Peran Notaris Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah dan Jaminan Perlindungan Hak Bagi Para Pihak

DAFTAR PUSTAKA

Boediarto, M. Ali, “Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Pengadilan Mahkamah
Agung Acara
Perdata Setengah Abad”, (Jakarta: Swa Justitia, 2005), hlm. 150.
1

Subekti, R., Hukum Acara Perdata, (Bandung: Bina Cipta, 1989) hlm. 93‐94.

G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement),
Erlangga, Jakarta, 1999, h. 41.
G.H.S. Lumban Tobing, op.cit, h. 20.
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2008
(selanjutnya disingkat Habib Adjie I), h. 13.
Herlien Budiono, Notaris dan Kode Etiknya, Upgrading dan Refreshing Course
Nasional Ikatan Notaris Indonesia, Medan, 2007 (selanjutnya disingkat
Herlien Budiono I), h. 3.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa
Edisi Keempat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, h. 1224.
Soetandyo Wignyosoebroto dalam Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian

Hukum, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1998, hal 43
Soeryono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986, hal 50
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta, Sinar Grafika,
1996, hal 8-9
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum: Edisi Revisi, Jakarta, Kencana, 2011,
hal 13
Zainuddin Ali, Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, hal 106
I.P.M. Ranuhandoko, 2000, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, Cetakan Kedua, hal. 487
Urip Santoso, 2009, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hal 359-360.
Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut
Pandang Praktisi Hukum, Radjawali, Jakarta, hal.16.

80

Universitas Sumatera Utara

BAB III
PERAN NOTARIS DALAM MELAKUKAN PERALIHAN HAK ATAS

TANAH

A. PROSES PERALIHAN HAK ATAS TANAH
Dilihat dari sudut pandang konsep kepemilikan, maka bagi pihak yang
secara hukum memiliki hak atas tanah, baik yang telah didaftarkan maupun belum
didaftarkan dapat mengalihkan hak atas tanah yang dimilikinya. Mengalihkan hak
atas tanah, maksudnya memindahkan hak atas tanah yang dimiliki kepada pihak
lain, dengan pemindahan dimaksud, maka haknya akan berpindah. Hak (right)
yang dimaksud, adalah hubungan hukum yang melekat sebagai pihak yang
berwenang atau berkuasa untuk melakukan tindakan hukum. Di dalam
terminologi hukum kata-kata “right” diartikan hak yang legal, atau dasar untuk
melakukan sesuatu tindakan secara hukum. 29 Secara yuridis, peralihan hak atas
tanah dapat dilakukan melalui beberapa proses, antara lain 30:
1. Jual beli;
2. Hibah;
3. Tukar menukar;
4. Pemisahan dan pembagian harta warisan;
5. Penyerahan hibah wasiat;
6. Hipotik;


29

I.P.M. Ranuhandoko, 2000, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
Cetakan Kedua, hal. 487
30
Lihat dalam Soetomo, Op.Cit, hal. 16

45

Universitas Sumatera Utara

7. Credit verband.
Di dalam perkembangannya dapat terjadi karena adanya hak tanggungan
dan wakaf. Menurut Peraturan Menteri Agraria No.14 Tahun 1961 pasal 1
menentukan, bahwa: “Pemindahan hak, ialah jual beli termasuk pelelangan di
muka umum, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian
menurut adat dan perbuatan lain yang dimaksudkan untuk mengalihkan sesuatu
hak atas tanah kepada pihak lain”.
Terkait dengan pemindahan atau peralihan hak atas tanah, dilihat dari
karakteristik hak dan proses peralihan haknya, memiliki unsur hukum berbeda,

terutama yang terkait dengan syarat formil dan materiil, prosedur, maupun
mekanisme yang sangat ditentukan oleh sifat atau keadaan subjek dan objek hak.
Namun demikian syarat utama adalah harus adanya alat bukti hak atas tanah,
yakni bukti kepemilikan secara tertulis (formil) yang berupa “Sertifikat” (untuk
tanah yang telah didaftarkan), maupun “bukti pendukung” (untuk tanah yang
belum didaftarkan atau belum bersertifikat). Bukti yang dimaksud dapat berupa:
akta jual beli, hibah, fatwa waris, surat keputusan pemberian hak atas tanah dan
bangunan, dan lain-lain. Hal tersebut untuk memberikan kepastian dan kekuatan
hukum atas kepemilikan tanah, sehingga peralihan hak atas tanah tersebut
memenuhi syarat legalitas menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peralihan hak atas tanah menurut yuridis dilakukan secara tertulis dengan
akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dan didaftarkan pada Badan
Pertanahan Nasional (Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota). Langkah tersebut
terkait erat dengan prosedur peralihan hak atas tanah, karena prosedur
menentukan legalitas dari peralihan hak. Dengan demikian legalitas peralihan hak

46

Universitas Sumatera Utara


atas tanah sangat ditentukan oleh syarat formil maupun materiil, prosedur dan
kewenangan bagi pihak-pihak terkait, baik kewenangan mengalihkan maupun
kewenangan pejabat untuk bertindak. Prosedur hukum beralihnya suatu hak atas
tanah dapat ditelusuri baik sebelum maupun setelah berlakunya Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA).
Di dalam pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961 sebagai aturan pelaksanaan
UUPA disebutkan, bahwa “Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak
atas tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan,
harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat
yang ditunjuk oleh Menteri Agraria”. Menurut ketentuan tersebut terlihat jelas
bahwa peralihan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disingkat PPAT. Dengan demikian
ada unsur absolute yang harus dipenuhi dalam mengalihkan hak atas tanah, yakni
adanya akte peralihan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT.

B. WEWENANG NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI
Berdasarkan dari ketentuan yang termuat dalam Pasal 15 UU Nomor 2 Tahun
2014 tentang Jabatan Notaris, khususnya ayat (2) huruf f, secara yuridis formal
notaris berwenang untuk membuat akta jual beli tanah. Wewenang notaris dalam
membuat akta jual beli tanah tersebut memiliki kekuatan hukum yang kuat karena

wewenang tersebut adalah berdasarkan pada Undang-Undang.
Praktek sekarang ini, mayoritas notaris adalah PPAT, sehingga tidak ada
pengaruh mengenai kekuatan hukum akta yang dibuat oleh seorang notaris yang
bukan PPAT maupun notaris yang PPAT sepanjang dalam pembuatan suatu akta

47

Universitas Sumatera Utara

memenuhi syarat sebagai suatu akta otentik yang ditentukan undang-undang.
Sehingga akta bersangkutan (dalam hal ini perjanjian pengikatan jual beli tanah)
dapat dipergunakan sebagai alas bukti otentik oleh para pihak apabila di kemudian
hari terjadi sengketa mengenai objek perjanjian. Sedangkan apabila syarat untuk
menjadi akta otentik tidak dipenuhi, maka tetap saja akta tidak menjadi akta
otentik melainkan menjadi akta di bawah tangan baik akta dibuat oleh notaris
maupun notaris merangkap PPAT sebagaimana yang diwacanakan oleh Pasal 15
ayat (2) huruf f UUJN.
Pembuatan Perjanjian Pengikatan untuk Jual Beli (PPJB) dalam perbuatan
hukum peralihan hak atas tanah mempunyai kepastian hukum dan perlindungan
hukum bagi para pihak yang akan melakukan transaksi jual beli yang belum

memenuhi syarat untuk dibuatkannya Akta Jual Beli sebagai instrumen hukum
guna melakukan proses balik nama pada Kantor Pertanahan, karena dengan
dibuatkannya Perjanjian Pengikatan untuk Jual Beli (PPJB) sebagai dokumen
otentik dihadapan pejabat yang berwenang, untuk itu yaitu Notaris, secara yuridis
telah terjadi hubungan hukum antara pihak calon penjual dan pihak calon pembeli
yang akan mengikat kedua belah pihak dan akan berakibat hukum apabila terjadi
pelanggaran atas isi perjanjian. Jadi dengan dibuatkannya Akta Pengikatan untuk
Jual Beli oleh Notaris, telah meletakkan hak dan kewajiban antara pihak calon
penjual dan pihak calon pembeli berdasarkan kesepakatan para pihak yang dimuat
dan diterangkan oleh notaries kedalam akta itu, dengan mengacu Pasal 1320
juncto Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pertanggungjawaban Notaris terhadap kekeliruan akta Pengikatan Jual Beli
Hak Milik Atas Tanah, apabila ternyata di kemudian hari jual beli tidak dapat

48

Universitas Sumatera Utara

terlaksana apakah merupakan hal yang dapat dikategor ikan sebagai hal yang
merugikan kl ien, adalah tidak terlaksananya jual beli yang tentunya akan

merugikan klien yang beritikad baik, sehingga tidak terlaksananya jual beli
dikemudian hari dapat dikategorikan sebagai hal yang merugikan klien.
Implementasi Pasal 15 ayat (2) huruf f tentang Kewenangan Notaris membuat
akta dibidang pertanahan perlu dipikirkan bersama guna mencari solusi dalam
menyelesaikan permasalahannya. Meskipun dalam terminologi hukum bahwa
Pasal tersebut telah bersifat final yang tidak perlu mendapat penjelasan, terkecuali
hanya dilaksanakan sesuai diamanatkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Jabatan Notaris. Berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Jabatan Notaris, telah memunculkan berbagai macam tanggapan, baik
yang datang dari kalangan Notaris sendiri, maupun dari pihak lain yang merasa
Undang-Undang tersebut telah “memangkas” kewenangan yang selama ini
merupakan kewenangannya.
Seperti biasa, setiap diberlakukannya Undang-Undang baru, tentu akan
menimbulkan pro dan kontra. Untuk Undang-Undang Jabatan Notaris ini, polemic
terus bergulir, khususnya mengenai beberapa Pasal yang dapat menjadi sumber
keragu-raguan dalam pelaksanaannnya, pada hal seperti dinyatakan dalam
pembukaannya, Undang-Undang ini dibuat untuk menjamin kepastian, ketertiban,
dan perlindungan hukum, yang berintikan kebenaran dan keadilan. Sebelum
membahas lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan Notaris berdasarkan
Pasal 15 ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Tentang Jabatan

Notaris, maka perlu diuraikan terlebih dahulu mengenai masing masing jabatan
tersebut. Banyak orang awam yang salah mengerti mengenai Kedudukan, fungsi

49

Universitas Sumatera Utara

dan peranan Notaris dalam masyarakat khususnya dalam bidang hukum. Tidak
sedikit pula masyarakat yang menganggap bahwa notaris hanya “tukang stempel”
yang “kalah pintar” dari advokat/pengacara, sehingga mereka sering membawa
draft dari pengacara atau advokat mereka dan meminta notaris untuk menyalinnya
dalam bentuk akta otentik,
a) Kedudukan Seorang Notaris
Seorang notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang
dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis
serta ditetapkannya adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam
suatu proses hukum. Kedudukan seorang notaries sebagai suatu fungsionaris
dalam masyarakat yang disegani, namun saat ini kedudukannya agak
disalahmengerti oleh kebanyakan orang. Mungkin hal tersebut disebabkan oleh
tindakan dan perilaku para notaris itu sendiri. Pertama-tama yang perlu diketahui

bahwa notaris di Indonesia mempunyai fungsi yang berbeda dengan notaris di
Negara-negara Anglo- Saxon notary public seperti Singapura, Amerika dan
Australia, karena Indonesia menganut sistem hukum Latin/Continental. Notaris
Latin berkarakteristik utama dimana ia menjalankan suatu fungsi yang bersifat
publik. Diangkat oleh Pemerintah dan bertugas menjalankan fungsi pelayanan
public dalam bidang hukum, dengan demikian ia menjalankan salah satu bagian
dalam tugas negara. Seorang notaries diberikan kuasa oleh Undang-Undang untuk
membuat suatu akta memiliki suatu nilai pembuktian yang sempurna dan spesifik.
Oleh karena kedudukan notaris yang independent dan tidak memihak, maka akta
yang dihasilkannya merupakan simbol kepastian dan jaminan hukum yang pasti.
Dalam system hukum latin notaris bersifat netral tidak memihak, dan wajib

50

Universitas Sumatera Utara

memperhatikan kepentingan semua pihak yang terlibat. Itu sebabnya seorang
notaris dalam menjalankan tugasnya tidak bisa didikte oleh kemauan salah satu
pihak sehingga mengabaikan kepentingan pihak lainnya (meskipun sungguh
sangat disesalkan bahwa sekarang banyak notaris yang mau didikte oleh

pelanggannya sekalipun harus bertentangan dengan peraturan perundangundangan dan/atau kode etik profesi).
b) Fungsi Seorang Notaris
Setiap

masyarakat

keteranganketerangannya

membutuhkan
dapat

diandalkan,

seseorang
dapat

(figur)
dipercayai,

yang
yang

tandatangannya serta segelnya (capnya) memberi jaminan dan bukti kuat, seorang
ahli yang tidak memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau
unimpeachable), yang tutup mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat
melindunginya di hari-hari yang akan datang. Selain itu terdapat karakter yuridis
Notaris yang ada, yaitu :
1) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 702 K/Sip/1973,
tanggal 5 September 1973 :
Judex factie dalam amar putusannya membatalkan akta notaris, hal ini adalah
tidak dapat dibenarkan, karena notaris fungsinya hanya mencatatkan/menuliskan
apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap
notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi notaris untuk menyelidiki secara
materil apa-apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap di hadapan Notaris
tersebut.

51

Universitas Sumatera Utara

2) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3199 K/Pdt/1992,
tanggal 27 Oktober 1994 :
Akta otentik menurut ketentuan ex Pasal 165 HIR jo 265 Rbg jo 1868 BW
merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, para ahli warisnya dan
orang yang mendapat hak darinya.
3) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 1140 K/Pdt/1996,
tanggal 30 Juni 1998 :
Suatu akta notaris sebagai akta otentik yang isinya memuat 2 (dua) perbuatan
hukum, yaitu :(1) Pengakuan hutang, dan (2) kuasa mutlak untuk menjual tanah,
maka akta notaris ini telah melanggar adagium. Bahwa satu akta otentik hanya
berisi satu perbuatan hukum saja. Akta Notaris yang demikian itu tidak memiliki
executorial titel ex Pasal 224 HIR dan tidak sah.
Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, maka karakter yuridis
Notaris dan akta Notaris, yaitu :
1. Pembatalan akta Notaris oleh hakim tidak dapat dibenarkan, karena akta
tersebut merupakan kehendak para penghadap;
2. Fungsi Notaris hanya mencatatkan keinginan penghadap yang dikemukakan
di hadapan Notaris;
3. Notaris tidak mempunyai kewajiban materil atas hal-hal yang dikemukakan
di hadapan Notaris;
4. Akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para
pihak, para ahli warisnya dan siapa saja yang mendapat hak dari akta tersebut;
5. Tiap akta Notaris (atau satu akta Notaris) hanya memuat satu tindakan atau
perbuatan hukum saja. Jika satu akta Notaris memuat lebih dari satu perbuatan

52

Universitas Sumatera Utara

hukum, maka akta tersebut tidak mempunyai kekuatan title eksekutorial dan tidak
sah.

C. KEKUATAN AKTA NOTARIS DALAM MENGIKAT PARA PIHAK
Apabila Kekuatan pembuktian Akta Otentik diatur dalam Pasal 1870
KUHPerdata yang mengatakan bahwa; Suatu akta otentik memberikan di antara
para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak
dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya.
Kekuatan yang melekat pada akta otentik yaitu; Sempurna (volledig bewijskracht)
dan Mengikat (bindende bewijskracht), yang berarti apabila alat bukti Akta
Otentik diajukan memenuhi syarat formil dan materil dan bukti lawan yang
dikemukakan tergugat tidak mengurangi keberadaanya, pada dirinya sekaligus
melekat kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat (volledig en bindende
bewijskracht), dengan demikian kebenaran isi dan pernyataan yang tercantum
didalamnya menjadi sempurna dan mengikat kepada para pihak mengenai apa
yang disebut dalam akta. Sempurna dan mengikat kepada hakim sehingga hakim
harus menjadikannya sebagai dasar fakta yang sempurna dan cukup untuk
mengambil putusan atas penyelesaian perkara yang disengketakan 31.
Akta otentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata, yaitu suatu akta yang di
dalam bentuk yang ditetapkan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan
Pegawai Umum yang berkuasa untuk itu, di tempat di mana akta dibuatnya. Akta
otentik mempunyai tiga macam kekuatan, oleh karena itu dalam pembuatan suatu

31

Harahap, Op.Cit, Hlm,545

53

Universitas Sumatera Utara

akta otentik oleh Notaris, hendaknya diperhatikan 3 (tiga) aspek, Akta Notaris
sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai pembuktian yaitu :

1. Lahiriah (uitwendige bewijskracht)
Kemampuan lahiriah akta Notaris, merupakan kemampuan akta itu sendiri
untuk membuktikan keabsahannya, sebagai akta otentik (acta publica probant
sese ipsa).Jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan
aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, artinya sampai
ada yang dapat membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara
lahiriah.Dalam hal ini beban pembuktian ada pihak yang menyangkalnya
keotentikan akta Notaris.
Parameter untuk menentukan akta Notaris sebagai akta otentik, yaitu
dengan adanya tanda tangan dari Notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada
Minuta dan salinan dan adanya awal akta mulai dari judul sampai dengan akhir
akta 32.
Nilai pembuktian akta Notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus
dilihat apa adanya, bukan dilihat ada apa. Secara lahiriah tidak perlu
dipertentangkan dengan alat bukti lainnya. Jika ada yang menilai bhwa suatu akta
Notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib
membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik.
Penyangkalan atau pengingkaran secara lahiriah akta Notaris sebagai akta
otentik, bukan akta otentik, maka penilaian pembuktiannya harus didasarkan pada
syarat-syarat akta Notaris sebagai akta otentik.Pembuktian semacam ini harus

32

Adjie, Op.Cit, hlm, 18

54

Universitas Sumatera Utara

dilakukan melalui upaya gugatan ke pengadilan. Penggugat harus dapat
membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang menjadi objek gugatan bukan akta
Notaris. 33

2. Formal (formele bewijskracht)
Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta
tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak
pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan
prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal untuk
membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul
(waktu) menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan para
pihak atau penghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat,
disaksikan, didengar oleh Notaris, (pada akta pejabat/berita acara), dan
mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak atau penghadap (pada akta
pihak).
Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dapat
dibuktikan dari formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan
ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap, membuktikan
ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang
dilihat, disaksikan dan didengar oleh Notaris, juga harus dapat membuktikan
ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan atau
disampaikan dihadapan Notaris, dan ketidakbenaran tanda-tangan para pihak,
saksi dan Notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan.

33

Ibid, hlm, 19

55

Universitas Sumatera Utara

Pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian
terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu
membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh
siapa pun.
Tidak

dilarang

siapa

pun

untuk

melakukan

pengingkaran

atau

penyangkalan atas aspek formal akta Notaris, jika yang bersangkutan merasa
dirugikan atas akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. Pengingkaran atau
penyangkalan tersebut harus dilakukan dengan suatu gugatan ke pengadilan
umum, dan penggugat harus dapat membuktikan bahwa ada aspek formal yang
dilanggar atau tidak sesuai dalam akta yang bersangkutan, misalnya, bahwa yang
bersangkutan tidak pernah merasa menghadap Notaris pada hari, tanggal, bulan,
tahun dan pukul yang tersebut dalam awal akta, atau merasa tanda-tangan dalam
akta bukan tanda-tangan dirinya. Jika hal ini terjadi bersangkutan atau penghadap
tersebut untuk menggugat Notaris, penggugat harus dapat membuktikan
ketidakbenaran aspek formal tersebut. 34

3. Materil (meteriele bewijskracht)
Merupakan kepastian tentang meteri suatu akta, karena apa yang tersebut
dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat
akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada
pembuktian sebaliknya. Keterangan atau pernyataan yang dituangkan atau dimuat
dalam akta pejabat atau akta berita acara, atau keterangan para pihak yang
diberikan atau disampaikan dihadapan Notaris akta pihak dan para pihak harus

34

Ibid, Hlm, 20

56

Universitas Sumatera Utara

dinilai berkata benar dan kemudian dituangkan atau dimuat dalam akta berlaku
sebagai yang benar atau setiap orang yang datang menghadap Notaris yang
kemudian keterangannya dituangkan atau dimuat dalam akta harus dinilai telah
berkata benar. Jika ternyata pernyataan atau keterangan para penghadap tersebut
menjadi tidak benar, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab para pihak itu
sendiri.Notaris terlepas dari hal semacam itu, dengan demikian isi akta Notaris
mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, dan menjadi bukti yang sah untuk
atau di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka. Jika
akan membuktikan aspek materil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat
membuktikan bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang
sebenarnya dalam akta pejabat, atau para pihak yang telah berkata benar di
hadapan Notaris menjadi tidak benar dan harus dilakukan pembuktian terbalik
untuk menyangkal aspek materil dari akta Notaris.
Ketiga aspek tersebut diatas merupakan kesempurnaan akta Notaris
sebagai akta otentik dan siapa pun terikat oleh akta tersebut.Jika dapat dibuktikan
dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak
benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut didegradasikan dalam kekuatan
pembuktiannya hanya sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta dibawah tangan. 35
Apabila memperhatikan uraian diatas dapat dijelaskan bahwa antara akta
otentik dengan akta dibawah tangan terdapat suatu perbedaan yang prinsip, letak
perbedaan antara akta otentik dengan akta dibawah tangan yaitu :

35

Ibid, hlm, 21

57

Universitas Sumatera Utara

1. Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti, Pasal 15 ayat (1) UUJN,
sedangkan mengenai tanggal pembuatan akta dibawah tangan tidak ada jaminan
tanggal pembuatannya.
2. Grosse dari akta otentik untuk pengakuan hutang dengan frasa dikepala akta
demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, mempunyai kekuatan
eksekutorial seperti halnya keputusan Hakim, Pasal 1 angka 11 UUJN, sedangkan
akta yang dibuat di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. 36
3. Minuta akta otentik adalah merupakan arsip Negara, Pasal 15 ayat (1) UUJN,
kewenangan Notaris menyimpan akta, karena akta Notaris adalah arsip Negara,
maka tidak boleh hilang, sedangkan akta dibawah tangan kemungkinan hilang
sangat besar.
4. Akta otentik adalah alat bukti yang sempurna tentang yang termuat didalamnya
(volledig bewijs), Pasl 1870 KUHPerdata artinya apabila satu pihak mengajukan
suatu akta otentik, Hakim harus menerimanya dan menanggap apa yang dituliskan
didalam akta tersebut sungguh telah terjadi sesuatu yang besar, sehingga Hakim
tidak boleh memerintahkan menambah bukti yang lain. Sedangkan akta dibawah
tangan dalam hal ini perjanjian, apabila pihak yang menandatangani tidak
menyangkal atau mengakui tanda tangannya, maka akta dibawah tangan tersebut
memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan akta otentik yaitu sebagai
bukti yang sempurna. Pasal 1875 KUHPerdata. Tetapi apabila tanda tangan
tersebut disangkal, maka pihak yang mengajukan perjanjian tersebut wajib

36

Sjaifurrachman, Op.Cit. hlm. 118

58

Universitas Sumatera Utara

membuktikan kebenaran tanda tangan tersebut, hal tersebut merupakan sebaliknya
dari yang berlaku pada akta otentik. 37
Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik, apabila
terpenuh syarat formil dan materil maka pada akta tersebut langsung mencukupi
batas minimal pembuktian tanpa bantuan alat bukti lain. Langsung sah sebagai
alat bukti akta otentik, pada Akta tersebut langsung melekat nilai kekuatan
pembuktian yaitu sempurna (volledig) dan mengikat (bindende). 38
Hakim wajib dan terikat menganggap akta otentik tersebut benar dan
sempurna, harus menganggap apa yang didalilkan atau dikemukakan cukup
terbukti. Hakim terikat atas kebenaran yang dibuktikan akta tersebut, sehingga
harus dijadikan dasar pertimbangan mengambil putusan penyelesaian sengketa.
Kualitas kekuatan pembuktian Akta Otentik tidak bersifat memaksa
(dwingend) atau menentukan (beslissend) dan terhadapnya dapat diajukan bukti
lawan.Seperti yang dijelaskan, derajat kekuatan pembuktiannya hanya sampai
pada tingkat sempurna dan mengikat, tetapi tidak memaksa dan menentukan.Oleh
karena itu, sifat nilai kekuatan pembuktiannya tidak bersifat imperatife. Dapat
dilumpuhkan dengan bukti lawan.
Apabila terhadapnya diajukan bukti lawan maka, derajat kualitasnya
merosot menjadi bukti permulaan tulisan (begin van schriftelijke), dalam keadaan
yang demikian, tidak dapat berdiri sendiri mencukupi batas minimal pembuktian,
oleh karena itu harus dibantu dengan salah satu alat bukti yang lain. 39

37

Ibid. hlm. 119
Harahap, Op.Cit, hlm,583
39
Ibid, hlm, 584
38

59

Universitas Sumatera Utara

D. LARANGAN NOTARIS DALAM MEMBUAT AKTA TERTENTU
Pada dasarnya, semua jenis akta yang terletak dalam bidang perdata boleh
dibuat oleh notaris. Namun, dalam hal tertentu ada larangan khusus bagi notaris
untuk membuat akta bagi orang orang tertentu. Larangan tersebut diatur dalam
pasal 20 ayat 1 P.J.N yang berbunyi :
“Notaris tidak boleh membuat akta dalam mana ia sendiri, istrinya,
keluarga sedarahnya atau keluarga semendanya dalam garis lurus tanpa
pembatasan derajat dan dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga
baik untuk dirinya sendiri maupun melalui kuasa adalah merupakan pihak”.
Jikalau pasal tersebut kita perinci maka dapat dikatakan bahwa larangan
itu berlaku jika dalam suatu akta ternyata bahwa :
1. Notaris itu sendiri,
2. Istri notaris itu,
3.Keluarga sedarah dan keluarga semenda notaris itu, dalam garis lurus
tanpa pembatasan derajat, dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga,
adalah:
a.merupakan pihak karena dirinya sendiri atau
b. merupakan pihak melalui seseorang yang dikuasakannya (door gemachtigde).

Perlu diperhatikan bahwa perkataan “istri notaris” dewasa ini harus
ditafsirkan berbunyi “istri atau suami notaris” mengingat bahwa sekarang ini
bukan hanya pria tapi juga wanita dapat diangkat menjadi notaris. Jadi berbeda
situasinya dengan situasi ketika P.J.N mulai berlaku yakni bahwa pada waktu itu

60

Universitas Sumatera Utara

pasal yang mengatur tentang persyaratan pengangkatan notaris menetapkan bahwa
yang boleh diangkat menjadi notaris (hanyalah) pria.

1. Menjadi Pihak Karena Dirinya Sendiri.
Yang dimaksud dengan menjadi pihak karena dirinya sendiri ialah jika hak
dan kewajiban yang timbul dari akta tersebut adalah untuk dan atas tanggungan
diri pribadi penghadap itu sendiri.
2. Menjadi Pihak Melalui Orang Yang Dikuasakan
Menjadi pihak dalam akta melalui seseorang yang dikuasakan artinya ialah
bahwa si penghadap bertindak bukan untuk kepentingannya sendiri melainkan
untuk dan atas tanggungan orang lain yang diwakilinya berdasarkan pemberian
kuasa. Segala akibat hukum perbuatan dari yang diberi kuasa bertalian dengan
akta untuk mana ia menghadap adalah untuk dan atas tanggungan pihak yang
memberi kuasa. Bukan menjadi hak dan kewajiban orang yang diberi kuasa (yang
menghadap)
Sebagai contoh ialah si A memberi kuasa kepada si B untuk
mempersewakan rumah kepunyaan si A kepada si C. Maka untuk keperluan
pembuatan akta sewa menyewa, yang menghadap kepada notaris adalah si B yang
bertindak sebagai kuasa si A juga menghadap si C. Dalam hal ini yang menjadi
pihak perjanjian sewa menyewa ialah si A sebagai pihak melalui kuasanya yang
bernama B, sedangkan si C juga merupakan pihak kareana dirinya sendiri.
Sebagaimana diketahui kuasa itu ada 3 jenis, yakni :

61

Universitas Sumatera Utara

-

Kuasa lisan

Artinya kuasa itu diberikan secara lisan atau dengan omongan saja tanpa
didukung satu tulisan atau surat.
-

Kuasa dibawah tangan

Kuasa ini diberikan dengan satu tulisan atau akta akan tetapi pembuatan
akta itu dilakukan tanpa campur tangan atau bantuan pejabat umum melainkan
dibuat oleh hanya yang berkepentingan saja (pasal 1874 KUH Perdata)
Ada kalanya pembuatan surat kuasa ini terjadi dengan melibatkan pejabat
umum secara terbatas yakni yang membuat surat kuasa itu adalah orang yang
bersangkutan saja akan tetapi penandatangannya dilakukan dihadapan pejabat
umum. Dengan perkataan lain penandatangannya disaksikan oleh pejabat umum.
Surat kuasa demikian dinamakan surat kuasa dibawah tangan yang dilegalisir.
-

Kuasa otentik

Kuasa otentik adalah kuasa yang diberikan dengan akta yang diperbuat
dalam bentuk yang ditentukan oleh undang undang oleh pejabat umum yang
berwenang seperti yang diuraikan lebih jelas dalam pasal 1868 KUH Perdata.
Pada umumnya pejabat umum yang bertindak dalam pembuatan akta otentik itu
adalah notaris karena itu jika tidak ternyata sebaliknya maka akta otentik sama
dengan akta notaris.
Sebagai kesimpulan dapat kita katakan bahwa dalam tiga jenis kuasa yang
tersebut diatas si notaris tidak boleh membuat suatu akta dimana salah satu pihak
adalah orang yang mempunyai hubungan keluarga yang dekat dengan notaris
(termasuk dalam derajat larangan), meskipun yang menghadap bukanlah
keluarganya itu melainkan kuasanya yang tidak mempunyai hubungan keluarga

62

Universitas Sumatera Utara

dengan notaris. Sebab dalam hal ini keluarganya itulah yang menjadi pihak
melalui kuasa.

-

Menjadi Pihak Melalui Wakil Yang Bertindak Dalam Kedudukan (
In Hoedanigheid).

Menjadi pihak melalui yang diberi kuasa (door gemachtigde) maknanya
adalah menjadi pihak melalui seorang wakil. Si wakil mewakili melalui lembaga
kuasa. Seseorang mungkin pula mewakili orang lain bukan melalui lembaga kuasa
akan tetapi melalui lembaga (institusi) lain yaitu lembaga kedudukan atau
lembaga jabatan (in hoedanigheid).
Kedudukan sebagai wali mengandung arti bahwa si wali berhak, bahkan
dalam hal tertentu berkewajiban, mewakili anak dibawah umur yang berada
dibawah perwaliannya melakukan suatu perbuatan hukum. Dalam hal ini jika
dibuatkan aktanya dimuka notaris maka yang menghadap adalah si wali, bukan si
anak namun yang menjadi pihak yang terikat pada perjanjian itu adalah si anak.
Jika dalam pembuatan suatu akta seorang penghadap itu bertindak dalam
kedudukannya sebagai wali dari seorang anak dibawah umur maka yang terikat
mengenai isi akta bukanlah si wali melainkan si anak dibawah umur. Seandainya
orang tadi bertindak dalam kedudukannya sebagai kurator (pengampu) maka yang
terikat bukanlah pengampu itu tapi kurandus (yang terampu).
Pasal 20 P.J.N tersebut tidak ada mengatur prihal seseorang yang
bertindak dalam kedudukan dalam pembuatan dalam suatu akta. Apakah larangan
pasal 20 P.J.N itu juga berlaku jika seandainya yang menjadi pihak dalam akta
adalah seseorang yang bertindak dalam kedudukan tertentu.

63

Universitas Sumatera Utara

-

Larangan Tidak Berlaku.

Larangan tersebut diatas tidak berlaku dalam hal hal yang diuraikan dalam
pasal 20 ayat 2.
-

Sanksi

Pelanggaran terhadap larangan pembuatan akta akta yang tersebut diatas
diatur dalam pasal 20 ayat 3 P.J.N yang menentukan :
“Akta itu hanya mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan asal
saja akta itu ditandatangani oleh para penghadap dan notaris pembuat akta itu
berkewajiban

membayar

ongkos,

kerugian

dan

bunga

kepada

yang

berkepentingan”.
Akibat hukum dari sanksi tersebut berbeda-beda tergantung dari jenis
perbuatan atau perjanjian yang dimuat dalam akta tersebut yakni :
Jika perbuatan itu adalah perbuatan yang bebas bentuk (vormvrij) dalam
arti kata adanya akta notaris bukan merupakan keharusan maka perbuatan itu tetap
sah secara yuridis namun kekuatan pembuktian akta tersebut meskipun dibuat
dihadapan notaris hanya kekuatan pembuktian akta dibawah tangan.
Jika perbuatan itu adalah perbuatan hukum yang mana eksistensinya harus
melalui akta notaries maka dengan terjadinya pelanggaran pasal 20 ayat 1 P.J.N
perbuatan itu dianggap tidak dilakukan.

64

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
JAMINAN PERLINDUNGAN HAK BAGI PARA PIHAK DALAM
PERALIHAN HAK ATAS TANAH MELALUI JUAL BELI

A. SIFAT JUAL BELI MENURUT HUKUM TANAH NASIONAL
Penggunaan istilah jual beli tanah adalah untuk keperluan praktis, tetapi
sebenarnya diperjualbelikan atau yang menjadi objek jual beli adalah hak atas
tanah bukan tanahnya. Tujuan jual beli hak atas tanah adalah agar supaya pembeli
dapat secara sah menguasai dan menggunakan hak atas tanah tersebut.
Dalam perkembangannya, yang diperjualbelikan tidak hanya hak atas
tanah, tetapi juga Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Hal ini terkait dengan
adanya hak milik yang terletak di atas tanah pihak lain, baik berupa hak milik, hak
guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan maupun hak milik negara atau lazim
disebut tanah negara. Perkembangan lain jual beli hak atas tanah saat ini juga
meliputi bangunan yang ada di atasnya serta tanaman atau pepohonan yang ada/
tumbuh di atas tanah tersebut.
Pengertian jual beli tanah menurut UUPA didasarkan pada konsep dan
pengertian jual beli menurut hukum adat. Dalam hukum adat tentang jual beli
tanah dikenal tiga macam yaitu :
a. Adol Plas (Jual Lepas)
Pada adol plas, pemilik tanah menyerahkan tanahnya untuk
selama-lamanya kepada pihak lain (pembeli) dengan pembayaran sejumlah
uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan antara pemilik
tanah dengan pihak lain (pembeli).

65

Universitas Sumatera Utara

b. Adol Gadai (Jual Gadai)
Pada adol gadai, pemilik tanah pertanian (pembeli gadai)
menyerahkan tanahnya untuk digarap kepada pihak lain (pemegang gadai)
dengan menerima sejumlah uang dari pihak lain (pemegang gadai) sebagai
uang gadai dan tanah dapat kembali kepada pemiliknya apabila pemilik
tanah menebus uang gadai.
c. Adol Tahunan (Jual Tahunan)
Pada adol tahunan, pemilik tanah pertanian menyerahkan tanahnya
untuk digarap dalam beberapa kali masa panen kepada pihak lain
(pembeli) dengan pembayaran sejumlah uang yang besarnya ditentukan
atas dasar kesepakatan antar pemilik tanah dengan pembeli. Setelah
beberapa kali masa panen sesuai kesepakatan kedua belah pihak, tanah
pertanian diserahkan kembali oleh pembeli kepada pemilik tanah. 40

Menurut Boedi Hars Harsono pengertian jual beli tanah adalah perbuatan
hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk selamalamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga pembeli membayar
harganya kepada penjual. Jual beli yang mengakibatkan beralihnya hak milik atas
tanah dari penjual kepada pembeli itu masuk dalam hukum agrarian atau hukum
tanah. 41 Ruang lingkup pengertian jual beli tanah objeknya terbatas hanya pada
hak milik atas tanah. Dalam hukum positif yang mengatur hak-hak atas tanah,
yang dapat menjadi objek jual beli tidak hanya terbatas hanya pada Hak Milik,

40

Urip Santoso, 2009, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hal 359‐360.
41
Boedi Harsono 11, Op.Cit, hal.135.

66

Universitas Sumatera Utara

namun juga Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, maupun Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Sifat jual beli tanah berdasarkan konsep Hukum Adat menurut Effendi
Perangin, adalah: 42
a. Contant atau Tunai
Contant atau tunai, artinya harga tanah yang dibayar itu seluruhnya, tetapi
bisa juga sebagian. Akan tetapi biarpun dibayar sebagian, menurut hukum
dianggap telah dibayar penuh. Pembayaran harga dan penyerahan haknya
dilakukan pada saat yang bersamaan. Pada saat itu, jual beli menurut hukum telah
selesai. Sisa harga yang belum dibayar dianggap sebagai utang pembeli kepada
bekas pembeli tanah (penjual). Hal ini berarti, jika kemudian pembeli tidak
membayar sisa harganya, maka bekas pemilik tanah tidak dapat membatalkan jual
beli tanah tersebut. Penyelesaian pembayaran sisa harga tersebut dilakukan
menurut hukum perjanjian utang piutang.
b. Terang
Terang, artinya jual beli tanah tersebut dilakukan di hadapan kepala desa
(kepala adat) yang tidak hanya bertindak sebagai saksi tetapi juga dalam
kedudukannya sebagai pihak yang menanggung bahwa jual beli tanah tersebut
tidak melanggar hukum yang berlaku. Jual beli tanah yang dilakukan di hadapan
kepala desa menjadi “terang” dan bukan perbuatan hukum yang “gelap”. Artinya
pembeli mendapatkan pengakuan dari masyarakat yang bersangkutan sebagai
pemilik tanah yang baru dan mendapatkan perlindungan hukum jika pada

42

Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi
Hukum, Radjawali, Jakarta, hal.16.

67

Universitas Sumatera Utara

kemudian hari ada gugatan terhadapnya dari pihak yang menggangap jual beli
tanah tersebut tidak sah.
Sebagai perbandingan, berikut ini diuraikan tentang jual beli tanah
menurut Burgerlijk Wetboek (BW). Pengertian jual beli dimuat dalam Pasal 1457
BW, yaitu suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya
untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga
yang telah diperjanjikan. Selanjutnya, dalam Pasal menurut 1458 BW, dinyatakan
bahwa jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika
setelahnya para pihak mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya
meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.
Khusus jual beli tanah pada masa berlakunya Hukum Agraria Kolonial
diatur dalam Overschrijving Ordonnantie Stb. 1934 Nomor 27. Dalam perjanjian
jual beli tanah menurut ketentuan tersebut terdapat dua perbuatan hukum, yaitu :
a. Perjanjian jual beli tanah yang dibuat dengan akta notaris atau akta di bawah
tangan. Mengenai perjanjian jual beli pengaturannya termasuk hukum perjanjian
yang merupakan bagian dari Hukum Perikatan dalam Buku III BW. Pada saat
dilakukan perjanjian jual beli belum terjadi pemindahan hak atas tanah dari
penjual kepada pembeli.
b. Penyerahan yuridis (juridische levering) yang diselenggarakan dengan
pembuatan akta balik nama yang dibuat oleh atau di hadapan Kepala Kantor
Pendaftaran Tanah selaku Overschrijvings Ambtenaar. Pemindahan hak milik atas
tanah yang diperjualbelikan dari penjual kepada pembeli terjadi setelah dilakukan
penyerahan yuridis.

68

Universitas Sumatera Utara

Berbeda dengan konsep jual beli menurut BW dan Overschrijving
Ordonnantie Staatsblad Tahun 1934 Nomor 27, pada jual beli tanah menurut
hukum adat terdapat satu perbuatan hukum, yaitu hak atas tanah berpindah dari
penjual kepada pembeli pada saat dibayarnya harga tanah secara tunai oleh
pembeli kepada penjual. Menurut Hukum Adat jual beli tanah bukan merupakan
perjanjian sebagaimana dimaksud Pasal 1457 BW, melainkan suatu perbuatan
hukum yang bertujuan untuk memindahkan hak atas tanah dari pemegang hak
(penjual) kepada pihak lain (pembeli) dengan pembayaran sejumlah uang secara
tunai dan dilakukan di hadapan kepala desa/ kepala adat setempat sehingga
bersifat terang.
Dengan mengadopsi pengertian jual beli menurut Hukum Adat, maka
dalam Hukum Tanah Nasional (vide UUPA) dinyatakan bahwa jual beli hak atas
tanah adalah merupakan suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah
untuk selama-lamanya oleh pemegang haknya sebagai penjual kepada pihak lain
sebagai pembeli, dan secara bersamaan pihak pembeli menyerahkan sejumlah
uang yang disepakati oleh kedua belah pihak sebagai harga kepada penjual.
Pengertian ini adalah sesuai dengan unsur kontan yang terdapat dalam Hukum
Adat. Sedangkan jika pada proses jual beli tersebut ternyata pihak pembeli belum
membayar lunas seluruh harga tanah, maka kekurangannya dianggap sebagai
hutang yang tunduk pada hukum hutang piutang.

B. OBJEK DAN SYARAT-SYARAT JUAL BELI HAK ATAS TANAH
Hak atas tanah yang dapat dijadikan objek jual beli adalah Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah negara dengan ijin dari

69

Universitas Sumatera Utara

pejabat yang berwenang, dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun sebagaimana
diatur dalam Undang Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.
Tidak semua hak atas tanah dapat dijadikan objek jual beli. Hak atas tanah yang
tidak dapat diperjualbelikan adalah hak pakai atas tanah negara yang diberikan
untuk waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya digunakan untuk keperluan
tertentu. Misalnya, Hak Pakai yang dimiliki oleh lembaga/ instansi Pemerintah,
Perwakilan Negara Asing atau Badan/ Organisasi Internasional, dan Badan Sosial
(Penjelasan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996).
Peralihan hak atas tanah dalam bentuk jual beli harus memenuhi beberapa
syarat yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila syarat-syarat yang telah ditentukan tidak terpenuhi maka akan membawa
konsekuensi pada legalitas jual beli hak atas tanah tersebut. Di samping itu apabila
suatu perbuatan jual beli hak atas tanah tidak memenuhi syarat, juga dapat
berkonsekuensi tidak dapat didaftarkannya peralihan hak atas tanah melalui jual
beli tersebut. Syarat-syarat jual beli hak atas tanah ada yang merupakan syarat
materiil dan syarat formil.

1. Syarat Materiil
Syarat Materiil jual beli hak atas tanah adalah tertuju pada subjek dan
objek hak yang akan diperjualbelikan. Pemegang hak atas tanah harus mempunyai
hak dan berwenang untuk menjual hak atas tanah. Di samping itu pembeli juga
harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subjek) hak dari hak atas tanah yang

70

Universitas Sumatera Utara

menjadi objek jual beli. Uraian tentang syarat materiil dalam jual beli hak atas
tanah adalah sebagai berikut :
1. Syarat Penjual
Untuk dapat melakukan transaksi jual beli hak atas tanah maka penjual
harus mempunyai hak dan wewenang untuk menjual hak atas tanah dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. Penjual adalah orang yang namanya tercantum dalam sertifikat atau alat
bukti lain selain sertifikat.
b. Penjual harus sudah dewasa menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
c. Apabila penjual masih belum dewasa atau masih berada di bawah umur
(minderjarig) maka untuk melakukan jual beli harus diwakili oleh
walinya.
d. Apabila penjual berada di dalam pengampuan (curatale), maka untuk
melakukan transaksi jual beli harus diwakili oleh pengampu atau
kuratornya.
e. Apabila penjual diwakili oleh orang lain sebagian penerima kuasa, maka
penerima kuasa menunjukan surat kuasa notariil atau surat kuasa otentik
yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.

71

Universitas Sumatera Utara

f. Apabila hak atas tanah yang akan dijual merupakan harta bersama dalam
perkawinan maka penjual harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu
dari suami/istri yang dituangkan dalam akta jual beli.
2. Syarat Pembeli
Selaku calon pemegang hak baru, maka pembeli hak atas tanah harus
memenuhi syarat syarat sebagai subjek hak atas tanah dengan ketentuan sebagai
berikut :
a. Apabila objek jual beli tersebut merupakan tanah Hak Milik, maka
subjek yang dapat membeli tanah adalah perseorangan warga negara
Indonesia, bank pemerintah, badan keagamaan, dan badan sosial.
b. Apabila objek jual beli tersebut merupakan tanah Hak Guna Usaha,
maka subjek yang dapat membeli tanah adalah perseorangan warga negara
Indonesia, dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
c. Apabila objek jual beli tanah tersebut merupakan tanah Hak Guna
Bangunan, maka subjek yang dapat membeli tanah adalah perseorangan
warga negara Indonesia, dan badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
d. Apabila objek jual beli tanah tersebut adalah merupakan Hak Pakai,
maka pihak yang dapat membeli tanah adalah subjek Hak Pakai yang
bersifat privat, yaitu perseorangan warga negara Indonesia, perseorangan
warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang

72

Universitas Sumatera Utara

didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, dan
badan hukum asing yang mempuyai perwakilan di Indonesia.
2. Syarat Formil
Syarat formil dalam jual beli hak atas tanah adalah meliputi formalitas
transaksi jual beli tersebut. Formalitas tersebut meliputi akta yang menjadi bukti
perjanjian jual beli serta pejabat yang berwenang membuat akta tersebut. Dalam
rangka pendaftaran pemindahan hak, maka syarat formil jual beli hak atas tanah
harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT). Akta yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan atau
dikualifikasikan sebagai akta otentik.
Syarat bahwa jual beli harus dibuktikan dengan akta PPAT ditegaskan
dalam Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, yang
menyatakan: “Peralihan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui
lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh
PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Syarat formil dalam jual beli hak atas tanah tidak mutlak harus dibuktikan
dengan akta PPAT, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota dapat mendaftar
pemindahan haknya meskipun tidak dibuktikan dengan akta PPAT. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 37 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 yang
menyatakan: “Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh

73

Universitas Sumatera Utara

menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftarkan pemindahan hak atas
bidang tanah Hak Milik, yang dilakukan di antara perorangan warga negara
Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang
menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap
cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan”.
Atas dasar ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997
menunjukkan bahwa untuk kepentingan pemindahan kepada Kantor Pertanahan,
jual beli hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta PPAT. Namun dalam
keadaan tertentu, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas
tanah bidang tanah Hak Milik, jika para pihaknya (penjual dan pembeli)
perseorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak
dibuat oleh PPAT, tetapi kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar
pemindahan hak yang bersangkutan.

C. KEPASTIAN HUKUM DALAM PERLINDUNGAN HAK PARA PIHAK
Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam jual beli hak atas
tanah diperlukan adanya persyaratan formil bagi penjual atau pemilik hak atas
tanah. Syarat formil terhadap objek jual beli hak atas tanah berupa bukti
kepemilikan tanah yang terkait dengan hak atas tanah, dan juga terkait dengan
prosedur peralihan hak atas tanah tersebut. Prosedur jual beli hak atas tanah telah
ditetapkan menurut ketentuan yang berlaku, yakni Undang-Undang No.5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun
1960 No. 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043) dan Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1961 yang diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 24
74

Universitas Sumatera Utara

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696).
Menurut ketentuan tersebut, jual beli tanah harus dibuktikan dengan suatu
akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah atau PPAT.
Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam jual beli tanah, proses
jual beli tanah hanya dapat dilakukan di atas tanah yang dimiliki berdasarkan hakhak atas tanah, artinya objek tanah yang disahkan dengan bukti kepemilikan hak
atas tanah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa penjual adalah sebagai orang
atau pihak yang berhak dan sah menurut hukum untuk menjual.
Proses jual beli hak atas tanah yang telah didaftarkan atau telah
bersertifikat memiliki resiko hukum yang rendah, karena hak kepemilikan dan
subjek hukum penjual telah jelas dan terang, namun demikian bagi tanah yang
belum didaftarkan hak kepemilikannya atau belum bersertifikat, memiliki resiko
hukum dan kerawanan yang lebih tinggi. Oleh karena itu terhadap objek jual beli
hak atas tanah yang belum didaftarkan atau belum bersertifikat lebih menekankan
kejelian dan kehati-hatian, agar jelas dan terang penjual adalah sebagai pihak yang
sah dan berhak untuk menjual. Hal ini dapat dicermati dari persyaratanpersyaratan formil yang melekat sebagai alas hak. Di sisi lain mekanisme dan
prosedur jual beli tanah juga berbeda dengan hak atas tanah yang telah didaftarkan
atau yang memiliki sertifikat.
Peralihan hak atas tanah dengan cara jual beli dapat dikuasakan kepada
orang lain dengan cara pemberian kuasa untuk menjual. 43 Syarat sahnya

43

Pemberian Kuasa yang dimaksud adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang
memberikan kekuasaan kepada seorang lain yang menerimanya untuk atas namanya
menyelenggarakan suatu urusan (vide: pasal 1792 KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek)).

75

Universitas Sumatera Utara

pemberian kuasa diberikan secara formil sesuai dengan ketentuan yang tunduk
pada hukum perdata, baik yang dibuat oleh dan atau dihadapan Notaris maupun di
bawah tangan, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1793 KUH Perdata
(Burgerlijk Wetboek) yang substansinya menyatakan bahwa : “Kuasa dapat
diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan di bawah
tangan, bahkan dalam sepucuk surat maupun dengan lisan”.
Di sini antara pemberi dan penerima kuasa terbentuk suatu ikatan dan
hubungan hukum, sehingga penerima kuasa bertindak untuk mewakili pemberi
kuasa, namun demikian hak pemberi kuasa tidak beralih secara mutlak, karena
kuasa yang diberikan dapat dicabut atau ditarik kembali oleh pemberi kuasa.
Selama pemberian kuasa berlangsung, maka penerima kuasa berhak untuk
bertindak atau ber