkannya dengan peralatan teknik itu dengan kabel bawah tanah ke gedung-gedung kantor yang dekat. Ketika tombol-tombol akhirnya di putar di Pearl Street Station pada tanggal 6 September 1882, bola lampu (yang juga dirancang oleh Edison) menyala. Pembangkit listrik segera berkibar. Edison memandang listrik sebagai bisnis pelayanan yang dinamis dan kompetitif. Dalam dekade-dekade berikutnya, perusahaan-perusahaan tenaga listrik berkembang pesat, menawarkan arus langsung maupun arus pilihan pada berbagai Voltase. Dengan seluruh kota dan banyak desa di dunia sekarang diterangi dunia listrik ke jutaan rumah dan pabrik maka diperlukan pembangkit-pembangkit listrik yang ribuan kali lebih besar dari milik Edison (wikipedia).

Berawal dari inilah maka dikembangkan proyek-proyek pembangkit listrik diberbagai belahan dunia yang berbahan minyak bumi dan batubara seperti halnya di Indonesia. Upaya Indonesia


(60)

untuk memenuhi kebutuhan energi listrik adalah dengan membangun Proyek-proyek pembangkit listrik salah satunya yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang di rencanakan di Kecamatan Kandeman Kabupaten Batang yang menggunakan bahan bakar batubara.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, proyek pembangunan merupakan rencana pekerjaan dengan sasaran khusus yang dimulai dari perencanaan, proses, pembuatan, dan cara membangun. Dalam konteks ini proyek pembangunan merupakan suatu pekerjaan yang diawali dari tahap perencanaan sampai tahap pembangunan selesai, ini berarti proses pelaksanaan pekerjaan sebelum pembangunan bisa beroperasional. Pembangunan PLTU di Kabupaten Batang itu sendiri diklaim menjadi yang terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas produksi listrik sebesar 2 x 1000 megawatt. Proses pembangunan PLTU di Kabupaten Batang tentunya akan menarik banyak investor yang mau menanamkan modal di Kabupaten Batang mengingat jumlah listrik yang begitu besar, yang sangat cocok untuk membuka daerah industri baru.


(61)

46

D. Kerangka Berfikir

Pemerintah merupakan fasilitator dalam proses suatu kebijakan, diharapkan mampu melaksanakan kebijakan atau aturan yang telah dibuat agar dapat berhasil sebagaimana yang diharapakan. Fungsi fasilitator dapat berhasil jika dalam merancang suatu kebijakan dilakukan dengan cara yang baik melalui metode yang baik pula. Pembangunan PLTU di Kabupaten Batang tentunya perlu adanya penataan yang jelas baik itu dari segi penataan ruang kota maupun dari segi Perda yang mengatur didalamnya.

Dari uraian diatas, pemikiran dapat digambarkan dalam skema Bagan 1 sebagai berikut:


(62)

Bagan 1 Kerangka Berfikir


(63)

48 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dll., secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2007: 6).

Metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting); disebut juga sebagai metode etnographi, karena pada awalnya metode ini lebih banyak digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya; disebut sebagai metode kualitatif, karena data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif (Sugiyono, 2008: 8). Salah satu alasan menggunakan pendekatan kualitatif adalah untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi dibalik fenomena yang sering kali merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami secara memuaskan.

B. Lokasi Penelitian

Pemilihan lokasi penelitian adalah tempat dimana seorang peneliti melakukan penelitiannya atau tempat dilakukannya penelitian. Peneliti


(64)

mengambil lokasi penelitian di Kecamatan Kandeman Kabupaten Batang. Alasan memilih penelitian di Kecamatan Kandeman karena pembebasan tanah pertanian ke non pertanian untuk pembangunan PLTU di Kecamatan Kandeman belum terselesaikan sehingga Pemda Kabupaten Batang akan mengeluarkan regulasi alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian. C. Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi fokus adalah sebagai berikut: a. Persoalan-persoalan apa yang timbul dalam alih fungsi tanah

pertanian menjadi non pertanian untuk pembangunan PLTU. 1) Masih ada warga yang enggan menjual tanah.

2) Adanya tentangan dari LSM Greenpeace. 3) Adanya penentangan dari warga sekitar proyek.

b. Regulasi alih fungsi tanah pertanian tanah pertanian menjadi non pertanian untuk pembangunan PLTU.

1) UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.

2) Perda No. 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang Tahun 2011-2031.

c. Upaya-upaya Pemerintah Kabupaten Batang dalam alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian untuk pembangunan PLTU.

1) Melakukan musyawarah ke warga dalam pembebasan tanah. 2) Membentuk panitia pengadaan tanah.


(65)

50

4) Membantu menyelesaikan pembebasan tanah untuk pembangunan PLTU.

D. Sumber Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Apabila menggunakan kuesioner atau wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data disebut responden, yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik pertanyaaan tertulis maupun lisan (Suharsimi Arikunto, 2006: 129).

1. Sumber data primer

Sumber data primer adalah kata-kata atau tindakan orang–orang yang diamati atau diwawancarai (Moleong, 2009: 157). Data primer merupakan sumber data yang diperoleh secara langsung melalui wawancara dengan subjek penelitian di lapangan, sumber data primer dalam penelitian ini adalah Kepala Desa, Perangkat Desa, Masyarakat Desa, Kepala Kantor Pertanahan dan Kepala Bappeda Batang.

2. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh dari literatur-literatur dan bahan-bahan yang relevan dengan permasalahan dalam penyususunan skripsi ini. Data sekunder digunakan untuk melengkapi data primer apabila membutuhkan data-data pendukung yang tidak bersumber langsung dari arsip, dokumen, serta foto-foto.


(66)

E. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Rachman (1999: 71), bahwa penelitian disamping menggunakan metode yang tepat juga perlu memilih teknik dan alat pengumpul data yang relevan. Metode yang di gunakan untuk proses pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:

1. Wawancara (interview)

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2000: 135). Wawancara dilakukan dengan pihak-pihak terkait seperti Kepala Seksi Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor BPN Kabupaten Batang, Kepala Seksi Holtikultura Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Batang, Staff Bagian Perijinan BPMPT Kabupaten Batang, Kepala Desa Karanggeneng, Perangkat Desa Ujungnegoro dan Masyarakat Desa Karanggeneng dan Ujungnegoro. 2. Observasi

Sutrisno Hadi (dalam Sugiyono, 2008:145) mengemukakan bahwa, observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua di antara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan. Observasi ditujukan untuk memperoleh data atau informasi yang diinginkan oleh peneliti melalui pengamatan langsung. Observasi


(67)

52

dilakukan di Desa Karanggeneng dan Desa Ujungnegoro untuk melihat keadaan desa yang masih mencengkam dengan pemasangan bendera warna kuning yang bertuliskan penolakan terhadap pembangunan PLTU dan pemasangan spanduk di depan Balai Desa Karanggeneng. 3. Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis seperti arsip-arsip dan juga termasuk buku-buku tentang pendapat teori, dalil atau hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah penelitian (Rachman, 1999:96). Data yang dikumpulkan melalui teknik dokumentasi berupa arsip-arsip atau dokumen-dokumen yang didapat langsung dari Kantor Pertanahan, dan Bappeda Batang. Dokumen yang dikumpulkan yaitu foto-foto terkait penolakan warga terhadap pembangunan PLTU dengan memasang bendera kuning bertuliskan Tolak PLTU di setiap rumah warga.

4. Studi Pustaka

Studi pustaka yaitu cara pengumpulan data dan informasi dari buku-buku, majalah, surat kabar, makalah-makalah penelitian, media massa, arsip, ataupun dokumentasi dan sumber-sumber lain yang relevan. Dalam metode ini alat pengumpul data adalah buku-buku, literatur, makalah-makalah penelitian, surat kabar, arsip atau dokumen dan sumber-sumber lain yang relevan.


(68)

F. Validitas Data Penelitian

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan suatu instrumen. Suatu instrumen yang valid mempunyai validitas tinggi. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan (Arikunto, 1997: 144-145). Sebuah instrumen dikatakan valid apabila dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat. Tinggi rendahnya validitas instrumen menunjukkan sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran tentang validitas yang dimaksud.

Untuk memperoleh instrumen yang valid peneliti harus bertindak hati-hati sejak awal penyusunannya. Dengan mengikuti langkah-langkah penyusunan instrumen, yakni memecah variabel menjadi sub-variabel dan indikator baru memuaskan butir-butir pertanyaannya, peneliti harus bertindak hati-hati. Apabila cara dan isi tindakan ini sudah betul, dapat dikatakan bahwa peneliti sudah boleh berharap memperoleh instrumen yang memiliki validitas logis. Di katakan validitas logis karena validitas ini diperoleh dengan suatu usaha hati-hati melalui cara-cara yang benar sehingga menurut logika akan dicapai suatu tingkat validitas yang dikehendaki.

Selain memperoleh validitas logis, peneliti juga menguji validitas instrumen yang sudah disusun melalui pengalaman. Dengan mengujinya melalui pengalaman akan diketahui tingkat validitas empiris atau validitas berdasarkan pengalaman. Pemeriksaan keabsahan data ini diterapkan


(1)

7. Bagaimana tanggapan anda mengenai pembangunan PLTU di desa ini? Jawaban: Kalau saya yang penting bisa buat kemajuan bagi masyarakat ya

saya setuju.

8. Setujukah anda mengenai pembangunan PLTU di wilayah ini? Kenapa? Jawaban: Setuju. Ya kan kalau di bangun PLTU kan daerah sini bisa rame

dan bisa untuk kemajuan desa dan Kabupaten Batang.

9. Dalam pembebasan lahan, pendekatan apa yang dilakukan Pemerintah atau pihak pengembang?

Jawaban: pemerintah menawarkan harga yang tinggi melalui pertemuan di Balai Desa.

10.Berapa besaran ganti rugi yang diberikan dari pemerintah atau pengembang proyek?

Jawaban: Kalau rata-rata sekitar Rp. 100.000

11.Apakah ada janji-janji dari Pengembang yang di berikan kepada masyarakat terkait dengan pembangunan PLTU?

Jawaban: Perbaikan jalan dan Pembavingan gang-gang.

12.Alasan apa yang menyebakan warga sekitar proyek banyak yang menentang pembangunan PLTU?

Jawaban: ya tadi mas, warga sekitar pekerjaannya kebanyakan di bidang pertanian dan nelayan, warga takut kalau PLTU ini akan merusak ekosistem alam.


(2)

PEDOMAN WAWANCARA Responden : Sekretaris Desa Ujung Negoro

Nama : Casmudin Daftar Pertanyaan:

1. Apakah warga sudah pernah mendapat sosialisasi?

Jawaban: Iya, dari pengembang dan Pemda yang mengadakan.

2. Apakah pemerintah/pengembang mengajak dialog/musyawarah kepada masyarakat yang enggan menjual tanah?

Jawaban: Iya, Pengembang dan Pemerintah melakukan musyawarah terkait warga yang tidak mau melepas tanah, dengan mediator Dirut PLN dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

3. Upaya apa yang dilakukan warga yang enggan/menolak menjual tanah? Jawaban: Warga sekitar yang tidak mau melepas tanah mereka melakukan

pemasangan spanduk dll dengan tujuan menentang pembangunan PLTU, bahkan warga sampai demo.

4. Bagaimana pemerintah desa dalam mengatasi masalah tersebut?

Jawaban: Pemerintah desa disini melakukan pendekatan secara

kekeluargaan, memberi penjelasan terkait pentingnya


(3)

5. Apakah dari pihak desa melakukan sosialisasi kepada warga terkait pembangunan PLTU?

Jawaban: Iya, kami mengumpulkan warga. Kalau penjelasan dilakukan Pengembang proyek.

6. Apakah desa dilibatkan dalam penentuan lokasi pembangunan PLTU? Jawaban: Itu langsung dari PLN Pusat.

7. Mengenai besaran ganti rugi berupa uang, apakah dalam pembayarannya dititipkan ke desa atau langsung ke warga pemilik tanah?

Jawaban: Proses ganti kerugian tanah dilakukan dihadapan Notaris. Kemudian masalah pembayaran dilakukan via tranfer bank langsung kepada pemilik tanah.

8. Apakah ada janji-janji dari Pengembang yang di janjikan kepada desa terkait dengan pembangunan PLTU?

Jawaban: Pembangunan jalan, perbaikan jalan dan penerangan jalan. 9. Apa yang menyebabkan warga di desa ini masih ada yang tidak mau

melepaskan tanahnya untuk pembangunan PLTU?

Jawaban: mereka beralasan kalau pembangunan PLTU akan merusak tatanan ekosistem alam, dimana sebagian besar warga mata pencahariannya adalah petani dan nelayan.


(4)

PEDOMAN WAWANCARA Responden : Kepala Desa Karanggeneng

Nama : Sawal Daftar Pertanyaan:

1. Apakah warga sudah pernah mendapat sosialisasi?

Jawaban: Iya, dari pengembang dan Pemda yang mengadakan.

2. Apakah pemerintah/pengembang mengajak dialog/musyawarah kepada masyarakat yang enggan menjual tanah?

Jawaban: Iya, dengan mediator Pak Wapres

3. Upaya apa yang dilakukan warga yang enggan/menolak menjual tanah? Jawaban: Warga melakukan demo.

4. Bagaimana pemerintah desa dalam mengatasi masalah tersebut?

Jawaban: ya diberi penjelasan supaya mereka (warga) mau melepas tanahnya.

5. Apa saja peran Perangkat Desa Ujung Negoro dalam hal pembebasan lahan? Jawaban: ya kami melakukan pendekatan secara personal supaya warga itu

sadar dan mau melepaskan tanahnya.

6. Apakah dari pihak desa melakukan sosialisasi kepada warga terkait pembangunan PLTU?

Jawaban: ya itu mas sosialisasi dari pengembang langsung, kita hanya sebagai penyedia tempat saja.

7. Apakah desa dilibatkan dalam penentuan lokasi pembangunan PLTU? Jawaban: Tidak, Desa hanya dimintai pertimbangan setelah ditetapkan.


(5)

8. Dalam pembebasan tanah, pendekatan apa yang dilakukan desa kepada warga dalam hal pembebasan tanah?

Jawaban: pendekatan yang dilakukan adalah dengan caramendatangi rumah warga terus memberi penjelasan terkait keuntungan PLTU

9. Mengenai besaran ganti rugi berupa uang, apakah dalam pembayarannya dititipkan ke desa atau langsung ke warga pemilik tanah?

Jawaban: tidak, itu dari pengembang langsung ke Rekening yang punya tanah.

10.Apakah ada janji-janji dari Pengembang yang di janjikan kepada desa terkait dengan pembangunan PLTU?

Jawaban: perbaikan jalan, Paving di lapangan balaidesa, perbaikan lapangan sepakbola.

11.Apa yang menyebabkan warga di desa ini masih ada yang tidak mau melepaskan tanahnya untuk pembangunan PLTU?

Jawaban: mereka takut akan dampak PLTU, karena mereka sebagian besar petani.


(6)