121 Dr. Akif Khilmiyah, M.Ag.
kepada guru laki-laki”. Namun terkadang juga memang ditemukan perilaku
guru perempuan yang seakan membenarkan pandangan yang negatif terhadap kemampuan guru perempuan tersebut. Hal
ini menjadi salah satu penyebab langgengnya pandangan yang merendahkan kepada perempuan, karena adanya
sikap perempuan yang memang tidak mau maju tampil di depan untuk menunjukkan prestasinya. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh seorang kepala madrasah di MIN Yogyakarta, sebagai berikut:
“Kecenderungan yang terjadi dalam setiap pembagian tugas adalah, guru perempuan lebih banyak diam, dan
memilih mendukung apa yang dilontarkan guru laki- laki. Ada juga karyawan yang etos kerjanya rendah
dan tidak tertib. Kesadaran disiplin guru perempuan kurang, sering telat dengan alasan masih ngurus anak
dan rumah.”
c. Subordinat
Pandangan yang memposisikan perempuan sebagai kelas dua ternyata juga dilakukan di semua jenjang
madrasah, baik MIN, MTsN, maupun MAN. Hampir semua kepala madrasah ketika menjelaskan tentang penentuan
wakil kepala madrasah, mereka mengaturnya secara sama yakni lebih mengutamakan wakil kepala madrasah dari
unsur guru laki-laki. Meskipun kepala madrasah tersebut perempuan, tetapi ketika akan memilih wakil, ternyata
lebih mendahulukan laki-laki dari pada perempuan. Adapun alasan yang mereka kemukakan adalah karena
laki-laki kodratnya sebagai pemimpin jadi merekalah yang didahulukan, kecuali ada dari guru perempuan yang
memiliki kemampuan yang sebanding. Sebagaimana yang diungkapkan oleh kepala madrasah MAN di Meguwoharjo
Sleman, sebagai berikut:
“Kepala madrasah belum menempatkan perempuan sesuai dengan potensinya, karena anggapan bahwa
pemimpin itu adalah harus laki-laki. Kepala madrasah lebih percaya kepada guru laki-laki untuk menjabat
sebagai Waka 3 orang, sedangkan guru perempuan
122
Kepemimpinan Transformasional Berkeadilan Gender: Konsep dan Implementasi di Madrasah
hanya 1 orang Waka Humas. Alasan kepala madrasah memberikan kepercayaan guru perempuan ini adalah,
karena MAN Maguwoharjo, selain siswa normal, juga ada siswa berkebutuhan khusus difabel. Waka Humas
tersebut juga menjadi manajer inklusi yang berkewajiban memonitor perkembangan siswa-siswa difabel, karena
mereka dicampur dengan siswa-siswa yang normal”.
Demikian juga yang dikemukakan oleh kepala Madrasah MTsN II Yogyakarta sebagai berikut:
“Kecenderungan kepala madrasah lebih percaya pada guru laki-laki dengan alasan, bahwa gerak guru laki-
laki lebih leluasa dan bebas daripada guru perempuan. Untuk wakil kepala madrasah, didominasi guru laki-
laki. Sedangkan kepala laborium didominasi guru perempuan. Dalam pemberian tugas, terkadang Kepsek
tidak adil, ada beberapa guru yang mendapatkan tugas lebih, ada yang hanya satu tugas saja. Hal ini biasanya
terkait dengan kemampuan personal guru. Meskipun demikian, ada saja guru yang cemburu dan iri”.
Berbagai diskriminasi yang dilakukan kepala madrasah terhadap guru perempuan ternyata juga terjadi pada level
yang paling rendah yakni Madrasah Ibtidaiyah MIN, sebagaimana yang diutarakan oleh seorang guru MIN di
kabupaten Bantul sebagai berikut:
“Beberapa diskriminasi yang dilakukan kepala madrasah adalah lebih percaya kepada guru laki-laki,
contohnya dalam setiap kegiatan madrasah. Sekali- kali, guru perempuan juga perlu diberi kesempatan
untuk menjadi ketua panitia dalam kegiatan madrasah. Kepala madrasah juga lebih banyak memberikan izin
cuti kepada guru perempuan. Guru laki-laki sulit untuk mendapatkan izin belajar atau kuliah lagi”.
Pemberian dispensasi semacam ini kepada guru perempuan justru telah menguatkan pandangan yang
merendahkan kualitas guru perempuan sebagai pihak yang tidak berdaya untuk mengatasi permasalahan, sehingga
guru perempuan perlu dikasihani dan diberi dispensasi. Pemberian dispensasi ini justru dapat memicu suburnya
123 Dr. Akif Khilmiyah, M.Ag.
rasa iri dan dengki di kalangan guru madrasah.
d. Violence